1. DEFINISI
Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah penyakit gangguan metabolik
yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara
yaitu rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar, penurunan
reseptor glukosa pada kelenjar pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di
jaringan perifer (Fatimah, 2015). Diabetes tipe 2 ditandai dengan resistensi
insulin (yaitu ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin secara
efektif) dan produksi insulin pankreas yang tidak mencukupi, yang
mengakibatkan kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia). Gejala yang
dikeluhkan pada penderita DM yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan
berat badan, hingga kesemutan. DM tipe 2 identik dengan obesitas, kurangnya
aktivitas gerak, peningkatan tekanan darah, gangguan pada jumlah lipid dan
kecenderungan adanya trombosis, serta tingginya resiko kardiovaskuler. DM
tipe 2 juga berhubungan dengan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler
jangka panjang yang diikuti dengan berkurangnya kualitas dan harapan hidup
pasien (NICE, 2016).
2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit diabetes melitus tipe 2 (DMT2) meliputi lebih 90% orang dari
semua populasi penderita diabetes. Prevalensi DMT2 pada ras kulit putih
berkisar antara 3-6% pada populasi dewasa. International Diabetes Federation
(IDF) pada tahun 2011 mengumumkan 336 juta orang di seluruh dunia
mengidap DMT2 dan penyakit ini terkait dengan 4,6 juta kematian tiap
tahunnya, atau satu kematian setiap tujuh detik. Penyakit ini mengenai 12%
populasi dewasa di Amerika Serikat dan lebih dari 25% pada penduduk usia
lebih dari 65 tahun (Decroli et al ., 2019).
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 akan menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1
juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan data dari
IDF 2014, Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua
peringkat dibandingkan dengan tahun 2013 dengan 7,6 juta orang penyandang
DM. Penelitian epidemiologi yang dilakukan hingga tahun 2005 menyatakan
bahwa prevalensi diabetes melitus di Jakarta pada tahun 1982 sebesar 1,6%,
tahun 1992 sebesar 5,7%, dan tahun 2005 sebesar 12,8%. Pada tahun 2005 di
Padang didapatkan prevalensi DMT2 sebesar 5,12% (Decroli et al ., 2019).
3. ETIOLOGI
4. PATOFISIOLOGI
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel B pancreas. Diabetes melitus tipe 2
bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran
insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini
lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulinbanyak terjadi
akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang
berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara
autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut. Pada
awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan
selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B
pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah. 2015)
5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
1. Diet Diabetes
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :
a. Jenis kelamin
c. Berat Badan
d. Aktivitas Fisik
2. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama 30 menit/
kali), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan
sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, dan
berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan adalah berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah mengalami komplikasi
DM, intensitas latihan jasmani dapat dikurangi (Decroli. E, 2019).
3. Monitor Kadar Glukosa Darah
6. TERAPI FARMAKOLOGI
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Obat ini memiliki efek utama yaitu meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pancreas. Namun, memiliki efek samping utama yaitu
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Oleh karena itu obat
golongan ini digunakan secara hati-hati pada pasien yang beresiko tinggi
mengalami hipoglikemia seperti orang tua, gangguan fungsi hati, dan
ginjal. Obat golongan ini dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,4-1,2 %.
Obat ini dikonsumsi sebelum makan.
1) Glibenklamid : dosis harian 2,5-20 mg dengan lama kerja 12-24
jam
2) Glipizide : dosis harian 5-20 mg dengan lama kerja 12-16 jam
3) Glikazid : dosis harian 40-320 mg dengan lama kerja 10-20
jam
4) Glikuidon : dosis harian 15-120 mg dengan lama kerja 6-8 jam
5) Glimepiride : dosis harian 1-8 mg dengan lama kerja 24 jam
(PERKENI, 2015; PERKENI, 2019)
Glinid
Obat ini memiliki mekanisme aksi mirip dengan sulfonylurea tetapi
berbeda reseptor yang dapat menekan peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Obat ini dapat diabsorbsi dengan cepat dan diekskresikan secara
cepat melalui hati. Efek samping yang dapat terjadi yaitu hipoglikemia.
Namun obat ini sudah tidak tersedia di Indonesia. Golongan obat ini
terdapat dua macam yaitu repaglinide (derivate asam benzoat) dan
Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial
1) Repaglinid : dosis hasian 1-16 mg dengan lama kerja 4 jam
2) Nateglinid : dosis harian 180-360 mg dengan lama kerja 4 jam
Tiazolidinedion
Golongan obat dengan mekanisme agonis dari perixosome
proliferator activated receptor gamma yang merupakan reseptor ini
yang terdapat pada sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini dapat
menurunkan retensi insulin melalui peningkatan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga dapat mengalami peningkatan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Golongan obat ini dikontraindikasikan pada
gagal jantung NYHA kelas III-IV karena dapat mengalami peningkatan
retensi cairan. Efek samping penggunaan obat ini adalah dapat
menyebabkan edema. Golongan obat ini dapat menurunkan HbA1c
sebesar 0,5-1,4 %. Contoh obat yang termasuk golongan obat ini yaitu
pioglitazone yang dapat diminum tidak bergantung jadwal makan
dengan dosis harian sebesar 15-45 mg. Obat ini memiliki lama kerja 24
jam.
(PERKENI, 2015; PERKENI, 2019)
c. Penghambat α-glukosidase
Golongan ini bekerja dengan cara melalui penghambatan enzim α-
glukosidase yang terdapat pada saluran pencernaan sehingga dapat
menghambat penyerapan glukosa di usus halus. Golongan ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan LFG ≤30 ml/menit/1,73 m2 ,
gangguan fisiologi hati yang berat, dan irritable bowel syndrome. Efek
samping yang dapat terjadi yaitu penumpukan gas pada usus (bloating)
sehingga dapat menimbulkan flatus. Selain itu efek samping yang dapat
terjadi yaitu dapat menyebabkan tinja menjadi lembek. Namun, hal
tersebut dapat diatasi dengan pemberian pada dosis kecil. Obat ini dapat
menurunkan HbA1c sebesar 0,5-0,8 %. Contoh obat pada golongan ini
akarbosa dengan dosis harian sebesar 100-300 mg dengan cara bersama
dengan suapan pertama.
(PERKENI, 2015; PERKENI, 2019)
Alergi : -
Kepatuhan Tidak patuh Obat Tradisional Jamu
2. Tekanan Darah < 140/90 160/90 160/90 150/90 140/10 140/80 140/80 120/80 150/10 140/90 140/80 120/90
(mmHg) 0 0
(JNC-8)
4. RR (x/menit) 18 – 20 22 22 24 20 20 18 20 20 20 20 18
5. GCS 456 345 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456
6. Mual + + + - - - - - - - -
7. Muntah + + + - - - - - - - -
8. Pusing + + + + - - - + + + +
9. Pilek - - - - - - - + + + +
12. Kesemutan - - - + + + + + + + +
pada kaki dan
tangan
8.1 SUBJEKTIF
Nilai Tanggal
No. Data Klinik
Rujukan
21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 30/2 1/3
2. Tekanan Darah < 140/90 160/90 160/90 150/90 140/10 140/80 140/80 120/80 150/10 140/90 140/80 120/90
(mmHg) 0 0
(JNC-8)
4. RR (x/menit) 18 – 20 22 22 24 20 20 18 20 20 20 20 18
5. GCS 456 345 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456
6. Mual + + + - - - - - - - -
7. Muntah + + + - - - - - - - -
8. Pusing + + + + - - - + + + +
9. Pilek - - - - - - - + + + +
11. BAB + - - - - - - + + + +
12. Kesemutan - - - + + + + + + + +
pada kaki dan
tangan
Subjektif :
Mual Muntah
Pasien mengalami mual dan muntah sejak di rumah sampai tanggal 23 Februari. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
gastroparesis diabetik. Gastroparesis diabetik merupakan komplikasi DM yang menyebabkan pengosongan lambung terlambat dengan
gejala saluran pencernaan atas tanpa adanya kerusakan mekanis. Gejala yang umumnya terkait dengan gastroparesis termasuk postprandial
fullness (rasa penuh setelah makan), mual, muntah, anoreksia dan penurunan berat badan, dengan atau tanpa nyeri perut. Gastroparesis
merupakan salah satu manifestasi klinis dari neuropati pada GIT. Mual muncul pada 92% pasien gastroparesis dan muntah pada 84%
(Krishnasamy, 2018)
Gangguan Kesadaran
Penyebab dari penurunan kesadaran pada penderita DM, antara lain hipoglikemi, asidosis, hiperosmolaritas, dan uremik ensefalopati.
Hipoglikemia dapat menyebabkan edema pada sel, sedangkan hiperosmolaritas menyebabkan sel menjadi mengkerut. Kedua kondisi sel
ini menyebabkan penurunan eksitabilitas sel sel saraf yang menyebabkan penurunan kesadaran. Selain dua kondisi tersebut, asidosis juga
mempengaruhi eksitabilitas sel yang dapat berlanjut pada penurunan kesadaran. Patogenesis uremik ensefalopati menyebabkan penurunan
kesadaran yang diduga berhubungan dengan akumulasi zat-zat neurotoksik di dalam darah (Huang, 2016).
DATA LAB
8. Albumin 3,5 – 5,0 g/dL 2,7 2,3 2,3 2,3 menginduksi defisiensi imun melalui
9. BUN 10-24 mg/dL 9,8 13,1 mekanisme peningkatan kadar gula darah
10. Kreatinin 0,6-1,2 mg/dL 0,63 0,90 yang akan mengganggu fungsi fagosit
● K mengalami penurunan :
● Menandakan terjadinya hipokalemia.
Insulin dapat menyebabkan kadar kalium
rendah sehingga glukosa masuk ke dalam
sel dan diikuti oleh kalium ke dalam sel,
sehingga kadar kalium dalam serum
menurun (Perhimpunan Dokter Spesialis
Patologi Klinik Indonesia, 2009). Selain
itu, pasien juga mengalami muntah dan
diare yang menyebabkan rendahnya
kadar kalium dalam tubuh
● Cl mengalami penurunan :
Ion klorida yang rendah disebut juga
dengan hipokloremia. Rendahnya kadar
ion klorida dapat disebabkan karena
kehilangan cairan gastrointestinal
tertentu secara berlebihan yang
disebabkan karena muntah yang
berkaitan dengan hilangnya HCl
(Morrison et al, 1990).
● Nadi :
Diketahui Nadi pasien pada tanggal 21,
22 dan 23 adalah 120, 96, 104. Rentang
normal adalah 80-90 x /menit. Sehingga
tergolong tinngi diatas rentang normal.
Mengalami penurunan pada tanggal 24-1
hingga didalam rentang normal. Semakin
tinggi denyut nadi seseorang,
menunjukkan semakin berat kerja
jantung. Pada orang normal peningkatan
detak jantung diiringi peningkatan pulse
rate (nadi), dan peningkatan metabolisme
untuk mendapatkan energi akan
meningkatkan suhu tubuh. Jika detak
jantung lebih dari 100 kali tiap menit
maka seseorang akan berisiko terserang
penyakit jantung. Pasien diketahui
memiliki riwayat penyakit OMI (Old
Myocard Infark) anteroseptal. adanya
kerusakan jantung mengakibatkan
penurunan curah jantung, sehingga
menurunkan tekanan darah arteri ke
organ-organ vital. Adanya gangguan
fungsi jantung ditandai dengan
peningkatan nadi pasien.
● RR :
Diketahui Nadi pasien pada tanggal 21,
22 dan 23 adalah 120, 96, 104. Rentang
normal adalah 80-90 x /menit. Sehingga
tergolong tinngi diatas rentang normal.
Mengalami penurunan pada tanggal 24-1
hingga didalam rentang normal.
peningkatan nilai RR menjadi salah satu
gejala dari adanya SIRS.
Semakin tinggi denyut nadi seseorang,
menunjukkan semakin berat kerja
jantung. Pada orang normal peningkatan
detak jantung diiringi peningkatan pulse
rate (nadi), dan peningkatan metabolisme
untuk mendapatkan energi akan
meningkatkan suhu tubuh. Jika detak
jantung lebih dari 100 kali tiap menit
maka seseorang akan berisiko terserang
penyakit jantung. Pasien diketahui
memiliki riwayat penyakit OMI (Old
Myocard Infark) anteroseptal. adanya
kerusakan jantung mengakibatkan
penurunan curah jantung, sehingga
menurunkan tekanan darah arteri ke
organ-organ vital. Adanya gangguan
fungsi jantung ditandai dengan
peningkatan nadi pasien. Peningkatan
RR merupakan pertanda adanya hipoksia
jaringan yangditandai oleh adanya
penurunan saturasi oksigen atau SpO2.
Maka secara reflek tubuh akan berusaha
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
menjaga perfusi jaringan otak dengan
cara meningkatkan jumlah RR per menit,
harapannya dengan meningkatnya
jumlah RR maka FiO2 akan meningkat
dan berdampak pula pada peningkatan
PaO2 dan saturasi oksigen jaringan.
Diketahui pasien mendapatkan terapi O2
masker hingga tanggal 23 untuk
memenuhi kebutuhan suplai oksigen
dalam tubuh pasien (Riistanto. R.,
Zakaria A.)
8.3 ASSESMENT
Termasuk:
1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat
2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat
OBAT PROBLEM
(ASSESSMENT)
Inj. Humulin R Injeksi Humulin R digunakan dari awal MRS hingga akhir MRS sebagai monoterapi pada tanggal 25-27
Februari, namun berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 24 Februari, diketahui nilai
GDP pasien masih tinggi yaitu 197 mg/dL, dan pada tanggal 27 Februari nilai GDP dan GD2PP juga
masih tinggi yaitu masing-masing, 401 mg/dL dan 421 mg/dL. Sehingga penggunaan monoterapi injeksi
insulin Humulin R tidak adekuat karena dosis kurang/butuh terapi kombinasi.
Injeksi Humulin R + Aspilet Pada tanggal 2 dan 3 Maret pasien mendapat terapi Humulin R dan juga Aspilet (Aspirin). Kedua obat
tersebut berinteraksi secara moderate. Interaksi keduanya bersifat aditif, dengan meningkatkan efek dari
insulin, sehingga dapat menyebabkan Hipoglikemia. (Sinaga, 2008)
ISDN diindikasikan sebagai profilaksis dan pengobatan angina dan mencegah terjadinya kekambuhan
ISDN p.o
MI. Namun ISDN mempunyai efek samping memicu terjadinya hipotensi ortostatik yang cukup berat
(PIONAS, 2021).
Laxadin® syrup p.o Laxadin merupakan laksatif (pencahar) yang bekerja dengan cara merangsang gerak peristaltik pada usus
besar serta menghambat penyerapan air berlebih dari feses (MIMS, 2021). Laxadin digunakan pasien pada
tanggal 27/02 - 01/03. Sedangkan pasien mengalami diare pada awal MRS (21/02) dan pada tanggal 28/2-
1/3, sehingga penggunaan laxadin tidak tepat.
- SIRS Data pada pasien ini menunjukan terjadinya SIRS. Tanda SIRS pada pasien adalah denyut
jantung atau nadi >90x/menit, frekuensi pernapasan >20x/menit, dan leukosit >12.000/μL. SIRS
kebanyakan disebabkan oleh bakteri gram negatif (60-70%) (Pramono, S., 2018). Pasien belum
menerima terapi obat untuk mengatasi kondisi tersebut.
- Tekanan darah pasien tinggi dan belum diberikan terapi.
Pada awal MRS yaitu tanggal 21-23 Februari dan tanggal 28 Februari tekanan darah pasien tergolong
tinggi dari nilai yang seharusnya (140/90 mmHg). Hipertensi adalah komorbiditas umum pada pasien
diabetes. Pada penderita DM, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia) sehingga terjadi
resistensi cairan intravaskular yang berakibat pada peningkatan volume cairan tubuh serta diikuti
dengan kerusakan sistem vaskular yang menyebabkan peningkatan resistensi arteri perifer. Kedua
keadaan ini yang menjadi dasar terjadinya hipertensi (Ohishi, M., 2018).
- Pada hasil data lab, pasien mengalami penurunan nilai Albumin pada tanggal 21/2, 24/2, 27/2, dan 1/3,
namun belum mendapat terapi untuk mengatasinya.
Nilai albumin pada pasien mengalami penurunan. Penurunan albumin atau Hipoalbuminemia
didefinisikan dengan kadar serum albumin yang <3,5 g/dL, namun hipoalbuminemia yang signifikan
secara klinis diidentifikasi pada kadar <2,5 g/dL. Hipoalbuminemia yang tidak segera dikoreksi
mengakibatkan luka gangren semakin memburuk dan tidak kunjung sembuh hingga dapat menyebabkan
sepsis dan meningkatkan resiko mortalitas.
Infus albumin mulai diberikan jika kadar albumin pasien kurang dari 2,5 g/dL (Prabawati, 2012).
Kadar albumin pada pasien : 2,3 g/dl, sehingga infus albumin diberikan.
- Pasien mengalami dislipidemia, namun belum mendapatkan obat untuk mengatasi kolesterolnya yang
tinggi.
Pasien mengalami dislipidemia, dimana kadar LDL, TG (Trigliserida), dan kolesterol total pasien
cenderung tinggi dan di atas kadar normal. Selain itu, HDL pasien juga sempat rendah dan di bawah
normal.
- Pasien mengalami mual dan muntah pada tanggal 21/2 - 23/2. kemungkinan mual-muntah ini
dikarenakan kondisi asidosis respiratorik pasien. Namun belum diberi terapi untuk mengatasi kondisi
ini.
- Pasien mengalami pilek mulai dari tanggal 28/2–1/3 dan pusing pada tanggal 21/2-24/2 dan 28/2–1/3,
namun pasien belum mendapatkan terapi sesuai indikasi
8.4 PLAN
Inj. Humulin R Diberikan kombinasi 2 terapi untuk mengontrol nilai gula darah pasien yang masih meningkat. Pasien
dapat diberikan insulin sensitisizer sepeti metformin untuk membuat terapi menjadi efektif. Monitoring
kadar gula darah pasien dan mungkin diperlukan dosis adjusment untuk pasien
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah secara ketat dan diedukasi untuk mengkonsumsi obat sambil
ISDN p.o
duduk atau bersandar agar tidak jatuh.
Laxadin® syrup p.o Disarankan untuk memberikan terapi antidiare yaitu Attapulgite. Attapulgite merupakan golongan
adsorbent yang tidak diserap tetapi dapat mengikat air, sehingga air di feses akan berkurang dan
konsistensi feses menjadi normal. Attapulgite dapat menyerap racun, bakteri, rotavirus dan dapat sebagai
barrier pada epitel usus. Attapulgite dapat digunakan sebagai terapi lini pertama dikarenakan tidak
memiliki efek samping yang berarti karena tidak diserap secara langsung dan bekerja lokal didalam usus
(Sari dkk, 2018).
- Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen awal. Sehingga apoteker
bisa menyarankan pemberian ciprofloxacin. Ciprofloxacin bekerja dengan cara menghambat mekanisme
kerja yang umum enzim DNA girase yang berperan dalam pembelahan sel bakteri. Sebelum diberikan
terapi antibiotik perlu dilakukan kultur bakteri menggunakan spesimen darah agar dapat diberikan
antibiotik yang sesuai (Martínez, et al., 2020). Pemilihan antibiotik selanjutnya disesuaikan dengan bakteri
empirik yang ditemukan dari hasil kultur.
- Pengobatan lini pertama dalam manajemen hipertensi pada pasien diabetes adalah angiotensin converting
enzyme inhibitor (ACEIs) dan dapat diganti dengan penghambat reseptor angiotensin II (ARB) jika pasien
mengalami toleransi. Jika tekanan darah target tidak tercapai dengan penghambat ACE atau ARB,
penambahan diuretik tiazid adalah terapi lini kedua yang disukai untuk kebanyakan pasien diabetes
(Whalen, K. and Stewart, R.D., 2008). Sehingga pasien dapat direkomendasikan penggunaan ACEIs
seperti captropil 12,5 mg untuk menurunkan tekanan darah tinggi yang dialami.
- Dapat diberikan Albumin secara intravena untuk segera memperbaiki kondisi hipoalbuminemia pasien dan
mendukung perbaikan kondisi klinis pasien. Infus albumin baru diberikan saat nilai albumin pasien kurang
dari 2,5 mg/dl. Jika masih diatas 2,5 mg/dl maka diberikan terapi non obat seperti mengonsumsi ikan
gabus dan kacang- kacangan (Prabawati, 2012).
- Dapat diberikan terapi obat golongan statin yang merupakan obat dislipidemia yang dapat menurunkan
konsentrasi kolesterol jenis LDL (PERKI, 2013).
Target terapi dengan statin ini ialah kadar LDL pasien menurun hingga kurang dari 100 mg/dl, sehingga
pasien diberikan terapi statin dengan intensitas tinggi karena pasien juga ada riwayat CHD. Namun, jika
setelah pemakaian pasien mengalami efek samping seperti nyeri dan lemah otot, maka terapi statin
diubah menjadi statin dengan intensitas moderate ; Simvastatin 20 mg.
- Disarankan untuk memberikan terapi Metoclopramide. Metoclopramide bekerja dengan cara mempercepat
pengosongan lambung, sehingga mengurangi rasa mual dan mencegah muntah (PIONAS, 2021)
- Disarankan untuk melaporkan kondisi pasien ke dokter. Apoteker bisa menyarankan pemberian obat pilek
seperti dekongestan/ antihistamin (CTM) jika ada alergi. Sedangkan untuk pusingnya, dapat diberi
paracetamol, ibuprofen, dan asam mefenamat.
Obat yang dapat direkomendasikan untuk pasien adalah paracetamol untuk menghindari terjadinya mual
muntah.
PLAN (MONITORING)
MESO:
terjadinya depresi napas, keracunan oksigen (O2) dan nyeri
substernal (Mangku G, Senapathi TGE. 2017)
Inf. NaCl METO:
Pasien tidak lemas, kadar elektrolit (Na dan Cl) normal
MESO:
Edema, hipernatremia, hipokalemia.
Inj. Sohobion METO:
Intensitas kesemutan yang dialami pasien berkurang hingga
hilang
MESO:
Sindroma neuropati
Inj. Actrapid METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal
MESO:
Kelainan refraksi (BNF,2018)
Inj. Humulin R METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal
MESO:
Udema sementara, reaksi lokal dan hipertrofi lemak pada
daerah injeksi; jarang terjadi reaksi hipersensitifitas termasuk
urtikaria, ruam, kelebihan dosis menyebabkan hipoglikemia
(Pionas, 2021) Kelainan refraksi (BNF,2018)
Inj. Lantus METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal
MESO:
Mialgia, Retensi natrium, Perubahan rasa (BNF, 2018)
Inj. Lavemir METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal
MESO:
Gangguan refraksi (BNF, 2018)
Clobazam p.o METO:
Tidak mengalami kejang
MESO:
Tremor, berat badan meningkat, sembelit (BNF, 2018)
Aspar-K p.o METO:
Kadar kalium pasien kembali normal
MESO:
Mual dan muntah, ulserasi esofagus atau usus kecil (Pionas,
2021)
Methioson po METO:
Tidak ada gangguan fungsi atau perlemakan padahati.
MESO:
mual, muntah, rasa mengantuk, gelisah (PIONAS, 2021)
Aspilet p.o METO:
Pasien tidak mengalami nyeri dada
MESO:
Iritasi saluran cerna dengan perdarahan ringan, pemanjangan
bleeding time; bronkospasme; dan reaksi kulit pada pasien
hipersensitif (Pionas, 2021)
ISDN p.o METO:
Pasien tidak mengalami nyeri dada.
MESO:
Sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensi
postural, takikardi (Pionas, 2021)
Laxadin® METO:
syrup p.o BAB pasien lancar
MESO:
Reaksi granulomatosa disebabkan oleh absorpsi sedikit parafin
cair (terutama dari emulsi), pnemonia lipoid dan gangguan
absorpsi vitamin-vitamin larut lemak (Pionas, 2021)
Attalpugite p.o METO:
BAB pasien lancar, konsistensi feses normal
MESO:
Perut kembung, nyeri perut (Pionas, 2021)
Ciprofloxacin METO:
Tidak mengalami SIRS, gejala berkurang, leukosit kembali
normal
MESO:
Takikardi, hipotensi, edema, kemerahan berkeringat (Pionas,
2021)
Metformin METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal
MESO:
Anoreksia, muntah, nyeri perut, eritema (BNF, 2018)
Captopril METO:
Tekanan darah pasien terkontrol atau kembali normal
MESO:
Hipotensi, pusing. sakit kepala, letih, astenia (BNF, 2018)
Albumin METO:
Nilai albumin pasien terkontrol atau kembali normal
MESO:
Mual (BNF, 2018)
Simvastatin METO:
Kadar LDL, TG (Trigliserida), HDL dan kolesterol pasien
terkontrol atau kembali normal
MESO:
Ruam kulit, anemia, pusing, gangguan hati (BNF, 2018)
Metoclopramide METO:
Mual dan muntah pasien teratasi
MESO:
Mengantuk, gelisah, diare, depresi, sindrom neuroleptik
malignan (BNF, 2018)
CTM METO:
Pilek dan alergi pasien teratasi
MESO:
Sedasi, gangguan pencernaan, hipotensi, kelemahan otot
(Pionas, 2021)
Paracetamol METO:
Pusing pasien teratasi
MESO:
hipersensitivitas, ruam kulit, hipotensi (BNF, 2018)
DAFTAR PUSTAKA :
Bare & Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC
BNF, 2018. BNF 76 September 2018 - March 2019. London: BMJ Group dan
Pharmaceutical Press.
Decroli. E. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas : Padang.
Horne, M.M. dan Swearingen, L.P., 2001. Kesimbangan Cairan Elektrolit dan
Asam Basa Edisi 2. Jakarta: EGC
John. MF Adam. 2006. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran. 127:37-40.
Krishnasamy, S., & Abell, T. L.. 2018. Diabetic Gastroparesis: Principles and
Current Trends in Management. Diabetes Therapy, 9(S1), 1–42.
https://doi.org/10.1007/s13300-018-0454-9
Mangku G, Senapathi TGE. 2017. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi
II. Jakarta. Indeks.
Martínez, M.L., Plata-Menchaca, E.P., Ruiz-Rodríguez, J.C. and Ferrer, R., 2020.
An approach to antibiotic treatment in patients with sepsis. Journal of
thoracic disease, 12(3), p.1007.
Mouri, M. and Badireddy, M., 2020. Hyperglycemia. StatPearls NCBI [Internet] :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430900/. Diakses pada 18 Mei
2021.
Morrison G. Serum Chloride. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW,
editors.Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990. Chapter 197.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK309/
Ndraha, S. 2014. Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Depertemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univeritas Krida Wacana Jakarta. Vol
(27). No (2).
National Institute for Health and Care Excellence. 2016. Type 2 Diabetic In
adults: Management. National Institute for Health and Care Excellence. UK.
Ohishi, M., 2018. Hypertension with diabetes mellitus: physiology and pathology.
Hypertension research, 41(6), pp.389-393.
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI.