Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

Fraksinasi Cair - Cair, Kolom Vakum, dan Kolom Lambat

DISUSUN OLEH KELOMPOK 7B

Nama Anggota :

Tamara Laily Fimannuha 195070501111034

Salmadiar Riska Ulimazaim 195070501111036

M. Fakhri 195070507111002

Muhammad Fadlurrohman Nafi’ 195070507111004

Yanuar Bagus Nugroho 195070507111005

Atqillah Irbah Alfitri 185070500111008

Rifal Andrian Syah 185070500111018

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

TA 2020/2021

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Tujuan

Dapat dilakukannya analisa KLT hasil fraksinasi ekstrak dengan menggunakan kromatografi
kolom Vakum dan kolom Lambat

1.2 Dasar Teori

Fraksinasi cair cair merupakan salah satu metode pemisahan senyawa pada sampel yang
dilakukan berdasarkan perbedaan kelarutan atau koefisien partisi senyawa pada pelarut yang
memiliki kepolaran berbeda. Prinsip dasar fraksinasi cair-cair yaitu proses kontak antara pelarut
yang satu dan yang lainnya yang tidak saling bercampur dan memiliki densitas yang berbeda
sehingga akan terbentuk dua fase beberapa saat setelah penambahan dan pengocokan pelarut
dalam labu corong pisah. (Wijaya et al, 2015)
Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi yaitu dengan
memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih sederhana. Pemisahan tersebut
memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan aliran fase geraknya dibantu dengan pompa vakum
(Harris,1982).
KCV bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam ekstrak. Sampel tersebut
bermigrasi terhadap fasa diam dan fasa gerak dengan cepat karena berada dalam suasana vakum.
Prinsip kerja KVC yaitu partisi dan adsorpsi komponen senyawa yang pemisahannya dibantu
dengan tekanan dari alat vakum (Mutmainnah, P.A., dkk. 2017). Kolom yang digunakan biasanya
terbuat dari gelas dengan lapisan berpori pada bagian bawah. Ukuran kolom bervariasi tergantung
ukurannya. Kolom disambungkan dengan penampung eluen yang dihubungkan dengan pompa
vakum. Pompa vakum akan menghisap eluen dalam kolom, sehingga proses pemisahan
berlangsung lebih cepat. (Atun, S., 2014)
Sistem kromatografi yang digunakan biasanya adalah fase normal, yaitu menggunakan fase
diam yang bersifat polar (HPTLC Silika Gel F254) dan fase gerak yang terdiri dari komposisi yang
mengandung metanol yang bersifat polar sehingga meningkatkan kepolaran dari fase gerak.
Eluasi/pengembangan dilakukan dengan menggunakan fase gerak. Perbedaan kepolaran
digunakan untuk melihat perbedaan bercak-bercak yang tampak pada profil kromatogram tersebut.
Pada kondisi fase gerak yang lebih polar maka senyawa polar yang tereluasi terlebihdahulu,
sedangkan senyawa non polar akan terikat lebih lama di fase diam (non polar) sehingga lebih lama
tereluasi (Rf lebih kecil). (Farida, Y. dan Amadea, E., 2017)
BAB II

METODE EKSPERIMEN

2.1 FRAKSINASI CAIR CAIR

2.1.1 Alat

1. Pipet volume 3 ml
2. Gelas ukur 50 ml
3. Gelas ukur 10 ml
4. Erlenmeyer 50 ml
5. Pinset
6. Vial
7. Corong pisah 100 ml
8. Bekerglas 10 ml (5)
9. Mortir dan stamper

2.1.2 Bahan

1. Ekstrak Etanol 80% Strychnos lucida


2. N-heksana
3. Etil asetat
4. Aquadest

2.1.3. Prosedur

1.1.1 Preparasi sampel


Ditimbang 2 gram ekstrak Strychnos lucida

Disuspensikan dalam 10 ml aquadest menggunakan mortir dan stamfer


(aquadest ditambahkan sedikit demi sedikit)

Ekstrak kemudian dimasukkan ke beakerglass

Diambil 10 ml N Heksana dan dimasukkan ke beaker glass, kemudian


campuran dimasukkan ke corong pisah
1.1.2 Pemisahan
Setelah campuran dipindahkan ke corong pisah, corong pisah dikocok selama 5
menit

Kemudian dipasang pada statif, lalu dibiarkan terpisah pada pada statif

Bila masih tidak dapat terpisah dapat dilakukan pengadukan

Fase bawah ditampung di dalam erlenmeyer

Setelah fase bawah terkumpul hingga batas kemudian menampung fase N


heksana

Residu suspensi ekstrak digunakan untuk pemisahan selanjutnya

1.1.3 Pemisahan dengan N heksana 2


Residu suspensi ekstrak dalam air ditambahkan N heksana sebanyak 10 ml di
dalamcorong pisah

Larutan dikocok selama 5 menit, dan dibiarkan terpisah di statif

Fase N heksana yang telah terpisah ditampung di erlenmeyer

Prosedur diulangi hingga warna fraksi N heksana konstan

Seluruh fase N Heksana dijadikan satu, dan disimpan untuk analisis (C = Fraksi
N heksana ), dan D = fraksi air
Seluruh fraksi (fraksi B,C,D) disimpan dalam oven suhu 40oC , dan akan diuji
pada KLT pada praktikum berikutnya

2.2 KOLOM VAKUM

2.2.1 Alat

1. Pompa vakum
2. Kolom diameter 5 cm
3. Erlenmeyer 50 ml
4. Pipet tetes

2.2.2 Bahan

1. Fraksi DCM bidara laut (Strychnos lucida)


2. N-heksana
3. Etil asetat
4. Silika

2.2.3 Prosedur

Dimasukkan silica ke dalam kolom hingga mencapai ketinggian 6 cm

Dikeluarkan silica dari dalam kolom, lalu ditimbang beratnya (x gram)

Ditimbang sampel yang akan dipisahkan sebanyak 20% dari berat silica yang dibutuhkan

Disiapkan silica Kristal sebanyak berat sampel

Dicampurkan silica Kristal dan sampel hingga homogen kemudian ditutup rapat dengan
aluminium foil

Dilakukan proses pembuatan kolom dengan cara memasukkan silica serbuk ke dalam
kolom secara sedikit demi sedikit sambil ditekan dalam posisi pompa vakum menyala
Dilakukan proses no.6 hingga seluruh silica menjadi padat di dalam kolom

Dilakukan eluasi dengan fase gerak n-heksana sebanyak 150 ml dalam kondisi pompa
vakum menyala

Dimasukkan sampel (no.5) ke atas kolom, dan dinyalakan pompa vakum

Setelah kolom dan sampel menjadi padat, proses eluasi dapat dimulai

Eluasi kolom vakum dilakukan dengan metode gradient, yaitu menggunakan beberapa
kombinasi fase gerak

Setiap hasil eluasi ditampung di Erlenmeyer dan diuapkan di dalam oven pada suhu 40C

Setelah pelarut berkurang dilakukan KLT hasil kromatografi dengan fase diam silica
normal phase, dan fase gerak n-heksana:etil asetat 6:4

Hasil KLT dianalisis, dan profil KLT yang hampir sama digabungkan

2.3 KOLOM LAMBAT

2.3.1 Alat

1. Kolom Kromatografi diameter 1,5 cm, panjang 30 cm


2. Pipet volume 3 ml
3. Vial
4. Gelas ukur 50 ml
5. Gelas ukur 10 ml
6. Batang pengaduk
7. Erlenmeyer 100 ml
8. Erlenmeyer 5 ml
9. Pinset
10. Beaker glass
11. Corong pisah
12. Chamber
13. Aluminium foil

2.3.2 Bahan

1. Fraksi etil asetat daun Alectryon serratus 1 gram


2. Silica Sephadex LH-20 100 gram
3. Isocratic methanol
4. Air
5. Silica RP-18
6. Asetonitril
7. Metanol
8. H2SO4 10%

2.3.3 Prosedur

2.3.3.1 Kromatografi Kolom Lambat


Diletakkan kapas pada bagian bawah kolom

Kolom diletakkan secara vertikal pada klam

Ditambahkan lapisan pasir pada bagian bawah setinggi 0,5 - 2 cm

Silika yang akan digunakan terlebih dahulu ditimbang hingga 100 gram

Pelarut kolom ditambahkan ke silika hingga membentuk bubur

Campuran pelarut dan silica diaduk dengan batang pengaduk hingga tidak
terdapat gelembungg

Setelah tercampur dengan homogen campuran dituangkan ke kolom


kromatografi
Silika dibiarkan hingga mengendap lalu pelarut ditiriskan hingga tepat di
atas level silika

Agar elusi pelarut lebih cepat dapat digunakan blow, selalu dipastikan level
pelarut berada di atas silika sehingga silica tidak kering

Lapisan pasir ditambahkan setinggi 1-2 cm ke atas kolom

fraksi yang akan di kromatografi dipipet ke dalam sisi kolom

Kran pada kolom dibuka hingga larutan berpindah ke pasir / silika

digunakan sedikit pelarut kolom untuk membilas tabung sampel dan


memasukkannya ke kolom

Agar pasir / silika tidak mengganggu, ditambahkan pelarut sedikit demi


sedikit dengan pipet lalu selebihnya dituangkan ke kolom

Pelarut dan fraksi di elusi dalam kolom kromatografi

Hasil kromatografi ditampung pada vial hingga terisi kira-kira 15-20 ml.
Senyawa yang diuji harus terelusi melalui kolom dan masuk ke dalam vial

Fraksi pada vial dianalisis dengan kromatografi lapis tipis

Vial yang hanya mengandung satu spot TLC dapat digabungkan dan
dibuang pelarutnya dengan rotary evaporator untuk mendapatkan produk
yang dimurnikan

2.3.3.2 Kromatografi lapis tipis


Larutan pada vial disiapkan

Disiapkan eluen berupa fase gerak asetonitril: metanol : air = 2:1:4 dan
dibiarkan hingga jenuh

Larutan pada vial ditotolkan pada plat silica RP-18

Dilakukan KLT pada plat silica hingga mencapai bagian atas plat silica

Plat yang telah selesai dieluasi disemprot dengan penampak noda


H2SO$ 10% an dlakukan pengamatan dibawah sinar UV 254 nm,UV 366
nm, dan visible
BAB III

HASIL

1. Fraksinasi Cair- Cair dan Kolom Vakum

No. Hasil
Keterangan

1. Hasil KLT
a. kromatografi kolom ● Pada UV 254
vakum
● UV 366 sebelum Asam Sulfat

● UV 366 POS H2SO4


● Pada kondisi setelah di sinar tampak UV 366 nm
setelah disemprot H2SO4 dan dilakukan
pengklasifikasian fraksi

2 Fraksinasi Cair- cair


. ● Sinar UV 254

● Sinar tampak setelah penyemprotan dengan


H2SO4 10%
● Sinar UV 366 nm setelah penyemprotan dengan
H2SO4 10%

3. Uji Penampak Noda 1. Tannin

Penampak noda : FeCl3


2. Alkaloid

Penampak noda: Dragendroft

3. Antrakuinon

Penampak noda: KOH 5%


4. Terpenoid

Penampak noda : anisaldehid-asam sulfat

5. Senyawa aromatic

Penampak noda : vanillin-asam sulfat


6. Flavonoid

Penampak noda : AlCl3 10%


2. Kolom Lambat

No. Hasil Keterangan

1 Kolom Lambat Sinar UV 254 nm

Sinar UV 366 nm
Sinar UV 366 nm + penampak noda H2SO4 10%

Sinar Visible
Pada sinar tampak UV 254 nm

Pada kondisi sebelum di sinar tampak UV 366 nm sebelum


disemprot H2SO4
Pada kondisi setelah di sinar tampak UV 366 nm setelah
disemprot H2SO4 dan dilakukan pengklasifikasian fraksi

Pada kondisi sinar tampak UV Vis


BAB IV

PEMBAHASAN

KROMATOGRAFI CAIR VAKUM


Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi yaitu dengan
memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih sederhana. Pemisahan tersebut
memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan aliran fasa geraknya dibantu dengan pompa
vakum. (Harris,1982). Kromatografi kolom vakum merupakan kromatografi kolom yang
dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum, fase gerak digerakkan dengan kondisi vakum sehingga
prosesnya berlangsung cepat. Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar
diperoleh kerapatan maksimum. Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar
diperoleh kerapatan maksimum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet,
pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi. Walaupun
KCV memerlukan jumlah sampel yang lebih banyak dari pada kromatografi lapis tipis (KLT),
KCV tetap ekonomis dalam sisi biaya. Kromatografi cair-vakum merupakan kromatografi kolom
yang dikemas kering biasanya dengan penyerap mutu kromatografi lapis tipis 10 -4 µg pada kondisi
vakum, fase gerak digerakkan dengan kondisi vakum sehingga prosesnya berlangsung cepat.
Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan maksimum.

Prinsipnya yaitu adsorpsi dan partisi yang dipercepat bantuan pompa vakum. Keuntungan
dari metode ini adalah prosesnya cepat dan senyawa tertarik secara sempurna. Kerugiannya adalah
pemisahannya tidak sempurna karena senyawa yang ditampung bercampur dalam suatu
penampungan tidak seperti pada kolom konvensional yang dipisahkan berdasarkan warna,
sehingga pemisahannya lebih maksimal. (Helfman,1983). Kelebihan dari kromatografi kolom
vakum antara lain cuplikan yang dipisahkan lebih banyak, pengerjaannya sederhana, mempunyai
biaya ekonomis, dan adanya aliran fase gerak yang lebih cepat. Sedangkan pada kromatografi
kolom lambat, kecepatan aliran fase geraknya lebih lambat daripada kromatografi kolom vakum
(Braithwaite and Smith, 1995).

Berdasarkan hasil praktikum Kolom vakum yang telah dilakukan, dengan menggunakan
senyawa dari ekstrak Strychnos lucida didapatkan dan media silika Gel 2⅔ dari ukuran kolom
berjenis Silika GF 254 dan diamati melalui Sinar tampak 254 dan 366 nm. Pada praktikum
kromatografi kolom vakum, cara pembuatannya menggunakan cara kering yaitu silica gel
ditempatkan ke dalam kolom yang telah diberi kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi.
Silica gel yang digunakan ini adalah silica gel 60.

Kromatografi kolom vakum cair pada praktikum yang telah dilaksanakan menggunakan
pelarut campur yang dihantarkan dengan menggunakan pompa vakum untuk memudahkan
penarikan eluen. Selanjutnya penyiapan eluen dari tingkat kepolaran terendah hingga yang paling
polar yaitu dari non-polar hingga yang paling polar yaitu antara lain :
1. n-heksana: etil asetat 9:1 = 2 x 100 ml (2 kali eluasi, masing-masing vol 100 ml)
2. n-heksana: etil asetat 8:2 = 2 x 100 ml
3. n-heksana:etil asetat 7:3 = 4 x 100 ml
4. n-heksana:etil asetat 6:4 = 4 x 100 ml
5. n-heksana: etil asetat 5:5 = 4 x 100 ml
6. n-heksana: etil asetat 4:6 = 2 x 100 ml
7. n-heksana: etil asetat 3:7 = 2 x 100 ml
8. n-heksana: etil asetat 2:8 = 2 x 100 ml
9. n-heksana: etil asetat 1:9 = 2 x 100 ml
10. etil asetat 100% = 2x 100 ml

Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui pada tingkat kepolaran berupa senyawa atau
komponen kimia sampel dapat membentuk fraksi yang baik atau terelusi dengan baik. Sistem elusi
dapat dilakukan dengan metode gradien pelarut atau dengan sistem isokratik. Elusi gradien (variasi
kepolaran pelarut) dilakukan apabila campuran senyawa cukup komplek.

Bidara laut merupakan tumbuhan obat antimalaria tradisional yang terdapat di Nusa
Tenggara Barat dan Bali. Daerah Bima dan Dompu (NTB) mengenalinya sebagai Songga,
sedangkan di Bali disebut Cypress. Menurut literatur Frederich et al (1999), pada penelitiannya
diketahui bahwa S. usambarensis dan S. icajamas, mengandung senyawa dari alkaloid yaitu sparta
pentamine, isomegra penta-mineral dan dihydrocymene yang memiliki aktivitas antimalaria
sehingga sangat direkomendasikan untuk dilakukan uji praklinis dan klinis membuktikan
kandungan dan efikasi dari tanaman bidara laut. Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh
Huda (2006) dan Murniningsih et al. (2005) menyebutkan bahwa ekstrak air kayu bidara laut
memiliki aktivitas antimalaria baik secara in vitro maupun in vivo. Selain ekstrak air, ekstrak
etanol dari akar S. variabilis juga sangat aktif sebagai antimalarial (Phillippe et al. 2005). Kayu
bidara laut mengandung senyawa antara lain striknin, brusin (Darise & Taebe 1993), ester asam
kuinat (Itoh et al. 2006) dan loganin (Partridge et al. 1975).

Pada analisis terhadap hasil KLT subfraksi yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa
subfraksi sehingga jumlah akhir subfraksi yang didapatkan setelah digabung terdapat 7 Subfraksi
Fraksi 16 - 26 sebagai Sub Fraksi 1; Fraksi 11 - 15 sebagai Subfraksi 2; Fraksi 8 - 10 sebagai
Subfraksi 3; Fraksi 5 - 7 sebagai Subfraksi 4; Fraksi 3 - 4 sebagai Subfraksi 5; Fraksi 2 sebagai
Subfraksi 6; dan Fraksi 1 sebagai Subfraksi 7. Dalam subraksi ini dapat diketahui jenis sampel
yang tampak dengan menghitung RF masing2 masing sub fraksi seperti demikian Maka
didapatkan identifikasi golongan senyawa apa sajakah yang terkandung pada masing-masing
subfraksi yaitu Pada subfraksi 1 noda baris 16-26 muncul warna biru yang menandakan flavonoid
; Pada subfraksi 2 noda baris 11-15 muncul warna biru yang menandakan senyawa flavonoid;
Pada subfraksi 3 noda baris 8-10 muncul warna ungu yang menandakan senyawa flavonoid; Pada
subfraksi 4 noda baris 5-7 muncul warna orange kemerahan yang menandakan senyawa terpenoid;
Pada subfraksi 5 noda baris 3-4 muncul warna ungu menandakan senyawa essential oil dan coklat
kemerahan menandakan senyawa terpenoid (monoterpen); Pada subfraksi 6 noda baris 1-2 muncul
warna biru kehitaman mengandung senyawa steroid kemudian coklat menandakan senyawa
alkaloid, dan essential oil berwarna ungu.

FRAKSINASI CAIR-CAIR
Fraksinasi cair cair merupakan salah satu metode pemisahan senyawa pada sampel yang
dilakukan berdasarkan perbedaan kelarutan atau koefisien partisi senyawa pada pelarut yang
memiliki kepolaran berbeda. Prinsip dasar fraksinasi cair-cair yaitu proses kontak antara pelarut
yang satu dan yang lainnya yang tidak saling bercampur dan memiliki densitas yang berbeda
sehingga akan terbentuk dua fase beberapa saat setelah penambahan dan pengocokan pelarut
dalam labu corong pisah. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan massa dari pelarut asal ke
pelarut pengekstrak(Wijaya et al, 2015). Studi pustaka menunjukkan bahwa beberapa senyawa
yang termasuk kelompok alkaloid, terpenoid, flavonoid, steroid, tannin, kuinon quasinoid, santon,
stilbena, dan lignan memiliki aktivitas antimalaria (Saxena et al. 2003, Bero et al. 2009, Nogueira
& Lopes 2011). Oleh karena itu, kayu bidara laut berpotensi mengandung senyawa yang memiliki
aktivitas antimalaria.
Berdasarkan Hasil Praktikum Fraksinasi Cair- Cair yang telah dilakukan identifikasi
metabolit sekunder pada sampel Strychnos lucida. Dalam ekstrak terdapat metabolit sekunder
berupa antrakuinon, terpenoid dan flavonoid Dalam Fraksi diklorometana terdapat alkaloid, tanin,
antrakuinon, terpenoid, senyawa aromatik dan juga flavonoid Dalam Fraksi etil asetat terdapat
senyawa metabolit berupa tanin, antrakuinon, terpenoid, senyawa aromatik dan flavonoid Dalam
Fraksi n-butanol terdapat senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid, antrakuinon dan flavonoid.
Dalam fraksi air hanya mampu menangkap senyawa metabolit flavonoid.
Kadar ekstrak tertinggi didapat dari hasil maserasi dengan pelarut diklorometana kemudian
di posisi kedua tertinggi terdapat etil asetat, dilanjutkan n-butanol dan air. Hal ini menunjukkan
bahwa perbedaan jenis pelarut menghasilkan jenis zat ekstraktif yang terlarut dan kadar ekstrak
yang berbeda-beda pula. Perbedaan jenis zat ekstraktif ditunjukkan oleh wujud fisik ekstrak yang
berbeda(Syafi’i et al, 2016). Pada pelarut diklorometana menghasilkan kadar ekstraktif yang
tertinggi dikarenakan pelarut diklorometana mampu melarutkan lebih banyak zat ekstraktif baik
yang polar maupun non polar, sedangkan etil asetat bersifat lebih polar dan semakin kebawah
pelarut yang digunakan juga semakin polar sehingga berdasarkan hasil rendemen partisi cair-cair
tersebut didapatkan kesimpulan bahwa semakin non polar pelarut yang digunakan maka semakin
banyak senyawa metabolisme sekunder yang terikat pada pelarut sehingga pada pengamatan KLT
didapatkan spot yang lebih banyak. Sedangkan semakin polar pelarut yang digunakan maka
senyawa metabolisme sekunder yang terlarut ke dalamnya semakin sedikit hal tersebut akan
berpengaruh pada pengamatan KLT didapatkan spot yang lebih sedikit.

KROMATOGRAFI KOLOM LAMBAT


Kromatografi kolom lambat merupakan instrumen yang memisahkan senyawa
Menggunakan fase diam Sephadex LH-20 Seberat 100 gram of dengan fase gerak isocratic
methanol: air = 95: 5 v/v. Fase gerak ini akan bergerak membawa campuran senyawa melewati
kolom. Sephadex LH-20 Adalah resin khusus yang dirancang untuk pemisahan dan pemurnian zat
alami keberadaan pelarut organik untuk menjaga kelarutannya. Hal ini Membuat resin color glue
untuk pemurnian molekul seperti steroids, terpenoids, lipids, dan peptida dengan berat molekul
rendah (hingga 35 resadu asam amino). Sephadex LH-20 diaplikasikan pada size exclusion
Chromatographic dan jenis kromatografi lainnya. Sifat hidrofilik dan hidrofobik resin
membuatnya berguna untuk kromatografi partisi cair/cair. Selain itu, resin dapat memiliki afinitas
yang kuat untuk senyawa aromatik yang memungkinkan kromatografi adsorpsi. Ukuran partikel
basah dari Sephadex LH-20 bervariasi, tergantung pada pelarut yang digunakan dalam
pengembangannya. Semakin polar pelarut yang digunakan, semakin besar tingkat pengembangan
partikelnya (Anonim, 2002). Besarnya rendemen dari proses purifikasi menggunakan Sephadex
LH-20 tergantung pada jenis pelarut yang dihubungkan dengan sifat polaritas komponen
terekstrak, serta kesesuaian dari tingkat pengembangan partikel Sephadex LH-20 dengan struktur
kimia komponen terpurifikasi. Senyawa katekin yang terkandung dalam ekstrak etil asetat
memiliki tingkat keragaman sifat yang lebih tinggi dibanding ekstrak lainnya untuk melewati
adsorben Sephadex LH-20, sehingga akumulasi senyawa terpurifikasi pada fraksi etil asetat lebih
banyak (Rauf, R., Santoso, U. and Suparmo, S., 2020)
Pada praktikum KLT kolom lambat ini fase diam yang digunakan adalah RP 18, cocok
untuk senyawa non-polar. Pada saat yang sama, fase gerak adalah pelarut campuran organik yaitu,
asetonitril-metanol-air (2: 1: 1: 1: 4 v / v). Digunakan pelarut campuran pelarut umum, yaitu air
dan metanol, diharapkan dapat melarutkan flavonoid dan senyawa fenol yang larut dalam air, dan
metanol dapat dengan mudah melakukan penetrasi. Membran sel mengekstrak bahan intraseluler
dari tumbuhan untuk membuatnya menarik Kedua menghasilkan metabolit.(Ariesnawati, 2007).
Reagen warna yang digunakan untuk memperjelas kromatogram adalah pelarut reaksi warna basa
sulfat H2SO4 menyebabkan terbentuknya flavonoid kuning, hal ini disebabkan terbentuknya
garam dan terbentuknya struktur quinoid di cincin B. flavonoid. Adanya gugus fenolik pada
flavonoid akan menimbulkan reaksi itu positif setelah penyemprotan pereaksi H2SO4. (Azkiyah,
2013). Pemilihan di kolom lambat pake sinar uv 254 sama 366 yaitu Pada UV 254 nm, lempeng
akan berfluoresensi sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada
lampu UV 254 nm terjadi karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator
fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya
yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar
ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali lagi ke keadaan semula sambil melepaskan
energi. Sedangkan pada Pada UV 366 nm, noda akan berfluoresensi dan lempeng akan berwarna
gelap. Penampakan noda pada lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar
UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi
dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian kembali lagi ke keadaan
semula sambil melepaskan energi. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 nm terlihat
terang. Prinsip penampakan noda pereaksi semprot HzSO 10% adalah berdasarkan kemampuan
asam sulfat yang bersifat reduktor dalam merusak gugus kromofor dari zat aktif simplisia sehingga
panjang gelombangnya akan bergeser ke arah yang lebih panjang (UV menjadi VIS) sehingga
noda menjadi tampak oleh mata. apabila dideteksi di bawah sinar UV 254 nm akan menghasilkan
pemadaman bercak sehingga spot akan terlihat gelap sedangkan pada sinar UV 366 nm akan
memberikan fluoresensi berwarna biru(Giri, 2020).

Berdasarkan hasil praktikum apabila gabungkan profil KLT fraksi sehingga didapatkan
beberapa subfraksi. Pada sinar tampak UV 254 nm; pada kondisi sebelum di sinar tampak UV 366
nm sebelum disemprot H2SO4; pada kondisi setelah di sinar tampak UV 366 nm setelah disemprot
H2SO4 serta pada kondisi sinar tampak UV Vis pengelompokkan fraksi yang diperoleh 5
Pemisahan subfraksi yaitu

1. Subfraksi 1 = Fraksi 1-17


2. Subfraksi 2 = Fraksi 19-25
3. Subfraksi 3 = Fraksi 27-37
4. Subfraksi 4 = Fraksi 39-47
5. Subfraksi 5 = Fraksi 49-59

Daun Alectryon serratus memiliki bermacam- macam kandungan golongan metabolit sekunder.
Hasil subfraksi diperoleh pada masing-masing memiliki metabolit sekunder masing- masing yang
lebih spesifik. Daun Alectryon serratus mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid,
diterpenoid, glikosida, fenol, saponin, kaempferol, quercetin, dan β-sitosterol. Pada fraksi etil
asetat mengandung senyawa flavonoid yang ditunjukkan dengan warna kuning. Selain itu,
kandungan metabolit sekunder masing- masing fraksi ditunjukkan dengan identifikasi warna
sebagai berikut :

1. Pada subfraksi 1 meliputi fraksi 1-17 terdapat warna biru yang menunjukkan adanya
senyawa steroid, dan warna oranye yang kemungkinan senyawa terpenoid tipe
monoterpenoid
2. Pada subfraksi 2 meliputi fraksi 19-25 terdapat warna hitam pada bagian atas yang
menunjukkan adanya fenol
3. Pada subfraksi 3 meliputi fraksi 27-37 terdapat warna kuning yang menunjukkan flavonoid
dan kemungkinan memiliki fenol dengan jumlah sedikit
4. Pada subfraksi 4 meliputi fraksi 39-47 terdapat warna kuning yang menunjukkan flavonoid
dan fenol
5. Pada subfraksi 5 meliputi fraksi 49-59 terdapat warna kuning yang menunjukkan flavonoid
dan fenol

Subfraksi- Subfraksi tersebut juga dapat diperoleh subfraksi yang memiliki kemurnian
tertinggi. Hal ini dapat dilihat dari senyawa metabolit sekunder yang teridentifikasi maka flavonoid
merupakan senyawa metabolit sekunder yang teridentifikasi dengan jelas sehingga dapat
disimpulkan bahwa subfraksi 4,5 merupakan subfraksi murni

4.2 Nilai Rf Fraksinasi Cair Cair


Sampel alkaloid tannin antrakuino Terpenoid Senyawa Flavonoid
n Aromatik

Esktrak Rf = 0,0625 Rf 1 = 0,5 Rf 1= 0,3

Rf 2 = 0, 63 Rf 2= 0,4

Rf 3= 0,45

Rf 4=0,55

Fraksi Rf 1 = 0,2875 Rf = 0,05 Rf = 0,25 Rf 1 = 0,5 Rf 1= 0,1875 Rf 1= 0,35


DCM
Rf 2 = 0,25 Rf 2 = 0,625 Rf 2= 0, 3125 Rf 2= 0,53

Rf 3 = 0,75 Rf 3= 0,5625 Rf 3= 0,75

Rf 4 = 0,825 Rf 4= 0,65 Rf 4= 0,85

Fraksi Etil Rf = 0,05 Rf 1= 0,0625 Rf 1= 0,1 Rf = 0,1875 Rf 1= 0, 5125


Asetat
Rf 2= 0,15 Rf 2= 0,1875 Rf 2= 0,625

Rf 3= 0,2875 Rf 3= 0,425 Rf 3= 0,75

Rf 4= 0,83

Fraksi n- Rf = 0,3 Rf = 0,0625 Rf 1= 0,35


butanol
Rf 2= 0,4

Rf 3= 0,5

Fraksi Air Rf 1= 0,275

Rf 2= 0,4625
.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

Pada praktikum Fraksinasi cair cair dapat disimpulkan bahwa senyawa metabolisme pada
Strychnos lucida bersifat nonpolar sehingga dapat terelusi dengan sempurna pada pelarut yang
memiliki nilai kepolaran rendah akibat adanya sifat like dissolve like. sehingga pada nilai
kepolaran tersebut banyak senyawa metabolisme sekunder yang tertarik pada fase tersebut
sehingga pada hasil fraksinasi menggunakan pelarut tersebut dapat teridentifikasi senyawa
metabolismenya dengan melalui uji KLT yang menunjukkan banyak spot ketika dilakukan
pengamatan dibawah sinar UV dan dengan menggunakan penampak noda H2SO4 10%. .

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada praktikum pemisahan subfraksi pada


sampel Strychnos lucida dengan kolom vakum menggunakan pelarut campur yang dialirkan
dengan menggunakan pompa vakum dari pelarut nonpolar hingga polar didapatkan hasil berupa
subfraksi hasil pemisahan yang kemudian diamati pada kromatografi lapis tipis, dari pengamatan
tersebut didapatkan bahwa beberapa subfraksi memiliki spot yang sama sehingga dilakukan
penggabungan subfraksi menjadi 7 subfraksi dimana masing masing subfraksi memiliki spot yang
berbeda sebagai representasi dari senyawa metabolisme yang terdapat pada masing masing masing
subfraksi. Semakin tinggi nilai kepolaran pada pelarut yang digunakan maka senyawa
metabolisme yang terikat pada pelarut semakin sedikit sehingga spot yang dihasilkan pada
pengamatan KLT dari subfraksi tersebut memiliki spot yang sedikit.

Berdasarkan pengamatan kolom lambat yang telah dilakukan pemisahan subfraksi dilakukan
berdasarkan warna yang muncul pada plat dan golongan senyawa. pada hasil Daun Alectryon
serratus kolom lambat didapatkan 5 subfraksi dengan kandungan senyawa berupa memiliki
bermacam- macam kandungan golongan metabolit sekunder diantaranya yaitu biru senyawa
steroid; warna oranye senyawa terpenoid tipe monoterpenoid; warna hitam pada bagian atas
senyawa fenol; warna kuning senyawa flavonoid dan kemungkinan memiliki fenol dengan
jumlah sedikit ; serta warna kuning yang menunjukkan flavonoid dan fenol.

Pada praktikum Kromatografi Kolom lambat terdapat fase diam yaitu adsorben dan fase
gerak yang merupakan cairan yang mengalir membawa komponen senyawa campuran sepanjang
kolom. Fase gerak ini akan bergerak membawa campuran senyawa melewati kolom. Sephadex
LH-20 Adalah resin khusus yang dirancang untuk pemisahan dan pemurnian zat alami keberadaan
pelarut organik untuk menjaga kelarutannya. Hal ini Membuat resin color glue untuk pemurnian
molekul seperti steroids, terpenoids, lipids, dan peptida dengan berat molekul rendah (hingga 35
resadu asam amino). Sephadex LH-20 diaplikasikan pada size exclusion Chromatographic dan
jenis kromatografi lainnya. Sifat hidrofilik dan hidrofobik resin membuatnya berguna untuk
kromatografi partisi cair/cair. Berdasarkan hasil praktikum apabila gabungkan profil KLT fraksi
sehingga didapatkan beberapa subfraksi. Pada sinar tampak UV 254 nm; pada kondisi sebelum di
sinar tampak UV 366 nm sebelum disemprot H2SO4; pada kondisi setelah di sinar tampak UV
366 nm setelah disemprot H2SO4 serta pada kondisi sinar tampak UV Vis pengelompokkan fraksi
yang diperoleh 5 Pemisahan subfraksi
5.2 Saran

Praktikan diharuskan memahami dan menerapkan konsep Kromatografi Kolom Vakum,


Fraksinasi dan Kromatografi Kolom Lambat. Praktikan juga diharapkan mampu mengoperasikan
Kromatografi Kolom Vakum dan Lambat serta menggabungkan fraksi menjadi sebuah subfraksi
dan menentukan senyawa tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Atun, S., 2014. Metode isolasi dan identifikasi struktur senyawa organik bahan alam. Jurnal
konservasi cagar budaya borobudur, 8(2), pp.53-61.
Anita Devi Ariesnawati (2007) Identifikasi Flavonoid Hasil Fraksinasi Dengan Kromatografi
Kolom Vakum Ekstrak Metanol-Air Herba Pegagan Embun (Hydrocotyle sibthorpoiides
Lmk.). Universitas Sanata Dhara.

Azkiyah, S. Z. (2013) Isolasi senyawa aktif antioksidan dari fraksi antioksidan dari fraksi n-
Heksana tumbuhan paku Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Tersedia pada:
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/26473/1/SITI ZAMILATUL
AZKIYAH-FKIK.pdf

Anonim. (2002). Gel Filtration: Pinciples and Methods .Amersham Biosciences.

Braithwaite, A and Smith F.J. 1995. Chromatographic Methods. Kluwer Academic Publishers.
London

Darise M, Taebe B. 1993. Isolasi dan identifikasi striknin dan brusin dari bidara laut asal
maluku tenggara. Warta Tumbuhan Obat Indones .2(1):1-3

Farida, Y. and Amadea, E., 2017. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid Fase N-Butanol dari
Ekstrak Etanol 70% Daun Pepaya (Carica papaya L.). In SEMINAR NASIONAL
POKJANAS (p. 24).

Frederich M, Hayette MP, Tits M, Mol PD, Angenot L. 1999. In vitro of strychnos alkaloids and
extracts against Plasmodium falciparum. Antimicrob. Agents Chemother 43 (9):2328 -
2331

Giri, G.S., 2020. IDENTIFIKASI DAN PENETAPAN KADAR SENYAWA KUININ FRAKSI
ETIL ASETAT KULIT BATANG KINA (Cinchona succirubra Pav. Ex Klotzsch)
SECARA KLT-DENSITOMETERI. Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia
(BIMFI), 7(2), pp.1-12.
Harris,et.al., 1982. AN Introduction To Chemical Analysis, Savders CollegePublishing
Philadelpia, Holt-Savders : Japan

Heftmann, E., 1983. Steroids Dalam Kromatografi , Fundamentals and Aplication: Amsterdam

Huda 2006. Aktivitas antimalaria ekstrak air kayu bidara laut ( Strychnos ligustrina BI) terhadap
Plasmodium berghei in vivo [tesis]. Surabaya: Universitas Airlangga

Itoh A, Tanaka Y, Nagakura N, Nishi T, Tanahashi T. 2006. A quinic acid ester from Strychnos
lucida . J Natural Med 60(2):146-148
Murningsih T, Subeki, Matsuura H, Takahashi K, Yamasaki M, Yamato O, Maede Y, Katakura
K, Suzuki M, Kobayashi S, Chairul, Yoshihara T. 2005. Evaluation of the inhibitory
activities of the extr acts of Indonesian traditional medicinal plants against Plasmodium
falciparum and Babesia gibsoni. J Vet Med Sci 67(8): 829 -831.

Mutmainnah, P.A., Hakim, A. and Savalas, L.R.T., 2017. Identifikasi Senyawa Turunan Hasil
Fraksinasi Kayu Akar Artocarpus Odoratissimus. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, 3(2).

Partridge JJ Jr, Montclair, Uskokovic MR, inventors; 1975 Sept 23. Process for preparing
loganin and analogs thereof. United States Patent US3907772

Phillipe G, Angenot L, Tits M, Frederich M. 2004. About the toxicity of some Strychnos
species and their alkaloids. Toxicon 44: 405 - 416

Rauf, R., Santoso, U. and Suparmo, S.,2020. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Gambir yang
Dipurifikasi Menggunakan Kromatografi Kolom Sephadex LH-20. agriTECH, 32(2).

Syafii, W., Sari, R.K., Cahyaningsih, U. and Anisah, L.N., 2016. Aktivitas Antimalaria Ekstrak
Kayu Bidara Laut. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 14(1), pp.1-10.

Wagner, H., & Bladt, S., 1996, Plant Drug Analysis : A Thin Layer Chromatography, Second Ed,
New York, Springer.

Wijaya, L., Saleh, I., Theodorus, T. and Salni, S., 2015. Efek Antiinflamasi Fraksi Daun Andong
(Cordyline Fruticosa L) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Norvegicus) Galur Spraque
Dawley. Biomedical Journal of Indonesia, 1(1), pp.16-24.

Anda mungkin juga menyukai