Anda di halaman 1dari 7

IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI

NO.73 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR PELAYANAN


KEFARMASIAN DI APOTEK

Hanari Fajarini
E-mail: hanari.fajarini@gmail.com
Program Studi D3 Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhadi Setiabudi
Jl. P. Diponegoro KM 2 Desa Pesantunan Kecamatan Wanasari Kabupaten Brebes – Jawa Tengah
Telp. (0283) 6199000 Fax : (0283) 6199001

ABSTRAK
Hukum hadir di tengah-tengah masyarakat dapat mempengaruhi aktivitas yang ada dalam
masyarakat, tidak terkecuali pada ranah interaksi sosial pelaku-pelaku bidang kesehatan. Tak
terkecuali Apoteker dibebani dengan kewajiban keberhasilan pengobatan yang meliputi program
pengobatan yang harus dijalani pasien, memonitor hasil pengobatan serta mampu bekerja sama
dengan profesi lainnya agar tujuan pengobatan bagi pasien dapat berhasil dengan baik.
Pembebanan hukum tersebut tertuang dalam tatanan normatif Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, penelitian berkenaan
dengan norma dimaksud melalui penelitian socio-legal. Tujuan eksistensi kaidah Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun 2016 memberikan perlindungan keselamatan terhadap
pasien. Dalam tataran keberlakuannya kaidah normatif tersebut mengalami hambatan, diakibatkan
oleh kultur hukum yang apatis dari apoteker sehingga pemahaman kesadaran dan kepatuhan
hukum yang dikehendaki dari tujuan norma dibuat tidak mencapai hasil maksimal. Tujuan hukum
untuk keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi para pelaku yaitu apoteker, pasien serta
Pemilik Sarana Apotek tidak sepenuhnya mampu menterjemahkan teks-teks dari substansi muatan
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun 2016.

Kata Kunci: Apoteker; Kepatuhan Hukum; Tujuan Hukum.

1. Pendahuluan Informasi Obat (PIO), Konseling Obat,


Lampiran Peraturan Menteri Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Kesehatan Republik Indonesia Nomor (home care), Pemantauan Terapi Obat
73 Tahun 2016 Tentang Standar (PTO); dan Monitoring Efek Samping
Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Obat (MESO).
menjelaskan bahwa apotek pada saat ini Substansi Pelayanan
telah mengalami pergeseran orientasi Kefarmasian (Pharmaceutical Care)
dari drug oriented kepada patien tersebut pada intinya untuk membantu
oriented, atau yang lebih dikenal dengan pasien sebagai upaya mendukung
Pharmaceutical Care. Pelayanan tercapainya keberhasilan pengobatan,
kefarmasian semula hanya berfokus memberi informasi tentang program
kepada pengelolaan obat (drug pengobatan yang harus dijalani pasien,
oriented), saat ini mengalami perubahan memonitor hasil pengobatan dan bekerja
menjadi pelayanan komprehensif yang sama dengan profesi lainnya untuk
bertujuan untuk meningkatkan kualitas mencapai keberhasilan pengobatan bagi
hidup pasien. Akibatnya, eksistensi pasien.
apoteker ada tuntutan dalam konteks Dalam Peraturan Pemerintah
peningkatan sumber daya manusia No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
dalam hal peningkatan kemampuan Kefarmasian, diberi makna bahwa
penguasaan pengetahuan, ketrampilan Pelayanan Kefarmasian adalah suatu
serta mampu mengubah perilaku dalam pelayanan langsung dan bertanggung
hal berinteraksi dengan pasien. Bentuk jawab kepada pasien yang berkaitan
interaksi dimaksud yaitu Pelayanan dengan sediaan farmasi dengan maksud

1
mencapai hasil yang pasti untuk pakai, cara pakai/rute obat, indikasi,
meningkatkan mutu kehidupan pasien. kontraindikasi, kemungkinan interaksi
Sehubungan dengan hal tersebut yang terjadi, maupun efek samping yang
di atas, Pemerintah dalam hal ini ditimbulkan.
Kementerian Kesehatan memberlakukan Kendala yang dihadapi dalam
norma hukum yang bersifat teknis yaitu pelayanan kefarmasian di apotek adalah
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor kompetensi tenaga farmasi itu sendiri,
73 Tahun 2016 tentang Standar terutama pengetahuan mengenai
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, peraturan perundang-undangan
dengan tujuan memberikan perlindungan kefarmasian yang berlaku, selain itu
keselamatan terhadap pasien. Untuk itu terbatasnya jumlah sumber daya
semua tenaga kefarmasian dalam manusia yang dimiliki apotek menjadi
melaksanakan tugas profesinya harus hambatan dalam penerapan standar
mengacu pada standar yang telah pelayanan kefarmasian di apotek.
ditetapkan ini. Keberlakuan norma Berdasar data yang dihimpun,
hukum dimaksud sebagai dasar pelayanan kefarmasian selama ini dinilai
pemikiran yang beranjak dari konsep masih berada di bawah standar, peran
negara hukum, sebagai suatu bentuk sentral apoteker di apotek seharusnya
negara yang ideal pada era modern dapat bertanggung jawab penuh dalam
sekarang ini. Titik tolak dari gerakan memberikan pelayanan kefarmasian
pemikiran mengenai negara berdasarkan kepada pasien, namun pada
atas hukum yakni, bahwa semua kenyataannya pelaksanaan standar
aktivitas kenegaraan hendaknya pelayanan kefarmasian belum dilakukan
didasarkan pada hukum. secara maksimal, bahkan banyak pula
Pelayanan kefarmasian yang Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang
wajib dilaksanakan oleh Apoteker tidak berada di apotek pada saat jam
menurut Peraturan Menteri Kesehatan buka layanan apotek.
RI Nomor 73 Tahun 2016 yang Deskripsi realitas sosial tersebut
berkaitan langsung dengan keselamatan memberikan pertanyaan penelitian yang
pasien meliputi: paling mendasar bagaimanakah
1) Pengkajian Resep; implementasi standar pelayanan
2) Dispensing; kefarmasian di apotek untuk
3) Pelayanan Informasi Obat (PIO); perlindungan keselamatan pasien, dan
4) Konseling; bagaimana budaya hukum Apoteker
5) Pelayanan Kefarmasian di rumah dalam pendekatan standar pelayanan
(home pharmacy care); kefarmasian di apotek untuk
6) Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan perlindungan keselamatan pasien.
7) Monitoring Efek Samping Obat
(MESO). 2. Metode Penelitian
Hasil pengamatan yang telah Pendekatan yang digunakan
dilakukan didapat gambaran nyata dalam penelitian ini adalah socio-legal
tentang pelayanan kefarmasian di research, however, the interest
apotek, pelayanan kefarmasian hanya originally shown by the forerunners of
terfokus pada pelaksanaan transaksi jual sociology and anthropology, such as
beli obat, aspek-aspek penting yang Weber; Durkheim and Malinowski to
diatur dalam standar pelayanan name a few, in studying law, legal
kefarmasian diabaikan. Salah satunya behaviour and legal institutions was not
adalah Pelayanan Informasi Obat (PIO), sustained by modern sociology.
kegiatan yang dilakukan hanya sebatas Penelitian sejenis ini diklasifikasikan
pada informasi seputar transaksi jual beli dalam penelitian kasus (case study) atau
obat. Padahal hakikatnya PIO penelitian lapangan (field study), dengan
merupakan pelayanan informasi yang titik berat untuk learning from the
menyeluruh terkait obat, meliputi aturan people mempelajari secara intensif dan

2
mengkaji kondisi social setting dan membutuhkan waktu yang cukup lama,
interaksi sosial yang dibangun pada sementara apoteker dihadapkan pada
kondisi pada titik saat ini, lebih bersifat banyaknya resep yang masuk, sementara
natural (alami)- natural setting dari sumber daya manusia yang dimilki
individu, kelompok-kelompok sosial, apotek terbatas.
institusi sosial atau komunitas Kajian farmasetik dalam hal
masyarakat tertentu. bentuk sediaan obat, potensi maupun
stabilitas obat sangat penting dilakukan
3. Temuan Penelitian dan karena suatu bentuk sediaan obat
Pembahasan Masalah memiliki cara atau teknik penggunaan
Pelaksanaan standar pelayanan yang khusus, potensi dan juga stabilitas
kefarmasian di apotek untuk yang berbeda. Sehingga dengan adanya
perlindungan keselamatan pasien terdiri pengecekan ini diharapkan dapat
dari pengkajian resep; dispensing; meminimalisasi efek samping yang tidak
Pelayanan Informasi Obat (PIO); diinginkan. Hanya saja dari hasil
konseling; pelayanan kefarmasian di penelitian diperoleh gambaran bahwa
rumah (home pharmacy care); apoteker sama sekali tidak melakukan
Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan kajian farmasetik terhadap suatu resep.
Monitoring Efek Samping Obat Mereka beralasan bahwa obat yang
(MESO). ditulis dokter sudah pasti benar dalam
Pada kajian administratif hal pemilihan bentuk, potensi maupun
skrining resep kegiatan yang harus stabilitas obat. Selain itu menyingkat
dilaksanakan adalah pengecekan nama waktu pengerjaan resep menjadi alasan
dokter, SIP, alamat dan nomor telepon tidak dilakukannya kajian farmasetik.
dokter, paraf dokter, nama dan umur Hal lain yang perlu dilakukan
pasien, dosis dan jumlah obat, bentuk dalam pengecekan resep adalah
sediaan obat, potensi obat, stabilitas pertimbangan klinis. Dari hasil
obat, cara dan lama pemberian obat, penelitian diperoleh data bahwa tidak
efek samping obat dan interaksi obat. semua kegiatan dalam hal pertimbangan
Berdasarkan hasil pengamatan klinis dilakukan. Apoteker hanya
dan wawancara, hampir semua apoteker melakukan kajian atau pertimbangan
tidak melakukan pengecekan nama pada bagian indikasi, dosis, aturan dan
dokter, SIP, alamat dan nomor telepon cara penggunaan obat. Bagian lain yang
dokter. Para apoteker ini berasumsi tidak kalah pentingnya diabaikan oleh
bahwa keberadaan nama dokter, SIP, apoteker. Mereka beralasan jika harus
alamat dan nomot telepon dokter pada dilakukan pengecekan pada semua
resep sudah pasti benar sehingga tidak bagian waktu pengerjaan satu resep akan
perlu dilakukan pengecekan dalam hal membutuhkan waktu yang cukup lama.
tersebut. Padahal hakikatnya Dalam ketentuan hukum
pengecekan tersebut wajib dilakukan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
untuk menghindari kemungkinan 73 Tahun 2016 tentang Standar
pemalsuan resep. Kefarmasian di Apotek, diatur bahwa
Hal lain yang juga diabaikan kegiatan dispensing terdiri dari
oleh apoteker adalah pengecekan paraf penyiapan, penyerahan dan informasi.
dokter. Keabsahan suatu resep dapat Pada bagian penyiapan dan penyerahan
dilihat dengan adanya paraf dari dokter obat semua apoteker telah melaksanakan
penulis resep, hal tersebut dikarenakan semua bagian sebagaimana yang
dokter yang memegang tanggung jawab tercantum dalam Permenkes Nomor 73
penuh atas segala sesuatu yang Tahun 2016.
dituliskan pada resep tersebut. Para Dari hasil penelitian, kegiatan
apoteker beralasan jika harus mengecek Pelayanan Informasi Obat (PIO) belum
satu per satu bagian kelengkapan resep, berjalan maksimal, kegiatan lebih
pengerjaan satu resep akan terfokus pada transaksi jual beli obat.

3
Informasi penting mengenai dosis, beralasan bahwa fasilitas konseling
bentuk sediaan, formulasi khusus, rute seperti ruang khusus, buku-buku
dan metoda pemberian, farmakokinetik, maupun kartu catatan pengobatan
farmakologi, terapeutik dan alternatif, (medication record) belum sepenuhnya
efikasi, keamanan penggunaan pada ibu dimiliki oleh apotek.
hamil dan menyusui, efek samping serta Pelayanan kefarmasian di rumah
interaksi obat, diabaikan oleh apoteker. (home pharmacy care) ditujukan untuk
Para apoteker beralasan, jika harus pasien lansia dan pasien penyakit kronis.
melaksanakan kegiatan Pelayanan Kegiatan pelayanan kefarmasian di
Informasi Obat (PIO), kegiatan lain rumah sama sekali belum dilaksanakan
yang berhubungan dengan pelayanan oleh apotek yang menjadi objek
resep akan terhambat. Dalam penelitian. Lagi-lagi faktor biaya
Peraturan Menteri Kesehatan menjadi kendala dalam pelaksanaan
RI Nomor 73 Tahun 2016 tentang kegiatan pelayanan kefarmasian di
Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah.
Apotek diatur tentang kegiatan Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pelayanan Informasi obat terdapat juga ditujukan kepada pasien penyakit
kegiatan promosi dan edukasi. Terdapat kardiovaskular, penyakit diabetes,
beberapa kegiatan dalam promosi dan penyakit TBC, dan penyakit asma.
edukasi, di antaranya adalah pemberian Monitoring dapat dilakukan melalui
materi dan kegiatan khusus untuk telepon, hal ini sangat berguna untuk
penyuluhan kesehatan pasien, kegiatan pasien dengan penyakit tertentu seperti
penyediaan brosur/leaflet, kegiatan kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan
promosi kesehatan serta ketersediaan penyakit kronis lannya. Dalam
majalah atau informasi kesehatan di penelitian ini, pelaksanaan kegiatan
apotek. Selain itu, menurut Peraturan Pemantauan Terapi Obat PTO belum
Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun berjalan optimal disebabkan terbatasnya
2016 menjelaskan bahwa apoteker harus waktu apoteker untuk melakukan
ikut membantu diseminasi informasi, kegiatan tersebut.
antara lain dengan penyebaran leaflet/ Monitoring Efek Samping Obat
brosur, poster, penyuluhan dan lain- (MESO) merupakan kegiatan
lainnya. pemantauan setiap respon terhadap Obat
Berdasarkan hasil pengamatan yang merugikan atau tidak diharapkan
dan wawancara, kegiatan promosi dan yang terjadi pada dosis normal yang
edukasi belum dapat berjalan secara digunakan pada manusia untuk tujuan
optimal, hal ini disebabkan karena tidak profilaksis, diagnosis dan terapi atau
adanya alokasi biaya yang disediakan memodifikasi fungsi fisiologis. Dari
apotek untuk kegiatan promosi dan hasil penelitian, kegiatan Monitoring
edukasi. Kendala keuangan ini cukup Efek Samping Obat (MESO) belum
sulit diatasi mengingat sebagaian besar berjalan maksimal, kegiatan ini
apotek bukan milik pribadi apoteker terkendala oleh pengetahuan apoteker
melainkan bekerja sama dengan Pemilik dalam megindentifikasi resiko efek
Sarana Apotek (PSA), sehingga apoteker samping obat terhadap pasien.
tidak memiliki kewenangan penuh Hasil temuan yang berbeda
dalam hal pengaturan keuangan. didapat setelah melakukan penelitian
Kegiatan konseling utamanya dan wawancara dengan salah satu
ditujukan kepada pasien dengan kondisi Apoteker senior di Kabupaten Brebes,
khusus, diantaranya pasien dengan diperoleh data bahwa pada apotek yang
penyakit kardiovaskular, penyakit dikelola telah berusaha menerapkan
diabetes, penyakit TBC, penyakit astma, standar pelayanan kefarmasian
konseling tentang obat KB. Kegiatan walaupun belum maksimal. Langkah
konseling ini sudah dilaksanakan yang diambil adalah dengan menambah
walaupun belum maksimal. Mereka apoteker pendamping sebanyak 2 (dua)

4
orang dan tenaga teknis kefarmasian tersebut diabaikan Apoteker dalam
sebanyak 3 (tiga) orang, sehingga memberikan pelayanan kefarmasian
masing-masing apoteker dapat bekerja kepada pasien. Faktor terbatasnya
di pos pelayanan masing-masing. jumlah SDM dan faktor ekonomi
Jumlah SDM yang ada saat ini dirasa menjadi alasan tidak dilaksanakan
masih kurang karena apotek juga harus standar pelayanan kefarmasian. Faktor
melaksanakan pelayanan kefarmasian di ekonomi dilatarbelakangi karena
rumah, pemantauan terapi obat dan sebagian besar apotek adalah milik PSA,
monitoring efek samping obat. Kendala apoteker lebih banyak berperan sebagai
yang dihadapi dalam pelaksanaan karyawan bukan sebagai mitra kerja
pelayanan kefarmasian di rumah adalah sehingga apoteker tidak memiliki
terkait anggaran, karena dalam kewenangan dalam menentukan arah
pelaksanaan pelayanan kefarmasian di kebijakan apotek.
rumah, apoteker harus pro aktif Selain faktor Pemilik Sarana
mengunjungi rumah pasien satu demi Apotek (PSA), faktor ketidaktahuan dan
satu untuk memantau keserhasilan terapi kurangnya pemahaman tentang
serta melakukan monitoring terhadap Permenkes No.73 Tahun 2016 menjadi
kemungkinanan adanya efek samping faktor tidak dilaksanakannya standar
obat. Selama ini, jasa konsultasi pelayanan kefarmasian. Kedua faktor ini
apoteker tidak pernah diperhitungkan, mempengaruhi sikap dan pola perilaku
pasien membayar kepada apoteker apoteker dalam mematuhi hukum,
hanya jika membeli obat. Ini berbeda kondisi ini menciptakan budaya hukum
dengan profesi dokter, masyarakat akan apoteker yang tidak konstruktif.
bersedia membayar berapapun biaya Komponen dari persoalan kesadaran
konsulatasi kepada dokter. hukum terkait erat dengan elemen
Berdasarkan temuan penelitian, budaya hukumnya yang dapat dimaknai
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dengan kategori nilai-nilai, pandangan-
pelayanan kefarmasian oleh apoteker di pandangan serta sikap-sikap yang
apotek yaitu motivasi apoteker dan mempengaruhi bekerjanya hukum.
status kepemilikan apotek. Berikut pandangan dan
Motivasi apoteker merupakan persepsi dari apoteker mengenai
alasan yang menjadikan dorongan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
apoteker untuk melaksanakan standar 73 Tahun 2016 yang diperoleh dari
pelayanan kefarmasian di apotek. Dan temuan penelitian:
kepemilikan apotek merupakan status a. Setuju, untuk menjamin
kepemilikan dari sarana dan prasarana profesionalitas apoteker dalam
yang ada di apotek. Apoteker yang bekerja.
memiliki sebagian atau seluruh saham di b. Setuju, untuk menjamin
apotek cenderung memiliki kualitas keselamatan pasien.
pelayanan kefarmasian lebih baik c. Sangat setuju, sebagai bentuk
dibandingkan dengan apotek yang profesionalisme apoteker dan untuk
seluruhnya dimiliki olek pemilik sarana menjamin keselamatan pasien.
apotek (PSA). d. Sangat setuju, untuk menjamin
Pelayanan kefarmasian di keselamatan pasien.
apotek tidak terlepas dari adanya Berikut sikap/perilaku hukum apoteker
regulasi yang setidaknya memberikan dalam pelaksanaan Permenkes RI
kepastian hukum akan adanya standar Nomor 73 Tahun 2016 :
pelayanan kefarmasian yang dapat a. Ada upaya untuk melaksanakan
menjamin keselamatan pasien. Regulasi walaupun belum berjalan
mengenai pelayanan kefarmasian di maksimal.
apotek diatur dalam Permenkes Nomor b. Berusaha diterapkan walaupun
73 Tahun 2016. Di lapangan ditemukan belum semuanya bisa.
adanya kecenderungan bahwa ketentuan

5
c. Belum secara optimal berjalan, tapi seseorang, internalisasi nilai hanya akan
sedang berusaha untuk didapat jika seseorang memhami isi
menerapkan. yang dikandung oleh sutau peraturan.
d. Kami sudah mencoba. Pelaksanaan Permenkes RI Nomor 73
e. Kami sudah mencoba menerapkan Tahun 2016 tentang standar pelayanan
standar pelayanan kefarmasian di kefarmasian di apotek yang belum
apotek. Hanya saja pada kegiatan sepenuhnya dilaksanakan oleh apoteker
home pharmacy care kami belum menunjukkan bahwa pemahaman
dapat melaksanakannya karena terhadap peraturan tersebut masih
terdapat beberapa kendala di rendah. Tergambar jelas bahwa budaya
lapangan. hukum apoteker dapat diketahui dengan
Berdasarkan temuan penelitian responnya terhadap peraturan tersebut.
di atas terhadap pelaksanaan standar Ketidakpatuhan apoteker
pelayanan kefarmasian, dapat dilihat dalam melaksanakan Permenkes RI
sikap apoteker cenderung apatis, banyak Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar
ketentuan dalam standar pelayanan Pelayanan Kefarmasian di Apotek
kefarmasian yang tidak dilaksanakan, dilatarbelakangi oleh budaya hukum
sikap apatis ini didasari karena adanya yang belum melekat dalam pribadi
perbedaan orientasi antara apoteker masing-masing individu. Kepatuhan
dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA). terhadap hukum atau peraturan-
Hakikatnya apoteker ingin peraturan yang berlaku menyiratkan
melaksanakan apa yang tertuang dalam adanya kewibawaan hukum. Demikian
Permenkes RI Nomor 73 Tahun 2016, pula sebaliknya, bahwa melemahnya
hanya saja faktor ekonomi serta pola wibawa hukum disebabkan antara lain
hubungan kerja antara apoteker dengan oleh karena hukum tidak memperoleh
Pemilik Sarana Apotek (PSA) sebagai dukungan yang semestinya dari kaidah-
bawahan dan atasan memberikan kaidah sosial lainnya. Di samping itu
pengaruh yang cukup besar dalam juga dapat dikarenakan oleh timbulnya
penerapan peraturan ini. Pola hubungan ideologi atau nilai-nilai baru yang belum
kerja antara apoteker dengan Pemilik dimengerti oleh masyarakat.
Sarana Apotek (PSA) sebagai hubungan Dari temuan penelitian, dapat
patron-klien. dianalisis mengenai budaya hukum
Temuan penelitian-pun apoteker yang apatis terhadap
mengindikasikan bahwa apoteker di Permenkes RI Nomor 73 Tahun 2016,
Kabupaten Brebes pada dasarnya telah kondisi ini dilatarbelakangi oleh adanya
mengetahui adanya peraturan mengenai faktor ekonomi yang memberikan
standar pelayanan kefarmasian di pengaruh cukup kuat dalam bekerjanya
apotek, hanya saja dalam hukum. Harapan pemerintah dengan
pelaksanaannya ditemukan kendala- dikelurakannya permenkes ini adalah
kendala yang berasal dari dalam maupun supaya ada perlindungan terhadap
dari luar. Kendala dari dalam, adalah pasien dari pekerjaan kefarmasian yang
komitmen atau motivasi dari apotekaer tidak profesional. Bekerjanya hukum
itu sendiri, kendala dari luar adanya sangat bergantung kepada faktor budaya
intervensi dari pemilik sarana apotek. hukumnya sebagai sikap-sikap,
Secara intrinksik, seseorang pandangan-pandangan, persepsi-
mematuhi suatu peraturan karena adanya persepsi, serta nilai-nilai sosial.
proses internalisasi berdasarkan
kepercayaan terhadap nilai-nilai dari 4. Simpulan
yang bersangkutan. Adapun sebaliknya, Implementasi dari standar
seseorang akan cenderung apatis pelayanan kefarmasian di apotek belum
terhadap suatu peraturan karena nilai- berjalan maksimal, kondisi ini
nilai yang terkandung dalam peraturan dilatarbelakangi oleh beberapa alasan
belum terinternalisasi dalam diri hukum dan faktor sosial-ekonomi yaitu

6
pemahaman dan pengetahuan hukum Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
yang kurang, hal ini berdampak pada Jakarta.
lemahnya kesadaran hukum, terbatasnya [2] Republik Indonesia, Peraturan
jumlah SDM yang dimiliki apotek, Pemerintah No. 51 tahun 2009
faktor kepemilikan apotek dan faktor tentang Pekerjaan Kefarmasian,
ekonomi. Untuk apotek yang dimilki Jakarta
Pemilik Sarana Apotek (PSA),
pelaksanaan standar pelayanan Jurnal Terakreditasi Nasional &
kefarmasian cenderung belum berjalan. Internasional:
Hal ini berbeda dengan apotek yang [1]Artadi, Ibnu, “Dekonstruksi
dimiliki langsung oleh apoteker, Pemahaman Penyelesaian Sengketa
pelaksanaan standar pelayanan Bisnis (Ekonomi dan Keuangan)
kefarmasian jauh lebih baik dan hampir Beraspek Pidana melalui Prosedur
semua ketentuan yang tertuang dalam Perdamaian: Menuju Proses
Pasal 2 Permenkes RI Nomor 73 Tahun Peradilan Pidana Rekonsiliatif”,
2016 dapat dilaksanakan. Jurnal Hukum Responsif Fakultas
Budaya hukum apoteker dalam Hukum Universitas`Swadaya
pelaksanaan standar pelayanan Gunung Jati Cirebon, Vol.1, No.1
kefarmasian di apotek untuk Tahun 2011.
perlindungan keselamatan pasien adalah [2]Ismelina Farma Rahayu, Mella,
budaya hukum yang apatis. Hal tersebut “Keadilan Ekologis dalam Gugatan
disebabkan oleh kesadaran dan Class Action Tempat Pembuangan
kepatuhan hukum apoteker masih Akhir Leuwigajah (Kajian Putusan
kurang, selain itu faktor ekonomi Nomor 145/Pdt.G/ 2005/PN.Bdg)”,
memiliki peranan yang cukup besar Jurnal Yudisial, Volume-V/ No-01/
dalam mempengaruhi persepsi dan sikap April/ 2012, Jakarta.
mereka terhadap hukum, di samping itu [3]Kristiana,Yudi, “Ketika Hukum
pola hubungan kerja antara apoteker Tidak Lagi Otentik”, Jurnal Hukum
dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) Supremasi, Vol.IV, No.1 Oktober
yang tidak sejajar, apoteker lebih 2010- Maret 2011, Jakarta: Pusat
berperan sebagai karyawan bukan mitra Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum
kerja, sehingga apoteker tidak memiliki Universitas Sahid.
wewenang untuk menentukan arah [4]Sutrisno, Endang, “Implementasi
kebijakan apotek. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir
Berbasis Pengelolaan Wilayah
5. Daftar Pustaka Pesisir Secara Terpadu untuk
Kesejahteraan Nelayan (Studi di
Buku-Buku Perdesaan Nelayan Cangkol
[1]Banakar, Reza - Travers, Max Kelurahan Lemahwungkuk
(editor), Theory and Method in Kecamatan Lemahwungkuk Kota
Socio-Legal Research, Hart Cirebon)”, Jurnal Dinamika Hukum
Publishing Portland, USA, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
2005,page. 2. Soedirman Purwokerto, Vol.14, No.1
[2]Warassih, Esmi, 2014,Pranata Januari 2014.
Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, [5]. Sutrisno, Endang dan Fajarini,
Suryandaru Utama, Semarang. Hanari, “Legal Culture of
Pharmacist in the Perspective of
Peraturan Perundang-undangan Pharmaceutical Services Standard in
[1]Kementerian Kesehatan RI, 2016, Pharmacies”, Jurnal Dinamika
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. Hukum Fakultas Hukum Universitas
73 tahun 2016 tentang Standar Jenderal Soedirman, Purwokerto,
Volume 16, Nomor 2,2016,page.148

Anda mungkin juga menyukai