Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI SISTEM ENDOKRIN,

REPRODUKSI DAN SIRKULASI


(DEA62061)
SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK B2


ANGGOTA:
Ajeng Widyastuti (185070500111006)
Atqillah Irbah Alfitri (185070500111008)
Atha Fawwazah (185070500111032)
Muhammad Afifuddin (185070500111024)
Putri Novita Rosalia (185070500111038)
Reni Lutfi Sa'adah (185070500111020)
Aisyah Maratus Shalihah (185070501111004)
Osa Dwi Jayanti (185070501111013)
Seto Putra Ajipratama (185070501111014)
Siti Nur Cahyaningsih (185070501111020)
Vega Christian Arjasa (185070507111004)
Afifah Zaida Roshanda (185070507111006)
Milhan Aulia Putri (185070507111009)
Arafah Cahya Kamila (185070507111014)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2020/2021
DIABETES MELITUS TIPE 2

1. DEFINISI
Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah penyakit gangguan metabolik
yang di tandai oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin yang terjadi melalui 3 cara
yaitu rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar, penurunan
reseptor glukosa pada kelenjar pankreas, atau kerusakan reseptor insulin di
jaringan perifer (Fatimah, 2015). Diabetes tipe 2 ditandai dengan resistensi
insulin (yaitu ketidakmampuan tubuh untuk menggunakan insulin secara
efektif) dan produksi insulin pankreas yang tidak mencukupi, yang
mengakibatkan kadar glukosa darah tinggi (hiperglikemia). Gejala yang
dikeluhkan pada penderita DM yaitu polidipsia, poliuria, polifagia, penurunan
berat badan, hingga kesemutan. DM tipe 2 identik dengan obesitas, kurangnya
aktivitas gerak, peningkatan tekanan darah, gangguan pada jumlah lipid dan
kecenderungan adanya trombosis, serta tingginya resiko kardiovaskuler. DM
tipe 2 juga berhubungan dengan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler
jangka panjang yang diikuti dengan berkurangnya kualitas dan harapan hidup
pasien (NICE, 2016).

2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit diabetes melitus tipe 2 (DMT2) meliputi lebih 90% orang dari
semua populasi penderita diabetes. Prevalensi DMT2 pada ras kulit putih
berkisar antara 3-6% pada populasi dewasa. International Diabetes Federation
(IDF) pada tahun 2011 mengumumkan 336 juta orang di seluruh dunia
mengidap DMT2 dan penyakit ini terkait dengan 4,6 juta kematian tiap
tahunnya, atau satu kematian setiap tujuh detik. Penyakit ini mengenai 12%
populasi dewasa di Amerika Serikat dan lebih dari 25% pada penduduk usia
lebih dari 65 tahun (Decroli et al ., 2019).
World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 akan menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1
juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan data dari
IDF 2014, Indonesia menempati peringkat ke-5 di dunia, atau naik dua
peringkat dibandingkan dengan tahun 2013 dengan 7,6 juta orang penyandang
DM. Penelitian epidemiologi yang dilakukan hingga tahun 2005 menyatakan
bahwa prevalensi diabetes melitus di Jakarta pada tahun 1982 sebesar 1,6%,
tahun 1992 sebesar 5,7%, dan tahun 2005 sebesar 12,8%. Pada tahun 2005 di
Padang didapatkan prevalensi DMT2 sebesar 5,12% (Decroli et al ., 2019).

Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang


akibat peningkatan angka kemakmuran di negara yang bersangkutan akhir-
akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan
gaya hidup terutama di kota-kota besar menyebabkan meningkatnya angka
kejadian penyakit degeneratif, salah satunya adalah penyakit diabetes melitus.
Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak
pada produktivitas dan dapat menurunkan sumber daya manusia (Decroli et al.,
2019).

3. ETIOLOGI

Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan kegagalan relatif


sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin
untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk
menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi
resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin.
Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada
rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan
perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi
terhadap glukosa.

4. PATOFISIOLOGI
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel B pancreas. Diabetes melitus tipe 2
bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran
insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.Keadaan ini
lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulinbanyak terjadi
akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita
diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang
berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara
autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada
penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut. Pada
awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi
resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan
selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B
pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi
insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin (Fatimah. 2015)
5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
1. Diet Diabetes

Dapat dilakukan dengan menghitung kebutuhan kalori basal dengan


rentang 25-30 kalori/kgBB, dengan ditambah maupun dikurangi dengan
menyesuaikan beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, dan
berat badan. Untuk perhitungan Berat Badan Ideal (BBI) mengunakan
rumus Brocca yang meliputi (Decroli. E, 2019):

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah
150 cm, rumus dimodifikasi menjadi :

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg

Menyesuaikan dengan beberapa faktor yang meliputi (Decroli. E, 2019):

a. Jenis kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dibandingkan kebutuhan


kalori pada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BBI dan pria
sebesar 30 kal/kg BBI.
b. Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun: kebutuhan kalori dikurangi 5%


(untuk dekade antara 40 dan 59 tahun), dikurangi 10% (untuk usia 60 s/d
69 tahun), dan dikurangi 20% (untuk usia di atas 70 tahun).

c. Berat Badan

Pada pasien dengan obesitas, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 20-


30% dari kebutuhan kalori basal (tergantung pada derajat obesitas yaitu
apakah obes I atau obes II). Pada pasien dengan underweight, kebutuhan
kalori ditambah sekitar 20-30% dari kebutuhan kalori basal (sesuai
dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB).

d. Aktivitas Fisik

Penambahan 10% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien


dalam keaadaan istirahat total, penambahan 20% dari kebutuhan kalori
basal diberikan pada pasien dengan aktivitas fisik ringan, penambahan
30% dari kebutuhan kalori basal diberikan pada pasien dengan aktivitas
fisik sedang, dan penambahan 50% dari kebutuhan kalori basal diberikan
pada pasien dengan aktivitas fisik sangat berat.

Persentase asupan karbohidrat yang dianjurkan untuk pasien DMT2


adalah sebesar 45-65% dari kebutuhan kalori total. Persentase asupan
lemak yang dianjurkan adalah sekitar 20-25% dari kebutuhan kalori total.
Asupan lemak ini tidak diperkenankan melebihi 30% dari kebutuhan
kalori total. Persentase asupan lemak jenuh yang dianjurkan adalah
kurang 7 % dari kebutuhan kalori total. Persentase asupan lemak tidak
jenuh ganda yang dianjurkan adalah kurang 10 % dari kebutuhan kalori
total.

Dilakukan pembatasan konsumsi pada makanan yang mengandung


banyak lemak jenuh dan lemak trans yang meliputi: daging tinggi lemak,
jeroan ayam, gorengan, dll. Serta disarankan untuk memenuhi kebutuhan
protein dengan mengonsumsi seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe. penderita diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber
karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat,
dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah
sekitar 25 g/1000 kkal/hari.

2. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama 30 menit/
kali), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan
sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, dan
berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitivitas insulin sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan adalah berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, joging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah mengalami komplikasi
DM, intensitas latihan jasmani dapat dikurangi (Decroli. E, 2019).
3. Monitor Kadar Glukosa Darah

Hal terpenting dalam pada terapi non farmakologi adalah melakukan


pemeriksaan sendiri kadar glukosa darah serta edukasi berkelanjutan
mengenai bentuk pengobatan pada pasien diabetes (Decroli. E, 2019).

6. TERAPI FARMAKOLOGI
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
 Sulfonilurea
Obat ini memiliki efek utama yaitu meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pancreas. Namun, memiliki efek samping utama yaitu
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Oleh karena itu obat
golongan ini digunakan secara hati-hati pada pasien yang beresiko tinggi
mengalami hipoglikemia seperti orang tua, gangguan fungsi hati, dan
ginjal. Obat golongan ini dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,4-1,2 %.
Obat ini dikonsumsi sebelum makan.
1) Glibenklamid : dosis harian 2,5-20 mg dengan lama kerja 12-24
jam
2) Glipizide : dosis harian 5-20 mg dengan lama kerja 12-16 jam
3) Glikazid : dosis harian 40-320 mg dengan lama kerja 10-20
jam
4) Glikuidon : dosis harian 15-120 mg dengan lama kerja 6-8 jam
5) Glimepiride : dosis harian 1-8 mg dengan lama kerja 24 jam
(PERKENI, 2015; PERKENI, 2019)
 Glinid
Obat ini memiliki mekanisme aksi mirip dengan sulfonylurea tetapi
berbeda reseptor yang dapat menekan peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Obat ini dapat diabsorbsi dengan cepat dan diekskresikan secara
cepat melalui hati. Efek samping yang dapat terjadi yaitu hipoglikemia.
Namun obat ini sudah tidak tersedia di Indonesia. Golongan obat ini
terdapat dua macam yaitu repaglinide (derivate asam benzoat) dan
Nateglinid (derivate fenilalanin). Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial
1) Repaglinid : dosis hasian 1-16 mg dengan lama kerja 4 jam
2) Nateglinid : dosis harian 180-360 mg dengan lama kerja 4 jam

(PERKENI, 2015; PERKENI, 2019)

b. Peningkat Sensitivitas Insulin


 Metformin

Metformin (golongan biguanida) sebagai pilihan pertama pada


kasus DM tipe 2. Obat ini memiliki mekanisme kerja utama yaitu
mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis) dan memperbaiki
ambilan glukosa di jaringan perifer. Efek samping yang dapat terjadi
yaitu gangguan saluran pencernaan seperti dyspepsia, diare, dan lain-
lain. Metformin dapat menurunkan HbA1c sebesar 1,0-1,3 %.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan LFG < 30
ml/menit/1,73 m2, adanya gangguan hati berat serta pasien yang
beresiko terjadi hipoksemia seperti penyaki serebrovaskular, sepsis,
renjatan, PPOK, gagal jantung NYHA kelas III-IV. Dosis metformin
dapat diturunkan pada pasien dengan LFG 30-60 ml/menit/1,73 m2.
Metformin dapat diberikan bersama/sesudah makan dengan dosis harian
500-3000 mg. metformin memiliki lama kerja 6-8 jam.

(PERKENI, 2015; PERKENI, 2019)

 Tiazolidinedion
Golongan obat dengan mekanisme agonis dari perixosome
proliferator activated receptor gamma yang merupakan reseptor ini
yang terdapat pada sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini dapat
menurunkan retensi insulin melalui peningkatan jumlah protein
pengangkut glukosa sehingga dapat mengalami peningkatan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Golongan obat ini dikontraindikasikan pada
gagal jantung NYHA kelas III-IV karena dapat mengalami peningkatan
retensi cairan. Efek samping penggunaan obat ini adalah dapat
menyebabkan edema. Golongan obat ini dapat menurunkan HbA1c
sebesar 0,5-1,4 %. Contoh obat yang termasuk golongan obat ini yaitu
pioglitazone yang dapat diminum tidak bergantung jadwal makan
dengan dosis harian sebesar 15-45 mg. Obat ini memiliki lama kerja 24
jam.
(PERKENI, 2015; PERKENI, 2019)

c. Penghambat α-glukosidase
Golongan ini bekerja dengan cara melalui penghambatan enzim α-
glukosidase yang terdapat pada saluran pencernaan sehingga dapat
menghambat penyerapan glukosa di usus halus. Golongan ini
dikontraindikasikan pada pasien dengan LFG ≤30 ml/menit/1,73 m2 ,
gangguan fisiologi hati yang berat, dan irritable bowel syndrome. Efek
samping yang dapat terjadi yaitu penumpukan gas pada usus (bloating)
sehingga dapat menimbulkan flatus. Selain itu efek samping yang dapat
terjadi yaitu dapat menyebabkan tinja menjadi lembek. Namun, hal
tersebut dapat diatasi dengan pemberian pada dosis kecil. Obat ini dapat
menurunkan HbA1c sebesar 0,5-0,8 %. Contoh obat pada golongan ini
akarbosa dengan dosis harian sebesar 100-300 mg dengan cara bersama
dengan suapan pertama.
(PERKENI, 2015; PERKENI, 2019)

d. Penghambat Enzim Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-4)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV
sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi
insulin dan menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah
(glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan
Linagliptin.

e. Penghambat Enzim Sodium Glucose co-Transporter-2 (SGLT-2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat
yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja mendapat approvable
letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.
Berikut contoh obat yang digunakan untuk menangani Diabetes Mellitus 2 :
7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI
Kasus:
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS BRAWIJAYA
LEMBAR CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN DAN TERAPI
(CPPT)

Inisial Pasien : Tn. SP Berat Badan : - Ginjal: -


Umur : 63 Tahun Tinggi Badan :- Hepar: -
Keluhan utama : Muntah dan tidak sadar di rumah, pasien diare > 1 kali,
sakit kepala sebelumnya, di IGD kejang ± 2 kali hanya sebentar
Diagnosis : DM Hiperglikemia
Riwayat Penyakit : DM + Gangren (2016)  Metronidazol 2x500 mg,
Actrapid® (insulin regular) 4UI/SC 3x ; OMI (Old Myocard Infark) anteroseptal
 ISDN 2x5mg (2016)
Riwayat Pengobatan : Glucodex® 1-0-0, Glucobay® 3x50 mg,
Lantus® 16 UI/SC, Sohobion® 1x1, Aspilet® 1x1

Alergi : -
Kepatuhan Tidak patuh Obat Tradisional Jamu

Merokok Tidak OTC Tidak

Alkohol Tidak Lain-lain Tidak


Nilai Tanggal
No. Data Klinik Rujukan
21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 30/2 1/3

1. Suhu (oC) 36 – 37 36,5 36 36,5 36 36,3 36,5 36 36 36 36 36,8

2. Tekanan Darah < 140/90 160/90 160/90 150/90 140/10 140/80 140/80 120/80 150/10 140/90 140/80 120/90
(mmHg) 0 0
(JNC-8)

3. Nadi (x/menit) 80 – 90 120 96 104 88 84 88 84 80 84 80 88

4. RR (x/menit) 18 – 20 22 22 24 20 20 18 20 20 20 20 18

5. GCS 456 345 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456

6. Mual + + + - - - - - - - -

7. Muntah + + + - - - - - - - -

8. Pusing + + + + - - - + + + +

9. Pilek - - - - - - - + + + +

10. Mata kabur - - + + + + + + + + +


11. BAB + - - - - - - + + + +

12. Kesemutan - - - + + + + + + + +
pada kaki dan
tangan

Data Tanggal Komentar dan Alasan


No.
Laboratorium Nila Rujukan 21/2 22/2 24/2 27/2 1/3
1. Leukosit 3.500-10.500/µL 25.200 13.500 12.200
2. Hb 11,0 – 16,5% 13,1 12,7 11,9
3. Hematokrit 35,0 – 50,0% 38,7 39,9 33,4
4. Trombosit 150.000- 360.00 252.000 260.000
390.000/µL 0
5. GDP < 126 mg/dL 197 401 284
6. GD2PP < 126 mg/dL 200 421 295
7. GDA < 200 mg/dL 555
8. Albumin 3,5 – 5,0 g/dL 2,7 2,3 2,3 2,3
9. BUN 10-24 mg/dL 9,8 13,1
10. Kreatinin 0,6-1,2 mg/dL 0,63 0,90
11. SGOT 11 – 41 U/L 29 39
12. SGPT 10 – 41 U/L 15 21
13. Kolesterol total 150-250 mg/dL 201 369
14. HDL > 45 mg/dL 37
15. LDL 60-180 mg/dL 261
16. Trigliserida 50-200 mg/dL 275 194
17. Na 135 – 145 138,6 140,6 138,6
mmol/L
18. K 3,5 – 5,0 mmol/L 2,62 2,94 3,02
19. Cl 98 – 106 mmol/L 89,7 98,6 99,7
20. pH 7,35 – 7, 45 7,344
21. pCO2 35 – 45 36,2
22. pO2 80 – 100 62
23 HCO3- 21 – 28 19,6
DOKUMEN FARMASI PASIEN

No. Rekam Medis: 09xxxx Diagnosis: DM Hiperglikemia Tgl. KRS :-


Ruangan asal: IRD Alasan MRS: Nama Dokter : dr. Md
Nama :Tn. SP (L) Muntah dan tidak sadar di rumah, pasien diare > 1 kali, sakit Nama Apoteker : apt. Ema
Alamat : Dampit – Malang kepala sebelumnya, di IGD kejang ± 2 kali hanya sebentar Pristi
Umur/BB : 63 Tahun Alergi : (-)
Pindah Ruangan: Kelas I (21 Februari
2017)
Status Asuransi: BPJS

PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MRS

No JENIS OBAT Regimen Dosis Tanggal Pemberian Obat (mulai MRS)


. Nama Dagang/Generik 21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 1/3 2/3 3/3
1. O2 masker 3 lpm √ √ √ //
2. Inf. NaCl 10 tetes/menit √ √ √ √ √ √ √ //
3. Inj. Sohobion 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
4. Inj. Actrapid 3 x 10 unit/sc √ √ √ //
5. Inj. Humulin R 4-4-6;8-8-10;14-14- 4-4- 4-4- 4-4- 4-4-6 4-4- 4-4- 4-4- 8-8- 8-8- 14-14- 8-8-
16 unit/sc 6 6 6 6 6 6 10 10 16 8
6. Inj. Lantus 0-0-10 unit/sc √ √ //
7. Inj. Lavamer 0-0-10 unit/sc √ √
8. Clobazam p.o 10 mg (0-1/2-1) √ √ √ √ √ √ √ √
9. Aspar-K p.o 3 x 300 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
10. Methioson po 1 x 100 mg √ √ √ √
11. Aspilet p.o 1 x 80 mg √ √
12. ISDN p.o 2 x 5 mg √ √ √
13. Laxadin® syrup p.o PRN √ √ √
TUGAS MAHASISWA:
1) Lengkapi komentar dan alasan untuk data klinik dan data lab yang ada!
(Analisis Subjective dan Objective)
2) Lengkapi tabel indikasi! (Analisis Objective)
3) Lengkapi kolom kosong pada tabel Asuhan Kefarmasian! (Analisis Assessment
dan Plan)
4) Lengkapi kolom kosong pada tabel monitoring (METO dan MESO)! (Analisis
Plan)
Catatan:
Konsep berpikir tetap sesuai metode SOAP (Subjective, Objective, Assessment,
Plan) untuk pengisian form CPPT
PEMBAHASAN KASUS :

8.1 SUBJEKTIF

Nilai Tanggal
No. Data Klinik
Rujukan
21/2 22/2 23/2 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 30/2 1/3

1. Suhu (oC) 36 – 37 36,5 36 36,5 36 36,3 36,5 36 36 36 36 36,8

2. Tekanan Darah < 140/90 160/90 160/90 150/90 140/10 140/80 140/80 120/80 150/10 140/90 140/80 120/90
(mmHg) 0 0
(JNC-8)

3. Nadi (x/menit) 80 – 90 120 96 104 88 84 88 84 80 84 80 88

4. RR (x/menit) 18 – 20 22 22 24 20 20 18 20 20 20 20 18

5. GCS 456 345 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456

6. Mual + + + - - - - - - - -

7. Muntah + + + - - - - - - - -
8. Pusing + + + + - - - + + + +

9. Pilek - - - - - - - + + + +

10. Mata kabur - - + + + + + + + + +

11. BAB + - - - - - - + + + +

12. Kesemutan - - - + + + + + + + +
pada kaki dan
tangan

Komentar dan Alasan :

Subjektif :

 Mual Muntah
Pasien mengalami mual dan muntah sejak di rumah sampai tanggal 23 Februari. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
gastroparesis diabetik. Gastroparesis diabetik merupakan komplikasi DM yang menyebabkan pengosongan lambung terlambat dengan
gejala saluran pencernaan atas tanpa adanya kerusakan mekanis. Gejala yang umumnya terkait dengan gastroparesis termasuk postprandial
fullness (rasa penuh setelah makan), mual, muntah, anoreksia dan penurunan berat badan, dengan atau tanpa nyeri perut. Gastroparesis
merupakan salah satu manifestasi klinis dari neuropati pada GIT. Mual muncul pada 92% pasien gastroparesis dan muntah pada 84%
(Krishnasamy, 2018)
 Gangguan Kesadaran
Penyebab dari penurunan kesadaran pada penderita DM, antara lain hipoglikemi, asidosis, hiperosmolaritas, dan uremik ensefalopati.
Hipoglikemia dapat menyebabkan edema pada sel, sedangkan hiperosmolaritas menyebabkan sel menjadi mengkerut. Kedua kondisi sel
ini menyebabkan penurunan eksitabilitas sel sel saraf yang menyebabkan penurunan kesadaran. Selain dua kondisi tersebut, asidosis juga
mempengaruhi eksitabilitas sel yang dapat berlanjut pada penurunan kesadaran. Patogenesis uremik ensefalopati menyebabkan penurunan
kesadaran yang diduga berhubungan dengan akumulasi zat-zat neurotoksik di dalam darah (Huang, 2016).

 Diare lebih dari 1 kali


Diare kemungkinan disebabkan karena enteropati DM, yaitu komplikasi gastrointestinal pada diabetes mellitus, ditandai dengan
presentasi klinis meliputi diare, konstipasi, dan inkontinensia tinja, yang sering terjadi di malam hari. Kontdisi ini terjadi akibat dari
disfungsi (tidak berfungsi secara normal) persarafan otonom akibat dari penurunan insulin-growth factor Idapat menyebabkan kerusakan
otot polos dan disfungsi saluran cerna berupa tidak normalnya fungsi motorik dan hipersensitivitas organ perut. Mekanisme lain dari
disfungsi saraf otonom adalah penurunan sintesis oksida Nitrit saraf, stress oksidatif, dan ketidakseimbangan neuropeptida enteric (Maisey,
2016)

 Status Hiperosmolar Hiperglikemi (TIdak Ada di Kasus)


Status hipersomolar hiperglikemik merupakan gangguan metabolik akut yang dapat terjadi pada pasien diabetes melitus, yang
ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis. Status hiperosmolar hiperglikemik ditandai
dengan defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Beberapa
studi mengenai perbedaan respon hormon kontra regulator pada KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien memiliki
kadar insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas, kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah
dibandingkan dengan pasien KAD (Samarawima, 2017).

 Sakit Kepala Pusing


Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur polyol, peningkatan pembentukan protein glikasi non enzimatik serta
peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stres oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik
vaskulopati, retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika (Gustimo, 2015). Hubungan antara sakit kepala dan diabetes mellitus (DM)
terjadi akibat dari diabetes melitus mempengaruhi reaktivitas vaskular yang menginduksi neuropati diabetik, dan menyebabkan perubahan
gaya hidup sehingga mampu menyebab terjadinya sakit kepala (Aamodt, 2007)
8.2 OBJEKTIF

DATA LAB

Data Tanggal Komentar dan Alasan


No.
Laboratorium Nila Rujukan 21/2 22/2 24/2 27/2 1/3● Leukosit megalami peningkatan :
1. Leukosit 3.500-10.500/µL 25.200 13.500 12.200 ● Diketauhi hasil lab pasien mengalami
2. Hb 11,0 – 16,5% 13,1 12,7 11,9 peningkatan jumlah leukosit
3. Hematokrit 35,0 – 50,0% 38,7 39,9 33,4 mengindikasikan adanya suatu sepsis
4. Trombosit 150.000- 360.00 252.000 260.000 dimana sepsis merupakan respon
390.000/µL 0 inflamasi sistemik terhadap infeksi,
5. GDP < 126 mg/dL 197 401 284 patogen atau toksin yang dilepaskan ke
6. GD2PP < 126 mg/dL 200 421 295 dalam sirkulasi darah sehingga terjadi

7. GDA < 200 mg/dL 555 aktivasi proses inflamasi. DM dapat

8. Albumin 3,5 – 5,0 g/dL 2,7 2,3 2,3 2,3 menginduksi defisiensi imun melalui

9. BUN 10-24 mg/dL 9,8 13,1 mekanisme peningkatan kadar gula darah

10. Kreatinin 0,6-1,2 mg/dL 0,63 0,90 yang akan mengganggu fungsi fagosit

11. SGOT 11 – 41 U/L 29 39 dalam chemotaxis dan imigrasi sel-sel


inflamasi yang akan terakumulasi di
12. SGPT 10 – 41 U/L 15 21
tempat peradangan. Maka menandakan
13. Kolesterol total 150-250 mg/dL 201 369
14. HDL > 45 mg/dL 37 adanya SIRS, namun data lab leukosit
15. LDL 60-180 mg/dL 261 belum cukup untuk mendiagnosa adanya
16. Trigliserida 50-200 mg/dL 275 194 SIRS, dibutuhkan minimal 2 tanda dari
17. Na 135 – 145 138,6 140,6 138,6 Leukosit, Suhu, Nadi, RR (Codhijah et
mmol/L al,2013)
18. K 3,5 – 5,0 mmol/L 2,62 2,94 3,02 ●
19. Cl 98 – 106 mmol/L 89,7 98,6 99,7 ● GDP mengalami peningkatan :
20. pH 7,35 – 7, 45 7,344 Diketauhi hasil lab pasien menunjukkan

21. pCO2 35 – 45 36,2 peningkatan GDP, GDP merupakan

22. pO2 80 – 100 62 kadar gula darah seseorang yang diukur

23 HCO3- 21 – 28 19,6 atau diperiksa setelah menjalani puasa


sekitar 10-12 jam. GDP dapat digunakan
sebagai parameter dalam diagnosis DM.
Jika hasil pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
dan terdapat keluhan khas dari DM,
maka pasien terdiagnosisa DM (Ndraha,
2014).

● GD2PP mengalami peningkatan :


Peningkatan GD2PP (gula darah 2
jam setelah makan) menandakan bahwa
pasien mengalami hiperglikemia.
Pemantauan hiperglikemia pasien secara
efektif dan efisien untuk mencegah
komplikasi penyakit pada pasien dengan
kontrol kadar gula darah rutin (Mouri,
M. and Badireddy, M., 2020). Hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam
setelah makan > 126 mg/dl juga dapat
digunakan sebagai salah satu untuk
diagnosis Diabetes Mellitus (Departemen
Kesehatan RI. 2005). Pada literatur lain
juga menjelaskan mengenai kategori
Glukosa plasma 2 jam setelah makan
yaitu jika memiliki nilai sebesar ≥ 200
mg/dL termasuk dalam kategori
Diabetes, jika dengan nilai antara 140-
199 mg/dL termasuk dalam Pra-diabetes
serta jika memiliki nilai sebesar < 140
(70-139) mg/dL termasuk dalam kategori
normal (PERKENI, 2019)

● GDA mengalami peningkatan :


Peningkatan GDA (gula darah acak)
menandakan bahwa pasien mengalami
hiperglikemia (Mouri, M. and
Badireddy, M., 2020). GDA merupakan
jenis pemeriksaan gula darah tanpa
memperhatikan kondisi dan makan
(terakhir kali makan) pasien. Apabila
kadar glukosa darah acak atau sewaktu
pasien ≥ 200 mg/dl (plasma vena) maka
merupakan salah satu kriteria pasien
mengalami diabetes melitus (John. MF
Adam, 2006). Berdasarkan Guideline
DepKes RI, 2005 juga menjelaskan
bahwa hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis Diabetes
Mellitus (Departemen Kesehatan RI.
2005). Berdasarkan penjelasan tersebut
maka pada hasil data lab pasien
mengalami peningkatan diatas normal
maka pasien termasuk kategori diabetes.

● Albumin mengalami penurunan :


● Data Lab Kadar albumin pada pasien
menurun menunjukkan bahwa pasien
mengalami hypoalbuminemia. Kadar
albumin dapat mengalami penurunan
selama inflamasi dimana patogenesis
DM tipe 2 sering dikaitkan dengan
inflamasi kronis (Donath, 2014) akibat
mekanisme yang berhubungan dengan
terbentuknya albumin terglikasi yang
berfungsi sebagai prekursor pada AGE
(advanced glyvation end-products) yang
digunakan untuk memicu aktivasi
mediator pro-inflamasi seperti
interleukin-6 (IL-6). Interleukin-1 (IL-1),
dan tumor necrosis factor (TNF) (Bhat,
2017) yang menyebabkan kerusakan
endotel yang kemudian memicu
vasodilatasi otot polos pembuluh darah,
peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, hingga kebocoran kapiler (Short,
2004) sehingga memicu terjadinya difusi
albumin dari intravaskuler ke
ekstravaskuler. Hal tersebut dapat
menyebabkan hypoalbuminemia
(Ballmer, 2001).

● BUN mengalami penurunan pada


tanggal 21/2 :
Pada data lab kadar BUN berada di
bawah kadar normal.
Rendahnya blood urea nitrogen (BUN)
merupakan penanda keseimbangan
pembentukan urea dan katabolisme
protein yang disebabkan urea plasma
yang rendah akibat penggunaan asam
amino dalam gluconeogenesis untuk
membentuk glukosa sebagai pemenuhan
kebutuhan energi sel dalam kondisi stress
oksidatif yang terjadi pada penderita DM
tipe 2. (Murray, 2009).

● Kolesterol total mengalami


peningkatan pada tanggal 24/2 :
Kadar kolesterol total meningkat pada
pasien DM karena resistensi insulin akan
meningkatkan kadar LDL dan TG
(Verges, 2015).
● HDL mengalami penurunan :
Terjadi penurunan HDL pada pasien DM
karena terjadi peningkatan katabolisme
HDL karena Aktivitas lipase hati, enzim
yang mengendalikan katabolisme HDL,
bertambah dalam keadaan resisten
insulin (Verges, 2015).

● LDL mengalami penningkatan :


Pada pasien DM, kadar LDL
mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan karena pada jaringan lemak
penderita DM terjadi perubahan proses
produksi dan pembuangan lipoprotein
plasma. Di jaringan lemak juga terjadi
penurunan efek insulin sehingga
lipogenesis berkurang dan lipolisis
meningkat. Hal ini akan memicu
terjadinya glucotoxicity disertai
lipotoxicity yang menyebabkan
terjadinya peningkatan kadar LDL
kolesterol (Noviyanti dkk., 2015).

● Tg mengalami peningkatan pada


tanggal 21/2 :
Pada keadaan resistensi insulin
terjadi proses dislipidemia atherogenik
melalui peningkatan sekresi VLDL dan
apolipoprotein lainnya seperti apoB yang
mengandung partikel lipoprotein sebagai
hasil peningkatan sirkulasi asam lemak
bebas ke hepar (Sandika, 2020).
Tingkat trigliserida yang lebih
tinggi secara signifikan pada pasien
diabetes karena kelebihan produksi
VLDL sehingga dapat menyebabkan
peningkatan kadar trigliserida plasma
melalui proses pertukaran yang
dimediasi oleh kolesterol ester transfer
protein. Hal ini dapat menghasilkan
penurunan dari HDL-kolesterol (HDL-C)
lipoprotein yang mengakibatkan
penggunaan glukosa yang salah sehingga
menyebabkan hiperglikemia dan
mobilisasi asam lemak dari jaringan
adiposa. Pada diabetes, glukosa darah
tidak dimanfaatkan oleh jaringan
sehingga menyebabkan hiperglikemia.
Asam lemak dari jaringan adiposa
dimobilisasi sebagai energi dan asam
lemak berlebih terakumulasi di hati
selanjutnya diubah menjadi trigliserida
(Sabahelkhier et al., 2016).
Peningkatan trigliserida serum
tidak berhubungan dengan kondisi
hiperglikemia, namun akibat
hiperinsulinemia (kompensasi resistensi
insulin) yang berkorelasi dengan kadar
trigliserida serum. Peningkatan
trigliserida berbanding lurus terhadap
kejadian prediabetes. Kondisi
hipertrigliseridemia dan kadar HDL
rendah lebih sering ditemukan
dibandingkan hiperkolesterolemia. Kadar
TG yang tinggi dan kadar HDL- C yang
rendah diketahui berhubungan dengan
resistensi insulin. Peningkatan
trigliserida dan resistensi insulin akan
berhubungan dengan penurunan kadar
HDL-C. Rasio TG/HDL-C berkaitan
secara signifikan dalam mengidentifikasi
resistensi insulin dan memicu resiko
terjadinya DM Tipe 2.
Hipertrigliseridemia dan rendahnya
kadar HDL menandai terjadinya diabetes
dislipidemia (Sandika, 2020).

● K mengalami penurunan :
● Menandakan terjadinya hipokalemia.
Insulin dapat menyebabkan kadar kalium
rendah sehingga glukosa masuk ke dalam
sel dan diikuti oleh kalium ke dalam sel,
sehingga kadar kalium dalam serum
menurun (Perhimpunan Dokter Spesialis
Patologi Klinik Indonesia, 2009). Selain
itu, pasien juga mengalami muntah dan
diare yang menyebabkan rendahnya
kadar kalium dalam tubuh

● Cl mengalami penurunan :
Ion klorida yang rendah disebut juga
dengan hipokloremia. Rendahnya kadar
ion klorida dapat disebabkan karena
kehilangan cairan gastrointestinal
tertentu secara berlebihan yang
disebabkan karena muntah yang
berkaitan dengan hilangnya HCl
(Morrison et al, 1990).

● pO2 mengalami penurunan:


Diketahui pO2 menunjukkan Kadar yang
rendah menggambarkan hipoksemia
sehingga pasien tidak bernafas dengan
adekuat. pO2 dibawah 60 mmHg
mengindikasikan perlunya pemberian
oksigen tambahan. Tekanan parsial
oksigen (pO2) merupakan indikator
klinis untuk mengetahui status
oksigenisasi. Disamping itu terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi
tekanan parsial oksigen (pO2), yaitu
hemoglobin, jenis kelamin, umur, berat
badan, tidal volume dan kondisi
patalogis seperti penyakit paru
(Gravenstein dan Paulus, 2004). Status
perbaikan ventilasi pada pasien dengan
ventilasi mekanik ditunjukkan dengan
adanya perbaikan bunyi nafas dan nilai
analisa gas darah (peningkatan tekanan
parsial oksigen (pO2) pada konsentrasi
oksigen yang sama) (Horne dan
Swearingen, 2001).

● HCO3- mengalami penurunan :


Rendahnya kadar bikarbonat dan pH
asidosis dapat menandakan terjadinya
asidosis metabolik. Tingginya tingkat
glukosa darah dan adanya asidosis
metabolik merupakan tanda dari
ketoasidosis diabetik (DKA).
Ketoasidosis terjadi karena adanya
gangguan pada produksi insulin yang
dihasilkan. Akibat dari defisiensi insulin
yaitu terjadi pemecahan lemak menjadi
asam lemak bebas dan gliserol. Asam
lemak bebas akan diubah menjadi badan
keton oleh hati. Badan keton bersifat
asam dan bila bertumpuk dalam sirkulasi
darah badan keton akan menimbulkan
ketoasidosis diabetic (Rinawati dan
Chanif, 2020).

● Tekanan darah meningkat :


Diketahui Tekanan Darah pasien pada tgl
21, 22, dan 23 secara berturut turut yaitu
160/90; 160/90; 150/90. tergolong tinggi
diatas rentang normal (<140/90 mmHg).
Kemudian mengalami penurunan sistolik
menjadi 140/100; 140/80; dan 140/80;
120/80 pada tanggal 24, 25, 26 dan 27.
Mengalami kenaikan kembali menjadi
150/100; pada tanggal 28 dan menurun
140/90; 140/80; 120/90 pada tanggal
29,30 dan 1.
Hubungannya dengan DM tipe 2
sangatlah kompleks, hipertensi dapat
membuat sel tidak sensitif terhadap
insulin (resisten insulin). Hipertensi
terjadi karena banyak faktor dimana
faktor itu bisa di mulai dari genetik,
obat-obatan maupun pola hidup (Gibney
MJ., dkk., 2009).
Diketahui riwayat pengobatan pasien
mengonsumsi beberapa obat
antidiabetes, seperti Glucodex yang
bekerja meningkatkan pelepasan insulin
dalam darah, lantus yang bekerja sebagai
short acting insulin. Kadar insulin
berlebih tersebut menimbulkan
peningkatan retensi natrium oleh
tuybulus ginjal yang dapat menyebabkan
hipertensi (Putra I., dkk., 2018).

● Nadi :
Diketahui Nadi pasien pada tanggal 21,
22 dan 23 adalah 120, 96, 104. Rentang
normal adalah 80-90 x /menit. Sehingga
tergolong tinngi diatas rentang normal.
Mengalami penurunan pada tanggal 24-1
hingga didalam rentang normal. Semakin
tinggi denyut nadi seseorang,
menunjukkan semakin berat kerja
jantung. Pada orang normal peningkatan
detak jantung diiringi peningkatan pulse
rate (nadi), dan peningkatan metabolisme
untuk mendapatkan energi akan
meningkatkan suhu tubuh. Jika detak
jantung lebih dari 100 kali tiap menit
maka seseorang akan berisiko terserang
penyakit jantung. Pasien diketahui
memiliki riwayat penyakit OMI (Old
Myocard Infark) anteroseptal. adanya
kerusakan jantung mengakibatkan
penurunan curah jantung, sehingga
menurunkan tekanan darah arteri ke
organ-organ vital. Adanya gangguan
fungsi jantung ditandai dengan
peningkatan nadi pasien.

● RR :
Diketahui Nadi pasien pada tanggal 21,
22 dan 23 adalah 120, 96, 104. Rentang
normal adalah 80-90 x /menit. Sehingga
tergolong tinngi diatas rentang normal.
Mengalami penurunan pada tanggal 24-1
hingga didalam rentang normal.
peningkatan nilai RR menjadi salah satu
gejala dari adanya SIRS.
Semakin tinggi denyut nadi seseorang,
menunjukkan semakin berat kerja
jantung. Pada orang normal peningkatan
detak jantung diiringi peningkatan pulse
rate (nadi), dan peningkatan metabolisme
untuk mendapatkan energi akan
meningkatkan suhu tubuh. Jika detak
jantung lebih dari 100 kali tiap menit
maka seseorang akan berisiko terserang
penyakit jantung. Pasien diketahui
memiliki riwayat penyakit OMI (Old
Myocard Infark) anteroseptal. adanya
kerusakan jantung mengakibatkan
penurunan curah jantung, sehingga
menurunkan tekanan darah arteri ke
organ-organ vital. Adanya gangguan
fungsi jantung ditandai dengan
peningkatan nadi pasien. Peningkatan
RR merupakan pertanda adanya hipoksia
jaringan yangditandai oleh adanya
penurunan saturasi oksigen atau SpO2.
Maka secara reflek tubuh akan berusaha
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
menjaga perfusi jaringan otak dengan
cara meningkatkan jumlah RR per menit,
harapannya dengan meningkatnya
jumlah RR maka FiO2 akan meningkat
dan berdampak pula pada peningkatan
PaO2 dan saturasi oksigen jaringan.
Diketahui pasien mendapatkan terapi O2
masker hingga tanggal 23 untuk
memenuhi kebutuhan suplai oksigen
dalam tubuh pasien (Riistanto. R.,
Zakaria A.)
8.3 ASSESMENT

ASUHAN KEFARMASIAN (ASSESSMENT DAN PLAN)

Termasuk:

1. Masalah aktual & potensial terkait obat 3. Pemantauan efek obat 5. Pemilihan obat 7. Efek samping obat

2. Masalah obat jangka panjang 4. Kepatuhan penderita 6. Penghentian obat 8. Interaksi obat

OBAT PROBLEM
(ASSESSMENT)

Inj. Humulin R Injeksi Humulin R digunakan dari awal MRS hingga akhir MRS sebagai monoterapi pada tanggal 25-27
Februari, namun berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 24 Februari, diketahui nilai
GDP pasien masih tinggi yaitu 197 mg/dL, dan pada tanggal 27 Februari nilai GDP dan GD2PP juga
masih tinggi yaitu masing-masing, 401 mg/dL dan 421 mg/dL. Sehingga penggunaan monoterapi injeksi
insulin Humulin R tidak adekuat karena dosis kurang/butuh terapi kombinasi.
Injeksi Humulin R + Aspilet Pada tanggal 2 dan 3 Maret pasien mendapat terapi Humulin R dan juga Aspilet (Aspirin). Kedua obat
tersebut berinteraksi secara moderate. Interaksi keduanya bersifat aditif, dengan meningkatkan efek dari
insulin, sehingga dapat menyebabkan Hipoglikemia. (Sinaga, 2008)

ISDN diindikasikan sebagai profilaksis dan pengobatan angina dan mencegah terjadinya kekambuhan
ISDN p.o
MI. Namun ISDN mempunyai efek samping memicu terjadinya hipotensi ortostatik yang cukup berat
(PIONAS, 2021).

Laxadin® syrup p.o Laxadin merupakan laksatif (pencahar) yang bekerja dengan cara merangsang gerak peristaltik pada usus
besar serta menghambat penyerapan air berlebih dari feses (MIMS, 2021). Laxadin digunakan pasien pada
tanggal 27/02 - 01/03. Sedangkan pasien mengalami diare pada awal MRS (21/02) dan pada tanggal 28/2-
1/3, sehingga penggunaan laxadin tidak tepat.

- SIRS  Data pada pasien ini menunjukan terjadinya SIRS. Tanda SIRS pada pasien adalah denyut
jantung atau nadi >90x/menit, frekuensi pernapasan >20x/menit, dan leukosit >12.000/μL. SIRS
kebanyakan disebabkan oleh bakteri gram negatif (60-70%) (Pramono, S., 2018). Pasien belum
menerima terapi obat untuk mengatasi kondisi tersebut.
- Tekanan darah pasien tinggi dan belum diberikan terapi.

Pada awal MRS yaitu tanggal 21-23 Februari dan tanggal 28 Februari tekanan darah pasien tergolong
tinggi dari nilai yang seharusnya (140/90 mmHg). Hipertensi adalah komorbiditas umum pada pasien
diabetes. Pada penderita DM, kadar glukosa darah meningkat (hiperglikemia) sehingga terjadi
resistensi cairan intravaskular yang berakibat pada peningkatan volume cairan tubuh serta diikuti
dengan kerusakan sistem vaskular yang menyebabkan peningkatan resistensi arteri perifer. Kedua
keadaan ini yang menjadi dasar terjadinya hipertensi (Ohishi, M., 2018).
- Pada hasil data lab, pasien mengalami penurunan nilai Albumin pada tanggal 21/2, 24/2, 27/2, dan 1/3,
namun belum mendapat terapi untuk mengatasinya.

Nilai albumin pada pasien mengalami penurunan. Penurunan albumin atau Hipoalbuminemia
didefinisikan dengan kadar serum albumin yang <3,5 g/dL, namun hipoalbuminemia yang signifikan
secara klinis diidentifikasi pada kadar <2,5 g/dL. Hipoalbuminemia yang tidak segera dikoreksi
mengakibatkan luka gangren semakin memburuk dan tidak kunjung sembuh hingga dapat menyebabkan
sepsis dan meningkatkan resiko mortalitas.

Infus albumin mulai diberikan jika kadar albumin pasien kurang dari 2,5 g/dL (Prabawati, 2012).

Kadar albumin pada pasien : 2,3 g/dl, sehingga infus albumin diberikan.
- Pasien mengalami dislipidemia, namun belum mendapatkan obat untuk mengatasi kolesterolnya yang
tinggi.

Pasien mengalami dislipidemia, dimana kadar LDL, TG (Trigliserida), dan kolesterol total pasien
cenderung tinggi dan di atas kadar normal. Selain itu, HDL pasien juga sempat rendah dan di bawah
normal.

- Pasien mengalami mual dan muntah pada tanggal 21/2 - 23/2. kemungkinan mual-muntah ini
dikarenakan kondisi asidosis respiratorik pasien. Namun belum diberi terapi untuk mengatasi kondisi
ini.

- Pasien mengalami pilek mulai dari tanggal 28/2–1/3 dan pusing pada tanggal 21/2-24/2 dan 28/2–1/3,
namun pasien belum mendapatkan terapi sesuai indikasi
8.4 PLAN

OBAT TINDAKAN (Usulan pada Klinis, Perawat, Pasien)


(PLAN)

Inj. Humulin R Diberikan kombinasi 2 terapi untuk mengontrol nilai gula darah pasien yang masih meningkat. Pasien
dapat diberikan insulin sensitisizer sepeti metformin untuk membuat terapi menjadi efektif. Monitoring
kadar gula darah pasien dan mungkin diperlukan dosis adjusment untuk pasien

Injeksi Humulin R + Aspilet

Perlu dilakukan monitoring tekanan darah secara ketat dan diedukasi untuk mengkonsumsi obat sambil
ISDN p.o
duduk atau bersandar agar tidak jatuh.

Laxadin® syrup p.o Disarankan untuk memberikan terapi antidiare yaitu Attapulgite. Attapulgite merupakan golongan
adsorbent yang tidak diserap tetapi dapat mengikat air, sehingga air di feses akan berkurang dan
konsistensi feses menjadi normal. Attapulgite dapat menyerap racun, bakteri, rotavirus dan dapat sebagai
barrier pada epitel usus. Attapulgite dapat digunakan sebagai terapi lini pertama dikarenakan tidak
memiliki efek samping yang berarti karena tidak diserap secara langsung dan bekerja lokal didalam usus
(Sari dkk, 2018).

- Pemberian antibiotik spektrum luas sangat direkomendasikan pada manajemen awal. Sehingga apoteker
bisa menyarankan pemberian ciprofloxacin. Ciprofloxacin bekerja dengan cara menghambat mekanisme
kerja yang umum enzim DNA girase yang berperan dalam pembelahan sel bakteri. Sebelum diberikan
terapi antibiotik perlu dilakukan kultur bakteri menggunakan spesimen darah agar dapat diberikan
antibiotik yang sesuai (Martínez, et al., 2020). Pemilihan antibiotik selanjutnya disesuaikan dengan bakteri
empirik yang ditemukan dari hasil kultur.

- Pengobatan lini pertama dalam manajemen hipertensi pada pasien diabetes adalah angiotensin converting
enzyme inhibitor (ACEIs) dan dapat diganti dengan penghambat reseptor angiotensin II (ARB) jika pasien
mengalami toleransi. Jika tekanan darah target tidak tercapai dengan penghambat ACE atau ARB,
penambahan diuretik tiazid adalah terapi lini kedua yang disukai untuk kebanyakan pasien diabetes
(Whalen, K. and Stewart, R.D., 2008). Sehingga pasien dapat direkomendasikan penggunaan ACEIs
seperti captropil 12,5 mg untuk menurunkan tekanan darah tinggi yang dialami.
- Dapat diberikan Albumin secara intravena untuk segera memperbaiki kondisi hipoalbuminemia pasien dan
mendukung perbaikan kondisi klinis pasien. Infus albumin baru diberikan saat nilai albumin pasien kurang
dari 2,5 mg/dl. Jika masih diatas 2,5 mg/dl maka diberikan terapi non obat seperti mengonsumsi ikan
gabus dan kacang- kacangan (Prabawati, 2012).
- Dapat diberikan terapi obat golongan statin yang merupakan obat dislipidemia yang dapat menurunkan
konsentrasi kolesterol jenis LDL (PERKI, 2013).

Target terapi dengan statin ini ialah kadar LDL pasien menurun hingga kurang dari 100 mg/dl, sehingga
pasien diberikan terapi statin dengan intensitas tinggi karena pasien juga ada riwayat CHD. Namun, jika
setelah pemakaian pasien mengalami efek samping seperti nyeri dan lemah otot, maka terapi statin
diubah menjadi statin dengan intensitas moderate ; Simvastatin 20 mg.

- Disarankan untuk memberikan terapi Metoclopramide. Metoclopramide bekerja dengan cara mempercepat
pengosongan lambung, sehingga mengurangi rasa mual dan mencegah muntah (PIONAS, 2021)

- Disarankan untuk melaporkan kondisi pasien ke dokter. Apoteker bisa menyarankan pemberian obat pilek
seperti dekongestan/ antihistamin (CTM) jika ada alergi. Sedangkan untuk pusingnya, dapat diberi
paracetamol, ibuprofen, dan asam mefenamat.

Obat yang dapat direkomendasikan untuk pasien adalah paracetamol untuk menghindari terjadinya mual
muntah.
PLAN (MONITORING)

Jenis Obat Pemantauan Farmasi


O2 masker METO:
intensitas dari sesak berkurang (pO2, RR, nadi, HCO3) normal
(karena pasien mengalami hipoksia)

MESO:
terjadinya depresi napas, keracunan oksigen (O2) dan nyeri
substernal (Mangku G, Senapathi TGE. 2017)
Inf. NaCl METO:
Pasien tidak lemas, kadar elektrolit (Na dan Cl) normal

MESO:
Edema, hipernatremia, hipokalemia.
Inj. Sohobion METO:
Intensitas kesemutan yang dialami pasien berkurang hingga
hilang

MESO:
Sindroma neuropati
Inj. Actrapid METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal

MESO:
Kelainan refraksi (BNF,2018)
Inj. Humulin R METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal

MESO:
Udema sementara, reaksi lokal dan hipertrofi lemak pada
daerah injeksi; jarang terjadi reaksi hipersensitifitas termasuk
urtikaria, ruam, kelebihan dosis menyebabkan hipoglikemia
(Pionas, 2021) Kelainan refraksi (BNF,2018)
Inj. Lantus METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal

MESO:
Mialgia, Retensi natrium, Perubahan rasa (BNF, 2018)
Inj. Lavemir METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal

MESO:
Gangguan refraksi (BNF, 2018)
Clobazam p.o METO:
Tidak mengalami kejang

MESO:
Tremor, berat badan meningkat, sembelit (BNF, 2018)
Aspar-K p.o METO:
Kadar kalium pasien kembali normal

MESO:
Mual dan muntah, ulserasi esofagus atau usus kecil (Pionas,
2021)
Methioson po METO:
Tidak ada gangguan fungsi atau perlemakan padahati.

MESO:
mual, muntah, rasa mengantuk, gelisah (PIONAS, 2021)
Aspilet p.o METO:
Pasien tidak mengalami nyeri dada

MESO:
Iritasi saluran cerna dengan perdarahan ringan, pemanjangan
bleeding time; bronkospasme; dan reaksi kulit pada pasien
hipersensitif (Pionas, 2021)
ISDN p.o METO:
Pasien tidak mengalami nyeri dada.

MESO:
Sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensi
postural, takikardi (Pionas, 2021)
Laxadin® METO:
syrup p.o BAB pasien lancar

MESO:
Reaksi granulomatosa disebabkan oleh absorpsi sedikit parafin
cair (terutama dari emulsi), pnemonia lipoid dan gangguan
absorpsi vitamin-vitamin larut lemak (Pionas, 2021)
Attalpugite p.o METO:
BAB pasien lancar, konsistensi feses normal

MESO:
Perut kembung, nyeri perut (Pionas, 2021)
Ciprofloxacin METO:
Tidak mengalami SIRS, gejala berkurang, leukosit kembali
normal

MESO:
Takikardi, hipotensi, edema, kemerahan berkeringat (Pionas,
2021)
Metformin METO:
Kadar gula darah pasien terkontrol atau kembali normal

MESO:
Anoreksia, muntah, nyeri perut, eritema (BNF, 2018)
Captopril METO:
Tekanan darah pasien terkontrol atau kembali normal

MESO:
Hipotensi, pusing. sakit kepala, letih, astenia (BNF, 2018)
Albumin METO:
Nilai albumin pasien terkontrol atau kembali normal

MESO:
Mual (BNF, 2018)
Simvastatin METO:
Kadar LDL, TG (Trigliserida), HDL dan kolesterol pasien
terkontrol atau kembali normal

MESO:
Ruam kulit, anemia, pusing, gangguan hati (BNF, 2018)
Metoclopramide METO:
Mual dan muntah pasien teratasi

MESO:
Mengantuk, gelisah, diare, depresi, sindrom neuroleptik
malignan (BNF, 2018)
CTM METO:
Pilek dan alergi pasien teratasi

MESO:
Sedasi, gangguan pencernaan, hipotensi, kelemahan otot
(Pionas, 2021)
Paracetamol METO:
Pusing pasien teratasi
MESO:
hipersensitivitas, ruam kulit, hipotensi (BNF, 2018)
DAFTAR PUSTAKA :

Bare & Smeltzer. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC

BNF, 2018. BNF 76 September 2018 - March 2019. London: BMJ Group dan
Pharmaceutical Press.
Decroli. E. 2019. Diabetes Melitus Tipe 2. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas : Padang.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes


Mellitus. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik
Departemen Kesehatan RI.
Fatimah, Restyana Noor. 2015. DIABETES MELITUS TIPE 2. J MAJORITY.
Volume 4 Nomor 5.

Horne, M.M. dan Swearingen, L.P., 2001. Kesimbangan Cairan Elektrolit dan
Asam Basa Edisi 2. Jakarta: EGC
John. MF Adam. 2006. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang
Baru. Jakarta : Cermin Dunia Kedokteran. 127:37-40.
Krishnasamy, S., & Abell, T. L.. 2018. Diabetic Gastroparesis: Principles and
Current Trends in Management. Diabetes Therapy, 9(S1), 1–42.
https://doi.org/10.1007/s13300-018-0454-9
Mangku G, Senapathi TGE. 2017. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Edisi
II. Jakarta. Indeks.
Martínez, M.L., Plata-Menchaca, E.P., Ruiz-Rodríguez, J.C. and Ferrer, R., 2020.
An approach to antibiotic treatment in patients with sepsis. Journal of
thoracic disease, 12(3), p.1007.
Mouri, M. and Badireddy, M., 2020. Hyperglycemia. StatPearls NCBI [Internet] :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430900/. Diakses pada 18 Mei
2021.
Morrison G. Serum Chloride. In: Walker HK, Hall WD, Hurst JW,
editors.Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition. Boston: Butterworths; 1990. Chapter 197.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK309/
Ndraha, S. 2014. Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Depertemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univeritas Krida Wacana Jakarta. Vol
(27). No (2).
National Institute for Health and Care Excellence. 2016. Type 2 Diabetic In
adults: Management. National Institute for Health and Care Excellence. UK.
Ohishi, M., 2018. Hypertension with diabetes mellitus: physiology and pathology.
Hypertension research, 41(6), pp.389-393.
PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI.

PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). 2019. Pedoman Pengelolaan


dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. Jakarta: PB
Perkeni.
PIONas. 2021. Asetosal (Asam Asetilsalisilat).
http://pionas.pom.go.id/monografi/asetosal-asam-asetilsalisilat (Diakses 25
May 2021).
PIONas. 2021. Humulin R. http://pionas.pom.go.id/obat/humulin-r (Diakses 25
May 2021).
PIONas. 2021. Isosorbid Dinitrat. http://pionas.pom.go.id/monografi/isosorbid-
dinitrat (Diakses 25 May 2021).
PIONas. 2021. Klorfeniramin Maleat.
http://pionas.pom.go.id/monografi/Klorfeniramin-Maleat (Diakses 25 May
2021).
PIONas. 2021. Laxadin. http://pionas.pom.go.id/monografi/laxadin. (Diakses 25
May 2021).
PIONas. 2021. Siprofloksasin. http://pionas.pom.go.id/monografi/siprofloksasin.
(Diakses 25 May 2021).
Pramono, S., 2018. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK
PENCEGAHAN KEJADIAN SIRS (Systemic Inflamatory Response
Syndrome) DI RSU SIAGA MEDIKA PEMALANG (Doctoral dissertation,
Universitas Muhammadiyah Semarang).
Rinawati, Prema dan Chanif. 2020. Peningkatan Efektifitas Pola Napas Pada
Pasien Ketoasidosis Diabetik. Ners Muda. Vol 1(1).
Sabahelkhier, M.K., Awadllah, M.A., Idrees, A.S.M. and Rahheem, A.A.G.A.
2016. A study of lipid profile Levels of Type II Diabetes Mellitus. Nova
Journal of Medical and Biological Sciences, 5(2): 1-9.
Sandika, J. 2020. Rasio Triglyceride/High Density Lipoprotein-Cholesterole dan
Resistensi Insulin sebagai Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal
Majority, 9(1): 195-199.
Vergès B. (2015). Pathophysiology of diabetic dyslipidaemia: where are we?.
Diabetologia, 58(5), 886–899. https://doi.org/10.1007/s00125-015-3525-8
Whalen, K. and Stewart, R.D., 2008. Pharmacologic management of hypertension
in patients with diabetes. American family physician, 78(11), pp.1277-1282.

Anda mungkin juga menyukai