Anda di halaman 1dari 6

Penjualan Obat Secara Legal Oleh Tenaga Kefarmasian

ANDI NURHIKMAH 821319093


Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya haruslah memenuhi beberapa
standarisasi, yaitu standar prosedur operasional, standar profesi, standar pelayanan, serta
standar kode etik.9 Berbagai studi menunjukkan pula bahwa tenaga kesehatan memberikan
kontribusi hingga 80 persen dalam keberhasilan . pembangunan kesehatan atau dengan
kata lain tenaga kesehatan merupakan kunci utama dalam keberhasilan pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan.10Tenaga kesehatan diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok
berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
yang salah satu diantaranya adalah kelompok tenaga kefarmasian.

Adapun yang menjadi dasar perlunya peran besar dari tenaga kesehatan khususnya
tenagakefarmasian dalam pengamanan distribusi golongan obat keras di masyarakat, yakni :

(1) obat keras hanya dijual di apotek dan sebagaimana definisi apotek berdasarkan PP
No.25/1980 adalah suatu tempat tertentu untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran obat kepada masyarakat

(2) masyarakat tidak bisa membedakan golongan obat keras karena memiliki simbol yang
sama;

(3) mengingat obat keras merupakan obat beracun yang kegunaannya dapat bermanfaat
apabila digunakan dengan dosis yang tepat, sebaliknya akan menjadi berbahaya apabila
digunakan dengan dosis yang melampaui batas.

Walaupun apotek merupakan tempat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian dan


penyaluran obat kepada masyarakat, namun bukan berarti hanya tenaga kefarmasian saja
yang melaksanakannya. Terdapat subjek hukum berupa Pengelola Apotek, yang merupakan
keseluruhan subjek hukum yang ada di apotek yang meliputi Pemilik Sarana Apotek,
Apoteker Pengelola Apotek, Manager Apotek, serta Karyawan,yang mana dalam
melaksanakan tugasnya haruslah sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
berlaku.
Namun, pada prakteknya pengelola apotek dalam melaksanakan tugasnya acap kali
melanggar ketentuan SOP yang berlaku. Lemahnya pengawasan yang diterapkan di negara
Indonesia berakibat pada mudahnya pasien mendapatkan obat keras di apotek tanpa
menggunakan resep dokter. Berdasarkan survey, adapun yang menjadi faktor pertama
dijualnya obat keras tanpa menggunakan resep dokter oleh pengelola apotek karena pasien
sudah rutin menggunakannya sehingga tidak perlu lagi menjual obat keras tersebut dengan
menggunakan resep dokter. Kemudian, apoteker juga menganggap bahwa mereka memiliki
otoritas untuk menyerahkan obat tersebut kepada pasien walaupun tanpa resep dokter.Hal
ini juga dapat dipengaruhi karena rendahnya pemahaman serta pengetahuan pengelola
apotek dalam menjalankan tugasnya sehingga beranggapan demikian.

Rendahnya pemahaman serta pengetahuan tersebut karena masih diabaikannya


regulasi yang telah berlaku, yakni Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Ketidakpatuhan terhadap regulasi
tersebut disebabkan karena belum melekatnya budaya hukum dalam tiap individu. Adanya
ketidakpatuhan mengisyaratkan pula lemahnya kewibawaan hukum yang mana hukum tidak
memperoleh dukungan yang semestinya dari kaedah-kaedah sosial lainnya, dan juga
terciptanya ideologi atau nilai-nilai baru yang belum dipahami oleh masyarakat.

faktor selanjutnya adalah karena adanya perang dagang. Adanya persaingan dalam
perdagangan menuntut pelaku usaha untuk terus melakukan inovasi serta berupaya keras
untuk memberikan pelayanan barang dan jasa yang terbaik sekaligus efisien. Bagi pasien hal
ini pun sangat menguntungkan karena dengan adanya persaingan membuat pasien dapat
memilih barang atau jasa dengan kualitas yang tinggi dan dengan harga yang serendah
mungkin.

Apabila dilihat dari sisi antar pelaku usaha, maka adanya persaingan membuat para
pelaku usaha akan bersaing semaksimal mungkin dengan strategi tersendiri sebagai upaya
untuk mempertahankan posisi.Jadi, dengan adanya perang dagang menimbulkan
kekhawatiran bagi pengelola apotek satu dengan yang lain, apabila pengelola apotek di
suatu apotek tidak memberikan obat keras tersebut kepada pasien, maka pasien akan
beralih ke apotek yang lain untuk membeli obat keras tersebut.Penjualan obat keras tanpa
menggunakan resep dokter dikategorikan kedalam suatu perjanjian sehingga apabila ada
salah satu pihak yang melanggar perjanjian dapat dikatakan sebagai wanprestasi.
Banyaknya praktek penjualan obat keras tanpa menggunakan resep dokter yang
dilakukan oleh pengelola apotek dewasa ini menimbulkan efek yang sangat berbahaya dan
merugikan bagi pasien menimbulkan ketertarikan dari penulis untuk mengkaji hubungan
hukum antara pengelola apotek dalam perjanjian jual beli obat, bagaimana pengaturan jual
beli obat keras serta bagaimana bentuk tanggung jawab hukum perdata pengelola apotek
dalam perjanjian jual beli obat keras tanpamenggunakan resep dokter.

Tindakan apoteker atau pemilik Apotek yang mengedarkan sediaan farmasi tanpa
izin edar melalui proses pengadaan sediaan farmasi (obat keras dan Psikotropika) yang tidak
memiliki dokumen pembelian ataupun pemesanan, menunjukkan bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh pemilik Apotek tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memiliki
izin edar berdasarkan Pasal 197 jo Pasal 106 ayat (1) Undang-Undang No.36 Tahun 2009
tentang Kesehatan dan dijatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan 15 (lima) belas
hari dan denda sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) denganketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1(satu) bulan.

Menurut Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, pasien berhak


mendapat rasa kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi suatu
produk barang dan/jasa yang dalam hal ini adalah obat yang diberikan tenaga medis kepada
pasien, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Tindakan tenaga kesehatan tersebut merupakan tindakan yang
tidak menutup kemungkinan adanya kelalaian. Kelalaian tersebut dapat berbagai macam
bentuknya, salah satu bentuk kelalaian atau kesalahan tersebut dapat disebabkan oleh
kesalahan pemberian resep obat oleh dokter atau dapat juga disebabkan pemberian obat
yang tidak sesuai resep kepada pasien oleh apoteker di apotek. Dari kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan tersebut menimbulkan pertayaan, yaitu: mengenai
bagaimana bentuk tanggung jawab yang dapat diberikan pelaku usaha kepada konsumen,
serta mengenai perlindungan hukum bagi konsumen yang dalam hal ini adalah pasien yang
merasa dirugikan.
Peran apoteker sangatlah penting bagi proses pengobatan pasien. Apoteker sebagai
salah satu tenaga kesehatan mempunyai pranan penting karena tekaitlansung dengan
pemberian layanan, khususnya pelayanan kefarmasian. Karena itu kontribusi apoteker
dalam proses pengobatan tidak dapat dipandang sebelah mata. Keefektipan apoteker harus
didukung dengan adanya informasi antara apoteker dengan pasien selaku prantara diantara
keduanya.
DAFTAR PUSTAKA

Capriotti T. Basic concepts to prevent medication calculation errors. Medical Surgery


Nursing. Available at: http://fi ndarticles.com/p/
articles/mi_m0FSS/is_1_13/ai_n17206621/
Depkes RI. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI). Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.
Depkes RI. 2014. Surat Edaran Menteri Kesehatan RI tentang Pengadaan Obat
Berdasarkan e-katalog, No KF/Menkes/167/III/2014, Depkes RI. Jakarta.
2014.
Desalegn, A.S., 2013. Assessment Of Drug Use Pattern Using WHO Prescribing
Indikators at Hawasssa University Teaching and Referral Hospital. South
Ethiophia: A Cross-Sectional Study, Research Article, Biomed Central 13:170.
Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Ministry of Health Republic of
Indonesia, (1), 1–303.
Sastroasmoro, Sudigdo (2011). Dasar - dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-4.
Jakarta : Sagung Seto.
Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung
Alfabeta.
Tjay, T. H., & Rahardja, K., 2007. Obat - obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek -
Efek Sampingnya. Edisi keenam, Jakarta, PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia.
WHO. 1993. How to Investigate Drugs Use in Health Facilities (selected drug use
indicators). World Health Organization.Geneva.
World Health Organization. High 5s project action on Patient Safety. Available at:
https://www.high5s.org/pub/Manual/TrainingMaterials/
High_5s_Project_Overview_Fact_Sheet.pdf
World Health Organization. WHO patient safety curriculum guide for medical
schools. France: WHO, 2009.
World Health Organization. Guide to good prescribing. Geneva : WHO ; 1994.
World Health Organization. Good pharmacy practice (GPP) : in community and
hospital pharmacy settings. WHO ; 1996.
Widodo. (2005). Kebijakan Penggunaan Antibiotika Bertujuan Meningkatkan Kualitas
Pelayanan pada Pasien dan Mencegah Peningkatan Resistensi Kuman.
Pidato Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap FKUI Viskositas.

Anda mungkin juga menyukai