Naskah masuk: 15 Desember 2018 Perbaikan: 20 Desember 2018 Layak terbit: 12 April 2019
http://dx.doi.org/10.22435/hsr.v22i2.285
ABSTRAK
Telah dilakukan studi mengenai praktik kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan yang bertujuan mengidentifikasi
pelayanan kefarmasian yang dibutuhkan pasien dan fasilitas pelayanan kesehatan. Kegiatan studi dilaksanakan di Jawa
Tengah, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan. Dari masing-masing propinsi di atas dipilih satu kota dan satu
kabupaten. Studi dilakukan pada tahun 2016. Lokasi penelitian adalah rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta,
puskesmas dan apotek dengan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap
apoteker penanggung jawab/pengelola obat, dan exit interview terhadap pasien rumah sakit pemerintah dan puskesmas
yang baru selesai menerima pelayanan obat. Hasil penelitian menunjukkan praktik kefarmasian yang dibutuhkan oleh
fasilitas pelayanan kesehatan adalah perencanaan dan pengadaan obat yang baik yang dapat menjaga kesinambungan
ketersediaan stok obat yang diperlukan bagi pelayanan ke pasien serta pengelolaan obat yang efektif dan efisien. Praktik
kefarmasian yang dibutuhkan masyarakat adalah tersedianya obat lengkap, kecepatan pelayanan, dan informasi obat
yang singkat padat. Disarankan perlunya pelatihan perencanaan obat yang lebih komprehensif, kiat-kiat mengantisipasi
kekosongan obat dan lamanya pengiriman, serta pelatihan cara berkomunikasi yang baik kepada pasien secara menyeluruh.
Selain itu, dukungan teknologi informasi bagi pengembangan pelayanan farmasi juga dibutuhkan.
Kata kunci: praktik kefarmasian, fasilitas pelayanan kesehatan, perencanaan obat, informasi obat
ABSTRACT
The study of pharmaceutical practices in health care facilities was conducted in 2016. It aimed to identify pharmaceutical
practices needed by patients and health care facilities. The study sites were in Central Java, Bali, South Kalimantan,
and South Sulawesi. In each provinces, the study was conducted in one urban and one rural district areas. The sample
locations were both government and private hospitals, health centers and pharmacies. The study design study was cross
sectional. Data collection was carried out by in-depth interview to responsible pharmacists who did medicines management,
and exit interview to patients after they received medicines services from government hospitals and primary health cares.
The results showed that pharmaceutical practices needed by the health care facilities were good medicines planning and
procurement that can maintain the continuity of the availability of medicine stocks needed for patients, and the ability in
managing medicines efficiently and effectively. Moreover, the pharmaceutical practices needed by the communities were
medicines completeness, quick services, as well as simple and complete medicines information. It is recommended that
pharmacists should be trained on comprehensive medicines planning, strategy to anticipate the emptiness of medicines
including lead times, and communication skills to the patients. In addition, IT supports for pharmacy services development
is also needed.
Keywords: pharmacy practices, health care facilities, medicines planning, medicines information
Korespondensi:
Selma Siahaan
Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan Balitbangkes
E-mail: selmasiahaan@yahoo.com
126
Identifikasi Praktik Kefarmasian yang Sesuai dengan Kebutuhan Pasien (Selma Siahaan dan Rini Sasanti Handayani)
127
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 22 No. 2 April 2019: 126–136
bila pasien menerima 3-4 macam informasi obat, dan HASIL DAN PEMBAHASAN
kurang baik bila pasien hanya menerima informasi
Wawancara di RS, puskesmas dan apotek
obat kurang dari tiga macam informasi obat.
berisi pokok-pokok pikiran mengenai kebijakan dan
Sampel penelitian dipilih secara purposive
peraturan yang diacu, pengelolaan obat, pelayanan
sampling yang didasarkan pada pembagian wilayah
farmasi, pelayanan dan program yang tidak bisa
barat, timur dan tengah. Terpilih sebagai wilayah
dilakukan, kebutuhan pasien terhadap pelayanan
studi adalah kabupaten/kota di 4 provinsi, yaitu di
farmasi, masalah yang dihadapi, sarana dan
Indonesia Barat (Jawa Tengah), Indonesia Tengah
prasarana farmasi.
(Bali, Kalimantan Selatan) dan Indonesia Timur
(Sulawesi Selatan). Di setiap provinsi dipilih satu
Praktik Kefarmasian yang sesuai dengan
kabupaten dan satu kota. Kriteria pemilihan kota/
Kebutuhan Fasyankes
kabupaten adalah memiliki Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD), puskesmas dan apotek yang bekerja Hasil wawancara mendalam dengan apoteker
sama dengan BPJS dan untuk kota memiliki rumah disimpulkan dalam tabel 1 di bawah.
sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS. Di Semua fasyankes tersebut mengacu kepada PP
setiap kabupaten/ kota dipilih satu puskesmas, satu No. 51 tahun 2009 yang spesifik mengatur pekerjaan
rumah sakit umum daerah (RSUD), satu rumah sakit kefarmasian. Kebijakan RS pemerintah juga mengacu
swasta (khusus untuk kota) dan satu apotek yang kepada undang-undang, peraturan pemerintah,
bekerja sama dengan BPJJS. Kriteria puskesmas regulasi dari Kemenkes. Kebijakan puskesmas, RS
terpilih adalah puskesmas yang jumlah pasien swasta dan apotek lebih mengacu kepada kebijakan
>100 orang per hari dan memiliki apoteker sebagai yang sudah diterjemahkan ke dalam kebijakan teknis
pengelola obat. seperti formularium nasional, standar/pedoman
Informan adalah apoteker penanggung jawab pelayanan obat di puskesmas dan apotek.
yaitu kepala instalasi farmasi RS, kepala unit obat Berdasarkan PP No.51 tahun 2009, praktik
puskesmas dan penanggung jawab apotek. Informan farmasi di fasilitas pelayanan kesehatan terbagi ke
dipilih apoteker karena kompetensi pelayanan dalam beberapa aspek, yaitu aspek pengelolaan obat,
obat dimiliki oleh apoteker. Jumlah apoteker yang aspek pelayanan farmasi klinis, aspek pengendalian
diwawancara pada studi ini yaitu delapan apoteker mutu dan biaya obat. Berdasarkan wawancara
RSUD, empat apoteker RS Swasta, delapan mendalam dengan apoteker yang bertugas sebagai
apoteker puskesmas, dan delapan apoteker apotek penanggung jawab/pengelola obat, umumnya
yang bekerja sama dengan BPJS. Responden apoteker dan tenaga farmasi lainnya melaksanakan
untuk exit interview adalah pasien RSUD dan kegiatan pengelolaan obat mulai dari perencanaan,
puskesmas. Jumlah responden di masing-masing penerimaan, penyimpanan, distribusi dan pelaporan
fasyankes tersebut adalah 30 orang, penentuan obat. Ada RSUD yang tidak melibatkan Apoteker
jumlah responden mengikuti jumlah sampel survey dalam tim pengadaan obat rumah sakit. Pengadaan
cepat WHO (Bennett, Iiyanagec, & Smithd, 1991). obat di RSUD mengacu pada dua peraturan yaitu
Responden adalah responden dewasa yang Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
berusia ≥17 tahun dan selesai menerima obat Rumah Sakit dan Perpres RI No. perpres RI No
dalam rawat jalan dan bersedia untuk diwawancara. 4 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas
Penetapan usia sampel ≥ 17 tahun berdasarkan peraturan presiden no 54 tahun 2010 tentang
pertimbangan pada usia tersebut responden sudah pengadaan barang / jasa pemerintah. Pada Undang-
dapat memahami isi kuesioner dan dapat menjawab Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
dengan baik. Jumlah total responden yang dapat pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa Pengelolaan
diwawancara secara lengkap dan dapat dianalisis Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis
adalah 210 pasien rumah sakit dan 212 pasien Habis Pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh
puskesmas, sedangkan 30 pasien rumah sakit dan Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Kepala Instalasi
28 pasien puskesmas data tidak lengkap. di sini harus seorang apoteker.
Analisis hasil wawancara menggunakan analisis Sedangkan pada Perpres RI No. perpres RI No
konten secara tematik dan analisis hasil exit interview 4 tahun 2015 pasal Pasal 1 ayat 8 meNyebutkan Unit
dengan pasien secara deskriptif. layanan pengadaan (ULP) adalah untuk organisasi
kementerian/lembaga/pemerintah daerah/institusi
128
Tabel 1. Resume hasil wawancara dengan apoteker
RSUD RS Swasta Puskesmas Apotek
Pengetahuan informan mengenai kebijakan dan peraturan yang berlaku di fasyankes masing-masing
• UUNo.36 tahun 2009 tentang • PP No. 51 tahun 2009 • Peraturan BPOM No.7 tahun 2016 tentang Pedoman PP No.51 tahun 2009
Kesehatan, tentang pekerjaan Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang Sering Permenkes no.35 tahun 2016
• PP No. 51 tahun 2009 tentang kefarmasian Disalahgunakan tentang standar pelayanan
pekerjaan kefarmasian • Permenkes No. 72 tahun • Peraturan Pemerintah no.51 tahun 2009 kefarmasian di apotek
• Peraturan Presiden No.4 tahun 2016 tentang Standar • Permenkes no.35 tahun 2014 tentang Standar Surat Ijin Apotek
2015 tentang pengadaan barang Pelayanan Kefarmasian Pelayanan Farmasi Standar Pelayanan Apotek
dan jasa di RS • Buku Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Peraturan BPJS
• Permenkes No. 63 tahun 2014 • Pedoman Visite dari Dirjen Puskesmas
tentang Pengadaan Obat Farmalkes Kemenkes • Buku Dinas Kesehatan yang isinya diantaranya
berdasarkan Katalog Elektronik • Formularium Nasional. tentang pengelolaan obat, daftar obat
(e-Catalogue) esensial nasional (DOEN) dan formularium
• Permenkes No. 72 tahun 2016 nasional(FORNAS)
tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di RS, Peraturan
BPOM No.7 tahun 2016
tentangPedoman Pengelolaan
Obat-Obat Tertentu yang Sering
Disalahgunakan
• Permenkes No.34 tahun 2017
tentang Akreditasi Rumah Sakit
• Formularium Nasional,dan
Formularium RS.
Pengelolaan obat yang dilakukan informan di masing-masing fasyankes
Apoteker ikut serta dalam perencanaan Perencanaan, pembelian dan Apoteker di puskesmas terlibat dalam perencanaan dan Terbatas hanya melakukan
dan distribusi obat. Perencanaan pelayanan (distribusi) obat. distribusi obat, tetapi tidak dalam pengadaan obat. pengadaan obat dari distributor
obat dibuat oleh apoteker dan tenaga Apoteker terlibat mulai dari Prosesnya diawali dengan membuat permintaan obat, dan pelayanan obat untuk
internal farmasi dan juga bersama perencanaan, pengadaan/ mengirim laporan pemakaian dan lembar permintaan pasien JKN.
dengan tim perencana RS. Demikian pembelian sampai pelayanan/ obat (LPLPO) ke instalasi farmasi kabupaten/kota,
pula pengadaan, ada tenaga farmasi distribusi obat. melakukan cek fisik obat, distribusi obat ke pasien dan ke
yang langsung memesan ke distributor, puskesmas pembantu.
dan untuk pembelian jumlah yang
lebih besar melalui tim pengadaan RS.
Beberapa RSUD melibatkan tenaga
farmasi dalam Tim Pengadaan RS,
namun ada juga Tim Pengadaan RS
yang tidak melibatkan apoteker, hanya
tanda tangan Apoteker dimintakan untuk
surat pesanan obat.
Identifikasi Praktik Kefarmasian yang Sesuai dengan Kebutuhan Pasien (Selma Siahaan dan Rini Sasanti Handayani)
129
Pelayanan farmasi satu pintu dan pelayanan farmasi klinis
130
• Sistem pelayanan obat sudah satu • Pelayanan obat di RS • Pelayanan obat di puskesmas pada umumnya belum • Pelayanan obat satu pintu
pintu. swasta sudah satu pintu. satu pintu karena vaksin dan beberapa obat program tidak ditanyakan karena
• Pelayanan farmasi klinis yang • Pelayanan farmasi klinis seperti obat TB masih dikelola oleh pengelola Apotek merupakan unit
diberikan adalah pelayanan yang diberikan RS swasta program masing-masing. kecil yang pegawainya
informasi obat (PIO), visit pasien di Kalsel antara lain • Pelayanan farmasi klinis hanya dalam hal hanya 5 sd 15 orang.
dan pengkajian resep. RSUD Kota komunikasi edukasi dan konseling. Beberapa permasalahan yang ada dalam Semua obat yang didapat
Semarang dan Kota Banjarmasin informasi obat (KIE) atau memberikan pelayanan obat antara lain konseling dari distributor langsung di
sudah melakukan pemantauan konseling, visit pasien, untuk lansia susah bila lansia tidak ada pendamping. distribusikan ke pasien
terapi obat (PTO) dan monitoring homecare dilakukan Oleh karena itu pelatihan konseling khususnya • Pelayanan obat
efek samping obat (MESO). apoteker setiap hari peningkatan kemampuan cara komunikasi masih langsung kepada pasien,
rabu bersama dokter diperlukan. Apoteker di puskesmas rawat inap di tenaga farmasi di
ke rumah pasien yang kota Denpasar sudah menjalankan visit pasien ke apotek melakukan juga
membutuhkan, mis. pasien bangsal. Namun ada puskesmas di provinsi lain pengkajian resep dan
strook. RS swasta di belum melakukan konseling ataupun PIO dengan konseling yang diberikan
provinsi lain melakukan alasan keterbatasan sarana dan kurangnya sumber lebih intens khususnya
pengkajian resep dan daya manusia (SDM): untuk obat-obat pasien
konseling. RS Swasta di “……..tenaga farmasi di sini hanya 2 orang, sehingga degenerative seperti
Kalsel melakukan visit sulit untuk melakukan visit ke bangsal” diabetes dan hipertensi.
pasien di malam hari:
“……di sini apoteker visit
pada malam hari dan
sendirian, karena dokter
tidak mau visit bersama-
sama”
Pelayanan dan program/aktifitas yang belum dapat dilakukan
Pelayanan farmasi klinis seperti Konseling Informasi dan • Pelayanan obat satu pintu. Catatan obat pasien (sejenis
penelusuran riwayat penggunaan obat, Edukasi, home care, • PIO belum berjalan, karena belum ada ruang khusus rekam medis untuk riwayat
rekonsiliasi obat, evaluasi penggunaan pemeriksaan kadar obat dalam untuk melakukan penggunaan obat pasien)
obat, pemantauan penggunaan obat darah belum bisa dilaksanakan
dalam darah dan penyiapan sediaan
steril
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 22 No. 2 April 2019: 126–136
Permasalahan pelayanan obat yang dihadapi
• Sarana dan prasarana farmasi • Waktu apoteker di Waktu apoteker masih lebih banyak tersita untuk tugas Belanja obat pasien JKN
kurang memadai dan jumlah tenaga puskesmas masih lebih pengelolaan dan administrasi, sehingga pelayanan di apotek belum efektif dan
farmasiyang dirasa masih kurang. banyak tersita untuk informasi obat dan konseling kepada pasien sulit untuk efisien karena apotek masih
Gudang obat masih bercampur tugas pengelolaan dan dilakukan. sering sulit memperoleh obat
dengan gudang umum (Kalsel): administrasi, hal ini pasien JKN serta koordinasi
• “disini gudang obat masih jadi satu disebabkan kurangnya antara BPJS dan penyedia
dengan gudang umum” jumlah SDM farmasi. obat belum efektif:
• Belanja obat saat ini dirasa belum • Sebagian informan di “…….apotek sering
efektif dan efisien karena masalah puskesmas mengatakan mengalami kesulitan untuk
birokrasi dan dengan sistem bahwa belanja obat memperoleh obat-obat untuk
e-catalog masih cukup sering sudah cukup efektif dan pasien JKN”.
terjadi kekosongan obat serta efisien, tetapi sebagian
lamanya barang datang. mengatakan belum efisien
dan efektif karena masalah
birokrasi dan preferensi
dokter serta pola penyakit
yang berubah-ubah,
disamping itu ada juga
masalah dengan sistem
e-catalogdimana masih
cukup sering terjadi
kekosongan obat.
Pelayanan obat yang dibutuhkan oleh pasien
Ketersediaan dan kelengkapan obat di Informasi obat, ketersediaan Kelengkapan obat, pelayanan informasi obat seperti cara Harga obat yang terjangkau,
RS, informasi manfaat dan pemakaian obat (datang ke rumah sakit penggunaan obat (aturan pakai), cara penyimpanan, efek kelengkapan obat, penjelasan
obat, pelayanan obat yang cepat, sudah dapat obat), harga samping, kandungan zat aktif obat, pelayanan obat yang informasi obat, kecepatan
dan pasien tidak perlu membayar obat terjangkau, fasilitas cepat dan tepat dan konseling obat. pelayanan obat, pelayanan
untuk memperoleh obat seperti yang bersih, petugas ramah tepat waktu, keramahan, dan
dikatakan oleh seorang informan: dan mau jemput bola serta komunikasi, informasi dan
“….idealnya pasien tidak perlu lagi kecepatan pelayanan. Informan edukasi (KIE)
beli obat di apotek luar, karena obat di menyatakan kalau belanja
rumah sakit kosong” obat untuk pasien belum efektif
efisien karena masih sering
terjadi kekosongan obat di
distributor, sehingga harus
membeli obat di apotek lain
yang punya stok dengan harga
yang lebih tinggi
Identifikasi Praktik Kefarmasian yang Sesuai dengan Kebutuhan Pasien (Selma Siahaan dan Rini Sasanti Handayani)
131
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 22 No. 2 April 2019: 126–136
yang berfungsi melaksanakan pengadaan barang/ harga terjangkau atau sesuai dengan harga yang
jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri ditetapkan pemerintah pada e-catalog.
atau melekat pada unit yang sudah ada. Oleh Hampir semua rumah sakit pemerintah dan
karena itu apoteker harus terlibat atau menjadi puskesmas menyatakan bahwa pengelolaan obat
anggota ULP mengingat waktu memesan obat, mereka belum efektif dan efisien. Alasan utama
apoteker harus tanda tangan surat pemesanan mereka adalah kekosongan obat dan harga obat.
obat (SPO), tanpa tanda tangan obat pada SPO Kekosongan obat disebabkan alur pengadaan
maka distributor akan menolak pesanan obat. Oleh e-purchasing dengan menggunakan e-catalog.
karena itu seharusnya tenaga apoteker harus terlibat Keluhannya adalah obat sering kosong, dan barang
dalam proses pengadaan obat dan bukan hanya lama diterima. Pengadaan obat dengan menggunakan
tanda tangan saja (Novianne. E. R., Posangi.J dan e-catalog seharusnya memotong jalur birokrasi dan
Soleman.T, 2015). Di RSUD, apoteker terlibat dalam menjamin transparansi, tetapi kenyataannya tidak
proses seleksi obat, tetapi di puskesmas tidak terlibat seperti yang seharusnya. Beberapa hasil studi juga
karena pengadaan obat sebagian besar dilakukan di melaporkan permasalahan di seputar pengadaan
dinas kesehatan kota/kabupaten. Pengelolaan obat dengan e-catalog, antara lain lamanya barang datang,
di puskesmas dilakukan oleh apoteker puskesmas, tender yang diulang, ada ketidaksesuaian antara obat
maka apoteker puskesmas yang paling mengetahui di e-catalog dengan formularium nasional (Novianne.
jenis dan jumlah obat yang dibutuhkan. Oleh karena E. R., Posangi J dan Soleman T, 2015; Sutriatmoko,
itu apoteker puskesmas terlibat aktif dalam proses Satibi dan Puspandari, 2015; Dwiaji et al., 2016).
seleksi obat di tingkat puskesmas sebelum usulan Rumah sakit swasta dan apotek menyatakan belanja
rencana pengadaan obat diajukan ke dinas kesehatan obat mereka belum efektif dan efisien disebabkan
(Anggraeni, 2018). tingginya harga obat, terutama obat untuk pasien
Pelayanan obat satu pintu belum terjadi di JKN. Seharusnya pasien JKN yang datang ke RS
beberapa puskesmas lokasi penelitian. Untuk swasta dan apotek harus diberikan obat-obatan
vaksin dan obat program pengelolaannya tidak yang sesuai fornas. Tetapi ternyata cukup sering
di bawah unit obat tetapi dikelola oleh pemegang RS swasta dan puskesmas membeli obat dari
program masing-masing, misalnya vaksin dikelola distributor dengan harga yang tidak sama dengan
oleh seksi imunisasi, obat program malaria dan TB harga obat e-catalog, tetapi harga sedikit lebih
dikelola oleh seksi penyakit menular/infeksi. Hal ini tinggi. Banyaknya keluhan mengenai pembelian obat
dapat berdampak sulitnya memperoleh laporan obat dengan e-purchasing dan harga obat pasien JKN
secara komprehensif yang diperlukan untuk membuat yang tidak sesuai e-catalog mengindikasikan bahwa
perencanaan obat, karena data penggunaan obat belum ada sinkronisasi yang baik antara distributor,
tercecer. Di samping itu, dengan adanya beberapa pabrikan pemenang tender obat e-catalog dan
pintu masuk maka pengawasan akan lebih sulit. Hal pemerintah (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/
ini terbukti dengan kasus vaksin palsu yang pernah Jasa Pemerintah dan Kemenkes). Kekosongan obat
terjadi di beberapa rumah sakit di Bekasi dan Jakarta e-catalog dan tidak tersedianya obat dengan harga
(Aprina, 2017). Pengelolaan obat belum satu pintu e-catalog menyebabkan pelayanan obat kurang baik
disebabkan juga karena keterbatasan fasilitas dan pada akhirnya berdampak pada kurang baiknya
puskesmas, dan juga mengikuti pengelolaan obat akses pasien terhadap obat (Sutriatmoko, Satibi
di dinas kabupaten/kota yang belum satu pintu juga. dan Puspandari, 2015; Dwiaji et al., 2016). Untuk itu
Dibutuhkan pemahaman yang sama dan komitmen apoteker sebagai pengelola obat harus sangat hati-
dari manajemen dinas kesehatan kabupaten kota hati dalam melakukan perencanaan obat, diperlukan
dan puskesmas supaya kedepannya dapat terjadi keahlian cara memprediksi kebutuhan obat yang
pengelolaan obat satu pintu untuk obat dan vaksin dapat mengantisipasi situasi pasar obat serta sistem
di semua fasilitas pelayanan kesehatan. di luar fasyankes yang tidak bisa dikendalikan oleh
Efektif dan efisien dalam pengelolaan obat apoteker. Untuk itu dukungan manajemen sangat
merupakan hal yang penting. Pengertian efektif dibutuhkan.
adalah obat tersedia lengkap sesuai dengan Kesibukan apoteker dalam melakukan proses
kebutuhan. Pengertian efisien adalah obat yang pengelolaan obat mengakibatkan kegiatan pelayanan
tersedia cukup tidak berlebih serta dibeli dengan farmasi klinis masih terbatas, terutama di puskesmas.
132
Identifikasi Praktik Kefarmasian yang Sesuai dengan Kebutuhan Pasien (Selma Siahaan dan Rini Sasanti Handayani)
Kegiatan pelayanan farmasi klinis yang umum informasi obat dan kecepatan pelayanan. Hal ini
dilakukan berdasarkan hasil wawancara mendalam sejalan dengan hasil survey kepuasan pasien yang
dengan apoteker yaitu konseling dan pelayanan dilakukan di RSUD dan puskesmas seperti tabel 2.
informasi obat (PIO). Sebagian apoteker rumah Hasil survey kepuasan pasien ternyata pasien
sakit sudah melakukan visite pasien ke bangsal puskesmas menerima obat yang sesuai resep dokter
walaupun belum bersama-sama dengan dokter. lebih besar (89,0%) dibandingkan RSUD (76,6%).
Dukungan manajemen rumah sakit sangat diperlukan Hal ini mungkin disebabkan obat yang diresepkan
agar kegiatan visite bersama dapat terwujud karena dokter di RSUD lebih bervariasi jenis dan itemnya.
proses pengobatan pasien seharusnya menggunakan (Moullin, Sabater-Hernández, Fernandez-Llimos,
pendekatan team work agar pengobatan dapat & Benrimoj, 2013). Kenyamanan dan kebersihan
berjalan dengan optimal (Lloyd, 2018; Penm, Moles, fasilitas puskesmas juga dipersepsikan lebih baik.
Wang, Li, & Chaar, 2014). Persentase kecepatan pelayanan obat dengan
Hasil wawancara mendalam juga mendapatkan waktu tunggu ≤ 15 menit di puskesmas lebih besar
bahwa kegiatan farmasi klinis lain yang dilakukan (93,8%) dari pada di RSUD (41,1%), bahkan 8,6%
adalah home care ke rumah pasien, pemantauan waktu tunggu di RSUD > 60 menit. Kepmenkes no
terapi obat (PTO) dan monitoring efek samping obat 129 tahun 2008 tentang standar pelayanan minimal
(MESO). Berdasarkan referensi, pelayanan farmasi rumah sakit mensyaratkan pelayanan resep obat
klinis bukan saja dapat meningkatkan pelayanan jadi ≤ 30 menit sedangkan resep racikan ≤ 60 menit.
kesehatan yang lebih baik dan rasional tetapi juga Sistem, sarana dan prasarana yang baik diperlukan
memberikan dampak efisiensi belanja kesehatan bagi agar antrian pelayanan obat dapat lebih pendek
fasilitas pelayanan kesehatan yang bersangkutan. waktu tunggunya. Pembagian tugas yang baik antar
Sehingga fasyankes terutama rumah sakit perlu tenaga farmasi bagian penerimaan dan peracikan
merencanakan kegiatan farmasi klinis secara serius obat, ruang racik yang memadai, loket obat yang
dan mendukung sepenuhnya kegiatan tersebut, tertata akan meningkatkan pelayanan obat kepada
antara lain menempatkan seorang apoteker yang pasien (Sujoko dan Chalidyanto, 2015).
fokus untuk pelayanan farmasi klinis dan menciptakan Rumah sakit dan puskesmas harus lebih fokus
sistem team work multi disiplin untuk pengobatan meningkatkan pelayanan informasi obat, karena
pasien (Penm et al., 2014). Pada rumah sakit yang ternyata berdasarkan hasil survey bahwa ≥ 74%
jumlah resep pasien rawat jalan lebih 100 resep per pasien menerima informasi obat dengan kategori
hari, diperlukan lebih dari seorang apoteker klinis kurang baik. Kategori kurang baik adalah bila
(Verawaty, Ramdani M. Ihsan, 2017). Keterbatasan pasien menerima hanya 1 atau 2 informasi obat,
tenaga apoteker klinis seharusnya bisa diminimalisasi yaitu misalnya hanya informasi mengenai manfaat
dengan penggunaan information technology (IT) obat dan aturan pakai. Sementara itu hanya 1 orang
(Luisetto, Carini, Bologna, & Nili-Ahmadabadi, 2015; pasien di RSUD yang mengaku menerima informasi
Odukoya & Chui, 2013). Bila rumah sakit sudah dengan kategori sangat baik, yaitu memperoleh
menerapkan e-prescribing sehingga pengkajian semua informasi mulai dari manfaat, aturan pakai,
ketepatan dosis, interaksi obat, efek samping, dan cara simpan, efek samping sampai dengan kontra
aspek klinis lainnya dapat dikoreksi oleh sistem indikasi obat dan interaksi obat. Pemberian informasi
secara online, maka beban kerja apoteker klinis obat seharusnya menjadi hal yang diprioritaskan
akan berkurang. Apoteker membuat laporan dan oleh apoteker (Fahmi Khudair dan Asif Raza, 2013).
menganalisis hasil kerja software e-prescribing Pasien yang banyak bukan alasan untuk memberikan
tersebut yang berisi aspek klinis obat yang sesuai informasi yang tidak lengkap. Ketrampilan tenaga
standar farmasi bagian penyerahan obat mengenai cara
pemberian obat harus ditingkatkan (Baroroh, 2014;
Praktik Kefarmasian yang sesuai dengan Ihsan, Rezkya dan Akib, 2014). Hasil studi Max
Kebutuhan Pasien Herman dkk pada tahun 2013 menyatakan bahwa
Hasil wawancara mendalam dengan apoteker komunikasi, informasi dan edukasi pasien merupakan
menyatakan bahwa yang penting bagi pasien adalah titik terlemah dalam praktik kefarmasian di rumah
ketersediaan/kelengkapan obat yang dibutuhkan, sakit (Herman, Handayani dan Siahaan, 2013).
133
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 22 No. 2 April 2019: 126–136
Tabel 2. Frekwensi distribusi survey kepuasan pasien rawat jalan usia ≥ 17 tahun di 8 RS Pemerintah dan 8 Puskesmas
di Jateng,Bali, Kalsel dan Sulsel
RSUD Puskesmas
N = 210 N = 212
% %
Frekuensi menebus obat 1 kali 16,19 13,70
2 kali 17,62 13,20
3kali 6,19 3,80
>3 kali 60,48 69,30
Cara Gratis BPJS 83,33 51,00
pembayaran Gratis perusahaan 2,86 14,30
Bayar sendiri 7,14 34,30
Bayar sebagian 6,67 0,50
Obat yang diterima pasien Selalu 76,60 89,00
sesuai resep Sering kali 5,30 3,80
Kadang-kadang 16,70 6,20
Tidak pernah 1,00 1,00
Obat ada racikan YA 10,95 20,40
Tidak 89,05 79,60
Prosedur pelayanan obat Mudah 96,20 99,50
Agak sulit 2,90 0,50
Sulit 1,00 0,00
Keramahan petugas Ramah 97,60 98,60
Kurang ramah 1,40 1,40
Tidak ramah 1,00 0,00
Petugas memberi Memberi info 93,30 96,20
informasi obat Tak memberi info 6,70 3,80
Pendapat terhadap *Sangat baik 0,60 0,00
Informasi yang diterima *Baik 7,80 5,60
*Cukup baik 11,40 19,80
*Kurang baik 80,20 74,70
Dikemas dengan baik Baik 99,00 93,40
Kurang baik 0,50 3,80
Tidak baik 0,50 2,80
Paham etiket yang tertera Paham 95,70 97,60
di kemasan obat Kurang paham 2,40 2,40
Tidak paham 1,90 0,00
Responden merasa Puas 96,10 98,60
puas dengan obat yang
diterima tidak puas 3,90 3,01
Fasilitas nyaman dan Nyaman 82,40 98,10
bersih Kurang nyaman 17,10 1,90
Tidak nyaman 0,50 0,00
Waktu tunggu ≤ 15 menit 41,40 93,80
16 hingga 30 menit 31,00 5,70
31 hingga 60 menit 19,00 0,50
lebih dari 60 menit 8,60 0,00
134
Identifikasi Praktik Kefarmasian yang Sesuai dengan Kebutuhan Pasien (Selma Siahaan dan Rini Sasanti Handayani)
135
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 22 No. 2 April 2019: 126–136
Penm, J., Moles, R., Wang, H., Li, Y., & Chaar, B. 2014. Sujoko, A., & Chalidyanto, D. 2015. Analisis Antrian
Factors Affecting the Implementation of Clinical Pelayanan Obat Non Racikan di Instalasi Farmasi
Pharmacy Services in China. Qualitative Health Rawat Jalan. Jurnal Administrasi Kesehatan
Research, 24 (3), 345–356. Indonesia, 3 (2), 99.
Prayitno Lukman, & Suharmiati, S. 2018. Kajian Mutu Sutriatmoko, S., Satibi, S., & Puspandari, D. A. 2015.
Pelayanan Kefarmasian dan Kepuasan Pasien Rawat Analisis Penerapan E-Procurement Obat Dengan
Jalan pada Era Jaminan Kesehatan Nasional. Buletin Prosedur E-Purchasing Berdasarkan E-Catalogue di
Penelitian Sistem Kesehatan, 21 (1), 22–31. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
Sa’adah Evi, Tatong Hariyanto, & Rohman, F. 2015. Pengaruh Jrunal Manajemen Dan Pelayanan Farmasi (Journal
Mutu Pelayanan Farmasi terhadap Kepuasan dan of Management and Pharmacy Practice), 5 (4),
Loyalitas Pasien Rawat Jalan dengan Cara Bayar 267–274.
Tunai. Jurnal Aplikasi Manajemen, 13 (1). Verawaty, Ramdani M. Ihsan, L. R. D. L. M. C. 2017. Analisis
Siahaan, S., Sasanti Handayani, R., Diana Sari, I., & Kebutuhan Tenaga Kefarmasian di Instalasi Farmasi
Fitri, N. 2015. Studi Harga dan Ketersediaan Obat Rumah Sakit Graha Permata Ibu Tahun 2016. Jurnal
Pada Rumah Sakit, Puskesmas dan Apotek di DKI Manajemen Dan Pelayanan Farmasi, 7 (2).
Jakarta. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18 WHO. 1996. Good Pharmacy Practice (GPP) in Community
(1), 29–35. and Hospital Pharmacy Settings.
136