Anda di halaman 1dari 20

HYPERSENSITIVITAS

Kelompok 7
Anggota : Dosen pengajar : apt, Ulfa Syafli Nosa, S.Farm
1. Salsabila Fernanda 1801162
2. Fildza Ahzatil Halifah
1801168
3. ilham 1801174
4. Mei Syifa Pratiwi 1801173
5. Rafi Julian P 1801175
6. Dwi Pratiwi Ananda
1801167
DEFENISI

Hipersensitivitas (Reaksi Alergi) adalah reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi saat jaringan tubuh sehat
mengalami cidera atau luka. Reaksi alergi melibatkan antibodi, limfosit, dan sel lainnya yang termasuk dalam
komponen sistem imun sebagai pelindung fisiologis tubuh
Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan, yang terjadi pada individu yang
sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi dengan antigen atau alergen tertentu. Berdasarkan mekanisme reaksi
imunologik yang terjadi, Gell & Coombs membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yaitu : Pertama,
Tipe I (reaksi anafilatik). Reaksi anafilatik merupakan reaksihipersensitivitas tipe cepat klasik Tipe II (reaksi
sitotoksik). Reaksi ini pada umumnya terjadi akibat adanya aktifasi dari sistem komplemen setelah mendapat
rangsangan dari adanya komleks antigen antibody. IgG, IgM, dan komplemen berperan dalam reaksi
hipersensitivitas tipe IIKetiga, Tipe III (reaksi kompleks imun). Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terjadi
kerusakan yang disebabkan oleh kompleks antigen antibody. Pada reaksi ini berperan IgG, IgM, dan komplemen.
Keempat, Tipe IV (reaksi tipe lambat). Hipersensitivitas tipe lambat atau yang dipengaruhi oleh sel merupakan
salah satu aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel.
PREVALENSI

Penelitian di Hongkong menyebutkan bahwa prevalensi dermatitis atopik pada anak usia 13-14 thn sebanyak
3,3 % dan anak usia 6-7 thn sekitar 4,2 %. Prevalensi asma di Inggris pada tahun 1999- 2004 meningkat dibandingkan
1992- 1998 sebanyak > 20% pada anak usia 6-7 tahun dan >25% pada anak usia 13-14 thn. Penelitian di Brazil,
prevalensi alergi berdasarkan kuesioner ISAAC yaitu usia 6-7 tahun adalah 17 % dan usia 13-14 tahun adalah 25%.
Penelitian diTaipei meliputi 142 sekolah usia 6-7 tahun dengan total jumlah kuesioner ISAAC adalah 25.094,
didapatkan 3,694 (14,72%) anak yang mengalami alergi. Prevalensi alergi berdasarkan kuesioner ISAAC usia 6-7
tahun dan usia 13-14 tahun di Kroasia adalah asma sebanyak 9,7 % dan 8,4%, rinitis alergik sebanyak 16,9% dan
17,5%, dermatitis atopik sebanyak 5,4% dan 3,4%Berdasarkan hasil survey di Semarang dengan Kuesioner ISAAC
pada anak sekolah dasar usia 6-7 tahun didapatkan jumlah kasus alergi berturut-turut meliputi asma sebanyak 8,1%,
rinitis alergik sebanyak 11,5% dan eksim sebanyak 8,2%
KLASIFIKASI DAN MEKANISME TIPE 1

Gambar 2 A : Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang


berada di permukaan sel mast atau basofil, dimana sebelumnya
penderita telah terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E
telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan
menyebabkan keluarnya mediatormediator kimia seperti
histamine dan leukotrine.

Gambar 2 B : Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah


terpapar dengan allergen penyebab sebelumnya. Alergen yang
masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel B, sehingga
menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan
memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel
mast dan akan mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan
allergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan
mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini
menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem,
spasme pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang
dapat ditemukan pada alergi tipe ini antara lain : rinitis (bersin-
bersin, pilek) ; sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan
kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot
polos yang ditemukan pada anafilaktic shock)

Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi


tipe I adalah : • Konjungtivitis • Asma • Rinitis • Anafilaktic shock
Reaksi Alergi tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G)}

Keterangan : Tipe ini melibatkan K cell


atau makrofag. Alergen akan diikat
antibody yang berada di permukaan sel
makrofag/K cell membentuk antigen
antibody kompleks. Kompleks ini
menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –
C9) yang berakibat kerusakan. Contoh
penyakit-penyakit :
• Goodpasture (perdarahan paru, anemia)
• Myasthenia gravis (MG)
• Immune hemolytic (anemia Hemolitik)
• Immune thrombocytopenia purpura
• Thyrotoxicosis (Graves' disease)
Reaksi Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders)

Keterangan gambar : Alergen


(makanan) yang terikat pada
antibody pada netrofil (yang berada
dalam darah) dan antibody yang
berada pada jaringan, mengaktifkan
komplemen. Kompleks tersebut
menyebabkan kerusakan pada
jaringan.
Penyakit :
• the protozoans that cause malaria
• the worms that cause
schistosomiasis and filariasis
• the virus that causes hepatitis B,
demam berdarah.
• Systemic lupus erythematosus
(SLE)
• "Farmer's Lung“ (batuk, sesak
nafas)
Reaksi Alergi Tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe lambat)}

Keterangan :
Makrofag (APC)
mengikat allergen pada
permukaan sel dan akan
mentransfer allergen
pada sel T, sehingga sel
T merelease interleukin
(mediator kimia) yang
akan menyebabkan
berbagai gejala.
ETIOLOGI
1. Hipersensitivitas tipe I, disebabkan oleh antigen bebas yang dapat berasal dari reaksi transfusi darah, reaksi obat
(seperti penisilin), alergi makanan (seperti kacang, kerang, laktosa), alergi racun serangga (gigitan nyamuk,
lebah), dan alergen dari lingkungan yang terhirup (seperti debu, serbuk sari).
2. Hipersensitivitas tipe II, disebabkan oleh reaksi antibodi IgG atau IgM yang berikatan dengan sel normal, tetapi
menganggap sel tersebut sebagai antigen. Ikatan antibodi akan memanggil sel natural killer (NK cell) dan
merusak pada sel yang terikat.
3. Hipersensitivitas tipe III, disebabkan oleh endapan kompleks imun (IgG yang berikatan dengan antigen) pada
jaringan tertentu sehingga memanggil netrofil dan memfagosit sel jaringan tersebut. Antigen dapat berasal dari
obat (umumnya antibiotik, seperti penicilin, amoksilin, trimetoprim-sulfametoksazol), infeksi virus (seperti
hepatitis B), dan antivenom atau antitoxin yang mengandung protein hewan.
4. Hipersensitivitas tipe IV, disebabkan sensitisasi dari kontak pertama dengan suatu agen, lalu terangsang dengan
kontak berulang dari agen tersebut. Agen tersebut umumnya berupa urushiol-induced (cairan minyak tanaman),
seperti poison ivy, poison oak, dan poison sumac. Agen lainnya adalah logam, seperti nikel, kobalt, kromium;
parfum, sabun, dan kosmetik; benda berbahan latex atau sarung tangan karet, dan obat topikal, seperti
hidrokortison, benzokain, dan neomisin.
PATOFISIOLOGI
1. Hipersensitivitas tipe I disebabkan karena antibodi IgE yang melapisi sel mast dan basofil berikatan dengan antigen bebas.
Akibatnya, terjadi degranulasi sel dan pelepasan histamin serta mediator inflamasi lainnya, seperti prostaglandin, leukotrien,
triptase, platelet-activating factor, dll.). Pelepasan histamin meningkatkan kontraksi otot sehingga dapat terjadi bronkospasm,
kram, rhinitis, hingga hypovolemi dan hypoxia.
2. Hipersensitivitas tipe II disebabkan oleh IgM atau IgG yang berikatan dengan antigen sel normal pada jaringan tertentu.
Kemudian, sistem komplemen akan teraktivasi untuk merangsang fagositosis dan lisis pada sel yang berikatan. Sistem
komplemen merupakan protein yang bersirkulasi di dalam darah namun hanya sebagai prekursor inaktif. Saat ada stimulasi,
seperti tautan IgM atau IgG dengan sel, komplemen akan teraktivasi dan merangsang aktivasi antibodi tersebut. Saat fungsi
antibodi aktif, ia akan mengganggu fungsi normal sel terikat.
3. Hipersensitivitas tipe III disebabkan karena IgG antibodi yang bertautan dengan antigen membentuk kompleks imun sehingga
membentuk endapan di jaringan tertentu. Kompleks imun tersebut kemudian mengendap pada jaringan (umumnya pembuluh
darah) sehingga menimbulkan kaskade komplemen untuk melepaskan enzim lisosom dari netrofil guna membunuh sel-sel yang
terdapat di endapan kompleks imun tersebut. Akibatnya, dapat terjadi inflamasi hingga vaskulitis (peradangan dinding pembuluh
darah)
4. Hipersensitivitas tipe IV merupakan reaksi hipersensitivitas yang tertunda, atau tidak langsung terjadi pada saat kontak pertama
dengan agen, dan dimediasi oleh sel limfosit T. Hipersensitivitas tipe IV disebabkan oleh sensitisasi pada kontak pertama yang
tertangkap oleh sel Langerhans sehingga merangsang limfosit T menjadi sensitif terhadap agen tersebut. Ketika limfosit T
terpapar kembali, sel T akan langsung merangsang sekresi limfokin dan sitokin (IFN-γ, TNF-α). Setelah itu, makrofag akan
teraktivasi dan terjadilah reaksi inflamasi pada jaringan
DIAGNOSA
1. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit pasien merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat.
Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena
penyakit dasamya.
a). Mencatat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat yang sebelumnya telah sering
dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat;
b). Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi;
c). Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala
timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7 - 10 hari setelah pemakaian pertama;
d). Mencatat lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan
secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral;
e). Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu;
f). Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat dihentikan dan timbul kembali bila pasien
diberikan obat yang sama;
g). Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang
harus diperhatikan.
DIAGNOSA

1. Pemeriksaan fisik yang cermat dapat membantu untuk mengetahui kemungkinan mekanisme yang mendasari
reaksi hipersensitivitas dan juga mengarahkan pada pemeriksaan penunjang dan tes diagnostik yang diperlukan
Diagnosis dari hipersensitivitas dapat dilakukan dengan Uji kulit in vivo dan uji in vitro. Pemeriksaan kulit in
vivo yang paling umum adalah skin prick test. Alergen yang bervariasi diaplikasikan ke kulit untuk melihat reaksi
alergi. Alergen yang dipakai diperkirakan dari anamnesis dan hasil penelusuran mengenai manifestasi klinis
tertentu dari alergen. Reaksi alergen dapat berupa eritema, papula, dan vesikel pada. Hasil postif jika didapatkan
ada urtikaria eritematosa >3mm dalam 20 menit. Sementara itu, uji in vitro merupakan uji yang dilakukan untuk
melihat kadar triptase dalam serum. Peningkatan triptase serum menandakan peningkatan aktivasi sel mast. Ada
sedikit perbedaan untuk diagnosis hipersensitivitas tipe IV. Tes diagnosis untuk tipe ini disebut patch test. Prinsip
kerjanya mirip dengan prick test, hanya saja hasilnya dicatat pada dua waktu, yaitu 48 jam dan 4-5 jam
setelahnya. Untuk mengetahui alergen penyebab reaksi hipersensitivitas, kita dapat mengenali angry-back
syndrome (hiperreaktivitas pada kulit) sebagai hasil yang positif palsu. Selain patch test dapat juga dilakukan
tahap lebih lanjut berupa tes laboratorium untuk mengecek komponen pada darah, terutama sel darah putih.
FAKTOR RESIKO
1. Genetik
Risiko timbulnya gejala alergi lebih tinggi pada individu dengan riwayat keluarga dengan penyakit atopi dibandingkan tanpa atopi.Gejala alergi pada anak
yang mempunyai orang tua dengan alergi akan lebih parah dibandingkan dengan anak dengan orang tua tanpa alergi.Anak yang memiliki saudara dengan penyakit
alergi mempunyai hampir dua kali lipat risiko alergi makanan dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga alergi. Risiko alergi makanan tertinggi pada
anak dengan kedua orang tua alergi dan satu atau lebih saudara kandung dengan alergi.
2. Usia
Perkembangan penyakit alergi atopi yang berhubungan dengan bertambahnya usia disebut dengan atopic march. Dermatitis alergi muncul pada 6 bulan
pertama sampai beberapa tahun awal kehidupan. 32 Anak dengan riwayat alergi susu sapi dengan IgE positif pada usia 7 bulan mempunyai risiko mempunyai
hiperresponsivitas bronkhial pada usia sekolah. Dermatitis alergi dengan IgE spesifik alergen yang muncul pada usia 2-4 tahun mempunyai risiko tinggi untuk
berkembang menjadi asma dan rinitis alergi dibandingkan dermatitis alergi tanpa perantara IgE. Prevalensi rinitis alergi terbesar pada masa anak-anak dan remaja usia
sekolah, kemudian menurun secara signifikan seiring bertambahnya usia
3. Stres
Hubungan antara stres dan sistem imun melalui 2 jalur yaitu autonomic nervous system (ANS) dan axis hyphophyseal-pituitaryadrenal (HPA). Stres
menstimulasi sekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dan mengaktivasi korteks adrenal untuk mensekresi kortisol dan katekolamin oleh medula. Kortisol dan
katekolamin menghambat produksi IL-12 oleh TH1. Kortisol juga berpengaruh langsung terhadap sel TH2 sehingga meningkatkan produksi IL-4, IL-10, dan IL-13.
ANS yang terdiri dari sistem sarafsimpatis dan parasimpatis di sistem saraf pusat (SSP), memodulasi sistem imun melalui neurotransmiter, neuropeptida, dan hormon.
Stres dapat meningkatkan produksi noradrenalin dapat menurunkan produksi sitokin IL-12. Hal tersebut menyebabkan sistem imun menjadi dominan sel TH2
sehingga memicu terjadinya reaksi alergi.
4. Lingkungan
Urbanisasi yang cepat dan industrialisasi di seluruh dunia telah meningkatkan polusi udara dan menyebabkan paparan terhadap populasi. Pada saat yang
sama prevalensi penyakit asma dan alergi meningkat di negara-negara industri. Paparan kronik polusi udara seperti Nitric oxides (NO dan NO2), volatile organic
compounds, ozon, sulfur dioksida (SO2) dapat menginduksi gejala pada pasien dengan rinitis alergi.
PENANGANAN NON FARMAKOLOGI

1. Menjaga kebersihan rumah


2. Jangan membiarkan hewan berbulu maemasuki rumah
3. Hindari pakaian kain yang terbuat dari wol atau bulu
4. Hindari tanaman yang menghasilkan serbuk/polen lebih banyak
5. Tidak lupa menggunakan masker saat berkendara
6. Hindari makanan yang menyebabkan alergi
7. Rajin berolahraga
8. Konsumsi jahe dan madu
9. Kondisikan suhu rangan agar tetap stabil
ALGORITMA

ALGORITMA
HIPERSENSITIVITAS
PENANGANAN FARMAKOLOGI
1. Urtikaria dan Angioedema
antihistamin seperti setirizin, CTM atau difenhidramin, serta anti inflamasi non steroid
2.Tatalaksana Anafilaksis
Tatalaksana pada manifestasi klinis yang berat seperti anafilaksis meliputi stabilisasi dan patensi jalan nafas, pemberian oksigen, pemberian
adrenalin, terapi cairan,pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Obat-obatan yang dicurigai sebagai pemicu terjadinya alergi harus segera
dihentikan. Pasien harus diobservasi dalam ruang resusitasi di Unit Gawat Darurat. Peralatan seperti pulse oxymeter, monitor tekanan darah
non invasif dan EKG digunakan untuk penilaian dan pemantauan tanda vital pasien. Tanda-tanda edema saluran nafas, bronkospasme dan
syok harus segera dinilai
3. Pemberian Adrenalin
Adrenalin merupakan obat pilihan pada tatalaksana akut anafilaksis. Adrenalin diberikan apabila terdapat tanda-tanda edema saluran afas yang
progresif, bronkospasme, atau hipotensi. Adrenalin bekerja pada reseptor α, β1, dan β2 adrenergik yang dapat memperbaiki vasodilatsi, edema
mukosa dan bronkospasme yang telah terjadiAdrenalin diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,01 mg/kgBB, dengan dosis maksimal
0,5 mg intramuskular
4. Kortikosteroid
Belum ada penelitian yang menunjukkan efektivitas pemberian steroid pada kasus anafilaksis. Kortikosteroid ini biasanya diberikan pada
kasus keterlibatan saluran nafas dan bronkospasme yang berat. Kortikosteroid seperti prednison dapat diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB per
oral (maksimal 75 mg) atau hidrokortison 1,5-3 mg/kgBB intra vena. Pada kasus yang lebih berat dapat diberikan metilprednisolon 1
mg/kgBB (maksimal 125 mg).
5. Obat-obat Inhalasi
Penggunaan obat-obat inhalasi seperti salbutamol dapat diberikan pada anak yang datang dengan keluhan wheezing dan bronkospasme, atau
anak yang memiliki riwayat penyakit asma. Salbutamol dapat diberikan dengan dosis 5 sampai 10 puffs menggunakan metered dose
inhaler(MDI) dan diberikan setiap 20 menit sampai sesak nafas dan wheezing berkurang. Pada bayi yang belum bisa menggunakan MDI
dapat diberikan nebulisasi salbutamol 2,5 mg sampai 5 mg per dosis
KOMPLIKASI

Hipersensitivitas, terutama tipe I, dapat menyebabkan syok anafilaktik yang mengancam


nyawa. Selain itu, dapat juga mendorong terjadinya asma, eksim, infeksi telinga atau
paru-paru, sinusitis, nasal polip, dan migrain.
INTERAKSI OBAT
1. desloratadine+ketokonazol,fluoxetine,erithromisin.simetidin,azithromisin dapat meningkatkan kadar desloratadine dalam darah
2. Antazolin+obat lain dapan menurunkan efektivitas obat sehingga tidak bisa memberikan manfaat secara maksimal bahkan dapat
menyebabkan OD
3. Difenhidramin+hydroxyzine dapat meningkatkan efek kantuk
4. Sefalosporin, pada penderita alergi terhadap sefalosporin terdapat reaktivitas silang terbatas pada tes imunologikal antara sefalosporin
generasi kedua dan ketiga dan penisilin, terutama aminopenisilin, tetapi hal ini belum tentu menunjukkan reaktivitas klinis.
5. Penisilin, Penisilin merupakan obat yang paling sering menyebabkan alergi. Untuk pasien dengan alergi penisilin, pengobatan yang
terbaik terbatas pada agen non-penisilin. Karbapenem tidak memperlihatkan tingkat signifikan reaktivitas silang dengan penisilin dan
dapat diberikan sebagai graded challenge setelah tes kulit profilaksis dengan karbapenem yang relevan. Monobaktam, seperti
aztreonam, umumnya ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan alergi penisilin, kecuali mereka memiliki reaksi alergi terhadap
ceftazidime
6. Anastesi lokal Reaksi alergi terhadap anastesi lokal (novokain, lidokain) sangat jarang terjadi. Reaksi biasanya karena ada bahan-bahan
lain dalam obat, seperti pengawet atau epinefrin. Namun, jika riwayat reaksi konsisten dengan kemungkinan segera (reaksi IgE-
mediated), tes kulit diikuti tes graded challenge menggunakan anestesi lokal bebas epinefrin dan pengawet dapat dilakukan
7. Reaksi asam asetilsalisilat/NSAID Asam asetilsalisilat dan NSAIDs dapat menyebabkan reaksi alergi yang sebenarnya dan reaksi
pseudoalergi,termasuk eksaserbasi dari penyakit respirasi yang mendasari, urtikaria, angioedema dan anafilaksis. Pasien dengan penyakit
pernafasan kronis, seperti asma, rinitis dan sinusitis, mungkin bereaksi terhadap asam asetilsalisilat dan NSAIDs yang menghambat
siklooksigenasi-1 (COX-1)
TERMINOLOGI MEDIK

1. Hipersensitivitas : Hipersensitivitas (Reaksi Alergi) adalah reaksi dari sistem kekebalan yang terjadi saat jaringan
tubuh sehat mengalami cidera atau luka
2. IgE : imunoglobulin E
3. IgG : imunoglobulin G
4. IgM : imunoglobulin M
5. Alergen : Ig E terikat dg sel sel khusus
6. Anafilaksis : syok yg disebabkan oleh reaksi alergi
7. Sistem imun : sistem kompleks yang memiliki peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology. 4th Ed., Philadelphia: W.B. Saunders
Company. 2000.
2. Brockow K, Przybilla B, Aberer W, Bircher AJ, Brehler R, Dickel H, et al. Guideline for the diagnosis of
drug hypersensitivity reactions. Allergo J Int. 2015;24:94-105.
3. Elshemy A, Abobakr M. Allergic reaction: symptoms, diagnosis, treatment and management. Journal of
scientific and innovative research. 2013;2(1):123-144
4. Hikmah,Dewanti. Seputar Reaksi Hipersensitivitas. Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Jember.
5. Schrijvers R, Gilissen L, Chiriac AM, Demoly P. Pathogenesis and diagnosis of delayed ‑type drug
hypersensitivity reactions, from bedside to bench and back. Clin Transl Allergy. 2015;5(31):1-10
6. Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, Ledford DK, Ring J, Borges MS, et al. World Allergy Organization
guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. WAO Journal. 2011;4:13-37
7. Tanjung A, Yunihastuti E. Prosedur diagnostik penyakit alergi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K.
MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006; p.377-381.
8. Thien FCK. Drug hypersensitivity. Medical Journal of Australia. 2006;185(6):333-338. .

Anda mungkin juga menyukai