Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu
mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Fungsi
dan tugas dari apotek yaitu tempat menyalurkan pembekalan farmasi yang harus
menyebarkan obat yang dibutuhkan masyarakat secara luas, tempat farmasi
melakukan peracikan obat, pengubahan bentuk, pencampuran obat dan
penyerahan obat. Standar pelayanan kefarmasian di Apotek disusun bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan sebagai
pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi. Pengaturan standar
pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan untuk melindungi pasien dan
masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional salah satunya dengan
menyerahkan obat antibiotik menggunakan resep dokter untuk mengurangi angka
resistensi pada antibiotika di masyarakat (Hartini 2007).
Antibiotik merupakan salah satu zat yang dapat mencegah atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme, zat ini diperoleh dari berbagai macam spesies
mikroorganisme seperti bakteri, jamur dan protozoa. Antibiotik memiliki
toksisitas yang rendah bagi manusia yang memiliki mekanisme kerja yaitu dengan
cara melemahkan atau menghambat perkembangbiakanserta penyebaran
mikroorganisme sehingga dapat dibunuh dengan sistem kekebalan tubuh kita
(Tjay and Rahardja, 2015). Penggunaan antibiotika secara tidak rasional dapat
menyebabkan resistensi, yaitu tidak terhambatnya perkembangan bakteri dengan
pemberian antibiotika. Penyebab terjadinya resistensi adalah tingginya tingkat
penggunaan antibiotika secara tidak tepat dikalangan masyarakat serta
ketidakpatuhan pasien dalam meminum antibiotika.Salah satu faktor penting yang
menyebabkan terjadinya kasus tersebut yakni kurangnya pengetahuan (Utami,
2017).
Pengetahuan adalah domain yang penting untuk terbentuknya tindakan yang
nyata. Pengetahuan yang baik akan merubah sikap menjadi positif sehingga
tindakan yang diambil menjadi lebih terarah. Rendahnya pengetahuan dan

1
pemahaman bahwa antibiotik hanya boleh digunakan berdasarkan resep dokter
menyebabkan penggunaannya menjadi tidak rasional. Tingginya penggunaan
antibiotik secara tidak tepat dikalangan masyarakat saat ini menyebabkan
terjadinya masalah resistensi antibiotik karena tidak sesuai dengan aturan
penggunaan yang tepat bahwa penggunaan antibiotik tidak dianjurkan untuk
swamedikasi atau pengobatan sendiri (Notoadmodjo 2010).
Peraturan Menteri Kesehatan (permenkes) mendefinisikan swamedikasi pada
No.919/MENKES/PER/X/1993 sebagai upaya pengobatan yang dilakukan secara
mandiri untuk mengobati gejala sakit atau penyakit tanpa berkonsultasi dengan
dokter terlebih dahulu. Makna dari peraturan tersebut Pengobatan yang dimaksud
dalam permenkes tersebut adalah upaya pasien untuk mencari tahu mengenai
informasi obat yang sesuai dengan keluhan penyakitnya dengan bertanya pada
apoteker. Pengetahuan dan perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan seseorang. Beberapa penelitian
terdahulu memperlihatkan bahwa faktor umur dan pendidikan terakhir
berhubungan dengan tindakan swamedikasi yang sesuai dengan aturan dan
umumnya swamedikasi dilakukan untuk mengatasi keluhan atau penyakit ringan
yang banyak dialami masyarakat seperti demam, batuk, flu, nyeri, diare dan
gastritis yang dapat menjadi salah satu faktor pada masyarakat untuk tidak
melakukan konsultasi terlebih dahulu ke dokter tetapi lebih memilih membeli obat
yang dibutuhkan (Agabna, 2014).
Ketersediaan antibiotik untuk pengobatan sendiri dapat meningkat dan
mencakup penggunaan oral atau topikal. Ada beberapa antibiotik yang tidak
cukup untuk membunuh bakteri menular, sehingga berpotensi membuat
lingkungan sekitar menjadi resisten dengan antibiotik tersebut. Praktek
pengobatan sendiri ini dapat membahayakan pasien yang mungkin menggunakan
antibiotik untuk indikasi tertentu dan menjadi tidak efektif untuk mengobati suatu
penyakit infeksi (Reeves, 2007).Dalam pedoman umum penggunaan antibiotika,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika secara tidak
tepat di Indonesia sebesar 40-62%. Antibiotik tersebut paling banyak digunakan
untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik pada

2
pengobatannya. Penggunaan antibiotika di beberapa rumah sakit menunjukkan
bahwa 30-80% penggunaannya tidak berdasarkan indikasi (Kemenkes,
2015).Berdasarkan penelitian diatas maka akan dilakukan penelitian terkait
pengetahuan masyarakat mengenai penggunaan obat antibiotik untuk swamedikasi
pada apotek Mahardika di Kabupaten Bone Bolango.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat dalam menggunakan obat
antibiotik tanpa resep untuk swamedikasi di apotek Mahardika Kabupaten Bone
Bolango?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
1. Untuk Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat yang menggunakan
obat antibiotik tanpa resep di apotek Mahardika Kabupaten Bone Bolango
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik masyarakat menggunakan obat antibiotika di
apotek Mahardika Kabupaten Bone Bolango.
2. Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat yang menggunakan obat
antibiotika tanpa resep di apotek Mahardika Kabupaten Bone Bolango.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Untuk Institusi
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan atau dasar untuk bahan penelitian
lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat Untuk Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan yang lebih luas
mengenai pentingnya pemberian informasi obat kepada masyarakat. Selain
itu juga dapat memberikan pengalaman kepada peneliti dalam
mengumpulkan, mengolah, menganalisis data, serta menarik kesimpulan
dengan mengimplementasikan konsep teori pemberitahuan informasi obat
kepada konsumen.

Anda mungkin juga menyukai