Anda di halaman 1dari 9

TAK ADA APOTEKER TIADA PELAYANAN

Pro 1 =

Saya sebagai pembicara pertama tim pr akan menjelaskan pengertian dari mosi
tatap

Pada kepmenkes Nomor 1027 Tahun 2004 dan Permenkes Nomor 284 Tahun
2007 dinyatakan bahwa: Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.

Pekerjaan kefarmasian di era sekarang ini telah berubah dari drug oriented
(pelayanan obat) menjadi pharmaceutical care( pelayanan pasien). Pada prinsip
drug oriented Apoteker hanya bekerja untuk membuat obat menyalurkannya
kepada masyarakat, tetapi pada prinsip pharmaceutical care seorang Apoteker
tidak hanya bekerja membuat obat tetapi juga bekerja dalam pelayanan
masyarakat, seperti memberikan informasi kepada masyarakat mengenai obat
yang akan di berikan

Selanjutnya saya akan mejelaskan mengenai alasan kenapa saya setuju dengan
mosi , dijelaskan pada UU No. 36 tahun 2009, Pasal 108 Ayat 1 yang
menyatakan bahwa praktik kefarmasiaan meliputi pembuatan dan pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Kemudian
pernyataan yang sama juga tercantum pada PP No. 51 tahun 2009 pasal 1 yang
menegaskan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
Hal ini jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah no 25 Tahun 1980 yang
menyatakan bahwa, salah satu tugas atau fungsi apotek adalah tempat
pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan,
oleh karena itu apotek yang pada waktu buka tidak ada apotekernya melanggar
ketentuan ini. Salah satu ciri profesi yakni tidak tergantikan, maka kehadiran
apoteker untuk melakukan praktek profesinya di apotek tidak dapat di gantikan
oleh asisten apoteker atau tenaga lain yang bukan berprofesi apoteker. Selain
itu, peraturan Departemen Kesehatan atau Dirjen Pelayanan kefarmasian dan
komunitas mengharuskan adanya dua apoteker jika apotek melayani masyarakat
lebih dari 8 jam dan tiga apoteker jika apotek melayani masyarakat 24 jam

Berdasarkan permenkes nomor 35 tahun 2014 tentang standar kefarmasian di


apotek pada pasal 3 ayat 3 menyebutkan bahwa pelayanan farmasi klinik
sebagaimana dimaksut pada ayat (1) huruf b meliputi :
- Pengkajian resep
- Dispensing
- Pelayanan informasi obat (pio)
- Konseling
- Pelayanan kefarmasian dirumah (home pharmacy care)
- Permintaan terapi obat (pto)
- Monitoring efek samping obat (MESO)

Nah dari uu diatas , yang seharusnya memberikan pelayanan adalah apoteker,


karena itu memang rananya apoteker

KONTRA 1 =

Sa setuju dengan pengertian yang telah disampaikan p1. Tetapi sy tidak


setuju dengan sampaikan bahwasannya ..

Berdasarkan permenkes RI no 889/menkes/per/v/2011 tentang registrasi, izin


praktik dan izin kerja tenaga kefarmasian pada bab 1 pasal 1 ayat 4 dijelaskan
dengan jelas bahwa tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu
apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas sarjana
farmasi, ahli madya farmasi, analisis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/
asisten apoteker
Menurut pasal 27 UU No. 36 tahun 2009, setiap tenaga kesehatan berhak atas
imbalan jasa dan perlindungan hukum. Pendapatan apoteker di rumah sakit dan
apotek dinilai belum mempertimbangkan dengan baik peran apoteker dibidang
klinik. Hal ini menyebabkan apoteker belum sepenuhnya ingin melaksanakan
peranannya dengan baik dibidang ini.

Di apotek, kebanyakan apoteker belum menjadi tuan rumah di tempat


prakteknya sendiri. Belum lagi, apoteker masih bertindak seolah-olah
dipekerjakan oleh Pemilik Sarana Apotek (PSA). Padahal seyogyanya
hubungan antara ApotekerPenaggung jawab Apotek (APA) dan Pemilik Sarana
Apotek (PSA) adalah hubungan kerjasama yang sifatnya horizontal bukan
hubungan vertikal. Masih ada apoteker yang memiliki pendapatan dibawah
UMR bahkan bukan rahasia lagi ada PSA yang memang mengharapkan
apoteker tidak ada di apotek. Konsep TATAP (Tidak Ada Apoteker Tidak Ada
Pelayanan) yang dicetuskan oleh IAI beberapa tahun lalu tidak berhasil
mengembalikan apoteker ke rumahnya sendiri. Ini disebabkan karena IAI
seolah-olah hanya bisa menuntut anggotanya untuk menjadi profesional tetapi
IAI dirasa gagal dalam mengadvokasi anggotanya dalam hal peningkatan
pendapatan, terkhusus di era SJSN ini.

Sejak dikeluarkan 5 tahun lalu, PP 51 tahun 2009 belum bisa diimplementasikan


dengan baik oleh apoteker di lapangan. Masalah ini terkait dengan masalah
nomor 2 diatas, karena sebagian apoteker yang bekerja di lembaga yang
berkewajiban mengawasi juga terkadang memiliki apotek yang dia bawahi
sendiri dan belum mampu menjalankan tugasnya sebagai apoteker dengan baik.

Jika dibandingkan apotek di luar negeri dengan dalam negeri, sangat jauh
berbeda. Mereka sangat memetingkan kehadiran Apoteker di apotek bahkan
mereka berpedoman pada no pharmacist no service, begitulah pendapat
mereka. Jika sang Apoteker sedang berhalangan atau sedang melakukan sesuatu
maka apotek tersebut tidak akan buka sampai ada Apoteker yang
bertanggungjawab terhadap apotek tersebut untuk melakukan pelayanan
terhadap masyarat. Begitu pentingnya seorang Apoteker bagi mereka bahkan
mereka menyetarakan kedudukan seorang dokter dengan Apoteker.
PRO 2 =

Saya ingin menyanggah pernyataan dari kontra 1 mengenai apoteker


pendamping dari saudara . Menyebutkan bahwa aping itu bias dari lulusan
sarjana farmasi ahli madya farmasi, analis farmasi dan tenaga menegah farmasi
tetapi menurut permenkes no 889 tahun 2011 pada pasal 17 dan 18 tentang
perubahan regristrasi izin praktek dan izin kerja tenaga kerfarmasian pada
intinya bahwasanya apoteker yg bekerja di unit pelayanan (rs, puskesmas,
apotek) menggunakan 1 sipa sebagai penanggungjawab apotek dan 2 sipa
lainnya bisa sebagai apoteker pendamping juga. Jadi alangkah baiknya aping
dilakukan oleh seorang apoteker karena apoteker unggul dalam hal pengetahuan
dan pengalaman. Salah satunya dalam pharmaceutical care dan KIE. Tujuan
dari PC adalah mengoptimalkan kualitas hidup pasien dan nilai positif hasil
klinik yang ingin dicapai dengan cara mengatasi masalah yang berkaitan dengan
pengobatan sebaik mungkin. Hal ini juga bertujuan agar tidak ada lagi penyalah
gunaan obat pada pasien.
Saya dengan tegas mendukung mosi yaitu tatap tetap diberlakukan terkait dgn
apa yg sdh saya jelaskan sebelumnya mengenai pharmaceutical care dan
dipertegas menurut

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR


35 TAHUN 2014 TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
Pasal 3
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
c.Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d.konseling;

yang hanya bisa dilakukan oleh apoteker saja

Sebagai profesional yang memiliki kode etik keprofesian yang berperan sebagai
ujung tombak dalam rantai pelayanan kesehatan khususnya obat dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, maka sudah seharusnya apoteker
berada di apotek untuk melakukan pekerjaan kefarmasiannya. Bila kompetensi
apoteker digunakan sungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya dalam menjalankan pekerjaa nkefarmasiaan maka berarti
apoteker telah berperilaku sesuai kode etiknya, yang pada akhirnya kualitas
hidup pasienlah yang akan meningkat.

KONTRA 2 =

Saya dr kontra ingin menyanggah dr saudara pada tim pro. Yang dimana
dibahas sebelumnya bahwa tim pro tentang 3 sipa apoteker dapat berpraktik di
3 tempat yang berbeda. Hal ini sebenarnya banyak merugikan pasien karena
pasien tidak dapat bertemu dengan apoteker di apotek. Fenomena yang terjadi di
Indonesia menunjukkan bahwa banyak apoteker yang tidak berada di apotek
seperti yang seharusnya. Padahal, sesuai PP No.51 tahun 2009, maupun
kemenkes No.1027 tahun 2004 mengenai standar pelayanan kefarmasian di
Apotek, disana sudah menyebutkan bahwa seorang apoteker harus berada di
tempat praktik selama jam operasional pelayanan, tetapi pada kenyataannya di
lapangan ,banyak apoteker yg mangkir dari tanggungjawab tersebut

Sebagai contoh nyata Diduga hampir 99% apotek di Indonesia tetap buka dan
menerima pelanggan walaupun apotekernya tidak di tempat. Penelitian serupa
yang dilakukan oleh para apoteker di UI menunjukkan bahwa sekitar 90%
apotek yang mereka survey, apotekernya tidak ada di tempat. Ketua Umum
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), periode lalu menuturkan bahwa apotek
di Indonesia belum menjadi suatu sistem sehingga apotek menjadi sekedar
tempat jual beli obat. Menurutnya, apoteker hanya sebagai prasyarat berdirinya
suatu apotek. Sementara dalam praktiknya, tidak semua apotek memiliki
apoteker.

Untuk TATAP sendiri pernah diterapkan beberapa tahun pada tahun 2009 ,
tetapi sayangnya tidak ad peraturan standar dari TATAP sendiri, sehingga
untuk penerapannya tidak efektif, karena sanksi jika tidak melakukan TATAP
pun tidak ada, seharusnya jika mau menerapkan 3 SIPA prinsip dan regulasi
dari tatap sendiri Harusnya ada peraturan yang jelas, dan bisa
dpertanggungjawabkan. Hal ini sudah jelas bahwa pemerintah belum siap dalam
melakukan system tatap. Padahal standar itu sangat penting untuk menegaskan
posisi farmasis atau apoteker dalam pengelolaan obat. Merupakan kewenangan
pemerintah dalam membuat sistem yang tepat untuk memposisikan apoteker
tersebut sesuai profesinya. Pemerintah perlu melakukan sebuah keputusan yang
tegas apakah apoteker ditempatkan dalam masyarakat, rumah sakit atau apotek
tersendiri. Di luar negeri semuanya sudah diatur dengan jelas dalam sistem
tertentu. Pemerintah yang membuat keputusan dan sistem, mereka pulalah yang
menjalankan kewenangan itu. Dengan adanya sistem tersebut maka
tergambarkan di posisi mana apoteker itu. Apabila terjadi hal-hal diluar sistem
tersebut, pemerintah bisa melakukan tindakan tertentu kepada apoteker sesuai
dengan peraturan yang dibuat. Tapi sayangnya Saat ini hal itu belum ada.

Saya rasa dengan berlakunya 3 SIPA tersebut sangat sulit bagi apoteker untuk
mewujudkan TATAP yang mana mengharuskan seorang apoteker harus tetap
berada di apotek selama jam operasional, tetapi beda cerita kalau dari
pemerintah menetapkan atau memberlakukan 1 SIPA saja, dengan demikian
profesionalisme dari apoteker akan terlihat, apoteker tidak harus berpindah
tempat kerja yang dimana saya rasa menghabiskan waktu di perjalanan.

PRO 3 =

Saya tidak setuju dengan pernyataan kontra 2 karena menurut saya


pastinya seorang apoteker bisa mengatur atau membatasi jam kerja
sesuai kemampuan mereka.Dan perlu kita ingat izin 3 SIPA tidak
diberikan secara sembarangan dan mudah. Untuk mendapatkan 3 SIPA
seorang apoteker harus memiliki rekomendasi dari IAI dan kedepannya
apoteker tersebut akan dipertimbangkan apakah benar-benar mampu dan
pantas untuk mendapatkan izin 3 SIPA.
Apoteker yang memiliki 3 SIPA memiliki izin sebagai Apoteker
Pendamping di maksimal 2 fasilitas pelayanan lainnya selain pekerjaan
utamanya sebagai penanggung jawab .Dan yang berada di apotek diluar
jam praktiknya tidak harus apoteker penanggung jawab tetapi asalkan
ada apoteker pendamping. Sehingga akan terbentuk circle pelayanan yg
dinamis dimana setelah apoteker penanggung jawab melakukan
pelayanan, dilanjutkan apoteker pendampingnya dengan pembagian jam
kerja yang jelas. Dengan 3SIPA diharapkan peran dan kehadiran
apoteker lebih dirasakan oleh masyarakat.
BPOM dapat berperan meningkatkan frekuensi pengawasan dengan
sering melakukan sidak ke apotek-apotek. Selain pengawasan, IAI
selaku organisasi profesi hendaknya segera melakukan sosialisasi
mengenai Permenkes ini dan juga selektif dalam memberikan surat
rekomendasi untuk apoteker kepada pemerintah daerah, menetapkan
pengaturan jam layanan dengan mewajibkan apotek memasang papan
nama praktek mencantumkan nama apoteker, SIPA/SIA dan waktu
praktik (hari/jam), serta menetapkan lokasi 3 SIPA dengan menentukan
jarak maksimal antar tempat praktek apoteker yang diperbolehkan.
Dengan ketentuan fasilitas pelayanan kefarmasian hanya dapat
memberikan pelayanan kefarmasian sepanjang apoteker berada di
tempat dan memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Semua itu
sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.31 tahun 2016
yang artinya permenkes tersebut dapat berjalan beriringan dengan
gerakan TATAP.
3 SIPA ini dimaksutkan dengan baik untuk para apoteker yang bekerja
pada wilayah-wilayah minimum apoteker.Misalnya di suatu daerah yang
di pelayanan kefarmasiannya yang apotekernya minim bahkan tidak ada
apotekernya seumpama di puskesmas,praktek dokter dan rumah sakit di
tempat yang jauh dari kota.
Alasan Kenapa apoteker di pelayanan kefarmasian melakukan 3 SIPA
juga karena dibandingkan dengan pendapatan dari apoteker di industri
jika hanya memiliki 1 SIPA di pelayanan kefarmasian seperti
apotek,puskesmas dan rumah sakit tersebut pendapatannya hanya
sedikit.Dan itu akan mempengaruhi kesejahteraan kehidupan apoteker
tersebut.

KONTRA 3 =

Saya tidak setuju dengan apa yang telah disampaikan oleh pro 3. Yang
menjadi pertanyaan adalah apakah TATAP mampu menjawab tantangan
profesionalisme apoteker? Mengingat apoteker merupakan salah satu bagian
dari tenaga kesehatan yang memegang peranan penting karena terkait langsung
dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Banyak apoteker
yang merasa bahwa mereka kurang dihargai di Indonesia sehingga banyak pula
yang merasa tingkat kesejahteraan mereka sangat kurang. Akibatnya banyak
yang melakukan pelanggaran diam-diam sehingga prinsip Patient Oriented yang
seharusnya dijunjung tinggi, kini berubah haluan menjadi Money Oriented.
Image Apoteker di Indonesia tidak seprestis dokter, bahkan cenderung
tenggelam. Tidak banyak yang tahu bahwa ada yang namanya profesi Apoteker.
Faktanya karena mereka memang tidak hanya standby di satu tempat. Dan
mengapa hal ini dilakukan? Apalagi kalau bukan karena mereka ingin
memperoleh pendapatan yang lebih banyak.

Gerakan TATAP belum mencerminkan bentuk pelayanan kefarmasian


yang ideal. Karena gerakan tersebut belum memperhitungkan factor-faktor
pelayanan yang mempengaruhi kualitas pelayanan dan hanya sekedar apoteker
ada di apotek.

Seharusnya IAI membuat SOP standart pelayanan kefarmasian yang lebih


memihak masyarakat. Sebagai profesi yang terhormat sudah sepantasnya bila
IAI mulai memperhitungkan hal-hal yang mempengaruhi kualitas pelayanan
sebagai dasar dari SOP di apotek, bukan hanya kuantitas pelayanan. Benar
memang suatu usaha harus laba, tetapi bukan dengan mengeruk laba yang
sebesar-besarnya dan melupakan hak-hak pasien. Hak pasien atas informasi
obat dan lain-lain juga harus dipenuhi. Selain apoteker harus ada diapotek,
apoteker harus melakukan pelayanan kefarmasian terutama pada saat
penyerahan obat, karena tak satupun yang berkompeten memberi informasi
selain apoteker.

Jika kita kembali ke setahun yang lalu tepatnya tahun 2016, pemerintah
mengeluarkan peraturan baru yaitu, Permenkes No.31 tahun 2016 atas
perubahan Permenkes No. 889 tahun 2011 terkait perubahan Registrasi, Izin
Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.

Lantas apa hubungannya peraturan baru ini dengan kebijakan TATAP?


Seperti yang kita tahu gerakan TATAP menerapkan aturan apotek hanya dapat
memberikan pelayanan kefarmasian sepanjang apoteker berada di tempat dan
memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Tetapi dengan adanya
peraturan 3 SIPA akankah TATAP masih ideal untuk diterapkan? Disisi lain
apoteker bisa memiliki sampai 3 SIPA, tetapi juga diharuskan untuk selalu
berada di apotek selama apotek tersebut buka. Padahal pada kenyataannya
apoteker yang memiliki 1 SIPA saja masih bisa mangkir dari kewajibannya
apalagi jika mendapatakan 3 SIPA. Sebagian orang berpikir seakan-akan adanya
peraturan baru ini, hanya akan menjadi lahan terjadinya kecurangan dan
bumerang bagi profesi apoteker sendiri.
Selain itu, walau TATAP sudah digalakkan beberapa tahun yang lalu
tepatnya tahun 2009. Akan tetapi tidak ada peraturan standar dari TATAP
sendiri. Bahkan sanksinya pun masih belum jelas seperti apa.

Banyak yang berpendapat bahwa profesi kita tidaklah kekurangan apoteker


namun apotekernyalah yang tidak tampil ke masyarakat untuk melakukan tugas
keprofesiannya. Penyamarataan kurikulum pendidikan farmasi diseluruh
Indonesia dirasa sangat penting untuk menyamakan prinsip dasar mengenai
tugas keprofesian kita dan kualitas lulusan. Selain menerapkan 3 SIPA dalam
mengatasi penyebaran apoteker yang tidak merata sebenarnya pemerintah dapat
mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi dibidang kefarmasian yang dibiayai
oleh pemerintah dimana lulusannya harus bersedia ditempatkan di daerah mana
saja diseluruh Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai