Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

KOLOM LAMBAT

SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK A1

ANGGOTA :

Arief Indrawan Sugiarto (155070500111022)


Fatimah S Hi La Hasan (155070507111009)
Carissa Dwi Puspita (165070500111023)
Widi Alya Zhafira (165070500111025)
Avila Silsivaga Dwijaya (165070501111003)
Laili Rachmawati Suharto Putri (165070507111015)
Dewinta Intan Rachmawati (165070507111017)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

TA 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Praktikum


Mahasiswa mampu melakukan fraksinasi ekstrak dengan menggunakan
kromatografi kolom lambat, selain itu, diharapkan siswa mampu melakukan analisa dari
KLT hasil fraksinasi ekstrak dengan menggunakan kromatografi kolom lambat.

1.2. Dasar Teori


Dalam kromatografi partisi cair-cair, suatu pemisahan dipengaruhi oleh distribusi
sample antara fase cair diam dan fase cair gerak dengan membatasi kemampuan
pencampuran. Jika suatu zat terlarut dikocok dalam sistem dua pelarut yang tidak
bercampur atau saling melarutkan maka zat terlarut akan terdistribusi di antara kedua fase
(Khopkar, 2008)
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat
untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa
gelas yang dilengkapi suatu kran dibagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat
cair, ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan. Secara umum,
perbandingan panjang dan diameter kolom sekitar 8:1, sedangkan daya penyerapnya
adalah 25-30 kali berat bahan yang akan dipisahkan. Teknik banyak digunakan dalam
pemisahan senyawa-senyawa organik dan konstituen-konstituen yang sukar menguap
sedangkan untuk pemisahan jenis logam-logam atau senyawa anorganik jarang dipakai.
(Yazid, 2005)
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang masih banyak
digunakan. Kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam
jumlah yang banyak berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kemasa adsorben yang sering
digunakan adalah silika gel G-60, kieselgur, Al2O3, dan Diaion. Cara pembuatannya ada
dua macam (Wijayakusuma, 1996) :
 Cara kering : silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah diberi kapan
kemudian ditambahkan cairan pengelusi.
 Cara basah : silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan cairan pengelusi yang
akan digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom secara
kontinyu sedikit demi sedikit hingga masuk semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen
dialirkan hingga silika gel mapat, setelah silika gel mapat eluen dibiarkan mengalir
sampai batas adsorben kemudian kran ditutup dan sample dimasukkan yang terlebih
dahulu dilarutkan dalam eluen sampai diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian
sample dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom sedikit demi
sedikit hingga masuk semua, dan kran dibuka dan diatur tetesannya. Serta cairan
pengelusi ditambahkan. Tetesan yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi.
Kromatografi dalam bidang kimia merupakan sebuah teknik analisis yang
digunakan untuk memisahkan sebuah campuran ataupun persenyawaan
kimia (adnan, 1997).
Pada hakekatnya KLT merupakan metode kromatografi cair yang melibatkan dua
fase yaitu fase diam dan fase gerak. Fase geraknya berupa campuran pelarut
pengembang dan fasa diamnya dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai
permukaan penyerap (kromatografi cair-padat) atau berfungsi sebagai penyangga
untuk lapisan zat cair (kromatografi cair-cair). Fase diam pada KLT sering disebut
penyerap walaupun berfungsi sebagai penyangga untuk zat cair di dalam sistem
kromatografi cair-cair. Hampir segala macam serbuk dapat dipakai sebagai penyerap
pada KLT, contohnya silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oksida), kiselgur
(tanah diatomae) dan selulosa. Silika gel merupakan penyerap paling banyak dipakai
dalam KLT (Iskandar, 2007)
Penentuan jumlah komponen senyawa dapat dideteksi dengan kromatografi lapis
tipis (KLT) dengan plat KLT yang sudah siap pakai. Terjadinya pemisahan
komponen-komponen pada KLT dengan Rf tertentu dapat dijadikan sebagai panduan
untuk memisahkan komponen kimia tersebut dengan menggunakan kolom
kromatografi dan sebagai fase diam dapat digunakan silica gel dan eluen yang
digunakan berdasrkan basil yang diperoleh dari KLT dan akan lebih baik kalau
kepolaran eluen pada kolom kromatografi sedikit sibawah eluen pada KLT (Lenny,
2006)
Kelebihan penggunaan kromatografi lapis tipis dibandingkan dengan kromatografi
kertas adalah karena dapat dihasilkannya pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan
yang lebih tinggi, dan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat. Kromatografi lapis
tipis merupakan kromatografi adsorbsi dan adsorben bertindak sebagai fase stasioner.
Empat macam adsorben yang umum digunakan adalah silica gel (asam silikat),
alumina (aluminium oxyde), kieselghur (diatomeus earth) dan selulosa. Dari keempat
jenis adsorben tersebut, yang paling banyak dipakai adalah silica gel karena
mempunyai daya pemisahan yang baik (adnan, 1997).
Teknik standar dalam melaksanakan pemisahan dengan KLT ini adalah sebagai
berikut : pertama kali lapisan tipis adsorben dibuat pada permukaan plat kaca atau plat
lain, misalnya berukuran 5 x 20 cm atau 20 x 20 cm. tebal lapisan adsorben tersebut
dapat bervariasi, tergantung penggunaannya. Larutan campuran yang akan dipisahkan
diteteskan pada kira – kira 1,5 cm dari bagian bawah plat tersebut dengan
menggunakan pipet mikro atau syringe. Zat pelarut yang terdapat pada sampel yang
diteteskan tersebut kemudian diuapkan lebih dulu. Selanjutnya plat kromatografi
tersebut dikembangkan dengan dengan mencelupkannya pada tangki yang berisi
campuran zat pelarut (solvent system). Dengan pengembangan tersebut masing –
masing komponen senyawa dalam sampel akan bergerak ke atas dengan kecepatan
yang berbeda. Perbedaan kecepatan gerakan ini merupakan akibat terjadinya pengaruh
proses dengan KLT, mulai pemilihan adsorben sampai identifikasi masing – masing
komponen yang telah terpisah (adnan, 1997).
BAB II

METODE EKSPERIMEN
2.1 Alat
1. Silika GF254nm
2. Kloroform
3. Metanol
4. Kolom kromatografi diameter 1,5 cm, panjang 30 cm
5. Gelas ukur 100 ml
6. Gelas ukur 5 ml
7. Erlenmeyer 100 ml, 50 ml
8. Pinset
9. Vial 30 buah
10. Beaker glass
11. Corong pisah
12. Batang pengaduk
13. Alumunium foil
14. Kertas saring
15. Plat KLT lebar 3 cm
16. Pipet volume 1 ml, 2 ml, 3 ml
17. Gelas ukur 10 ml
18. Erlenmeyer 50 ml
19. Pinset
2.2 Bahan
1. Ekstrak/Fraksi Kayu Manis
2. N-heksana
3. Etil Asetat
4. Hasil pemisahan kolom lambat

2.3 Metode
Kayu Manis

Dilakukan optimasi dengan KLT untuk mngetahui eluen yang bisa memisahkan dengan
baik

Disiapkan eluen 150 ml

Ditimbang silica 20 g, dimasukkan dalam kolom hingga 2/3 bagian

Dikeluarkan silika, ditimbang berat silika yang dibutuhkan untuk mengisi 2/3 bagian
kolom (X)

Dimasukkan silica dalam Erlenmeyer, ditambahkan eluen hingga terendam, kocok selama
5 menit (tutup dengan aluminium foil)

Dimasukkan silica ke dalam kolom dengan posisi kran tertutup

Dibuka kran kolom, ditampung eluen, dibersihkan sisa silika pada erlenmeyer
Setelah semua silika masuk ke dalam kolom, disisakan eluen dalam kolom setinggi 1 cm,
ditutup kran pada kolom

(A) Ditimbang ekstrak 1% dari jumlah silica uang digunakan, ditambahkan silica aa, diaduk
ad homogen dan kering (metode dry loading). (B) ditimbang ekstrak 1% dari jumlah silica
yang digunakan, ditambahkan metanol 1 ml hingga larut sempurna

dimasukkan ekstrak (kran pada posisi tertutup) ditambahkan eluen 5 cm di atas


permukaan silica (melalui dinding kolom)

Dibuka kran pelan-pelan, ditampung dengan erlenmeyer (eluen tetap ditambahkan


secara berkesinambungan)

Jika spot ekstrak sudah mencapai 2/3 dari panjang kolom, tetesan mulai ditampung pada
vial dengan volume 3ml/vial

Tetesan ditampung hingga 25-30 vial, atau tidak ada lagi perubahan pada warna kolom

Hasil tampungan pada vial ditutup dengan aluminium foil untuk dilakukan analisa

Hasil

Hasil pemisahan

Disiapkan eluen

ditotolkan hasil tampungan pada plat KLT (totolan 1 : fraksi etil asetat ; 2 : vial 1 ; 3 : vial 5
; 4 : vial 10 ; 5 : vial 15 ; 6 : vial 20 ; 7 : vial 25)

Plat KLT dieluasi dan diamati pada 254 dan 366 nm

Disemprot plat KLT dengan H2SO4 10% kemudian dipanaskan di hot plate dengan suhu
120° selama 5 menit dan diamati di 366 nm

Diidentifikasi golongan senyawa yang terdeteksi pada masing masing berdasarkan hasil
KLT
Hasil
BAB III
HASIL
3.1. Hasil pengamatan dalam sinar UV panjang gelombang 254 nm.

h
.
g.

f.

e
.
d
.
c.

b
.
a
.

3.2. Hasil pengamatan dalam sinar UV panjang gelombang 366 nm sebelum diberi H2SO4
10%

h
.
g.

f.

e
.
d
.
c.

b
.
a
.
3.3. Hasil

pengamatan dalam sinar UV panjang gelombang 366 nm setelah diberi H2SO4 10%

e
dg.h
c.
3.4. Hasil eluasi bf..
a. .
.
Fraksi Nilai Rf Warna.
1,2
Rf1 = = 0,15 Ungu
8
2,3
Rf2 = = 0,2875 Oranye
8
a. Etil asetat 3,8
Rf3 = = 0,475 Hijau
8
5
Rf4 = 8 = 0,625 Ungu
0,5
Rf1 = = 0,0625 Hijau
8
3,9
b. Vial 1 Rf2 = = 0,4875 Hijau
8
4,9
Rf3 = = 0,6125 Ungu
8
0,6
Rf1 = = 0,075 Hijau
8
3,8
c. Vial 5 Rf2 = = 0,475 Hijau
8
4,9
Rf3 = = 0,6125 Ungu
8
0,5
Rf1 = = 0,0625 Hijau
8
3,8
Rf2 = = 0,475 Hijau
8
d. Vial 10 4,8
Rf3 = = 0,6 Ungu
8
6,7
Rf4 = = 0,8375 Kuning
8
2,9
Rf1 = = 0,3625 Kuning
8
3,9
e. Vial 15 Rf2 = = 0,4875 Hijau
8
4,8
Rf3 = = 0,6 Ungu
8
0,6
Rf1 = = 0,075 Kuning
8
2,9
Rf2 = = 0,3625 Kuning
8
f. Vial 20 3,8
Rf3 = = 0,475 Hijau
8
4,8
Rf4 = = 0,6 Ungu
8
2,4
Rf1 = = 0,3 Kuning
8
3,8
g. Vial 25 Rf2 = = 0,475 Hijau
8
4,9
Rf3 = = 0,6 Ungu
8
3,9
Rf1 = = 0,4875 Hijau
8
h. Vial 30 5
Rf2 = 8 = 0,625 Ungu
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode kromatografi kolom lambat digunakan pada praktikum ini karena


Mekanisme kerja dari kromatografi kolom adalah pemisahan suatu senyawa dalam
kolom kromatografi dengan silika gel sebagai fasa diam dan campuran pelarut polar-
nonpolar sebagai fasa gerak yang akan mengelusi sampel, eluen bergerak turun dan
mengelusi sampel digerakkan oleh gaya grafitasi bumi (Day,1992).

Prosedur awal dari metode ini adalah penyiapan kolom dan fase diam. Fase diam
yang digunakan praktikum ini adalan silica gel. Alasan pemilihan silica gel karena memiliki
tekstur dan struktur yang lebih kompak dan teratur. Saat memadat, silica gel akan berbentuk
tetrahedral raksasa sehingga ikatannya kuat dan rapat, sehingga proses pemisahan menjadi
optimal.
Silica gel dapat membentuk ikatan hidrogen dipermukaannya, karena terikat gugus
hidroksi. Oleh karenanya, silica gel bersifat polar. Jika fase gerak non polar, komponen-
komponen yanag bersifat polar akan terikat dan tertahan dalam fase diam. Komponen yang
tidak polar akan keluar bersama fase gerak lebih cepat (Hanani,2015).

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan pada praktikum kolom lambat


minggu pertama dilakukan fraksinasi ekstrak dengan menggunakan kolom lambat.
Pada kolom ini diisi dengan silica gel, eluen dan ekstrak. Setiap penampungan ke
vial, eluen tetap ditambahkan secara berkesinambungan karena Eluen akan
mengelusi sampel dan membawa senyawa bersamanya menuju wadah (keluar dari
kolom). Fase diam (silika gel) memiliki daya adsorbsi yang cukup besar, sehingga
ketika eluen yang membawa sampel melewati fase diam akan terbentuk fraksi-fraksi
warna yang berbeda. Fraksi warna yang berbeda ini menunjukkan perbedaan
senyawa atau zat aktif yang dipisahkan dari setiap fraksi. Semakin pekat warna
fraksi, maka semakin banyak senyawa atau zat aktif yang terpisahkan dalam fraksi
tersebut. Hasil tetesan yang ditampung sebanyak 30 vial. Dari hasil tampungan 30
vial ini akan di simpan dan digunakan praktikum minggu selanjutnya. Pada
praktikum kolom lambat minggu kedua dilakukan analisa dari KLT hasil fraksinasi
ekstrak dari vial 1, 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 lalu didapatkan didapatkan beberapa
noda di tiap totolan pada pengamatan dibawah sinar UV dengan panjang gelombang
366 nm setelah plat disemprot dengan H2SO4 10%. Dari noda ini kemudian dapat
dihitung nilai Rf.

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, didapatkan hasil nilai Rf pada


pengamatan dibawah sinar UV dengan panjang 366 nm sebagai berikut: pada fraksi
etil asetat Rf1 0,15 dengan warna noda ungu, Rf2 0,815 dengan warna noda orange,
Rf3 0,475 dengan warna noda hijau dan Rf4 0,625 dengan warna noda ungu. Pada
vial 1 Rf yang didapatkan antara lain Rf1 0,625 dengan warna noda ungu, Rf2 0,4875
dengan warna noda hijau dan Rf3 0,6125 dengan warna noda ungu. Pada vial 5
didapatkan Rf1 0,015 dengan warna noda hijau, Rf2 0,475 dengan warna noda hijau,
dan Rf3 0,6125 dengan warna noda ungu. Pada vial 10, Rf yang didapatkan antara
lain Rf1 0,625 dengan warna noda hijau, Rf2 0,2175 dengan warna noda hijau, Rf3
0,6 dengan warna noda ungu dan Rf4 0,8375 dengan warna noda kuning. Pada vial
15, Rf yang didapatkan antara lain Rf1 0,3625 dengan warna noda kuning, Rf2
0,4875 dengan warna noda hijau dan Rf3 0,6 dengan warna noda ungu. Pada vial 20
didapatkan nilai Rf yaitu Rf1 0,075 dengan warna noda kuning, Rf2 0,3625 dengan
warna noda kuning, Rf3 0,1475 dengan warna noda hijau dan Rf4 0,6 dengan warna
noda ungu. Pada vial 25 didapatkan nilai Rf, Rf1 0,3 dengan warna noda kuning, Rf2
0,475 dengan warna noda hijau dan Rf3 0,6125 dengan warna noda ungu. Pada vial
30 didapatkan nilai Rf yaitu Rf1 0,4875 dengan warna noda hijau dan Rf2 0,625
dengan warna noda ungu.

Untuk mengidentifikasi senyawa pada masing-masing noda, maka perlu


dilakukan analisis hubungan antara warna noda dengan identitas senyawa, dengan
merujuk pada data literatur yang terkait dengan kandungan senyawa pada
Cinnamomum burmannii. Kandungan senyawa metabolit yang diketahui terdapat
pada simplisia Cinnamomum burmannii adalah alkaloid, fenol, flavonoid, terpenoid,
steroid serta minyak atsiri (Apriani., 2012). Dengan mengetahui kandungan
Cinnamomum burmannii maka kemudian dapat dilakukan pemeriksaan warna
dengan mencocokkan warna noda pada KLT dengan warna yang ditimbulkan oleh
masing-masing senyawa metabolit tersebut ketika disinari dengan UV 254 nm dan
366 nm serta direaksikan dengan asam sulfat (H2SO4).

Pada identifikasi senyawa alkaloid dari fraksi etil asetat dengan uji KLT, reaksi ini
akan menghasilkan warna merah kecoklatan (Wati dkk, 2017). Pada plat KLT ini tidak
ditemukan adanya senyawa alkaloid, karena tidak terdapat spot atau noda berwarna merah
kecoklatana pada sampel fraksi etil asetat maupun hasil tampungan lainnya. Akan tetapi,
tidak semua jenis alkaloid akan menghasilkan warna kuning saat diuji dengan asam sulfat,
sehingga untuk mengetahui lebih detail mengenai jenis alkaloid yang ada pada noda tersebut
perlu dilakukan uji kimiawi yang lebih spesifik.

Pada kasus identifikasi senyawa fenol, diketahui bahwa senyawa fenol merupakan
senyawa yang berfluoresensi secara alami bila disinari dengan sinar Ultraviolet dengan
panjang gelombang 366 nm, dimana fluoresensi pada senyawa fenol ini menghasilkan warna
biru. Namun, senyawa fenol terdapat berbagai jenisnya. Berdasarkan Ćetković et al., noda
berwarna biru ata biru muda mengindikasikan senyawa asam fenolat (Ćetković et al., 2003).
Berdasarkan pengamatan dibawah sinar UV 366 nm, spot atau noda hijau sebenarnya
nampak seperti antara biru dan biru muda, kemungkinan besar noda tersebut merupakan
golongan senyawa fenol yaitu senyawa asam fenolat. Akan tetapi, tidak semua jenis fenol
akan menghasilkan warna biru saat diuji dengan UV 366 nm, sehingga untuk mengetahui
lebih detail mengenai jenis fenol yang ada pada noda tersebut perlu dilakukan uji kimiawi
yang lebih spesifik.

Pada kasus identifikasi senyawa flavonoid, diketahui bahwa senyawa flavonoid


merupakan senyawa yang berfluoresensi secara alami bila disinari dengan sinar Ultraviolet
dengan panjang gelombang 366 nm, dimana fluoresensi pada senyawa flavonoid ini
menghasilkan warna violet atau ungu, namun ada juga yang berwarna kuning yang
mengindikasikan adanya senyawa flavonoid yaitu quercetin, atau ungu kekuningan yang
mengindikasikan senyawa rutin (Ćetković et al., 2003). Pada plat KLT terdapat noda
berwarna ungu atau violet, yang memungkinkan bahwa terdapat senyawa flavonoid pada
ekstrak etil asetat dari Cinnamomum burmanii. Senyawa flavonoid yang Pada plat KLT
juga ditemuka noda berwarna kuning, yang memungkinkan bahwa terdapat golongan
senyawa flavonoid yaitu quercetin. Akan tetapi, tidak semua jenis flavonoid akan
menghasilkan warna biru atau kuning saat diuji dengan UV 366 nm, sehingga untuk
mengetahui lebih detail mengenai jenis flavonoid yang ada pada noda tersebut perlu
dilakukan uji kimiawi yang lebih spesifik.

Pada identifikasi senyawa terpenoid, diketahui bahwa terpenoid akan menghasilkan


warna merah atau merah muda apabila direaksikan dengan asam sulfat (Gunawan dkk.,
2008). Pada plat KLT ini tidak ditemukan spot atau noda berwarna merah atau merah muda
sehingga kemungkinan ekstrak Cinnamomum burmanii pada fraksi etil asetat ini tidak
terdapat senyawa terpenoid.

Pada identifikasi senyawa steroid, diketahui bahwa steroid akan menghasilkan warna
biru kehijauan apabila direaksikan dengan asam sulfat (Kristianti., 2007). Pada plat KLT
terdapat noda yang berwarna biru kehijauan yang memungkinkan merupakan noda yang
berasal dari senyawa steroid. Namun, warna biru kehijauan ini juga dapat mengindikasikan
adanya senyawa fenol. Maka dari itu perlu dilakukan uji spesifik terhadap senyawa-senyawa
ini.

Pada identifikasi senyawa minyak atsiri, minyak atsiri akan menghasilkan warna
ungu apabila disinari dengan sinar Ultraviolet dengan panjang gelombang 366 nm (Apriani.,
2012). Pada plat KLT ini, ditemukan spot atau noda berwarna ungu, yang memungkinkan
terdapat senyawa minyak atsiri dalam ekstrak Cinnamomum burmanii pada fraksi etil asetat.
Namun, diperlukan uji spesifik lebih lanjut karena warna ungu atau violet juga
menginsikasikan adanya senyawa flavonoid.

Identifikasi senyawa yang telah dilakukan tidak memperhatikan atau


memperhitungkan nilai Rf dari masing-masing noda, sebab nilai Rf tersebut akan memiliki
nilai yang bervariasi, bergantung pada jenis fase gerak dan fase diam yang digunakan saat
proses eluasi. Selain itu, warna noda yang dihasilkan dari uji senyawa dengan metode KLT
ini tergantung pada fraksi pelarut apa yang digunakan, karena dengan ekstrak yang sama
tapi apabila menggunakan fraksi yang berbeda, warna noda atau spot yang tampak dibawah
sinar UV 366 nm juga bisa berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan, ANDI UGM,
Yogyakarta.
Apriani, Riza. 2012. Uji Penghambatan Aktivitas α-Glukosidase dan Identifikasi Golongan
Senyawa dari Fraksi yang Aktif pada Ekstrak Kulit Batang Cinnamomum burmannii
(Nees & T.Ness) Blume. Tugas akhir. Tidak diterbitkan, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok

Ćetković S. Gordana et al. Thin Layer Chromatography Analysis and Scavenging Activity of
Maringold (Calendula officinalis) Extracts. Journal of APTEFF, 2004; 34: 93-102

Day dan Underwood. 1992. Quantitative Analisis. Jakarta : Erlangga


Gunawan, I.W.G., I.G.A Gede Bawa, N.L Sutrisnayanti. Isolasi dan Identifikasi Senyawa
Terpenoid yang Aktif Antibakteri pada Herba Meniran (Phyllanthus niruri Linn).
Jurnal Kimia. 2008. 2 (1): 31-39

Hanani, Endang. 2015. Analisis Fitokimia. Jakarta : EGC


Iskandar, M.J. 2007. Pengantar Kromatografi Edisi Kedua. Penerbit ITB. Bandung.

Khopkar, S.M. 2008. Konsep Dasae Kimia Analitik. Jakarta : Erlangga.

Kristianti, Puspita Ayu. 2007. Isolasi dan Identifikasi Glukosida Saponin pada Herba Krokot
(Portulaca oleracea L.). Tugas akhir. Tidak diterbitkan. Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta

Lenny, S. 2006. Analisi Kromatografi dan Mikroskop. ITB. Bandung.

Wijaya, Kusuma Hembing. 1996. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia, Jilid IV. Jakarta :
Pustaka Kartini
Wati, Mila, Erwin, Daniel Tarigan. 2017. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Metabolit
Sekunder dari Fraksi Etil Asetat pada Daun Berwarna Merah Pucuk (Syzygium
myrtifilum WALP. Jurnal Kimia Mulawarman Volume 14 Nomor 2: 100-107

Yazid, Estien. 2005. Kimia Fisika Paramedis. Yogyakarta : Andi


Lampiran

Anda mungkin juga menyukai