Anda di halaman 1dari 54

ANTIGEN DAN ANTIBODI

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Imunologi

Disusun oleh :

Rahastuti 160421180005
Heidy Stefanie Yonathan 160421180006

Pembimbing :

Prof. Dr. Oki Suwarsa, dr.,Sp.KK (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS PERIODONSIA


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ .. 2

BAB II ANTIGEN ........................................................................................... 3

2.1 Definisi Antigen ............................................................................................. 3

2.2 Karakteristik Antigen ..................................................................................... 4

2.3 Pembagian Antigen ........................................................................................ 5

2.4 Sifat Antigen .................................................................................................. 10

BAB III ANTIBODI ......................................................................................... 12

3.1 Struktur Antibodi .......................................................................................... 14

3.2 Determinan Antigen Imunoglobulin ............................................................. 18

3.3 Biosintesis dan Metabolisme Imunoglobulin ............................................... 20

BAB IV INTERAKSI ANTIGEN ANTIBODI ............................................ 38

4.1 Interaksi Tingkat Primer .............................................................................. 41

4.2 Interaksi Tingkat Sekunder .......................................................................... 47

4.3 Interaksi Tingkat Tersier .............................................................................. 51

BAB V KESIMPULAN ................................................................................ 52

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 53

1
BAB I

PENDAHULUAN

Mikroba patogen seperti virus, bakteri, atau parasit yang berhasil menjebol

pertahanan pertama, akan masuk tubuh dan berhadapan dengan sistem pertahanan

humoral innate, yang merupakan sistem pertahanan langsung non-spesifik

terhadap patogen dengan makrofag sebagai agen yang terdepan. Kerja imunitas

innate ini pada umumnya berhasil menghalangi terjadinya infeksi. Bila tidak

berhasil mengeliminasi agen penginfeksi, maka makrofag dan sel lain yang telah

teraktivasi pada respon innate akan segera membantu menginisiasi respon imun

adaptif.

Mikroba patogen mengandung zat yang mampu merangsang respon

kekebalan tubuh. Hal ini disebut imunogen atau antigen. Antigen merupakan

istilah yang dipakai untuk semua molekul yang merangsang sel B untuk

memproduksi antibodi spesifik. Istilah antigen saat ini digunakan secara lebih luas

untuk mengindikasikan segala bentuk molekul yang secara spesifik dikenali oleh

resptor antigen baik sel B maupun sel T.

Respon imun adaptif ini dikelola oleh sel limfosit B dan T. Berbeda

dengan sistem imun innate, respon imun ini memiliki memori terhadap antigen

spesifik dimana yang terlibat pertama kali dalam pengenalan terhadap antigen

secara spesifik ini adalah imunoglobulin. Imunoglobulin (Ig) itu sendiri

merupakan suatu atibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yaitu sel B yang

teraktivasi, dan berfungsi sebagai reseptor sel untuk suatu antigen (B-cell

receptor/BCR). Makalah ini akan membahas interaksi antara antigen dan antibodi

yang akan diawali dengan pembahasan mengenai antigen dan antibodi.

2
BAB II

ANTIGEN

2.1 Definisi Antigen

Antigen adalah zat yang dalam kondisi yang tepat mampu menginduksi

pembentukan antibodi dan bereaksi secara spesifik dengan antibodi sehingga

dihasilkan. Antigen akan bereaksi dengan kedua T-cell recognition receptors dan

antibodi. Molekul-molekul antigenik dapat memiliki beberapa determinan

antigenik yang disebut epitop, dan masing-masing epitop dapat mengikat antibodi

spesifik. Dengan demikian, antigen tunggal dapat mengikat banyak antibodi yang

berbeda dengan situs mengikat yang berbeda.

Beberapa molekul-molekul-berat badan rendah disebut haptens, yang tidak

dapat membangkitkan respon imun tetapi dapat bereaksi dengan antibodi yang

ada. Molekul-molekul ini perlu digabungkan ke molekul carrier untuk menjadi

antigenik. Untuk beberapa molekul seperti obat-obatan, molekul perlu konjugasi

ke molekul carrier. Molekul carrier dapat merupakan protein host. Struktur tersier

molekul yang sama baiknya seperti sequence asam amino penting dalam

menentukan antigenisitas.

Struktur tertentu seperti lipid dan DNA yang secara umum miskin akan

antigen. Kebanyakan antigen adalah berbentuk thymus dependent atau antigen

timus independen. Antigen thymus dependent membutuhkan partisipasi dari T-

cell. Sebagian besar protein dan sel darah merah asing adalah contoh dari

molekul-molekul ini. Antigen thymus independent tidak memerlukan partisipasi

3
T-sel untuk produksi antibodi. Sebaliknya, mereka langsung merangsang limfosit

B spesifik dengan silang reseptor antigen pada permukaan sel B.

Molekul-molekul ini terutama menghasilkan antibodi IgM dan IgG2 dan

tidak merangsang sel-sel memori yang tahan lama. Kebanyakan dari polisakarida

bakteri (yang ditemukan pada dinding sel bakteri) termasuk dalam kategori ini.

Bebebapa polisakarida tertentu, seperti LPS (lipopolisakarida), tidak hanya

menginduksi aktivasi sel B spesifik, tetapi juga dapat bertindak sebagai stimulan-

sel B poliklonal.

2.2 Karakteristik antigen

Karakteristik antigen yang sangat menentukan imunogenitas respon

imun adalah sebagai berikut :

1. Asing (berbeda dari self )

Pada umumnya, molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat

imunogenik, jadi untuk menimbulkan respon imun, molekul harus dikenal

sebagai nonself.

2. Ukuran molekul

Imunogen yang paling poten biasanya merupakan protein berukuran

besar.  Molekul dengan berat molekul kurang dari 10.000 kurang bersifat

imunogenik dan yang berukuran sangat kecil seperti asam amino tidak

bersifat imunogenik.

4
3. Kompleksitas kimiawi dan struktural

Jumah tertentu kompleksitas kimiawi sangat diperlukan, misalnya

homopolimer asam amino kurang bersifat munogenik dibandingkan

dengan heteropolimer yang mengandung dua atau tiga asam amino yang

berbeda.

4. Determinan antigenic (epitop)

Unit terkecil dari antigen kompleks yang dapat dikat antibody disebut

dengan determinan antigenik atau epitop.  Antigen dapat mempunyai satu

atau lebih determinan.  Suatu determinan mempunyai ukuran lima asam

amino atau gula.

5. Tatanan genetik penjamu

Dua strain binatang dari spesies yang sama dapat merespon secara berbeda

terhadap antigen yang sama karena perbedaan komposisi gen respon imun.

6. Dosis, cara dan waktu pemberian antigen

Respon imun tergantung kepada banyaknya natigen yang diberikan, maka

respon imun tersebut dapat dioptmalkan dengan cara menentukan dosis

antigen dengan cermat (termasuk jumlah dosis), cara pemberian dan waktu

pemberian (termasuk interval diantara dosis yang diberikan).

2.3 Pembagian Antigen

1. Pembagian menurut epitop

Menurut epitop, antigen dapat dibagi sebagai berikut:

5
a.  Unideterminan, univalen yaitu hanya satu jenis determinan atau epitop

pada satu molekul.

b.  Unideterminan, multivalen yaitu hanya satu determinan tetapi dua atau

lebih determian tersebut ditemukan pada satu molekul.

c.  Multideterminan, univalen yaitu banyak epitop yang bermacam-macam

tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein).

d.  Multideterminan, multivalen yaitu banyak macam determinan dan

banyak  dari setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat

molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi).

2. Pembagian menurut spesifisitas

Menurut spesifisitas, antigen dapat dibagi sebagai berikut:

a.  Heteroantigen, yaitu antigen yang terdapat pada jaringan dari spesies yang

berbeda.

b.  Xenoantigen yaitu antigen yang hanya dimiliki spesies tertentu.

c.  Alloantigen (isoantigen) yaitu antigen yang spesifik untuk individu dalam

satu spesies.

d.  Antigen organ spesifik, yaitu antigen yang dimilki oleh organ yang sama

dari spesies yang berbeda.

e.  Autoantigen, yaitu antigen yang dimiliki oleh alat tubuh sendiri

6
3.  Pembagian menurut ketergantungan terhadap sel T Menurut

ketergantungan terhadap sel T

Antigen dapat dibagi sebagai berikut:

a.  T dependent yaitu antigen yang memerlukan pengenalan oleh sel T dan

sel B untuk dapat menimbulkan respons antibodi.  Sebagai contoh

adalah antigen protein.

b.  T independent yaitu antigen yang dapat merangsang sel B tanpa

bantuan sel Tuntuk membentuk antibodi.  Antigen tersebut berupa

molekul besar polimerik yang dipecah di dalam badan secara perlahan-

lahan, misalnya lipopolisakarida, ficoll, dekstran, levan, dan flagelin

polimerik bakteri.

4. Pembagian menurut sifat kimiawi

Menurut sifat kimiawi, antigen dapat dibagi sebagai berikut:

a. Hidrat arang (polisakarida)

Hidrat arang pada umumnya imunogenik. Glikoprotein dapat

menimbulkan respon imun terutama pembentukan antibodi. Respon

imun yang ditimbulkan golongan darah ABO, mempunyai sifat antigen

dan spesifisitas imun yang berasal dari polisakarida pada permukaan sel

darah merah.

7
b. Lipid

Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat

oleh protein carrier.  Lipid dianggap sebagai hapten, sebagai contoh

adalah sphingolipid.

c. Asam nukleat

Asam nukleat tdak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila diikat

oleh protein carrier.  DNA dalam bentuk heliksnya biasanya tidak

imunogenik.  Respon imun terhadap DNA terjadi pada penderita

dengan SLE.

d. Protein

Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya

multideterminan univalent.

5. Pembagian menurut asal antigen

a. Exogenous antigen

Exogenous antigen adalah antigen dari luar yang memasuki tubuh,

misalnya melalui pernafasan, penelanan atau injeksi. Kemudian

melalui proses endositosis atau phagositosis di antigen-presenteing

cells (APC), antigen tersebut dipresentasikan ke permukaan sehingga

dikenal oleh T helper cell (CD4) dengan melalui class II

histocompatibility molecules.

8
b. Endogenous antigen

Endogenous antigen adalah antigen yang telah terbentuk dalam sel

sebagai hasil dari metabolisma normal dari sel, atau disebabkan karena

infeksi bakteri atau virus di intraseluler.

c. Autoantigen

Autoantigen itu biasanya adalah protein normal atau protein kompleks

(kadang-kadang bisa DNA atau RNA). Antigen ini dalam kondisi

normal, bukan merupakan target dari sistem imun, tetapi karena faktor

genetik (sebagian besar) dan faktor lingkungan, maka immunological

tolerance untuk mengenali antigen ini telah hilang.

d. Tumor antigen

Tumor antigen atau Neoantigen adalah antigen yang dipresentasikan

melalui molekul MHC I atau MHC II pada permukaan dari sel tumor.

Antigen ini dihasilkan oleh sel tumor , tidak pernah dihasilkan dari sel

yang normal.

e. Native antigen

Native antigen adalah antigen yang belum di proses APC menjadi

bagian yang lebih kecil. Sel T tidak dapat mengikat native antigen,

sedangkan Sel B dapat diaktifkan oleh native antigen.

Antigen juga dibagi menjadi antigen lengkap dan antigen tidak lengkap. 

Antigen lengkap merupakan salah satu dari antigen yang dapat menginduksi

respon imun dan bereaksi dengan produknya sebagai respo tersebut.  Antigen

9
lengkap meliputi imunogen dan antigen.  Antigen tidak lengkap (hapten) adalah

substansi kimia aktif yang mempunyai berat molekul kecil yang tidak dapat

menginduksi respon imun oleh dirinya sendiri tetapi dapat bergabung dengan

molekul yang lebih besar (carrier atau Schlepper) menjadi bersifat imunogenik

dan dapat mengikat antibodi. 

Dalam bentuk momomer, suatu protein dapat ditoleransi oleh host, tetapi

dalam bentuk polimer, protein tadi menjadi sangat imunogen. Protein merupakan

imunogen potensial karena molekulnya besar. Sebagai imunogen, protein dapat

dalam keadaan murni, dalam bentuk lipoprotein, glikoprotein ataupun bentuk

nukleoprotein.

2.4 Sifat-Sifat Antigen

Antigen memiliki beberapa sifat-sifat yang khas pada antigen tersebut,

sifat-sifat tersebut antara lain :

1. Keasingan

Kebutuhan utama dan pertama suatu molekul untuk memenuhi syarat

sebagai imunogen adalah bahwa zat tersebut secara genetik asing terhadap

hospes.

2. Sifat-sifat Fisik

Agar suatu zat dapat menjadi imunogen, ia harus mempunyai ukuran

minimum tertentu, imunogen yang mempunyai berat molekul yang kecil,

respon terhadap hospes minimal, dan fungsi zat tersebut sebagai hapten

sesudah bergabung dengan proten-proten jaringan.

10
3. Kompleksitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik

sifat fisik maupun kimia molekul.

4. Bentuk-bentuk (Conformation)

Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang imunogen. Polipeptid

linear atau bercabang, karbohidrat linear atau bercabang, serta protein

globular, semuanya mampu merangsang terjadinya respon imun.

5. Muatan (charge)

Imunogenitas tidak terbatas pada molekuler tertentu; tidak terbatas pada

molekuler tertentu, zat-zat yang bermuatan positif, negatif, dan netral

dapat imunogen. Namun demikian imunogen tanpa muatan akan

memunculkan antibodi yang tanpa kekuatan.

6. Kemampuan masuk

Kemampuan masuk suatu kelompok determinan pada sistem pengenalan

akan menentukan hasil respon imun.

11
BAB III

ANTIBODI

Antibodi adalah globulin protein (immunoglobulin) yang disintesa pada

serum dan cairan jaringan, yang memberikan respon terhadap struktur asing yang

disebut antigen.

Antibodi terdapat dalam dua bentuk yaitu antibodi yang terikat membran

pada permukaan limfosit B berperan sebagai reseptor antigen. Bentuk lain adalah

antibodi yang disekresi yang masuk ke sirkulasi, jaringan, dan mukosa yang

mengikat antigen, menetralisir toksin, dan mencegah mikroba patogen masuk dan

menyebar dalam tubuh. Antibodi menghasilkan perlindungan dengan beberapa

cara :

1. Mencegah menempelnya mikroba pada permukaan host

2. Mengurangi virulensi mikroba dengan menetralisir toksin dan virus

3. Memfasilitasi fagositosis dengan mengopsonisasi mikroba

4. Mengaktivasi komplemen, yang akan mengakibatkan terjadinya aktivitas

melawan mikroba yang dimediasi oleh komplemen

Von Behring dan Kitasato menunjukkan hasil penelitian pertama yang

membuktikan eksistensi fisik antibodi pada tahun 1890. Mereka

mendemonstrasikan serum yang diambil dari kelinci yang diimunisasi dengan

toksin tetanus dan difteri dapat mencegah penyakit pada tikus yang terinfeksi

dengan patogen yang sama. Substansi yang tidak diketahui yang terdapat pada

serum dan meyediakan perlindungan pada transfer disebut antitoksin oleh Tizzoni

12
dan Cattani pada 1891. Kemudian penelitian Paul Ehrlich dan Jules Bordet

menunjukkan respon perlindungan dapat dihasilkan untuk melawan seluruh sel

(eritrosit). Istilah antibodi yang dirasa lebih inklusif kemudian digunakan untuk

menggantikan istilah antitoksin. Tisselius dan Kabat mendapatkan sukses pertama

dalam mengidentifikasi molekul antibodi pada 1939, mereka mendemonstrasikan

bahwa hiperimunisasi meningkatkan konsentrasi globulin pada serum dan pada

fraksi tersebut mengandung aktivitas antibodi. Karena globulin adalah protein

dengan berat molekul yang besar maka disarankan karakterisasi antibodi yang

lebih lanjut dipecah menjadi fragmen yang lebih kecil dan lebih mudah dipelajari.

Poter pada tahun 1959, berhasil memecah imunoglobulin G (IgG) kelinci

dengan enzim proteolitik papain. Hal tersebut menghasilkan dua fragmen yaitu :

 Fragmen monovalen dengan aktivitas pengikatan antigen disebut Fab (fragmen

antigen binding) dan

 Fragmen kedua yaitu fragmen yang menahan fungsi efektor antibodi disebut

fragmen kristalisasi atau Fc (fragment crystallizable)

Edelman dan Poulik menggunakan metode serupa dalam membagi

globulin myeloma menjadi dua komponen yang disebut rantai berat (heavy chain/

H) dan rantai ringan (light chain/ L). Pada tahun 1964 WHO mengumumkan

istilah imunoglobulin sebagai istilah antibodi.

Terdapat lima kelas imunoglobulin yaitu : imunoglobulin G (IgG),

imunoglobulin M (IgM), imunoglobulin A (IgA), imunoglobulin E (IgE),

imunoglobulin D (IgD).

13
3.1 Struktur Imunoglobulin

Imunoglobulin menunjukkan beberapa sifat :

1. Imunoglobulin merupakan glikoprotein

2. Imunoglobulin merupakan struktur kompleks dari empat rantai polipeptida

yang terdiri dari dua rantai berat (masing-masing 55 kDA) dan dua rantai

ringan (masing-masing 25 kDA).

3. Istilah berat dan ringan menunjukkan berat molekul pada rantai. Rantai berat

memiliki berat molekul 50.000-70.000 Da sementara rantai ringan memiliki

berat molekul 25.000 Da. Rantai berat memiliki rantai yang lebih panjang

sedangkan rantai ringan memiliki rantai yang lebih pendek (Gambar 1).

Gambar 1. Diagram skematik dari monomer imunoglobulin

Rantai Berat

Molekul imunoglobulin memiliki rantai berat. Masing-masing rantai berat

terbuat dari 420-440 asam amino. Kedua rantai berat diikat dengan ikatan

disulfida satu-lima (S-S). Setiap rantai berat terikat ke rantai ringan dengan ikatan

disulfida dan ikatan non kovalen seperti ikatan garam, ikatan hidrogen, dan ikatan

hidrofobik untuk membentuk heterodimer (H-L). Interaksi nonkovalen serupa

14
dan jembatan disulfida membuat dua rantai berat dan ringan (H-L) yang identik

yang berikatan satu sama lain membentuk empat rantai H-L yang menjadi

struktur antibodi.

Rantai berat pada molekul antibodi menunjukkan kelas dari antibodi.

Sebagai contoh: IgM mengandung rantai berat mu (μ), IgG mengandung rantai

berat gamma (γ), IgA mengandung rantai berat alfa (α), IgD mengandung rantai

berat delta (δ) dan IgE mengandung rantai berat epsilon (ε) (Tabel 1). Rantai

berat tersebut membedakan secara struktur dan antigen dari masing-masing kelas

Imunoglobulin. Mereka berbeda pada ukuran, kandungan karbohidrat, dan pada

antigen yang dituju.

Tabel 1. Kelas imunoglobulin dan rantai berat serta subkelas yang ada pada kelas

Rantai Ringan

Imunoglobulin memiliki dua rantai ringan yang masing-masing disusun

oleh 220-240 asam amino. Rantai ringan berikatan dengan rantai berat melalui

ikatan disulfida. Rantai ringan pada masing-masing kelas imunoglobulin memiliki

struktur dan susunan kimia yang sama, yaitu terdiri dari dua tipe : kappa (κ) dan

lambda (λ). Keduanya berbeda pada asam amino yang terdapat pada regio yang

tetap. Masing-masing imunoglobulin memiliki dua rantai κ atau dua rantai λ tapi

15
tidak pernah memiliki keduanya bersamaan. Rantai κ dan λ terdapat pada serum

manusia dengan rasio 2:1.

Regio Variabel dan Regio Konstan

Masing-masing rantai polipeptida dari molekul imunoglobulin

mengandung bagian amino dan bagian karboksi. Bagian amino disebut regio

variabel (V region) berpartisipasi pada pengenalan antigen sedangkan bagian

karboksi disebut regio konstan atau (C region). C region pada rantai berat akan

menyebabkan terjadinya mediasi fungsi efektor.

Keduanya rantai berat dan rantai ringan mengandung regio variabel dan

regio konstan. Regio-regio tersebut terdiri dari struktur tiga dimensi dengan

segmen yang berulang disebut domain. Pada rantai berat, regio variabel disusun

oleh satu domain imunoglobulin dan regio konstan disusun oleh tiga atau empat

domain imunoglobulin. Pada rantai ringan, masing-masing disusun oleh satu

domain imunoglobulin pada regio variabel dan satu domain imunoglobulin pada

regio konstan.

Regio Variabel

Bagian amino dari rantai ringan atau berat terdiri dari 100-110 asam

amino, yang dikenal sebagai regio variabel atau V region (VL pada rantai ringan

dan VH pada rantai berat). Regio V dari rantai berat (VH) akan bersanding

dengan regio V dari rantai ringan (VL) dan membentuk antigen binding site

16
(Gambar 2). Karena struktur utama dari molekul antibodi memiliki dua rantai

berat dan dua rantai ringan maka antibodi memili dua antigen binding site.

Regio variabel pada rantai berat maupun ringan terdiri dari tiga regio

variabel yang disebut regio hipervariabel (hypervariable regions). Fragmen

antigen binding (Fab) molekul antibodi yang terdiri dari 5-10 asam amino

terdapat pada regio hipervariabel pada rantai berat dan rantai ringan. Bagian

antigenbinding ini bertanggung jawab terhadap ikatan spesifik suatu antibodi

dengan antigen. Spesifisitas suatu antibodi ditentukan dari kehadiran regio

hipervariabel tersebut.

Regio Konstan

Bagian karboksil dari molekul disebut regio konstan (constan regions/ C

regions). Terdiri dari dua rangkaian asam amino dasar. Fragmen Fc yang

ditemukan terkristalisasi dibawah kondisi rendah ion, terdapat pada regio konstan

rantai berat. Regio konstan ini terpisah dari antigen binding site sehingga tidak

berperan pada pengenalan antigen.

Regio konstan dari rantai berat berinteraksi dengan molekul efektor dan

sel pada sistem imun lainnya sehingga membantu mediasi fungsi biologis

antibodi. Regio konstan pada rantai ringan tidak berperan pada fungsi efektor dan

tidak langsung terikat pada membran sel.

Molekul antibodi tunggal memiliki dua rantai ringan yang identik dan dua

rantai berat yang identik, atau (H2L2)n multipel dari suatu struktur empat rantai

17
dasar. Subisotipe terdapat pada rantai α dan rantai γ, dan menentukan subkelas

dari imunoglobulin.

Gambar 2. Struktur Antibodi. A. Diagram skematik dari molekul IgG yang disekresi. Antigen
binding site dibentuk oleh domain VL dan VH. Regio konstan (c region) rantai berat terdapat pada
ujung seperti ekor. B. Diagram skematik pada molekul IgM membran pada permukaan limfosit B,
molekul IgM memiliki CH lebih daripada IgG.(Abbas, 2007)

3.2 Determinan Antigen Imunoglobulin

Terdapat tiga tipe mayor determinan antigen imunoglobulin yaitu : isotipe,

alotipe, dan idiotipe.

1. Isotipe

Isotipe dari suatu imunoglobulin mengacu pada regio konstan dari rantai

berat atau rantai ringan imunoglobulin. Imunoglobulin diklasifikasikan

berdasarkan variasi isotipe rantai berat menjadi lima kelas yaitu sperti

yang sudah disebutkan di awal bagian antibodi : IgA, Ig,D, IgE, IgG, IgM.

Rantai berat dibedakan berdasarkan marker isotipe rantai berat seperti μ, γ,

α, δ, dan ε masing-masing pada imunoglobulin IgM, IgG, IgA, IgD, dan

18
IgE, sesuai urutan. Rantai ringan juga ditandai dengan marker isotipe

seperti κ dan λ. Isotipe terdapat pada semua spesies.

Gambar 3. Struktur Berbagai Jenis Imunoglobulin

2. Alotipe

Alotipe mengacu pada perbedaan alel pada kedua regio variabel dan regio

konstan imunoglobulin. Marker alotipe terdapat pada regio onstan rantai

berat dan rantai ringan, yaitu berupa Am pada α rantai berat, Gm pada γ

rantai berat, dan Km pada κ rantai ringan. Marker alotipe tidak ditemukan

pada μ, δ, dan ε rantai berat dan λ rantai ringan. Lebih dari 25 tipe Gm, 3

Km alotipe, dan 2 Am pada IgA yang telah ditemukan. Alotipe terdapat

pada beberapa (tidak semua) jenis spesies dan menunjukkan pola Mendell

pada pewarisannya.

3. Idiotipe

Idiotipe mengacu pada spesifisitas yang berhubungan dengan regio

variabel. Marker idiotipe ditemukan pada regio hipervariabel

imunoglobulin. Idiotipe spesifik pada setiap molekul antibodi.

19
3.3 Biosintesis dan Metabolisme Imunoglobulin

Antibodi didistribusikan pada cairan tubuh dan juga ditemukan pada

permukaan pada beberapa tipe sel yang jumlahnya terbatas. Limfosit B satu-

satunya sel yang menyintesis molekul antibodi. Sel tersebut menginisiasi molekul

antibodi pada permukaan yang berfungsi sebagai reseptor antigen sel B. Setelah

paparan suatu antigen, kebanyakan respon antibodi awal terjadi di jaringan

limfoid, seperti spleen, limfa nodes, jaringan mukosa limfoid. Antibodi yang

diskeresi akan terakumulasi pada plasma, sekresi mukosa, dan cairan interstisial

jaringan. Antibodi tersekresi sering berikatan dengan sel imun lainnya seperti

fagosit mononuklear, NK sel, sel mast.

Secara normal, rantai berat dan ringan disintesis pada poliribosom yang

terpisah dari suatu sel plasma. Jumlah rantai berat dan rantai ringan yang

disintesis di poliribosom biasanya seimbang dan kedua tipe tersebut akan

bergabung membentuk molekul imunoglobulin yang lengkap. Gabungan dari

molekul imunoglobulin lengkap terjadi dengan cara pembentukan hemimolekul

H-L dari satu rantai berat dan rantai ringan kemudian menggabungkan dua

hemimolekul H-L menjadi satu molekul lengkap imunoglobulin (H2L2). Cara lain

yaitu dengan membentuk H2 dan L2 dimer yang kemudian akan digabungkan

menjadi satu molekul lengkap.

Ketika rantai ringan bebas disekresikan oleh sel plasma, rantai berat tidak

akan disekresikan. Rantai berat disintesis dan dikirim ke retikulum endoplasma

dan akan mengalami glikosilasi, tapi sekresinya akan memerlukan rantai ringan

20
untuk membentuk satu molekul imunoglobulin lengkap. Hubungan antara rantai

berat dan rantai ringan distabilisasi dengan ikatan disulfida terjadi di retikulum

endoplasma. Setelah itu antibodi akan mengalami modifikasi karbohidrat di

aparatus golgi, kemudian dikirim ke membran plasma untuk disekresi keluar sel.

Jika rantai ringan tidak disekresi atau rantai berat diskresi berlebih, rantai

berat yang bebas bergabung dengan protein pengikat rantai bebas melalui domain

CH1, yang diyakini bertanggung jawab terhadap kemampuan retensi

intrasitoplasmik.

Masa hidup (T1/2) imunoglobulin adalah parameter utama untuk menilai

tingkat katabolik imunoglobulin. IgG adalah kelas imunoglobulin dengan masa

hidup paling panjang (rata-rata 21 hari) dengan pengecualian IgG3. IgG3

memiliki masa hidup rata-rata 7 hari, IgA memiliki masa hidup 5-6 hari,

sedangkan IgM 5 hari.

Ada 2 jenis rantai ringan yaitu kappa dan lambda yang terdiri atas 230

asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis

imunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgE, IgA, dan IgD. Rantai berat terdiri atas 450-

600 asam amino, sehingga berat dan panjang rantai berat tersebut adalah dua kali

rantai ringan. Molekul imunoglobulin mempunyai rumus bangun yang heterogen,

meskipun hanya terdiri atas 4 unit polipeptida dasar.

21
Gambar 4. Lima jenis imunoglobulin

I. Imunoglobulin G (IgG)

IgG merupakan komponen utama imunoglobulin serum, dengan

berat molekul 160.000 dalton. Kadarnya dalam serum sekitar 13 mg/ml,

merupakan 75% dari semua imunoglobulin. IgG ditemukan dalam

berbagai cairan seperti darah, serebrospinal (CSS), dan juga urin.

 IgG dapat menembus plasenta masuk ke janin dan berperan pada

imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan.

 IgG dan komplemen bekerja saling membantu sebagai opsonin

pada pemusnahan antigen. IgG memiliki sifat opsonin yang efektif

karena sel-sel fagosit, monosit dan makrofag mempunyai reseptor

untuk fraksi Fc dari IgG (Fcɤ-R) sehingga dapat mempererat

hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Opsonin dalam bahasa

Yunani berarti menyiapkan untuk dimakan. Selanjutnya proses

opsonisasi tersebut dibantu oleh reseptor untuk komplemen pada

permukaan fagosit.

22
Gambar 5. Skema desain Imunoglobulin G

IgG merupakan imunoglobulin terbanyak dalam darah, CSS dan

peritoneal. IgG pada manusia terdiri atas 4 subkelas yaitu IgG1, IgG2,

IgG3, dan IgG4 yang berbeda dalam sifat dan aktivitas biologis.

Gambar 6. Subkelas Imunoglobulin G

II. Imunoglobulin A (IgA)

IgA dengan berat molekul 165.000 dalton ditemukan dalam serum

dengan jumlah sedikit. Kadarnya terbanyak ditemukan dalam cairan

sekresi saluran nafas, cerna dan kemih, air mata, keringat, saliva dan

dalam air susu ibu yang lebih berupa IgA sekretori (sIgA) yang merupakan

23
bagian terbanyak. Komponen sekretori melindungi IgA dari protease

mamalia.

Gambar 7. Imunoglobulin A

Fungsi IgA adalah sebagai berikut:

 sIgA melindungi melindungi tubuh dari patogen oleh karena dapat

bereaksi dengan molekul adhesi dari patogen potensial sehingga

mencegah adheren dan kolonisasi patogen tersebut dalam sel

pejamu.

 IgA dapat bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil, monosit

dan makrofag memiliki reseptor untuk Fcα (Fcα-R) sehingga dapat

meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan menetralkan

toksin. IgA diduga juga berperan pada imunitas cacing pita.

 Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat menetralkan

toksin atau virus dan mencegah terjadnya kontak antara toksin atau

virus dengan sel alat sasaran.

 IgA dalam serum dapat mengaglutinasikan kuman, mengganggu

motilitasnya sehingga memudahkan fagositosis (opsonisasi) oleh

sel polimorfonuklear.

 IgA sendiri dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur

alternatif, tidak seperti halnya dengan IgG dan IgM yang dapat

24
mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik. IgA sekretori

(sIgA) dalam bentuk polimerik menjadi stabil oleh ikatan

polipeptida rantai J.

Molekul IgA yang polimerik dan rantai J dibentuk sel plasma di

dalam sel epitel lamina propia selaput lendir (tidak oleh sel B). Pada saat

IgA tersebut dilepas ke dalam lumen saluran cerna, sel epitel juga melepas

bagian sekretori (secretory piece) untuk membentuk sIgA yang terlindung

dari pencernaan oleh enzim. Imunoglobulin dalam cairan lambung terdiri

atas 80% IgA, 13% IgM, dan 7% IgG, yang semuanya berperan pada

imunitas setempat. IgM juga dapat dilindungi bagian sekretori dengan

berat molekul 70.000 dalton sehingga dapat berfungsi bila ada defisiensi

sIgA.

Defisiensi IgA sering disertai dengan adanya antibodi terhadap

antigen makanan dan inhalan pada alergi. Di dalam air susu ibu ditemukan

sIgA, di samping laktoferin, transferin, lisosim, lipid, lactobacillus

promoting factor, fagosit, dan limfosit yang berperan pada imunitas

neonatus.

Kadar IgA yang tinggi dalam serum ditemukan pada infeksi kronis

saluran nafas dan cerna, seperti tuberkulosis, sirosis alkoholik, penyakit

coeliac, kolitis ulseratif, dan penyakit Crohn. Fungsi IgA serum dalam

bentuk monomerik belum banyak diketahui. IgA terdiri atas 2 subkelas

yaitu IgA1 (93%) dan IgA2 (7%). Bila produksi IgA pada permukaan

25
mukosa diperhitungkan, maka IgA merupakan Ig terbanyak. Reseptor

dengan afinitas tinggi untuk kelas IgA ditemukan pada makrofag dan sel

PMN yang berperan dalam fagositosis.

III. Imunoglobulin M (IgM)

Nama M berasal dari makro-globulin dan berat molekul IgM

adalah 900.000 dalton. IgM mempunyai rumus bangun pentamer dan

merupakan imunoglobulin terbesar. IgM mempunyai rumus bangun

pentamer dan merupakan imunoglobulin terbesar. IgM merupakan

imunoglobulin paling efisien dalam aktivasi komplemen (jalur klasik).

Molekul-molekul IgM diikat oleh rantai J (joining chain) seperti halnya

pada IgA. Kebanyakan sel B mengekspresikan IgM pada permukaannya

sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respon imun

terhadap kebanyakan antigen dibanding dengan IgG.

Gambar 8. Imunoglobulin M

IgM juga merupakan imunoglobulin yang predominan diproduksi

janin. Kadar IgM yang tinggi dalam darah umbilikus merupakan petunjuk

26
adanya infeksi intrauterin. Bayi yang baru dilahirkan hanya mengandung

IgM 10% dari kadar IgM dewasa, karena IgM ibu tidak dapat menembus

plasenta. Janin umur 12 minggu sudah mulai membentuk IgM bila sel B-

nya dirangsang oleh infeksi intrauterin, seperti sifilis kongenital, rubela,

toksoplasmosis dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak akan mencapai

kadar IgM dewasa pada usia satu tahun.

Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah

AB, antibodi heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan

mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan

aglutinator poten antigen. Bila seorang anak diimunisasi terhadap produk

bakteri seperti toksoid, akan diperlukan beberapa hari sebelum antibodi

ditemukan dalam darah. Dalam dua sampai tiga hari setelah suntikan

toksoid kedua kali, kadar antibodi dalam darah meningkat tajam dan

mencapai kadar maksimum yang jauh lebih tinggi dibanding respon

primer. Respon sekunder ditandai oleh respon yang lebih cepat serta lebih

banyak produksi antibodi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya ekspansi

sel memori akibat pemberian toksoid pertama.

Hal yang khas terjadi pada respon sekunder adalah pembentukan

imunoglobulin berlangsung lebih cepat dan untuk waktu yang lebih lama,

imunoglobulin mencapai titer tinggi yang terutama terdiri atas IgG. Pada

respon primer, timbulnya IgG didahului oleh IgM.

27
Gambar 9. Imunoglobulin M yang belum diaktivasi dan yang telah diaktivasi

IV. Imnuoglobulin D (IgD)

IgD ditemukan dalam serum dengan kadar yang sangat rendah. Hal

tersebut mungkin disebabkan oleh karena IgD tidak dilepas sel plasma dan

sangat rentan terhadap degradasi oleh proses proteolitik. IgD merupakan

komponen permukaan utama sel B dan petanda dari diferensiasi sel B

yang lebih matang. IgD merupakan 1% dari total imunoglobulin dan

ditemukan banyak pada membran sel B bersama IgM yang dapat berfungsi

sebagai reseptor antigen pada aktivasi sel B.

IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi

terhadap antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komplemen

nukleus. IgD juga diduga dapat mencegah terjadinya toleransi imun, tetapi

mekanismenya belum jelas.

28
Gambar 10. Imunoglobulin D

V. Imunoglobulin E (IgE)

IgE mudah diikat oleh sel mast, basofil, dan eosinofil yang

mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgE (FcƐ-R). IgE dibentuk

setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran nafas dan cerna.

Alergen diikat silang (cross-linking) oleh dua molekul IgE pada

permukaan sel mast akan menimbulkan influks ion kalsium ke dalam sel.

Hal ini menurunkan kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP) intraselular

yang menimbulkan degranulasi sel mast. Selain pada alergi, kadar IgE

yang tinggi ditemukan pada infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit

hidatid, trikinosis dan diduga berperan pada imunitas parasit.

Gambar 11. Struktur Imunoglobulin E

29
Gambar 12. IgE berperan untuk melindungi dari parasit dan hipersensitifitas immediate

VI. Superfamili imunoglobulin

Berbagai struktur rantai berat dan ringan imunoglobulin

mempunyai beberapa struktur sama terutama rantai berat dan ringan yang

mempunyai struktur domain lekukan imunoglobulin. Adanya struktur khas

pada semua rantai berat dan ringan menunjukkan bahwa gen yang

mensandikannya berasal dari gen primordial yang sama, gen yang

mensandi struktur domain dasar / polipeptida yang terdiri dari sekitar 10

asam amino. Sejumlah besar protein membran telah ditemukan

mempunyai satu atau lebih regio homolog terhadap domain

imunoglobulin. Masing-masing protein membran tersebut dibagi sebagai

superfamili imunoglobulin. Di samping imunoglobulin sendiri, superfamili

imunoglobulin terdiri atas :

 Heterodimer Ig-α / Ig-β, bagian dari BCR

 Reseptor poli Ig yang berperan dalam komponen sekretori IgA dan

IgM

30
 TCR

 Protein aksesori sel T seperti CD2, CD4, CD8, CD28 dan rantai α,

ϑ, Ɛ dari CD3

 Molekul MHC-I dan MHC-II

 Mikroglobulin β2, protein invarian yang berhubungan dengan

MHC-I

 Berbagai molekul adhesi seperti VCAM-1, ICAM-1, ICAM-2, dan

LFA-3

 PDGF.

Kebanyakan anggota superfamili imunoglobulin tidak mengikat

antigen, jadi ciri struktur lekuk imunoglobulin yang banyak ditemukan

pada protein membran diduga mempunyai beberapa fungsi di samping

mengikat antigen. Lekuk tersebut diduga memudahkan interaksi antara

protein membran.

VII. Fungsi efektor antibodi-transitosis

Imunitas humoral diperankan antibodi yang dilepas sel plasma di

organ limfoid dari sumsum tulang, dan fungsi fisiologisnya adalah

pertahanan terhadap mikroba ekstraselular dan toksinnya. Antibodi

berperan dalam sejumlah aktivitas biologis lain yang berakhir dalam

eliminasi antigen dan kematian patogen.

31
Ada 4 fungsi efektor utama yaitu opsonisasi, aktivasi komplemen,

ADCC dan proses transitosis atau menghantarkan melalui lapisan epitel.

Tiga proses pertama sudah banyak dijelaskan sebelumnya. Penghantaran

antibodi ke permukaan mukosa saluran nafas, cerna, kemih dan asi

memerlukan gerakan yang menembus lapisan epitel. Proses tersebut

disebut transitosis. Pada manusia dan tikus, IgA merupakan antibodi

utama yang terlibat dalam transitosis, tetapi juga IgM dapat dihantarkan ke

permukaan mukosa. Transfer IgG dari ibu ke janin merupakan bentuk

imunisasi pasif.

VIII. Efektor ADCC (Antibody-Dependent Cell-Mediated Cytotoxicity)

IgG bekerja sama dengan imunitas nonspesifik, dapat merusak

antigen sel melalui interaksi dengan sistem komplemen atau melalui efek

sitolitik yang disebut ADCC dengan sel NK (natural killer), eosinofil,

neutrofil, makrofag, yang semuanya mempunyai Fc-γR. Efek ADCC dapat

menghancurkan sel tumor, agen infeksi dan sel alogeneik melalui Fc-R,

regio Fc dari IgG yang diikat regio Fab pada permukaan antigen sel

sasaran. Ikatan Fc-R dan regio Fc menimbulkan destruksi sel sasaran oleh

pelepasan sitokin. ADCC merupakan contoh partisipasi molekul antibodi

untuk memacu fungsi efektor sel nonspesifik.

32
Gambar 13. AADC: sel sitotoksik non spesifik diarahkan ke sel target spesifik dengan
binding ke daerah Fc antibodi yang berikatan dengan permukaan antigen pada sel target.
Berbagai substansi / bahan (misalnya enzim litik, TNF, perforin, granzim) disekresikan
oleh sel sitotoksik non spesifik lalu destruksi sel target mediate.

ADCC pertama kali digambarkan pada sel NK yang memiliki Fcγ-

R, Fcγ-RIII atau molekul CD16 untuk mengikat sel yang dilapisi antibodi.

IgG dalam plasma tidak mengaktifkan sel NK. Ikatan Fcγ-RIII dengan sel

sasaran yang dilapisi antibodi akan mengaktifkan sel NK untuk

mensintesis dan melepas granulnya dan sitokin seperti IFN-γ yang

semuanya berperan dalam pembunuhan sel.

Sel NK merupakan efektor dari ADCC yang tidak hanya merusak

sel tunggal, tetapi juga mikroorganisme multiselular seperti telur

skistosoma. Peranan efektor ADCC ini juga penting pada penghancuran

kanker, penolakan transplantasi dan penyakit autoimun, sedang ADCC

melalui neutrofil dan eosinofil, berperan terhadap infeksi parasit. Kadar

IgG meningkat pada infeksi kronis dan penyakit autoimun.

33
Melalui Fcγ-R yang dimilikinya, leukosit dapat mengikat antibodi

yang melapisi sel dan menghancurkan sel tersebut melalui ADCC.

Eosinofil berperan dalam ADCC terhadap cacing. Cacing terlalu besar

untuk dimakan oleh fagosit dan cacing relatif resisten terhadap produk

mikrobisidal neutrofil dan makrofag. Eosinofil dapat membunuhnya

dengan MBP yang ada dalam granulnya. IgE melapisi cacing, selanjutnya

eosinofil mengikat IgE melalui FcƐ-RI, diaktifkan oleh induksi sinyal dari

FcƐ-RI, dan melepas granulnya yang membunuh cacing.

Gambar 14. Proses AADC

IX. Pengalihan kelas

IgM merupakan imunoglobulin yang pertama kali diproduksi

sebagai respon imun terhadap antigen yang diikuti pengalihan ke produksi

IgG atau antibodi kelas lain. Hal ini tergantung dari sinyal sel Th yang

memerlukan ikatan dengan ligan CD40 (CD154) di permukaan sel T, dan

dengan CD40 di sel B. Di samping itu sitokin yang diproduksi sel T

34
berpengaruh terhadap gen regio konstan yang menimbulkan pengalihan

kelas imunoglobulin.

Sel Th2 memproduksi IL-4 yang menginduksi sel B untuk

pengalihan ke produksi IgE. IL-5 yang juga diproduksi sel T yang

menginduksi sel B untuk pengalihan ke produksi sel Th1 untuk

menginduksi pengalihan ke produksi kelas IgG1 dan IgG3.

Sel B yang dirangsang antigen akan berdifferensiasi menjadi sel

yang mensekresi IgM atau atas pengaruh CD40L dan sitokin, beberapa sel

B akan berdiferensiasi menjadi sel yang memproduksi berbagai kelas

rantai berat imunoglobulin. Fungsi efektor utama dari beberapa kelas

terlihat pada gambar; semua kelas dapat berfungsi untuk menetralisasi

mikroba dan toksin.

Gambar 15. Pengalihan produksi isotipe rantai berat imunoglobulin

35
X. Antibodi monoklonal

Sekarang ini, produksi antibodi identik dalam jumlah besar yang

tidak terbatas telah dimungkinkan. Bila antigen tertentu dimasukkan ke

dalam sistem imun hewan percobaan, semua sel B yang mengenal banyak

epitop pada antigen akan dirangsang dan memproduksi antibodi. Darah

yang diambil dari hewan tersebut akan mengandung antibodi yang

multipel yang akan bereaksi dengan setiap epitop. Serum tersebut disebut

poliklonal oleh karena mengandung produk yang berasal dari banyak klon

sel B. Memurnikan antibodi yang diperlukan dari serum tersebut sangatlah

sulit.

Klon adalah segolongan sel yang berasal dari satu sel dan

karenanya identik secara genetik. Antibodi monoklonal adalah antibodi

yang diproduksi oleh sel-sel yang berasal dari satu klon sel. Kloning dapat

dilakukan dengan mengencerkan larutan sel sedemikian rupa sehingga

dalam biakan sel diperoleh sumur yang hanya mengandung satu sel.

Protein mieloma adalah protein / imunoglobulin yang diproduksi

neoplasma sel plasma. Tumor ini tumbuh tanpa kontrol dan imunoglobulin

tersebut ditemukan dalam jumlah besar pada penderita dengan mieloma.

Bila sel B tunggal menjadi ganas, semua antibodi adalah identik.

Sel plasma yang diambil dari darah tidak akan tumbuh dalam

biakan jaringan dan akan mati dalam beberapa hari. Sebaliknya sel

mieloma akan tumbuh terus menerus dalam biakan jaringan. Satu sel

plasma dan satu sel mieloma dapat difusikan menjadi satu sel yang disebut

36
hibridoma yang mempunyai sifat dari kedua sel asalnya dan akan

membentuk antibodi monoklonal. Dalam antibodi monoklonal, semua

molekulnya adalah identik.

Antibodi monoklonal merupakan bahan standar yang banyak

digunakan dalam laboratorium untuk mengidentifikasi berbagai jenis sel,

tipe darah dan menegakkan diagnosis berbagai penyakit. Kemajuan

sekarang telah memungkinkan untuk memproduksi antibodi monoklonal

manusia melalui rekayasa genetika dalam jumlah yang besar untuk

digunakan dalam terapi berbagai penyakit.

Gambar 16. Pembentukan antibodi monoklonal

37
BAB IV

INTERAKSI ANTIGEN ANTIBODI

Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi bermolekul kecil

yang bisa masuk ke dalam tubuh. Substansi kecil tersebut bisa menjadi antigen

bila dia melekat pada protein tubuh kita yang dikenal dengan istilah hapten.

Substansi-substansi tersebut lolos dari barier respon non spesifik, kemudian

substansi tersebut masuk dan berikatan dengan sel limfosit B yang akan

mensintesis pembentukan antibodi. Pengikatan tersebut menyebabkan sel limfosit

B berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma kemudian akan membentuk

antibodi yang mampu berikatan dengan antigen yang merangsang pembentukan

antibodi itu sendiri. Tempat melekatnya antibodi pada antigen disebut epitop,

sedangkan tempat melekatnya antigen pada antibodi disebut variabel.

Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen, sel-sel-B

menghasilkan molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung pada

membran plasma untuk berfungsi sebagai reseptor antigen. Sebuah antigen

merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan dalam membrannya molekul

immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk antigen itu.

Setelah itu, limfosit harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama.

Pemaparan kedua kali terhadap antigen yang sama memicu respon imun sekunder

yang segera terjadi dan meningkatkan antibodi yang beredar lebih banyak dari

kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang memungkinkannya bereaksi

38
dengan antibodi disebut antigenisitas. Kesanggupan molekul antigen untuk

menginduksi respon imun disebut imunogenitas.

Antigen dan antibodi terikat dengan ikatan nonkovalen dengan cara yang

sama seperti ikatan protein dengan reseptor selularnya, atau enzim dengan

substratnya. Namun reaksi antigen-antibodi sedikit berbeda karena adanya tidak

adanya perubahan kimia ireversibel dalam salah satu pengikat, yaitu, antigen atau

antibodi. Antigen dan antibodi yang mengikat adalah reversibel dan dapat dicegah

atau dipisahkan oleh kekuatan ion tinggi atau pH yang ekstrim. Berikut ini adalah

beberapa gambaran umum interaksi antigen-antibodi.

Sifat Fisikokimia

Ikatan elektrostatik, ikatan hidrogen, ikatan van der Waals, dan interaksi

hidrofobik adalah gaya antar molekul yang terjadi dalam reaksi antigen-antibodi.

Semua jenis gaya intermolekul tergantung pada kedekatan molekul antigen dan

antibod. Oleh karena itu, "good fit" antara antigen tertentu dan combining site

antibodi menentukan stabilitas reaksi antigen-antibodi. Beberapa ikatan antara

antigen dan antibodi memastikan bahwa antigen akan terikat erat pada antibodi.

Afinitas

Afinitas adalah Kekuatan total interaksi non kovalen antara ikatan antigen

dan antibodi tersebut. Antibodi dengan afinitas yang rendah mengikat antigen

dengan lemah dan cenderung memisah. Sedangkan antibodi dengan afinitas tinggi

mengikat antigen dengan ketat dan terikat lama (Gambar 17).

39
Aviditas

Aviditas adalah ukuran kekuatan keseluruhan pengikatan antigen dengan

banyak determinan antigenik dan multivalen antibodi. Aviditas adalah indikator

yang lebih baik dari kekuatan interaksi dalam sistem biologi yang nyata dari

afinitas. Oleh karena itu, aviditas dari reaksi antigen-antibodi tergantung pada

valensi dari kedua antigen dan antibodi dan lebih besar dari jumlah total afinitas

individu.

Spesifisitas

Spesifisitas adalah kemampuan antibodi- combining site individu untuk

bereaksi dengan hanya satu antigen tertentu atau kemampuan dari populasi

molekul antibodi untuk bereaksi dengan satu antigen. Reaksi antigen-antibodi

biasanya menunjukkan tingkat spesifisitas yang tinggi.

Reaksi Silang

Reaksi silang (cross reaction) antara antigen dan antibodi dapat terjadi dan

kadang-kadang bertanggung jawab menyebabkan penyakit pada host dan

menyebabkan hasil yang palsu dalam tes diagnostik Meskipun reaksi antigen-

antibodi sangat spesifik, dibeberapa kasus antibodi dapat bereaksi silang dari satu

antigen dengan antigen yang tidak terkait. Kebanyakan reaktivitas silang tersebut

terjadi jika dua antigen yang berbeda mempunyai epitop yang identik atau sangat

mirip. Afinitas antibodi dengan epitop reaksi silang biasanya lebih kecil

dibandingkan dengan epitop aslinya (Gambar 18).

40
Gambar 17. Afinitas yang tinggi dan affinitas rendah

Gambar 18. (a) Affinitas mengacu pada kekuatan interaksi tunggal antara antigen dan antibodi,
sementara aviditas mengacu pada kekuatan semua interaksi gabungan. (b) Suatu antibodi dapat
silang bereaksi dengan epitop yang berbeda.

Interaksi antigen antibodi dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu tingkat

primer, sekunder dan tersier.

4.1 Interaksi Tingkat Primer

Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen

dengan antibodi pada suatu bagian kecil, bernama epitop. Pada tingkat ini, ikatan

41
antibodi yang terjadi merupakan ikatan yang melalui fragmen ikatan antigen ke

antigen homolog yang membentuk kompleks antigen antibodi. Setelah dua

substansi yang dibawa berkontak, penyatuan awal akan berlangsung seketika

(dalam milidetik).

Antibody binding site

Gambar 19. Struktur antibodi

Interaksi primer antigen dengan antibodi jarang dapat terlihat secara

langsung, dan visualisasi biasanya didukung dengan melakukan labeling antibodi

dan antigen dengan fluorescent, radioactive, electron-dense, atau enzymatic

markers. Metode ini meliputi metode kuantitatif dengan menggunakan serum dan

metode immunohistochemical pada jaringan.

Metode kuantitatif

Fluoroimmunoassay (FIA)

FIA menggunakan fluorescent sebagai pendeteksi. Fluorescent sendiri

merupakan pancaran foton cahaya yang berwujud elektron. Sistem ini

membutuhkan sumber cahaya pemicu loncatan electron, penyaring pancaran

42
cahaya, dan sistem deteksi menggunakan tabung cahaya yang memiliki pengait.

Lampu merkuri lebih sering dipergunakan sebagai sumber cahaya, meskipun

xenon, halogen, dan laser dapat dipergunakan. Fluorescent isothiosianat dan

rhodamin merupakan fluorescent yang popular.

Salah satu teknik yang popular adalah Fluoresence Polarization

Immunoassay. Polarisasi cahaya diukur dengan cara menyinari sampel

menggunakan dua polarizer pada bidang yang sama dengan bidang cahaya masuk

dan kemudian pada bidang yang telah diatur dalam posisi 90° antar bidang dengan

sampel. Pengujian ini didasarkan pada peningkatan polarisasi cahaya yang terjadi

ketika antigen fluorescent tag mengikat antibodi dan membentuk komplek imun.

Antigen yang diberi label berukuran kecil sehingga dapat berputar cepat. Putaran

cepat inilah yang menyebabkan depolarisasi cahaya. Ketika komplek antibodi

antigen terbentuk, kenaikan berat molekul menyebabkan rotasi lebih lambat dan

peningkatan emisi cahaya yang terpolarisasi. Teknik ini terutama biasanya

digunakan untuk pengukuran obat dan beberapa hormon, bagaimanapun, ia

memiliki utilitas untuk mendeteksi penyakit menular. Penggunaannya telah

dijelaskan untuk mendeteksi antibodi berbagai organisme seperti bakteri gram

negative (Brucella sp dan Salmonella sp) dan virus yang menyebabkan anemia

pada kuda. FIA memiliki sejumlah keunggulan termasuk kepekaan dan kecepatan

tinggi dan sensitif. Selain itu, reagen stabil dan penggunaanya mudah dilakukan.

Fluorescent polarization immunoassay memiliki keterbatasan berupa antigen

yang harus kecil (tidak lebih dari 2000 MW) untuk memungkinkan perbedaan

yang signifikan dalam polarisasi ketika membentuk komplek imun. Kekurangan

43
lain yang juga penting digarisbawahi dalam penggunaan assay fluoresensi adalah

masalah senyawa autofluorescent yang digunakan baik dalam sampel pasien

maupun dalam campuran reaksi. Ini bisa menjadi masalah dimana tidak ada

tahapan pencucian dan komponen sampel yang ada dalam tes. Untuk menghindari

masalah ini, sampel dapat ditambah dengan enzim proteolitik, agen oxida, atau

reagen denaturasi yang akan membatasi jumlah autofluorescence.

Gambar 20. Fluoresen direk tes antibodi

Radioimmunoassay (RIA)

RIA (Radioimmunoassay) adalah salah satu teknik immunoassay

yang lebih baik dan lebih sensitif yang menggunakan radioaktif antigen atau

antibodi. Radioaktivitas memberikan sinyal, yang menunjukkan apakah suatu

antigen tertentu atau antibodi hadir dalam sampel. Radioimmunoassay pertama

kali dijelaskan oleh Rosalyn Sussman Yalow dan Salomo Berson diterbitkan pada

44
tahun 1960. Meskipun RIA masih merupakan teknik yang layak, namun sebagian

besar telah digantikan oleh EIA di sebagian besar laboratorium klinis.

Enzyme Immunoassay (EIA), e.g enzymeilinked immunosorbent (ELISA)

Radioaktivitas menimbulkan ancaman kesehatan potensial, alternatif yang

lebih aman mulai dicari. ELISA merupakan uji serologis yang umum digunakan

di berbagai laboratorium imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan seperti

teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki sensitivitas

yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann

dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi di

dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor (reporter label).

Teknik ELISA merupakan teknik kuantitatif yamg sangat sensitif,

penggunaannya sangat luas, memerlukan peralatan yang sedikit, reagen yang

diperlukan sudah tersedia dan dijual secara komersial dan sangat mudah didapat.

Tes ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam tubuh manusia

maupun hewan.

Prinsip metode ELISA adalah mereaksikan antibodi dan antigen secara

spesifik, perbedaannya ada pada substrat ( zat yang digunakan untuk mendeteksi

suatu hasil reaksi ) yang digunakan. Pada ELISA, hasil reaksi akan memunculkan

warna yang bisa diukur dengan alat yang disebut Colorimetri. Pada Fluorescence,

hasil reaksi berupa pendaran cahaya yang terbaca oleh fluoresensi, sedangkan

pada Chemiluminescence hasil reaksi berupa pendaran kimiawi yang terbaca

oleh Chemiluminescent.

45
Gambar 21. Prinsip ELISA

Metode Immunohistokimia

Imunohistokimia adalah suatu metode kombinasi dari anatomi, imunologi

dan biokimia untuk mengidentifikasi komponen jaringan yang memiliki ciri

tertentu dengan menggunakan interaksi antara antigen target dan antibodi spesifik

yang diberi label. Imunohistokimia merupakan suatu cara pemeriksaan

untuk mengukur derajat imunitas atau kadar antibodi atau antigen dalam sediaan

jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari nama immune yang menunjukkan

bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah penggunaan antibodi

dan histo menunjukkan jaringan secara mikroskopis. Dengan kata lain,

imunohistokimia adalah metode untuk mendeteksi keberadaan antigen spesifik di

dalam sel suatu jaringan dengan menggunakan prinsip pengikatan antara antibodi

(Ab) dan antigen (Ag) pada jaringan hidup. Pemeriksaan ini membutuhkan

jaringan dengan jumlah dan ketebalan yang bervariasi tergantung dari tujuan

pemeriksaan. Teknik imunohistokimia bermanfaat untuk identifikasi, lokalisasi,

dan karakterisasi suatu antigen tertentu, serta menentukan diagnosis, terapi, dan

46
prognosis kanker. Teknik ini diawali dengan pembuatan irisan jaringan (histologi)

untuk diamati dibawah mikroskop.

Interaksi antara antigen-antibodi adalah reaksi yang tidak kasat

mata. Tempat pengikatan antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi

dengan marker yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi

secara langsung atau dengan reaksi untuk mengidentifikasi marker. Adapun

beberapa marker yang berupa senyawa berwarna antara lain luminescence; zat

berfluoresensi; Enzim : Horse Radish Peroxidase (HRP) dan alkaline phosphatase.

Enzim (yang dipakai untuk melabel) selanjutnya direaksikan dengan substrat

kromogen (yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak

larut) yang dapat diamati dengan mikroskop bright field (mikroskop bidang

terang). Akan tetapi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dunia

biologi, teknik imunohistokimia dapat langsung diamati (tanpa direaksikan lagi

dengan kromogen yang menghasilkan warna) dibawah mikroskop fluorescense.

4.2 Interaksi Tingkat Sekunder

Tahap kedua adalah interaksi ireversibel antara antigen dan antibodi,

dengan efek terlihat, seperti aglutinasi, presipitasi, netralisasi, fiksasi komplemen,

dan imobilisasi organisme motil. Ikatan antara antigen dan antibodi selama tahap

ini adalah ikatan kovalen.

Sebuah antibodi tunggal mampu menyebabkan jenis reaksi antigen-

antibodi yang berbeda. Sebuah antigen tunggal mampu merangsang produksi

kelas yang berbeda dari imunoglobulin, yang berbeda dalam sifat biologis mereka.

47
Hasil aglutinasi, presipitasi, netralisasi, dan tes lainnya biasanya

dinyatakan sebagai titer. Titer didefinisikan sebagai pengenceran tertinggi serum

yang memberikan reaksi positif pada pemeriksaan. Titer yang lebih tinggi berarti

tingkat yang lebih besar dari antibodi dalam serum. Misalnya, serum dengan titer

1/128 mengandung antibodi lebih banyak dari serum dengan titer 1/8.

Serum dengan kekuatan tinggi atau tidak diencerkan hanya sedikit atau

tidak menunjukkan aglutinasi /presipitasi. Hal ini disebut fenomen prozon

disebabkan oleh antibodi berlebihan. Setiap antigen dapat diikat oleh satu

antibodi. Hal yang sama bila serum di encerkan, juga hanya sedikit atau tidak

menunjukkan aglutinasi/ presipitasi yang disebut fenomena pos-zone, setiap

molekul antibodi bereaksi dengan antigen yang membentuk kompleks besar. Zona

ini disebut zona ekuivalen. Kadar antigen dan antibodi dalam zona ini merupakan

kadar relatif molekul- molekul yang membentuk kompleks (Gambar 22).

a. Presipitasi

Adalah jika komplek antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu

besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan

akhirnya mengendap.

48
Gambar 22. Pembentukan imun kompleks dan presipitasi

b. Aglutinasi

Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi

darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan.

c. Netralisasi

Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen

menimbulkan efek yang merugikan. Contohnya adalah dengan

mengikat toksin bakteri, antibodi mencegah zat kimia ini berinteraksi

dengan sel yang rentan.

d. Fagositosis

Adalah jika bagian ekor antibody yang berikatan dengan antigen

mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga

memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.

e. Sitotoksis

Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan

sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan

49
natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi

oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran

plasmanya.

Tipe dari Reaksi Antigen Antibodi

Tes serologis secara luas digunakan untuk mendeteksi baik serum antibodi

atau antigen untuk diagnosis berbagai penyakit menular (Tabel 2). Tes-tes

serologi juga digunakan untuk diagnosis penyakit autoimun dan typing darah dan

jaringan sebelum transplantasi. Berikut ini adalah contoh reaksi antigen-antibodi:

(a) presipitasi, (b) aglutinasi, (c) test complement-dependent serologi, (d) test

netralisasi, (e) opsonisasi, (f) western blotting, (g) test

immunoelektronmikroscopik.

Tabel 2. Tes mikrobiologis klinis yang sering digunakan

50
4.3 Interaksi Tingkat Tersier

Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologis dari

interaksi antigen - antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya.

Pengaruh menguntungkan antara lain: aglutinasi bakteri, lisis bakteri, immnunitas

mikroba, dan lain-lain. Sedangkan pengaruh merusak antara lain: edema, reaksi

sitolitik berat, dan defisiensi yang menyebabkan kerentanan terhadap infeksi.

51
BAB V

KESIMPULAN

Semua imunogen adalah antigen, tetapi tidak sebaliknya. Misalnya hapten

yang merupakan molekul kecil antigen, tetapi tidak dapat menginduksi respon

imun (atau imunogenik). Hapten hanya dapat menginduksi sistem imun jika

dikonjungasikan dengan molekul besar.

Molekul antibodi terdiri atas dua rantai ringan identik dan dua rantai berat

identik. Antibodi yang diproduksi sel plasma, diekspresikan dalam dua bentuk

yaitu yang dilepas dan diikat membran yang berikatan dengan permukaan sel B.

Antibodi terdiri dari lima kelas atau isotope rantai berat yaitu γ, α, µ, ƌ, Ɛ

sesuai dengan rantai berat pada imunoglobulinnya yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan

IgE. Antibodi mengenal determinan antigen (epitop); kelas utama antigen adalah

protein atau glikoprotein, asam nukleat, karbohidrat dan lipid. Interaksi antara

antigen dan antibodi terdiri dari interaksi tingkat primer, sekunder, dan tersier.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. 2007. Cellular and Molecular


Immunology. 6th edition. Philadelphia: Saunder Elsevier. p75-96, 113-
148.
2. Abbas AK, Lichtman AH. Basic Immunology : Functions and
Disorders of The Immune system. 3rd ed. Philadelphia, PA :
Saunders/Elsevier. 2009.
3. Baratawidjaja. 2006. Imunologi Dasar. Edisi ke-7. Jakarta:Penerbit
FKUI.
4. Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt I. 2006. Immunology. 7th edition.
Philadelphia: Mosby Elsevier. p59-85.
5. Parija, SC. 2012. Textbook of Microbiology and Immunology. 2nd
edition. Philadelphia: Elsevier.
6. Sudiana. 2005. Konsep Dasar Imunologi. Universitas Airlangga.
Surabaya diakses pada:
http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/DASAR
%20IMUNOLOGI.pdf (diakses 18 Maret 2016).
7. Zabriskie JB, editor. Essential Clinical Immunology. New York:
Cambridge University Press 2009.

53

Anda mungkin juga menyukai