Anda di halaman 1dari 10

GAMBARAN PELAYANAN INFORMASI OBAT JENIS ANTIBIOTIK DAN

PENJUALANNYA DI APOTEK 3 KECAMATAN WILAYAH KABUPATEN BANDUNG

DESCRIPTION OF INFORMATION SERVICES FOR ANTIBIOTIC MEDICINES AND


THEIR SALES IN PHARMACY 3 DISTRICT OF REGIONAL OF BANDUNG

Faqih Difran Hanif1


1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Faqih Difran Hanif


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
haniffaqih357@gmail.com

ABSTRAK

Penyampaian informasi obat haruslah disampaikan dengan jelas dan benar sebagai
pemahaman untuk pasien dan memaksimalkan efek terapi obat yang dikonsumsi,
khususnya obat jenis antibiotik sebagai salah satu pencegahai bahaya resistensi.
Penggunaan antibiotik harus dengan menggunakan resep dokter. Dalam hal ini,
apoteker memiliki peran penting dalam proses pelayanan dan penjualan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pelayanan informasi obat dari resep yang
mengandung antibiotik serta pola penjualan obat antibiotik di apotek wilayah Kabupaten
Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan cara survei dan observasi dengan
menggunakan metode simulasi pasien terhadap 65 apotek yang berada di tiga
kecamatan Kabupaten Bandung yaitu Margahayu, Katapang dan Soreang. Sasaran
dari penelitian ini ialah apoteker dan petugas apotek (non apoteker). Alat bantu dalam
penelitian ini adalah lembar checklist, skenario dan resep yang ditulis oleh dokter. Hasil
penelitian menunjukkan, kualitas pelaksanaan pelayanan informasi obat di Kecamatan
Margahayu yang diberikan oleh apoteker sebesar 42,86% dan petugas apotek (non
apoteker) sebesar 22,11%. Kecamatan Katapang yang diberikan oleh apoteker sebesar
40,48% dan petugas apotek (non apoteker) sebesar 18,92%. Kecamatan Soreang yang
diberikan oleh apoteker sebesar 44,89% dan petugas apotek (non apoteker) sebesar
19,25%. Pelayanan informasi obat di apotek belum sepenuhnya dilakukan oleh
apoteker,83,01% diberikan oleh petugas apotek (non apoteker) dan sisanya 16,99%
diberikan oleh apoteker. Rata-rata persentase kehadiran apoteker di tiga kecamatan
ialah sebesar 39,38% termasuk kategori buruk. Terdapat 82,66% apotek yang
memberikan obat antibiotik meskipun tanpa resep dari dokter. Selama pelaksanaan
pelayanan informasi obat, hanya terdapat 25,38% apotek yang melakukan penilaian
pasien (patient assessment) dan masih terdapat 23,1% apotek yang tidak menuliskan
etiket pada obat ketika diberikan. Serta masih terdapat 13,85% apotek yang tidak
memiliki papan praktik apoteker. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa pelayanan dan pemberian obat antibiotik di apotek wilayah
Kabupaten Bandung masih belum sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2406 tahun 2011 tentang pedoman umum penggunaan
antibiotik dan peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 tahun 2016
tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek.
Kata Kunci: Antibiotik, Peran Apoteker, Pelayanan Informasi Obat

ABSTRACT

Submission of drug information must be conveyed clearly and correctly as an


understanding for patients and maximize the therapeutic effect needed, specifically the
type of drug one prevention of danger of resistance. The use of antibiotics must be by
using a doctor's prescription. In this case, the pharmacist has an important role in the
service and sales process. The purpose of this research is to study the information
services of prescriptions containing antibiotics as well as the pattern of antibiotic drug
sales in Bandung district pharmacies. This research was conducted by survey and
observation using a patient simulation method of 65 pharmacies in three districts of
Bandung Regency, namely Margahayu, Katapang and Soreang. The targets of this
research are pharmacists and pharmacists (non-pharmacists). Assistive tools in this
study were checklist sheets, scenarios and prescriptions written by doctors. The results
showed, the quality of the implementation of information services in Margahayu District
provided by pharmacists was 42.86% and pharmacists (non-pharmacists) were 22.11%.
Katapang District given by pharmacists is 40.48% and pharmacists (non-pharmacists)
are 18.92%. Soreang District which was given by pharmacists was 44.89% and
pharmacists (non-pharmacists) were 19.25%. Drug information services at pharmacies
have not been fully carried out by pharmacists, 83.01% is provided by pharmacists
(non-pharmacists) and 16.99% is accepted by pharmacists. The average percentage of
the presence of pharmacists in the three districts is 39.38%, including the bad category.
There are 82.66% of pharmacies that give antibiotics without a prescription from a
doctor. During the drug information service, only 25.38% of pharmacies did a patient
evaluation (patient assessment) and still contained 23.1% of pharmacies that did not
discuss etiquette at the time the compilation drug was given. And still has 13.85% of
pharmacies that do not have a pharmacist practice board. Based on the research that
has been done, it can be concluded that research and drug administration in the
pharmacy area of Bandung Regency are still not in accordance with the regulation of
the Minister of Health of the Republic of Indonesia Number 2406 of 2011 concerning
general guidelines for antibiotic use and the regulation of the Minister of Health of the
Republic of Indonesia Number 73 of 2016 concerning pharmaceutical service standards
in pharmacy.
Keywords: Antibiotics, Pharmacist role, Drugs Information Service

PENDAHULUAN
Peningkatan pelayanan kesehatan serta jaminan kesehatan pada masyarakat
merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah termasuk seluruh tenaga kesehatan
yang salah satunya adalah tenaga kefarmasian atau apoteker. Tenaga kefarmasian
atau apoteker memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan yang maksimal kepada masyarakat. Peranan tersebut bertujuan agar
masyarakat mampu untuk meningkatkan kualitas kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat sehingga dapat terwujud derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis. Salah satu tugas dan kewajiban kefarmasian atau
apoteker sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 adalah
Pelayanan Informasi Obat (PIO).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016, pelayanan
informasi obat Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,
dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat
kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi meliputi dosis,
bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik,
farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil
dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau
kimia dari obat dan lain-lain.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara lain :
Penggunaan yang kurang tepat (irrasional) : terlalu singkat, dalam dosis rendah,
diagnosis yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat. Selain itu Faktor yang
berhubungan dengan pasien, seperti pasien dengan pengetahuan yang salah dalam
penggunaan obat dan pasien membeli Antibiotik sendiri tanpa peresepan dari Dokter
(Self Medication) (Utami, 2011).
Pemberian pelayanan informasi obat ini sangatlah diperlukan untuk
meningkatkan informasi, pemahaman pasien terhadap obat yang akan dikonsumsi
sehingga menghasilkan efek terapi yang diinginkan dan sesuai. Penggunaan obat yang
tidak sesuai khususnya obat antibiotik yang disebabkan kurangnya pengetahuai pasien
maupun ketidak patuhan pasien pada regimen terapi dapat memicu masalah baru yaitu
salah satunya terjadinya resistensi. WHO menyatakan bahwa setidaknya terdapat
2.049.442 kasus kesakitan karena resistensi antibiotik dan 23.000 diantaranya
meninggal dunia. Setiap tahunnya di Amerika Serikat setidaknya 2 juta orang
mendapatkan infeksi yang resisten terhadap antibiotik, dan setidaknya 23.000 orang
meninggal (CDC, 2018).
Indonesia sebagai negara berkembang dengan tingkat penyakit infeksi yang
tinggi telah melakukan langkah – langkah dalam mencegah resistensi antibiotika. Salah
satu langkah yang dilakukan adalah diberlakukannya undang-undang tentang penjualan
antibiotika yang diatur dalam undang-undang obat keras St. No.419 tgl. 22 Desember
1949, pada pasal 3 ayat 1 (Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 1949). Selain itu diberlakukannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik
(Permenkes RI, 2011). Pemerintah juga telah mengatur swamedikasi yang merupakan
upaya masyarakat dalam mengobati dirinya sendiri dalam bentuk obat wajib apotek
(OWA) yaitu obat yang diserahkan tanpa resep dokter, dan masih banyak lagi.
Namun, pada kenyataannya belum semua tenaga kesehatan dan masyarakat
melakukan apa yang telah tertulis dalam Undang-Undang maupun kebijakan lain yang
telah dibuat. Padahal jika tenaga kesehatan maupun masyarakat telah melakukan apa
yang telah diatur dalam kebijakan yang ada, akan mampu meminimalisir terjadinya
resistensi.
Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui gambaran Pelayanan Informasi Obat
(PIO) antibiotik dan penjualan dalam mencegah resistensi antibiotik. Berdasarkan data
Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) di Kabupaten Bandung belum pernah dilakukan
penelitian tentang gambaran Pelayanan Informasi Obat (PIO) jenis antibiotik dan
penjualannya di apotek wilayah Kabupaten Bandung.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode survey deskriptif dengan
menggunakan presentase dengan populasi seluruh apotek yang berada di 3
Kecamatan Kabupaten Bandung yaitu, Margahayu, Katapang dan Soreang sebanyak
65 apotek (total sampling).
Sumber data dari penelitian ini adalah sumber data primer. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan observasi partisipatif yaitu peneliti sekaligus pengamat bertindak
sebagai pasien mengunjungi apotek terpilih dengan membawa resep yang
mengandung obat antibiotik. Segera setelah mendapatkan pelayanan, teknik
komunikasi verbal yaitu dengan metode wawancara terstruktur serta komponen
informasi obat yang diberikan dicatat dalam lembar data (check list)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian Profil Pelayanan Informasi
Obat Terhadap Pasien dengan Resep Antibiotika di Apotek Kabupaten Bandung yang
dilakukan dengan cara observasi partisipatif terhadap Apotek di 3 kecamatan
Kabupaten Bandung diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Gambaran Kualitas Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat di Apotek
Tabel 1 Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Informasi Obat di Apotek 3 Kecamatan
Kabupaten Bandung

Soreang Katapang Margahayu


Antibiotik Petugas Non
Apoteker 22,10884 % 18,92856 % 19,25465 %
Apoteker 42,8571 % 40,47617 % 44,89794 %
Ibuprofen Petugas Non
Apoteker 19,89796 % 20,71428 % 20,65217 %
Apoteker 50 % 42,85717 % 48,9796 %

Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa Pelayanan Informasi Obat yang


diberikan oleh Apoteker dan petugas non Apoteker di Kecamatan Soreang sebesar
42,86% dan 22,11%, di Kecamatan Katapang sebesar 40,48% dan 18,93, serta di
Kecamatan Margahayu sebesar 44,9% dan 19,25%. Pelayanan Informasi Obat
antibiotik di 3 Kecamatan Kabupaten Bandung masih dalam kategori buruk. Hasil ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Faaz (2017) yang dilakukan di
Kabupaten Ngawi dimana berdasarkan 5 kecamatan yang diteliti seluruhnya berada
dalam kategori buruk. Secara keseluruhan kualitas pelayanan informasi obat yang
dilakukan oleh apoteker cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan petugas apotek
(non apoteker). Hal ini dikarenakan latar belakang pendidikan yang dimiliki sehingga
apoteker memiliki pemahaman terkait obat yang lebih dibandingkan petugas apotek
(non apoteker). Pemahaman Apoteker yang baik terkait obat akan menimbulkan
kepercayaan pasien terhadap profesi Apoteker sebagai sumber informasi tentang obat.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian Erlin Aurelia (Aurelia, 2013) yang menyatakan
bahwa pasien yang mendapatkan pelayanan langsung dari Apoteker cenderung
mempercayai Apoteker sebagai sumber informasi terkait kesehatan mereka. Selain itu
pemberian informasi obat penting untuk disampaikan guna mencegah terjadinya
resistensi dan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam terapi yang dilakukan. Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryandari (2015), yang menyatakan
hanya 52% petugas apotek yang memberikan informasi terkait obat yang berkualitas
kepada pasien. Oleh sebab itu menjadi hal penting untuk Apoteker melakukan
pelayanan klinik dan pelayanan informasi obat yang baik jelas dan sesuai.
2. Gambaran Pemberi Pelayanan Informasi Obat di Apotek
Tabel 2 Gambaran Pemberi Pelayanan Informasi Obat di Apotek 3 Kecamatan
Kabupaten Bandung

Margahayu Katapang Soreang Total Sampel


Jumlah Per- Jumlah Per- Jumlah Per- Jumlah Per-
Apotek sentase Apotek sentase Apotek sentase Apotek sentase
Apoteker 7 23,33 3 23,08 1 4,55 % 11 16,99%
% %
Petugas 23 76,67 10 76,92 21 95,45 54 83,01%
Non % % %
Apoteker

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa pemberi pelayanan informasi


obat di 3 kecamatan Kabupaten Bandung sebagian besar diberikan oleh petugas non
apoteker, yaitu di Kecamatan Soreang sebesar 76,67%, Kecamatan Katapang sebesar
77%, dan Kecamatan Margahayu sebesar 95,45%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
pemberi pelayanan informasi obat yang disampaikan oleh Apoteker masih sangat
rendah. Salah satu penyebab rendahnya pemberian pelayanan informasi obat oleh
Apoteker dikarenakan faktor kehadiran Apoteker di Apotek yang masih rendah.
3. Gambaran Kehadiran Apoteker diapotek saat dilakukan Penelitian
Tabel 3 Gambaran Kehadiran Apoteker di Apotek saat Dilakukan Penelitian

Margahayu Katapang Soreang Total Persentase


Hadir dan
memberikan
pelayanan 6 3 1 10 15,39%
Hadir tidak
memberikan
pelayanan 3 0 3 6 9,23%
Tidak Hadir 21 10 18 49 75,39%

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat apoteker yang hadir
saat dilakukan penelitian tetapi tidak memberikan pelayanan kepada pasien (9,23%),
apoteker hadir dan memberikan pelayanan (15,39%) dan sebagian besar apoteker tidak
hadir di apotek selama penelitian berlangsung (75,39%). Apoteker yang bekerja di
apotek cenderung ramai oleh pelanggan umumnya dituntut untuk ikut serta dalam
proses penyiapan obat sehingga apoteker tidak mampu memberikan pelayanan
informasi obat yang optimal kepada pasien/pelanggan dan justru menyerahkannya
kepada petugas apotek (non apoteker).
4. Gambaran Pola Penjualan Antibiotik di Apotek
Tabel 4 Gambaran Pola Penjualan Antibiotik di Apotek 3 Kecamatan Kabupaten
Bandung
Margahayu Katapang Soreang Total
Sampel
Jumlah Per- Jumla Per- Jumla Per- Jumla Per-
Apotek sentas h sentas h sentas h sentas
e Apotek e Apotek e Apotek e
Tidak 7 23,33 2 15,38 3 13,64 12 18,46
diberika % % % %
n Tanpa
Resep
Diberika 23 76,67 11 84,62 19 86,36 53 81,54
n Tanpa % % % %
Resep

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa di Kecamatan Margahayu


didapatkan data penjualan antibiotik dari 30 apotek terdapat 7 apotek (23,33%) yang
tidak menjual antibiotik secara bebas melainkan harus menggunakan resep dokter.
Pada Kecamatan Katapang didapatkan data penjualan antibiotik dari 13 apotek hanya 2
apotek (15,38%) yang tidak menjual antibiotik secara bebas. Hasil yang sama juga
ditemukan di Kecamatan Soreang dimana dari 22 apotek hanya 3 apotek (13,64%)
yang tidak menjual antibiotik secara bebas. Total keseluruhan 3 kecamatan di
Kabupaten Bandung dari 65 apotek hanya 12 apotek (18,46 %) yang tidak menjual
antibiotik secara bebas.
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa seluruhnya menjual antibiotik
meskipun tidak membawa resep dokter. Penelitian yang dilakukan di Kota Surabaya
didapatkan hasil penelitian 81,9% dari 133 responden mendapatkan antibiotik tanpa
resep dokter dikarenakan sudah pernah menggunakan antibiotik sebelumnya (Wuwur,
2012). Penelitian lain yang dilakukan di Kabupaten Nganjuk, dari 5 Kecamatan yang
diteliti 3 diantaranya 100% menjual antibiotik meskipun tidak menggunakan resep
(Faaz, 2018).
5. Jumlah Apotek dan Jumlah Penduduk
Tabel 5 Gambaran Jumlah Apotek dan Jumlah Penduduk di 3 Kecamatan Kabupaten
Bandung

Jumlah Jumlah
No. Nama Kecamatan Rasio
Apotek Penduduk
1. Margahayu 30 115.786 1:3.860
2. Katapang 13 116.672 1:8.974
3. Soreang 22 115.340 1:5.242

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Tahun 2017, dari ketiga
kecamatan jumlah Apotek terbanyak berada di Kecamatan Margahayu yaitu sebanyak
30 Apotek. Selain itu, jumlah penduduk di Kecamatan Margahayu sebanyak 115.786
jiwa, Kecamatan Katapang sebanyak 116.672 jiwa, dan di Kecamatan Soreang
sebanyak 115.340 jiwa. Apabila dianalogikan satu Apotek memiliki satu apoteker, maka
dapat dihitung rasio apoteker terhadap 100.000 penduduk di setiap Kecamatan. Rasio
ini digunakan untuk mengetahui apakah jumlah apoteker sudah memadai sesuai
standar yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu 12:100.000 dan menurut
WHO sebesar 50:100.000 (Adelina 2013 dikutip dari (Suci, 2015)).

6. Gambaran Pelaksanaan Pelayanan Patient Assessment di Apotek

25.385
Memberikan
Passien assenment
74.615
tidak memberikan
pasien assesment

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa hanya terdapat 25,39%


petugas apotek yang melakukan penilaian pasien (patient assesmant). Penilaian pasien
terdiri dari nama pasien, umur, alamat, gejala yang dialami oleh pasien. Seharusnya
apoteker bertanggung jawab atas kesesuaian dan ketepatan obat yang diterima oleh
pasien. Ketepatan tersebut antara lain nama pasien, umur pasien, dosis, cara
penggunaan obat yang tepat, aturan dan waktu penggunaan obat, tempat penyimpanan
dan masalah terkait obat lainnya termasuk cara mengatasinya misalnya efek samping
dan interaksi obat. Hal ini juga sesuai dengan aspek kerasionalan obat sesuai dengan
modul penggunaan obat rasional yang dibuat oleh Kemenkes tahun 2011 dimana
apoteker bertanggung jawab untuk menyerahkan obat yang benar, kepada pasien yang
benar (sesuai pada lembar resep) dan pada waktu yang benar (the right medicine to the
right patient at the right time) (Young, 2015).
7. Gambaran Diagram Pemberian Etiket pada Obat

Memberikan
23.07692
etiket
308
76.92307
692 Tidak
memberikan
etiket

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa 76,92% petugas apotek yang
berada di 3 Kecamatan Kabupaten Bandung yang menuliskan etiket pada obat. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryandari (2015) dimana
belum seluruhnya petugas apotek memberikan etiket yaitu hanya 43% pasien yang
sudah menerima etiket yang diberikan oleh petugas apotek. Dalam etiket berisi tentang
nama pasien, frekuensi pemberian, waktu pemberian dan dosis/takaran obat. Tulisan
dalam etiket haruslah jelas dan mudah dibaca untuk mencegah pasien lupa atas
informasi yang diberikan oleh petugas apotek pada saat penyerahan obat (Suryandari,
2015). Kesalahan penggunaan obat akibat tidak diberikannya etiket pada obat sering
terjadi. Hal ini biasanya sering terjadi pada pasien lanjut usia karena terkadang lupa
dengan informasi yang disampaikan oleh petugas apotek pada saat penyerahan obat
dilakukan (Depkes, 2004).

8. Gambaran Papan Praktik Apoteker

13.846153
85 Terdapat plang
praktek
Apoteker
86.153846 Tidak terdapat
15 plang praktek
apoteker

Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui bahwa Apotek di 3 Kecamatan


Kabupaten Bandung hanya 86% yang memiliki papan praktik apoteker yang
ditammpilkan pada halaman depan Apotek. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masih
ada apotek yang tidak terdapat plang praktek apoteker. Hal ini tidak sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang apotek
dimana apoteker yang menyelenggarakan praktik kefarmasian di Apotek wajib
memasang papan nama praktik. Papan nama praktik tersebut harus memuat logo
Ikatan Apoteker Indonesia, nama dan atau sebutan profesional sesuai Surat Ijin Praktik
Apoteker (SIPA), nomor SIPA, nomor Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), hari
dan jam praktik, serta nama, alamat dan nomor telepon Apotek (Surat Keputusan
Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Nomor PO.005/PP.IAI/1418/VII/2014
tentang peraturan organisasi tentang papan nama praktik apoteker).

KESIMPULAN
Kualitas Pelayanan Informasi Obat yang diberikan oleh Apoteker dan petugas
non Apoteker di Kecamatan Soreang sebesar 42,86% dan 22,11%, di Kecamatan
Katapang sebesar 40,48% dan 18,93, serta di Kecamatan Margahayu sebesar 44,9%
dan 19,25%. Pelayanan Informasi Obat antibiotik di 3 Kecamatan Kabupaten Bandung
masih dalam kategori buruk. Secara keseluruhan kualitas pelayanan informasi obat
yang dilakukan oleh apoteker cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan petugas
apotek (non apoteker). Jika dirata ratakan meskipun pemberi pelayanan informasi obat
lebih banyak dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker), akan tetapi kualitas
pelayanan informasi obat yang dilakukan oleh apoteker lebih tinggi yaitu sebesar 42,73
%, kualitas pelayanan yang dilakukan oleh petugas apotek (non apoteker) sebesar
20,09 %. Salah satu penyebab rendahnya pemberian pelayanan informasi obat oleh
Apoteker dikarenakan faktor kehadiran Apoteker di Apotek yang masih rendah.
Persentase kehadiran apoteker di apotek hanya sebesar 39,385 %. Apotek yang
memberikan antibiotik tanpa resep dokter yaitu sebesar 82,66 % atau 53 apotek dari 65
apotek, sedangkan apotek yang tidak menjual antibiotik tanpa ada resep dokter sebesar
17,45 % atau hanya 12 apotek dari 65 apotek yang dilakukan penelitian. Hal ini tidak
sesuai dengan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No.2406/MENKES/PER/XII/2011
Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik) yang menyatakan bahwa
penggunaan antibiotik hanya dengan resep dokter.

UCAPAN TERIMA KASIH


Berisi ucapan terima kasih kepada pihak yang telah membantu (misal penyandang
dana penelitian). Berisi ucapan terima kasih kepada pihak yang telah membantu (misal
penyandang dana penelitian). Berisi ucapan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu (misal penyandang dana penelitian).

DAFTAR PUSTAKA
CDC (2018) Antibiotic / Antimicrobial Resistance (AR / AMR), U.S. Department of Health &
Human Services. Available at: https://www.cdc.gov/drugresistance/index.html.

Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (1949) ‘UNDANG – UNDANG
OBAT KERAS ( St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949 )’.

Faaz, M. S. A. L. (2018) Gambaran Pelayanan Informasi Obat Resep Antibiotik dan Pola
Peraturan Pemerintah RI (2009) ‘Nomor 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian’,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.

Permenkes RI (2011) ‘Permenkes RI Pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi antibiotik’.

Permenkes RI (2016) ‘Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Kefarmasian di Apotek’,


Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia.

Permenkes RI (2017) ‘Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek’, Peraturan Mentri Kesehatan
Republik Indonesia.

Suci, R. P. (2015) ‘Gambaran Pelayanan Klinik Terhadap Resep Antidiabetes Apotek


Kecamatan Tarogong Kaler, Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Garut Kota
Wilayah Kabupaten Garut’.

Suryandari, L. (2015) ‘Analisis kualitas informasi obat untuk pasien di apotek kota surakarta’.

Utami, E. R. (2011) ‘Antibiotika, resistensi, dan rasionalitas terapi’, El-Hayah, 1(4), pp. 191–
198.

WHO (1997) ‘The Role of Pharmacist in The Health Care System’.

WHO (2001) ‘WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance’,


WHO/CDS/CS. Available at:
http://archives.who.int/prioritymeds/report/append/EGlobal_Strat_apx61.pdf.

WHO (2008) ‘Pharmacopoeia Fourth Edition – First Supplement’, (19900037).

WHO (2014) ‘Antimicrobial Recistance Global Report on Surveillance’, WHO Librar.

Wuwur, L. N. (2012) ‘STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK TANPA RESEP DOKTER DI


BEBERAPA APOTEK KECAMATAN RUNGKUT SURABAYA’, (I).

Anda mungkin juga menyukai