Dosen Pembimbing :
Ernita Sari, SST, M.KL
Disusun Oleh :
Kelas : D4-2B
1. Ichtiary Shinta S. (P27833320048) 8. M. Arifin M. (P27833320056)
2. Indah Puspita T. (P27833320049) 9. Moch. Rizaldi (P27833320057)
3. Indana Zulfa Salim (P27833320050) 10. Nafilatul Karimah (P27833320058)
4. Kirana Beryl P. (P27833320051) 11. Nailul A. (P27833320059)
5. Laily Masruroh (P27833320052) 12. Nova Shellynda P (P27833320060)
6. Marliyane Naurah (P27833320054) 13. Nur Laily R.F (P27833320061)
7. Maulida Fauziatur (P27833320055) 14. Paramita K. (P27833320062)
HALAMAN JUDUL
Assalamualaikum Wr Wb.
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah Swt atas segala rahmat dan
limpahan berkah dan karunianya kepada kami, Makalah “Perjalanan Bahan Kimia
Racun Kedalam Tubuh Manusia” dapat kami selesaikan dengan baik. Makalah ini
dibuat untuk menyelesaikan dan memenuhi tugas dalam pembelajaran mata kuliah
Toksikologi Lingkungan.
Tidak lupa Saya mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ernita Sari, SST,
M.KL selaku pembimbing dan pengajar mata kuliah Entomologi. Dalam makalah ini
menjelaskan tentang “Perjalanan Bahan Kimia Racun Kedalam Tubuh Manusia”.
Tugas ini dibuat berdasarkan referensi dan sumber-sumber yang ada.
Wassalamualaikum Wr Wb.
Tim Penyusun
ii
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi.........................................................................................................................2
A. Toksikologi/racun.............................................................................................2
B. Toksikologi Lingkungan..................................................................................2
2.2 Karakteristik Pemaparan Racun...................................................................................3
A. Jalur masuk dan tempat Pemaparan Racun......................................................3
B. Jangka Waktu...................................................................................................4
C. Dinamika Bahan Toksik.................................................................................10
2.3 Perjalanan Bahan Toksik Didalam Tubuh..................................................................16
A. Fase Eksposisi................................................................................................16
B. Fase Toksikokinetik.......................................................................................20
C. Fase Toksikodinamik.....................................................................................20
iv
BAB I. PENDAHULUAN
sistem pertahanan yang dapat melindungi tubuh agar tidak sakit. Karena itu, kita
perlu mempelajari mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit agar kita dapat menjaga
kondisi tubuh kita dan juga rasa keingintahuan akan sistem pertahanan tubuh dan
spesifikasinya secara lebih detail dengan uraian dan informasi yang cukup banyak kami
membuat karya tulis sederhana ini.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui karakteristik pemaparan racun kedalam tubuh manusia
2. Untuk mengetahui perjalanan bahan toksik kedalam tubuh
1
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Definisi
A. Pengertian Toksikologi/racun
Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang racun. Dan
racun dapat didefinisikan sebagai zat yang dapat menyebabkan efek yang berbahaya bagi
makhluk hidup; racun merupakan zat yang bekerja di dalam tubuh secara kimiawi dan
fisiologis yang dalam dosis toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau
mengakibatkan kematian. Sifat bahan kimia dari racun apabila masuk ke jaringan tubuh
manusia akan mampu merusak sel darah merah dan sistem saraf. Mengikuti postulat
Paracelsus, suatu zat dikatakan beracun atau tidak bergantung pada seberapa banyak bahan
atau zat tersebut. Sehingga di dalam toksikologi industri yang penting adalah menyatakan
seberapa banyaknya sebagai taksiran beracun tidaknya suatu zat tertentu. Toksikologi juga
mencakup studi mengenai efek-efek berbahaya yang disebabkan oleh fenomena fisik.
Ruang lingkup dan komponen primer yang dipelajari dalam ilmu toksikologi
lingkungan adalah menyangkut masalah: (1) sumber racun—termasuk jenis, jumlah dan
sifatnya; (2) distribusi di dalam media udara, tanah dan air; (3) dan efek toksisitasnya
terhadap flora, fauna (liar), tanaman, hewan ternak, dan manusia (Sudarjat & Siska
Rasiska, 2006: 1).
2
didefinisikan sebagai studi mengenai efek-efek merugikan dari bahan-bahan kimia
lingkungan terhadap kesehatan manusia. Sedangkan ekotoksikologi merupakan studi yang
membahas efek-efek kontaminan lingkungan terhadap ekosistem dan unsur-unsur pokok
yang ada di dalam ekosistem.
Perbandingan dosis lethal suatu agen dan perbedaan jalan masuk dari
paparan sangat bermanfaat berkaitan dengan absorpsinya. Suatu agen apabila
diberikan dengan dosis yang sama tetapi cara masuknya berbeda, misalnya yang
satu melalui intravena sedangkan yang lain melalui oral, maka dapat diasumsikan
bahwa agen tersebut terabsorpsi dengan cepat. Sebaliknya bila dosis yang diberikan
berbeda maka dapat diasumsian absorpsinya berbeda pula, misalnya suatu agen
yang satu masuk melalu kulit dengan dosis lebih tinggi sedangkan yang satu
melalui mulut dengan dosis lebih rendah. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa
kulit lebih tahan terhadap racun sehingga suatu agen untuk dapat diabsorpsi melalui
kulit memerlukan dosis tinggi.
Zat racun dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur oral (mulut) maupun
topikal (permukaan tubuh). Tempat utama terjadinya paparan meliputi membran
paru-paru, insang, dan saluran gastrointestinal. Bahkan pada kulit dan struktur
terkaitnya yang memiliki kemampuan perlindungan terhadap paparan senyawa
asing dari lingkungan, dapat terjadi paparan beberapa xenobiotik secara signifikan.
Bioakumulasi xenobiotik (bahan kimia / racun asing) berhubungan positif dengan
kelarutan lipid (lipofilisitas), karena xenobiotik harus melintasi lapisan lipid bilayer
(lapisan membran tipis) dari membran untuk masuk ke dalam tubuh.
3
B. Jangka Waktu
Paparan adalah pengalaman yang didapat populasi atau organisme akibat
terkena atau terjadinya kontak dengan suatu faktor agent potensial yang berasal dari
lingkungan. Paparan dapat dibedakan dari istilah dosis yang diartikan sebagai
jumlah zat yang masuk atau berada di dalam tubuh organisme. Paparan dapat
diukur dari luar, jadi belum tentu sama dengan jumlah yang memasuki tubuh. Jenis
paparan dilihat dari sifat pemapar seperti zat kimiawi, fisika, biologis, atau
campuran.
4
3. Route of exposure. Jalur pemajanan meliputi : inhalasi, pencernaan, kulit, dan
injeksi. Jalur pemajanan penting lainnya adalah : placental exposure of the
fetus, exposure to noise via the ears, andexposure to uv radiation via the eyes.
Adapun pemajanan bahan pencemar terhadap manusia dilihat dari variasi
rentang waktu pemajanan meliputi :
5
sampel, seperti sel tunggal ”bakteri”, atau sekelompok hewan percobaan, dapat
dianggap sebagai suatu populasi mekanisme biologi yang seragam, dan karena itu
mungkin dapat dipejankan dengan suatu kadar atau dosis dari xenobiotika tertentu
yang telah diseleksi secara tepat. Namun anggapan ini tidak selalu tepat dimana
perbedaan individual turut memberikan perbedaan respon pada jumlah pejanan
xenobiotika yang sama.
Bila suatu xenobiotika mampu menimbulkan efek yang dapat diamati,
seperti kematian, perubahan mekanisme biologi, maka dosis xenobiotika itu dapat
dipilih agar dapat menimbulkan efek tersebut. Dan lagi, bila efek tersebut dapat
dikuantitatifkan, maka percobaannya akan menunjukkan bahwa tidak seluruh
anggota kelompok memberi respon yang secara kuantitatif identik terhadap
sejumlah dosis yang sama. Kiranya beberapa hewan percobaan akan memberikan
respon yang hebat, sedangkan yang lain bahkan sama sekali tidak menunjukkan
respon. Jadi apa yang telah dianggap sebagai ”sama sekali ada atau sama sekali tak
ada respon” hanya berlaku untuk suatu anggota tunggal dari kelompok uji tersebut,
dan ternyata respons merupakan hubungan yang benar-benar bertingkat bila dilihat
dari keseluruhan kelompok hewan uji. Dalam sub bahasan berikut ini kita akan
mengulas bagaimana cara memperoleh hubungan antara dosis-respon, dosis-kerja,
dan kerja dan waktu, serta makna dari kekerabatan tersebut dan pada bagian akan
diulas faktor-faktor yang bepengaruh atau menentukan resiko dalam lingkungan zat
berbahaya.
1. Hubungan Dosis Respon
Hubungan dosis-respon menggambarkan suatu distribusi frekuensi individu
yang memberikan respons pada rentang dosis tertentu. Bila distribusi frekuensi
tersebut dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang
umumnya disebut kurva dosis-persen responder. Pada dasarnya kurva hubungan
dosis-respon menunjukkan variasi individual dari dosis yang diperlukan untuk
minimbulkan suatu efek tertentu.
a. Frekuensi respon - respon kumulatif
Dalam percobaan toksikologi menggunakan hewan uji, biasanya
digunakan hewan dalam satu seri anggota spesies tertentu yang dianggap
seragam bila diberikan suatu dosis xenobiotika uji guna menimbulkan suatu
respon yang identik. Data yang diperoleh dari suatu percobaan seperti itu
diplot dalam suatu bentuk kurva distribusi atau kurva frekuensirespon
6
sebagai kurva respon kuantal, karena kurva tersebut menggambarkan
kisaran dosis yang diperlukan untuk menimbulkan respon yang secara
kuantitatif identik dalam suatu populasi subjek uji yang besar. Yang
dimaksud respon bersifat kuantal (all or none) adalah ada atau tidak sama
sekali respon pada hewan uji.
Kurva frekuensi-respon menunjukkan bahwa persentase atau jumlah
dari hewan uji yang memberikan respon secara kuantitatif identik pada
pemberian sejumlah dosis tertentu. Dari kurva tersebut terlihat, dimana
beberapa hewan akan memperlihatkan respon yang sama pada dosis yang
rendah sedangkan yang lainnya memerlukan dosis yang lebih tinggi. Kurva
seperti di atas, mengikuti pola distribusi Gaussian, namun berbeda dalam
praktisnya distribusi suatu frekuensi respon tidak selalu memenuhi pola
distribusi Gaussian.
b. Konsep statistika dan besaran aktivitas 50%
Dosis suatu xenobiotika mungkin cukup kecil sehingga tidak
menimbulkan efek kematian, namun bila dosis dinaikkan, hingga diperoleh
suatu kurva sigmoid, sehingga pada dosis yang cukup tinggi, 100% hewan
uji mati sebagai akibat pemejanan xenobiotika uji. Hubungan ini
menggambarkan bahwa respon yang timbul langsung berkaitan dengan
kadar/dosis dari suatu senyawa yang ada. Sehingga tidak dapat disangkal
bahwa bahaya atau amannya suatu senyawa kimia itu tergantung pada dosis
yang diberikan. Dalam toksikologi, jumlah dosis yang menyebabkan 50%
individu memberikan reaksi (respon) digunakan sebagai besaran aktivitas
(seperti, ED50 = Effective Dose 50% atau LD50 = Lethal Dose 50%) dari
xenobiotika.
2. Hubungan Dosis-Kerja
Efek xenobiotika tergantung pada konsentrasi zat, dengan demikian
tergantung pada dosis, juga dari tetapan kesetimbangan atau tetapan afinitas
yaitu parameter yang menentukan kecenderungan obat untuk bereaksi dengan
reseptor. Kurva dosis-kerja merupakan sebuah kurva asimetris, yang bila dosis
digambarkan secara logaritmik, membentuk huruf S. Ini berarti bahwa terdapat
distribusi normal logaritmik yang sesuai dengan keterangan terdahulu. Kurva
dosis-kerja dapat juga ditinjau sebagai kurva dosis-reaksi untuk suatu populasi
dari satuan efektor, tiap efektor akan bereaksi menurut hukum “semua atau tak
7
satupun”. Implikaasinya adalah bahwa reaksi suatu efektor merupakan andil
tertentu bagi efek keseluruhan. Kurva dosis-kerja dengan demikian
menggambarkan peranan tiap efektor tersebut secara kumulatif. Dosis yang
menyebabkan efektor memberikan reaksi akan tersebar disekitar dosis dosis
yang menyebabkan 50% satuan efektor bereaksi. Jika 50% dari satuan efektor
memberi reaksi maka akan timbul efek yang merupakan 50% efek maksimum
yang mungkin dicapai oleh senyawa tersebut. Pada kurva dosis-kerja, dapat
dibedakan dua paramater yaitu : Afinitas dan Aktifitas intrinsik. Pada
prinsipnya sebuah zat harus mempunyai afinitas terhadap reseptor khas agar
dapat menimbulkan efek tertentu. Afinitas dapat ditentukan dari dosis yang
dibutuhkan untuk mencapai efek tertentu misalnya 50% efek maksimum. Kalau
dosis tinggi berarti afinitas kecil, kalau dosis rendah berarti afinitas besar.
Disamping afinitas, suatu zat dapat mempunyai kemampuan untuk
menyebabkan perubahan dalam molekul reseptor (misalnya perubahan pada
konformasi reseptor) dan melalui beberapa tingkat reaksi berikutnya baru
kemudian dicapai efek sesungguhnya. Sifat ini disebut aktifitas intrinsik
senyawa bersangkutan. Ini menentukan besarnya efek maksimum yang dapat
dicapai oleh senyawa tersebut. Afinitas xenobiotik pada reseptornya dapat
dianggap sama dengan tetapam (konstanta) afinitas pada interaksi antara enzim
dengan substratnya. Banyak xenobiotik memiliki afinitas terhadap reseptor khas
akan tetapi tidak mempunyai aktifitas intrinsik.
Xenobiotik ini disebut antagonis kompetitif, dapat bereaksi dengan reseptor
akan tetapi tidak menimbulkan efek. Tetapi senyawa ini mampu bersaing pada
tempat kerja dangan zat yang mempunyai baik afinitas maupun aktifitas
intrinsik. Efek toksik berbagai zat disebabkan adanya antagonisme kompetitif
dengan senyawa endogen yang penting bagi tubuh seperti neurotransmiter,
vitamin atau metabolit. Demikian juga antidot bekerja secara antagonis
kompetitif dengan racun bersangkutan (misalnya penggulangan dengan vitamin
K pada takaran berlebih dari antikuagulasia jenis kumarin, pemberian asam
folat pada takaran antagonis asam folat yang terlalu tinggi).
3. Hubungan Waktu-Kerja
Jika eksposisi suatu zat hanya terjadi satu kali, seperti umumnya pada
keracunan akut, mula-mula efek akan naik tergantung pada laju absorbsi dan
kemudian efek akan turun tergantung pada laju eliminasi. Dibawah konsentrasi
8
plasma tertentu disebut konsentrasi sub-efektif atau subtoksik sedangkan mulai
dari konsentrasi tersebut dinamakan konsentrasi efektif / toksik. Bagian kurva
yang terletak diatas konsentrasi efektif / konsentrasi toksik minimum ,
merupakan ukuran untuk lamanya dan besarnya efek. Dengan demikian pada
prinsipnya ada tiga cara untuk mencegah atau menekan efek toksik:
a. Memperkecil absorpsi atau laju absorpsi, sehingga konsentrasi plasma tetap
berada dibawah daerah toksik. Ini dapat dicapai dengan penggunaan
adsorbensia, misalnya karbon aktif, dengan pembilasan lambung atau
dengan mempercepat pengosongan lambung-usus dengan laksansoa garam.
Dengan cara-cara ini fase eksposisi akan diubah.
b. Meningkatkan eliminasi zat toksik dan/atau pembentukan suatu kompleks
yang tak aktif. Eliminasi dapat ditingkatkan dengan mengubah pH urin,
misalnya dengan pembasaan urin dan diuresis paksa pada keracunan
barbiburat, sedangkan pembentuk khelat dipakai untuk inaktivasi ion logam
yang toksik. Ini akan menyebabkan perubahan fase toksikokinetik.
c. Memperkecil kepekaan objek biologik terhadap efek. Dalam hal ini
konsentrasi plasma tak dipengaruhi, akan tetapi batas kritis, konsentrasi
toksik minimum ditinggikan. Hampir semua bentuk penanganan keracunan
secara simptomatik berdasarkan prinsip ini. Bentuk khusus dari cara ini
yaitu pemakaian antidot khusus yang bekerja pada fase toksikodinamik,
misalnya pemberian atropina pada keracunan fosfat organik.
Pada keracunan kronis suatu zat yang mempunyai waktu paruh yang
besar, konsentrasi plasma akan naik sampai terjadi kesetimbangan
konsentrasi. Pada umumnya terdapat hubungan paralel antara konsentrasi
zat toksik pada fase kumulasi dengan intensitas gejala toksik. Dengan
demikian konsentrasi dalam plasma atau dalam jaringan merupakan
petunjuk tingkat keparahan keracunan.
Walaupun tak terjadi kumulasi zat toksik tadi, ada kemungkinan
gejala bertambah parah karena kumulasi efek. Ini menyebabkan pada
pemberian berikutnya dari racun yang menyebabkan kerusakan tertentu
tersebut, gejala akan bertambah parah. Sebagai contoh misalnya ginjal yang
sudah rusak akan lebih peka terhadap pemberian tokson berikutnya
dibandingkan ginjal sehat. Dalam hal ini konsentrasi plasma hanya
merupakan ukuran eksposisi senyawa toksik tersebut, tetapi tidak
9
menyatakan parahnya keracunan. Umumnya pada eksposisi kronis, fase
awal yang tidak menunjukkan gejala tertentu, akan diikuti dengan fase yang
menunjukkan dimana tanda keracunan makin parah. Pada fase tanpa gejala
tersebut dapat dilakukan penyelidikan langsung atau tidak langsung adanya
racun, untuk memngetahui derajat eksposisi dan bahaya keracunan
11
Laju absorpsi bergantung di pada daya larut gas dalam ara, semakin mudah
lart semakin cepat absorpsinya. Namun demiian, keseimbangan antara udara dan
darah ini lebih lambat tercapai untk zat kimia yang mudah larut, misalnya
kloroform, di bandingkan dengan zat kimia yang kurang larut misalnya etilin. Hal
ini terjadi karena suatu zat kimia yang mudah laut dalam air akan mudah larut
dalam darah. Oleh karena dara alveolar hanya dapat membawa zat kimia dalam
jumlah terbatas, maka di perlukan lebih banyak pernapasn dan waktu lebih lama
untuk mencapai keseimbangan. Bahkan akan di perlukann wakt lebih lama lagi
kalau zat kimia itu juga diendapkan dalam jaringan lemak.
• Kulit
Pada umumnya, kulit relative impermeable dan karenanya merupakan
barrier (penghalang) yang baik untuk mmemisahkan organism itudari lingkungan.
Tetapi beberapa zat kimia dapat di serap lewat kulit dalam jumlah cukup banyak
sehingga menimbullkan efek sistemik.
Suatu zat kimia dapat si serap lewat folikel rambut atau lewat sel-sel
kelenjar keringat. Akan tetapi penyerapan lewat jalur ini kecil sekali sebab struktur
ini hanya merupakan bagian kecil dari permukaan kulit. Meskipun demikian kita
harus hati-hati bila menggunakan bahan-bahan kosmetik yang pada dasarnya
terdiri dari zat-zat kimia, seperti cat rambut, deodorant dan sejenisnya.
2) Distribusi
Setelah suatu zat kmia memasuki darah, zat kimia tersebut didistribusikan
dengan cepat ke seluruh tubuh. Laju distribusi ke tiap-tiap organ tubuh berhungan
dengan aliran darah di alat tersebut, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding
kapiler dan membrane sel, serta afinitas komponen alat tubuh terhadap zat kimia
itu.
• Barrier
Barrier darah otak terletak di dinding kapiler. Di sana sel-sel endothelial
kapiler bartaut rapat sehingga hanya sedikit atau tidak ada pori-pori di antara sel-sel
itu snediri. Tiadanya vesikel dalam sel-sel ini menyebabkan kemampuan
transpornya lebih rendah lagi. Akhirnya kadar protein cairan interstisial otak
rendah. Berbeda dengan kadarnya dalam alat-alat tubuh lain, oleh karena itu
mekanisme transfer toksikan dari darah ke otak bukan melalui pengikatan protein.
Dengan demikian penetrasi toksikan ke dalam otak bergantung pada daya larut
12
lipidnya. Contoh, metal merkuri yang mudah memasuki otak dengan toksikan
utama pada system saraf pusat. Sebalikn ya, senyawa merkuri anorganik tidak larut
dalam lipid, sehingga tidak mudah masuk keotak dan toksistas utamanya bukan di
dalam otak, tetapi di ginjal kerena air seni ( urine ) mudah melarutkan merkuri
anorganik.
Secara anatomic barrier plasenta berbeda di antara berbagai spesies hewan.
Pada beberapa spesies, terdapat enam lapis sel antara janin dengan darah ibu,
sementara spesies lain hanya ada satu lapis. Selain itu jumlah lapisan itu mungkin
berubah bersamaan dengan bertambahnya umur kehamilan, meskipun hungan
antara jumlah lapisan plasenta dengan permeabilitasnya perlu di pastikan, barrier
plasenta ternyata dapat menghalangi transfer toksikan ke janin sehingga sampai
batas tertentu dapat melindungi si janin. Tetapi, kadar suatu toksikan misalnya
metal merkuri mungkin lebih tinggi dalam alat tubuh tertentu pada janin, misalnya
otak karena kurang efektifnya barrier darah- otak janin. Sebaliknya kadar pewarna
makanan (amaranth ) pada janin hanya 0,03 – 0,06 dari kadar ibunya.
• Pengikatan dan penyimpanan
Seperti telah di kemukakan di atas, pengikatan suatu zat kimia dalam
jaringan dapat menyebabkan lebih tingginya kadar dalam jaingan itu. Ada dua
jenis utama ikatan. Pertama, ikatan jenis kovalen bersifat tidak reversible. Dan
pada umumnya berhungan dengan efek toksik yang penting. Kedua ikatan non
kovalen (ion) biasanya merupakan yang terbanyak yang bersifat reversible. Karena
itu, proses ini berperan penting dalam distribusi toksikan ke berbagai organ tubuh
dan jaringan. Ada beberapa jenis ikatan non kovalen yang terbentuk, di antaranya:
a. Protein plasma dapat mengikat komponen fisiologik normal dalam senyawa
tubuh di samping banyak senyawa asing lainnya. Sebagian senyawa asing ini
terikat pada albumin dank arena itu tidak dengan segera tersedia utuk
didistribuskan ke ruang ekstravaskuler. Tetapi, karena pengikat ini reversible,
senyawa kimia yang terikat itu dapat lpas dai protein sehingga kadar bahan
kimia yang bebas meningkat, dan kemudian mungkin melewati kapiler
endothelium. Hal ini dan ginjal memilii kapasitas yang lebih tinggi untuk
mengikat zat-zat kimia. Hal ini mungkin berhubungan dengan fungsi metabolic
dan ekskretorik hati dan ginjal. Dalam organ-organ tubuh telah di kenal sebagai
macam protein yang memiliki sifat mengikat cadmium dalam hati ke ginjal.
Pengikat suat zat dengan cepat menaikkan kadar dalam organ tubuh. Misalnya,
13
30 ment setelah pemberian dosis tunggal timbale, kadarnya dalam hati 50 kali
lebih tinggi dari pada kadarnya dalam plasma.
b. Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan yang pentng bagi zat yang larut
dalam lipis misalnya DDT, dielderin, dan poliklorobifenil (PCB). Zat-zat ini di
simpan dalam jaringan lemak dengan pelarutan sederhana dalam lemak netral.
Konyugasi asam lemak dengan toksikan, misalnya DDt, dapat juga merupakan
suatu mekanisme penimbuhan zat kimia dalam jaringan yang mengandung
lipid dan dalam sel-sel badan.
c. Tulang merupakan tempat penimbuhan utama untuk toksikan florida, timbale,
dan stronsium. Penimbuhan utaa untuktoksikuan dalam cairan intertstital dan
Kristal hidroksiapatit dalam minral tulang. Karena ukuran dan muatan yang
sama, F- dengan mudah di gantkan OH- dan kalsium dari tulang di gantikan d
timbale atau strosium. Zat-zat yang di timbun ini akan di elpaslan lewat
pertukaran ion dengan pelaruan Kristal tulang lewat aktivitas osteoklastik.
3) Ekskresi
Setelah absorpsi dan distribusi dalam tubuh, toksikan dapat di keluarkan denga
cepat atau perlahan. Toksikan di keluarkan dalam bntuk asal, sebagai metabolit,
dan atau sebagai konjugat. Jalur utama ekresi adalah urine, tetapi hati dan paru-paru
juga merupakan alat ekskresi penting untuk zat kimia jenis tertentu.
• Ekresi urine
Ginjal membuang toksikan dari tubuh dengan mekanisme yang serupa
dengan mekanisme yang di gunakan untuk membuang hasil akhir metabolism faali,
yaitu yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler.
Kapiler glomelurus memiliki pori-pori besar (70 nm); karena itu, sebagian
tksikan akan leat di glomelurus, kecuali toksikan yang sangat besar (lebih besar
dari BM 60.000 ) atau yang terikat erat pada protein plasma. Toksikan dalam
filtrate glomelurus akan mengalami absorpsi pasif di sel-sel tubuler bila koefisien
partisi lipid/airnya tinggi, taau tetap dalam lumen tebuler dan di keluarkan bila
merupakan senyawa yang polar.
• Ekskresi pedu
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi toksikan,
terutama untuk senyawa yang polaritasnya tinggi (anion dan kation), kongjngat
yang terikat pada protein plasma, dan senyawa yang BM-nya lebih besar dari 300.
14
Pada umumnya begitu senyawa ini berada dalam empedu, senyawa ini tidak akan
di serap kembali ke dalam darah dan di keluarkan lewat fases. Tetapi ada
kekecualian, misalnya kongjungat glukuronoid yang dapat dihidrolisis oleh flora
usus menjadi toksikan bebas yang di serap kembali.
Pentingya jalur empedu untuk ekskresi beberapa zat kimia telah di
perlihatkan dengan jelas dalam percobaan yang menunjukkan bertambahnya
toksisktas akut beberapa kali lipat pada hewan yang saluran empedunya di ikat.
Contoh zat kimia semacam itu adalah di goksin, indosinoin hijau dan yang paling
berbahaya adalah diestilbestrol (DES). Toksisitas DES meningkat 130 kali pada
tiks percobaan yang saluran empedu di ikat.
• Paru-paru
Zat yang berbentuk gas pada suhu badan teruta,ma di ekskresikan lewat
paru-paru. Cairan yang mudah larut misalnya kloroform dan halotan mungkin
diekskresikan sangat lambat karena di timbun dalam jaringan lemak dank arena
terbatasnya volume ventilasi. Ekskresi toksikan melalui paru-paru terjadi karena
difusi sederhana lewat membrane sel.
• Jalur lain
Saluran cerna bukan jalur utama untk ekskresi tolsikan. Oleh karena
lambung dan usus masing-masing mesekresi kurang lebih 3 liter cairan setiap hari,
maka beberapa tksikan di keluarkan bersama cairan tersebut. Hal ini terjadi
terutama lewat difusi sehingga lajunya bergantung pada pKaa toksikan dan pH
lambung dan usus.
Ekskresi toksikan lewat air susu ibu (ASI), di tinjau dari sudut toksikologi amat
penting karena lewat air susu ibu ini acun terbawa dari ibu kepada bayinya.
Ekskresi ini terjadi melalui difusi sedrhana. Oleh karena itu seorang ibu yang
sedang mempunyai bayi haruberhati-hati dalam hal makananterutama kalu minum
obat. Karena air susu bersifat asam senyawa basa akan mencapai kadar lebih tinggi
dalam air susu di bandingkan dalam plasma, dan sebaliknya untuk bersifat asam.
Senyawa lipofilik seperti DDT dan PCB juga mencapai kadar yang lebih tinggi
dalam air susu karena dalam kandungan lemaknya yang lebih tingggi. Dengan
demikian para peternak sapai perah ahrus menjaga agar rumput untk makanan
ternaknya tidak terkontaminasi oleh pestisida yang dapat menghasilkan air susu
yang mengandung toksikan/tercemar yang pada akhirnya akan sampai kepada
manusia.
15
Umumnya, kadar bahan kimia di dalam organ sasaran merupakan fungsi
kadar darah. Pengikatan toksikan dalam jaringan akan menambah kadarnya,
sementara barrier jaringan cenderung mengurangi kadarnya. Oleh karena itu kadar
dalam darah lebih mudah di ukur, terutama pada jangka waktu tertentu. Hal ini
sering di jadikan parameter dalam penelitian toksikokinetik. Selama penyerapan,
kadar toksikan dalam darah meningkat. Sementara itu laju ekskresi, biotransformasi
dan distribusinya kea lat-alat tubuh dan jaringan lain juga bertambah
Fase eksposisi terjadi ketika ada kotak antara xenobiotika dengan organisme
atau dengan kata lain, terjadi paparan xenobiotika pada organisme. Paparan ini
dapat terjadi melalui kulit, oral, saluran pernafasan (inhalasi) atau penyampaian
xenobiotika langsung ke dalam tubuh organisme (injeksi) (Wirasuta, 2006)
Jika suatu objek biologik terpapar oleh sesuatu xenobiotika, maka, kecuali
senyawa radioaktif, efek biologik atau toksik akan muncul, jika xenobiotika
tersebut telah terabsorpsi menuju sistem sistemik. Umumnya hanya xenobiotika
yang terlarut, terdistribusi molekular, yang dapat diabsorpsi. Dalam hal ini akan
terjadi pelepasan xenobiotika dari bentuk farmaseutikanya. Misalnya paparan
xenobiotika melalui oral (misal sediaan dalam bentuk padat: tablet, kapsul, atau
serbuk), maka terlebih dahulu kapsul/tablet akan terdistegrasi (hancur), sehingga
xenobiotika akan telarut di dalam cairan saluran pencernaan. Xenobiotika yang
terlarut akan siap terabsorpsi secara normal dalam duodenal dari usus halus dan
ditranspor melalui pembuluh kapiler mesenterika menuju vena porta hepatika
menuju hati sebelum ke sirkulasi sistemik (Wirasuta, 2006).
16
kapsul, salep, dll). Bagian dosis dari senyawa obat, yang tersedia untuk diabsorpsi
dikenal dengan ketersediaan farmaseutika. Pada kenyataannya sering dijumpai,
bahwa sediaan tablet dengan kandungan zat aktif yang sama dan dibuat oleh pabrik
farmasi yang berbeda, dapat memberikan potensi efek farmakologik yang berbeda.
Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan farmaseutikanya. Perbedaan
ketersediaan farmaseutika suatu sediaan ditentukan oleh sifat fisiko-kimia,
umpaman ya ukuran dan bentuk kristal, demikian pula jenis zat pembantu
(tambahan pada tablet) dan metode fabrikasi. Disamping bentuk farmaseutika yang
berpengaruh jelas terhadap absorpsi dan demikian pula tingkat toksisitas, sifat
fisiko-kimia dari xenobiotika (seperti bentuk dan ukuran kristal, kelarutan dalam air
atau lemak, konstanta disosiasi) tidak boleh diabaikan dalam hal ini. Laju absorpsi
suatu xenobiotika ditentukan juga oleh sifat membran biologi dan aliran kapiler
darah tempat kontak (Wirasuta, 2006).
1. Melalui kulit
17
Lapisan epidermis terdiri atas lapisan sel basal (stratum germinativum),
yang memberikan sel baru bagi lapisan yang lebih luar. Sel baru ini menjadi sel
duri (stratum spinosum) dan, natinya menjadi sel granuler (stratum
granulosum). Selain itu sel ini juga menghasilkan keratohidrin yang nantinya
menjadi keratin dalam stratum corneum terluar, yakni lapisan tanduk.
Epidermis juga mengandung melanosit yang mengasilkan pigmen dan juga sel
langerhans yang bertindak sebagai makrofag dan limfosit. Dua sel ini
belakangan diketahui yang terlibat dalam berbagai respon imun dan mastosit.
Di bawah dermis terdapat jaringan subkutan. Selain itu, ada beberapa struktur
lain misalnya folikel rambut, kelenjar keringan, kelenjar sebasea, kapiler
pembuluh darah dan unsur syaraf. Pejanan kulit terhadap xenobiotik sering
mengakibatkan berbagai lesi (luka), namun tidak jarang xenobiotik dapat juga
terabsorpsi dari permukaan kulit menuju sistem sistemik (Wirasuta, 2006).
Saluran pernafasan terdiri atas nasofaring, saluran trakea dan bronkus, serta
acini paru-paru, yang terdiri atas bronkiol pernafasan, saluran alveolar, dan
alveoli. Nasofaring berfungsi membuang partikel besar dari udara yang
dihirup, menambahkan uap air, dan mengatur suhu. Umumnya partikel besar
(>10 µm) tidak memasuki saluran napas, kalau masuk akan diendapkan di
hidung dan dienyahkan dengan diusap, dihembuskan dan berbangkis. Saluran
trakea dan bronkus berfungsi sebagai saluran udara yang menuju alveoli.
Trakea dan bronki dibatasi oleh epiel bersilia dan dilapisi oleh lapisan tipis
lendir yang disekresi dari sel tertentu dalam lapisan epitel. Dengan silia dan
lendirnya, lapisan ini dapat mendorong naik partikel yang mengendap pada
18
permukaan menuju mulut. Partikel yang mengandung lendir tersebut kemudian
dibuang dari saluran pernafasan dengan diludahkan atau ditelan. Namun,
butiran cairan dan partikel padat yang kecil juga dapat diserap lewat difusi dan
fagositosis. Fagosit yang berisi partikel-partikel akan diserap ke dalam sistem
limfatik. Beberapa partikel bebas dapat juga masuk ke saluran limfatik.
Partikel-partikel yang dapat terlarut mungkin diserap lewat epitel ke dalam
darah,
19
Pada umumnya xenobiotik melintasi membran saluran pencernaan menuju
sistem sistemik dengan difusi pasif, yaitu transpor dengan perbedaan
konsentrasi sebagai daya dorongnya. Namun disamping difusi pasif, juga
dalam usus, terdapat juga transpor aktif, seperti tranpor yang difasilitasi dengan
zat pembawa (carrier), atau pinositosis (Wirasuta, 2006).
B. Fase Toksikokinetik
Pada fase toksikokinetik terdapat dua jenis proses yang terjadi selama fase
ini. Proses yang pertama yaitu proses transfer yang meliputi absorbsi,distribusi
(termasuk transpor dan fiksasi pada komponen jaringan dalam organ) dan ekskresi.
Proses yang kedua adalah perubahan metabolik atau biotransformasi yang sering
menyebabkan ketidakaktivan zat yang diserap.
Faktor yang kritis dalam fase toksikokinetik adalah proses fisiologikal dan
faktor yang berperan dalam penyerapan,distribusi,biotransformasi dan ekskresi.
Faktor penentu resiko pada fase toksikokinetik adalah :
C. Fase Toksikodinamik
Fase ini merupakan interaksi antara xenobiotik dengan reseptor (tempat
mekanisme spesifik) sehingga terjadi proses-proses terkait dimana pada akhirnya
muncul efek toksik. Konsentrasi xenobiotik akan menentukan kekuatan efek
biologi yang ditimbulkan. Pada umumnya ditemukan konsentrasi zat kimia toksik
cukup tinggi dalam hepar (hati) dan ren (ginjal) karena pada kedua organ tersebut
zat toksik dimetabolisme dan diekskresi. Interaksi tokson-reseptor umumnya
merupakan interaksi bolak-balik (reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan
fungsional, yang secara lazim dapat hilang bila xenobiotika tereliminasi dari tempat
kerjanya (reseptor). Namun, selain interaksi reversibel, terkadang terjadi pula
interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara xenobiotika dengan sistem biologi.
Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika dengan sistem biologi
20
dimana terjadi ikatan kimia kovalen dengan sifat irreversibel atau terjadinya
perubahan kimia oleh xenobiotika sendiri, seperti pembentukan peroksida.
Pada fase toksikodinamik terjadi terjadi interaksi antara senyawa toksik dan
lokasi molakuler yang menyebabkan induksi senyawa kimia untuk senyawa toksik
yang tidak reversible. Faktor penentu resiko pada fase toksikodinamik adalah :
1. Perbedaan kepekaan perorangan, seperti jenis kelamin, usia, kehamilan, dan
keadaan gizi.
2. Paparan sebelumnya dan pemeriksaan kesehatan yang teratur serta
pemeriksaan epidemiologi umum.
Biasanya reaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek toksikodinamik. Reaksi
toksik berbeda secara kualitatif, bergantung dari durasi paparan. Dalam hal ini
dikenal paparan akut dan paparan kronis. Efek berbahaya, baik akibat paparan akut
maupun kronis, dapat bersifat reversible maupun irreversible. Meliputi interaksi
kimia antara molekul zat toksikan dan tempat kerja spesifik (reseptor). Konsentrasi
zat aktif pada tempat sasaran menentukan kekuatan efek biologi yang dihasilkan.
21
BAB IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Toksikologi lingkungan merupakan suatu ilmu multidisipliner yang meliputi
sejumlah ranah studi yang bermacam-macam, seperti genetika, biologi, kimia (organik,
analitis dan biokimia), anatomi, ilmu tanaman, geologi, ilmu kesehatan publik, fisiologi,
mikrobiologi, ekologi, ilmu tanah, hidrologi, ilmu atmosfer, ilmu statistik, dan ilmu
hukum. Toksikologi lingkungan dapat dibagi menjadi dua subkategori: toksikologi
kesehatan lingkungan dan ekotoksikologi. Toksik juga dapat menyebabkan efek local di
tempat kontak juga akan menyebabkan kerusakan bila di serap oleh organism. Jalan masuk
agen toksik / racun ke dalam umumnya melalui saluran gastrointestinal (tertelan), paru-
paru (terhirup) dan kulit.
4.2 Saran
Toksin merupakan bahan berbahaya bagi tubuh apabila dosisnya melampaui
batas. Apabila terpapar dapat memberikan dampak bagi tubuh kita. Oleh karena itu,
kita diharapkan dapat meningkatkan imun / daya tahan tubuh kita supaya tidak
terpapar toksin, dengan cara:
22
3. Perbanyak minum air putih. Karena di dalam tubuh kita sebanyak 80%
mengandung air, sehingga kita memerlukan air untuk menjalankan fungsi
tubuh kita. Air minum juga merupakan salah satu cara mengeluarkan racun
23
DAFTAR PUSTAKA
J. H. Koeman., 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Terjemahan oleh R.H. Yudono Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Mukono H. J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press. (Hal 11)a
Mukono, H.J., 2008, Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran
Pernafasan, Cetakan Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya. Mutschler, E., 1999,
Arzneimittelwirkungen: Lehrb
Sudarjat dan Siska Rasiska. 2006. Toksikologi Lingkungan dan Produk Pertanian (bahan ajar).
Jatinangor: Universitas Padjadjaran, Fakultas Pertanian, Program Studi Agroteknologi,
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Hlm. 1-22.
Winiati P. Rahayu & Wibisono Adhi. 2020. Toksin Alga: Karakteristik, Toksisitas,dan Analisis.
Bogor: PT Penerbit IPB Press.
Wirasuta, I.M.A.G. 2006. Buku Ajar Toksikologi Umum. Bali: Jurusan Farmasi Fakultas MIPA,
Universitas Udayana.
Yu, Ming-Ho. 2005. Environmental toxicology: Biological and Health Effects of Pollutants
(second edition). New York: CRC Press. p. 1-10.
Yulianto dan Nurul Amaloyah. 2017. Toksikologi Lingkungan. Jakarta Selatan : Pusat Pendidikan
Sumber Daya Manusia Kesehatan.
24
25