Anda di halaman 1dari 51

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB MASING-MASING PROFESI SESUAI

DENGAN ATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Inter Professional
Education (IPE)

Oleh :

1. Rohiman 7. Luthfiansyah Gunadi (220110146058)


(220110146052) 8. Lusi Sri Rahmawati (220110146059)
2. Jamil Bakti Permana
9. Restiani Paripurna Sari (220110146060)
(220110146053)
10. Gian Nurdiansyah (220110146061)
3. Sri Sofi
11. Mia Amalia (220110146062)
(220110146054)
4. Regina Julianti 12. Vini Junia Nur Fitri (220110146063)
(220110146055)
Angkatan 2014

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

GARUT

2018
Peran dan Tanggung Jawab Masing-Masing Profesi Sesuai dengan Aturan
Perundang-undangan

1) Tenaga Medis

UNDANG.UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014


TENTANG TENAGA KESEHATAN :
a. Bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar
masyarakat mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-
Undatrg Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam
bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakal
melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan
berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau
oleh masyarakat;
c. Bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang
tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara terus menerus harus
ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan,
sertihkasi, registrasi, perizinan, serta pembinaan, pengawasan, dan
pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa keadilan
dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kesehatan;
d. Bahwa untuk memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan setiap individu dan
masyarakat, untuk memeratakan pelayanan kesehatan kepada seluruh
masyarakat, dan untuk memberikan pelindungan serta kepastian hukum
kepada tenaga kesehatan dan masyarakat penerima upaya pelayanan
kesehatan, perlu pengaturan mengenai tenaga kesehatan terkait dengan
perencanaan kebutuhan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan;
e. Bahwa ketentuan mengenai tenaga kesehatan masih tersebar dalam
berbagai peraturan perundangundangan dan belum menampung kebutuhan
hukum masyarakat sehingga perlu dibentuk undang-undang tersendiri yang
mengatur tenaga kesehatan secara komprehensif; bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan;
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2013
TENTANG
PENDIDIKAN KEDOKTERAN :
a. Bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh
pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan dan meningkatkan
mutu pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan
masyarakat;
c. Bahwa pendidikan kedokteran sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional diselenggarakan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan
untuk menumbuhkembangkan penguasaan, pemanfaatan, penelitian, serta
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran dan
kedokteran gigi;
d. Bahwa upaya melakukan penataan pendidikan kedokteran untuk mencapai
tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf c belum diatur secara
komprehensif dalam peraturan perundang- undangan;
e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pendidikan Kedokteran;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud
dengan:
1. Pendidikan Kedokteran adalah usaha sadar dan terencana dalam pendidikan
formal yang terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesi pada
jenjang pendidikan tinggi yang program studinya terakreditasi untuk
menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi.
2. Pendidikan Akademik adalah pendidikan tinggi program sarjana dan/atau
program pascasarjana kedokteran dan kedokteran gigi yang diarahkan terutama
pada penguasaan ilmu kedokteran dan ilmu kedokteran gigi.
3. Pendidikan Profesi adalah Pendidikan Kedokteran yang dilaksanakan melalui
proses belajar mengajar dalam bentuk pembelajaran klinik dan pembelajaran
komunitas yang menggunakan berbagai bentuk dan tingkat pelayanan kesehatan
nyata yang memenuhi persyaratan sebagai tempat praktik kedokteran.
4. Fakultas Kedokteran adalah himpunan sumber daya pendukung perguruan
tinggi yang
menyelenggarakan dan mengelola pendidikan dokter.
5. Fakultas Kedokteran Gigi adalah himpunan sumber daya pendukung perguruan
tinggi yang
menyelenggarakan dan mengelola pendidikan Dokter Gigi.
6. Mahasiswa Kedokteran atau Mahasiswa Kedokteran Gigi yang selanjutnya
disebut Mahasiswa adalah peserta didik yang mengikuti Pendidikan Kedokteran.
7. Sarjana Kedokteran adalah lulusan Pendidikan Akademik pada program
sarjana di bidang
kedokteran, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.
8. Sarjana Kedokteran Gigi adalah lulusan Pendidikan Akademik pada program
sarjana di bidang kedokteran gigi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang
diakui oleh Pemerintah.
9. Dokter adalah dokter, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis
lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh
Pemerintah.
10. Dokter Gigi adalah dokter gigi, dokter gigi spesialis- subspesialis lulusan
pendidikan dokter gigi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh
Pemerintah.
11. Dosen Kedokteran yang selanjutnya disebut Dosen adalah pendidik
profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi,
humaniora kesehatan, dan/atau keterampilan klinis melalui pendidikan, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat.
12. Tenaga Kependidikan Pendidikan Kedokteran yang selanjutnya disebut
Tenaga Kependidikan adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan
keahliannya mengabdikan diri untuk menunjang penyelenggaraan Pendidikan
Kedokteran.
13. Standar Nasional Pendidikan Kedokteran adalah bagian dari standar nasional
pendidikan tinggi yang merupakan kriteria minimal dan harus dipenuhi dalam
penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran.
14. Kurikulum Pendidikan Kedokteran yang selanjutnya disebut Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
Pendidikan Kedokteran.
15. Rumah Sakit Pendidikan adalah rumah sakit yang mempunyai fungsi sebagai
tempat pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan secara terpadu dalam
bidang Pendidikan Kedokteran, pendidikan berkelanjutan, dan pendidikan
kesehatan lainnya secara multiprofesi. 16. Rumah Sakit Pendidikan Utama adalah
rumah sakit umum yang digunakan Fakultas Kedokteran dan/atau rumah sakit gigi
mulut yang digunakan Fakultas Kedokteran Gigi untuk memenuhi seluruh atau
sebagian besar Kurikulum dalam rangka mencapai kompetensi di bidang
kedokteran atau kedokteran gigi.
17. Rumah Sakit Pendidikan Afiliasi adalah rumah sakit khusus atau rumah sakit
umum dengan unggulan pelayanan kedokteran tertentu yang digunakan Fakultas
Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi untuk memenuhi Kurikulum
dalam rangka mencapai kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi.
18. Rumah Sakit Pendidikan Satelit adalah rumah sakit umum yang digunakan
Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi untuk memenuhi
Kurikulum dalam rangka mencapai kompetensi di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi.
19. Wahana Pendidikan Kedokteran adalah fasilitas selain Rumah Sakit
Pendidikan yang digunakan sebagai tempat penyelenggaraan Pendidikan
Kedokteran.
20. Organisasi Profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang
kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah.
21. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
22. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
23. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan walikota, serta perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.
24. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan.
Pasal 2 :
Pendidikan Kedokteran merupakan bagian dari pendidikan tinggi berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran berasaskan:
a. kebenaran ilmiah;
b. tanggung jawab;
c. manfaat;
d. kemanusiaan;
e. keseimbangan;
f. kesetaraan;
g. relevansi;
h. afirmasi; dan
i. etika profesi.
Pasal 4
Pendidikan Kedokteran bertujuan:
a. menghasilkan Dokter dan Dokter Gigi yang berbudi luhur, bermartabat,
bermutu, berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi,
profesional, berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral,
humanistis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan
lingkungan sosial, dan berjiwa sosial tinggi;
b. memenuhi kebutuhan Dokter dan Dokter Gigi di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia secara berkeadilan; dan
c. meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kedokteran dan kedokteran gigi.
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KEDOKTERAN Bagian Kesatu Umum
Pasal 5 :
(1) Pendidikan Kedokteran diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
(2) Perguruan tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja sama dengan Rumah Sakit
Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran serta berkoordinasi dengan
Organisasi Profesi.
(3) Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran dibina oleh kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan berkoordinasi
dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2013
TENTANG
PENDIDIKAN KEDOKTERAN :
I. UMUM
Pendidikan Kedokteran merupakan salah satu unsur perwujudan tujuan
negara yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, khususnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui
sistem pendidikan nasional
yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Gerakan reformasi di Indonesia telah mendorong prinsip demokrasi,
desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam
kehidupan berbangsa, dan bernegara. Dalam
hubungannya dengan Pendidikan Kedokteran, prinsip tersebut akan memberikan
dampak yang mendasar pada substansi, proses, dan manajemen sistem Pendidikan
Kedokteran sebagai komponen penting menuju terintegrasinya sistem pendidikan
dan sistem kesehatan
nasional di masa depan.
Untuk menghadapi tantangan dan tuntutan perkembangan masyarakat,
ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, dan globalisasi perlu dilakukan
pembaruan Pendidikan Kedokteran secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan agar mampu menghasilkan Dokter, Dokter Gigi, dokter
layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-
subspesialis yang bermutu, kompeten, profesional, bertanggung jawab, memiliki
etika dan moral dengan memadukan pendekatan humanistik terhadap pasien, dan
berjiwa
sosial tinggi. Pendidikan Kedokteran yang menghasilkan lulusan Dokter, Dokter
Gigi, dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi
spesialis-subspesialis tersebut merupakan komponen utama pemberi pelayanan
kesehatan kepada publik, serta berorientasi
kepada kebutuhan kesehatan masyarakat. Pembaruan Pendidikan Kedokteran
dilakukan secara terarah, terukur, dan terkoordinasi. Untuk itu diperlukan rencana
strategis dan penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran yang meliputi
pembentukan, penyelenggaraan, dan pengembangan program studi kedokteran
atau program studi kedokteran gigi, pengaturan Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Kedokteran Gigi, penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran di Rumah Sakit
Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran, Pendidikan Akademik dan
Pendidikan Profesi, sumber daya manusia, Standar Nasional Pendidikan
Kedokteran,
Kurikulum, Mahasiwa, beasiswa dan bantuan biaya pendidikan, uji kompetensi,
kerjasama Fakultas Kedokteran/Fakultas Kedokteran Gigi dengan Rumah Sakit
Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran, penelitian, dan penjaminan mutu
yang diselenggarakan secara komprehensif. Dalam praktiknya, berbagai Peraturan
Perundang-undangan yang terkait dengan Sistem Pendidikan Nasional belum
mengatur secara spesifik dan komprehensif mengenai penyelenggaraan
Pendidikan Kedokteran.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diperlukan suatu Undang-Undang
yang secara khusus dan komprehensif mengatur mengenai Pendidikan
Kedokteran. Undang-Undang ini mengatur asas penyelenggaraan Pendidikan
Kedokteran yang mengedepankan kebenaran ilmiah, tanggung jawab, manfaat,
kemanusiaan, keseimbangan, kesetaraan, relevansi, afirmasi, dan etika profesi
dengan tujuan untuk menghasilkan Dokter, Dokter Gigi, dokter
layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-
subspesialis yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten, berbudaya
menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi pada keselamatan
pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan berjiwa sosial
tinggi. Untuk itu, kurikulum yang diterapkan dalam Pendidikan Kedokteran dan
Kedokteran Gigi adalah kurikulum berbasis kompetensi dan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan muatan lokal, potensi daerah untuk
memenuhi kebutuhan Dokter dan Dokter Gigi, dokter layanan primer, dokter
spesialis-
subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis. Pendidikan Kedokteran
meliputi Pendidikan Akademik dan Pendidikan Profesi, membutuhkan sarana
Rumah Sakit Pendidikan dengan standar persyaratan yang ditetapkan yang dapat
digunakan sebagai sarana praktik dalam Pendidikan Kedokteran. Untuk
memenuhi kebutuhan Rumah Sakit Pendidikan tersebut, diperlukan kerja sama
Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi dengan Rumah Sakit
Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran yang memuat secara jelas dan
tegas serta berkepastian hukum tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak,
sehingga para pihak dapat memperoleh manfaat positif dari kerja sama tersebut.
Hubungan kerja sama antara Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi
dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran dilakukan
secara terintegrasi, baik integrasi fungsional di bidang manajemen maupun
integrasi struktural.
Untuk meningkatkan pemahiran dan pemandirian Dokter dilaksanakan
program internsip yang merupakan bagian dari program penempatan wajib
sementara. Program penempatan wajib sementara bertujuan untuk menjamin
pemerataan lulusan terdistribusi ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal Ini membutuhkan pendanaan dalam bentuk beasiswa atau bantuan
biaya pendidikan. Pendanaan yang dimaksud dapat berasal dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah, atau pihak lain dengan mengedepankan kepentingan nasional
berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

2) Tenaga Psikologi Klinis


Psikologi Klinis adalah metode yang digunakan untuk mengubah atau
mengembangkan jiwa seseorang berdasarkan hasil observasi dan eksperimen
dengan menggunakan teknik penanganan pedagosis (Witmer, 1912).

Psikologi-Klinis merupakan bentuk psikologi terapan untuk menentukan


kapasitas dan karakteristik tingkah laku individu dengan menggunakan metode-
metode pengukuran assessment, analisa dan observasi serta uji fisik dan riwayat
sosial agar dapat diperoleh saran dan rekomendasi untuk membantu penyesuaian
diri individu secara tepat (American Psychological Association, 1935)

Psikologi-Klinis adalah bidang dalam psikologi yang meliputi riset,


pelayanan dan pengajaran yang relevan dengan prinsip-prinsip, metode-metode
dan prosedur aplikasi untuk memahami, menduga dan mengurangi salah suai,
ketidaknyamanan dan ketidakmampuan, serta diterapkan pada populasi klien
untuk rentang yang luas (J.H.Resinck, 1991).

Psikologi-Klinis adalah bidang yang membahas kajian, diagnosis, dan


intervensi penyembuhan masalah psikologis, gangguan atau tingkah laku
abnormal (Phares, 1992).
Berdasarkan UUD dalam peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia
nomor 45 tahun 2017 tentang izin dan penyelenggaraan praktik Psikolog Klinis
pasal 17 yaitu :

1. Dalam menjalankan praktik keprofesiannya, Psikolog Klinis memiliki


wewenang untuk melakukan PelayananPsikologi Klinis meliputi:
a. pelaksanaan asesmen psikologi klinis;
b. penegakan diagnosis dan prognosis psikologi klinis;
c. penentuan dan pelaksanaan intervensi psikologi
klinis;
d. melakukan rujukan; dan
e. pelaksanaan evaluasi proses asesmen dan intervensi
psikologi klinis.
2. Pelaksanaan asesmen psikologi klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a mencakup pemeriksaan yang berkenaan dengan:
a. kondisi psikologis;
b. permasalahan atau gangguan psikologis/kejiwaan yang terjadi;
c. dinamika psikologis, intrapsikis, dan sosial sebagai penyebab
masalah atau gangguan psikologis;
d. kepribadian dan gangguan kepribadian;
e. potensi kemampuan psikologis dan manifestasinya; dan
f. kepentingan hukum.
3. Pelaksanaan asesmen psikologi klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dengan cara wawancara klinis, observasi klinis, psikotes formal
dan informal.
4. Pelaksanaan penegakan diagnosis dan prognosi psikologi klinis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. evaluasi terhadap dinamika psikologis yang terjadi;
b. menentukan diagnosis berdasarkan Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM), International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) atau
Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) yang
berlaku; dan
c. menyusun manifestasi fungsi psikologis dan perilaku.
5. Penentuan dan pelaksanaan intervensi psikologi klinis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan kepada individu, kelompok,
komunitas maupun untuk kepentingan hukum sesuai dengan kebutuhan dan
permasalahan psikologis yang terjadi, dalam bentuk:
a. psikoedukasi;
b. konseling;
c. psikoterapi; dan
d. rekomendasi intervensi.
6. Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan
secara lisan maupun tertulis dari dan kepada psikolog lain atau profesi lain
yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan.
7. Pelaksanaan evaluasi proses asesmen dan intervensi psikologi
klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dengan cara
memantau efektivitas proses intervensi psikologis, memahami keterbatasan
proses intervensi, menentukan terminasi layanan psikologis, dan
memberikan rekomendasi langkah tindak lanjut.
8. Psikoterapi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilakukan
dengan pendekatan psikologi klinis.
Hak dan Kewajiban dari Psikologi Klinis terdapat pada Bagian Ketiga pasal 22
dan 23 yaitu:
Pasal 22

Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Psikolog Klinis mempunyai hak


sebagai berikut:

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan pekerjaannya


sesuai dengan Standar Profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan/atau
keluarga pasien;
c. melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensi dan kewenangan;
d. menerima imbalan jasa profesi; dan
e. memperoleh jaminan perlindungan terhadap risiko kerja yang berkaitan
dengan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23

1. Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Psikolog Klinis


mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. menghormati hak pasien;
b. menyimpan rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. memberikan informasi tentang masalah kesehatan dan pelayanan
yang dibutuhkan;
d. memperoleh persetujuan tindakan yang akan dilaksanakan kepada
pasien;
e. melakukan rujukan untuk kasus di luar kompetensi dan
kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
f. mematuhi Standar Profesi, standar pelayanan, standar prosedur
operasional, dan kode etik profesi.
2. Psikolog Klinis dalam menjalankan praktik keprofesiannya harus
senantiasa meningkatkan mutu pelayanan dengan mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan bidang tugasnya, yang diselenggarakan oleh Organisasi Profesi atau
pemerintah.
Yang membedakan antara Psikologi Klinis dan tenaga kesehatan jiwa yang
lainnya dapat dilihat pada UUD BAB I tentang KETENTUAN UMUM yang
harus dimiliki oleh tenaga Psikologi Klinis pada Pasal 1 yaitu :
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Psikolog Klinis adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan psikologi
klinis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Pelayanan Psikologi Klinis adalah segala aktivitas pemberian jasa dan
praktik psikologi klinis untuk menolong individu dan/atau kelompok yang
dimaksudkan untuk pemeriksaan dan intervensi psikologis untuk upaya
promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif maupun paliatif pada masalah
psikologi klinis.
3. Surat Tanda Registrasi Psikolog Klinis yang selanjutnya disingkat STRPK
adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Psikolog
Klinis yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4. Surat Izin Praktik Psikolog Klinis yang selanjutnya disingkat SIPPK
adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik
keprofesian Psikolog Klinis.
5. Standar Profesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh
Psikolog Klinis untuk dapat melakukan praktik keprofesiannya pada
masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi Psikolog
Klinis.
6. Instansi Pemberi Izin adalah instansi atau satuan kerja yang ditunjuk oleh
Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menerbitkan izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
7. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
8. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil
Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
9. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah otonom.
10. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.
11.Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpunnya tenaga Psikolog
Klinis.

3) Tenaga Keperawatan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014
TENTANG KEPERAWATAN
BAB V PRAKTIK KEPERAWATAN Bagian Kedua Tugas dan Wewenang
Pasal 29

(1) Dalam menyelenggarakan Praktik Keperawatan, Perawat bertugas sebagai:


a. pemberi Asuhan Keperawatan;

b. penyuluh dan konselor bagi Klien;

Pasal 30
(1) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang
upaya kesehatan perorangan,
Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;
b. menetapkan diagnosis Keperawatan;
c. merencanakan tindakan Keperawatan;
d. melaksanakan tindakan Keperawatan;
e. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f. melakukan rujukan;
g. memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h. memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan
j. melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep
tenaga medis atau
obat bebas dan obat bebas terbatas.

4) Tenaga Kebidanan
Perundang-undangan yang melandasi tugas, praktik dan fungsi bidan :

1. No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga


kesehatan
2. Kepmen kes ri no. 900/ menkes/sk/vii/2002 tentang registrasi dan
praktik bidan
3. Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor
369/Menkes/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan
4. Peraturan menteri kesehatan republik indonesia
nomor hk.02.02/menkes/149/2010 tentang izin dan penyelenggaraan
praktik bidan
5. Permenkes ri no. 1464/menkes/sk/x/2010 tentang ijin dan
penyelenggaraan praktek bidan
No. 23 tahun 1992 tentang tugas dan tanggung jawab tenaga kesehatan
Pada peraturan pemerintah ini berisikan tanggung jawab dan tugas tenaga
kesehatn termasuk didalamnay tenaga bidan : hal ini tertuang pada bab dan pasal
sebagai berikut :
Bab vii bagian kedua
Tenaga kesehatan Pasal 50
1. Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatankesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan
tenaga kesehatan yang bersangkutan.

2. Ketentuan mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga


kesehatan ditetapkan dengan peraturan pemerintah

Bab v,bagian kedua Kesehatan keluarga Pasal 12

1. Kesehatan keluarga diselenggarakan untuk mewujudkan keluarga sehat,


kecil, bahagia, dan sejahtera.

2. Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi


kesehatan suami istri, anak, dan anggota keluarga lainnya.

Pasal 13 Kesehatan suami istri diutamakan pada upaya pengaturan kelahiran


dalam rangka menciptakan keluarga yang sehat dan harmonis.

Pasal 14 Kesehatan istri meliputi kesehatan pada masa prakehamilan, kehamilan,


persalinan, pasca persalinan dan masa di luar kehamilan, dan persalinan

Pasal 15

1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan
atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.

2. Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya


dapat dilakukan :

a. Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya


tindakan tersebut;
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu dan dilakukan sesuai dengan Tanggung jawab profesi serta
berdasarkan pertimbangan tim ahli;
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersngkutan atau suami atau
keluarganya;
d. Pada sarana kesehatan tertentu

Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud


dalam Kepmen kes ri no. 900/ menkes/sk/vii/2002 Bidan diharuskan memenuhi
persyaratan dan perizinan untuk melaksanakan praktek, dalam peraturan ini,
terdapat ketentuan-ketentuan secara birokrasi hal-hal yang harus bidan penuhi
sebelum melakukan praktik dan juga terlampir informasi-informasi petunjuk
pelaksanaan praktik kebidanan. Bidan hal tersebut tertuang pada bab dan pasal-
pasal berikut :
Bab iv Perizinan
Pasal 9
(1) bidan yang menjalankan praktik harus memiliki sipb.
(2) bidan dapat menjalankan praktik pada sarana kesehatan dan/atau perorangan.
Pasal 10
(1) sipb
Sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) diperoleh dengan mengajukan
permohonan kepada Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

(2) permohonan
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan persyaratan,
antara lain
Meliputi:
a. Fotokopi sib yang masih berlaku;
b. Fotokopi ijazah bidan;
c. Surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai
pegawai negeri atau
b. Pegawai pada sarana kesehatan.
a. Surat keterangan sehat dari dokter;
b. Rekomendasi dari organisasi profesi;
c. Pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) rekomendasi yang diberikan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e, setelah
Terlebih dahulu dilakukan penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan,
kepatuhan terhadap
Kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktik bidan.
Pasal 11
(1) sipb berlaku sepanjang sib belum habis masa berlakunya dan dapat
diperbaharui kembali.
(2) pembaharuan sipb sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
kepala dinas kesehatan
Kabupaten/kota setempat dengan melampirkan :
a. Fotokopi sib yang masih berlaku;
b. Fotokopi sipb yang lama;
c. Surat keterangan sehat dari dokter;
d. Pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
e. Rekomendasi dari organisasi profesi;
Pasal 12
Bidan pegawai tidak tetap dalam rangka pelaksanaan masa bakti tidak
memerlukan sipb.

Pasal 13
Setiap bidan yang menjalankan praktik berkewajiban meningkatkan kemampuan
Keilmuan dan/atau keterampilannya melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
Bab v
Praktik bidan
Pasal 14
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan
Yang meliputi :
a. Pelayanan kebidanan;
b. Pelayanan keluarga berencana;
c. Pelayanan kesehatan masyarakat.
Pasal 15
(1) pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf a ditujukan
kepada ibu dan anak.
(2) pelayanan
Kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa kehamilan, masa
persalinan, masa nifas,
Menyusui dan masa antara (periode interval).
(3) pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa
bayi, masa anak balita
Dan masa pra sekolah.
Bab lain dalam peraturan pemerintah ini, mengacu ke pada dua bab tersebut,
kedua bab ini memberi gambaran umum mengenai ketentuan praktik bidan dan
bab lain yang tidak si sebutkan disini melengkapi atau menjabarkan hal-hal umum
tersebut.

Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 369/menkes/sk/iii/2007


Secara umum isi kepmenkes ini mencakup : definsi dan pengertian bidan, asuhan
kebidanan, praktek bidan dan standar kompetensi bidan (pengetahuan maupun
keterampilan). Hal-hal tersebut yang mendasari praktek bidan. Praktek kebidanan
dikatakan baik apabila memenuhi standar kompetensi sebagia berikut :
a. Standar kompetensi bidan kompetensi ke 1 : bidan mempunyai persyaratan
pengetahuan dan keterampilan dari ilmu-ilmu sosial, kesehatan masyarakat
dan etik yang membentuk dasar dari asuhan yang bermutu tinggi sesuai
dengan budaya, untuk wanita, bayi baru lahir dan keluarganya.
b. Pra konsepsi, kb, dan ginekologi kompetensi ke-2 : bidan memberikan
asuhan yang bermutu tinggi, pendidikan kesehatan yang tanggap terhadap
budaya dan pelayanan menyeluruh dimasyarakat dalam rangka untuk
meningkatkan kehidupan keluarga yang sehat, perencanaan kehamilan dan
kesiapan menjadi orang tua
c. Asuhan dan konseling selama kehamilan kompetensi ke-3 : bidan memberi
asuhan antenatal bermutu tinggi untuk mengoptimalkan kesehatan selama
kehamilan yang meliputi: deteksi dini, pengobatan atau rujukan dari
komplikasi tertentu.
d. Asuhan selama persalinan dan kelahiran kompetensi ke-4 : bidan
memberikan asuhan yang bermutu tinggi, tanggap terhadap kebudayaan
setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan yang bersih dan
aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu untuk mengoptimalkan
kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir.
e. Asuhan pada ibu nifas dan menyusui kompetensi ke-5 : bidan memberikan
asuhan pada ibu nifas dan mneyusui yang bermutu tinggi dan tanggap
terhadap budaya setempat.
f. Asuhan pada bayi baru lahir kompetensi ke-6 : bidan memberikan asuhan
yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan
1 bulan.
g. Asuhan pada bayi dan balita kompetensi ke-7 : bidan memberikan asuhan
yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan – 5
tahun).
h. Kebidanan komunitas kompetensi ke-8 : bidan memberikan asuhan yang
bermutu tinggi dan komperhensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat
sesuai dengan budaya setempat.
i. Asuhan pada ibu/wanita dengan gangguan reproduksi kompetensi ke-9 :
melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan sistem
reproduksi.

Peraturan menteri kesehatan ri no hk.02.02/menkes/149/2010


Dalam peraturan ini, berisi mengenai ketentuan-ketentuan yang harus di lakukan
bidan untuk menyelenggarakan praktek kebidanan sesuai dengan standar
kebidanan yang ada. Ketentuan-ketentuan tersebut secara khusus diatur yaitu
mengenai perizinan dan penyelenggaraan praktik. Yang tertuang pada bab ii dan
iii sebagai berikut
Bab ii perizinan
Pasal 2
1. Bidan dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan

2. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)


meliputi fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktek mandiri dan/atau praktik
mandiri.

3. Bidan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) berpendidikan minimal diploma iii (d iii) kebidanan.
Pasal 3
1. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki sipb

2. Kewajiban memiliki sipb dikecualikan bagi bidan yang menjalankan


praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri atau bidan
yang menjalankan tugas pemerintah sebagai bidan desa.

Pasal 4
1. Sipb sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh
pemerintah daerah kabupaten/ kota

2. Sipb berlaku selama str masih berlaku.

Pasal 5
1. Untuk memperoleh sipb sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, bidan
harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
dengan melampirkan:
a. Fotocopi str yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki surat izin
praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga ) lembar;
dan
e. Rekomendasi dari organisasi profesi
2. Surat permohonan memperoleh sipb sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sebagaimana tercantum dalam formulir i (terlampir)

3. Sipb sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu)
tempat praktik

4. Sipb sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam


formulir ii terlampir

Pasal 6
1. Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan
meliputi tempat praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan

2. Ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum


dalam lampiran peraturan ini.
3. Dalam menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bidan wajib memasang nama praktik kebidanan

Pasal 7
sipb dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan sipb
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi organisasi profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia
Bab iii penyelenggaraan praktik
Pasal 8
bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan
meliputi:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 9
a. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a
ditujukan kepada ibu dan bayi

b. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diberikan pada masa kehamilan, masa persalinan, masa nifas dan masa
menyusui.

c. Pelayanan kebidanan pada bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


diberikan pada bayi baru lahir normal sampai usia 28 (dua puluh delapan)
hari.

Pasal 10
1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2)
meliputi:

A. Penyuluhan dan konseling


b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
d. Pertolongan persalinan normal
e. Pelayanan ibu nifas normal
2. Pelayanan kebidanann kepada bayi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat
(3) meliputi:
a. Pemeriksaan bayi baru lahir
b. Perawatan tali pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi pada bayi baru lahir
e. Pemberian imunisasi bayi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah; dan
f. Pemberian penyuluhan
Pasal 11
Bidan dalam memberikan pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8 huruf a berwenang untuk:
a. Memberikan imunisasi dalam rangka menjalankan tugas pemerintah
b. Bimbingan senam hamil
c. Episiotomi
d. Penjahitan luka episiotomi
e. Kompresi bimanual dalam rangka kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan
perujukan;
f. Pencegahan anemi
g. Inisiasi menyusui dini dan promosi air susu ibu eksklusif
h. Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
i. Penanganan hipotermi pada bayi baru lahir dan segera merujuk;
j. Pemberian minum dengan sonde/pipet
k. Pemberian obat bebas, uterotonika untuk postpartum dan manajemen aktif kala
iii;
l. Pemberian surat keterangan kelahiran
m. Pemberian surat keterangan hamil untuk keperluan cuti melahirkan
Pasal 12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b, berwenang untuk;
a. Memberikan alat kontrasepsi oral, suntikan dan alat kontrasepsi dalam rahim
dalam rangka menjalankan tugas pemerintah, dan kondom;
b. Memasang alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan kesehatan
pemerintah dengan supervisi dokter;
c. Memberikan penyuluhan/konseling pemilihan kontrasepsi
d. Melakukan pencabutan alat kontrasepsi dalam rahim di fasilitas pelayanan
kesehatan pemerintah; dan
e. Memberikan konseling dan tindakan pencegahan kepada perempuan pada masa
pranikah dan prahamil.
Pasal 13
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 huruf c, berwenang untuk:
a. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan bayi;
b. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas; dan
c. Melaksanakan deteksi dini, merujuk dan memberikan penyuluhan infeksi
menular seksual (ims), penyalahgunaan narkotika psikotropika dan zat adiktif
lainnya (napza) serta penyakit lainnya.
Pasal 14
1. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan
tidak ada dokter di tempat kejadian, bidan dapat melakukan pelayanan
kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.

2. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki


dokter, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah dapat melakukan
pelayanan kesehatan di luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal
8.

3. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota.

4. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat
dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.

Pasal 15
1. Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang
memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter

2. Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diseleenggarakan sesuai


dengan modul modul pelatihan yang ditetapkan oleh menteri.

3. Bidan yang lulus pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


memperoleh sertifikat.

Pasal 16
pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan
bidan dengan pendidikan diploma iii kebidanan atau bidan dengan pendidikan
diploma i kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.
Pasal 17
bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 18
1. Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
C. Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan
kelahirana dan kematian.
2.bidan dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan
profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.

Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang
sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau
keluarganya;
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar
pelayanan; dan
d. Menerima imbalan jasa profesi.
Permenkes ri no. 1464/menkes/sk/x/2010 tentang ijin dan penyelenggaraan
praktek bidan
Secara garis besar permenkes ri no. 1464 ini merupakan pembaruan dari
permenkes no.149, hanya beberapa perbedaan yaitu :
a. Pada pasal ii ayat 2 ditiadakan
b. Terdapat revisi pada pasal iii menjadi 3 ayat
1. Setiap bidan yang bekerja di fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan
wajibmemiliki sikb

2. Setiap bidan yang menjalankan praktek wajib memiliki sipb

3. Sikb dan sipb sebagaimana di maksud ayat 1 dan 2 berlaku untuk satu
tempat

a. Terdapat revisi pada pasal 4, 5


b. Pasal 8 pada permenkes ini masuk pada bab iii
c. Bab iii direvisi sampai dengan pasal 19

5) Tenaga Kefarmasian
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1027/Menkes/SK/IX/2004, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak melakukan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.
Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan
kefarmasian diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
2. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
3. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan;
4. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan
kefarmasian diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau
jasa yang berlaku;
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan
mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan atas
barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan;
6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/
atau jasa yang diperdagangkan; Selain itu, sebagai pelayanan
kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan
keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis
dalam resep dengan obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam
resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat
yang lebih tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi:
a. Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada
konsumen.
b. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan
masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang tanggungjawab
apoteker, apoteker diserahi tanggung jawab secara penuh dalam mengelola
Apotek, ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan
Apotek. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 berbunyi:
1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker
dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun
1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker
sebagaimana dimaksud ayat 1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana
dimaksud ayat 1 dan ayat 2 dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan
tanggung jawab seorang Dokter berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung
jawab yang berat dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker
dapat mengelola Apotek, Apoteker harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan
Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut terdapat dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1) dan (2).
Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara
tertulis di atas Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq,
Direktorat Jenderal dengan mencantumkan:
1. Nama dan alamat Apotek pemohon;
2. Nama Perguruan Tinggi tempat Apoteker dan Tanda Lulus sebagai
Apoteker;
3. Nomor dan tanggal Surat Izin Kerja;
4. Keterangan tempat kerja bagi mereka yang telah bekerja.
5. Surat Keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan
untuk mengelola Apotek, yang diberikan oleh Perguruan Tinggi atau
Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Pengelolaan Apotek yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal;
6. Pas foto ukuran 4 x 6.
Tugas dan fungsi Apotek terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 1980, dimana dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:
1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan;
2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;
3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat
yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

6) Tenaga Kesehatan Masyarakat


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014
TENTANG KEPERAWATAN BAB V PRAKTIK KEPERAWATAN Bagian
Kedua Tugas dan Wewenang
Pasal 30
(2) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang
upaya kesehatan masyarakat,
Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga
dan kelompok
masyarakat;
b. menetapkan permasalahan Keperawatan kesehatan masyarakat;
c. membantu penemuan kasus penyakit;
d. merencanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
e. melaksanakan tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
f. melakukan rujukan kasus;
g. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan kesehatan masyarakat;
h. melakukan pemberdayaan masyarakat;
i. melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
j. menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;
k. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;

7) Tenaga Kesehatan Lingkungan


Standard Profesi Sanitarian Sudah Dituangkan dalam Lampiran Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor: 373/Menkes/SK/III/2007 Tanggal : 27 Maret 2007
Tentang Standar Profesi Sanitarian. Pada tahun 2005 standard ini sebetulnya juga
telah ditetapkan oleh Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI)
dengan surat ketetapan nomor 03/MUNAS/V/2005. Penetapan standar ini antara
lain dilatar belakangi oleh kenyataan, bahwa tenaga Sanitarian / kesehatan
lingkungan harus siap bersaing dengan tuntutan perkembangan era globalisasi,
khususnya pada aspek ilmu pengetahuan dan teknologi. Sanitarian Indonesia
memangharus mampu berinteraksi bahkan bersaing dengan Sanitarian dari negara
lain, hal ini memang sebuah keniscayaan.

Secara prinisip sebetulnya tujuan penetapan standard profesi sanitarian ini


adalah sebagai pedoman bagi para ahli kesehatan lingkungan dalam melaksanakan
pekerjaannya sebagai tenaga kesehatan di bidang kesehatan lingkungan sesuai
dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Sanitarian di Indonesia sudah
diberikan batasan sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan lingkungan yang
memberikan perhatian terhadap aspek kesehatan lingkungan air, udara, tanah,
makanan dan vector penyakit pada kawasan perumahan, tempat-tempat umum,
tempat kerja, industri, transportasi dan matra. Sementara kualifikasi pendidikan
yang dipersyaratkan adalah lulusan Sekolah Pembantu Penilik Hygiene (SPPH),
Akademi Kontrolir Kesehatan (AKK), Akademi Penilik Kesehatan (APK),
Akademi Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi (APK-TS), Pendidikan Ahli
Madya Kesehatan Lingkungan (PAM-KL), atau lulusan Pendidikan Tinggi yang
menyelenggarakan Pendidikan Kesehatan Lingkungan.

Standard Kompetensi tenaga Sanitarian di Indonesia tersebut antara lain


sebagai berikut :

1. Peran Sebagai Pelaksana Kegiatan Kesehatan Lingkungan


Sebagai pelaksana kegiatan kesehatan lingkungan, Sanitarian mempunyai 4
(Empat) fungsi, antara lain :
a. Menentukan komponen lingkungan yang mempengaruhi kesehatan
manusia.
b. Melaksanakan pemeriksaan dan pengukuran komponen lingkungan secara
tepat berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan.
c. Menginformasikan hasil pemeriksaan/pengukuran.
d. Menetapkan penyimpangan hasil pemeriksaan terhadap standar baku mutu
sanitasi bersih.

2. Peran Sebagai Pengelola Kesehatan Lingkungan.


Sebagai pengelola kesehatan lingkungan, sanitarian mempunyai 5 (lima) fungsi.
a. Menganalisis hasil pengukuran komponen lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan lingkungan
b. Menginterprestasikan hasil pengukuran komponen lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan manusia.
c. Merancang dan merekayasa Penanggulangan masalah Lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan manusia.
d. Mengorganisir Penanggulangan masalah kesehatan lingkungan.
e. Mengevaluasi hasil Penanggulangan.

3. Peran Sebagai Pengajar, Pelatih dan Pemberdayaan Masyarakat.


Sebagai pengajar, pelatih dan pemberdayaan masyarakat, sanitarian mempunyai 5
(lima) fungsi.
a. Menginventarisasi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang
kesehatan lingkungan.
b. Menentukan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kesehatan
lingkungan yang perlu diintervensi.
c. Merencanakan bentuk intervensi perubahan pengetahuan, sikap dan
perilaku tentang kesehatan lingkungan.
d. Melaksanakan intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat yang tidak sesuai dengan kaidah kesehatan.
e. Mengevaluasi hasil intervensi

4. Peran Sebagai Peneliti Kesehatan Lingkungan


Sebagai peneliti, sanitarian mempunyai 2 (dua) fungsi.
a. Menentukan masalah kesehatan lingkungan.
b. Melaksanakan kegiatan penelitian teknologi tepat.

8) Tenaga Gizi
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 374/MENKES/SK/III/2007
TENTANG
STANDAR PROFESI GIZI
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
Bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Standar
Profesi bagi Tenaga Gizi dengan Keputusan Menteri Kesehatan;
PENGERTIAN
Profesi Gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan berdasarkan
suatu keilmuan (body of knowledge), memiliki kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan bersifat melayani
masyarakat.
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Penyusunan Standar Profesi Gizi sebagai landasan pengembangan profesi gizi di
Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai acuan bagi penyelenggaraan pendidikan gizi di Indonesia dalam rangka
menjaga mutu gizi.
b. Sebagai acuan perilaku gizi dalam mendarmabaktikan dirinya di masyarakat.
c. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan gizi yang profesional baik untuk
individu maupun kelompok.
d. Mencegah timbulnya malpraktek gizi.

PERAN
1. Ahli Gizi
a. Pelaku tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
b. Pengelola pelayanan gizi di masyarakat
c. Pengelola tatalaksana /asuhan/pelayanan gizi di RS
d. Pengelola sistem penyelenggaraan makanan Institusi /masal
e. Pendidik/Penyuluh/pelatih /konsultan gizi
f. Pelaksana penelitian gizi.
g. Pelaku pemasaran produk gizi dan kegiatan wirausaha.
h. Berpartisipasi bersama tim kesehatan dan tim lintas sektoral.
i. Pelaku praktek kegizian yang bekerja secara profesional dan etis.

KEWAJIBAN
A. KEWAJIBAN UMUM
1. Ahli Gizi berperan meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan serta berperan
dalam meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat
2. Ahli Gizi berkewajiban menjunjung tinggi nama baik profesi gizi dengan
menunjukkan sikap, perilaku, dan budi luhur serta tidak mementingkan diri
sendiri
3. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya menurut standar
profesi yang telah ditetapkan.
4. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya bersikap jujur, tulus
dan adil.
5. Ahli Gizi berkewajiban menjalankan profesinya berdasarkan prinsip keilmuan,
informasi terkini, dan dalam menginterpretasikan informasi hendaknya objektif
tanpa membedakan individu dan dapat menunjukkan sumber rujukan yang benar.
6. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa mengenal dan memahami keterbatasannya
sehingga dapat bekerjasama dengan pihak lain atau membuat rujukan bila
diperlukan.
7. Ahli Gizi dalam melakukan profesinya mengutamakan kepentingan masyarakat
dan berkewajiban senantiasa berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenarnya.
8. Ahli Gizi dalam berkerjasama dengan para profesional lain di bidang kesehatan
maupun lainnya berkewajiban senantiasa memelihara pengertian yang sebaik-
baiknya.
B. KEWAJIBAN TERHADAP KLIEN
1. Ahli Gizi berkewajiban sepanjang waktu senantiasa berusaha memelihara dan
meningkatkan status gizi klien baik dalam lingkup institusi pelayanan gizi atau di
masyarakat umum.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjaga kerahasiaan klien atau masyarakat
yang dilayaninya baik pada saat klien masih atau sudah tidak dalam
pelayanannya, bahkan juga setelah klien meninggal dunia kecuali bila diperlukan
untuk keperluan kesaksian hukum.
3. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya senantiasa menghormati
dan menghargai kebutuhan unik setiap klien yang dilayani dan peka terhadap
perbedaan budaya, dan tidak melakukan diskriminasi dalam hal suku, agama, ras,
status sosial, jenis kelamin, usia dan tidak menunjukkan pelecehan seksual.
4. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memberikan pelayanan gizi prima, cepat,
dan akurat.
5. Ahli Gizi berkewajiban memberikan informasi kepada klien dengan tepat dan
jelas, sehingga memungkinkan klien mengerti dan mau memutuskan sendiri
berdasarkan informasi tersebut.
6. Ahli Gizi dalam melakukan tugasnya, apabila mengalami keraguan dalam
memberikan pelayanan berkewajiban senantiasa berkonsultasi dan merujuk
kepada ahli gizi lain yang mempunyai keahlian.
C. KEWAJIBAN TERHADAP MASYARAKAT
1. Ahli Gizi berkewajiban melindungi masyarakat umum khususnya tentang
penyalahgunaan pelayanan, informasi yang salah dan praktek yang tidak etis
berkaitan dengan gizi, pangan termasuk makanan dan terapi gizi/diet. ahli gizi
hendaknya senantiasa memberikan pelayanannya sesuai dengan informasi faktual,
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Ahli Gizi senantiasa melakukan kegiatan pengawasan pangan dan gizi sehingga
dapat mencegah masalah gizi di masyarakat.
3. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa peka terhadap status gizi masyarakat untuk
mencegah terjadinya masalah gizi dan meningkatkan status gizi masyarakat.
4. Ahli Gizi berkewajiban memberi contoh hidup sehat dengan pola makan dan
aktifitas fisik yang seimbang sesuai dengan nilai paktek gizi individu yang baik.
5. Dalam bekerja sama dengan profesional lain di masyarakat, Ahli
Gizi berkewajiban hendaknya senantiasa berusaha memberikan
dorongan, dukungan, inisiatif, dan bantuan lain dengan sungguh-sungguh
demi tercapainya status gizi dan kesehatan optimal di masyarakat.
6. Ahli Gizi dalam mempromosikan atau mengesahkan produk makanan tertentu
berkewajiban senantiasa tidak dengan cara yang salah atau, menyebabkan salah
interpretasi atau menyesatkan masyarakat
D. KEWAJIBAN TERHADAP TEMAN SEPROFESI DAN MITRA KERJA
1. Ahli Gizi dalam bekerja melakukan promosi gizi, memelihara
dan meningkatkan status gizi masyarakat secara optimal, berkewajiban senantiasa
bekerjasama dan menghargai berbagai disiplin ilmu sebagai mitra kerja di
masyarakat.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memelihara hubungan persahabatan yang
harmonis dengan semua organisasi atau disiplin ilmu/profesional yang terkait
dalam upaya meningkatkan status gizi, kesehatan, kecerdasan dan kesejahteraan
rakyat.
3. Ahli Gizi berkewajiban selalu menyebarluaskan ilmu pengetahuan
dan keterampilan terbaru kepada sesama profesi dan mitra kerja.
E. KEWAJIBAN TERHADAP PROFESI DAN DIRI SENDIRI
1. Ahli Gizi berkewajiban mentaati, melindungi dan menjunjung tinggi ketentuan
yang dicanangkan oleh profesi.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memajukan dan memperkaya pengetahuan
dan keahlian yang diperlukan dalam menjalankan profesinya sesuai
perkembangan ilmu dan teknologi terkini serta peka terhadap perubahan
lingkungan.
3. Ahli Gizi harus menunjukan sikap percaya diri, berpengetahuan luas, dan berani
mengemukakan pendapat serta senantiasa menunjukan kerendahan hati dan mau
menerima pendapat orang lain yang benar.
4. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya berkewajiban untuk tidak boleh
dipengaruhi oleh kepentingan pribadi termasuk menerima uang selain imbalan
yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan pengetahuan
klien/masyarakat (tempat dimana ahli gizi diperkerjakan).
5. Ahli Gizi berkewajiban tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum, dan
memaksa orang lain untuk melawan hukum.
6. Ahli Gizi berkewajiban memelihara kesehatan dan keadaan gizinya agar dapat
bekerja dengan baik.
7. Ahli Gizi berkewajiban melayani masyarakat umum tanpa
memandang keuntungan perseorangan atau kebesaran seseorang.
8. Ahli Gizi berkewajiban selalu menjaga nama baik profesi dan mengharumkan
organisasi profesi.
F. PENETAPAN PELANGGARAN
Pelanggaran terhadap ketentuan kode etik ini diatur tersendiri dalam Majelis
Kode Etik Persatuan Ahli Gizi Indonesia

9) Tenaga Keterapian Fisik

Tenaga keterapian fisik terdiri atas fisioterapis, okupasi terapis, terapis


wicara, dan akupunktur.

1. Fisioterapi

Merupakan ilmu yang menitikberatkan untuk menstabilkan atau


memperbaiki gangguan fungsi alat gerak/fungsi tubuh yang terganggu yang
kemudian diikuti dengan proses/metode terapi gerak. Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.778 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pelayanan Fisioterapi di Sarana Kesehatan, fisioterapi adalah suatu pelayanan
kesehatan yang ditujukan untuk individu dan atau kelompok dalam upaya
mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi sepanjang
daur kehidupan dengan menggunakan modalitas fisik, agen fisik, mekanis,
gerak, dan komunikasi. Fisioterapi dapat melatih pasien
dengan olahraga khusus, penguluran dan bermacam-macam teknik dan
menggunakan beberapa alat khusus untuk mengatasi masalah yang dihadapi
pasien yang tidak dapat diatasi dengan latihan–latihan fisioterapi.

Orang yang menjalankan pelayanan Fisioterapi disebut Fisioterapis.


Fisioterapis adalah seseorang yang telah lulus pendidikan fisioterapi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dimensi Pelayanan Fisioterapi meliputi upaya peningkatan kesehatan,


pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan gangguan sistem gerak
dan fungsi dalam rentang kehidupan dari praseminasi sampai ajal, yang terdiri
dari upaya-upaya:

a. Peningkatan dan pencegahan (promotif dan preventif), Pelayanan


fisioterapi dapat dilakukan pada pusat kebugaran, pusat kesehatan kerja,
sekolah, kantor, pusat panti usia lanjut, pusat olahraga, tempat
kerja/industri dan pada pusat-pusat pelayanan umum.

b. Penyembuhan dan pemulihan (Kuratif dan Rehabilitatif),


pelayanan fisioterapi dapat dilakukan pada rumah sakit, rumah perawatan,
panti asuhan, pusat rehabilitasi, tempat praktik, klinik privat, klinik rawat
jalan, puskesmas, rumah tempat tinggal, pusat pendidikan dan penelitian.

Berdasarkan ruang lingkup pelayanan fisioterapi dan tuntutan kebutuhan


masyarakat, dibagi menjadi:

a) Fisioterapi Kesehatan Wanita

b) Fisioterapi Tumbuh Kembang Anak

c) Fisioterapi Kesehatan dan Keselamatan Kerja

d) Fisioterapi Usia Lanjut

e) Fisioterapi Olahraga

f) Fisioterapi Kesehatan Masyarakat

g) Fisioterapi Pelayanan Medik: pengembangan pelayanan fisioterapi


pelayanan medik didasari pada spesifikasi problem kesehatan pasien,
seperti fisioterapi Muskuloskeletal (penyembuhan dan pemulihan
gangguan anggota gerak tubuh terdiri dari otot, tulang, sendi, jaringan
ikat), Fisioterapi Kardiovaskulopulmonal (penyembuhan dan pemulihan
pada gangguan jantung, pembuluh darah, dan paru), Fisioterapi
Neuromuskular (penyembuhan dan pemulihan pada gangguan sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi), Fisioterapi Integument (penyembuhan dan
pemulihan pada kecacatan fisik dan kulit).

Fisioterapi dalam melaksanakan praktik fisioterapi berwenang untuk


melakukan:

a. Asesment Fisioterapi;

b. Diagnosa Fisioterapi;

c. Perencanaan Fisioterapi;

d. Intervensi Fisioterapi;

e. Evaluasi/re-evaluasi/re-asesmen.

Fisioterapi dapat melaksanakan praktik Fisioterapi pada saranan kesehatan,


praktik perseorangan dan/atau berkelompok. Fisioterapi dalam melakukan
praktik Fisioterapi dapat menerima pasien/klien dengan atau tanpa rujukan.

Ada berbagai macam jenjang pendidikan Fisioterapi di Indonesia saat ini


yaitu: D3, D4 dan S1+Pendidikan Profesi, gelar pendidikan Fisioterapi di
Indonesia adalah: D3 (A.Md.Ft atau A.Md.Fis), D4 (S.St.Ft) S1 (S.Ft atau
S.Fis) dan gelar pendidikan profesi Fisioterapi disebut dengan "Fisioterapis
(Ftr)".

2. Terapi Okupasi

Adalah bentuk layanan kesehatan kepada masyarakat atau pasien yang


mengalami gangguan fisik dan atau mental dengan menggunakan
latihan/aktivitas mengerjakan sasaran yang terseleksi(okupasi) untuk
meningkatkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan sehari-
hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.Tujuan utama dari Okupasi
Terapi adalah memungkinkan individu untuk berperan serta dalam aktivitas
keseharian. Okupasi terapis mencapai tujuan ini melalui kerja sama dengan
kelompok dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk
terlibat dalam aktivitas yang mereka inginkan, butuhkan, atau harapkan
untuk dikerjakan, serta dengan mengubah aktivitas atau lingkungan yang
lebih baik untuk mendukung keterlibatan dalam aktivitas.

Dalam memberikan pelayanan kepada individu , okupasi terapi memerhatikan aset


(kemampuan) dan limitasi (keterbatasan) yang dimiliki individu, dengan memberikan
aktivitas yang purposeful (bertujuan) dan meaningful (bermakna). Dengan demikian
diharapkan individu tersebut dapat mencapai kemandirian dalam aktivitas produktivitas
(pekerjaan/pendidikan), kemampuan perawatan diri (self care), dan kemampuan
penggunaan waktu luang (leisure).

3. Terapis wicara

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2013 tentang


Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Terapis Wicara (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 719);

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG


STANDAR PELAYANAN TERAPI WICARA. Pasal 1 . . . - 2 - Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini yang dimaksud dengan: 1. Standar
Pelayanan Terapi Wicara adalah pedoman yang diikuti oleh terapis wicara
dalam melakukan pelayanan kesehatan. 2. Terapi Wicara adalah bentuk
pelayanan kesehatan profesional berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi
dalam bidang bahasa, wicara, suara, irama/kelancaran (komunikasi), dan
menelan yang ditujukan kepada individu, keluarga dan/atau kelompok untuk
meningkatkan upaya kesehatan yang di akibatkan oleh adanya
gangguan/kelainan anatomis, fisiologis, psikologis dan sosiologis. 3. Terapis
Wicara adalah seseorang yang telah lulus pendidikan Terapi Wicara sesuai
dengan peraturan perundang undangan. 4. Fasilitas Pelayanan Kesehatan
adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif
yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
5. Klien adalah individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sosial yang
mendapatkan pelayanan terapi wicara. 6. Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. 7. Organisasi
profesi adalah Ikatan Terapi Wicara Indonesia (IKATWI). Pasal 2
Pengaturan standar pelayanan Terapi Wicara bertujuan untuk: a.
memberikan acuan bagi penyelenggaraan pelayanan Terapi Wicara yang
bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan; b. memberikan acuan dalam
pengembangan pelayanan Terapi Wicara di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
c. memberikan kepastian hukum bagi Terapis Wicara; dan d. melindungi
klien dan masyarakat sebagai penerima pelayanan. Pasal 3 (1) Standar
pelayanan Terapi Wicara meliputi bidang garap pelayanan serta proses dan
alur pelayanan. (2) Standar . . . - 3 - (2) Standar pelayanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus diterapkan dalam pemberian pelayanan
kepada klien pada semua kasus. (3) Penatalaksanaan pada masing-masing
kasus disusun oleh Organisasi Profesi dan disahkan oleh Menteri. (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar pelayanan Terapi Wicara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1)
Terapis Wicara harus mematuhi standar pelayanan Terapi Wicara. (2)
Modifikasi terhadap standar pelayanan Terapi Wicara hanya dapat dilakukan
atas dasar keadaan yang memaksa untuk kepentingan klien, antara lain
keadaan khusus klien, kedaruratan, dan keterbatasan sumber daya. (3)
Modifikasi terhadap standar pelayanan Terapi Wicara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dicatat dalam dokumentasi Terapi Wicara
yang merupakan satu kesatuan dengan rekam medis. Pasal 5 (1) Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota, bersama Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan Organisasi Profesi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan standar pelayanan Terapi Wicara sesuai dengan kewenangan
masing-masing. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan untuk: a. meningkatkan mutu pelayanan Terapi
Wicara; dan b. mengembangkan pelayanan Terapi Wicara yang efisien dan
efektif. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan melalui: a. advokasi dan sosialisasi; b. pendidikan dan
pelatihan; dan/atau c. pemantauan dan evaluasi. (4) Pengawasan . . . - 4 - (4)
Pengawasan terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Terapi Wicara sesuai
dengan ketentuan Peraturan Menteri ini dan ketentuan peraturan perundang-
undangan terkait dilaksanakan oleh instansi dan/atau petugas yang
berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

TUJUAN PELAYANAN 1. Menyelenggarakan pelayanan terapi wicara


yang meliputi ganggguan komunikasi (bahasa, wicara, suara,
irama/kelancaran) dan gangguan menelan yang bersifat promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif di fasilitas pelayanan kesehatan dan praktik mandiri.
2. Mengelola manajemen pelayanan terapi wicara di fasilitas pelayanan
kesehatan dan praktik mandiri 3. Mengembangkan secara dinamis sesuai
kebutuhan klien, IPTEK dalam pelayanan terapi wicara di fasilitas
pelayanan kesehatan dan praktik mandiri. 4. Melakukan dan
mengembangkan kerjasama dengan tenaga kesehatan atau ahli lain, institusi
pendidikan dan lintas sektoral yang terkait dalam Pelayanan terapi wicara di
fasilitas pelayanan kesehatan dan praktik mandiri. 5. Mengembangkan
pelayanan spesialisasi (peminatan) sesuai dengan kebutuhan institusi
pelayanan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

4. Terapis akupuntur

Dasar hukum dan perundangan Indonesia yang terkait dengan akupunktur


adalah sebagai berikut :

1. Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI. 037/BIRHUB/1973


tentang Wajib Daftar Akupunktur
2. Surat Keputusan Mentri Kesehatan RI.
0854/PERMENKES/VIII/1994
tentang sentra Pengembangan danPenerapan Pongobatan Tradisional
3. Peraturan Menteri Kesehatan yang dituangkan dalam Permenkes
No.1186/MENKES/PER/XI/1996 tentang Pemanfaatan Akupunktur di
Sarana Pelayanan Kesehatan.
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1076/MENKES/SK/VII/2003
tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional.
5. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1277/MENKES/SK/VIII/2003
tentang Tenaga Akupunktur.
6. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1192/MENKES/PER/X/2004
tentang Pendirian Diploma Bidang Kesehatan.
7. UU Republik Indonesia Nomor. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Ke
dokteran.

10) Tenaga Keteknisan Medis


Menurut PP no. 32 tahun 1996, tenaga keteknisian medis meliputi radiografer,
radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis
optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
1. Radiografer
Menurut KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 375/MENKES/SK/III/2007 TENTANG STANDAR PROFESI
RADIOGRAFER MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA :
Radiofgrafer adalah tenaga kesehatan yang diberi tugas, wewenang dan
tanggung jawab oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan
radiografi dan imejing di unit Pelayanan Kesehatan. Radiografer merupakan
tenaga kesehatan yang memberi kontribusi bidang radiografi dan imejing
dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Secara umum tugas
dan tanggung jawab Radiografer, adalah :
a. Melakukan pemeriksaan pasien secara radiografi meliputi
pemeriksaan untuk radiodiagnostik dan imejing termasuk kedokteran
nuklir dan ultra sonografi (USG)
b. Melakukan teknik penyinaran radiasi pada radioterapi.
c. Menjamin terlaksananya penyelenggaraan pelayanan kesehatan
bidang radiologi / radiografi sebatas kewenangan dan tanggung jawabnya.
d. Menjamin akurasi dan keamanan tindakan poteksi radiasi dalam
mengoperasikan peralatan radiologi dan atau sumber radiasi.
e. Melakukan tindakan Jaminan Mutu peralatan radiografi.
2. Teknisi Gigi
Menurut KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 372/MENKES/SK/III/2007 TENTANG STANDAR PROFESI
TEKNISI GIGI MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA :
Teknisi Gigi adalah seseorang yang telah mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan akademik, dan pendidikan profesi dalam bidang teknik gigi sesuai
degan peraturan yang berlaku, mempunyai tugas, tanggung jawab, dan
wewenang dalam bidang pelayanan teknik gigi baik di masyarakat, individu
atau rumah sakit.
Tugas Pokok dan Fungsi Teknisi Gigi :
Tugas pokok teknisi gigi adalah melaksanakan pelayanan laboratorium teknisi
gigi yang meliputi bidang pembuatan prothesa cekat, prothesa lepasan, alat
orthodontie dan prothesa maxillo facial. Selain tugas pokok, teknisi gigi
mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. Menentukan komponen teknisi gigi yang mempengaruhi kesehatan
manusia
b. Melaksanakan praktek teknisi gigi dengan komponen-komponen
teknisi secara tepat berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan
c. Menginformasikan hasil dari penelitian praktek teknis gigi
d. Menetapkan penyimpanan data dan hasil praktek teknisi gigi
terhadap standar praktek teknisi gigi
e. Menganalisis hasil layanan praktek teknisi gigi yang
mempengaruhi kesehatan masyarakat
f. Menginterprestasikan hasil praktek teknisi gigi yang
mempengaruhi kesehatan manusia
g. Merancang dan mengevaluasi praktek teknisi gigi yang
mempengaruhi kesehatan manusia
h. Mengorganisir penanggulangan masalah teknisi gigi
i. Mengevaluasi hasil penanggulangan
j. Menginventarisir pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
tentang keteknisian gigi
k. Menentukan pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang keteknisian
gigi yang perlu diintervensi
l. Merencanakan bentuk intervensi, perubahan pengetahuan, sikap
dan perilaku tentang keteknisian gigi
m. Melaksanakan intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat yang tidak sesuai dengan kaidah kesehatan
n. Mengevaluasi hasil intervensi
o. Menentukan masalah keteknisian gigi
p. Melaksanakan kegiatan penelitian teknologi teknik gigi
3. Teknisi Elektromedis
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Kepala Badan Kepegawaian
Negara Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2013 Tentang Jabatan Fungsional Teknisi Elektromedis dan Angka
Kreditnya.
Bab II Bagian Kesatu Kedudukan Pasal 2 : Teknisi Eiektromedis
berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang pelayanan
pengelolaan alat elektromedik pada fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
Bab II Bagian Kedua Tugas Pokok Pasal 3 : Tugas pokok Teknisi
Elektromedis yakni melakukan kegiatan pelayanan pengelolaan alat
elektromedik yang meliputi persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan dan
evaluasi.
4. Analisis Kesehatan
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2015 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Ahli Teknologi Laboratorium
Medik.
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1: Ahli Teknologi Laboratorium Medik adalah
setiap orang yang telah lulus pendidikan Teknologi Laboratorium Medik atau
analis kesehatan atau analis medis dan memiliki kompetensi melakukan
analisis terhadap cairan dan jaringan tubuh manusia untuk menghasilkan
informasi tentang kesehatan perseorangan dan masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bab III Penyelenggaraan Praktik Ahli Teknologi Laboratorium Medik Pasal 14
:
5. Ahli Madya Teknologi Laboratorium Medik dalam menyelenggarakan
atau menjalankan praktik di bidang pelayanan kesehatan di Laboratorium
pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan mempunyai kewenangan:
a. mempersiapkan pasien untuk pemeriksaan di laboratorium;
b. melakukan pengambilan dan penanganan spesimen darah serta
penanganan cairan dan jaringan tubuh lainnya;
c. mempersiapkan, memilih serta menguji kualitas bahan/reagensia;
d. mempersiapkan, memilih, menggunakan, memelihara,
mengkalibrasi, serta menangani secara sederhana alat laboratorium;
e. memilih dan menggunakan metoda pemeriksaan;
f. melakukan pemeriksaan dalam bidang hematologi, kimia klinik,
imunologi, imunohematologi, mikrobiologi, parasitologi, mikologi,
virologi, toksikologi, histoteknologi, sitoteknologi;
g. mengerjakan prosedur dalam pemantapan mutu;
h. membuat laporan hasil pemeriksaan laboratorium;
i. melakukan verifikasi terhadap proses pemeriksaan laboratorium;
j. menilai normal tidaknya hasil pemeriksaan untuk dikonsultasikan
kepada yang berwenang;
k. melaksanakan kegiatan kesehatan dan keselamatan kerja di
laboratorium; dan
l. memberikan informasi hasil pemeriksaan laboratorium secara
analitis.
Selain berwenang melaksanakan praktik Ahli Madya Teknologi Laboratorium
Medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sarjana Terapan Teknologi
Laboratorium Medik berwenang;
a. mempersiapkan pasien untuk pemeriksaan laboratorium khusus
dan canggih;
b. melakukan pengambilan, penanganan serta menilai kualitas
spesimen laboratorium untuk pemeriksaan khusus dan canggih;
c. mendeteksi secara dini bila muncul penyimpangan dalam proses
pemeriksaan di laboratorium;
d. menilai hasil pengujian kelaikan alat, metoda, dan bahan/reagensia
(yang sudah ada dan baru);
e. melakukan pemeriksaan dalam bidang: kimia klinik (hematologi,
biokimia klinik, imunologi, imunohematologi), mikrobiologi
(bakteriologi, parasitologi, mikologi, virologi), diagnostik molekuler,
biologi kedokteran, histoteknologi, sitoteknologi, sitogenetik dan
toksikologi klinik sesuai bidang keahliannya;
f. membuat laporan hasil pemeriksaan laboratorum sesuai bidang
keahliannya;
g. melakukan validasi secara analitis terhadap hasil pemeriksaan
laboratorium;
h. merencanakan, mengevaluasi, dan menindaklanjuti program
pemantapan mutu laboratorium (internal dan eksternal);
i. merencanakan dan mengevaluasi program kesehatan dan
keselamatan kerja di laboratorium;
j. merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program
standardisasi laboratorium;
k. memberikan informasi secara analitis hasil pemeriksaan
laboratorium khusus dan canggih;
l. membantu klinisi dalam pemanfaatan data laboratorium secara
efektif dan efisien;
m. merencanakan, melaksanakan, mengatur dan mengevaluasi
kegiatan laboratorium;
n. membimbing dan membina ahli madya teknologi laboratorium
medik dalam bidang teknik kelaboratoriuman.
Pasal 17 :
Dalam menyelenggarakan atau menjalankan praktik di bidang pelayanan
kesehatan, Ahli Teknologi Laboratorium Medik mempunyai hak:
a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar
Prosedur Operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima
Pelayanan Kesehatan atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa dan/atau tunjangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral,
kesusilaan, serta nilai-nilai agama;
e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain
yang bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan,
Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-
undangan; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
Pasal 18 :

Dalam menyelenggarakan atau menjalankan praktik di bidang pelayanan


kesehatan, Ahli Teknologi Laboratorium Medik mempunyai kewajiban:

a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi,


Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika
profesi serta kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
b. memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau
keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
c. menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
d. membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang
pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
e. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke tenaga kesehatan lain
yang mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.

6. Otorik Prostetik
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2015 Tentang Standar Pealayanan Ortotik Prostetik Pasal 1 :
Ortotik Prostetik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Ortotis
Prostetis dalam hal alat bantu kesehatan berupa ortosis maupun Prostesis
untuk kesehatan fisik dan psikis berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk meningkatkan derajat kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat
yang diakibatkan oleh adanya gangguan fungsi anggota tubuh dan trunk
(batang tubuh) serta hilangnya bagian anggota gerak tubuh yang dapat
mengakibatkan gangguan/kelainan anatomis, fisiologis, psikologis, dan
sosiologis.
7. Rekam Medis
Undang-Undang Kesehatan No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
diatur tentang rekam medis di mana rekam medis memiliki peran yang sangat
penting dalam bidang kedokteran.Rekam medis diakui merupakan salah satu
alat bukti sah, dengan catatan berbentuk surat atau tertulis maupun juga dalam
bentuk elektronik. selanjutnya hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan dari ketentuan Pasal 13 Permenkes. Selanjutnya Rekam medis ini
mendapatkan pengaturan yang lebih kuat lagi yaitu melalui peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No 749.a/Menkes/per/XXI/1989 tentang rekam
medis (medical record). Pasal 1 huruf a tersebut menyebutkan bahwa, rekam
medis memiliki pengertian sebagai berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dalam
pelayanan lain pada pasien, pada sarana pelayanan kesehatan.

11) Tenaga Teknik Biomedika

PERAN tentang tenaga kesehatan menurut uud no 36 tahun 2014 :


a. Tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat
mampu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat sehingga akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomi serta sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undatrg Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam
bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakal
melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan
berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau
oleh masyarakat;
Tanggung Jawab tentang tenaga kesehatan menurut uud no 36 tahun 2014:
Penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan
kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertihkasi, registrasi, perizinan, serta
pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan
memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan;
bahwa untuk memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan setiap individu dan
masyarakat, untuk memeratakan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat,
dan untuk memberikan pelindungan serta kepastian hukum kepada tenaga
kesehatan dan masyarakat penerima upaya pelayanan kesehatan, perlu pengaturan
mengenai tenaga kesehatan terkait dengan perencanaan kebutuhan, pengadaan,
pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan;

Fungsi tenaga kesehatan


Dalam menjalan kan perannya, tenaga kesehatan akan melaksanakan berbagai
fungsi diantaranya:
a. Fungsi Independent
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana
tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri
dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis
(pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan aktifitas dan
lain-lain), pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan, pemenuhan
cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.
b. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi dalam melaksanakan kegiatan atas pesan atau instruksidari
tenaga kesehatan lain. Sehingga sebagian tindakan pelimpahan tugas yang di
berikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh tenaga kesehatan spesialis kepada
tenaga kesehatan umum atau dari tenaga kesehatan primer ke tenaga
kesehatan pelaksana.
c. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan
di antara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk
pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti
dalam memberikan asuhan tenaga kesehatan pada penderita yang
mempunyapenyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim
tenaga kesehatan saja melainkan juga dari dokter ataupun yang lainnya.

12) Tenaga Kesehatan Tradisional


Jenis pelayanan kesehatan tradisional meliputi :
a. Pelayanan kesehatan tradisional empiris adalah penerapan
kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara
empiris
b. Pelayanan kesehatan tradisional komplementer adalah penerapan
kesehatan tradisional yang memanfaatkan ilmu biomedis dan biokultural
dalam penjelasannya serta manfaat dan keamanannya terbukti secara
ilmiah
c. Pelayanan kesehatan tradisional intergrasi adalah suatu bentuk
pelayanan kesehatan yang mengombinasikan pelayanan kesehatan
konvensional dengan pelayanan kesehatan tradisional komplementer, baik
bersikap sebagai pelengkap atau pengganti
Fasilitas pelayanan kesehatan tradisional adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pengobatan/perawatan pelayanan
kesehatan tradisional komplementer.
Peran petugas kesehatan tradisonal
a. Pasal 17 Ayat 1

Pelayanan kesehatan tradisional empiris diberikan oleh penyehat


tradisional dalam rangka upaya promotif dan preventif

b. Pasal 19 ayat 1

Pelayanan kesehatan tradisional komplementer diberikan oleh tenaga


kesehatan tradisional dalam rangka upaya promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif

Tanggung jawab pelayanan kesehatan tradisional

Tanggung jawab hukum merupakan suatu keadaan wajib menanggung segala


sesuatu apabila terjadi kesalahan dapat di tuntut, persalahkan,diperkarakan dll

Tanggung jawab hukum menurut UUD No 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

Tanggung jawab pelaku pengobatan tradisional yaitu, kewajiban yang harus


dilakukan oleh pelaku kesehatan tradisional ketika konsumen menderita
kerugian setelah mengkonsumsi produk,jasa atau barang yang ditawarkan dan
menggati kerugian.

Kewajiban pemberi pelayanan kesehatan tradisional


Pasal 28 ayat 2
a. Memberi pelayanan yang aman dan bermanfaat bagi kesehatan,
tidak membahayakan jiwa atau melanggar susila, kaidah agama, dan
kepercayaa terhadap tuhan yang maha esa, tidak bertentangan dengan
norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat serta tidak bertentangan
dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
b. Memberikan informasi yang jelas dan tepat kepada klien tentang
perawatan pelayanan kesehatan tradisional empiris yang dilakukan
c. Menggunakan alat yang aman bagi kesehatan dan sesuai dengan
metode/ keilmuannya
d. Menyimpan rahasia kesehatan klien
e. Membuat catatan status kesehatan klien

Anda mungkin juga menyukai