Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

UNDANG-UNDANG DAN ETIKA

Dosen Pembingbing : Dra. Purwani S., Apt., M.Kes

ANI YUNIARTI

1808020116

Kelas : A

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER XXVIII


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018
1. Peraturan Mentri Kesehatan No.31 tahun 2016 bahwa SIPA bagi seorang
Apoteker dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
pelayanan kefarmasian.
Jelaskan bagaimana anda mensikapi PMK tersebut agar dalam melaksanakan
pekerjaan kefarmasian tidak melanggar sumpah, kode etik dan disiplin
Apoteker?
Jawab :
Peraturan Mentri Kesehatan No.31 tahun 2016 pada pasal 18 yang berbunyi:
(1) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu)
fasilitas kefarmasian.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) SIPA bagi
apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling
banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.
(3) Dalam hal Apoteker telah memiliki Surat Izin Apotek, maka Apoteker
yang bersangkutan hanya memiliki 2 (dua) SIPA pada fasilitas pelayanan
kefarmasian lain.
(4) SIPTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
kefarmasian.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009, Apoteker adalah sarjana
farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan sebagai apoteker. Hanya apoteker yang memiliki keahlian dan
kewenangan dalam pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan. Pada suatu
kondisi, dapat saja terjadi ada seorang tenaga teknis kefarmasian memiliki
keahlian dalam melakukan dispensing (peracikan) obat di satu apotek melebihi
keahlian apotekernya, namun yang membedakan adalah kewenangannya
didapat dalam bimbingan dan pengawasan seorang apoteker. Sehingga
kewenangan apoteker bersifat mandatory (amanat) yang diberikan aturan
perundang-undangan, sedangkan kewenangan tenaga teknis kefarmasian
bersifat delegasi dan bimbingan dari apoteker.
keluarnya peraturan ini seolah melemahkan kembali kampanye IAI no
pharmacist no services atau Tiada Apoteker Tiada Pelayanan Konsep TATAP
memang mewajibkan kehadiran apoteker ketika sarana pelayanan
kefarmasiannya buka. Padahal kehadiran apoteker merupakan kata kunci
dalam peningkatan profesionalisme apoteker yang tujuan akhirnya adalah
peningkatan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care).
Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab langsung apoteker pada
pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pasien dengan tujuan
mencapai hasil yang ditetapkan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien.
Sebagai paradigma baru yang mengubah drug oriented menjadi patient
oriented, seorang apoteker diharapkan lebih berorientasi pada kualitas hidup
pasien.
Seorang pasien yang datang dengan membawa resep pada satu sarana
pelayanan kefarmasian, bukanlah semata-mata untuk mendapat komiditi obat,
akan tetapi juga diharapkan mendapat “jasa” kefarmasian dari seorang
apoteker. Jasa ini dapat berupa konsultasi cara menggunakan obat, cara
menyimpan, memilih obat yang lebih murah dengan komponen aktif yang
sama dan konsultasi lainnya. Pemberian jasa ini adalah salah satu contoh dari
paradigma patient oriented.
Bila pelayanan jasa kefarmasian ini rutin dilakukan oleh seorang apoteker,
maka lambat laun masyarakat akan dapat merasakan dampak langsung dari
kehadiran seorang apoteker.
 Dampak Permenkes RI No. 31 Tahun 2016
Dengan diperbolehkannya seorang apoteker untuk bekerja di dua atau tiga
sarana pelayanan kefarmasian, maka semakin sulit rasanya untuk
mengharapkan kehadiran apoteker ketika sarana pelayanannya buka. Sudah
lazim terjadi apotek buka tanpa ada kehadiran apoteker. Pelayanan
kefarmasian yang ada di apotek lebih banyak dilakukan oleh tenaga teknis
kefarmasian ataupun tenaga lainnya. Kondisi ini mau tidak mau akan
mengecilkan peran dan fungsi apoteker.
Selain persoalan kehadiran apoteker, fenomena yang banyak terjadi di
lapangan adalah terjadi ketimpangan antara jumlah apoteker dengan
kebutuhan akan sarana pelayanan kefarmasian di suatu tempat. Sarana
pelayanan kefarmasian yang mencakup apotek, klinik, puskesmas, rumah
sakit, praktek dokter bersama menuntut adanya seorang apoteker.
Ketimpangan ini terjadi dikarenakan ketersediaan dan pemerataan apoteker
yang belum maksimal. Dengan terbitnya aturan yang membolehkan seorang
apoteker bekerja di lebih dari satu sarana pelayanan kefarmasian, setidaknya
akan menjawab persoalan ketimpangan antara jumlah apoteker dengan
kebutuhan sarana pelayanan kefarmasian. Untuk daerah-daerah tertentu yang
minim jumlah apotekernya, Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 menjadi solusi
yang efektif.
 Peran IAI dalam Mengatasi Permenkes RI No. 31 Tahun 2016
Disisi lain, IAI sebagai satu-satunya organisasi profesi apoteker yang diakui
pemerintah mempunyai peran yang tak kalah pentingnya dalam
mengendalikan penerapan Permenkes No. 31 Tahun 2016 ini. Dalam PP No.
51 Tahun 2009, IAI memiliki kewenangan dalam membina dan mengawasi
pelaksanaan pekerjaan kefarmasian yang dilakukan apoteker. Kewenangan ini
tentunya dapat diterapkan dengan koordinasi yang baik dengan pemerintah.
Jangan sampai ada tumpang tindih kewenangan.
Ranah IAI sebagai organisasi profesi adalah pada pembinaan dalam
pelaksanaan kode etik apoteker. Kode etik ini merupakan rambu-rambu bagi
seorang apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Pada titik ini,
IAI memegang kendali terhadap keluarnya rekomendasi yang akan diberikan
kepada seorang apoteker untuk berpraktek.
Bahkan pada pemberian rekomendasi untuk tempat praktek kedua dan ketiga,
IAI mensyaratkan adanya pencantuman jam praktek apoteker di tempat
praktek masing-masing. Adanya pencantuman jam praktek ini diharapkan
akan meningkatkan kehadiran seorang apoteker di sarana pelayanan
kefarmasiannya.
Peningkatan kehadiran tentu akan menghasilkan asuhan kefarmasian yang
lebih baik bagi masyarakat. Ini juga yang membuat IAI mengkampanyekan
konsep praktek apoteker yang bermartabat. Jadi pada satu sisi, Permenkes RI
No. 31 Tahun 2016 dapat menjawab solusi kelangkaan apoteker dan disisi lain
menjadi tantangan bagi IAI dalam menerapkan konsep praktek apoteker yang
bermartabat.
 Kekurangan Permenkes RI No. 31 Tahun 2016
Banyak yang berpendapat, tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat,
tenaga teknis farmasi, paramedis juga manusia yang butuh pekerjaan dan
butuh makan, disamping tugas utamanya yang telah disumpah untuk
memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun adanya regulasi
kerap menjadi hambatan bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya. Banyak
yang merasa bahwa profesi tenaga kesehatan ini kurang dihargai di Indonesia
sehingga banyak pula yang merasa tingkat kesejahteraan mereka sangat
kurang. Akibatnya banyak yang melakukan pelanggaran diam-diam sehingga
prinsip Patient Oriented yang seharusnya dijunjung tinggi, kini berubah haluan
menjadi Money Oriented. Banyak yang mulai melakukan segala cara supaya
pendapatan mereka meningkat. Salah satunya adalah Apoteker.
Image Apoteker di Indonesia tidak seperti dokter, bahkan cenderung
tenggelam. Tidak banyak yang tahu bahwa ada yang namanya profesi
Apoteker. Jangankan bicara tentang Apoteker yang bekerja di fasilitas
produksi dan distribusi, bahkan di fasilitas pelayanan pun Apoteker jarang
ditemui. Faktanya karena mereka memang tidak hanya standby di satu tempat.
Apalagi kalau bukan karena mereka ingin memperoleh pendapatan yang lebih
banyak.
Sekarang, setelah munculnya perubahan permenkes ini, saya rasa justru malah
akan semakin banyak Apoteker yang melakukan hal demikian. Apoteker yang
bekerja di fasilitas produksi dan distribusi tentu akan merasa dirugikan / di
diskriminasi karena kebijakan yang mereka terima tidak sama dengan
Apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan. Seakan-akan area Apoteker yang
bekerja di fasilitas produksi & distribusi dibatasi. Berbeda dengan Apoteker di
fasilitas pelayanan, mereka bisa sedikit lega karena peraturan ini.
 Kesimpulan
Menurut pendapat saya, akan lebih baik jika seorang Apoteker memiliki izin
sebagai Apoteker Pendamping di maksimal 2 fasilitas pelayanan lainnya selain
pekerjaan utamanya, entah itu di fasilitas produksi, distribusi, regulasi maupun
pelayanan. Yang penting mereka memenuhi syarat untuk memberikan
pelayanan kepada pasien, misalnya dengan pengaturan jam kerja sehingga
pasien tetap bisa menemui Apotekernya untuk mendapatkan informasi yang
memadai. Terbitnya Permenkes RI No. 31 Tahun 2016 dan surat instruksi
Kepala Badan POM dalam waktu yang berdekatan seolah menjadi sinyal akan
adanya peningkatan mutu layanan kefarmasian oleh apoteker di fasilitas
kefarmasian.
Pada akhirnya, suka atau tidak suka kedua ketentuan di atas telah berlaku.
Sebaiknya jangan lagi ada pihak yang mempertanyakan urgensi dari keluarnya
ketentuan tersebut. Sekarang adalah saatnya bagi apoteker untuk
melaksanakan pekerjaan kefarmasian secara lebih profesional dan lebih
bermartabat.

2. Uraikan dan jelaskan serta beri contoh penerapan kode etik Apoteker
berkaitan dengan :
a. Kewajiban terhadap penderita
b. Teman sejawat apoteker
c. Kewajiban terhadap tenaga kesehatan lain dalam praktek pelayanan
kefarmasian

Jawaban

a. Kewajiban terhadap penderita, dalam kode etik yang dibuat oleh Ikatan
Apoteker Indonesia (IAI) pada :
BAB II - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PASIEN
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat. menghormati hak azasi pasien
dan melindungi makhluk hidup insani.
Implementasi :
 Kepedulian kepada pasien adalah merupakan hal yang paling utama
dari seorang Apoteker.
 Setiap tindakan dan keputusan profesional dari Apoteker harus
berpihak kepada kepentingan pasien dan masyarakat.
 Seorang Apoteker harus mampu mendorong pasien untuk ikut dalam
keputusan pengobatan mereka.
 Seorang Apoteker harus mengambil langkah-langkah untuk menjaga
kesehatan pasien, khususnya anak-anak serta orang yang dalam kondisi
lemah.
 Seorang Apoteker harus yakin bahwa obat yang diserahkan pasien
adalah obat yang terjamin kualitas, kuantitas dan efikasinya, serta cara
pakai obat yang tepat.
 Seorang Apoteker harus menjaga kerahasian data-data pasien (resep
dan PMR dengan baik).
 Seorang Apoteker harus menghormati keputusan profesi yang telah
ditetapkan oleh dokter dalam bentuk penulisan resep dan sebagainya.
 Dalam hal seorang Apoteker akan mengambil kebijakan yang berbeda
dengan permintaan seorang dokter, maka Apoteker harus melakukan
konsultasi/komunikasi dengan dokter tersebut, kecuali UU/peraturan
membolehkan Apoteker untuk mengambil keputusan demi
kepentingan pasien.

Contoh :

Seorang Apoteker harus menyerahkan obat kepada pasien dengan


informasi yang jelas dan tepat. Dengan pasien khusus seorang Apoteker
wajib memberikan konseling untuk meningkatkan kepatuhan pemakaian
obat dan meningkatkan kesehata pasien dengan cara Apoteker
menganalisis riwat pasien dan harus mampu menjaga rahasia dari
penyakitnya.
b. Kewajiban Apoteker Terhadap Teman sejawat Apoteker
BAB III - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 10
Seorang Apoteker harus memperlakukan teman Sejawatnya sebagaimana
ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati
untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode Etik.
Pasal 12
Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara
keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling
mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
Implementasi dan contoh:
Pasal 10
 Setiap Apoteker harus menghargai teman sejawatnya, termasuk rekan
kerjanya.
 Bilamana seorang Apoteker dihadapkan kepada suatu situasi yang
problematik, baik secara moral atau peraturan perundang atau undang-
undang yang berlaku, tentang hubungannya dengan sejawatnya, maka
komunikasi antar sejawat harus dilakukan dengan baik dan santun.
 Apoteker harus berkoordinasi dengan IAI ataupun Majelis
Pertimbangan Etik dalam menyelesaikan permasalahan dengan teman
sejawat.
Pasal 11
 Bilamana seorang Apoteker melihat sejawatnya melanggar Kode Etik,
dengan cara yang santun dia harus melakukan komunikasi dengan
sejawatnya tersebut untuk mengingatkan kekeliruan tersebut.
 Bilamana ternyata yang bersangkutan sulit untuk menerima maka dia
dapat menyampaikan kepada IAI atau Majelis Pertimbangan Etik
Apoteker Pusat (MPEAP) atau MPEAD untuk dilakukan pembinaan.
Pasal 12
 Seorang Apoteker harus menjalin dan memelihara kerjasama dengan
sejawat Apoteker lainnya.
 Seorang Apoteker harus membantu teman sejawatnya dalam
menjalankan pengabdian profesinya.
 Seorang Apoteker harus saling mempercayai teman sejawatnya dalam
menjalin, memelihara kerjasama.
c. Kewajiban Apoteker Terhadap Sejawat Petugas Kesehatan
BAB IV - KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT
PETUGAS KESEHATAN LAIN
Pasal 13
Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai,
menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan lain.
Pasal 14
Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau
perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya
kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lain.
Implementasi dan contoh:
Pasal 13
 Apoteker dalam menjalankan profesinya dapat dibantu oleh Asisten
Apoteker atau tenaga lainnya yang kompeten. Untuk itu, Apoteker
harus menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan
baik.
 Apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan
tenaga profesi kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat.

Pasal 14
 Bilamana seorang Apoteker menemui hal-hal yang kurang tepat dari
pelayanan profesi kesehatan lainnya, maka Apoteker tersebut harus
mampu mengkomunikasikannya dengan baik kepada tenaga profesi
tersebut, tanpa yang bersangkutan merasa dipermalukan.
3. Bagaimana penerapan butir-butir sumpah Apoteker agar tidak dilanggar dalam
praktek kefarmasian? Uraikan dan beri contoh dari masing-masing butir
sumpah !
Jawaban
Sumpah Apoteker

SAYA BERSUMPAH / BERJANJI AKAN MEMBAKTIKAN HIDUP


SAYA GUNA KEPENTINGAN PERIKEMANUASIAAN TERUTAMA
DALAM BIDANG KESEHATAN.
Seorang apoteker dalam menjalankan pelayanan kefarmasian menerapkan
perikemanusiaan, dalam hal ini seorang apoteker mengibaratkan jika yang
menjadi pasien adalah keluarga sendiri, maka harus melayani pasien harus
dengan sepenuh hati, dengan rasa iba terhadap pasien dan ikut merasakan sakit
yang diderita oleh pasien tersebut. Contohnya seorang anak yang didampingi
keluarganya mengalami kejang epilepsy yang jika dibiarkan akan mengancam
jiwanya, sedangkan praktek dokter tutup dan jauh, sehingga keluarga pasien
berhenti diapotek untuk meminta obat untuk anaknya sehingga apoteker
berhak memberikan supositoria diazepam untuk menyelamatkan nyawa anak
tersebut.

SAYA AKAN MERAHASIAKAN SEGALA SESUATU YANG SAYA


KETAHUI KARENA PEKERJAAN SAYA DAN KEILMUAN SAYA
SEBAGAI APOTEKER.
Seorang apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian hendaknya
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pasien entah dari segi
data pribadi hingga keluhan atau penyakit yang diderita oleh pasien tersebut,
karena hal tersebut menyangkut privacy pasien dan tidak berhak untuk
dipublikasikan terhadap siapapun. Contohnya pasien sering menebus obat TB
dan selalu dilakukan konseling oleh Apoteker dengan menggali informasi
keadaan pasien, maka seorang apoteker harus merahasiakan dalam hal
penyakit maupun pengobatan kepada orang lain karena bersifat rahasia.
SEKALIPUN DIANCAM, SAYA TIDAK AKAN MEMPERGUNAKAN
PENGETAHUAN KEFARMASIAN SAYA UNTUK SESUATU YANG
BERTENTANGAN DENGAN HUKUM PERIKEMANUSIAAN.
Sebagai Seorang apoteker dalam hal ini contohnya apabila saat sedang
menjalankan praktek kefarmasian, apoteker mendapati seorang pasien yang
ingin membeli obat – obatan yang tidak diperjual belikan secara bebas, namun
orang tersebut tetap memaksa si apoteker untuk melayani obat tersebut bahkan
sampai membawa senjata tajam dan mengancam apabila tidak memberikan
obat tersebut maka orang tersebut akan melukai si apoteker, maka sebagai
apoteker yang berpegang teguh pada sumpahnya walaupun dalam situasi
mencekampun tetap tidak akan melayani obat yang tidak diperjualbelikan
secara bebas, sekalipun nyawa taruhanya. Contohnya saudara dari apoteker
berkunjung ke apoteknya dan bertanya-tanya tentang obat narkotik dan ingin
membelinya tanpa resep dokter, sehingga seorang apoteker meskipun
saudaranya tetap menayakan tujuan pengobatan takutnya aka nada penyalah
gunaan obat, maka apoteker harus menolak pembelian tersebut dengan sopan
tanpa menurunkan sifat profesi.

SAYA AKAN MENJALANKAN TUGAS SAYA DENGAN SEBAIK -


BAIKNYA SESUAI DENGAN MARTABAT DAN TRADISI LUHUR
JABATAN KEFARMASIAN.
Sebagai seorang apoteker yang ingat dengan sumpah yang telah
diucapkannya maka dalam hal ini apoteker bersungguh-sungguh menjalankan
praktek kefarmasian dengan baik, sesuai dengan kode etik profesi apoteker,
menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku, mematuhi
norma-norma agama dan hukum, menjaga nama baik sesama rekan sejawat
dan organisasi apoteker seperti IAI. Contohnya ada seorang pasien dating ke
apotek untuk dicek kadar gula darahnya, setelah di cek pasien mengalami
diabetes melitus stage II, kemudian apoteker tidak boleh mendiagnosis pasien
diabetes melitus melainkan harus menyampaikan bahwa kadar gula nya tidak
normal dan dirujuk ke dokter untuk diperiksa lebih lanjut dan mendapatkan
pengobatan, setelah dapat pengobatan baru dibeli di apotek, karena seorang
apoteker tidak boleh melakukan diagnosis terhadap pasien karena hal tersebut
merupakan wewenang dokter.

DALAM MENUNAIKAN KEWAJIBAN SAYA, SAYA AKAN


BERIKHTIAR DENGAN SUNGGUH - SUNGGUH SUPAYA TIDAK
TERPENGARUH OLEH PERTIMBANGAN KEAGAMAAN,
KEBANGSAAN, KESUKUAN, KEPARTAIAN, ATAU KEDUDUKAN
SOSIAL.
Sebagai seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya yakni melakukan
pelayanan kefarmasian harus dengan sepenuh hati dari diri sendiri, dalam hal
ini apabila ada hasutan atau provokasi dari pihak manapun tidak akan
terpengaruh sedikitpun. Contohnya disebuah rumah sakit pasien mengantri
untuk menebus resep dengan latar belakang pekerjaan yang bermacam-
macam, kemudian ada sebuah resep yang datangnya terakhir namun didahului
pelayanannya karena ada hasutan bahwa pasien tersebut merupakan anak
dokter dari rumah sakit tersebut, sehingga apoteker harus membuat keputusan
dan menolaknya dan harus sesuai dengan nomor antrian secara adil meskipun
pasien yang lain dari kalangan menengah.

SAYA IKRAR SUMPAH / JANJI INI DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH


DENGAN PENUH KEINSYAFAN
Sebagai seorang apoteker dalam mengucapkan sumpahnya dilakukan
dengan penuh kesungguhan dan sadar akan apa yang telah diucapkannya,
karena bila suatu ketika apoteker lalai dengan tugasnya maka ia harus segera
sadar dan insyaf akan janji/ sumpahnya sebagai seorang apoteker. Contohnya
apabila ada seorang apoteker tidak memberikan informasi obat kepada pasien
yang benar dan jelas serta lengkap, kemudian mendapatkan penyakit yang
lebih parah bukannya sehat, sehingga tanggung jawab apoteker tidak
dijalankan maka harus ada rasa insyaf dan langsung sadar akan tugas dan
tanggung jawab seorang apoteker seharusnya memberikan penjelasan yang
jelas dan lengkap sampai dengan monitoring penggunaan obat kepada pasien
supaya pengobatan dapat tercapai dengan baik.
Daftar Pustaka

Depkes RI. (2009). Peraturan Perundang-Undangan No. 36 tentang kesehatan.


Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Depkes RI. (2009). Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, tentang Pekerjaan
Kefarmasian. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Ikatan Apoteker Indonesia, 2015, Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta
Depkes RI. (1962). Peraturan Pemerintah No.20 Tentang Lafal Sumpah/Janji
Apoteker, Jakarta.
Keputusan kongres Nasional XVIII tahun 2009 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia
tentang Kode Etik Apoteker Indonesia

Anda mungkin juga menyukai