Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342390589

Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

Article  in  Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan · May 2020


DOI: 10.22435/mpk.v30i1.2062

CITATIONS READS

0 1,187

4 authors, including:

Andi Leny Susyanty Max Joseph Herman


National Institute of Health Research and Development National Institute of Health Research and Development
11 PUBLICATIONS   7 CITATIONS    39 PUBLICATIONS   42 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Riset Kesehatan Dasar 2013 - Riskesdas (Baseline Health Research 2013) View project

All content following this page was uploaded by Andi Leny Susyanty on 07 July 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Andi Leny Susanti et al)

Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di


Puskesmas
The Suitability of Pharmaceutical Services Standard Implementation in Public Health Centre

Andi Leny Susyanty*, Yuyun Yuniar, Max J. Herman, dan Nita Prihartini
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Indonesia
*Korespondensi Penulis: andileny.s@gmail.com

Submitted: 02-08-2019, Revised: 19-2-2030, Accepted: 29-04-2020

DOI: https://doi.org/10.22435/mpk.v30i1.2062

Abstrak

Pelayanan kefarmasian secara bertahap telah mulai diterapkan di pelayanan kesehatan dasar, baik
dalam kewajiban pengelolaan farmasi maupun pelayanan farmasi klinis. Untuk mendukung hal tersebut,
standar pelayanan kefarmasian di puskesmas telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir
diperbaharui dengan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
puskesmas. Studi ini bertujuan mengetahui kesesuaian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian
dalam pengelolaan obat dan farmasi klinik di puskesmas. Desain penelitian potong lintang dilakukan pada
bulan Februari-November 2017. Pemilihan lokasi provinsi dilakukan secara purposif. Alat pengumpul data
berupa kuesioner dan daftar tilik standar pelayanan kefarmasian di puskesmas. Analisis data dilakukan
secara deskriptif. Hasil studi menunjukkan bahwa sebanyak 54,5% puskesmas belum mempunyai
tenaga apoteker sebagai penanggung jawabnya dan hanya 18,2% puskesmas yang jumlah apoteker
dan tenaga teknis kefarmasiannya mencukupi untuk kegiatan pengelolaan obat dan pelayanan farmasi
klinik. Kegiatan pengelolaan obat yang komprehensif sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di
puskesmas sudah diterapkan di 96,7% puskesmas yang memiliki apoteker. Kegiatan pelayanan farmasi
klinis yang komprehensif sesuai standar pelayanan kefarmasian di puskesmas hanya diterapkan di
23,3% puskesmas yang memiliki apoteker. Ketersediaan dan kemampuan apoteker dalam memberikan
pelayanan farmasi klinik di puskesmas perlu menjadi perhatian.

Kata kunci: standar pelayanan kefarmasian; puskesmas; apoteker; farmasi

Abstract

Pharmaceutical services have been gradually applied in primary health services both in terms of
pharmaceutical management and clinical pharmacy services. In order to support the implementation,
the standard has been amended several times, resulting Permenkes Number 74 of 2016 Concerning
the Pharmaceutical Services Standard in Public Health Centre (puskesmas) as the most updated one.
This study aimed to determine the suitability of the implementation of pharmaceutical service standards
in the management of medicine and clinical pharmacy at the puskesmas. The cross-sectional research
design was conducted in February-November 2017. The selection of provincial locations was carried out
purposively. Data collection tools were questionnaires and a list of standard pharmacy services at the
puskesmas. Data were analyzed descriptively. The results showed that 54.5% of the puskesmas did not
have pharmacists as the responsible person and only 18.2% of the puskesmas had sufficient pharmacist
and pharmaceutical technical staff for both drug management activities and clinical pharmacy services.

65
Media Litbangkes, Vol. 30 No. 1, Maret 2020, 65 – 74

Comprehensive drug management activities in accordance with pharmaceutical service standards at


the puskesmas have been implemented in 96.7% of puskesmas with pharmacists. Comprehensive
clinical pharmacy service activities according to pharmacy service standards at puskesmas are only
applied in 23.3% of puskesmas with pharmacists. The availability and ability of pharmacists in providing
clinical pharmacy services in puskesmas need to be a concern.

Keywords: pharmaceutical services standard; public health centre ; pharmacist; pharmacy

PENDAHULUAN yang diberikan oleh apoteker kepada pasien


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian meminimalkan risiko terjadinya efek samping
antara lain disebutkan pekerjaan kefarmasian yang meliputi pengkajian dan pelayanan
adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, rekonsiliasi obat, Pelayanan Informasi Obat
penyimpanan dan pendistribusian atau (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO),
obat atas resep dokter, pelayanan informasi Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dispensing
obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan sediaan steril, dan Pemantauan Kadar Obat dalam
obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian dalam Darah (PKOD).1
pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, Pelayanan kefarmasian bukanlah suatu
dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan konsep baru dalam pelayanan kesehatan, namun
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian pengenalan dan pengembangan pelayanan
dan kewenangan untuk itu.1 Dalam hal ini kefarmasian di pelayanan kesehatan primer, dalam
menunjukkan bahwa tenaga yang kompeten hal ini puskesmas memiliki tantangan tersendiri.2
dalam pekerjaan kefarmasian adalah apoteker Kebijakan yang mendukung pelaksanaannya
dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian (TTK). sudah beberapa kali mengalami perubahan untuk
Pelayanan kefarmasian adalah suatu mendukung standar pelayanan yang ideal.
pelayanan langsung dan bertanggung jawab Standar pelayanan kefarmasian di
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan puskesmas telah beberapa kali diubah, Permenkes
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.1 Kefarmasian di Puskesmas masih belum
Pelayanan kefarmasian meliputi dua kegiatan memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat
yaitu yang bersifat manajerial berupa pengelolaan terkait sistem pengawasan pelaksanaan standar
sediaan farmasi dan kegiatan pelayanan farmasi pelayanan kefarmasian di puskesmas, sehingga
klinik yang harus didukung oleh sumber daya dilakukan perubahan dengan Permenkes Nomor
manusia, sarana dan peralatan dalam rangka 36 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan
meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
risiko terjadi efek samping obat untuk keselamatan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
pasien. Kegiatan pengelolaan merupakan Peraturan tersebut terakhir diperbaharui dengan
suatu siklus kegiatan yang berkesinambungan Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 Tentang
dimulai dari perencanaan kebutuhan, pengadaan, Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.3
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, Pelayanan kefarmasian secara bertahap telah
pelayanan, dan administrasi yang dibutuhkan mulai diterapkan di pelayanan kesehatan dasar,
bagi kegiatan pelayanan kefarmasian. Pelayanan baik dalam kewajiban pengelolaan farmasi
farmasi klinik merupakan pelayanan langsung maupun pelayanan farmasi klinis.4

66
Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Andi Leny Susanti et al)

Studi ini bertujuan untuk mengetahui meliputi tujuh butir kegiatan yaitu pengkajian
kesesuaian pelaksanaan butir-butir standar dan pelayanan resep, Pelayanan Informasi
pelayanan kefarmasian dalam pengelolaan obat Obat (PIO), konseling, visite, Monitoring Efek
serta pelayanan farmasi klinik oleh apoteker Samping Obat (MESO), Pemantauan Terapi Obat
dan tenaga teknis kefarmasian di puskesmas. (PTO) dan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).
Pengelolaan obat yang dimaksud termasuk Pelaksanaan butir kegiatan pengelolaan
pengelolaan seluruh sediaan farmasi dan bahan obat dan pelayanan farmasi klinik menjadi
medis habis pakai yang pada umumnya dianggap indikator kesesuaian penyelenggaraan pelayanan
sebagai satu paket. kefarmasian di puskesmas. Penilaian dilakukan
dengan menggunakan formulir isian kegiatan
METODE berupa self assessment yang diisikan langsung
Studi ini adalah bagian dari Penelitian oleh petugas dan diverifikasi oleh tim peneliti
Distribusi, Ketersediaan Serta Pelayanan Obat dengan menanyakan ulang kepada petugas.
dan Vaksin Dalam Menghadapi Jaminan Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian sesuai
Kesehatan Semesta 2019 yang dilakukan Standar Permenkes 74 Tahun 2016 jika puskesmas
oleh Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan menyelenggarakan 7 butir kegiatan pengelolaan
Kesehatan pada tahun 2017. Penelitian kuantitatif dan 7 butir kegiatan pelayanan farmasi klinis
dengan desain potong lintang dilakukan oleh tenaga kefarmasian, baik Apoteker ataupun
pada bulan Februari-November 2017. Lokasi Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK)
penelitian di lima regional di Indonesia sesuai
Permenkes No. 27 Tahun 2014 tentang Petunjuk HASIL
Teknis Sistem Indonesian Case Based Groups Kecukupan Jumlah Tenaga Kefarmasian
(INA-CBGs). Pemilihan lokasi provinsi dilakukan Pada studi ini sebanyak 54,5% adalah
secara purposif berdasarkan sistem regionalisasi, puskesmas perawatan dan 45,5% puskesmas non
yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera perawatan dengan keberadaan apoteker sebanyak
Selatan. Nusa Tenggara Barat, Aceh, Sulawesi 50,0% di puskesmas perawatan dan 40,0% di
Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, puskesmas non perawatan (Tabel 1). Rerata
Kalimantan Tengah, Maluku Utara, dan Papua. jumlah lembar resep per hari yaitu 80 lembar.
Setiap provinsi diambil 3 kabupaten/kota
berdasarkan kriteria: urban, rural dan tertinggal/
Tabel 1. Proporsi Jenis Puskesmas Perawatan
perbatasan. Setiap kabupaten/kota dipilih 2
dan Non Perawatan
puskesmas dengan kriteria kapitasi tinggi dan
rendah sehingga total mencapai 66 puskesmas. Ada Apt
Alat pengumpul data adalah daftar tilik Jenis Puskesmas
%
(N = 66) N N %
yang disusun berdasarkan standar pelayanan
kefarmasian di puskesmas yang mencakup Perawatan 36 54,5 18 50,0
kegiatan pengelolaan pelayanan farmasi klinik Non Perawatan 30 45,5 12 40,0
dan kuesioner mengenai ketenagaan serta fasilitas
pelayanan. Kecukupan tenaga kefarmasian
dihitung berdasarkan rasio 1 apoteker (dibantu Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 66
TTK) dapat melayani 50 resep pasien.5 puskesmas terdapat 45,5% puskesmas yang
Ada tujuh butir kegiatan manajerial memiliki apoteker dan 80,3% puskesmas yang
dalam pengelolaan obat yaitu perencanaan memiliki tenaga teknis kefarmasian. Apabila
kebutuhan, permintaan/ pengadaan, penerimaan, digunakan standar satu apoteker (dalam hal ini
penyimpanan, pendistribusian, pencatatan satu tenaga kefarmasian) mampu melayani lima
dan pelaporan serta monitoring dan evaluasi. puluh pasien rawat jalan (lima puluh lembar resep)
Sedangkan pelayanan farmasi klinik di puskesmas per hari, maka didapat persentase puskesmas

67
Media Litbangkes, Vol. 30 No. 1, Maret 2020, 65 – 74

yang memiliki kecukupan tenaga kefarmasian di dalam Permenkes No. 74 Tahun 2016 hanya ada
puskesmas sebesar 18,2% puskesmas. kegiatan permintaan, sementara pada saat ini, di
era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), sistem
pengadaan di puskesmas tidak hanya melakukan
Tabel 2. Proporsi Puskesmas berdasarkan permintaan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
Ketersediaan Jenis Tenaga kefarmasian tapi juga dapat melakukan pembelian langsung
dengan menggunakan dana kapitasi. Selain itu
Tenaga kefarmasian
di puskesmas (N = 66)
n % untuk kegiatan pengendalian dalam Permenkes
Puskesmas dengan Apoteker 30 45,5 No. 74 Tahun 2016 bertujuan agar tidak terjadi
kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan
Puskesmas dengan TTK 53 80,3
kesehatan dasar, sehingga pada studi ini, kegiatan
Puskesmas dengan tenaga 12 18,2
kefarmasian sesuai standar
pengendalian merupakan satu bagian yang
tidak terpisahkan dalam setiap butir kegiatan
pengelolaan obat mulai dari proses perencanaan
Pelaksanaan Standar Pelayanan Pengelolaan kebutuhan obat hingga monitoring dan evaluasi
Obat obat.
Kegiatan pengelolaan obat pada Tabel Tabel 3 menunjukkan bahwa pelaksanaan
3 memiliki butir-butir kegiatan yang sedikit standar pelayanan kefarmasian dalam pengelolaan
berbeda dengan Permenkes No. 74 Tahun obat, yaitu perencanaan, pengadaan, penerimaan,
2016. Beberapa modifikasi dilakukan untuk pendistribusian, pencatatan, dan pelaporan obat
mempermudah mencatat kegiatan pengelolaan serta monitoring dan evaluasi obat dilakukan
di puskesmas. Perubahan yang dimaksud yaitu di hampir semua puskesmas yang memiliki
apoteker.

Tabel 3. Proporsi Puskesmas berdasarkan Kegiatan Pengelolaan Obat yang Dilakukan

Puskesmas memiliki Apoteker Puskesmas tidak memiliki


(n=30) apoteker (n=36)
Pengelolaan obat
Ada Kegiatan dilakukan oleh Ada Kegiatan Dilakukan oleh
(%) Apt* (%) (%) TTK* (%)

Perencanaan kebutuhan obat 100 96,7 86,1 80,6


Pengadaan obat 100 96,7 97,2 77,1
Penerimaan obat 100 86,7 97,2 74,3
Penyimpanan obat 100 86,7 97,2 71,4
Pendistribusian obat 100 83,3 91,7 72,7
Pencatatan dan pelaporan obat 100 93,3 94,4 76,5
Monitoring dan evaluasi obat 96,7 96,6 63,9 78,3
Melakukan seluruh kegiatan
96,7 76,7 50,0 41,7
pengelolaan obat

*Apt = Apoteker TTK = Tenaga Teknis Kefarmasian

68
Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Andi Leny Susanti et al)

Tabel 3 juga menunjukkan bahwa masih ada yang terhitung dilakukan di puskesmas yang
kegiatan pengelolaan obat yang tidak dilakukan tidak memiliki apoteker hanya kegiatan butir 1
oleh tenaga kefarmasian. Di puskesmas yang tidak dan 2 sesuai dengan ketentuan pada masa awal
memiliki apoteker, kegiatan pengelolaan obat diberlakukannya Permenkes.
yang dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian Kegiatan farmasi klinik pada Tabel 4 sesuai
berkisar 71,4% - 80,6% puskesmas, selebihnya dengan Permenkes No. 74 Tahun 2016. Kegiatan
kegiatan pengelolaan obat dilakukan oleh tenaga penyerahan obat dan pemberian informasi obat
kesehatan lain. merupakan satu rangkaian pelayanan resep yang
Pengelolaan obat yang dilakukan oleh dilakukan oleh tenaga farmasi di puskesmas. Pada
apoteker sudah memenuhi standar pengelolaan studi ini, kegiatan pengkajian resep, penyerahan
obat di puskesmas, kecuali monitoring dan obat dan pemberian informasi obat dirangkum
evaluasi obat. Proporsi puskesmas memiliki menjadi kegiatan pengkajian dan pelayanan
apoteker yang melakukan seluruh kegiatan resep.
pengelolaan obat mencapai 96,7% puskesmas. Tabel 4 menunjukkan bahwa pelayanan
Sementara itu, hanya 50,0% puskesmas tanpa farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker di
apoteker yang melakukan seluruh kegiatan puskesmas terutama dalam hal pengkajian dan
pengelolaan obat. pelayanan resep dan pelayanan informasi obat.
Visite apoteker hanya dilakukan pada puskesmas
Pelaksanaan Standar Pelayanan Farmasi Klinik perawatan. Apoteker masih kurang berperan
Kegiatan pelayanan farmasi klinik sesuai terutama dalam hal monitoring efek samping
standar idealnya dilakukan oleh apoteker. Dalam obat, pemantauan terapi obat dan evaluasi
penelitian ini kegiatan pelayanan farmasi klinik penggunaan obat.

Tabel 4. Proporsi Puskesmas berdasarkan Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik yang Dilakukan

Puskesmas memiliki Apoteker Puskesmas tidak memiliki


(n=30) apoteker (n=36)
Pelayanan Farmasi Klinik ** (n=18) **(n=18)
Ada dilakukan Ada pelayanan Dilakukan oleh
pelayanan (%) oleh Apt* (%) (%) TTK* (%)
Pengkajian dan Pelayanan Resep 96,7 96,6 86,1 87,1
Pelayanan Informasi Obat (PIO) 93,3 96,4 86,1 80,6
Konseling 66,7 100,0
Visite** 22,2** 75,0**
Monitoring Efek Samping Obat 36,7 81,8
Pemantauan Terapi Obat (PTO) 36,7 72,7
Evaluasi Penggunaan Obat
46,7 92,9
(EPO)
Seluruh pelayanan farmasi
23,3 13,3 80,6 69,4
klinis

*Apt = Apoteker TTK = Tenaga Teknis Kefarmasian


**Puskesmas perawatan

69
Media Litbangkes, Vol. 30 No. 1, Maret 2020, 65 – 74

PEMBAHASAN farmasi klinik tidak dapat dijalankan meskipun


Kecukupan Jumlah Tenaga Kefarmasian seharusnya sudah menjadi standar pelayanan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia di puskesmas. Masih adanya puskesmas yang
No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian tidak memiliki apoteker sejalan dengan hasil
menjelaskan bahwa pekerjaan kefarmasian yang penelitian Hanggara,8 yang mendapatkan dari
dilakukan oleh tenaga kefarmasian merupakan 39 puskesmas yang diteliti sebanyak 84,61%
suatu upaya untuk memberikan perlindungan puskesmas memiliki apoteker; 6,06% puskesmas
kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dikategorikan bermutu sedang dan 93,94%
dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa puskesmas dikategorikan bermutu kurang.
kefarmasian; mempertahankan dan meningkatkan Studi ini tidak mengamati mutu pelayanan yang
mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian diberikan oleh apoteker ataupun tenaga teknis
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan kefarmasian. Berpedoman pada standar pelayanan
dan teknologi serta peraturan perundangan- kefarmasian di puskesmas, maka dilihat dari
undangan; serta memberikan kepastian hukum segi ketenagaan yang meliputi keberadaan dan
bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.1 kecukupan tenaga kefarmasian, hanya 18,2%
Untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian puskesmas yang memenuhi standar ketenagaan
di puskesmas dengan baik, dibutuhkan tenaga kefarmasian di puskesmas. Keberadaan apoteker
kefarmasian yang sesuai standar. Tenaga memberi mempunyai pengaruh yang signifikan
kefarmasian terdiri atas apoteker dan Tenaga terhadap kepuasan pasien dalam pelayanan
Teknis Kefarmasian (TTK) yang membantu informasi obat.9 Hasil penelitian terhadap
apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian. pelayanan kefarmasian di 360 sampel. Puskesmas
TTK terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya menunjukkan 6,7% masuk kriteria kurang dan
Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah 93,3% masuk kriteria sedang dengan indeks
Farmasi/Asisten Apoteker.1 kepuasan pasien puas sebesar 28%, cukup puas
Hasil analisis lanjut Data Riset Fasilitas sebesar 68% dan kuang puas sebesar 4 %.10
Kesehetan (RIFASKES) tahun 2011 terhadap Peraturan Menteri Kesehatan Republik
seluruh puskesmas di Indonesia menunjukkan Indonesia Nomor 1199 Tahun 2004 tentang
bahwa hanya 17,5% puskesmas di Indonesia Pedoman Pengadaan Tenaga Kesehatan dengan
memiliki apoteker dan ada 32,2% puskesmas Perjanjian Kerja di Sarana Kesehatan Milik
yang tidak memiliki tenaga kefarmasian sama Pemerintah menyatakan bahwa pemerintah
sekali.6 Ada perbedaan ketersediaan tenaga daerah dapat mengangkat tenaga kesehatan
kefarmasian antar puskesmas berdasarkan lokasi maupun non kesehatan di luar PNS dengan
puskesmas, jenis puskesmas, keterpencilan masa perjanjian kerja paling lama dua tahun.
wilayah dan status kepegawaian tenaga Berdasarkan peraturan ini, maka seharusnya
kefarmasian. Apoteker berperan lebih baik dalam pemda kabupaten/kota dapat mengangkat
memberikan pelayanan farmasi, mengelola obat tenaga kefarmasian honorer untuk mengisi
dan menyusun Laporan Pemakaian dan Lembar kekosongan di puskesmas.11 Pemerintah pusat
Permintaan Obat (LP-LPO) dengan lengkap dalam hal ini Kementerian Kesehatan sebaiknya
dibandingkan dengan tenaga teknis kefarmasian juga melakukan sosialisasi kepada Badan
dan tenaga teknis kefarmasian juga berperan Kepegawaian Daerah sehingga dapat disiapkan
lebih baik dibandingkan dengan tenaga non- formasi apoteker atau tenaga teknis kefarmasian
farmasi dalam hal yang sama.7 di puskesmas untuk memenuhi standar pelayanan
Pada studi ini masih ada sekitar 50,0% kefarmasian puskesmas.
puskesmas perawatan yang tidak memiliki Hasil studi menunjukkan bahwa
apoteker, dan hanya 45,5% puskesmas non permasalahan dalam penempatan apoteker di
perawatan yang memiliki apoteker. Ketiadaan puskesmas adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/
apoteker di puskesmas menyebabkan pelayanan Kota mengetahui bahwa menurut peraturan

70
Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Andi Leny Susanti et al)

perundangan diperlukan apoteker di puskesmas, dapat diperkenankan melakukan pelayanan


tetapi dalam perencanaan kebutuhan tenaga kefarmasian terbatas yang dilakukan oleh tenaga
apoteker masih belum dianggap prioritas teknis kefarmasian atau tenaga kesehatan lain
dibandingkan kebutuhan tenaga kesehatan yang ditugaskan oleh kepala Dinas Kesehatan
lain; usulan kebutuhan tenaga kesehatan yang Kabupaten/Kota. Pelayanan kefarmasian secara
dibuat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terbatas meliputi: pengelolaan sediaan farmasi
belum didasarkan atas perhitungan beban dan bahan medis habis pakai; dan pelayanan
kerja sebagaimana diatur dalam peraturan resep berupa peracikan obat, penyerahan obat,
perundangan; jumlah belanja pegawai dalam dan pemberian informasi obat.3
DAU Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sudah Pada studi ini, sistem pengelolaan obat
cukup besar, sehingga formasi yang disetujui sudah dilakukan di puskesmas, namun masih
oleh BKN terbatas, dengan formasi yang terbatas, ada sebagian kecil yang pengelolaannya masih
penempatan tenaga kesehatan tidak berdasarkan dilakukan oleh tenaga non farmasi. Penelitian
kompetensinya; dan pelatihan belum banyak sebelumnya menunjukkan penyimpanan obat di
dilakukan karena keterbatasan anggaran.5 puskesmas tidak memenuhi standar gudang yang
Permasalahan keterbatasan formasi BKN baik.
untuk tenaga apoteker dapat diatasi dengan Pada studi ini, terlihat bahwa hampir
pengangkatan tenaga apoteker sebagai pegawai semua puskesmas yang memiliki apoteker
honorer puskesmas. Pembiayaannya dapat telah melakukan kegiatan pengelolaan obat
dianggarkan oleh puskesmas yang telah BLUD yang komprehensif, hanya kegiatan monitoring
melalui dana kapitasi yang dimiliki puskesmas. dan evaluasi yang belum dilakukan oleh satu
puskesmas yang memiliki apoteker. Sementara itu,
Implementasi Standar Pelayanan Kefarmasian di puskesmas yang tidak memiliki apoteker, hanya
dalam Pengelolaan Obat 50,0% yang melakukan kegiatan pengelolaan
Pelayanan kefarmasian di puskesmas diatur obat secara komprehensif. Hal ini dapat menjadi
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik pertimbangan mengenai pentingnya keberadaan
Indonesia Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar apoteker dalam melakukan kegiatan pengelolaan
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang obat yang komprehensif di puskesmas, sehigga
meliputi pengelolaan sediaan farmasi dan bahan ketersediaan dan mutu obat tetap terjaga.
medis habis pakai serta pelayanan farmasi klinik, Studi yang dilakukan di Yogyakarta
pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis menyimpulkan bahwa secara keseluruhan
habis pakai meliputi perencanaan kebutuhan; pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di
permintaan; penerimaan; penyimpanan: Puskesmas Kota Yogyakarta pada puskesmas
pendistribusian; pengendalian; pencatatan, rawat jalan sebesar 63,9% dan rawat inap
pelaporan, dan pengarsipan; dan pemantauan dan sebesar 68,8%.12, 13 Sistem manajemen ISO
evaluasi pengelolaan. Pelayanan farmasi klinik seharusnya dapat meningkatkan peran pelayanan
meliputi: pengkajian resep, penyerahan obat, dan kefarmasian di puskesmas. Namun kenyataannya,
pemberian informasi obat; Pelayanan Informasi sistem manajemen ini hanya mempengaruhi
Obat (PIO); konseling; ronde/visite pasien empat indikator pelayanan kefarmasian yaitu
(khusus puskesmas rawat inap); pemantauan indikator pengetahuan pasien terhadap obat,
dan pelaporan efek samping obat; pemantauan waktu penyerahan obat, kelengkapan label obat
terapi obat; dan evaluasi penggunaan obat dan kepuasan pasien. Tiga indikator lain yaitu
yang dilakukan oleh apoteker dan tenaga teknis indikator waktu penyiapan obat, kesesuaian
kefarmasian.3 resep dan obat, dan kepatuhan terhadap protap,
Pada saat peraturan mulai berlaku tidak dipengaruhi oleh sistem manajemen ISO
pada tahun 2016, ada pengecualian bagi 9001:200.14
puskesmas yang belum memiliki apoteker,

71
Media Litbangkes, Vol. 30 No. 1, Maret 2020, 65 – 74

Pada studi ini diketahui bahwa dari 30 pemantauan terapi obat.


puskesmas yang memiliki apoteker, ada 76,7% Pemberian edukasi kepada pasien
puskesmas yang apotekernya melakukan seluruh mengenai pentingnya pelayanan kefarmasian juga
rangkaian kegiatan pengelolaan obat, dan dari perlu dilakukan, agar dapat meningkatkan peran
36 puskesmas tanpa apoteker, hanya 41,7% apoteker di masyarakat. Edukasi dapat dilakukan
puskesmas yang tenaga teknis kefarmasiannya melalui berbagai media penyuluhan baik secara
melakukan seluruh rangkaian kegiatan langsung maupun tidak langsung karena masih
pengelolaan obat. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat indikator mutu pelayanan kefarmasian
sebagian kegiatan pengelolaan obat di puskesmas di puskesmas yang dianggap tidak terlalu
dengan apoteker masih dilakukan oleh TTK penting oleh pasien tetapi sangat penting untuk
atau tenaga non kefarmasian. Begitu juga di menunjang konsep pelaksanaan pharmaceutical
puskesmas tanpa apoteker, sebagian kegiatan care seperti pemberian informasi efek samping
pengelolaan obat masih dikerjakan oleh tenaga obat (ESO).19
non kefarmasian. Pelayanan farmasi klinik terkait pemberian
edukasi pada pasien yang perlu didorong pada
Implementasi Standar Pelayanan Kefarmasian hasil penelitian adalah kegiatan pelayanan
dalam Pelayanan Farmasi Klinik informasi obat dan konseling. Masih ada 6,7%
Hasil Sirkesnas 2016 menunjukkan puskesmas yang memiliki apoteker, belum
hanya 35,8% puskesmas melakukan pemberian melakukan pelayanan informasi obat. Sementara
informasi obat yang terdokumentasi dan 30,3% itu ada 33,3% puskesmas yang memiliki apoteker,
puskesmas melakukan konseling. Hasil penelitian belum melaksanakan kegiatan konseling.
di semua puskesmas Kabupaten Magelang masih Berdasarkan hasil studi ini, selain
belum sesuai dengan Permenkes No. 74 Tahun ketersediaan tenaga apoteker, hal lain yang
2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian perlu menjadi perhatian adalah peningkatan
di Puskesmas dalam bidang visite pasien rawat kompetensi apoteker di puskesmas. Dengan
inap.15, 16 demikian diharapkan seluruh puskesmas yang
Studi kualitatif analisis kualifikasi apoteker telah memiliki apoteker mampu memberikan
secara potong lintang pada tahun 2010 di Bandung, pelayanan farmasi klinik di puskesmas. Sementara
Yogyakarta, dan Surabaya menunjukkan bahwa dari hasil studi ini diketahui bahwa hanya 23,3%
pengelolaan obat dalam hal pengadaan, distribusi puskesmas yang memiliki apoteker yang telah
dan penyimpanan dilaksanakan dengan baik oleh melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinis
apoteker rumah sakit. Praktik farmasi klinik dan yang komprehensif dan hanya 13,3% puskesmas
keselamatan pasien masih sangat terbatas karena (empat puskesmas) yang apotekernya mampu
alasan sumber daya manusia dan dokumentasi melakukan seluruh kegiatan farmasi klinik secara
yang kurang memadai. Informasi obat dan komprehensif.
konseling kadang dilakukan tanpa fasilitas yang Pada saat awal berlakunya Permenkes No.
cukup.17, 18 74 Tahun 2016 ada pengecualian yang menyatakan
Pada penelitian ini, sebagian besar untuk pelayanan farmasi klinik yang boleh
pelayanan farmasi klinik yang belum dilakukan dilakukan bukan oleh apoteker yaitu pelayanan
pada puskesmas yang sudah memiliki apoteker resep berupa peracikan obat, penyerahan obat,
adalah visite di puskesmas perawatan, monitoring dan pemberian informasi obat. Penyelenggaraan
efek samping obat, pemantauan terapi obat, pelayanan kefarmasian secara terbatas ini hanya
dan evaluasi penggunaan obat. Sementara itu, dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lama
dari 36,7% puskesmas memiliki apoteker yang tiga tahun sejak peraturan menteri diundangkan.3
melakukan pemantauan terapi obat, hanya 72,7% Pada tahun 2019 diharapkan semua
nya dilakukan oleh apoteker, artinya ada tenaga kegiatan pelayanan kefarmasian Puskesmas
farmasi non apoteker yang melakukan kewajiban dilakukan oleh apoteker. Hal ini menjadi mungkin

72
Kesesuaian Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Andi Leny Susanti et al)

dengan adanya dukungan akreditasi puskesmas 23,3% puskesmas yang memiliki apoteker, dan
dan status keuangan puskesmas, serta anggaran hanya 4 puskesmas (13,3%) yang apotekernya
kapitasi yang dimiliki puskesmas, sehingga melakukan seluruh kegiatan pelayanan farmasi
puskesmas tidak memiliki ketergantungan klinis sesuai standar pelayanan kefarmasian di
terhadap formasi Jaminan Kesehatan Nasional puskesmas.
(JKN), terutama Puskesmas Badan Layanan
Umum Daerah (BLUD) dan memiliki kapitasi SARAN
tinggi. Untuk memenuhi ketentuan standar
Penelitian yang dilakukan oleh Manajemen pelayanan kefarmasian di puskesmas, perlu
Kebijakan Obat Fakultas Kedokteran Universitas pemenuhan tenaga apoteker di puskesmas, baik
Gadjah Mada menyatakan bahwa Penerapan melalui pengangkatan tenaga kontrak, honorer
Peraturan Pemerintah Nomor 51/2009 Tentang maupun melalui pola pengangkatan seperti bidan
Pekerjaan Kefarmasian di Pelayanan Kesehatan atau dokter dengan PTT dan dokter spesialis
perlu didukung dengan penempatan tenaga dengan program wajib kerja. Selain ketersediaan
apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di semua tenaga, kemampuan apoteker dalam memberikan
puskesmas. Selain itu diperlukan petunjuk pelayanan farmasi klinik juga perlu menjadi
pelaksanaan atau protap pelayanan kefarmasian perhatian. Perlu dilakukan upaya peningkatan
dan standar pengobatan di puskesmas, pemberian kompetensi terutama dalam hal pelayanan
reward/insentif bagi tenaga kesehatan di farmasi klinik bagi apoteker di puskesmas.
puskesmas didukung dengan alokasi dana yang
cukup untuk obat dan kelengkapan fasilitas di
UCAPAN TERIMA KASIH
puskesmas. Hal lain yang penting yaitu perlunya
Terima kasih penulis sampaikan kepada
pelatihan yang berkelanjutan bagi tenaga
Prof. Dr. Drs Sudibyo Supardi, MKes., Apt yang
kefarmasian di puskesmas. 20
telah mengarahkan dan membimbing penulisan
KESIMPULAN artikel ini serta Kepala Puslitbang Sumber Daya
Sebanyak 54,5% puskesmas belum dan Pelayanan Kesehatan beserta tim manajemen
mempunyai tenaga apoteker sebagai penanggung atas pelaksanaan kegiatan penelitian mulai dari
jawabnya dan hanya 18,2% puskesmas yang menyediakan anggaran hingga administrasi dan
jumlah apoteker dan tenaga teknis kefarmasiannya proses perizinan sehingga bisa menghasilkan
mencukupi untuk pelayanan resep pasien dan informasi yang dapat bermanfaat bagi penentu
pelayanan farmasi klinik. kebijakan.
Kegiatan pengelolaan obat yang
komprehensif sesuai dengan standar pelayanan DAFTAR PUSTAKA
kefarmasian di puskesmas sudah diterapkan 1. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah
di 96,7% puskesmas yang memiliki apoteker, Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
namun hanya 76,7% puskesmas yang apotekernya Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta; 2009.
melakukan seluruh rangkaian kegiatan 2. Blondal A, Sporrong S, Almarsdottir A.
pengelolaan obat di puskesmas. Sementara pada Introducing Pharmaceutical Care to Primary
puskesmas yang tidak memiliki apoteker hanya Care in Iceland—An Action Research Study.
50,0% puskesmas yang melakukan kegiatan Pharmacy. 2017;5(4):23. DOI:10.3390/
pharmacy5020023
pengelolaan obat secara komprehensif dan hanya
41,7% puskesmas yang TTK-nya mengerjakan 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan obat. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 74 Tahun 2016. Tentang Standar Pelayanan
Kegiatan pelayanan farmasi klinis
Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Kementerian
yang komprehensif sesuai standar pelayanan Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
kefarmasian di puskesmas hanya diterapkan di

73
Media Litbangkes, Vol. 30 No. 1, Maret 2020, 65 – 74

4. De Melo DO, Ribeiro E, Molino CGRC, Lieber 12. Mangkoan M. Pelaksanaan Standar Pelayanan
NSR. Pharmaceutical Care in Primary Care Kefarmasian Berdasarkan Peraturan Menteri
- Beyond Access to Medication. Revista de Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
Ciencias Farmaceuticas Basica e Aplicada · 2014 pada Puskesmas di Kota Yogyakarta. 2016.
January 2016. 2016;37(1):1-6.
13.
Mangindara, Darmawansyah, Nurhayani,
5. Yuniar Y, et al. Laporan Akhir Penelitian Balqis. Analisis Pengelolaan Obat di Puskesmas
Distribusi, Ketersediaan Serta Pelayanan Obat Kampala Kecamatan Sinjai Timur Kabupaten
Dan Vaksin Dalam Menghadapi Jaminan Sinjai Tahun 2011. Jurnal AKK. 2012;1(1):31-
Kesehatan Semesta 2019. Jakarta: Puslitbang 40.
Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan
14. Wibowo MINA, Munawaroh S, Purnama C,
Litbangkes; 2019.
Suryawati S. Pengaruh Sistem Manajemen ISO
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 9001:2008 Terhadap Pelayanan Kefarmasian
Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan 2011. di Puskesmas Kabupaten Sleman. Pharmacy.
Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan 2015;12(01):113-130.
Kesehatan; 2012.
15. Dianita PS, Kusuma TM, Made N, Nila
7. Herman MJ, Supardi S, Yuniar Y. Hubungan A. Evaluasi Penerapan Standar Pelayanan
Ketersediaan Tenaga Kefarmasian dengan Kefarmasian di Puskesmas Kabupaten Magelang
Karakteristik Puskesmas dan Praktik Berdasarkan Permenkes RI. The 6th University
Kefarmasian di Puskesmas (Analisis Lanjut Data Research Colloquium 2017 Universitas
Riset Fasilitas Kesehatan Nasional Tahun 2011). Muhammadiyah Magelang; 2017.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2013;Vol
16. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
16(1):88-98.
Laporan Survei Indikator Kesehatan Nasional
8. Hanggara RSL, Gibran NC, Kusuma AM, (Sirkesnas) Jakarta : Badan Penelitian dan
Galistiani GF. Pengaruh Keberadaan Apoteker Pengembangan Kesehatan ; 2016.
terhadap Mutu Pelayanan Kefarmasian di
17. Supardi S, Raharni R, Susyanty AL, Herman MJ.
Puskesmas Wilayah Kabupaten Banyumas.
Evaluasi Peran Apoteker Berdasarkan Pedoman
Jurnal Kefarmasian Indonesia. 2017;7(1):67-76.
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Media
DOI:10.22435/jki.v7i1.5018.67-76
Litbang Kesehatan. 2012;22(4 Des):190-198.
9. Milhawati L. Pengaruh keberadaan Apoteker http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/
terhadap Tingkat Kepuasan Pasien dalam mpk/article/view/2915.
Pelayanan Informasi Obat di Puskesmas
18. Herawati F, Irawati S, Presley B. Studi Deskriptif
Kabupaten Banyumas. Skripsi Fakultas Farmasi
tentang Sebaran dan Pelayanan Kefarmasian Oleh
Universitas Muhammadiyah Purwokerto; 2016.
Apoteker di Puskesmas Di Provinsi Jawa Timur.
10. Saputro RD, Hadirahardja MCNS, Kusmini. Project Report. Fakultas Farmasi Universitas
Evaluasi Kualitas Pelayanan Kefarmasian Surabaya (Unpublished). Surabaya; 2014.
Puskesmas di Kabupaten Wonosobo Periode
19. Priyandani Y, Susanti ED, Hartoto HH, et
Juli – Desember 2014. Media Farmasi.
al. Pemberian Informasi Lama Terapi dan
2014;11(1):1047-1055.
Konfirmasi Informasi Obat Perlu Ditingkatkan di
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Puskesmas. Jurnal Farmasi dan Ilmu Kefarmasian
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Indonesia. 2014;1(1):1-5.
Nomor 1199/MENKES/ PER/ X/ 2004 Tanggal
20. Saleh A, Sunartono, Priyatni N. Evaluasi
19 Oktober 2004 Tentang Pedoman Pengadaan
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Kabupaten
Tenaga Kesehatan Dengan Perjanjian Kerja di
Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sarana Kesehatan Milik Pemerintah. Jakarta :
Manajemen dan Kebijakan Obat Prodi S2 IKM
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
FK UGM (unpublished); 2009
2004.

74

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai