Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM PERNAFASAN DAN PENCERNAAN


(DEA62040)

SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK A2

ANGGOTA:

Annis Rahma Kusuma Wardani (185070500111025)


Arfa`atus Mardhatilah (195070500111025)
Atqillah Irbah Alfitri (185070500111008)
Dhelyna Deafta (195070500111007)
Elen Saga (195070507111001)
Fifi Farida Fajrin (195070507111017)
Genera Dinan Adlina (195070500111019)
Idzni Rachma Dina (195070501111033)
Kevin Awidarta (195070500111015)
Lussy Tri Octaviani (195070501111027)
M. Rafli Alfian Rahmansyah (195070500111035)
Nabila Hasna Khoirunnisa (195070500111033)
Salma Sabila (195070507111021)
Salsabilah Aida Fitri (195070501111023)
Surya Saputri (195070500111011)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2020/2021
DIARE NON – INFEKSI

1. DEFINISI

Diare adalah buang air besar yang tidak berbentuk atau dalam
konsistensi cair tidak berbentuk dengan frekuensi yang meningkat, umumnya
>3 kali per hari, atau dengan perkiraan volume tinja >200 gram per hari.
DIagnosis diare dapat ditentukan dengan durasi diare yang dialami pasien.
diare akut dengan durasi <2 minggu, diare persisten dengan durasi 2-4 minggu,
dan diare kronis dengan durasi >4 minggu. Diare kronik merupakan suatu
sindrom yang penyebab dan patogenesisnya multikompleks. Hal itu
dikarenakan banyaknya kemungkinan penyakit yang dapat mengakibatkan
diare kronik dan banyaknya pemeriksaan lebih terarah. (Wiryani & Wibawa,
2007).

Diare merupakan permasalahan umum dunia dengan insiden yang


tinggi baik di negara industri maupun negara berkembang. Penyakit diare
biasanya ringan dan sembuh dengan sendirinya, tetapi beberapa diantaranya
menjadi penyakit yang mengancam nyawa. Lebih dari 1 milyar penduduk di
seluruh dunia mengalami satu atau lebih diare akut per tahun. Sedangkan
statistik populasi untuk diare kronis belum pasti, kemungkinan berkaitan
dengan variasi definisi dan sistem pelaporan, tetapi frekuensinya pun cukup
tinggi.

2. EPIDEMIOLOGI

Diare kronik atau diare non infeksi merupakan suatu keadaan yang
sering dikeluhkan oleh pasien. Berbeda dari diare akut yang studi
epidemiologinya banyak dilaporkan, studi epidemiologi prevalensi diare
kronik sangatlah rendah yakni 3-5%. Data diare kronik di Indonesia masih
belum ada namun dari RISKESDAS Kemenkes Republik Indonesia tahun 2007
dikatakan prevalensi diare di Indonesia sekitar 9% dan merupakan penyebab
kematian terbanyak ke-13 pada semua umur. Data Studi di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo mengulas tentang 207 pasien diare dalam periode tahun 1999-
2000 terdapat 100 pasien (48,3%) diare disebabkan infeksi, 69 pasien (33,3%)
diare non infeksi dan 38 pasien (18,4%) diare dengan penyebab campuran (
Purbayu, 2015).

3. ETIOLOGI
Secara keseluruhan, penyakit non-infeksi merupakan penyebab dari
sebagian besar diare kronis (Abdullah & Firmansyah.,2013). Di negara
berkembang, 20% kasus diare akut dapat berkembang menjadi bentuk kronis.
Faktor yang paling signifikan untuk persistensi adalah perubahan epitel
mukosa usus halus dan defisiensi disakaridase. Kekurangan nutrisi sering
terjadi pada diare kronis. Namun, malnutrisi dengan sendirinya, merupakan
faktor penting yang menyebabkan persistensi. Gejala IBS (Irritable Bowel
Syndrome) kadang-kadang mungkin merupakan presentasi dari penyebab
medis lain dari diare kronis, termasuk intoleransi makanan non alergi dan
malabsorpsi asam empedu. Selain itu, ada juga malabsorbsi asam empedu.
Malabsorpsi asam empedu adalah kegagalan reabsorpsi enterohepatik dari
asam empedu di ileum terminal. Hal tersebut telah ditemukan pada hingga 35%
pasien dengan IBS dan kolitis mikroskopis, dan itu adalah alasan yang
mendasari diare pada penyakit ileum seperti penyakit Crohn. Diare yang biasa
terlihat setelah kolesistektomi dikaitkan dengan malabsorpsi asam empedu.
Penyakit seliaka (Celiac disease), dikenal juga sebagai sariawan celiac atau
enteropati sensitif gluten, biasanya menyebabkan diare lemak malabsorptif,
tetapi juga dapat menyebabkan diare osmotik melalui malabsorpsi asam
empedu (Burgers et al.,2020).

Berdasarkan mekanisme patofisiologi yang mendasari terjadinya diare


kronis, maka penyebab utama diare kronis adalah sebagai berikut.
a. Diare cair (watery diarrhea):
Diare osmotic dapat disebabkan karena osmotik laksatif, malabsorpsi
karbohidrat sedangkan diare sekretorik disebabkan karena sindrom kongenital,
misalnya congenital chloridorhea, toksin bacterial dan ileal malabsorpsi asam
empedu ileum. Inflammatory bowel disease (IBD) terdiri dari kolitis ulseratif,
dan penyakit Crohn's, kolitis mikroskopis, dan diverticulitis. Selain itu dapat
disebabkan karena vaskulitis, keracunan dan obat, penyalahgunaan laksatif
(stimulant laxative). Serta gangguan motilitas atau regulasi berupa diare post
vagotomy, post sympathectomy, diabetes autonomik neuropati, irritable bowel
syndrome.
Sementara itu, dapat juga terjadi akibat penyakit endokrin seperti
hipertiroidisme, Addison’s disease, gastrinoma, somatostatinoma, carsinoinoid
sindrom, mastositosis, feokromositoma atau akibat tumor lain, seperti
karsinoma kolon, limfoma, villous adenoma. Kemudian untuk diare sekretorik
idiopatik: diare sekretorik epidemic (Brained), idiopatik diare sekretorik
sporadik.
b. Diare inflamasi
Diare inflamasi dapat terjadi akibat berbagai hal seperti Inflammatory
bowel disease: colitis ulcerative, penyakit Chron’s, diverticulitis, ulcerative
jejunoileitis; penyakit infeksi: kolitis pseudomembranosa; infeksi bakteri
invasif seperti TBC, yersiniosis; infeksi viral ulceratif: cytomegalo, herpes
simplex; infeksi parasit invasive: amebiasis, strongiloides serta kolitis iskemik,
kolitis radiasi, keganasan (karsinoma kolon, limfoma).
c. Diare berlemak (fatty diarrhea)
Sindrom malabsorpsi dan penyakit mukosa (celiac sprue, whipple
disease) dapat menjadi faktor etiologi diare berlemak. Selain itu, terdapat
faktor lain seperti adanya sindrom usus pendek, pertumbuhan bakteri berlebih
di usus halus (SIBO), iskemik mesenteric ataupun akibat maldigesti seperti
insufisiensi eksokrin pankreas, konsentrasi asam empedu liminal inadequate.
(Wiryani & Wibawa, 2007)
4. PATOFISIOLOGI
Menurut Tanto dan Liwang (2006) dan Suraatmaja (2007), proses terjadinya
diare disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya :
1) Faktor infeksi
Proses ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang
masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam
usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah
permukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang
akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorpsi cairan dan
elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri akan menyebabkan
transpor aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang
kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.
2) Faktor malabsorpsi
Merupakan kegagalan dalam melakukan absorpsi yang
mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air
dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus
sehingga terjadilah diare.
3) Faktor makanan
Faktor ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap
dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang
mengakibatkan penurunan kesempatan untuk menyerap makan yang
kemudian menyebabkan diare.
4) Faktor psikologis
Faktor ini dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik
usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat
menyebabkan diare.

5. TERAPI NON FARMAKOLOGI


a. Makan dengan jumlah sedikit tapi sering, untuk menguatkan tubuh dan
mencegah kehilangan berat badan selama diare. (WHO, 2005)
b. Edukasi untuk menjaga kebersihan makanan seperti menyimpan makanan
matang dan peralatan bersih secara terpisah dari makanan mentah dan
peralatan yang berpotensi terkontaminasi serta melindungi makanan dari
kotoran binatang dan binatang seperti lalat. (WHO, 2005)
c. Menganjurkan untuk makan makanan seperti makanan tinggi protein daging
(sapi, kambing, ayam), ikan, telur karena dapat membantu proses
persembuhan serta kacang.
d. Menghindari makanan tinggi serat seperti sayuran dan buah-buahan.
e. Menghindari Produk-produk yang mengandung susu kurang lebih hingga 1
minggu setelah kondisi diare membaik.
f. Menghindari makanan tinggi lemak.
g. Menghindari penggunaan obat-obatan yang dapat memicu diare.
h. Menghindari makanan dan minuman berkafein.
i. Menghindari jajan sembarangan, lebih baik pasien diberitahu untuk
membawakan bekal sendiri dari rumah.
j. Masak makanan hingga benar-benar matang.
k. Mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas yang berhubungan
dengan makanan ataupun penggunaan air.
l. Minum air yang banyak untuk mencegah dehidrasi dan konsumsi makanan
yg mengandung natrium (sodium) dan kalium (potasium) misalnya seperti
pisang, kaldu, kentang rebus sehingga dapat mengontrol keseimbangan
elektrolit dalam tubuh. Diare menyebabkan hilangnya air dan elektrolit
terutama Na dan K dalam jumlah besar sehingga mengakibatkan dehidrasi,
gangguan keseimbangan elektrolit, dan gangguan keseimbangan asam basa.

6. TERAPI FARMAKOLOGI
Obat yang digunakan untuk terapi pada diare dikelompokkan dalam
beberapa kategori yaitu antimotilitas, adsorben, senyawa antisecretory,
antibiotik, enzim, dan mikroflora usus. Obat yang sering direkomendasikan
untuk terapi pada diare akut dan kronis yaitu loperamide. Diare yang
berlangsung selama 48 jam setelah pemberian loperamide memerlukan
perhatian medis. Obat yang berada dalam kategori adsorben seperti kaolin-
pektin, digunakan untuk meredakan gejala buang air besar secara terus-
menerus. Adsorben tidak bekerja secara spesifik, obat ini akan menyerap
nutrisi, racun, obat-obatan, dan cairan pencernaan. Pemberian adsorben
bersamaan dengan obat lain dapat mengurangi ketersediaan hayati. Bismuth
subsalicylate sering digunakan untuk pengobatan atau pencegahan diare dan
memiliki efek antisecretory, antiinflamasi, dan antibakteri. Akan tetapi, obat
ini mengandung banyak komponen yang mungkin beracun jika diberikan
secara berlebih untuk mencegah atau mengobati diare. Octreotide, yaitu analog
oktapeptida sintetik dari somatostatin endogen, adalah obat yang diresepkan
untuk pengobatan gejala tumor karsinoid dan peptida lainnya untuk
mengeluarkan tumor. Kisaran dosis untuk mengatasi diare terkait dengan
karsinoid tumor adalah 100-600 mcg setiap hari dalam dua sampai empat dosis
terbagi, secara subkutan, untuk 2 minggu. Octreotide dikaitkan dengan efek
samping seperti cholelithiasis, mual, diare, dan sakit perut (DiPiro, 2015).

7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI

DATA PASIEN

Tn KL berusia 56 tahun dirawat di rumah sakit dengan keluhan utama nyeri


abdomen bagian atas dan perut terasa membengkak setelah makan selama
hampir 4 bulan. Pasien didiagnosa mengalami gastric antrum adenocarcinoma
melalui biopsi endoskopi dan menjalani operasi open distal gastrectomy. Tiga
minggu setelah operasi, pasien menerima kemoterapi (5-flurouracil). Pada hari
ke-21 setelah kemoterapi, pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen dan diare
parah (tidak berdarah, berwarna kuning gelap, berair, 3 kali sehari) sehingga
dirawat kembali di rumah sakit. Bowel sound menunjukkan hyperactive (12 x
/min). Pasien mengaku sering mengkonsumsi Mylanta dan omeprazole untuk
meredakan rasa mual dan muntah yang dialami pasien. Setelah diobservasi di
rumah sakit, dokter memutuskan untuk menghentikan kemoterapinya dan
memberikan terapi suportif. Walaupun demikian kondisi pasien tidak
mengalami perbaikan dan kondisi pasien menurun. Hasil kultur menunjukkan
Clostridium difficile negative.

1. Jelaskan permasalahan terapi yang terjadi pada pasien ini?


(ASSESSMENT)

a. Kemoterapi (5-flurouracil)

5FU - Leucovorin (5FU) adalah regimen kemoterapi


adjuvant lini pertama yang saat ini direkomendasikan pada
kanker kolorektal. Namun obat - obatan sitostatika seperti 5FU
bersifat toksik dan memiliki efek samping merugikan, salah
satunya yaitu imunosupressi. Cassidi dkk. melaporkan efek
toksik neutropenia grade 3 sampai 4 yang sering terjadi
akibat 5 FU serta penurunan fungsi aktivitas dari
sel Natural Killer (NK) yang signifikan.
b. Penggunaan Mylanta

Penggunaan mylanta pada Tn. KL tidak tepat dikarenakan


salah satu efek samping dari kemoterapi yang sedang dijalani
yaitu diare. Pada mylanta terdapat magnesium hidroksida yang
bekerja dengan meningkatkan gerakan peristaltik dan retensi
osmotik pada kolon sehingga menyebabkan volume feses
meningkat (feses menjadi encer) dan menyebabkan diare.
Dengan demikian penggunaan mylanta dapat memperparah
diare pasien (Lacy, 2009).

2. Jelaskan target terapi untuk pasien ini? (PLAN)

1) Total daily stool volume (volume feses perhari) yang berkurang


serta memadat dan tidak berair
2) Mencegah dehidrasi berlebih akibat diare (keseimbangan cairan
elektrolit dalam tubuh)
3) Nyeri abdominal berkurang/hilang

3. Jelaskan terapi non-farmakologi yang dapat diberikan untuk menunjang


keberhasilan terapi diare pada pasien ini? (PLAN)

 Mencegah dehidrasi dengan minum air yang banyak dan konsumsi


makanan yang mengandung natrium (sodium) dan kaloim
(potasium). Minum air yang cukup untuk mencegah dehidrasi dan
konsumsi makanan yang mengandung natrium dan kalium misalnya
seperti pisang, kaldu, kentang rebus sehingga dapat mengontrol
keseimbangan elektrolit dalam tubuh. Diare menyebabkan
hilangnya air dan elektrolit terutama Na dan K dalam jumlah besar
sehingga mengakibatkan dehidrasi, gangguan keseimbangan
elektrolit, dan gangguan keseimbangan asam basa (Salwan, 2016).
 Makanan yang dihindari
a. Makanan yang “mengandung gas” misalnya minuman
bersoda dan beberapa sayuran seperti brokoli, kembang kol,
buncis, sayuran berdaun hijau, paprika, buncis, jagung, dan
kubis
b. Makanan yang sulit dicerna seperti buah (nanas, anggur, ceri,
dan buah ara), biji-bijian, dan kacang-kacangan
 Makanan yang dianjurkan
a. Sayuran, seperti wortel, kacang hijau, jamur, asparagus, dan
zucchini.
b. Pisang, nasi, applesauce (saus apel atau apel yang
dihaluskan), dan toast (roti panggang), kentang rebus, roti,
sereal, oatmeal, biskuit dan gandum
c. Makanan tinggi protein daging (sapi, kambing, ayam
panggang tanpa kulit dan lemak), ikan, telur → membantu
proses persembuhan
(Kayrus & Latifah, 2019)

4. Buatlah regimen terapi farmakologi untuk mengatasi diare pada pasien


ini dan carilah guideline terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi
diare pasien! (PLAN)

1) Loperamid
- Indikasi : Terapi untuk diare kronik (Aberg et al, 2009).
- Mekanisme Kerja : Loperamide HCl merupakan obat
antidiare yang bekerja dengan cara bereaksi langsung pada
otot-otot usus, menghambat peristaltis dan memperpanjang
waktu transit, mempengaruhi perpindahan air dan elektrolit
melalui mukosa usus, mengurangi volume fecal, menaikkan
viskositas dan mencegah kehilangan air dan elektrolit (Tjay
dan Rahardja, 2007).
- Dosis: Awalnya 4 mg, diikuti dengan 2 mg sampai 5 hari,
dosis harus diminum setelah setiap buang air besar; dosis
biasa 6-8 mg sehari; maksimal 16 mg per hari (BNF, 2015)
- Alasan pemilihan terapi : Loperamid adalah opioid yang
paling tepat untuk efek lokal pada usus karena tidak
menembus ke dalam otak sentral dan tidak mungkin
menyebabkan ketergantungan (Neal, 2005).

5. Jelaskan gejala klinis dan data lab yang perlu diperhatikan untuk
mengevaluasi efektivitas dan efek samping terapi diare pada pasien!
PLAN

Gejala klinis yang dialami pasien :

● Nyeri pada abdomen


● Diare parah
● Mual dan Muntah
● Bowel sound (bising usus) hyperreactive
● Gastric antrum adenocarcinoma (gastric cancer) melalui biopsy
endoskopi

1) Loperamid
- METO : Berkurangnya volume feses harian, meningkatnya
viskositas dan kepadatan feses
- MESO : Karena memiliki efek samping kram abdomen,
pusing, mengantuk, ileus paralitik, perut kembung maka hal
ini perlu diwaspadai mengingat pasien didiagnosa
mengalami gastric antrum adenocarcinoma serta efek
samping loperamid yang dapat menyebabkan takikardi
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan denyut nadi (PIONas
dan MIMS 2020).

8.1 SUBJEKTIF

Subjektif

Nyeri pada Pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen yang kemungkinan


abdomen dikarenakan adanya penekanan yang memperlambat atau
menghentikan gerakan usus. Penghentian gerakan usus ini
disebabkan karena pasien menerima kemoterapi 5-
fluorouracil. Aktivitas penghambatan terhadap timidilat
sintetase dari 5-fluorouracil tidak bekerja selektif pada sel-sel
tumor saja, tetapi juga pada sel-sel normal yang berproliferasi
cepat seperti sel-sel epitel mukosa traktus gastrointestinal
(GIT) dan selanjutnya menyebabkan terjadinya mukositis
(perlukaan barier mukosa) pada GIT. Pada tingkat seluler,
mukositis akibat pemberian 5-FU disebabkan adanya
kerusakan DNA dan ditandai dengan terjadinya apoptosis,
inflamasi, hingga ulserasi. (Tyasari dkk, 2016)) Ulserasi
merupakan penurunan integritas mukosa menyebabkan nyeri.
(Putri,2010) Hal ini menyebabkan kerusakan mukosa
intestinum yang ditandai dengan pemendekan vili dan
berkurangnya kedalaman kript. Kerusakan vili dalam usus
halus menyebabkan penyerapan cairan yang tidak tepat dan
meningkatkan sekresi pada dinding usus. Ada penekanan
yang memperlambat atau menghentikan gerakan usus dan
menyebakan pasien akan mengalami nyeri disekitar
abdomennya (Fathonah, 2018).

Diare parah Pasien menerima kemoterapi (5-flurouracil) dengan efek


samping berupa nyeri mulut, diare, dan dampak terhadap
sumsum tulang yang diantaranya mengakibatkan leukopeni,
trombositopeni serta kerentanan terhadap infeksi. Terapi ini
dapat menyebabkan mukositis intestinum. Mukositis
intestinum yang paling parah terjadi di ileum namun
manifestasi mukositis instestinum yang berupa mual, muntah,
dan diare menyebabkan masukan nutrisi pada pasien
kemoterapi menjadi terganggu, sehingga dapat memperburuk
kondisi pasien (Tyasari dkk, 2016).

Mual dan Pasien menerima kemoterapi (5-flurouracil) dengan efek


muntah samping berupa gejala gastrointestinal berupa mual,
muntah, stomatitis, diare, dan konstipasi (Shinta & Surarso,
2016) dengan mekanisme kerja kemoterapinya menghambat
enzim timidilat sintase menghambat sintesis DNA & RNA
menghambat pertumbuhan sel kanker (Sari dkk, 2019).

8.2 OBJEKTIF

Objektif

Bowel sound
Bowel sound hyperreactive (bising usus) yang dapat
(bising usus)
didengar dengan stetoskop (auskultasi) merupakan bunyi
hyperreactive
yang dihasilkan oleh pergerakan gas dan cairan selama gerak
peristaltik (Elhardello & Macfie, 2018). Pada pasien
menunjukkan bowel sound yang hipereactive dengan
frekuensi 12x/menit. Hyperactive bowel sound terdengar
sebagai suara yang keras dan gemericik (Chanu & Raj,
2018). Hyperactive bowel sound menunjukkan adanya
peningkatan suara yang mengindikasikan peningkatan
motilitas gastrointestinal. Penyebab potensialnya bisa terjadi
yaitu pada keadaan gastroenteritis, diare, penyakit radang
usus, penggunaan pencahar, perdarahan gastrointestinal dan
obstruksi usus. (Baid,2009)

Gastric
Tindakan operasi open distal gastrectomy karena diagnosa
antrum
gastric antrum adenocarcinoma (gastric cancer) melalui
adenocarcino
biopsy endoskopi memiliki resiko yaitu pasien dapat
ma (gastric
mengalami malnutrisi yang disebabkan karena kurangnya
cancer)
asupan makanan, energi, dan protein sehingga
melalui
mempengaruhi status gizi pasien. Riwayat operasi
biopsy
sebelumnya dapat menyebabkan diare karena adanya
endoskopi
penurunan jumlah permukaan absorpsi, peningkatan
malabsorpsi karbohidrat dan lemak, penurunan transit time,
malabsorpsi asam empedu. Pertumbuhan bakteri berlebih
juga dapat terjadi pada situasi ini, terutama pada operasi
bypass seperti pada operasi lambung. (Wiryani & Wibawa,
2007)

8.3 ASSESMENT

Assesment

Kemoterapi 5FU - Leucovorin (5FU) adalah regimen kemoterapi


(5-flurouracil) adjuvant lini pertama yang saat ini direkomendasikan pada
kanker kolorektal. Namun obat - obatan sitostatika seperti
5FU bersifat toksik dan memiliki efek samping
merugikan, salah satunya yaitu imunosupressi. Cassidi dkk.
melaporkan efek toksik neutropenia grade 3 - 4 yang sering
terjadi akibat 5 FU serta penurunan fungsi aktivitas dari
sel Natural Killer (NK) yang signifikan. Pasien dengan
kemoterapi dapat terpapar infeksi parasit yang lebih tinggi,
obat kemoterapi yang masuk ke dalam tubuh, dapat
menyebabkan luka pada dinding-dinding usus, sehingga
menimbulkan gejala diare. (Ballani dkk, 2012)

Penggunaan Pasien sering mengkonsumsi mylanta untuk meredakan rasa


mylanta mual dan muntah yang dialami pasien. Namun penggunaan
mylanta tidak tepat karena ada efek samping dari kemoterapi
yaitu diare. Pada mylanta terdapat kandungan magnesium
hidroksida dapat meningkatkan mortilitas usus (Indijah &
Woro, 2016). Peningkatan motilitas usus menyebabkan
pergerakan isi usus yang cepat ke distal. Hal ini
menyebabkan absorpsi cairan dan nutrisi dari lumen usus
berkurang dan jumlah cairan dalam lumen usus berlebihan
sehingga konsistensi tinja menjadi lebih cair. Dengan
demikian dapat memperparah diare pasien. (Tjokroprawiro,
2015)

8.4 PLAN

Target Terapi 1. Total daily stool volume (volume feses perhari) yang
berkurang serta memadat dan tidak berair

2. Mencegah dehidrasi berlebih akibat diare


(keseimbangan cairan elektrolit dalam tubuh)

3. Nyeri abdominal berkurang/hilang

Makanan yang dihindari


Terapi Non
a. Makanan yang “mengandung gas” misalnya
Farmakologi
minuman bersoda dan beberapa sayuran seperti
brokoli, kembang kol, buncis, sayuran berdaun hijau,
paprika, buncis, jagung, dan kubis
b. Makanan yang sulit dicerna seperti buah (nanas,
anggur, ceri, dan buah ara), biji-bijian, dan kacang-
kacangan
Makanan yang dianjurkan
a. Sayuran → wortel, kacang hijau, jamur, asparagus,
dan zucchini.
b. Pisang, nasi, applesauce (saus apel atau apel yang
dihaluskan), dan toast (roti panggang), kentang rebus,
roti, sereal, oatmeal, biskuit dan gandum
c. Makanan tinggi protein daging (sapi, kambing, ayam
panggang tanpa kulit dan lemak), ikan, telur →
membantu proses persembuhan
Pasien juga dapat tirah baring, mengatur pertumbuhan dan
pemeliharaan tubuh, mengandung serat yang tinggi. (Kayrus
& Latifah, 2019) serta mencegah dehidrasi dengan minum air
yang banyak dan konsumsi makanan yang mengandung
natrium (sodium) dan kaloim (potasium). (Salman, 2016)

Loperamid → Terapi diare lini pertama pasien kemoterapi.


Terapi
- Indikasi : Terapi untuk diare kronik (Aberg et al,
Farmakologi
2009)
- Mekanisme Kerja : Bekerja langsung pada otot usus
melingkar dan longitudinal, melalui reseptor opioid,
untuk menghambat gerak peristaltik dan
memperpanjang waktu transit; mengurangi volume
tinja, meningkatkan viskositas, dan mengurangi
kehilangan cairan dan elektrolit; menunjukkan
aktivitas antisecretory (Aberg et al, 2009)
- Dosis: Awalnya 4 mg, diikuti dengan 2 mg sampai 5
hari, dosis harus diminum setelah setiap buang air
besar; dosis biasa 6-8 mg sehari; maksimal 16 mg per
hari (BNF, 2015)
- Alasan pemilihan terapi : Loperamid adalah opioid
yang paling tepat untuk efek lokal pada usus karena
tidak menembus ke dalam otak sentral dan tidak
mungkin menyebabkan ketergantungan (Neal, 2005).

Ondansetron
- Indikasi : Antiemetik
- Mekanisme kerja : Ondansetron bekerja anti-emetis
kuat dengan melawan refleks muntah dari usus halus
dan stimulasi CTZ, yang keduanya diakibatkan oleh
serotonin. Selektif terhadap reseptor antagonis 5-
Hidroksi-Triptamin (5-HTM) merupakan reseptor
yang berperan dalam mekanisme terjadinya mual dan
muntah di traktur gastrointestinal dan area postrema
otak
- Dosis : 4-8 mg oral satu kali sehari (Lee, 2015)
- Alasan pemilihan terapi : Antiemetik golongan
antagonis reseptor 5-HT3 dianggap sebagai
antiemetik paling efektif dalam pencegahan mual
muntah akibat kemoterapi (Flood, 2015).
Ondansetron, telah digunakan sebagai antiemetik
untuk mengendalikan dan pasca operasi mual dan
muntah yang diinduksi oleh kemoterapi. Ondansetron
memiliki catatan keamanan yang panjang dan sangat
baik (Lee, 2015).

Evaluasi Loperamid
efektivitas - METO : Berkurangnya total daily stool volume
dan efek (volume feses perhari) serta memadat dan tidak berair
samping - MESO : Pusing, mengantuk, ileus paralitik, perut
terapi kembung dan kram abdomen (BNF, 2015)
Ondansetron
- METO : Gejala mual dan muntah yang dialami pasien
berkurang
- MESO : Sakit kepala, malaise, konstipasi (Aberg et
al, 2009).
8.5 DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M., & Firmansyah MA. 2013. Clinical approach and management of
chronic diarrhea. Acta Med Indones, 45(2), 157-65.

Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug
Information Handbook, 17th Edition, American Pharmacist Association

Baid, H. (2009). A critical review of auscultating bowel sounds. British Journal of


Nursing, 18(18), 1125–1129.

Ballani, et al. 2012. Intestinal Protozoa in Immunosuppression: A Medical Hassle.


Journal of Bacteriology and Parasitology. 3(3): 1-5

Burgers K, Lindberg B, & Bevis ZJ. 2020. Chronic Diarrhea in Adults: Evaluation
and Differential Diagnosis. American family physician, 101(8), 472-480.

BNF. 2015. British National Formulary 70 ed. London : Pharmaceutical Press

Chanu, O.R. and Raj, V.K., 2018. ACQUISITION AND CHARACTERIZATION


OF BOWEL SOUNDS USING LabVIEW SOFTWARE. Biomedical
Engineering: Applications, Basis and Communications, 30(02), p.1850006.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. 2015.
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach Ninth Edition. Mc Graw
Hill Medical. New York.

Elhardello, O. and Macfie, J., 2018. Bowel Sounds: Is it Time for Surgeons to Hang-
up their Stethoscopes?. World Journal of Surgery and Surgical Research-
General Surgery, 1.

Fathonah, R. 2018. Identifikasi Efek Samping Kemoterapi Pada Penderita Kanker


Di Yayasan Kanker Sindonesia Mulyorejo (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Surabaya).

Flood, P., Rathmell, JP., Shafer, S. 2015. STOELTING’S Pharmacology and


Physiology in Anesthetic Practice Fifth Edition. United States of America
: Library of Congress Cataloging.Stein A, Voigt W dan Jordan K, 2010.
Chemotherapy-induced diarrhea: pathophysiology, frequency and
guidelinebased management. Ther Adv Med Oncol 2(1):51-63

Indijah, & Woro, S. 2016. Farmakologi. Buku Ajar Cetak Farmasi, Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.

Kayrus, A., & Latifah, S. 2019. Penatalaksanaan Diare pada Anak di Puskesmas
Gedong Tataan dengan Pendekatan Dokter Keluarga. J Agromedicine.
6(2) : 434-441

Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug Information
Handbook 17th Edition, American Pharmacist Association.

Lee, K. J. (2015). Pharmacologic agents for chronic diarrhea. Intestinal research,


13(4), 306.

Neal, M. J., 2005. Medical Pharmacology at a Glance, Edisi Kelima. Jakarta :


Erlangga

Purbayu, H. 2015. Diare Kronik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. 2: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya, 234.

Putri, A. I. 2010. Pengaruh Elektroakupuntur pada Titik Zusanli dan Neiguan


terhadap Perbaikan Kerusakan Mukosa Ileum Akibat Pemberian 5-
fluorourasil. Skripsi. Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret, Semarang.

Salwan, H., Firmansyah, A., Boediarso, A., Hegar, B., Kadim, M., & Alatas, F. S.
2016. Gambaran kadar natrium dan kalium plasma berdasarkan status
nutrisi sebelum dan sesudah rehidrasi pada kasus diare yang dirawat di
departemen IKA RSCM. Sari Pediatri, 9(6), 406-11

Sari, M.I., Wahid, I., & Suchitra, A. 2019. Kemoterapi Adjuvan pada Kanker
Kolorektal. Jurnal Kesehatan Andalas. 8(1):51-57)
Shinta, N., & Surarso, B. 2016. Terapi mual muntah pasca kemoterapi. Jurnal THT
- KL. 9(2) : 74 - 83.

Suraatmaja, S.,2007. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta : Sagung Seto.

Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta WA. 2014. Kapita Selekta Kedokteran.


Edisi ke 4. Jakarta : Media Aesculapius.

Tjokroprawiro, A. (Ed.). 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 2: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo
Surabaya. Airlangga University Press.

Tyasari, K. D., Kiyatno, K., & Balgis, B. 2016. Effect of ginger extract on
reparation of mucosal damage in ileal rats exposured by 5-fluorouracil.
Biofarmasi Journal of Natural Product Biochemistry, 14(1), 25-32.

Wiryani, N. G. P., & Wibawa, I. D. N. 2007. Pendekatan diagnostik dan terapi diare
kronis. Jurnal Penyakit Dalam 8(1): 66-78

World Health Organization. 2005. The Treatment of Diarrhoea : A Manual for


Physician and Other Senior Health 4th ed. Geneva : WHO Press.

Anda mungkin juga menyukai