Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH TOKSIKOLOGI

TOKSISITAS PADA SISTEM PENCERNAAN


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Toksikologi
Dosen pengampu: apt. Silma Kaaffah., M.Farm

Disusun Oleh :
Kelompok 6
1. Cendy Denis Prasetio (200105016)
2. Putri Nita Ayu Amelia Rahmat (200105062)
3. Tuti Endarwati (200105074)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Toksikologi tentang Toksikologi pada system pencernaan. Alasan utama
terbentuknya makalah ini adalah guna melengkapi tugas yang diberikan dosen mata kuliah
Toksikologi.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat berguna dan memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.

Purwokerto, 17 Mei 2023

Penulis (Kelompok 5)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3
A. Definisi Toksikologi .............................................................................................. 3
B. Definisi Sistem Pencernaan .................................................................................. 3
C. Definisi Toksikologi Pencernaan ......................................................................... 4
D. Cara Kerja dan Efek Toksik Pada Sistem Pencernaan .................................... 6
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Toksisitas pada Saluran Pencernaan ..... 8
F. Gambaran Klinis Toksisitas pada Saluran Pencernaan ................................... 9
G. Etiologi Toksisitas pada Sistem Pencernaan ...................................................... 10
H. Sumber Toksisitas pada Sistem Pencernaan ...................................................... 11
I. Terapi Toksisitas pada Sistem Pencernaan ........................................................ 19
J. Review Jurnal ....................................................................................................... 22
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 24
Kesimpulan ................................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek berbahaya (efek
toksik) berbagai bahan kimia terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya dapat
membahas penilaian kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek tersebut sehubungan
dengan terpejannya (exposed) makhluk tadi. Apabila zat kimia dikatakan berracun (toksik),
maka kebanyakan diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya
terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa
ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut,
kondisi bioorganisme atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk
efek yang ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilahtoksik atautoksisitas, maka
perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek berbahaya itu timbul.
Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya
menimbulkan efek berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme
(Wirasuta, 2006). Pada umumnya, logam terdapat di alam dalam bentuk batuan, bijih
tambang, tanah, air, dan udara. Macam- macam logam beracun yang dapat menyebabkan
kerusakan-kerusakan pada organ tubuh manusia diantaranya zat-zat atau logam berat yang
terdapat dalam pestisida.
Zat- zat kimia yang bersifat toksik masuk ke dalam tubuh dapat melalui beberapa cara,
salah satunya adalah melalui sistem pencernaan. Sistem pencernaan (digestive system)
adalah sistem organ dalam hewan multisel yang menerima makanan, mencernanya menjadi
energi dan nutrien, serta mengeluarkan sisa proses tersebut. Sistem pencernaan antara satu
hewan dengan yang lainnya bisa sangat jauh berbeda. Pada dasarnya sistem pencernaan
makanan dalam tubuh manusia terjadi di sepanjang saluran pencernaan (gastrointestinal
tract) dan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu proses penghancuran makanan yang terjadi dalam
mulut hingga lambung.Selanjutnya adalah proses penyerapan sari - sari makanan yang
terjadi di dalam usus. Kemudian proses pengeluaran sisa - sisa makanan melalui anus.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud toksikologi?
2. Apa yang dimaksud toksikologi sistem pencernaan?
3. Bagaimana cara kerja dan efek toksik pada system pencernaan?
4. Apa saja faktor yang mempengaruhi toksisitas pda saluran pencernaan?
5. Bagaimana gambaran klinis penyakit toksisitas sistem pencernaan?
6. Bagaimana etiologi toksisitas pada sistem pencernaan?
7. Bagaimana terapi toksisitas pada sistem pencernaan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud toksikologi

1
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud toksikologi sistem pencernaan
3. Untuk mengetahui agaimana cara kerja dan efek toksik pada system pencernaan
4. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi toksisitas pda saluran
pencernaan
5. Untuk mengetahui bagaimana gambaran klinis penyakit toksisitas sistem pencernaan
6. Untuk mengetahui bagaimana etiologi toksisitas pada sistem pencernaan
7. Untuk mengetahui bagaimana terapi toksisitas pada sistem pencernaan

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Toksikologi
Toksikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sifat, pengaruh, dan
cara mendeteksi agen toksik. Toksikologi berasal dari bahasa yunani, yakni toxicon berarti
racun dan logos berarti ilmu. Sehingga, Truhaut (1974) mendefinisikan toksikologi sebagai
ilmu pengetahuan mengenai substansi beracun (toksik), yang dapat menyebabkan
perubahan atau gangguan pada fungsi-fungsi suatu organisme sehingga bisa memberi
dampak serius dan berbahaya bagi organisme target, seperti kematian. Toksisitas adalah
kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk menimbulkan kerusakan pada saat
mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh yang peka. Logam berat merupakan senyawa
kimia yang dapat menimbulkan toksisitas dalam penggunaannya secara berlebihan.
Toksikologi adalah pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia yang merugikan
bagi organisme hidup. Pengaruh yang merugikan ini timbul sebagai akibat terjadinya inter
aksi diantara agent-agent toksis (yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan kerusakan
pada organisme hidup) dengan system biologi dari organisme(Mansyur Dakk,2015).
Manusia dan organisme lainnya, dapat terpapar oleh zat-zat toksik melalui berbagai
sumber seperti udara, air, makanan, dan sebagainya. Pejanan ini pada umumnya secara akut
tidak membahayakan, namun dapat memberi efek buruk pada jangka 3anjang. Penurunan
kualitas pada lingkungan sebagai dampak dari kemajuan zaman dan peningkatan
industrialisasi menyebabkan cemaran tersebut dapat semakin meluas.
B. Definisi sistem pencernaan
Sistem pencernaan manusia adalah suatu sistem di dalam tubuh yang berperan sebagai
penerima makanan dari luar, yang kemudian diolah di dalam organ pencernaan manusia,
dimulai dengan pemasukan makanan dari luar, pencernaannya, penyerapan bahan- bahan
yang dapat diserap, dan menghilangkan sisa-sisa pencernaan. Pada manusia, pencernaan
terjadi melalui organ pencernaan, yang dimulai dari mulut dan berakhir di usus
(Nurcahyo,n.d.). Hasil pencernaan kemudian diserap sedangkan sisa pencernaan
dikeluarkan oleh eliminator khusus.Macam-macam Proses Pencernaan Manusia Makanan
yang dimakan tidak dapat langsung diserap oleh tubuh melainkan melalui dua macam proses
pencernaan (Febrianto et al., 2021) yaitu:

3
1. Pencernaan adalah proses pencernaan dimana partikel makanan yang besar terlebih
dahulu dipecah menjadi partikel yang lebih kecil. Proses pencernaan ini dilakukan
dengan proses fisik atau mekanis. diperut dan tenggorokan.
2. Pencernaan kimiawi adalah proses pencernaan yang menggunakan bahan kimia dalam
tubuh untuk mengubah atau mengubah bentuk makanan semula yang besar menjadi
bentuk partikel yang lebih kecil.(Febrianto et al., 2021)
Toksikologi organ pada sistem pencernaan adalah Toksikologi organ pada sistem
pencernaan adalah studi mengenai efek zat-zat beracun terhadap organ-organ dalam sistem
pencernaan manusia. Ini melibatkan penelitian tentang sifat kimia dan fisik zat-zat beracun,
jalur masuknya ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman, serta dampaknya pada
organ-organ seperti mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, dan usus besar
(Prabowo.R,2016)

C. Definisi Toksikologi Pencernaan


Saluran pencernaan adalah organ endokrin terbesar dalam tubuh, tetapi sel-sel
neuroendokrin yang tersebar terletak di antara jenis sel lain di kelenjar dan kriptus
mukosa GI membuatnya sulit diidentifikasi tanpa menggunakan pewarnaan khusus atau
imunohistokimia. Keragaman besar jenis sel neuroendokrin GI (ditandai dengan butiran
sekretori hormon peptida tunggal dalam vesikel yang mengandung amina yang
mengekspresikan kromogranin A dan sinaptofisin; Gould et al.1987)
1. Toksikologi kelenjar ludah
Kelenjar ludah juga terpengaruh pada penyakit autoimun sindrom Sjögren
pada manusia (Barrera et al.2013). Penghancuran yang dimediasi sel sel asinar
kelenjar ludah dan kelenjar lakrimal setelah peradangan kronis mengakibatkan
hilangnya sekresi dan keratokonjungtivitis sicca yang dihasilkan ("mata kering").
Lesi serupa terlihat pada anjing setelah pemberian sulphasalazine atau metabolit
aktifnya asam 5-aminosalicylic (Gambar.1; Barnett dan Joseph 1987). Kondisi ini
juga telah diinduksi pada manusia dengan menggunakan practolol antagonis beta-
adrenergik. Sejumlah model tikus genetik juga ada (Lavoie et al. 2011). Neoplasia
kelenjar ludah jarang terjadi pada hewan pengerat (Botts et al. 1999).

2. Toksikologi lambung
1) Perut non-kelenjar (depan)

4
Secara makroskopis, ada batas yang jelas yang membatasi ini dari mukosa
kelenjar tubuh (korpus) lambung. Pada non-hewan pengerat seperti anjing dan
primata, hanya fundus kelenjar lambung yang ada (lihat Betton1998). Mukosa
lambung minipig memiliki daerah non-kelenjar yang terkeratinisasi serta mukosa
kelenjar (Bode et al.2010)
Berbagai iritasi menginduksi hiperplasia reaktif di perut non-kelenjar (Frederick
et al.1990). Perut tikus non- kelenjar yang diobati dengan statin menunjukkan
hiperplasia dan hipertrofi dengan akumulasi lipid (Singer et al.1991). Perut non-
kelenjar juga dapat mengalami proliferasi fokal dari epitel skuamosa tanpa bukti
yang mendasari hiperplasia reaktif terhadap iritasi atau ulserasi (Betton dan
Salmon1984). Hiperplasia yang berkelanjutan ini dapat menyebabkan papiloma
(Fukushima dan Ito1985 ) dan karsinoma sel skuamosa (Stinson dan Kovatch1990;
Ara.3) induksi dalam bioassay seumur hidup hewan pengerat (Masui et al. 1987).
Genotoksin dan non- genotoksin berbeda dalam profil ekspresi gennya di perut non-
kelenjar (Kaneko dkk.2002).
2) Perut kelenjar
Mukosa kelenjar lambung terdiri dari daerah yang berbeda. Mukosa oksintik
yang melapisi fundus dan sebagian besartubuh memiliki campuran jenis sel dan
fungsi Pepsinogen disekresikan oleh sel utama dan diubah menjadi pepsin di lumen
untuk pencernaan protein. Asam HCI disekresikan oleh sel parietal, juga terletak di
kelenjar lambung. Lendir disekresikan oleh sel foveolar permukaan dan sel leher
mukosa dan oleh kelenjar jantung. Sel leher mukosa (Hanby et al.1999) dapat
ditingkatkan sebagai respons terhadap senyawa iritan dan sebagai respons terhadap
agonis prostaglandin E dan interferon gamma (Kang et al.2005)
Mukosa lambung terus-menerus ditantang oleh kandungan asam dari lumen
lambung dan bergantung pada mekanisme sitoprotektif sebagai pertahanan. Cedera
pada lapisan sitoprotektif mukus, yang disebut lapisan mukus yang tidak diaduk
yang mengandung gradien pH antara lumen asam dan sel permukaan yang
mensekresi bikarbonat, dapat memulai erosi mukosa dan ulserasi. Paparan
langsung, terutama pada formulasi gavage, atau serapan aktif ke dalam
kompartemen asam mukosa secara lokal atau setelah paparan plasma sistemik
tergantung pada pksebagai senyawa. Perlindungan sitop juga membutuhkan.
prostaglandin dan prostasiklin yang mengatur aliran darah mukosa; NSAID akan
memblokir ini dan pemberiannya dapat menyebabkan ulserasi. Hipovolemia,
5
tekanan darah rendah atau syok juga akan menjadi predisposisi ulserasi dengan
menyebabkan iskemia lokal.
3) Toksikologi usus kecil dan besar
Usus kecil adalah situs utama pencernaan dan penyerapan GI dengan vili
usus menawarkan area yang luas untuk sekresi dan penyerapan nutrisi dan
xenobiotik. Di bawah vili terletak daerah crypt usus yang merupakan lokasi sel induk
epitel yang berkembang biak terus menerus dan berdiferensiasi ke sejumlah jalur
sesuai dengan sinyal ekspresi gen (Gbr. 1).6). Jalur yang paling sering adalah
enterosit kolumnar yang bermigrasi ke atas vili dan menyediakan fungsi sekresi dan
penyerapan utama selama rentang hidup 6-10 hari. Enterosit berfungsi baik dalam
mode serap dan sekresi sebagai respons terhadap sinyal CAMP dan kalsium dari
berbagai hormon peptida dan sinyal saraf (angiotensin, PGE1, 5-HT, AcCh) melalui
reseptor pada membran basolateralnya.
Beberapa dari aktivitas metabolisme ini terdapat dalam mikroflora usus yang
dapat dimodifikasi dengan manipulasi diet. Contoh agen penyebab toksikologi usus
adalah inhibitor siklus sel, sitotoksik, radiasi dan infeksi parvovirus. Karena ini
secara selektif menargetkan populasi sel yang membelah dengan cepat, kriptus
menunjukkan nekrosis atau apoptosis. Karena pembaruan enterosit berhenti,
pengerdilan vili mengikuti dan selanjutnya pembentukan abses kripta atau erosi dan
ulserasi dapat terjadi. Demikian pula penghambat tirosin kinase dari pensinyalan
faktor pertumbuhan dan penghambat siklus sel menyebabkan apoptosis (Gbr. 1).8)
dan nekrosis crypt dan enteritis sekunder.
D. Cara Kerja Dan Efek Toksik pada sistem pencernaan
Suatu kerja toksik pada umumnya merupakan hasil dari sederetan proses fisika,
biokimia, dan biologik yang sangat rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan
ke dalam tiga fase yaitu: fase eksposisi toksokinetik dan fase toksodinamik. Dalam
menelaah interaks xenobiotika/tokson dengan organisme hidup terdapat dua aspek yang
perlu diperhatikan, yaitu: kerja xenobiotika pada organisme dan pengaruh organisme
terhadap xenobiotika. Yang dimaksud dengan kerja tokson pada organisme adalah sebagai
suatu senyawa kimia yang aktif secara biologik pada organisme tersebut (aspek
toksodinamik). Sedangkan reaksi organisme terhadap xenobiotika/tokson umumnya dikenal
dengan fase toksokinetik (Wirasuta, 2007).

6
Gambar 1. Cara masuk xenobiotik ke dalam tubuh manusia

1. Fase eksposisi
Merupakan kontak suatu organisme dengan xenobiotika, pada umumnya,
kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/farmakologi setelah xenobiotika
terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada dalam bentuk terlarut, terdispersi
molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik. Dalam konstek pembahasan efek
obat, fase ini umumnya dikenal dengan fase farmaseutika. Fase farmaseutika meliputi
hancurnya bentuk sediaan obat, kemudian zat aktif melarut, terdispersi molekular di
tempat kontaknya. Sehingga zat aktif berada dalam keadaan siap terabsorpsi menuju
system sistemik. Fase ini sangat ditentukan oleh faktor-faktor farmseutika dari sediaan
farmasi.
2. Fase toksikinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik.
Setelah xenobiotika berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan
xenobiotika siap untuk diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka
xenobiotika tersebut akan bersama aliran darah atau limfe didistribusikan ke seluruh
tubuh dan ke tempat kerja toksik (reseptor). Pada saat yang bersamaan sebagian molekul
xenobitika akan termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui
empedu menuju saluran cerna, atau system eksresi lainnya.
3. Fase toksodinamik
Adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja toksik) dan juga
proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik/farmakologik.
Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik (reversibel).
4. Bioakumulasi
Bioakumulasi didefinisikan sebagai suatu proses dimana terjadi akumulasi
(penumpukan) senyawa kimia asing (xenobiotik) di dalam suatu organisme baik secara
langsung dari lingkungan abiotik (air, udara, tanah) ataupun dari sumber bahan makanan

7
(transfer trofik). Paparan secara terus menerus xenobiotik terhadap makhluk hidup dapat
mengakibatkan peningkatan konsentrasi penumpukan dalam tubuh. Terlebih jika suatu
substansi pemcemar memiliki waktu paro biologis relative lama, maka pencemar tersebut
akan terdegradasi dan tereliminasi lebih lama dari tubuh organisme. Sehingga
kemungkinan terjadi penumpukan akan semakin besar (Beek, 2000).

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas pada saluran pencernaan


Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas GI pemberian xenobiotik jelas akan
tergantung pada (GR Beton,2013):
1. Rute pemberian
Rute pemberian dengan dosis oral yang paling umum dalam toksikologi dan formulasi
farmasi.
2. Derajat ionisasi
Karena lumen saluran GI berubah dari keasaman di lambung menjadi sedikit basa di usus,
derajat ionisasi xenobiotik akan berubah sesuai dengan pKa(s) molekul. Oleh karena itu,
bentuk non-terionisasi, yang lebih mudah melewati membran sel, dapat masuk ke
mukosa tergantung pada pH lokal. Properti ini karenanya dapat menargetkan mukosa
lambung untuk senyawa asam seperti antiinflamasi nonsteroid
(NSAID).
3. Mengubah rejimen dosis
Misalnya pemberian makan versus puasa, dapat membantu mengurangi toksisitas lokal
dengan penyangga makanan juga dapat memperbaiki efek emetik dari beberapa senyawa
iritan lokal tetapi tidak akan membantu melawan emesis tertunda dari senyawa yang
bekerja pada pusat emetik di otak (Hesketh2008).
4. Diet
Diet dapat memengaruhi waktu transit GI dan khususnya pengosongan lambung. Karena
banyak xenobiotik yang diserap di usus kecil, waktu transit akan mempengaruhi periode
terjadinya. Juga mikroflora usus dapat memetabolisme xenobiotik dan mengubah potensi
dan distribusi. Diet dapat memodifikasi mikroflora GI dan aktivitas metabolismenya.
Juga karena pemberian senyawa secara oral dan parenteral dapat mengalami metabolism
hepatik dan ekskresi empedu, seringkali sebagai glukuronida atau konjugat metabolik
lainnya, xenobiotic dapat menjalani metabolisme mikroba lebih lanjut termasuk
dekonjugasi oleh glukuronidase mikroba dan enzim lainnya. Ini dapat diulang setelah

8
metabolism lintas pertama berikutnya atau berulang di hati sebagai bagian dari resirkulasi
enterohepatik. Ini juga berlaku untuk metabolit endogen seperti tiroksin glukuronida.
F. Gambaran klinis toksisitas pada sistem pencernaan

Toksisitas pada organ pencernaan dapat memiliki berbagai gambaran tergantung pada
jenis zat beracun yang terlibat, tingkat paparan, dan durasi paparan. Beberapa gambaran
umum toksisitas pada organ pencernaan meliputi (Prabowo.R,2016):

1. Irritasi dan peradangan: Beberapa zat kimia beracun dapat menyebabkan iritasi
langsung pada selaput lendir organ pencernaan, seperti mulut, kerongkongan, dan
lambung. Ini dapat menyebabkan nyeri, inflamasi, dan luka pada jaringan tersebut.
2. Ulserasi: Paparan zat-zat kimia tertentu, seperti asam atau alkali kuat, dapat
menyebabkan ulserasi atau luka terbuka pada organ pencernaan. Hal ini dapat
mengakibatkan nyeri hebat, perdarahan, dan dalam kasus yang parah, perforasi organ.
3. Gangguan motilitas: Beberapa zat beracun dapat mengganggu fungsi normal otot-otot
pencernaan, yang dapat mengakibatkan gangguan motilitas seperti konstipasi atau
diare.
4. Gangguan absorbsi nutrisi: Paparan terhadap zat-zat beracun tertentu dapat
menghambat absorbsi nutrisi oleh usus halus. Ini dapat menyebabkan kekurangan
nutrisi dan gangguan pertumbuhan.
5. Toksisitas hepatik: Beberapa zat beracun dapat menyebabkan kerusakan pada hati,
organ yang memiliki peran penting dalam proses pencernaan. Kerusakan hati dapat
mengganggu fungsi pencernaan dan metabolisme, dan dapat mengakibatkan
penumpukan toksin dalam tubuh.
6. Gangguan ginjal: Beberapa zat beracun, terutama jika mereka terlarut dalam air, dapat
menyebabkan kerusakan pada ginjal. Ini dapat mengganggu fungsi ekskresi dan
pemrosesan limbah dalam tubuh.
7. Kanker: Paparan jangka panjang terhadap beberapa zat beracun tertentu dalam
makanan atau minuman dapat meningkatkan risiko perkembangan kanker pada organ
pencernaan, seperti kanker lambung, usus, atau hati.
8. Efek sistemik: Beberapa zat beracun yang masuk ke dalam tubuh melalui sistem
pencernaan dapat menyebar ke organ-organ lain, menyebabkan efek toksik secara
sistemik. Misalnya, zat beracun tertentu dapat mempengaruhi sistem saraf pusat atau
sistem kekebalan tubuh.

9
G. Etiologi toksisitas pada sistem pencernaan
Faktor infeksi
a) Infeksi internal, yaitu saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare.
Penyebab gastroenteritis (diare akut) oleh parasit adalah balantidium coli, capillaria
philippinensis, cryptosporidium, entamoeba histolitica, giarsia lamblia, isospora billi,
fasiolapsis buski, sarcocystis suihominis, strongiloides stercoralis, dan trichuris
trichuria.
b) Bakteri penyebab gastroenteritis (diare akut) dibagi dalam dua golongan besar, ialah
bakteri non invasive dan bakteri invasive. Yang termasuk dalam golongan bakteri non
invasive adalah : vibrio cholera, E. coli pathogen (EPEC,ETEC,EIEC). Sedangkan
golongan bakteri invasiv adalah salmonella spp, shigella spp, E. coli infasif (EIEC), E.
coli hemorrhagic (EHEC) dan camphylobcter.
c) Infeksi parenteral, yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan seperti :
otitis media akut tonsilopharingitis, dan sebagainya.

H. Sumber toksisitas pada sistem pencernaan


a) Toksin Biologi
Kualitas pangan dapat ditinjau dari aspek mikrobiologis, fisik (warna, bau, rasa,
dan tekstur) dan kandungan gizinya. Bahan pangan yang tersedia secara alamiah tidak
selalu bebas dari senyawa merugikan. Senyawa merugikan dengan dampak pada
kesehatan seseorang ini dapat dihasilkan melalui reaksi kimia dan biologis selama proses
penanaman, pengolahan, maupun penyimpanan.
Jenis mikroorganisme kontaminan ditentukan oleh beberapa hal misalnya asal
buah dan kondisi pertumbuhan, patogen penyebab penyakit pada tanaman dan kerusakan
pasca panen. Permukaan buah akan terkontaminasi dari tanah, air, lumpur, hewan,
insekta, serta kontak dengan peralatan panen. Kolonisasi fungi (jamur) umumnya
menyebabkan kerusakan pasca panen. Beberapa fungi mampu penetrasi sampai kutikula
daun, akar, dan buah. Mikroorganisme lain masuk secara mekanik karena adanya luka
pada pemanenan, pengemasan ataupun pembukaan kutikula sehingga mampu menyerang
jaringan lebih dalam. Untuk bahan pangan dari hewan, mikroba mungkin berasal dari
kulit dan bulu hewan tersebut, atau dari saluran pencemaan, ditambah dengan
pencemaran dari lingkungan di sekitarnya (Tanti.T.I dkk,2017)

10
b) Toksin Mikroba
Istilah toksin mikroba biasanya digunakan untuk bahan beracun yang
diproduksi oleh mikroorganisme dengan berat molekul tinggi dan memiliki sifat
antigenik, seperti bakteri. Beberapa toksin mikroba paling beracun diantaraya toksin
tetanus, toksin botulinus, dan toksin difteri. Racun bakteri bila terdapat dalam bahan
pangan akan sangat beracun bagi mamalia dan mempengaruhi berbagai sistem organ,
termasuk sistem saraf dan kardiovaskular (Hodgson, 2004).
c) Mikotoksin
Mikotoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder jamur
benang (kapang). Mikotoksin banyak ditemukan pada bahan pangan atau pakan ternak
berasal dari dalam negeri. Termasuk diantaranya alkaloid ergot yang diproduksi oleh
Claviceps sp., alfatoksin dan senyawa terkait oleh Aspergillus sp., citrinin, ochratoxin,
patulin, dan tricothecenes oleh beberapa genera jamur imperfecti, terutama Fusarium sp.
Alfatoksin adalah produk dari spesies Aspergillus terutama A.flavus, yaitu jamur yang
umum ditemukan sebagai kontaminan pada gabah, jagung, kacang tanah, dan
sebagainya. Aflatoksin B1 dikenal sebagai jenis paling toksik dari alfatoksin dan harus
diaktifkan secara enzimatik untuk memberikan efek karsinogeniknya(Hodgson, 2004).
Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan telah
dituangkan dalam Keputusan Kepala Badan POM RI Tahun 2004. Di sana disebutkan
bahwa batas maksimum cemaran aflatoksin B1 (AFB1) dan total aflatoksin produk
pangan berbasis kacang tanah dan jagung masing masing adalah 20 ppb dan total
aflatoksin 35 ppb. Untuk menghindari kontaminasi aflatoksin, biji-bijian harus disimpan
dalam kondisi kering, bebas dari kerusakan, dan bebas hama. Sedangkan pada produk
susu, alfatoksin M1 (AFM1) memiliki batas maksimum sebesar 0,5 ppb. Aflatoksin ini
berasal dari perubahan aflatoksin B1 pada pakan menjadi aflatoksin M1.

11
Gambar 1.Batasan mikotoksin dalam makanan(Klaassen C.D.Casarett&Doull’s,2008)

d) Bahan Pangan
1. Berasal dari Tanaman
Tanaman pangan, yaitu sayuran dan buah-buahan memiliki kandungan nutrien,
vitamin, dan mineral yang berguna bagi pertumbuhan dan kesehatan serta merupakan
komponen penting untuk diet sehat. Meskipun demikian beberapa jenis sayuran dan
buah-buahan dapat mengandung racun alami yang berpotensi membahayakan
kesehatan manusia. Racun alami adalah zat yang secara alami terdapat pada
tumbuhan, dan merupakan salah satu mekanisme dari tumbuhan tersebut untuk
melawan serangan jamur, serangga, serta predator. Tanaman pangan merupakan
kelompok tanaman yang biasa kita konsumsi sehari-hari, dan pada kesempatan ini
hanya akan dibahas mengenai racun alami yang terkandung pada tanaman pangan dan
cara mengolahnya agar kita terhindar dari bahaya keracunan sehingga kita dapat
mengkonsumsi tanaman pangan yang sangat kita butuhkan kandungan nutrien,
vitamin, dan mineralnya tapi kita bisa menghindari kandungan
racunnya(BPOM,2006).
Beberapa kelompok racun ditemukan pada tanaman yang biasa kita konsumsi.
Beberapa racun tanaman yang larut lemak dapat bersifat bioakumulatif. Ini berarti bila
tanaman tersebut dikonsumsi, maka racun tersebut akan tersimpan pada jaringan
tubuh, misalnya solanin pada kentang. Kadar racun pada tanaman dapat sangat
bervariasi. Hal itu dipengaruhi antara lain oleh keadaan lingkungan tempat tanaman
itu tumbuh (kekeringan, suhu, kadar mineral, dll) serta penyakit. Varietas yang

12
berbeda dari spesies tanaman yang sama juga mempengaruhi kadar racun dan nutrien
yang dikandungnya. Berikut beberapa contoh racun yang terkandung pada tanaman
pangan dan gejala keracunannya (BPOM,2006).

Gambar 3.Beberapa contoh racun yang terkandung pada tanaman

pangan dan gejala keracunannya

2. Berasal dari tambahan pangan


Bahan tambahan pangan (BTP), seperti pewarna, pengawet, penguat rasa,
pemanis, dan sebagainya, memiliki berbagai fungsi, antara lain: mengembangkan nilai
gizi suatu makanan, mempermudah dalam proses produksi, membuat makanan lebih
tahan lama, serta memodifikasi penampilan makanan (bentuk, rasa, warna, dan aroma).
Pada umumnya, penggunaan BTP dapat disengaja ataupun tidak disengaja. Keberadaan
BTP secara tidak sengaja pada makanan mungkin disebabkan oleh proses produksi dan
biasanya berada dalam komposisi sangat kecil (Hughes, 1987).
Contoh BTP pada berbagai jenis makanan dapat dilihat pada Gambar berikut.
1. Zat Pengawet
Zat pengawet adalah bahan tambahan pangan yang berfungsi mencegah atau
menghambat tumbuhnya bakteri, sehingga tidak terjadi fermentasi (pembusukan),
pengasaman, atau penguraian makanan karena aktivitas bakteri (Fardiaz, 2007).
Tujuan penggunaan bahan pengawet adalah untuk memperpanjang masa simpan
bahan makanan. Zat pengawet dapat berasal dari senyawa organik ataupun anorganik.

13
Zat pengawet organik lebih banyak dipakai karena lebih mudah dibuat dan dapat
terdegradasi sehingga mudah diekskresikan. Bahan pengawet organik ini digunakan
baik dalam bentuk asam maupun garamnya. Contoh pengawet organik yang sering
dipakai adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida
(Winarno,1994). Sedangkan contoh zat pengawet anorganik antara lain sulfit,
hidrogen peroksida, nitrat, dan nitrit. Garam nitrat dan nitrit umumnya digunakan pada
proses curing daging untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan
mikroba seperti Clostridium botulinum, yaitu suatu bakteri dengan kemampuan
memproduksi racun mematikan. Akhirnya, nitrit dan nitrat banyak digunakan sebagai
bahan pengawet tidak saja pada produk-produk daging, tetapi pada ikan dan keju
(Cahyadi, 2008). Dikarenakan pangan mempunyai peranan penting dalam kesehatan
masyarakat maka dalam pengolahan bahan pangan perlu dihindarkan dari penggunaan
bahan tambahan pangan yang dapat merugikan atau membahayakan konsumen.
Pemakaian bahan pengawet dari satu sisi menguntungkan karena dengan bahan
tersebut bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba yang dapat
menyebabkan kerusakan bahan pangan, baik mikroba patogen maupun mikroba
nonpatogen. Namun dari sisi lain, bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa
kimia atau zat asing dalam bahan pangan. Apabila penggunaan jenis pengawet dan
dosisnya tidak diatur maka menimbulkan kerugian bagi konsumen. Misalnya,
keracunan atau terakumulasinya pengawet dalam organ tubuh. Efek beberapa
pengawet pangan terhadap kesehatan antara lain:
1) Asam benzoat
Menurut FDA, benzoat hingga konsentrasi 0,1 % digolongkan sebagai
’Generally Recognized as Safe’ (GRAS). Di negara-negara selain Amerika Serikat,
senyawa benzoat digunakan hingga konsentrasi 0,15% dan 0,25%. Batas European
Commision untuk asam benzoat dan natrium benzoat adalah 0,015-0,5%. Di
Indonesia, penggunaan asam benzoat dan natrium benzoate telah diatur dalam SNI
01-0222-1995 tentang Bahan Tambahan Makanan yang kadarnya berkisar dari 0,06
%- 0,1 %. Asam benzoat memiliki LD50 pada tikus peroral sebesar 7,36 g/kg, pada
kucing dan anjing sebesar 2 g/kg. Pada manusia dengan berat badan 67 kg sebesar 50
g tidak menimbulkan efek. Pemberian dosis besar akan menimbulkan nyeri lambung,
mual, dan muntah (Ratnani,2009). Alimi (1986) telah melakukan penelitian tentang
pemberian natrium benzoat kepada mencit selama 60 hari secara terus menerus dan
dilaporkan bahwa pada pemberian benzoat dengan kadar 0,2% menyebabkan sekitar
14
6,67% mencit putih terkena radang lambung, usus dan kulit. Sedangkan pada
pemberian kadar 4% menyebabkan sekitar 40% tikus mencit menderita radang
lambung dan usus kronis serta 26,6% menderita radang lambung dan usus kronis yang
disertai kematian (Alimi,1986).
2) Asam sorbat
Asam sorbat dalam tubuh dimetabolisme seperti asam lemak biasa, dan tidak
bereaksi sebagai antimetabolit. Rendahnya tingkat toksisitas, memberikan kenyataan
bahwa asam sorbat dan sorbat dimetabolisme seperti asam lemak lainnya. Pada
kondisi ekstrem (suhu dan konsentrasi sorbat tinggi) asam sorbat dapat bereaksi
dengan nitrit membentuk produk mutagen yang tidak terdeteksi di bawah kondisi
normal penggunaan. Asam sorbat juga kemungkinan memeberikan efek iritasi kulit
apabila langsung dipakai pada kulit, sedangkan untuk garam sorbat belum diketahui
efeknya terhadap tubuh. Asam sorbat memiliki LD50 per oral pada tikus sebesar 7,300
mg/kg sedangkan pada mencit sebesar 3,200 mg/kg (Ratnani, 2009). Kadar
maksimum asam sorbat menurut ADI (Acceptance Daily Intake) adalah 25 mg/kg per
hari, penggunaan berlebihan dapat memberi efek karsinogenik, keracunan akut,
mengganggu metabolisme dan lain sebagainya, namun penggunaan sesuai kadar tidak
akan berpengaruh pada kesehatan dan baik digunakan sebagai pengawet makanan
(WHO, 1997).
3) Sulfur dioksida
Sulfur dioksida merupakan bahan pengawet yang diizinkan namun kurang aman
dikonsumsi. Akan tetapi, penggunaan sulfur dioksida dalam minuman dapat
menghambat pertumbuhan bekteri, jamur, dan kapang, sehingga minuman tersebut
menjadi lebih awet. Bahan pengawet ini sering ditambahkan pada sari buah, buah
kering, kacang kering, sirup dan acar. Sulfur dioksida dilepaskan oleh senyawa sulfit.
Sulfur dioksida dapat ditemukan pada makanan dan obat-obatan. Dalam makanan,
sulfit digunakan sebagai bahan pengawet makanan seperti kentang yang dikeringkan,
acar bawang, adonan pizza, selai, jelly, sirup maple, dan saus. Salad buah dalam
kemasan botol atau kaleng dapat mengandung sulfit untuk mengawetkan warna buah
menjadi selalu segar. Beer dan minuman beralkohol pun dapat mengandung sulfit
sebagai bahan pengawet (Kristianingrum, 2006). Sulfur dioksida dapat menyebabkan
efek alergi terhadap tubuh. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa pusing, sakit perut,
kesemutan, bercak merah pada kulit, meningkatkan pacu jantung, kesulitan menelan,
kejang dan dapat memicu asma. Efek merugikan lain dapat berupa hambatan terhadap
15
pernafasan yang akan berakibat fatal apabila terjadi edema (kelebihan akumulasi
cairan didalam jaringan tubuh sehingga menyebabkan pembengkakan) paru, edema
glottis (celah pita suara) dan spasme (tegangan otot) pada laring (Ratnani, 2009).
4) Nitrit-Nitrat
Nitrat dan nitrit adalah bahan pengawet dengan kemampuan memberikan warna
dan rasa khusus pada daging, misalnya pada ham dan corned beef. Kedua bahan
pengawet ini berguna untuk mengendalikan suatu mikroorganisme pembentuk toksin
misalnya Clostridium botulinum. Selain itu nitrit terdapat dalam tubuh, terutama
dalam liur, dan telah terbukti bahwa penitroan amin tertentu dapat terjadi dalam perut.
Karena alasan–alasa tersebut, penggunaan bahan pengawet ini belum dilarang tetapi
tingkat penggunaanya dikurangi (Ratnani, 2009). Proses perjalanan nitrit dan nitrat di
dalam tubuh manusia dapat dilihat pada Gambar berikut:

Gambar 4.Perjalanan Nitrit dan Nitrat di dalam tubuh manusia

5) Zat Pewarna
Tujuan penggunaan zat pewarna pada pangan antara lain untuk membuat
pangan menjadi lebih menarik, menyeragamkan warna pangan, serta mengembalikan
warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan. Berdasarkan
asalnya, pewarna dapat dibedakan menjadi pewarna alami dan pewarna sintetik

16
(buatan).Pewarna alami dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi, atau derivatisasi
(sintesis parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral, atau sumber alami lain, termasuk
pewarna identik alami. Beberapa pewarna alami yang diijinkan untuk pangan adalah
kurkumin, riboflavin, karmin, ekstrak cochineal, klorofil, karamel, karbon tanaman,
beta-karoten, ekstrak anato,karotenoid, merah bit, dan antosianin. Sedangkan pewarna
sintetik adalah pewarna buatan dengan melalui proses sintesis secara kimiawi.
Pewarna sintetik dengan izin dan diperbolehkan untuk pangan antara lain tartrazin,
kuinolin kuning, karmoisin, eritrosin, biru berlian FCF, hijau FCF, dan coklat HT.
Namun, penggunaan zat pewarna secara berlebihan, tidak tepat, dan penggunaan zat
pewarna berbahaya tidak diperuntukkan untuk pangan karena dapat memberikan
dampak negatif terhadap kesehatan (BPOMb,2015;Cahyadi, 2008).
Senyawa nitrat dan nitrit, keduanya dapat menyebabkan vasodilatasi (pelebaran
pembuluh darah) yang dapat menimbulkan hipotensi. Pada dosis rendah, nitrat dapat
membuat rileks pembuluh darah vena sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke
jantung, sedangkan pada dosis tinggi dapat membuat rileks pembuluh darah arteri
sehingga dapat memperlancar peredaran darah. Di dalam saluran pencernaan,
senyawa nitrit dapat bereaksi dengan amina dalam pangan membentuk senyawa
nitrosamin. Selain di dalam tubuh, senyawa nitrosamin juga dapat terbentuk di luar
tubuh, misalnya pada saat daging dengan kandungan nitrit atau nitrat diolah atau
dimasak, terutama pada suhu tinggi (BPOM, 2014). Keracunan karena penggunaan
senyawa nitrat dan nitrit sebagai pengawet dapat pula terjadi secara akut, terutama jika
kadarnya berlebihan. Selain dapat membentuk nitrosamin yang bersifat karsinogenik,
nitrit merupakan senyawa yang berpotensi sebagai senyawa pengoksidasi dan berisiko
kanker saluran pencernaan bagian atas(Jkszyn.p dan Carlos.A,2006).
6) Rhodamin B
Rhodamin B (Gambar 23) merupakan pewarna sintetis berbentuk serbuk kristal,
berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, dan dalam larutan akan berwarna
merah terang berpendar/berfluorosensi. Rhodamin B merupakan zat warna golongan
xanthenes dyes yang digunakan pada industri tekstil dan kertas, sebagai pewarna kain,
kosmetika, produk pembersih mulut, dan sabun. Penggunaannya pada makanan sangat
dilarang. Nama lain rhodamin B adalah D and C Red no Penggunaan rhodamin B
dalam pangan tentunya berbahaya bagi kesehatan. Pengaruh Rhodamin B terhadap
histopatologi jaringan organ usus halus dan usus besar (mukosa ileum dan kolon)
Rhodamin B masuk ke dalam tubuh akan diserap oleh mukosa, menimbulkan
17
kerusakan epitel yang ada dimukosanya. Berdasarkan telaah jurnal yang didapatkan
dari database,ada 2 jurnal yang menunjukkan Rhodamin B memiliki pengaruh
kerusakan pada usus halus dan usus besar. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Wien
dan Rakhmi (2014) dengan 30 ekor tikus wistar dibagi menjadi 1 kelompok kontrol
dan 2 kelompok perlakuan. Kelompok kontrol diberi akuades, perlakuan 1 diberi
Rhodamin B (0.034 mg/grBB), perlakuan 2 (0.068 mg/grBB). Pengamatan
mikroskopis ditemukan kerusakan berupa erosi < setengah ketebalan yang dinilai
dengan skor 1 dalam kriteria penilaian, dan tanpa ditemukan erosi > setengah
ketebalan dan juga ulserasi. Kelompok Kontrol semua ditemukan hasil normal, pada
P1 hanya 1 hewan percobaan mencit yang epitel mukosa ileumnya mengalami
erosi<setengah ketebalan, dan pada kelompok P2 8 dari 10 mencit mengalami erosi <
setengah ketebalan pada epitel mukosa ileumnya (Adlina.A,2021).
I. Terapi toksisitas pada sistem pencernaan

Dekontaminasi saluran cerna:

1) Muntah
Sirup ipekak dapat diberikan untuk merangsang muntah dan akan efektif jika
racun sudah tertelan kurang dari satu jam dan diberikan dengan cepat. Setelah sirup
ipekak diberikan sudah muntah akan terjadi dalam waktu 20-30 menit Pemberian sirup
ipekak secara oral sebanyak 30 ml untuk dewasa dan 15 ml untuk anak dibawah 5 tahun,
10 ml untuk anak dibawah 1 tahun dan tidak direkomendasikan untuk anak dibawah 6
bulan. Setelah 2-3 menit, berikan 2-3 gelas air. Jika muntah tidak terjadi setelah 20
menit dari waktu pemberian, pemberian sirup ipekak dapat diulang Ipekak tidak boleh
diberikan jika penyebab keracunan adalah agen konvulsan (antidepresan trisiklik,
opioid, kokain, isoniazid), tertelan agen korosif (asam atau basa), dan tertelan
hidrokarbon alifatik (Olson, 2004).
2) Bilas lambung
Bilas lambung dilakukan untuk menghilangkan obat atau racun dalam bentuk
padat dan larutan, untuk memberikan arang aktif pada pasien yang tidak bisa menelan
dan untuk melarutkan dan mengeliminasi agen korosif dari perut dan mengosongkan
perut untuk keperluan endoskopi. Bilas lambung dapat dilakukan bila pasien dalam
keadaan sadar atau apabila napas telah dilindungi oleh pipa endotrakeal (Olson, 2004).
3) Katarsis

18
Katarsis dilakukan untuk mempercepat pengeluaran toksin dan dalam saluran
cerna namun hal ini masih kontroversi karena belum ada penelitian ilmiah yang
membuktikan hal tersebut. Agen katarsis (10% magnesium sitrat 3-4ml/kg atau 70%
sorbitol 1-2 ml/kg) diberikan bersamaan dengan arang aktif atau dicampur membentuk
bubur. Ulangi satu sengah kali dosis tersebut jika setelah 6-8 jam pemberian tidak ada
arang aktif dalam tinja (Olson, 2004)
4) Arang aktif
Arang aktif banyak digunakan sebagai penyerap racun, Hanya beberapa racun
yang sedikit diserap oleh arang aktif seperti alkali, sianida,vetanol, fluorida, litium dan
besi. Berikan arang aktif 60-100g (1g/kg) per oral atau melewati gastric tube. Jika
jumlah racun yang tertelan diketahui pasti, berikan paling tidak 10 kali dosis racun.
Tambahkan satu atau dosis arang aktif pada interval 1-2 jam untuk dekontaminasi
lambung yang adekuat (Olson, 2004).
5) Antidotum Pada Saluran Pencernaan
Antidotum dan obat lain untuk keracunan adalah obat yang digunakan untuk
mengatasi, mengurangi efek toksisitas obat yang dipakai seperti paracetamol,
methotreksat, asam folat, siplatin, untuk pemulihan total atau sebagian dari depresi
opiat dan overdosis opiat akut, termasuk depresi pernafasan, yang diinduksikan oleh
opiat alami dan sintetik, termasuk propoksifen, metadon dan analgetik campuran
agonis-antagonis: nalbufin, pentazosin, dan butorfanol. Untuk mengatasi kelebihan
kronik muatan zat besi akibat transfusi darah (hemesiderosis transfusional)
pada talasemia, penyakit sel sabit dan jenis anemia lain pada pasien, atau menghentikan
kebiasaan merokok pada orang dewasa. Antidot dan obat-obatan lain untuk keracunan
antara lain, amifostin, asam folinat, buprenorfin, deferasiroks, deferipron, leucovorin
mesna, n-asetilsistein, vareniklin tartat.
Banyaknya zat kimia yang dapat menimbulkan efek toksik, namun sebagian
besar tidak tersedia antidotumnya, sehingga kalau terjadi keracunan olehnya hanya
lakukan tindakan simtomatik untuk meminimalkan resiko. Secara umum, terapi
antidotum didefinikan sebagai tata cara yang ditunjukkan untuk membatasi intensitas
efek zat toksik kimia atau menyembuhkannya sehingga bermanfaat dalam
mencegahnya timbulnya bahaya selanjutnya. Efek toksik suatu zat kimia dapat terjadi
jika kadar zat toksik melampaui kadak toksik minimal (KTM)nya dalam sel sasaran.
Untuk mencapai KTMnya, zat yang masuk melalui oral atau topikal harus melalui
bebrapa tahap. Tahapan tersebut adalah absorbsi masuk ke sirkulasi sistematik lalu
19
mengalami distribusi menuju tempat kerjanya. Proses kedua diatas (absorpsi dan
distribusi) menyebabkan meningkatnya kadar obat dalam sel sasaran Proses berikutnya
yang dapat mengurangi kadar obat dalam sasaran sel adalah metabolisme dan ekskresi
atau sering disebut eliminasi. Sehingga efek toksik suatu zat kimia sangat
mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi (ADME) karena
akan menentukan jumlah zat di sel sasarannay. ( Mascher, A. L., 2011)
6) Mekanisme Kerja Antidotum pada Saluran Pencernaan
1. Membentuk senyawa kompleks dengan racun dimerkaprol, EDTA, penisilamin,
dikobal edetat, pralidoksin.
2. Mempercepat detoksifikasi racun: natrium tiosulfat,dll.
3. Berkompetisi dengan racun dalam interaksi dengan reseptor: oksigen,nalokson
4. Memblokade reseptor esensial; atropine.
5. Efek antidot melampaui efek racun: oksigen , glukagon.
6. Mempercepat pengeliaran racun: NaCl untuk meningkatkan pengeluaran urin pada
keracunan bromid
7. Mengabsorpsi racun : karbon
8. Menginaktifkan racun: natrium tiosulfat, antibisa, antitoksin botulinus.
9. Menghambat absorpsi racun: MgSO4.
10. Pengendap racun: natrium sulfat, kalsium laktat. • Antidot universal (campuran
karbon, asam tanat, MgO (1:1:2): asam, alkali, logam berat, glikosida.
11. Serum anti bisa ular: neurotoksis, hemotoksis.
12. Antidot multiple (campuran besi sulfat, Mg S04, air, karbon): As, opium, Zn,
digitalis, Hg, strihnin
13. Perangsang muntah: sir. Ipeca

J. REVIEW JURNAL

Nama Jurnal : Journal BMC Gastroenterology

Judul Jurnal : A case report of delayed lower intestinal bleeding after organophosphate
poisoning

Kasus :

seorang wanita berusia 78 tahun datang ke rumah sakit kami kira-kira 12 jam setelah
menelan seteguk organofosfat dan benzodiazepin dalam upaya bunuh diri. Enam minggu

20
setelah perawatan medis yang berhasil untuk gagal napas, dia mengalami melena berulang.
Temuan kolonoskopi dan esofagogastroduodenoskopi negatif untuk ulkus atau perdarahan.
Enteroskopi mengungkapkan borok melingkar yang parah dengan penyempitan luminal 10 cm
proksimal ke katup ileocecal. Pasien menjalani reseksi ileum 100 cm setelah perawatan medis
yang gagal dan pulih dengan lancar. Ileum terminal yang direseksi menunjukkan peradangan
parah dan zona transisi tajam antara mukosa sehat dan cedera sekitar 50 cm proksimal katup
ileocecal. Pemeriksaan patologi menunjukkan mukosa yang terluka dengan infiltrasi sel
inflamasi dan kerusakan struktural. Kasus ini menyoroti peristiwa langka keracunan OP dengan
perdarahan gastrointestinal bawah onset lambat, yang memperpanjang masa pemulihan pasien
dan periode nutrisi parenteral.

Data pemeriksaan:

Pemeriksaan darah menunjukkan asidosis metabolik yang parah (pH=7,08; pH normal,


7,35–7,45 ), 86% saturasi oksigen perifer (SpO2), dan adanya benzodiazepin (296,5 ng/ dl).
Rontgen dada menunjukkan inflat paru bilateral. Laparotomi eksplorasi mengungkapkan
perlengketan yang parah di atas ruang panggul. Terminal ileum menunjukkan peradangan
parah dengan stenosis 10 cm distal ke katup ileoce cal. Zona transisi antara mukosa yang sehat
dan yang terluka kira-kira 50 cm proksimal ke katup ileocecal. Laporan histopatologi
menunjukkan mukosa yang terluka dengan infiltrasi sel inflamasi dan kerusakan struktural. Itu
terdiri dari neu trophils, sel plasma, dan infiltrasi limfositik dengan jaringan granulasi vaskular
yang negatif untuk pewarnaan tahan asam

Terapi yang di berikan :

1. Nutrisi enteral melalui nasogastric feeding


2. pengobatan konservatif,pemberian flumazenil 0,2mg secara IV,Atropin Sulfat 2mg secara
IV termasuk pengobatan farmakologis dengan asam traneksamat 1gr secara IV,cara kerja
dari Asam Traneksamat ini akan menghambat aktivitas tirosinase dengan cara memblokir
interaksi melanosit dan keratinosit melalui penghambatan dari sistem plasminogen. Asam
traneksamat juga mencegah induksi dari sinar UV, aktivitas plasmin, menurun aktivitas dari
sel mast dan juga dapat menghambat faktor pertumbuhan fibroblast selanjutnya penurunan
vaskularisasi dan jumlah sel mast di dermis. Asam traneksamat terbukti mampu
meningkatkan perbaikan klinis dari melasma dan dengan tingkat kekambuhan yang rendah
dan beberapa transfusi dara.

21
3. Kadar hemoglobin pasien sekitar 7-9 g/dl; oleh karena itu, sehingga diputuskan untuk
melakukan intervensi bedah. Pasca operasi, pasien melanjutkan nutrisi enteral 5 hari setelah
reseksi usus dan dipulangkan dengan lancar 20 hari setelahnya operasi, hari ke 84 rawat
inap, dengan trache ostomi dan diet makanan lunak.

22
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Toksikologi organ pada sistem pencernaan adalah Toksikologi organ pada sistem
pencernaan adalah studi mengenai efek zat-zat beracun terhadap organ-organ dalam sistem
pencernaan manusia. Ini melibatkan penelitian tentang sifat kimia dan fisik zat-zat beracun,
jalur masuknya ke dalam tubuh melalui makanan atau minuman, serta dampaknya pada organ-
organ seperti mulut, kerongkongan, lambung, usus halus, dan usus besar Zat- zat kimia yang
bersifat toksik masuk ke dalam tubuh dapat melalui beberapa cara, salah satunya adalah melalui
sistem pencernaan. Sistem pencernaan (digestive system) adalah sistem organ dalam hewan
multisel yang menerima makanan, mencernanya menjadi energi dan nutrien, serta
mengeluarkan sisa proses tersebut. Sistem pencernaan antara satu hewan dengan yang lainnya
bisa sangat jauh berbeda. Pada dasarnya sistem pencernaan makanan dalam tubuh manusia
terjadi di sepanjang saluran pencernaan (gastrointestinal tract).

23
DAFTAR PUSTAKA

Adlina,A.2021.Analisis Pengaruh Rhodamin B Terhadap Histopatologi Tikus Putih (Rattus


Norvegicus).Skripsi.Yogyakarta:Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta
Barrera Mj, Bahamondes V, Sepúlveda D, Quest Af, Castro 1, Cortés J, Dkk. Sindrom Sjögren
Dan Target Epitel: Tinjauan Komprehensif. J Autoimpn. 2013; 42:7-18.

Betton Gr.2013. A Review Of The Toxicology And Pathology Of The Gastrointestinal


Tract.Journal Cell Biol Toxicol 29(5):321-38. Doi: 10.1007/S10565-013-9257-Y. Epub
2013 Aug 30. Pmid: 23989862.

Bode G, Klausul P, Gervais F, Loegsted J. Luft J, Nogues V. Et Al. Kelompok Pengarah Proyek
Rethink. Utilitas Minipig Sebagai Model Hewan Dalam Pengaturan Toksikologi.
Metode J Pharmacol Toxicol. 2010;62:196
Bpom Ri. 2014. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 4 Tahun
2014. .Jakarta:Departemen Kesehatan Ri

Botts S. Jokinen M, Gaillard Et, Dkk. Di Dalam: Maronpot Rr, Borman Ga, Gaul Bw, Editor.
Kelenjar Ludah, Harderian Dan Lakrimal Dalam Patologi Tikus. Saint Louis: Sungai
Cache; 1999. Hal. 48-79.

Bpom Ri. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan
Pangan Pengawet.Jakarta:Departemen Kesehatan Ri

Frederick Cb, Hazelton Ga, Frank Jd. Histopatologi Dan Respon Biokimia Perut Tikus Jantan
Setelah Dua Minggu Pemberian Oral Dengan Etil Akrilat. Toksikol Patol. 1990;18:247-
56.
Fitri, Nyoman. 2013. Butylated Hydroxyanisole Sebagai Bahan Aditif Antioksidan
Pada Makanan Dilihat Dari Perspektif Kesehatan. Jurnal Kefarmasian Indonesia.
Vol.4.1.2014:41-50.

Fukushima S. Ito N. Papilloma, Perut Hutan, Tikus. Di Dalam Jones Tc Mohr U, Berburu Rd,
Editor Monograf Tentang Patologi Hewan Laboratorium Sistem Pencernaan. Berlin
Peloncat, 1985 Hal 289-92.

24
Hanby Am, Poulsom R, Playford Rj, Wright Na. Lendir Sel Leher Dalam Korpus Lambung
Manusia: Garis Keturunan Sel Yang Khas Dan Fungsional. J Pathol. 1999;187:331-7.

Jakszyn P, Gonzalez Ca.2006. Nitrosamine And Related Food Intake And Gastric And
Oesophageal Cancer Risk: A Systematic Review Of The Epidemiological Evidence.
World Journal Of Gastroenterol 12(27):4296-303. Doi: 10.3748/Wjg.V12.I27.4296.
Pmid: 16865769; Pmcid: Pmc4087738.
Kaneko M, Morimura K, Nishikawa T, Wanibuchi H, Takada N, Osugi H, Dkk.2002.
Perubahan Genetik Yang Berbeda Pada Tumor Lambung Tikus Yang Diinduksi Oleh
Karsinogen Genotoksik Dan Nongenotoksik.Journal Of Karsinogenesis 23:1729-35.

Klaassen, C.D. (2008). Casarett & Doull’s Toxicology : The Basic Science Of Poisons. (C. D.
Klaassen, Ed.) (Seventh Ed). Kansas City: Mcgraw-Hill.

Http://Doi.Org/10.1036/0071470514.

Mansyur Dakk.2002.T O K S I K O L O G I Dan Absorpsi Agent Toksis.Sumatera: Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Mescher, A. L., 2011, Saluran Cerna, Dalam : Hartanto H, Histologi Dasar Janqueira, Egc,
Jakarta, Pp. 245-266.

Olson, K., & Weber, D.2004. Relations Between Big Five Traits And Fundamental Motives.
Psychological Reports, 95, 795-802.

Prabowo,R.Dkk.2016.Akumulasi Cadmium (Cd) Pada Ikan Wader Merah(Puntius Bramoides


C.V),Di Sungai Kaligarang.Jurnal Mipa 39 (1) (2016): 1-10.
Http://Journal.Unnes.Ac.Id/Nju/Index.Php/Jm

Stinson Sf, Kovatch Rm.1990.Tumor Pada Saluran Pencernaan Bagian Atas (Rongga Mulut,
Kerongkongan, Lambung). Di Dalam: Stinson Sf, Schuller Hm, Reznik Gk, Editor.
Atlas Patologi Tumor Tikus Fischer. Boca Raton: Crc Press

25

Anda mungkin juga menyukai