ABSTRAK
Penyampaian informasi obat haruslah disampaikan dengan jelas dan benar sebagai
pemahaman untuk pasien dan memaksimalkan efek terapi obat yang dikonsumsi,
khususnya obat jenis antibiotik sebagai salah satu pencegahai bahaya resistensi.
Penggunaan antibiotik harus dengan menggunakan resep dokter. Dalam hal ini,
apoteker memiliki peran penting dalam proses pelayanan dan penjualan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pelayanan informasi obat dari resep yang
mengandung antibiotik serta pola penjualan obat antibiotik di apotek wilayah Kabupaten
Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan cara survei dan observasi dengan
menggunakan metode simulasi pasien terhadap 65 apotek yang berada di tiga
kecamatan Kabupaten Bandung yaitu Margahayu, Katapang dan Soreang. Sasaran
dari penelitian ini ialah apoteker dan petugas apotek (non apoteker). Alat bantu dalam
penelitian ini adalah lembar checklist, skenario dan resep yang ditulis oleh dokter. Hasil
penelitian menunjukkan, kualitas pelaksanaan pelayanan informasi obat di Kecamatan
Margahayu yang diberikan oleh apoteker sebesar 42,86% dan petugas apotek (non
apoteker) sebesar 22,11%. Kecamatan Katapang yang diberikan oleh apoteker sebesar
40,48% dan petugas apotek (non apoteker) sebesar 18,92%. Kecamatan Soreang yang
diberikan oleh apoteker sebesar 44,89% dan petugas apotek (non apoteker) sebesar
19,25%. Pelayanan informasi obat di apotek belum sepenuhnya dilakukan oleh
apoteker,83,01% diberikan oleh petugas apotek (non apoteker) dan sisanya 16,99%
diberikan oleh apoteker. Rata-rata persentase kehadiran apoteker di tiga kecamatan
ialah sebesar 39,38% termasuk kategori buruk. Terdapat 82,66% apotek yang
memberikan obat antibiotik meskipun tanpa resep dari dokter. Selama pelaksanaan
pelayanan informasi obat, hanya terdapat 25,38% apotek yang melakukan penilaian
pasien (patient assessment) dan masih terdapat 23,1% apotek yang tidak menuliskan
etiket pada obat ketika diberikan. Serta masih terdapat 13,85% apotek yang tidak
memiliki papan praktik apoteker. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa pelayanan dan pemberian obat antibiotik di apotek wilayah
Kabupaten Bandung masih belum sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2406 tahun 2011 tentang pedoman umum penggunaan
antibiotik dan peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 tahun 2016
tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek.
Kata Kunci: Antibiotik, Peran Apoteker, Pelayanan Informasi Obat
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Peningkatan pelayanan kesehatan serta jaminan kesehatan pada masyarakat
merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah termasuk seluruh tenaga kesehatan
yang salah satunya adalah tenaga kefarmasian atau apoteker. Tenaga kefarmasian
atau apoteker memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan yang maksimal kepada masyarakat. Peranan tersebut bertujuan agar
masyarakat mampu untuk meningkatkan kualitas kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat sehingga dapat terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis. Salah satu tugas dan kewajiban kefarmasian atau
apoteker sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 adalah
Pelayanan Informasi Obat (PIO).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016, pelayanan
informasi obat Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat
kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi meliputi dosis,
bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil
dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau
kimia dari obat dan lain-lain.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara lain :
Penggunaan yang kurang tepat (irrasional) : terlalu singkat, dalam dosis rendah,
diagnosis yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat. Selain itu Faktor yang
berhubungan dengan pasien, seperti pasien dengan pengetahuan yang salah dalam
penggunaan obat dan pasien membeli Antibiotik sendiri tanpa peresepan dari Dokter
(Self Medication) (Utami, 2011).
Pemberian pelayanan informasi obat ini sangatlah diperlukan untuk
meningkatkan informasi, pemahaman pasien terhadap obat yang akan dikonsumsi
sehingga menghasilkan efek terapi yang diinginkan dan sesuai. Penggunaan obat yang
tidak sesuai khususnya obat antibiotik yang disebabkan kurangnya pengetahuai pasien
maupun ketidak patuhan pasien pada regimen terapi dapat memicu masalah baru yaitu
salah satunya terjadinya resistensi. WHO menyatakan bahwa setidaknya terdapat
2.049.442 kasus kesakitan karena resistensi antibiotik dan 23.000 diantaranya
meninggal dunia. Setiap tahunnya di Amerika Serikat setidaknya 2 juta orang
mendapatkan infeksi yang resisten terhadap antibiotik, dan setidaknya 23.000 orang
meninggal (CDC, 2018).
Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat penyakit infeksi yang
tinggi telah melakukan langkah – langkah dalam mencegah resistensi antibiotika. Salah
satu langkah yang dilakukan adalah diberlakukannya undang-undang tentang penjualan
antibiotika yang diatur dalam undang-undang obat keras St. No.419 tgl. 22 Desember
1949, pada pasal 3 ayat 1 (Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 1949). Selain itu diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik
(Permenkes RI, 2011). Pemerintah juga telah mengatur swamedikasi yang merupakan
upaya masyarakat dalam mengobati dirinya sendiri dalam bentuk obat wajib apotek
(OWA) yaitu obat yang diserahkan tanpa resep dokter, dan masih banyak lagi.
Namun, pada kenyataannya belum semua tenaga kesehatan dan masyarakat
melakukan apa yang telah tertulis dalam Undang-Undang maupun kebijakan lain yang
telah dibuat. Padahal jika tenaga kesehatan maupun masyarakat telah melakukan apa
yang telah diatur dalam kebijakan yang ada, akan mampu meminimalisir terjadinya
resistensi.
Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui gambaran Pelayanan Informasi Obat
(PIO) antibiotik dan penjualan dalam mencegah resistensi antibiotik. Berdasarkan data
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) di Kabupaten Bandung belum pernah dilakukan
penelitian tentang gambaran Pelayanan Informasi Obat (PIO) jenis antibiotik dan
penjualannya di apotek wilayah Kabupaten Bandung.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode survey deskriptif dengan
menggunakan presentase dengan populasi seluruh apotek yang berada di 3
Kecamatan Kabupaten Bandung yaitu, Margahayu, Katapang dan Soreang sebanyak
65 apotek (total sampling).
Sumber data dari penelitian ini adalah sumber data primer. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan observasi partisipatif yaitu peneliti sekaligus pengamat bertindak
sebagai pasien mengunjungi apotek terpilih dengan membawa resep yang
mengandung obat antibiotik. Segera setelah mendapatkan pelayanan, teknik
komunikasi verbal yaitu dengan metode wawancara terstruktur serta komponen
informasi obat yang diberikan dicatat dalam lembar data (check list)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat apoteker yang hadir
saat dilakukan penelitian tetapi tidak memberikan pelayanan kepada pasien (9,23%),
apoteker hadir dan memberikan pelayanan (15,39%) dan sebagian besar apoteker tidak
hadir di apotek selama penelitian berlangsung (75,39%). Apoteker yang bekerja di
apotek cenderung ramai oleh pelanggan umumnya dituntut untuk ikut serta dalam
proses penyiapan obat sehingga apoteker tidak mampu memberikan pelayanan
informasi obat yang optimal kepada pasien/pelanggan dan justru menyerahkannya
kepada petugas apotek (non apoteker).
4. Gambaran Pola Penjualan Antibiotik di Apotek
Tabel 4 Gambaran Pola Penjualan Antibiotik di Apotek 3 Kecamatan Kabupaten
Bandung
Margahayu Katapang Soreang Total
Sampel
Jumlah Per- Jumla Per- Jumla Per- Jumla Per-
Apotek sentas h sentas h sentas h sentas
e Apotek e Apotek e Apotek e
Tidak 7 23,33 2 15,38 3 13,64 12 18,46
diberika % % % %
n Tanpa
Resep
Diberika 23 76,67 11 84,62 19 86,36 53 81,54
n Tanpa % % % %
Resep
Jumlah Jumlah
No. Nama Kecamatan Rasio
Apotek Penduduk
1. Margahayu 30 115.786 1:3.860
2. Katapang 13 116.672 1:8.974
3. Soreang 22 115.340 1:5.242
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Tahun 2017, dari ketiga
kecamatan jumlah Apotek terbanyak berada di Kecamatan Margahayu yaitu sebanyak
30 Apotek. Selain itu, jumlah penduduk di Kecamatan Margahayu sebanyak 115.786
jiwa, Kecamatan Katapang sebanyak 116.672 jiwa, dan di Kecamatan Soreang
sebanyak 115.340 jiwa. Apabila dianalogikan satu Apotek memiliki satu apoteker, maka
dapat dihitung rasio apoteker terhadap 100.000 penduduk di setiap Kecamatan. Rasio
ini digunakan untuk mengetahui apakah jumlah apoteker sudah memadai sesuai
standar yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu 12:100.000 dan menurut
WHO sebesar 50:100.000 (Adelina 2013 dikutip dari (Suci, 2015)).
25.385
Memberikan
Passien assenment
74.615
tidak memberikan
pasien assesment
Memberikan
23.07692
etiket
308
76.92307
692 Tidak
memberikan
etiket
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa 76,92% petugas apotek yang
berada di 3 Kecamatan Kabupaten Bandung yang menuliskan etiket pada obat. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryandari (2015) dimana
belum seluruhnya petugas apotek memberikan etiket yaitu hanya 43% pasien yang
sudah menerima etiket yang diberikan oleh petugas apotek. Dalam etiket berisi tentang
nama pasien, frekuensi pemberian, waktu pemberian dan dosis/takaran obat. Tulisan
dalam etiket haruslah jelas dan mudah dibaca untuk mencegah pasien lupa atas
informasi yang diberikan oleh petugas apotek pada saat penyerahan obat (Suryandari,
2015). Kesalahan penggunaan obat akibat tidak diberikannya etiket pada obat sering
terjadi. Hal ini biasanya sering terjadi pada pasien lanjut usia karena terkadang lupa
dengan informasi yang disampaikan oleh petugas apotek pada saat penyerahan obat
dilakukan (Depkes, 2004).
13.846153
85 Terdapat plang
praktek
Apoteker
86.153846 Tidak terdapat
15 plang praktek
apoteker
KESIMPULAN
Kualitas Pelayanan Informasi Obat yang diberikan oleh Apoteker dan petugas
non Apoteker di Kecamatan Soreang sebesar 42,86% dan 22,11%, di Kecamatan
Katapang sebesar 40,48% dan 18,93, serta di Kecamatan Margahayu sebesar 44,9%
dan 19,25%. Pelayanan Informasi Obat antibiotik di 3 Kecamatan Kabupaten Bandung
masih dalam kategori buruk. Secara keseluruhan kualitas pelayanan informasi obat
yang dilakukan oleh apoteker cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan petugas
apotek (non apoteker). Jika dirata ratakan meskipun pemberi pelayanan informasi obat
lebih banyak dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker), akan tetapi kualitas
pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh apoteker lebih tinggi yaitu sebesar 42,73
%, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker) sebesar
20,09 %. Salah satu penyebab rendahnya pemberian pelayanan informasi obat oleh
Apoteker dikarenakan faktor kehadiran Apoteker di Apotek yang masih rendah.
Persentase kehadiran apoteker di apotek hanya sebesar 39,385 %. Apotek yang
memberikan antibiotik tanpa resep dokter yaitu sebesar 82,66 % atau 53 apotek dari 65
apotek, sedangkan apotek yang tidak menjual antibiotik tanpa ada resep dokter sebesar
17,45 % atau hanya 12 apotek dari 65 apotek yang dilakukan penelitian. Hal ini tidak
sesuai dengan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.2406/MENKES/PER/XII/2011
Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik) yang menyatakan bahwa
penggunaan antibiotik hanya dengan resep dokter.
DAFTAR PUSTAKA
CDC (2018) Antibiotic / Antimicrobial Resistance (AR / AMR), U.S. Department of Health &
Human Services. Available at: https://www.cdc.gov/drugresistance/index.html.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (1949) ‘UNDANG – UNDANG
OBAT KERAS ( St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949 )’.
Faaz, M. S. A. L. (2018) Gambaran Pelayanan Informasi Obat Resep Antibiotik dan Pola
Peraturan Pemerintah RI (2009) ‘Nomor 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian’,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
Permenkes RI (2017) ‘Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek’, Peraturan Mentri Kesehatan
Republik Indonesia.
Suryandari, L. (2015) ‘Analisis kualitas informasi obat untuk pasien di apotek kota surakarta’.
Utami, E. R. (2011) ‘Antibiotika, resistensi, dan rasionalitas terapi’, El-Hayah, 1(4), pp. 191–
198.