Anda di halaman 1dari 52

GANGGUAN KONVULSIF

MAKALAH HANDICAPPED

Disusun oleh:

Masayu Sesiliana 160421180003

Dosen Pembimbing:

Prof. Dr. Willyanti Soewondo, drg., Sp.KGA(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................i
DAFTAR GAMBAR....................................................................................iii
DAFTAR TABEL.........................................................................................iv
DAFTAR GRAFIK.......................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................2
2.1 Gangguan Konvulsif..................................................................2
2.1.1 Klasifikasi Seizures (Kejang)...........................................2
2.1.2 Etiologi Gangguan Konvulsif..........................................4
2.1.3 Klasifikasi Etiologi Gangguan Konvulsif........................5
2.1.4 Konvulsif Akut pada Bayi dan Anak-anak.......................7
2.1.5 Konvulsif Kronik dn Kambuahan....................................8
2.1.6 Epilepsi Organik...............................................................9
2.2 Epilepsi.......................................................................................9
2.2.1 Etiologi Epilepsi...............................................................10
2.2.2 Klasifikasi Epilepsi..........................................................12
2.2.2.1 Kejang Parsial/Fokal............................................14
2.2.2.2 Kejang Generalisata (Umum)..............................17
2.3 Manifestasi Klinis Gangguan Konvulsif....................................20
2.4 Terapi Epilepsi............................................................................22
2.4.1 Terapi Medikamentosa.....................................................22
2.4.2 Bimbingan Psikososial.....................................................24
2.5 Tujuan Pengobatan.....................................................................25
BAB III MANIFESTASI DENTAL GANGGUAN KONVULSIF...........29
3.1 Kelainan Jaringan Keras dan Jaringan Lunak Rongga Mulut....30
3.2 Perawatan Gigi pada Pasien Gangguan Konvulsif.....................35

1
3.2.1 Masalah yang Dihadapi Dokter Gigi..................................39
3.2.2 Hal-hal yang Dihadapi Apabila Terjadi Serangan
Epilepsi...............................................................................43
BAB IV KESIMPULAN..............................................................................45
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................46

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Kerja untuk Klasifikasi Epilepsi...............................13


Gambar 2.2 Fase tonic dan clonic.................................................................21
Gambar 3.1 Fraktur mahkota pada gigi anak................................................31
Gambar 3.2 Luksasi ke arah bukal pada gigi anak.......................................32
Gambar 3.3 Hiperplasia Gingiva sebagai Efek Samping Medikasi
Epilepsi dengan Obat Fenitoin..................................................34
Gambar 3.4 Ulserasi aftosa rekuren pada anak sebagai efek
samping obat antiepilepsi..........................................................34
Gambar 3.5 Pediwrap...................................................................................38
Gambar 3.6 Mouth prop................................................................................38

3
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi......................................13


Tabel 2.2 Klasifikasi Internasional Epilepsi..................................................14
Tabel 2.3 Obat-obatan untuk terapi epilepsy.................................................23

4
DAFTAR GRAFIK

Grafik 2.1 Klasifikasi Kejang........................................................................16

5
BAB I
PENDAHULUAN

Gangguan konvulsif merupakan salah satu masalah neurologis yang paling

sering terjadi pada anak-anak.1 Konvulsif dapat terjadi pada usia kapanpun tetapi

paling sering selama 2 tahun pertama hidup. 2 Insidensi dari semua gangguan

seizure (kejang) lebih tinggi pada tahun kedua kehidupan dibandingkan pada

kelompok umur lainnya, dan turun secara dramatis setelah usia 2 tahun. 2 Hal ini

tidak mencerminkan insidensi epilepsi spesifik usia maksimal, yang pada anak-

anak paling tinggi pada tahun pertama kehidupan.1

Cedera lahir intrakranial merupakan penyebab utama konvulsif pada bayi,

diantaranya adalah pengaruh anoksia dan hemorage.2 Pada masa bayi akhir dan

masa anak awal, infeksi akut, baik itu intrakranial atau ekstrakranial, merupakan

penyebab utama.2 Epilepsi idiopati merupakan penyebab utama konvulsif pada

pertengahan masa anak-anak.2

Dokter gigi harus waspada terhadap etiologi, perawatan dan prognosis

gangguan konvulsif untuk melakukan perawata gigi yang lengkap bagi pasien ini. 2

Selain, itu, dokter gigi harus mampu melakukan dukungan yang cukup jika pasien

mempunyai konvulsif saat di tempat praktek.2

Makalah ini akan membahas etiologi, manifestasi klinis dan penanganan

gangguan konvulsif. Perhatian khusus harus diberikan pada gangguan konvulsif

ini baik yang secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai efek pada

struktur rongga mulut.

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Konvulsif

Terdapat 3 istilah yang sering disebutkan dalam gangguan konvulsif, yaitu

konvulsif, seizures dan epilepsi.3 Konvulsif artinya adalah periode kontraksi otot

yang tidak disengaja (involuntary), sering diikuti oleh periode kelesuan dan

kebingungan mendalam, terkadang hingga tidur nyenyak.3 Kejang atau seizures

secara terminologi artinya adalah gangguan pelepasan neuron paroksismal yang

tidak terkontrol pada bagian otak manapun, dapat menyebabkan gejala fisik atau

mental dan dapat berakibat konvulsif atau non-konvulsif.3 Epilepsi merupakan

kejadian kejang spontan dan berulang sebanyak 2 kali atau lebih dengan jarak

lebih dari 24 jam.4 Epilepsi sebagian besar penyebabnya idiopatik dan sisanya

disebabkan karena kelainan pada susunan saraf pusat.5 Sebagian besar konvulsif

terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun, biasanya terjadi akibat konvulsif

demam. 3

2.1.1 Klasifikasi Seizures (Kejang)

Klasifikasi etiologis dari gangguan kejang yang sesuai untuk studi

epidemiologi menggambarkan dua kelompok besar, yaitu :1

1. Kejang yang diprovokasi

Kejang yang diprovokasi terjadi sebagai respon terhadap gangguan pada

sistem saraf pusat (misalnya., cedera kepala, infeksi) atau terkait dengan
3

gangguan sistemik yang parah (misalnya, uremia, hipoglikemia). Secara

klinis, kejang mungkin memerlukan perawatan, terutama jika

berkepanjangan, tetapi morbiditas jangka pendek dan jangka panjang

biasanya merupakan konsekuensi dari kondisi yang mendasari daripada

kejang, dan intervensi medis primer diarahkan pada kondisi yang

mendasarinya. Kategori epidemiologis kejang ini tampaknya masuk dalam

rubrik “epilepsi terkait situasi” dalam klasifikasi sindrom epilepsi terkini.

Kondisi yang paling sering terjadi terkait dengan kejang simtomatik akut

pada anak-anak adalah penyakit demam. Konvulsif demam ini biasanya

dianggap terpisah dari kejang lain karena berdasarkan usia dan insidensi yang

tinggi.

2. Kejang yang tidak diprovokasi

Kejang yang tidak diprovokasi adalah kejang yang terjadi pada otak akut

yang teridentifikasi atau gangguan sistemik. Kejang ini dapat terjadi setelah

dan sebagai konsekuensi langsung dari gangguan otak yang diidentifikasi

sebelumnya, seperti meningitis, stroke, atau cedera kepala, atau dapat juga

terjadi pada orang yang tidak diketahui gangguan pada otak dan tidak adanya

suatu peristiwa yang secara umum dianggap sebagai faktor risiko untuk

epilepsi (idiopatik atau kriptogenik). Karena epilepsi biasanya dianggap

sebagai suatu kondisi yang ditandai dengan kejang berulang, orang dengan

kejang tunggal yang tidak dipicu, dikategorikan secara terpisah dari orang-

orang dengan epilepsi.


4

2.1.2 Etiologi Gangguan Konvulsif

Gangguan konvulsi dapat disebabkan oleh:3

1. Epilepsi, disertai inkontinensia urin dan biasanya menggigit lidah menyertai

konvulsi pada epilepsi penuh (tonic/clonic)

2. Konvulsi febrile (konvulsi demam) yaitu konvulsi yang terjadi karena suhu

tubuh yang meningkat cepat karena adanya infeksi yang menyertai, paling

banyak terjadi pada anak-anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Bila hal ini

dibiarkan berkepanjangan, maka berpotensi berkembangnya epilepsi di

kemudian hari.

3. Hipoglikemia, yaitu kadar gula darah menurun, khususnya pada pasien anak

dan diabetes. Pemeriksaan kadar gula darah penting untuk dilakukan pada

pasien yang sedang kejang (termasuk pasien epilepsi).

4. Hipoksia, yaitu rendahnya kadar oksigen dalam darah di dalam sel dan

jaringan tubuh.

5. Hipotensi, keadaan hipotensi yang parah dapat mencetuskan konvulsi. Hal ini

dapat terjadi saat pasien pingsan atau serangan vasovagal dimana pasien tetap

disangga. Konvulsi yang terjadi pada keadaan ini mungkin saja merupakan

kejadian pencetus atau tanpa disertai riwayat epilepsi. Ketika pasien

dibaringkan dan tekanan darah pulih kembali, pada umumnya konvulsi akan

berhenti.

6. Gangguan lainnya, seperti tumor cerebral, ketidakseimbangan elektrolit,

overdosis obat-obatan serta aritmia jantung.


5

2.1.3 Klasifikasi Etiologi Gangguan Konvulsif

Klasifikasi etiologi gangguan konvulsif, yaitu :2

1. Bentuk Akut atau Non Rekuren

a. Konvulsi demam/febrile convultion (contoh pada infeksi extrakranial

atau dalam hubungannya dengan lingkungan bersuhu tinggi)

b. Infeksi intrakranial (contoh meningitis akut, ensepalitis, sinus

thrombopheblitis, abses cerebral, tetanus, malaria, typhus fever)

c. Perdarahan intrakranial (contoh dari lahir atau trauma lainnya, penyakit

perdarahan, ruptur dari pembuluh darah yang rusak, penyakit sickle cell)

d. Toksik, yang diakibatkan oleh:

- Obat konvulsan (contoh aminophylline, antihistamine, camphor, Darvon,

Metrazol, phenotiazine, corticosteroids, srychnine dan thujone)

- Tetanus

- Encephalopathy timbal

- Shigellosis, salmonellosis

e. Anoksis (contoh asphyxia parah seketika, anestesi inhalasi)

f. Metabolik atau nutrisi (contoh tetanus hipokalsemik akut, alkalosis,

hipoglikemia terapeutik, defisiensi piridoksin, fenilketonuria, glikemia)

g. Edema serebral akut (contoh pada glomerulonefritis akut, alkalosis,

hipoglikemia teurapeutik, defisiensi piridoksin, fenilketonuria,

glicinemia)

h. Tumor otak

i. Lain-lain (porphyria, systemic lupus eritematosus)


6

2. Bentuk kronis atau rekuren

i. Epilepsi

- Idiopatik (primer, sitogenik, epilepsi asli)

1. Tipe herediter atau genetik

2. Tipe nongenetik atau tipe idiopatik dapatan

- Organik (sekunder atau epilepsi simtomatik-dengan kerusakan otak

dari cedera fokal atau difus sebelumnya)

a. Post-traumatik (contoh pada luka laserasi langsung pada

jaringan otak)

b. Posthemoragik (contoh pada cedera lahir atau setelahnya, dari

penyakit hemoragik, pachymeningitis, ruptur aneurisma miliary)

c. Postanoksik (contoh dari asfiksia neonatorum parah)

d. Postinfeksi (contoh encepalitis, meningitis, sinus

thrombopheblitis atau abses)

e. Post toksik (contoh kernikterus, encephalopathy karena timbal,

arsen, atay karena keracunan kronis)

f. Degeneratif (contoh “atrofi idiopatik”, degenerasi

serebromakular, ensephalitis, periaxialis diffusa, intracranial

neurofibromatosis)

g. Kongenital (contoh cerebral aplasia, paroencephaly, tuberous

sclerosis, hydrocephalus, vascular anomalies seperti tipe

Struge-Weber dan aneurisma arteriovenous)


7

h. Gangguan otak parasitik (cysticerosis, toxoplasmosis, syphylis)

i. Gangguan posthypogycemic

- Sensoris (membaca, menyentuh, cahaya, musik, dikarenakan oleh

diri sendiri)

ii. Epilepsi yang tersimulasi oleh keadaan

- Narcolepsy atau cataplexy

- Hysteria (“psycogenic epilepsy”)

- Tetanus, karena hipokalsemik (contoh idiopatik, post operatif,

neonatal, defisiensi vitamin D, defisiensi absorpsi usus) atau karena

alkalosis (contoh muntah, pemberian bikarbonat, hiperventilasi)

- Hipoglikemia, yang dapat diakibatkan oleh hiperinsulinisme (contoh

tumor atau hiperplasia dari sel islet Langerhans), hipopituitarism

(contoh defisiensi adenokortikotropik, thyrotropik dan hormon

pertumbuhan), insufisiensi adrenal kortikal, gangguan hepatik

(contoh penyakit von Gierke’s), lainnya (contoh leucine-induced,

idiopatik ketotik), uremia, “cerebral” allergy, disfungsi

kardiovascular atau serangan sinkop (contoh serangan pingsan

sederhana, sindrom Stokes-Adams, refleks hiperaktif sinus karotid)

dan migren.

2.1.4 Konvulsif Akut pada Bayi dan Anak-anak

Konvulsi tonic dan clonic generalisata, serupa dengan serangan grand mal

epilepsi, merupakan tipe paling umum dari konvulsi yang terjadi pada anak-anak. 2
8

Penvebabnya bermacam-macam, dan bisa terjadi sebagai manifestasi sementara

penyakit akut yang rnelibatkan otak.2 Terlebih lagi, 6-8% anak-anak mempunyai

demam konvulsif, dimana kebanyakan terjadi antara usia 6 bulan dan 3 tahun. 2

Walaupun kebanyakan konvulsi terjadi sebelum usia 3 tahun merupakan suatu

gejala sakit demam akut, penyebab lain harus dibedakan dengan riwayat medis

menyeluruh dan pemeriksaan fisik lengkap.2 Gangguan seperti tetanus,

ensefalopati timah, cedera intrakranial, hemorage, tumor, keracunan obat,

hipoglikemi, asfiksia, trombosis sinus serebral karena penyakit jantung sianotik,

nefritis akut, dan epilepsi semuanya harus dimasukan dalam diagnosa banding. 2

Demam konvulsi diobati dengan mengurangi suhu tubuh dengan dosis sedatif

fenobarbitol.2 Setelah serangan demam tunggal kemungkinan epilepsi kronis tidak

besar.2 Kejadian lebih dari satu serangan demam menambah kemungkinan

konvulsi non demam spontan.2

2.1.5 Konvulsif Kronik dan Kambuhan

Epilepsi dan gangguan konvulsi kambuhan adalah istilah yang dapat

digunakan saling bertukar.2 Keduanya menunjukan suatu gejala kompleks ditandai

dengan serangan paroksismik kambuhan tidak sadar atau setengah sadar, biasanya

dengan serangkaian kejang otot tonic atau clonic.2 Jika penyebab serangan

diketahui memperlihatkan abnormlitas serebral, pasien dikatakan mengalami

epilepsi organik atau simtomatik.2 Jika penyebabnya tidak diketahui, pasien

dikatakan mempunyai epilepsi idiopatik.2 Pada kebanyakan kasus penyebab

serangan kambuhan tidak dapat ditentukan.2 Namum demikian, kemungkinannya


9

adalah cacat genetik spesifik dalam metabolisms serebral yang bertanggung jawab

atas masalah pelik pasien epilepsi idiopatik.2

2.1.6 Epilepsi Organik

Banyak keadaan ditentukan secara genetik berhubungan dengan serangan

kambuhan.2 Hal tersebut bisa terlihat disebabkan anatomi atau biokimia.2

Konvulsi juga bisa terjadi sebagai akibat dari kerusakan serebral yang diperoleh

selama periode prenatal atau postnatal.2 Pemeriksaan neurologik pada pasien ini

seringkali memperlihatkan kerusakan motorik dari sistem saraf pusat, yaitu

cerebral palsy dan retardasi mental.2

2.2 Epilepsi

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang

saraf anak, yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan

belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. 5 Kata

“epilepsi” berasal dari kata Yunani “epilambanein” yang berarti mengambil atau

merebut.6 Epilepsi merupakan “koleksi gangguan fungsi otak yang beraneka

ragam” atau “badai listrik di otak”.7 Bangkitan epilepsi adalah suatu tanda atau

gejala sepintas yang disebabkan oleh aktivitas neuronal di otak yang bersifat

sinkron dan berlebihan atau abnormal.7

Epilepsi adalah kejang spontan dua kali atau lebih dengan jarak lebih dari

24 jam.4 Pada tahun 2005, ILAE mulai membuat usulan definisi baru, dan pada

tahun 2014 definisi baru tersebut telah disetujui yaitu: bahwa epilepsi adalah
10

penyakit otak yang ditandai oleh paling tidak dua bangkitan kejang spontan

dengan jarak lebih dari 24 jam, satu bangkitan kejang spontan (FUS/first

unprovoked seizure) disertai kemungkinan berulangnya kejang paling sedikit 60%

dalam 10 tahun berikutnya, dan bila bangkitan kejang tersebut merupakan

sindrom epilepsi.4

FUS/first unprovoked seizure adalah satu bangkitan kejang atau beberapa

bangkitan kejang dalam 24 jam yang terjadi tanpa adanya faktor pencetus.4 Dalam

klasifikasi baru, FUS dapat dianggap sebagai epilepsi bila risiko berulangnya

kejang lebih dari 60%.4 Adanya klasifikasi baru ini memberi dampak terhadap

epidemiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan FUS.4

Sindrom epilepsi disebut sebagai suatu sindrom apabila memenuhi

kriteria klinis dan elektroensefalografi tertentu.4 Beberapa sindrom epilepsi dapat

didiagnosis pada saat anak baru satu kali mengalami bangkitan kejang, misalnya

Benign Rolandic Epilepsy.4

2.2.1 Etiologi Epilepsi

Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat timbul

karena penyakit.8 Beberapa penyebab dapat dideteksi sebagai predisposisi

terjadinya epilepsi meliputi faktor genetik, kelainan metabolisme (diabetes, racun

alkohol, maupun obat-obatan), benturan kepala, gangguan yang mempengaruhi

pembuluh darah, serta gangguan pertumbuhan.8 Etiologi epilepsi, meliputi:8


11

 Faktor herediter: Beberapa penyakit herediter yang disertai rekurensi kejang,

seperti sclerosis tuberkulosa, neurofibromatosis, hipoparatiroidisme,

hipoglikemia

 Faktor genetik: Disebabkan oleh ambang rangsang serangan yang lebih

rendah dari normal diturunkan secara genetik pada anak. Bila salah satu

anggota keluarga ada yang menderita epilepsi, maka dapat terjadi peluang

terjadinya epilepsi pada bayi yang baru dilahirkan.

 Kelainan kongenital otak: Atrofi, agenesis corpus callosum.

 Gangguan metabolik tubuh atau elektrolit: Hipoglikemia, gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan asam amino.

 Gangguan neurologis: Tumor, trauma serebrovaskuler, degeneratif dan stroke,

sklerosis tuberkulosa.

 Racun: Timah, timbal, kamper (kapur barus), Hg.

 Trauma kepala: Kontusio cerebri, hematoma subarakhnoid, hematoma

subdural.

 Infeksi: Radang yang disebabkan oleh bakteri atau virus pada otak dan

selaputnya.

 Defisiensi vitamin: Piridoksin.

 Neoplasma otak dan selaputnya.

Bila ditinjau dari faktor etiologi, epilepsi dapat dibagi menjadi dua

golongan, yaitu:9

1. Epilepsi primer (epilepsi idiopatik).


12

Epilepsi ini penyebabnya tidak diketahui, dimana tidak ditemukan

kelainan pada jaringan otak. Sebagian besar epilepsi pada anak merupakan

epilepsi idiopatik, dimana terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat

kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.

2. Epilepsi sekunder (epilepsi simtomatik).

Epilepsi ini penyebabnya diketahui dengan gejala yang timbul merupakan

gejala sekunder atau akibat dari kelainan jaringan otak. Gejalanya dapat berupa

demam tinggi, penyebab intrakranial (trauma, infeksi, cerebral palsy, AIDS,

meningitis, ensefalitis), penyebab sistemik (obat-obatan, serta gangguan

metabolisme).

2.2.2 Klasifikasi Epilepsi

Titik awal kerangka klasifikasi epilepsi adalah tipe kejang. 10 Klasifikasi

kejang epilepsi telah dikembangkan oleh Task Force on Classification and

Terminology of the International League against Epilepsy (ILAE).10 Klasifikasi

kejang didasarkan pada riwayat klinis dan manifestasi serta studi laboratorium,

neurofisiologis, dan radiografi.10 Kejang tingkat pertama diklasifikasikan menjadi

onset fokal, onset generalisata dan onset tidak diketahui. Klasifikasi kejang yang

saat ini digunakan terangkum pada Tabel 1.6

Tingkat kedua adalah tipe epilepsi dan mengasumsikan bahwa pasien

memiliki diagnosis epilepsi berdasarkan definisi 2014.10 Tingkat kedua tipe


13

epilepsi yaitu epilepsi generalisata, fokal, kategori tidak dikenal dan terdapat

kategori baru yaitu "Combined Generalized dan Focal Epilepsy ".10

Tingkat ketiga adalah sindrom epilepsi.10 Sindrom epilepsi mengacu pada

sekelompok fitur yang menggabungkan tipe kejang, EEG, dan fitur pencitraan

yang cenderung terjadi bersamaan.10 Tipe sering memiliki fitur yang tergantung

pada usia seperti usia onset dan remisi (jika ada), pemicu kejang, variasi diurnal

dan kadang-kadang prognosis.10 Mungkin juga memiliki komorbiditas yang

berbeda seperti disfungsi intelektual dan kejiwaan, bersama dengan temuan

spesifik pada EEG dan studi pencitraan.10 Hal ini mungkin terkait implikasi

etiologis, prognostik dan pengobatan.10

Tabel 2.1 Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi6


14

Gambar 2.1 Kerangka Kerja untuk Klasifikasi Epilepsi.


* Menunjukkan serangan kejang 10

Pada tahun 1989 ILAE juga mengklasifikasikan berbagai epilepsi yang

tercantum dalam Tabel 2.6 Para peneliti dan dokter menggunakan Klasifikasi

Kejang dan Epilepsi Internasional untuk mengidentifikasi jenis kejang dan

epilepsi tertentu, membuat diagnosis, serta untuk memutuskan pengobatan.6

Tabel 2.2 Klasifikasi Internasional Epilepsi6


15

2.2.2.1 Kejang Parsial/Fokal

Epilepsi parsial merupakan serangan sebagian yang sederhana berasal dari

satu lokasi pada otak dan tidak menyebabkan hilangnya kesadaran.10 Epilepsi tipe

ini memperlihatkan terlepasnya muatan listrik neuron cerebral dari daerah korteks

tertentu yang terbatas pada satu hemisfer otak.10 Epilepsi parsial, terdiri dari :6

a. Kejang parsial sederhana (Simple partial)

Bermanifestasi sebagai gejala yang dialami pasien pada awal kejang.

Gejala-gejala seperti itu mungkin merupakan satu-satunya manifestasi dari

kejang atau mungkin berlanjut. "Sederhana" berarti kesadaran tidak terganggu


16

dan "parsial" berarti hanya sebagian dari korteks yang terganggu oleh

kejang.Terdapat beberapa tipe kejang parsial, yaitu :6

1. Kejang motorik melibatkan perubahan aktivitas otot. Paling sering, tubuh

menjadi kaku atau otot-otot mulai tersentak di satu area tubuh seperti jari

atau pergelangan tangan. Beberapa kejang parsial menyebabkan

kelemahan satu atau lebih bagian tubuh, termasuk saluran pernapasan dan

alat vokal, yang memengaruhi kemampuan bernafas dan berbicara.

Kejang motorik juga dapat mencakup tindakan terkoordinasi seperti

melambaikan tangan, mengibaskan kelopak mata, menggulung mata,

menginjak-injak kaki, atau mengepalkan / menggertakkan gigi.

2. Kejang sensorik menyebabkan perubahan sensasi. Halusinasi atau ilusi

sensorik ini dapat melibatkan semua jenis sensasi seperti berikut ini :

 Sentuhan (misalnya, perasaan kesemutan atau sengatan listrik)

 Bau (seringkali merupakan bau yang tidak menyenangkan)

 Rasa (mencicipi hal-hal yang tidak ada di mulut)

 Penglihatan (misalnya, titik cahaya atau kabur)

 Mendengar (misalnya, klik, dering, atau suara seseorang)

 Orientasi dalam ruang (mis. melamun atau memutar perasaan)

3. Kejang otonom menyebabkan perubahan pada sistem saraf otonom. Hal

ini dapat bermanifestasi sebagai perubahan dalam jantung dan laju

pernapasan, menyebabkan keringat, atau sensasi yang tidak

menyenangkan di perut, dada, atau kepala.


17

4. Kejang psikis bermanifestasi sebagai emosi mendadak seperti ketakutan,

kecemasan, depresi, atau kebahagiaan. Kejang jenis ini juga dapat

membuat pasien merasa seolah-olah mereka telah hidup seperti saat ini

sebelumnya (deja-vu), hal-hal yang akrab terasa asing bagi mereka

(jamais vu), atau dunia tidak nyata.

Grafik 2.1 Klasifikasi Kejang6

b. Kejang parsial kompleks (complex partial)

Pada kejang parsial kompleks, kesadaran terganggu sampai batas tertentu.

Tidak ada ingatan tentang apa yang terjadi selama kejang tersebut. Kelesuan

dan kebingungan sering terjadi setelah kejang. Kejang parsial biasanya

berlangsung dari 30 detik hingga dua menit. Pada 30% pasien dengan kejang
18

parsial, kejang parsial berkembang menjadi kejang generalisata sekunder.

Dalam kasus seperti itu aktivitas listrik berlebihan yang dimulai di daerah

terbatas menyebar untuk melibatkan kedua sisi otak.

c. Kejang parsial yang berkembang menjadi kejang generalisata sekunder

2.2.2.2 Kejang Generalisata

Pada kejang generalisata semua daerah korteks terganggu. Kejang ini

terdiri dari :6

a. Tonic-clonic

Kejang tonic-clonic (grand mal) berasal dari semua daerah korteks.

Kejang ini dimulai dengan kehilangan kesadaran secara tiba-tiba, sering

kali berhubungan dengan tangisan. Ini bukan tangisan karena rasa sakit

melainkan dari udara yang dipaksa melalui pita suara yang berkontraksi.

Semua otot lengan, kaki, dada, dan punggung menjadi kaku. Pasien akan

jatuh dan punggung melengkung, kemudian otot-otot mulai tersentak dan

berkedut. Selama fase clonic ini lidah atau pipi dapat tergigit, dan air liur

berbusa serta berdarah keluar dari mulut. Kontrol usus dan kandung kemih

juga bisa hilang. Kejang biasanya berlangsung dari satu hingga tiga menit.

Fase setelah kejang disebut periode postictal di mana pasien lelah dan

bingung selama beberapa menit dan kemudian tertidur.

Ketika kejang tonic-clonic bertahan lebih dari lima menit atau

berulang dalam serangkaian tiga atau lebih kejang tanpa kembali ke

kesadaran di antara serangan, keadaan darurat neurologis yang serius yang


19

disebut status konvulsif epileptikus telah berkembang. Hal ini

membutuhkan perhatian medis segera.

b. Absence (atipikal dan tipikal)

Kejang absence (petit mal) adalah jenis kejang generalisata yang

paling umum terjadi pada anak-anak antara usia 4 dan 14 tahun. Kejang

jenis ini dimulai tanpa peringatan. Kejang berlangsung dari 10 hingga 25

detik. Kejang Petit mal dapat terjadi hingga ratusan kali sehari. Terdapat 2

tipe kejang absence yaitu tipikal dan atipikal. Kejang absen tipikal adalah

karakteristik epilepsi generalisata idiopatik dan kejang absen atipikal

terjadi pada epilepsi umum simptomatis.6

1. Tipikal

Kejang absen tipikal dikaitkan dengan berbagai tanda dan gejala

seperti gerakan clonic simetris (berkedip cepat), perubahan postur

tubuh (misalnya, truncal arching atau kepala jatuh), tanda automatisme

(gerakan wajah sering), dan perubahan otonom (misalnya, pucat,

dilatasi pupil, flushing, piloereksi, takikardia, atau berliur). Kejang

petit mal tipikal tidak memiliki periode postictal, dan mereka diinduksi

oleh hiperventilasi.

2. Atipikal

Kejang petit atipikal juga ditandai dengan tanda motorik dan

perubahan tonus otot. Kejang ini mungkin diikuti oleh kebingungan

postictal. Kejang sering terjadi pada saat bangun atau selama episode

kantuk, tetapi tidak terprovokasi oleh hiperventilasi..


20

c. Myoclonic

Kejang myoclonic adalah kontraksi otot mirip syok yang biasanya

melibatkan kedua sisi tubuh secara bersamaan. Kejang myoclonic dapat

terjadi pada beberapa orang sehat ketika mereka tertidur di malam hari. Ini

disebut myoclonic nokturnal jinak atau tersentak tidur. Bentuk kejang ini

dianggap sebagai tipe kejang nonepilepsi meskipun ada gerakan yang

serupa terjadi pada kejang myoclonic. Kejang myoclonic epileptik

memiliki durasi pendek dan biasanya tidak memiliki fase postictal.

Mereka dapat terjadi pada epilepsi umum primer dan sekunder.

d. Atonic

Kejang atonic atau serangan jatuh bermanifestasi sebagai

hilangnya kekuatan otot secara tiba-tiba. Akibatnya, orang itu akan jatuh

ke tanah. Kejang semacam itu dikaitkan dengan peningkatan risiko cedera

kepala atau rahang. Umumnya kejang ini dimulai pada masa kanak-kanak

dan biasanya berlangsung kurang dari 5 detik. Kejang ini terkait dengan

perubahan kesadaran. Biasanya tidak ada gejala postictal. Kejang atonic

adalah ciri khas dari epilepsi generalisata simptomatis.

e. Clonic

Kejang clonic biasanya dimulai sebelum usia 3 tahun. Kejang

ditandai oleh gerakan menyentak berirama dari ekstremitas sebagai hasil

dari pengulangan yang cepat, kontraksi otot yang tidak lengkap, dan

relaksasi. Kejang clonic generalisata pada dasarnya adalah kejang tonic-


21

clonic tanpa komponen tonic. Selama kejang clonic, kesadaran dapat

terganggu dan terjadi kebingungan postictal.

f. Tonic

Kejang tonic secara umum seperti kejang clonic, juga mulai pada

beberapa tahun pertama kehidupan. Selama kejang tonic, otot-otot truncal

dan wajah tiba-tiba menjadi kaku. Orang tersebut akan jatuh jika kejang

terjadi saat berdiri. Kejang ini memiliki risiko tertinggi menyebabkan

cedera traumatis pada kepala, mulut, dan struktur gigi, dan adanya

kontraksi paksa dari otot rahang. Kejang tonic biasanya berlangsung 5

hingga 20 detik, dan diikuti oleh kebingungan postictal.

g. Kejang yang tidak dapat diklasifikasi

Kejang ini sebagian besar merupakan serangan yang terjadi pada

bayi baru lahir.9

2.3 Manifestasi Klinis Gangguan Konvulsif

Serangan petit mal terdiri dari hilangnya kesadaran sementara yang bisa

bermanifestasi dalam berbagai cara.2 Terdapat sedikit gemetar pada otot badan dan

tangan, kepala menunduk, mata berputar ke atas, atau pergerakan kelopak mata. 2

Bukti klinis epilepsi petit mal jarang muncul sebelum usia 3 tahun dan seringkali

hilang sebelum pubertas.2

Serangan grand mal bisa didahului oleh aura sementara, atau dalam

beberapa kasus, oleh kejang terlokalisisr atau kedutan otot. 2 Serangan ini

merupakan konvulsi umum, biasanya dengan fase tonic atau clonic kejang otot.2
22

Onsetnya cepat dan kejang tonic bisa terjadi secara simultan dengan kehilangan

kesadaran.2 Pasien jatuh ke tanah, pupil membesar, bola mata berputar ke atas atau

ke samping, wajah terdistorsi, clan glottis tertutup.2 Kepala bisa mengangkat ke

belakang atau ke samping, otot perut dan dada tertahan kaku, serta tangan dan

kaki berkontraksi tak teratur atau kaku.2 Lidah bisa tergigit akibat kontraksi otot

rahang yang cepat.2 Saat fase tonic terus berlangsung, wajah yang pucat cepat

menjadi merah, akibatnya diikuti oleh sianosis yang disebabkan oleh terhentinya

semua gerakan pernafasan.2 Fase tonic biasanya berlangsung sekitar setengah

menit dan diikuti oleh fase clonic, yang terdiri dari kejang-kejang dimana

kekakuan dan relaksasi saling berganti dengan cepat.2 Fase clonic berlangsung

selama waktu yang bervariasi.2

Gambar 2.2 Fase tonic dan clonic

Setelah fase klonik serangan grand mal, fungsi normal tubuh kembali

dalam periode sekitar 15 menit sampai 8 jam. 2 Biasanya, lebih sering pasien

mengalami serangan, semakin cepat periode pemulihan setelah serangan berhenti. 2

Ada indikasi bahwa kecemasan dalam, bentuk ketakutan terfokus spesifik seperti

datang ke dokter gigi untuk bedah periodontal karena hiperplasia gusi cenderung
23

mempunyai efek yang menekan serangan.2 Namun demikian, dalam keadaan yang

sangat jarang saat pasien serangan konvulsi sebelum atau selama perawatan gigi,

adalah bijaksana untuk menunda perawatan lebih lanjut di hari lain.2

2.4 Terapi Epilepsi

Penatalaksanaan epilepsi secara umum berupa medikamentosa dan

bimbingan psikososial.2 Tujuan utama terapi adalah mengurangi serangan,

membantu pasien untuk beraktivitas normal, meningkatkan kemampuan mandiri

pasien di rumah dan di komunitas sosial.2

2.4.1 Terapi medikamentosa

Delapan puluh persen (80 %) pasien epilepsi dikontrol dengan obat-

obatan.6 Obat antiepilepsi (AED) digunakan untuk mengobati atau mencegah

kejang.6 Perawatan medikamentosa dilakukan dengan pemberian obat-obatan

peroral.6 Obat-obatan umum yang biasa diberikan adalah antikonvulsan, yang

dapat mencegah serangan epilepsi dengan cara mengurangi lepasnya muatan

berlebih dari neuron tanpa mengubah fungsi sel otak normal. 6 Pemberian obat

antikonvulsan/antiepilepsi tergantung pada klasifikasi epilepsi, ditentukan dengan

riwayat epilepsi dan temuan EEG, usia pasien, efek samping, biaya pengobatan

dan kepatuhan terhadap penggunaan AED.6,8 Terdapat 15 macam obat-oabatan

yang digunakan untuk terapi epilepsi (tabel 2.3).11

Tabel 2.3 Obat-obatan untuk terapi epilepsi11


24

Dua obat utama untuk mengontrol serangan epilepsi grand mal dan

psikomotor adalah fenobarbital dan fenitoin (Dilantin). 2 Fenobarbital dalam

bentuk tablet merupakan obat pilihan untuk digunakan jangka panjang pada

pasien dengan epilepsi grand mal. Obat ini relatif efektif, cukup aman dalam

dosisi terapi untuk jangka waktu lama, dan murah.2 Anak-anak kadang-kadang

akan mengalami idiosinkrasi terhadap fenobarbital.2 Ruam makulopapular di kulit

dan membran mukosa, demam, dan mengantuk berlebihan bisa menjadi pertanda

kelebihan dosis.2 Tanda ini segera hilang jika dosis obat dikurangi atau dihentikan.

Dosis obat fenobarbital mulai dari 8 mg satu sampai tiga kali sehari untuk bayi,

sampai 100 mg satu hingga tiga kali sehari untuk anak-anak dengan penyakit

berat.2

Senyawa hidantoin, seperti fenitoin (Dilantin), adalah satu-satunya obat

yang menyamai barbiturat dalam mengontrol serangan grand mal.2 Diberikan pada

anak-anak dalam bentuk kapsul dan pada anak lebih kecil dalam bentuk tablet

dihancurkan dalam makanan atau jus buah.2 Dosis berkisar antara 25 mg satu atau
25

dua kah sehari untuk bayi sampai 100 mg sekali atau dua kali sehari untuk anak-

anak.2 Keuntungan utamanya yang melebihi barbiturat adalah obat ini bekerja

sebagai antikonvulsi efisien tanpa menyebabkan kantuk berlebihan. 2 Ataksia dan

ngantuk bisa terjadi jika dosis awal terlalu besar. 2 Idiosinkrasi fenitoin jarang

terjadi tetapi bisa berupa nausea atau muntah-muntah, eritema, tremor tangan,

ataksia, penglihatan ganda, manifestasi paralitik, atau psikosis.2

Efek samping paling umum dari terapi fenitoin jangka panjang adalah

adanya hiperplasia gusi sebagai suatu patologi tersendiri. 2 Tergantung dari

pernyataan penelitian, keberadaannya berkisar antara 32% sampai 84% dari

pasien yang minum obat ini secara kronis.2 Penjelasan memuaskan penyebab

hiperplasia gusi pada yang meminum fenitoin tidak tersedia saat ini. 2 Namun

demikian, diketahui bahwa menjaga kebersihan rongga mulut merupakan cara,

paling efektif dalam mencegah hiperplasia fenitoin dari awal dan juga cara paling

efektif untuk meminimalisasi penyebarannya.2 Untuk itulah bahwa semua anak

dalam pengobatan fenitoin untuk mengontrol konvulsi harus secara teratur di

bawah perawtan team dokter gigi yang akan membantu memotivasi dan

menginstruksikan anak dan orang tua dengan teknik kebersihan mulut yang baik.2

2.4.2 Bimbingan Psikososial

Bimbingan psikososial dapat berupa pemberian informasi terhadap orang

tua dan anak terhadap serangan epilepsi yang akan mungkin terjadi. 8 Perawatan

dengan menggunakan pengobatan yang optimal sebagian besar pasien akan


26

terbebas dari serangan.8 Motivasi yang kuat harus diberikan juga pada anak

tersebut agar dapat ikut serta dalam kegiatan dan pergaulan seperti anak normal.8

2.5 Tujuan Pengobatan

Penderita konvulsi kambuhan parah seringkali mengalarni

kerusakan atau penyakit otak, mereka lebih cepat dikenal daripada mayoritas

pasien yang merespon baik terhadap antikonvulsan.2 Oleh karena itu, masyarakat

terlalu sering menghubungkan bentuk gangguan konvulsi kambuhan dengan

retardasi mental dan gangguan kepribadian.2

Tujuan utama perawatan adalah untuk mengurangi jumlah serangan,

mendorong pasien untuk mencapai kema mpuan alami terbaiknya,

dan meningkatkan penerimaannya di rumah dan dalam komunitas berdasarkan

atas kemampuan alaminya.2 Oleh karena perilaku anak terhadap penyakitnya

biasanya merefleksikan sikap orang tuanya, dalam menangani epilepsi penting

bagi seluruh keluarga mendapat informasi dan konsultasi selama tahap awal

setelah diagnosis dan telah dibuat prognosis.2 Jika filosofi dokter yang merawat

mengkombinasikan kenyataan dan optimisme, maka dapat diharapkan keuntungan

jangka panjang.2 Seringkali psikologis atau psikiatris membantu menuntun

pasien dan keluarga untuk hidup senormal mungkin dalam hidup.2 Poin-poin

berikut menurut Nelson dan rekan merupakan dasar tidak hanya untuk pasien dan

keluarga, tetapi juga mereka yang berkontak dengan pasien epilepsi.2


27

1. Serangan adalah sebuah gejala, dan akan jarang menyebabkan kerusakan

ireversibel pada sistem saraf pusat kecuali berhubungan dengan bukti syok

klinis (kolaps vaskuler penferal).

2. Jika anak-anak terlihat secara langsung atau tidak langsung mendapat

serangan, kontrol dengan obat maka kemungkinan akan sulit. Pada

kebanyakan keadaan menghindari penekanan atas kekambuhan serangan

akan membantu.

3. Pemulihan kepercayaan diri orang tua dan anak adalah penting. Orang

dewasa perlu merasa bahwa mereka adalah orang yang berkompeten dan

mampu memenuhi tanggung jawabnya. Jika anak mendapat pengobatan

dalam jumlah sesuai, terapi tidak akan me mpengaruh i kemampuan

men tal atau kepribadi annya at au menyebabkan kecanduan obat.

Lebih baik melihat anak ini secara normal. memberi hadiah atau

menghukumnya secara berbeda hanya karena mendapat serangan akan

menyebabkan kesulitan perilaku.

4. Pasien perlu lingkungan yang mengizinkan berkompetisi di levelnya

sendiri.

Meskipun pengetahuan penuh oleh profesi medis bahwa epilepsi bukan

penyakit mental atau emosional, banyak masyarakat menganggap epilepsi secara

kabur karena rasa takut dan kepercayaan yang salah. 2 Alasannya mungkin karena

disebabkan oleh tanda fisik yang nyata dari serangan epilepsi dan sebagian karena

fakta bahwa mitos lama dan takhayul menganai epilepsi perlahan-lahan

menghilang.2 Apapun alasannya, masyarakat seringkali memaksa lebih banyak


28

batasan pada orang dewasa penderita epilepsi daripada mewaspadai penyakitnya

itu sendiri.2

Yayasan Epilepsi Amerika dan organisasi serupa di level negara bagian

dan lokal tidak hanya berfungsi untuk membantu penderita epilepsi dan

keluarganya dalam mengahadapi penyakitnya, tetapi juga bekeria sebagai forum

untuk memberikan pengetahuan pada publik berkenaan dengan penyakit ini. 2

Perang melawan diskriminasi masyarakat dan pekerjaan terhadap penderita

epilepsi sedang dilakukan melalui pemberian pemahaman lebih besar pada

masyarakat terhadap penyakit ini. 2 Juga sedang diperjuangkan oleh pengacara

melalui penggunaan penegakan hukum.2


BAB III

MANIFESTASI DENTAL GANGGUAN KONVULSIF

Konvulsif, seperti telah dijelaskan sebelumnya, disebabkan oleh kerusakan

cerebral atau cedera yang didapat sebelum, selama atau segera setelah kelahiran. 2

Karena hal ini, pemeriksaan nerologis pada pasien konvulsi kambuhan bisa

memperlihatkan kerusakan sistem saraf pusat yang mengakibatkan retardasi

mental dan atau cerebral palsi.2


Terdapat kesulitan untuk menentukan penyebab, waktu, dan lama cedera

sistem saraf pusat.2 Namun demikian, hubungan antara, abnormalitas morfologi

mahkota gigi yang terlihat dan keruskaan sistem saraf pusat terbukti merupakan

area penelitian yang menarik dalam tahun-tahun terakhir.2


Kelima puluh dua mahkota gigi manusia (primer dan permanen)

mempunyai pola perkembangan osteogenetik berbeda, maka dapat memberikan

suatu jaringan keras atau catatan permanen cedera atau infeksi yang

mempengaruhi mahkota yang sedang berkembang selama periode waktu tertentu. 2

Gigi primer, insisif permanen, dan molar pertama permanen semuanya mengalami

perkembangan penting mahkota dari 33 hari in utero sampai umur 2 tahun.2


Bahan teratogenik hanya mempengaruhi jaringan dan sistem organ dalam

periode kritis perkembangan embriologis pada saat teratogen mengenai tubuh. 2

Teratogen seperti infeksi virus, yang mungkin masuk pada semester kedua dan

ketiga kehamilan akan mengganggu perkembangan beberapa mahkota gigi yang

ternyata dalam periode kritis perkembangan.2


Studi oleh Kraus dan rekan memastikan hipotesa ini.2 Dalam studi ini, diperiksa

model gigi dari 449 orang antara usia 6 dan 21 tahun. 2 Kelompok kontrol terdiri

29
30

dari 260 naracoba, sisanya menderita retardasi mental. 2 Populasi retardasi mental

mempunyai frekuensi gigi abnormal yang lebih tinggi.2


Teratogen yang menyebabkan gangguan konvulsif bentuk akut dan kronis

kemungkinan menyebabkan abnormalitas mahkota gigi dengan frekuensi lebih

tinggi.2

3.1 Kelainan Jaringan Keras dan Jaringan Lunak Rongga mulut


a. Karies gigi dan penyakit periodontal
Frekuensi karies gigi dan penyakit periodontal pada pasien epilepsi lebih

tinggi dibandingkan anak normal.12 Kondisi gigi dan mulut pasien epilepsi

tidak mengalami suatu kelainan khusus yang disebabkan oleh penyakit

epilepsi, melainkan karena efek samping dari mengkonsumsi obat anti

epilepsi.12 Sebagian besar obat anti epilepsi memiliki efek samping berupa

xerostomia, seperti karbamazepine, fenobarbital dan velproat. 12 Hal ini

menyebabkan berkurangnya self cleansing sehingga terjadi penumpukan plak

yang dapat mengakibatkan terjadinya karies.12 Obat anti epilepsi yang

dikonsumsi oleh pasien anak umumnya berupa sirup dan berbasis sukrosa.12

Penggunan obat anti epilepsi berbasis sukrosa dalam jangka panjang dapat

menyebabkan terjadinya karies rampan pada anak.12

b. Fraktur gigi dan rahang


Bangkitan yang terjadi dapat menimbulkan trauma pada wajah serta rongga

mulut pasien epilepsi.12,13 Trauma dentofasial yang terjadi saat bangkitan

berlangsung dilaporkan dapat menyebabkan luka pada lidah, mukosa bukal,

fraktur wajah, avulsi gigi, dan subluksasi sendi temporomandibular. 12 Apabila

saat serangan epilepsi yang berlangsung singkat ini, pasien dalam keadaan
31

oklusi dan bruxism, maka hal ini akan menyebabkan atrisi pada permukaan

oklusal.12 Proses atrisi ini berjalan cepat dan menyebabkan dentin terbuka

sehingga lebih sensitif terhadap iritasi kimia maupun termis.12 Bila

serangannya terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya fraktur

gigi.12 Sebuah penelitian di Brazil, menunjukkan trauma rongga mulut

terbanyak pada pasien epilepsi adalah terjadinya fraktur mahkota gigi,

kemudian avulsi gigi, luksasi gigi, fraktur gigi tiruan pada pasien yang

edentulous, dan fraktur mahkota gigi tiruan.12 Bangkitan tonik-klonik umum

dapat menyebabkan cedera mulut minor, seperti lidah tergigit, cedera gigi dan

trauma maksilofasial.12 Cedera yang disebabkan akibat jatuh, seperti fraktur

mandibula sering terjadi pada pasien yang mengalami kejang atonik.12

Gambar 3.1 Fraktur mahkota pada gigi anak12

Gambar 3.2 Luksasi ke arah bukal pada gigi anak12

c. Hiperplasia Gingiva
32

Efek samping oral yang paling umum dari obat antiepilepsi adalah

hiperplasia gingiva.11 Hiperplasia gingiva terlihat hampir secara eksklusif

karena penggunaan fenitoin, namun terdapat beberapa laporan juga

mengaitkannya dengan penggunaan carbamazepine.11 Hiperplasia gingiva

ditandai oleh pertumbuhan yang tidak biasa dari jaringan ikat dan epitel

subepitel gingiva, untuk alasan yang tidak diketahui.11 Obat antiepilepsi dapat

mencapai sekitar 50% pada pasien yang kontrol kejang.11 Angka ini dapat

meningkat menjadi 60% setelah 2 percobaan obat (baik kombinasi dari 2 obat

atau 2 monoterapi).11 Setelah percobaan ketiga atau keempat, kontrol kejang

dicapai hanya dalam tambahan 5% pasien.11 Sekali terapi dengan obat telah

ditentukan tidak memiliki harapan, pasien dirujuk ke program epilepsi.11


Hiperplasia yang parah ini dapat menyebabkan keterlambatan erupsi gigi,

sehingga mahkota gigi tertutup oleh gingiva, akibatnya akan terasa sakit saat

pengunyahan.11 Efek samping obat ini terlihat setelah pemakaian jangka

panjang kira-kira setelah 2-18 bulan pengobatan.11 Etiologi terjadinya

hiperplasia gusi masih belum diketahui secara pasti, tetapi keadaan ini

memperlihatkan adanya peningkatan fibroblas dan osteoblas pada jaringan

ikat akibat penggunaan obat.11 Gambaran klinis hiperplasia gingiva biasanya

terjadi secara menyeluruh dimulai dari papila interdental, pembesaran meluas

pada permukaan bukal dan lingual.11 Karakteristik hiperplasia gingiva

memperlihatkan gambaran gingiva dengan konsistensi lunak, berlobus seperti

murbei, edema, sianosis, dan kecenderungan mengalami perdarahan.11

Pertumbuhan gingiva yang progresif menyebabkan perubahan fibrotik,

jaringan interdental membesar, merah muda, padat dan keras pada palpasi. 11
33

Keadaan ini disebut dilantin hyperplasia, phenitoin hyperplasia, dan

diphenyl-hydantoin induced hyperplasia.11

Gambar 3.3 Hiperplasia Gingiva sebagai Efek Samping Medikasi Epilepsi


dengan Obat Fenitoin11,12

d. Ulserasi aftosa rekuren

Penggunaan obat anti epilepsi mengakibatkan terjadinya aftosa rekuren

berulang seperti ulserasi.12

Gambar 3.4 Ulserasi aftosa rekuren pada anak sebagai efek samping obat
antiepilepsi12

e. Luka pada mukosa oral


Efek trauma rongga mulut sering timbul akibat serangan epilepsi. Saat

terjadinya serangan epilepsi, busa saliva keluar dari mulut disertai tergigitnya
34

jaringan mulut, terutama lidah, pipi, dan bibir, sehingga dalam jangka panjang

dapat terbentuk bercak putih yang mengalami keratinisasi. Tekanan abnormal

geligi pada lidah mencetak pola tertentu, tampak sebagai oval-oval cekung.

Keadaan ini biasanya bilateral ataupun terisolasi pada daerah saat lidah

berkontak erat dengan geligi. Tanda tersebut merupakan suatu keadaan yang

disebut crenated tongue. Pipi yang tergigit dapat meningkatkan perubahan

mukosa. Pada awalnya berupa plak dan lipatan putih sedikit menimbul dalam

pola difus yang menutupi trauma. Trauma dalam jangka panjang dapat

menyebabkan suatu respon hiperplastik yang menambah besarnya plak.

Trauma pada bibir sering menyebabkan terjadinya edema yang berfluktuasi,

tidak teratur, dan sakit. Trauma berasal dari luar dapat merusak jaringan lunak

bibir dan menyebabkan luka maupun perdarahan, diantaranya pembesaran

bibir traumatik yang disebabkan individu ini menggigit bibirnya selama

terjadinya serangan.

3.2 Perawatan Gigi pada Pasien Gangguan Konvulsif


Pasien yang hidup dengan gangguan konvulsif (epilepsi) memiliki

kebutuhan khusus selama perawatan gigi.11 Di hampir semua aspek

kesehatan mulut dan status gigi, kondisi pasien dengan epilepsi secara

signifikan lebih buruk daripada kelompok usia yang sesuai pada populasi

umum (nonepilepsi).11 Pasien epilepsi yang tidak terkontrol dan

mengalami kejang tonik-klonik generalisata menunjukkan kesehatan mulut

yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang lebih terkontrol atau

hanya memiliki kejang yang tidak melibatkan alat pengunyahan. 11 Jumlah


35

gigi yang rusak dan hilang, tingkat abrasi dan indeks periodontal secara

signifikan lebih buruk pada pasien dengan epilepsi.11 Mereka yang

memiliki epilepsi juga memiliki gigi yang direstorasi dan diganti secara

signifikan lebih sedikit daripada populasi umum.11

Sikap negatif dokter gigi terhadap pasien epilepsi juga bisa

menjadi penghalang untuk mendapatkan perawatan gigi yang tepat. 11

Dokter gigi cenderung menganggap perawatan pasien epilepsi sebagai hal

yang rumit dan cenderung menawarkan pilihan perawatan yang cepat dan

sederhana.11 Namun demikian, dalam kasus dimana pasien

mempunyai konvulsi kambuhan atau kronis, dokter gigi harus

mengetahui obat apa yang diminum pasien, frekuensi konvulsi, faktor

apa yang menyebabkan serangan (jika diketahui), dan seberapa

terkontrolnya serangan pasien tersebut.11 Dalam banyak kasus, konsultasi

dengan dokter pasien diperlukan untuk mengetahui kasus individual

secara menyeluruh.2

Sebagian besar pasien dengan epilepsi tahu mereka menderita

penyakit ini dan sedang dalam pengobatan atau mereka mengetahui rentan

terhadap kejang.6 Informasi ini harus diperoleh selama kunjungan awal

ketika riwayat kesehatan diambil.6 Beberapa pasien epilepsi mungkin

menyembunyikan gangguan mereka, karena takut ditolak untuk

melakukan perawatan gigi atau mereka menganggap epilepsi sebagai

penyakit yang memalukan.6 Maksud dari pertanyaan semacam itu adalah

untuk memperoleh gambaran lengkap tentang kesehatan pasien. 6 Ini


36

termasuk mengevaluasi dampak epilepsi dalam kehidupan mereka,

mengidentifikasi masalah mulut, dan meminimalkan risiko mereka

mengalami kejang epilepsi selama kunjungan gigi. 6 Informasi ini juga

membantu dalam pengelolaan dan perencanaan perawatan bagi pasien

untuk meminimalkan risiko oral atau kesehatan di masa depan.6

Seperti halnya semua pasien, frekuensi pemeriksaan gigi dan

tindakan profilaksis harus didasarkan pada kebutuhan pasien.6 Tujuannya

adalah untuk mengurangi dan mencegah penyakit gigi dan periodontal

serta penyakit mukosa mulut.6 Interval kunjungan berikutnya lebih sering

dilakukan pada pasien epilepsi karena peningkatan risiko hiperplasia

gingiva sekunder untuk penggunaan AED seperti fenitoin (Dilantin).6

Selama kunjungan gigi, penting untuk menjelaskan kepada pasien

dan orang tua pentingnya kebersihan mulut dan nutrisi yang cukup bagi

kesehatan gingiva dan kesehatan umum mereka.6 Hal ini juga merupakan

saat yang tepat untuk menjelaskan pentingnya penggunaan pasta gigi dan

fluoride tambahan untuk pencegahan kerusakan gigi, terutama pada pasien

yang menderita xerostomia.6

Dokter gigi harus selalu mengingat bahwa stres adalah salah satu

faktor yang dapat memicu kejang.6 Janji temu harus dijadwalkan pada saat

ketika kejang minimal terjadi, jika dapat diprediksi.6 Dokter gigi harus

menjelaskan prosedur gigi yang akan dilakukan kepada pasien sebelum

memulai prosedur. Interaksi ini memungkinkan dokter untuk menilai


37

status pasien selama prosedur dan dapat mengurangi kekhawatiran dan

ketegangan pasien.6

Cahaya bisa menjadi pemicu dalam menginduksi kejang epilepsi. 6

Oleh karena itu, kacamata gelap atau berwarna dapat digunakan sebagai

pelindung mata dan lampu operasi harus dikontrol sehingga diarahkan

hanya ke mulut dan tidak menyebabkan mata pasien berkedip.6

Jika pasien epilepsi menjalani perawaaan gigi rutin, mereka harus

disarankan untuk terus menjalani terapi obatnya.2 Serangan kadang-kadang

bisa disebabkan karena pasien menghentikan terapi obatnya. 2 Orang

dewasa harus diperingatkan untuk tidak minum alkohol untuk

menenangkan ketegangannya, karena alkohol adalah dapat mengakibatkan

serangan.2 Sikap yang tenang dan meyakinkan dari dokter gigi dan stafnya

adalah cara paling efektif untuk menghasilkan efek yang sama pada pasien

epilepsi dalam serangan konvulsif.2

Dalam kasus anak dengan epilepsi, selimut penahan seperti jalinan

nilon Pedi-Wrap dapat digunakan selama perawatan.2 Selain memberikan

rasa aman pada anak, selimut ini juga akan melindung mereka dari cedera

tubuh akibat goncangan tubuh jika mereka terkena serangan.2 Selain itu,

dengan menyediakan penahan, akan memungkinkan perawat dan dokter

gigi untuk berkonsentrasi pada jalan nafas dan aspirasi sekresi selama

serangan.2
38

Gambar 3.5 Pediwrap

Kapanpun pasien epilepsi dirawat, lebih baik menyediakan tongue

blade dari kayu, dibungkus dalam kain dan direkat. 2 Alat semacam ini

dapat meminimalisasi lidah tergigit selama serangan.2 Alat ini juga dapat

digunakan sebagai mouth prop untuk memberikan jalan masuk ujung

pengaspirasi untuk mencegah aspirasi sekresi.2 Jika digunakan sebagai

mouth prop, alat ini juga bisa bekerja sebagai cara efektif membuka mulut

selama serangan berat untuk membuka jalan nafas.2 Mouth prop karet, jika

diikat dengan benang pengaman, dapat berfungsi sama untuk menjaga

mulut tetap terbuka.2

Gambar 3.6 Mouth prop


39

Penggunaan rubber dam selama perawatan pada pasien epilepsi

membawa resiko tertelannya clamp rubber dam jika terjadi serangan

mendadak.2 Namun demikian, bahaya aspirasi dapat dihilangkan hampir

seluruhnya jika clamp rubber dam diikat dengan seutas dental floss yang

bekerja sebagai ikatan pengaman.2 Keuntungan lain penggunaan rubber

dam adalah mengurangi waktu perawatan, menambah kenyamanan pasien,

dan mengurangi kecemasan pasien, yang sepertinya melebihi resiko

aspirasi.2 Jika terjadi serangan, semua alat oral seperti clamp, matriks

band, dll. harus dilepas secepat mungkin.2

3.2.1 Masalah yang Dihadapi Dokter Gigi


Masalah-masalah yang akan dihadapi dokter gigi pada pasien gangguan

konvulsif, yaitu :11


1. Trauma
Kejang tonik-klonik umum sering menyebabkan cedera mulut minor, seperti

menggigit lidah, tetapi juga sering menyebabkan cedera gigi dan dalam

beberapa kasus trauma maksilofasial. Pasien dengan epilepsi dapat

meningkatkan risiko fraktur karena obat antiepilepsi yang dipicu oleh enzim

( misalnya, fenitoin, fenobarbital, karbamazepin) mengubah metabolisme dan

pembersihan vitamin D dan telah dikaitkan dengan osteopenia dan

osteomalacia. Yang menarik, peningkatan risiko fraktur juga dikaitkan dengan

penggunaan benzodiazepin, antidepresan, dan antipsikotik, yang menunjukkan

bahwa otak yang mendasarinya penyakit atau efek samping dari obat

bertanggung jawab atas jatuh dan cedera.


Fraktur dapat memiliki efek catastrophic pada kehidupan pasien dengan

epilepsi, dan langkah-langkah tersedia untuk meminimalkan risiko fraktur,


40

seperti memastikan suplementasi kalsium dan vitamin D yang memadai

(masing-masing minimal 1.000 mg dan 400 IU setiap hari), terutama pada

pasien yang menggunakan fenobarbital, fenitoin atau primidon.


2. Masalah Periodontal
Pertumbuhan berlebih gingiva sebagai komplikasi penggunaan fenitoin telah

dipelajari dengan baik. Sekitar 50% pasien yang menggunakan obat ini akan

mengalami hiperplasia gingiva dalam 12-24 bulan setelah dimulainya

pengobatan. Bukti mengenai pengobatan terbaik untuk hiperplasia gingiva

masih kurang. Beberapa dokter menganjurkan penggunaan klorheksidin,

bilasan asam folat atau keduanya, tetapi kebersihan mulut yang sangat baik

mungkin akan mencegah atau secara signifikan mengurangi keparahan kondisi.

Dalam kasus yang parah, reduksi bedah diperlukan. Obat antiepilepsi yang

lebih baru hanya menghasilkan manifestasi oral. Xerostomia dan stomatitis

telah dilaporkan jarang sebagai efek samping dari carbamazepine, dan ruam

yang mungkin melibatkan rongga mulut telah dikaitkan dengan lamotrigin dan

dapat diperburuk oleh penggunaan bersamaan dari asam valproate.

Asam valproik dapat menyebabkan penekanan sumsum tulang secara

langsung, yang dapat mengganggu penyembuhan luka dan meningkatkan

perdarahan pasca infeksi dan infeksi. Penurunan jumlah trombosit adalah efek

hematologis yang paling umum dan paling dikenal dari asam valproate, insiden

bervariasi dari 5% hingga 40%. Pendarahan yang signifikan secara klinis

jarang terjadi karena trombositopenia biasanya tidak parah. Untuk operasi

elektif, diperlukan evaluasi laboratorium termasuk waktu perdarahan, tingkat

fibrinogen, waktu protrombin, waktu parsial tromboplastinial dan tingkat faktor


41

von Willebrand untuk menilai risiko perdarahan peri dan pasca operasi.

Pendarahan sebagai efek samping potensial harus didiskusikan dengan pasien

dan keluarga mereka dalam persiapan untuk operasi.


3 Masalah Prostodontik
Dalam analisis terbaru dari status prostodontik pasien dengan epilepsi,

ditemukan bahwa dibandingkan dengan kontrol yang sesuai usia, pasien

dengan epilepsi memiliki kecenderungan untuk menjadi edentulous lebih cepat.

Juga ditemukan bahwa perawatan prostodontik bersifat suboptimal, karena

secara signifikan lebih sedikit gigi yang diganti, walaupun pasien epilepsi

cenderung memiliki lebih banyak gigi yang hilang. Berdasarkan temuan ini,

klasifikasi untuk pasien dengan epilepsi sesuai dengan faktor risiko gigi dan

pengelolaan gigi serta memberikan rekomendasi untuk perawatan gigi.


Pedoman khusus juga diberikan, seperti penghentian restorasi pada insisal,

penggunaan protesa fixed dan bukan removable, serta penambahan abutment

jika gigi tiruan parsial fixed akan digunakan. Selain itu, penggunaan basis

logam untuk gigi tiruan lengkap dan retensi teleskopik dengan basis gigi tiruan

yang terbuat dari logam atau diperkuat dengan logam untuk pasien yang

hampir edentulous direkomendasikan bagi mereka yang sering mengalami

kejang parsial yang melibatkan system pengunyahan, sering kejang tonik-

klonik generalisata dan kejang lainnya yang terkait dengan jatuh.


4 Masalah dermatologi
Ruam adalah efek samping umum dari obat antiepilepsi. Meskipun

sebagian besar ruam terkait obat adalah jinak, namun dapat terjadi ruam serius,

termasuk sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik. Antara 5%

dan 7% pasien yang memakai fenitoin dan 5% hingga 17% pasien yang

memakai carbamazepine mengalami ruam. Pasien dengan risiko tertinggi untuk


42

ruam lamotrigin adalah anak-anak dengan riwayat ruam dari obat antiepilepsi

lain (18,2% mengalami ruam lamotrigin).


5 Interaksi Obat
Sejumlah obat yang diresepkan oleh dokter gigi dapat membahayakan

kontrol kejang karena berinteraksi dengan obat antiepilepsi. Sebagai contoh,

metronidazole, agen antijamur (seperti flukonazol) dan antibiotik (seperti

eritromisin) dapat mengganggu metabolisme obat antiepilepsi tertentu.

Pemberian bersama flukonazol dan fenitoin dikaitkan dengan peningkatan

signifikan secara klinis dalam konsentrasi fenitoin plasma, dan dosis yang

terakhir mungkin memerlukan penyesuaian untuk mempertahankan konsentrasi

terapeutik yang aman. Antikonvulsan lain, seperti vigabatrin, lamotrigin,

levetiracetam, oxcarbazepine dan gabapentin, tidak mungkin berinteraksi

dengan flukonazol.
Klaritromisin meningkatkan konsentrasi plasma karbamazepin, dan

pemberian bersama obat ini harus dipantau dengan sangat hati-hati untuk

menghindari toksisitas karbamazepin. Asam valproat dapat dipindahkan dari

protein plasma dan jalur metabolisme dapat dihambat oleh aspirin dosis tinggi,

interaksi ini akan membebaskan konsentrasi valproat serum yang menghasilkan

toksisitas berikutnya.

3.2.2 Hal-hal yang Dilakukan Apabila Terjadi Serangan Epilepsi


Bila serangan epilepsi terjadi pada saat perawatan dental, hal-hal

yang dilakukan adalah sebagai berikut:11

1. Menyingkirkan semua alat disekitar pasien.


43

2. Kepala dan bahu ditahan, dan pasien dipindahkan dari kursi unit ke lantai dan

dibaringkan. Selanjutnya kepala dimiringkan sedemikian rupa untuk

mencegah saliva agar tidak mengganggu sistem pernapasan.


3. Sebelum otot-otot rahang menjadi tegang, finger stall atau sapu tangan

diletakkan di mulut pasien diikatkan diantara di gigi atas dan bawah untuk

mencegah tergigitnya lidah. Jangan memasukkan benda-benda keras kedalam

mulut pada saat terjadinya serangan.


4. Asisten dokter gigi harus terus memegang anggota gerak badan agar terhindar

dari trauma yang mencelakakan selama anggota gerak tersebut aktif (bergerak

tanpa kontrol).
5. Menghubungi RS jika serangan kejang lebih dari 3 menit
6. Menghubungi RS jika pasien menjadi sianotis
7. Jika kejang berlangsung lebih dari 1 menit atau untuk kejang berulang,

berikan dosis diazepam 10 mg secara intramuskuler (IM) atau intravena (IV),

atau 2 mg ativan, IV atau IM, atau 5 mg midazolam, IM atau IV


8. Waspadai kemungkinan gangguan jalan napas atau kejang yang tidak

terkendali
9. Bila pasien ini tidak segera sadar kembali, maka perlu diberikan inhalasi

dengan oksigen untuk mencegah sianosis dan segera dibawa kerumah sakit.
10. Bila pasien sadar kembali, biasanya mental akan dalam keadaan tertekan,

bingung, sakit kepala, sehingga perawatan dental sebaiknya ditunda.

Hal-hal yang dilakukan ketika kejang telah berhenti, yaitu :11


1. Jangan melakukan perawatan gigi lebih lanjut hari itu
2. Cobalah berbicara dengan pasien untuk mengevaluasi tingkat kesadaran

selama fase postictal


3. Jangan berusaha menahan pasien, karena mungkin pasien bingung
4. Jangan mengizinkan pasien meninggalkan ruang perawatan ika tingkat

kesadarannya belum pulih


5. Hubungi keluarga pasien jika pasien sendiri
6. Lakukan pemeriksaan oral singkat untuk cedera yang berkelanjutan
44

7. Berdasarkan pada hasil keadaan postictal, memulangkan pasien ke rumah, ke

dokter keluarga atau ke ruang gawat darurat bersama orang yang

bertanggungjawab untuk penilaian lebih lanjut


BAB IV

KESIMPULAN

Konvulsif artinya adalah periode kontraksi otot yang tidak disengaja

(involuntary), sering diikuti oleh periode kelesuan dan kebingungan mendalam,

terkadang hingga tidur nyenyak. Kemajuan dalam teknologi diagnostik,

farmakoterapi dan pemahaman proses neurologis memungkinkan dokter gigi

untuk memahami dan mengelola pasien gangguan konvulsif dengan lebih baik.

Penderita epilepsi dapat dirawat dengan aman dalam praktik gigi umum.

Pemeriksaan riwayat medis yang menyeluruh harus dilakukan dan diperbarui pada

setiap kunjungan. Riwayat kejang harus diperhitungkan saat merencanakan

perawatan gigi. Dokter gigi harus memiliki pemahaman tentang gangguan kejang,

sehingga dapat memberikan layanan yang sangat berharga bagi pasien mereka,

tidak hanya memberikan kesehatan mulut, tetapi juga menjaga dan

mempromosikan kesehatan sistemi pada pasien gangguan konvulsif.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Hauser WA. The Prevalence and Incidence of Convulsive Disorders in


Children. Epilepsia. 1994;35:S1–6.

2. Nowak AJ. Dentistry for the Handicapped Patients. Michigan: Mosby;


1976.

3. Joint Royal Colleges Ambulance Liaison Committee (JRCALC). UK


Ambulance Service Clinical Practice Guidelines (2006). Ethical Issues -
Consent. 2006;(October):1–7.

4. Pusponegoro H. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Xii Ikatan Dokter


Anak Indonesia Cabang Dki Jakarta Penyunting: Ikatan Dokter Anak
Indonesia Cabang Dki Jakarta 2015 Cabang DKI Jakarta. 2015.

5. Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari
Pediatr. 2016;13(2):123.

6. Jacobsen PL. Epilepsy and the Dental Management. Int Classif.


2018;9(1):54–62.

7. Lukas A, Harsono H, Astuti A. Gangguan Kognitif Pada Epilepsi. Berk Ilm


Kedokt Duta Wacana. 2016;1(2):144.

8. Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri. In Kusumawardhani A. Gangguan Mental


Organik pada Epilepsi. Vol. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

9. Soetoemenggolo TS, Ismael S. Buku Ajar Nerologi Anak. BP IDAI. BP


IDAI; 1999. 115–117 p.

10. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, Guilhoto L, Hirsch E,


et al. ILAE Classification of the Epilepsies Position Paper of the ILAE
Commission for Classification and Terminology. 2018;58(4):512–21.

11. Aragon CE, Burneo JG. Understanding the patient with epilepsy and
seizures in the dental practice. J Can Dent Assoc (Tor). 2007;73(1):71–6.

12. Nugraha PY. Penatalaksanaan Perawatan gigi dan Mulut pada Anak
Epilepsi. J Kedokt Gigi. 2015;11.

13. Scully C. Medical Problems in Dentistry. 6th ed. Churchill Livingstone:


Elsevier; 2010.

46

Anda mungkin juga menyukai