Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Inter Professional
Education (IPE)
Oleh :
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
GARUT
2018
Peran dan Tanggung Jawab Masing-Masing Profesi Sesuai dengan Aturan
Perundang-undangan
1) Tenaga Medis
3) Tenaga Keperawatan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014
TENTANG KEPERAWATAN
BAB V PRAKTIK KEPERAWATAN Bagian Kedua Tugas dan Wewenang
Pasal 29
Pasal 30
(1) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang
upaya kesehatan perorangan,
Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;
b. menetapkan diagnosis Keperawatan;
c. merencanakan tindakan Keperawatan;
d. melaksanakan tindakan Keperawatan;
e. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f. melakukan rujukan;
g. memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h. memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i. melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan
j. melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep
tenaga medis atau
obat bebas dan obat bebas terbatas.
4) Tenaga Kebidanan
Perundang-undangan yang melandasi tugas, praktik dan fungsi bidan :
Pasal 15
1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil dan
atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
(2) permohonan
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan melampirkan persyaratan,
antara lain
Meliputi:
a. Fotokopi sib yang masih berlaku;
b. Fotokopi ijazah bidan;
c. Surat persetujuan atasan, bila dalam pelaksanaan masa bakti atau sebagai
pegawai negeri atau
b. Pegawai pada sarana kesehatan.
a. Surat keterangan sehat dari dokter;
b. Rekomendasi dari organisasi profesi;
c. Pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) rekomendasi yang diberikan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e, setelah
Terlebih dahulu dilakukan penilaian kemampuan keilmuan dan keterampilan,
kepatuhan terhadap
Kode etik profesi serta kesanggupan melakukan praktik bidan.
Pasal 11
(1) sipb berlaku sepanjang sib belum habis masa berlakunya dan dapat
diperbaharui kembali.
(2) pembaharuan sipb sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
kepala dinas kesehatan
Kabupaten/kota setempat dengan melampirkan :
a. Fotokopi sib yang masih berlaku;
b. Fotokopi sipb yang lama;
c. Surat keterangan sehat dari dokter;
d. Pas foto 4 x 6 cm sebanyak 2(dua) lembar;
e. Rekomendasi dari organisasi profesi;
Pasal 12
Bidan pegawai tidak tetap dalam rangka pelaksanaan masa bakti tidak
memerlukan sipb.
Pasal 13
Setiap bidan yang menjalankan praktik berkewajiban meningkatkan kemampuan
Keilmuan dan/atau keterampilannya melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
Bab v
Praktik bidan
Pasal 14
Bidan dalam menjalankan praktiknya berwenang untuk memberikan pelayanan
Yang meliputi :
a. Pelayanan kebidanan;
b. Pelayanan keluarga berencana;
c. Pelayanan kesehatan masyarakat.
Pasal 15
(1) pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf a ditujukan
kepada ibu dan anak.
(2) pelayanan
Kepada ibu diberikan pada masa pranikah, prahamil, masa kehamilan, masa
persalinan, masa nifas,
Menyusui dan masa antara (periode interval).
(3) pelayanan kebidanan kepada anak diberikan pada masa bayi baru lahir, masa
bayi, masa anak balita
Dan masa pra sekolah.
Bab lain dalam peraturan pemerintah ini, mengacu ke pada dua bab tersebut,
kedua bab ini memberi gambaran umum mengenai ketentuan praktik bidan dan
bab lain yang tidak si sebutkan disini melengkapi atau menjabarkan hal-hal umum
tersebut.
Pasal 4
1. Sipb sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dikeluarkan oleh
pemerintah daerah kabupaten/ kota
Pasal 5
1. Untuk memperoleh sipb sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, bidan
harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota
dengan melampirkan:
a. Fotocopi str yang masih berlaku dan dilegalisir
b. Surat keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki surat izin
praktik;
c. Surat pernyataan memiliki tempat praktik
d. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 4×6 sebanyak 3 (tiga ) lembar;
dan
e. Rekomendasi dari organisasi profesi
2. Surat permohonan memperoleh sipb sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sebagaimana tercantum dalam formulir i (terlampir)
3. Sipb sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk 1 (satu)
tempat praktik
Pasal 6
1. Bidan dalam menjalankan praktik mandiri harus memenuhi persyaratan
meliputi tempat praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan
Pasal 7
sipb dinyatakan tidak berlaku karena:
1. Tempat praktik tidak sesuai lagi dengan sipb
2. Masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang
3. Dicabut atas perintanh pengadilan
4. Dicabut atas rekomendasi organisasi profesi
5. Yang bersangkutan meninggal dunia
Bab iii penyelenggaraan praktik
Pasal 8
bidan dalam menjalankan praktik berwenang untuk memberikan pelayanan
meliputi:
a. Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan reproduksi perempuan; dan
c. Pelayanan kesehatan masyarakat
Pasal 9
a. Pelayanan kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a
ditujukan kepada ibu dan bayi
Pasal 10
1. Pelayanan kebidanan kepada ibu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2)
meliputi:
3. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota.
4. Dalam hal daearah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah terdapat
dokter, kewenangan bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku.
Pasal 15
1. Pemerintah daerah menyelenggarakan pelatihan bagi bidan yang
memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter
Pasal 16
pada daerah yang tidak memiliki dokter, pemerintah daerah hanya menempatkan
bidan dengan pendidikan diploma iii kebidanan atau bidan dengan pendidikan
diploma i kebidanan yang telah mengikuti pelatihan.
Pasal 17
bidan dalam menjalankan praktik harus membantu program pemerintah dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasal 18
1. Dalam menjalankan praktik, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dengan tepat waktu.
C. Menyimpan rahasia kedokteran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang
dibutuhkan;
e. Meminta persetujuan tindakan kebidanan yang akan dilakukan;
f. Melakukan pencatatan asuhan kebidanan secara sistematis;
g. Mematuhi standar; dan
h. Melakukan pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan
kelahirana dan kematian.
2.bidan dalam menjalankan praktik senantiasa meningkatkan mutu pelayanan
profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik, bidan mempunyai hak:
a. Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan praktik sepanjang
sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan;
b. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari pasien dan/ atau
keluarganya;
c. Melaksanakan tugas sesuai dengan kewenangan, standar profesi dan standar
pelayanan; dan
d. Menerima imbalan jasa profesi.
Permenkes ri no. 1464/menkes/sk/x/2010 tentang ijin dan penyelenggaraan
praktek bidan
Secara garis besar permenkes ri no. 1464 ini merupakan pembaruan dari
permenkes no.149, hanya beberapa perbedaan yaitu :
a. Pada pasal ii ayat 2 ditiadakan
b. Terdapat revisi pada pasal iii menjadi 3 ayat
1. Setiap bidan yang bekerja di fasilitas kesehatan pelayanan kesehatan
wajibmemiliki sikb
3. Sikb dan sipb sebagaimana di maksud ayat 1 dan 2 berlaku untuk satu
tempat
5) Tenaga Kefarmasian
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1027/Menkes/SK/IX/2004, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak melakukan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.
Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan
kefarmasian diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
2. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
3. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan;
4. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan
kefarmasian diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau
jasa yang berlaku;
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan
mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan atas
barang yang dibuat dan/ atau diperdagangkan;
6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/
atau jasa yang diperdagangkan; Selain itu, sebagai pelayanan
kefarmasian kewajiban apoteker juga diatur dalam Pasal 15
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan
keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis
dalam resep dengan obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam
resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat
yang lebih tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi:
a. Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada
konsumen.
b. Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan
masyarakat.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang tanggungjawab
apoteker, apoteker diserahi tanggung jawab secara penuh dalam mengelola
Apotek, ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan
Apotek. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 berbunyi:
1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker
dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun
1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker
sebagaimana dimaksud ayat 1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana
dimaksud ayat 1 dan ayat 2 dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan
tanggung jawab seorang Dokter berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung
jawab yang berat dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker
dapat mengelola Apotek, Apoteker harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan
Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut terdapat dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1) dan (2).
Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara
tertulis di atas Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq,
Direktorat Jenderal dengan mencantumkan:
1. Nama dan alamat Apotek pemohon;
2. Nama Perguruan Tinggi tempat Apoteker dan Tanda Lulus sebagai
Apoteker;
3. Nomor dan tanggal Surat Izin Kerja;
4. Keterangan tempat kerja bagi mereka yang telah bekerja.
5. Surat Keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan
untuk mengelola Apotek, yang diberikan oleh Perguruan Tinggi atau
Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Pengelolaan Apotek yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal;
6. Pas foto ukuran 4 x 6.
Tugas dan fungsi Apotek terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 1980, dimana dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:
1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan;
2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;
3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat
yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
8) Tenaga Gizi
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 374/MENKES/SK/III/2007
TENTANG
STANDAR PROFESI GIZI
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
Bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Standar
Profesi bagi Tenaga Gizi dengan Keputusan Menteri Kesehatan;
PENGERTIAN
Profesi Gizi adalah suatu pekerjaan di bidang gizi yang dilaksanakan berdasarkan
suatu keilmuan (body of knowledge), memiliki kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan yang berjenjang, memiliki kode etik dan bersifat melayani
masyarakat.
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Penyusunan Standar Profesi Gizi sebagai landasan pengembangan profesi gizi di
Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Sebagai acuan bagi penyelenggaraan pendidikan gizi di Indonesia dalam rangka
menjaga mutu gizi.
b. Sebagai acuan perilaku gizi dalam mendarmabaktikan dirinya di masyarakat.
c. Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan gizi yang profesional baik untuk
individu maupun kelompok.
d. Mencegah timbulnya malpraktek gizi.
PERAN
1. Ahli Gizi
a. Pelaku tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
b. Pengelola pelayanan gizi di masyarakat
c. Pengelola tatalaksana /asuhan/pelayanan gizi di RS
d. Pengelola sistem penyelenggaraan makanan Institusi /masal
e. Pendidik/Penyuluh/pelatih /konsultan gizi
f. Pelaksana penelitian gizi.
g. Pelaku pemasaran produk gizi dan kegiatan wirausaha.
h. Berpartisipasi bersama tim kesehatan dan tim lintas sektoral.
i. Pelaku praktek kegizian yang bekerja secara profesional dan etis.
KEWAJIBAN
A. KEWAJIBAN UMUM
1. Ahli Gizi berperan meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan serta berperan
dalam meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan rakyat
2. Ahli Gizi berkewajiban menjunjung tinggi nama baik profesi gizi dengan
menunjukkan sikap, perilaku, dan budi luhur serta tidak mementingkan diri
sendiri
3. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya menurut standar
profesi yang telah ditetapkan.
4. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjalankan profesinya bersikap jujur, tulus
dan adil.
5. Ahli Gizi berkewajiban menjalankan profesinya berdasarkan prinsip keilmuan,
informasi terkini, dan dalam menginterpretasikan informasi hendaknya objektif
tanpa membedakan individu dan dapat menunjukkan sumber rujukan yang benar.
6. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa mengenal dan memahami keterbatasannya
sehingga dapat bekerjasama dengan pihak lain atau membuat rujukan bila
diperlukan.
7. Ahli Gizi dalam melakukan profesinya mengutamakan kepentingan masyarakat
dan berkewajiban senantiasa berusaha menjadi pendidik dan pengabdi
masyarakat yang sebenarnya.
8. Ahli Gizi dalam berkerjasama dengan para profesional lain di bidang kesehatan
maupun lainnya berkewajiban senantiasa memelihara pengertian yang sebaik-
baiknya.
B. KEWAJIBAN TERHADAP KLIEN
1. Ahli Gizi berkewajiban sepanjang waktu senantiasa berusaha memelihara dan
meningkatkan status gizi klien baik dalam lingkup institusi pelayanan gizi atau di
masyarakat umum.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa menjaga kerahasiaan klien atau masyarakat
yang dilayaninya baik pada saat klien masih atau sudah tidak dalam
pelayanannya, bahkan juga setelah klien meninggal dunia kecuali bila diperlukan
untuk keperluan kesaksian hukum.
3. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya senantiasa menghormati
dan menghargai kebutuhan unik setiap klien yang dilayani dan peka terhadap
perbedaan budaya, dan tidak melakukan diskriminasi dalam hal suku, agama, ras,
status sosial, jenis kelamin, usia dan tidak menunjukkan pelecehan seksual.
4. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memberikan pelayanan gizi prima, cepat,
dan akurat.
5. Ahli Gizi berkewajiban memberikan informasi kepada klien dengan tepat dan
jelas, sehingga memungkinkan klien mengerti dan mau memutuskan sendiri
berdasarkan informasi tersebut.
6. Ahli Gizi dalam melakukan tugasnya, apabila mengalami keraguan dalam
memberikan pelayanan berkewajiban senantiasa berkonsultasi dan merujuk
kepada ahli gizi lain yang mempunyai keahlian.
C. KEWAJIBAN TERHADAP MASYARAKAT
1. Ahli Gizi berkewajiban melindungi masyarakat umum khususnya tentang
penyalahgunaan pelayanan, informasi yang salah dan praktek yang tidak etis
berkaitan dengan gizi, pangan termasuk makanan dan terapi gizi/diet. ahli gizi
hendaknya senantiasa memberikan pelayanannya sesuai dengan informasi faktual,
akurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
2. Ahli Gizi senantiasa melakukan kegiatan pengawasan pangan dan gizi sehingga
dapat mencegah masalah gizi di masyarakat.
3. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa peka terhadap status gizi masyarakat untuk
mencegah terjadinya masalah gizi dan meningkatkan status gizi masyarakat.
4. Ahli Gizi berkewajiban memberi contoh hidup sehat dengan pola makan dan
aktifitas fisik yang seimbang sesuai dengan nilai paktek gizi individu yang baik.
5. Dalam bekerja sama dengan profesional lain di masyarakat, Ahli
Gizi berkewajiban hendaknya senantiasa berusaha memberikan
dorongan, dukungan, inisiatif, dan bantuan lain dengan sungguh-sungguh
demi tercapainya status gizi dan kesehatan optimal di masyarakat.
6. Ahli Gizi dalam mempromosikan atau mengesahkan produk makanan tertentu
berkewajiban senantiasa tidak dengan cara yang salah atau, menyebabkan salah
interpretasi atau menyesatkan masyarakat
D. KEWAJIBAN TERHADAP TEMAN SEPROFESI DAN MITRA KERJA
1. Ahli Gizi dalam bekerja melakukan promosi gizi, memelihara
dan meningkatkan status gizi masyarakat secara optimal, berkewajiban senantiasa
bekerjasama dan menghargai berbagai disiplin ilmu sebagai mitra kerja di
masyarakat.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memelihara hubungan persahabatan yang
harmonis dengan semua organisasi atau disiplin ilmu/profesional yang terkait
dalam upaya meningkatkan status gizi, kesehatan, kecerdasan dan kesejahteraan
rakyat.
3. Ahli Gizi berkewajiban selalu menyebarluaskan ilmu pengetahuan
dan keterampilan terbaru kepada sesama profesi dan mitra kerja.
E. KEWAJIBAN TERHADAP PROFESI DAN DIRI SENDIRI
1. Ahli Gizi berkewajiban mentaati, melindungi dan menjunjung tinggi ketentuan
yang dicanangkan oleh profesi.
2. Ahli Gizi berkewajiban senantiasa memajukan dan memperkaya pengetahuan
dan keahlian yang diperlukan dalam menjalankan profesinya sesuai
perkembangan ilmu dan teknologi terkini serta peka terhadap perubahan
lingkungan.
3. Ahli Gizi harus menunjukan sikap percaya diri, berpengetahuan luas, dan berani
mengemukakan pendapat serta senantiasa menunjukan kerendahan hati dan mau
menerima pendapat orang lain yang benar.
4. Ahli Gizi dalam menjalankan profesinya berkewajiban untuk tidak boleh
dipengaruhi oleh kepentingan pribadi termasuk menerima uang selain imbalan
yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan pengetahuan
klien/masyarakat (tempat dimana ahli gizi diperkerjakan).
5. Ahli Gizi berkewajiban tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum, dan
memaksa orang lain untuk melawan hukum.
6. Ahli Gizi berkewajiban memelihara kesehatan dan keadaan gizinya agar dapat
bekerja dengan baik.
7. Ahli Gizi berkewajiban melayani masyarakat umum tanpa
memandang keuntungan perseorangan atau kebesaran seseorang.
8. Ahli Gizi berkewajiban selalu menjaga nama baik profesi dan mengharumkan
organisasi profesi.
F. PENETAPAN PELANGGARAN
Pelanggaran terhadap ketentuan kode etik ini diatur tersendiri dalam Majelis
Kode Etik Persatuan Ahli Gizi Indonesia
1. Fisioterapi
e) Fisioterapi Olahraga
a. Asesment Fisioterapi;
b. Diagnosa Fisioterapi;
c. Perencanaan Fisioterapi;
d. Intervensi Fisioterapi;
e. Evaluasi/re-evaluasi/re-asesmen.
2. Terapi Okupasi
3. Terapis wicara
4. Terapis akupuntur
6. Otorik Prostetik
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2015 Tentang Standar Pealayanan Ortotik Prostetik Pasal 1 :
Ortotik Prostetik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Ortotis
Prostetis dalam hal alat bantu kesehatan berupa ortosis maupun Prostesis
untuk kesehatan fisik dan psikis berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
untuk meningkatkan derajat kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat
yang diakibatkan oleh adanya gangguan fungsi anggota tubuh dan trunk
(batang tubuh) serta hilangnya bagian anggota gerak tubuh yang dapat
mengakibatkan gangguan/kelainan anatomis, fisiologis, psikologis, dan
sosiologis.
7. Rekam Medis
Undang-Undang Kesehatan No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
diatur tentang rekam medis di mana rekam medis memiliki peran yang sangat
penting dalam bidang kedokteran.Rekam medis diakui merupakan salah satu
alat bukti sah, dengan catatan berbentuk surat atau tertulis maupun juga dalam
bentuk elektronik. selanjutnya hal ini juga diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan dari ketentuan Pasal 13 Permenkes. Selanjutnya Rekam medis ini
mendapatkan pengaturan yang lebih kuat lagi yaitu melalui peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No 749.a/Menkes/per/XXI/1989 tentang rekam
medis (medical record). Pasal 1 huruf a tersebut menyebutkan bahwa, rekam
medis memiliki pengertian sebagai berkas yang berisikan catatan dan
dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dalam
pelayanan lain pada pasien, pada sarana pelayanan kesehatan.
b. Pasal 19 ayat 1