Anda di halaman 1dari 41

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 1

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. 3

DAFTAR TABEL ................................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5

BAB II TEMPOROMANDIBULAR JOINT (TMJ) ......................................... 7

2.1 Anatomi Temporomandibular Joint (TMJ)............................................... 7

2.1.1 Discus Articularis .............................................................................. 9

2.1.2 Ligamen Kapsular ............................................................................ 10

2.1.3 Ligamen Temporomandibular ......................................................... 11

2.2 Otot-Otot yang Berhubungan dengan Fungsi Pergerakan TMJ .............. 11

2.2.1 Otot-Otot Mastikasi ......................................................................... 11

2.2.2 Otot-Otot Tambahan dalam Mastikasi ............................................. 13

2.3 Vaskularisasi TMJ .................................................................................. 14

2.4 Suplai Saraf TMJ .................................................................................... 15

2.5 Fisiologi Pergerakan Temporomandibular Joint (TMJ) ......................... 15

2.5.1 Gerak Membuka Mulut .................................................................... 16

2.5.2 Gerak Menutup Mulut ..................................................................... 17

1
2.5.3 Gerak Protrusi Mandibula ................................................................ 17

2.5.4 Gerak Retrusi Mandibula ................................................................. 18

2.5.5 Gerak Lateral Mandibula ................................................................. 18

BAB III TEMPOROMANDIBULAR DISORDER (TMD) ............................ 21

3.1 Definisi Temporomandibular Disorder (TMD) ...................................... 21

3.2 Etiologi Temporomandibular Disorder (TMD) ...................................... 21

3.3 Klasifikasi Temporomandibular Disorder (TMD) .................................. 23

3.4 Pemeriksaan Klinis Temporomandibular Disorder (TMD) ................... 27

3.4.1 Anamnesis ........................................................................................ 28

3.4.2 Pemeriksaan Fisik ............................................................................ 29

3.4.3 Diagnostic Imaging .......................................................................... 30

3.4.4 Penanganan Pasien Dengan Temporomandibular Disorder (TMD) 31

BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................... 37

BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 41

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Anatomi dari TMJ ............................................................... 7

Gambar 2.2 Bentuk S dari Fossa Glenoidalis dan Eminensia Artikularis ............. 8

Gambar 2.3 Artikulasi (Persendian) TMJ Dibentuk oleh Condylus Mandibula

yang Menempati Cekungan pada Tulang Temporale ........................ 8

Gambar 2.4 TMJ merupakan Sendi Ginglymoarthrodial yang Mampu Melakukan

Gerakan Jenis Engsel dan Gliding. Discus Articularis Membagi TMJ

Menjadi 2 Bagian, Atas dan Bawah................................................. 10

Gambar 2.5 Ligamen Kapsular dan Ligamen Temporomandibular. ................... 11

Gambar 2.6 M. Massetericus dan Pterygoideus Medialis Memiliki Insersi pada

Margo Inferior Angulus Mandibula. ................................................ 12

Gambar 2.7 M. Pterygoideus merupakan Otot Utama yang Berperan dalam Gerak

Membuka Mulut. ............................................................................. 13

Gambar 2.8 Otot-Otot Tambahan dalam Mastikasi............................................. 14

Gambar 2.9 Cabang dari Nervus Auricurotemporalis Mensuplai Inervasi Sensoris

dari TMJ. .......................................................................................... 15

Gambar 2.10 Gerakan Bennett (Bennett Movement) .......................................... 20

Gambar 3.1 Splint pada (A) Rahang Atas, (B) Rahang Bawah………………..32

Gambar 3.2 Skema yang Menggambarkan Nyeri Alih dari TMJ........................ 35

3
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Faktor Etiologi TMD. ........................................................................... 22

Tabel 3.2 Klasifikasi Diagnostik Temporomandibular Disorders. ...................... 24

Tabel 3.3 Anamnesis: Pertanyaan yang Dapat Diajukan untuk Mengevaluasi Pasien

dengan Disfungsi Mandibula ................................................................ 28

4
BAB I
PENDAHULUAN

Temporomandibular joint (TMJ) atau sendi temporomandibular merupakan

sendi yang menghubungkan mandibula atau rahang bawah pada tengkorak1.

Temporomandibular joint berasal dari dua komponen tulang yang membentuk

persendiaannya, yaitu tulang temporal (fossa glenoidalis) dan tulang mandibula

(condylus). Kedua komponen tulang tersebut dipisahkan oleh discus articularis2.

TMJ merupakan salah satu sendi yang paling kompleks dan paling sering

diganakan pada tubuh manusia. TMJ berfungsi dalam mastikasi dan bicara1.

Temporomandibular disorders (TMD) merupakan sekelompok gangguan

yang melibatkan TMJ. struktur-struktur jaringan lunak pada sendi tersebut, dan

otot-otot mastikasi, yang menyebabkan timbulnya nyeri maupun disfungsi pada

salah satu komponen tersebut. Istilah craniomandibular disorder terkadang

digunakan secara sinonim dengan TMD, dan diperkirakan sebagai penyebab utama

nyeri non-odontogenik pada regio orofasial2,3.

TMD memiliki tanda dan gejala bermacam-macam. Salah satu tanda yaitu

deviasi mandibula yang merupakan penyimpangan pembukaan mulut yang terjadi

sebelum mulut terbuka maksimal. Penelitian di Arab Saudi menunjukkan

prevalensi remaja usia 12-16 tahun yang mengalami gangguan pada TMJ sebesar

21,3% dan yang mengalami deviasi mandibula sebesar 6,1%. Salah satu

penyebabnya adalah stres emosi1.

Komiyama dkk menyatakan bahwa seseorang dengan deviasi mandibula

memiliki ketidaknyamanan saat proses mastikasi makanan yang keras. Komponen

5
utama mastikasi terdiri dari gigi, TMJ dan otot-otot, yang akan saling memengaruhi

saat fungsi maupun saat mengalami kelainan1. Spasme otot pada deviasi mandibula

akan memengaruhi fungsi mastikasi seseorang. Ketidaknyamanan seseorang saat

melakukan mastikasi makanan yang keras, akan mendorong mengganti jenis

makanan yang dikonsumsi dan menunjukkan fungsi mastikasi yang tidak baik serta

efek malnutrisi sangat mungkin terjadi. Deviasi mandibula jika dibiarkan akan

mengakibatkan kerusakan mastikasi lebih lanjut, antara lain sakit dan bengkak pada

bagian yang mengalami gangguan menyebabkan pembukaan mulut semakin

terbatas (trismus) 2,3.

Penyebab TMD sangatlah kompleks dan multifaktorial. Terdapat berbagai

faktor yang berperan dalam terjadinya TMD, seperti trauma pada rahang atau TMJ,

clenching, bruxism, penyakit seperti osteoarthritis atau arthritis rheumatoid, stress,

usia, dan sebagainya1. Meningkatnya jumlah penderita TMD menyebabkan

perlunya pemahaman yang lebih baik terhadap faktor etiologi TMD agar dapat

dikembangankan metode untuk mencegah, mendiagnosis, maupun menyembuhkan

gangguan-gangguan yang terjadi pada sendi tersebut1. Penanganan yang baik

terhadap TMD sangat bergantung pada identifikasi dan kontrol faktor-faktor yang

berperan dalam etiologinya2.

6
BAB II
TEMPOROMANDIBULAR JOINT (TMJ)

2.1 Anatomi Temporomandibular Joint (TMJ)

Temporomandibular joint (TMJ) merupakan sendi ginglymodiarthrodial,

yang berarti sendi yang mampu melakukan pergerakan jenis engsel (ginglymos) dan

pergerakan meluncur (gliding), dengan komponen tulang tertutup dan terhubung

oleh kapsul fibrosa. Condylus mandibula membentuk bagian bawah dari sendi dan

umumnya berbentuk elip, meskipun terkadang bentuk tersebut bervariasi.

Artikulasi (persendian) dibentuk oleh condylus mandibula yang menempati

cekungan pada tulang temporal (fossa glenoidalis atau fossa mandibularis). TMJ

dapat dilihat dalam Gambar 2.1. Bentuk S yang terbentuk oleh fossa glenoidalis dan

eminentia articularis berkembang pada usia 6 tahun dan akan berlanjut sampai usia

20 tahunan (Gambar 2.2). Selama pembukaan mulut yang lebar, condylus berotasi

di sekitar sumbu engsel sendi dan meluncur, menyebabkan posisi bergerak ke batas

anterior dari fossa glenoidalis, yaitu eminentia articularis (Gambar 2.3)1,4.

Gambar 2. 1 Struktur Anatomi dari TMJ


Dikutip dari : Ingawale, S.M. dan Goswami, T1.

7
Gambar 2. 2 Bentuk S dari Fossa Glenoidalis dan Eminensia Artikularis
Dikutip dari : Okeson J5

Kapsul sendi dilapisi oleh cairan sinovial dan ruang sendi terisi oleh cairan

synovial. Jaringan synovial merupakan jaringan ikat vaskular yang melapisi kapsul

fibrosa pada sendi dan meluas sampai batas permukaan sendi. Baik ruang sendi

bagian atas maupun bawah dilapisi oleh synovium. Cairan sinovial merupakan

filtrat plasma dengan tambahan musin dan protein. Kandungan utama dalam cairan

synovial adalah asam hyaluronat. Cairan terbentuk pada permukaan sendi,

mengurangi friksi atau gesekan yang terjadi selama pergerakan dan kompresi

sendi4.

Gambar 2. 3 Artikulasi (Persendian) TMJ Dibentuk oleh Condylus Mandibula yang Menempati
Cekungan pada Tulang Temporale (Fossa Glenoidalis)
Dikutip dari : Okeson J5

8
2.1.1 Discus Articularis

Ruang di antara condylus dan fossa mandibulari diisi oleh jaringan fibrosa

kolagen dengan ketebalan yang bervariasi, yang disebut discus articularis (Gambar

2.4). Discus tersebut tersusun oleh serabur-serabut kolagen, proteoglycan yang

menyerupai kolagen, dan serabut-serabut elastik. Discus tersebut tersusun oleh sel-

sel kartilago dalam jumlah yang bervariasi dan biasanya disebut sebagai

fibrokartilago. Discus articularis melekat pada bagian medial dan lateral dari

condylus melalui ligamen-ligamen. Ligamen-ligamen tersebut memungkinkan

gerak rotasi pada discus selama pembukaan dan penutupan rahang. Discus

articularis memiliki ketebalan paling tipis pada bagian tengah dan menebal ke arah

anterior dan posterior. Susunan seperti ini membantu menstabilkan condylus dalam

fossa glenoidalis1,4.

Discus articularis dan perlekatannya membagi TMJ menjadi bagian atas dan

bawah yang dalam keadaan normal tidak terhubung satu dengan lainnya. Volume

pasif dari bagian atas diperkirakan sekitar 1,2 mL, dan 0,9 mL pada bagian bawah.

Atap dari TMJ bagian atas adalah fossa glenoidalis sedangkan dasarnya adalah

permukaan superior discus articularis. Atap dari TMJ bagian bawah adalah

permukaan inferior discus articularis, dan dasarnya adalah permukaan condylus

mandibula. Pada batas lateral, discus articularis menyatu dengan kapsul fibrosa,

sedangkan pada bagian anterior berhubungan dengan perlekatan otot. Serabut-

serabut dari sepertiga posterior M. temporalis dan M. massetericus pars profunda

melekat pada aspek anterolateral dari discus. Serabut dari caput superior M.

9
pterygoideus lateralis melekat dapat dua pertiga anteromedial dari discus

articularis4.

Gambar 2. 4 TMJ merupakan Sendi Ginglymoarthrodial yang Mampu Melakukan Gerakan Jenis
Engsel dan Gliding. Discus Articularis Membagi TMJ Menjadi 2 Bagian, Atas dan Bawah.
Dikutip dari : Okeson J5

2.1.2 Ligamen Kapsular

Ligamen kapsular merupakan jaringan ikat penghubung fibrosa inelastik

yang melekat pada batas permukaan sendi (Gambar 2.4). Serabut-serabut dari

ligamen ini umumnya berjalan vertikal dan tidak membatasi pergerakan sendi.4

10
Gambar 2. 5 Ligamen Kapsular dan Ligamen Temporomandibular.
Dikutip dari : Okeson J5

2.1.3 Ligamen Temporomandibular

Ligamen temporomandibular merupakan ligamen utama pada sendi TMJ,

serabutnya berjalan oblique (miring) dari tulang di sebelah lateral tuberculum

(eminentia) articularis pada arah posterior dan inferior dan berinsersi pada daerah

di bawah dan belakang dari bagian lateral condylus (Gambar 2.5)4.

2.2 Otot-Otot yang Berhubungan dengan Fungsi Pergerakan TMJ

2.2.1 Otot-Otot Mastikasi

Otot-otot mastikasi yaitu terdapat sepasang M. massetericus, M. pterygoideus

medialis dan lateralis, serta M. temporalis (Gambar 2.6, Gambar 2.7, Gambar 2.8).

Gerakan mandibula untuk mengoklusikan gigi melibatkan kontraksi M.

massetericus, M. temporalis, dan M. pterygoideus medialis. Kontraksi M.

massetericus juga berperan dalam menggerakkan caput condylus ke slope anterior

dari fossa glenoidalis. Bagian posterior dari M. temporalis berperan dalam retrusi

mandibula, dan kontraksi unilateral dari M. pterygoideus medialis berperan dalam

11
pergerakan kontralateral mandibula. M. massetericus dan M. pterygoideus medialis

memiliki insersi pada margo inferior angulus mandibula. Otot-otot tersebut secara

bersama-sama menghasilkan gaya yang diperlukan untuk pengunyahan.4

Gambar 2. 6 M. Massetericus dan Pterygoideus Medialis Memiliki Insersi pada Margo Inferior
Angulus Mandibula.
Dikutip dari : Okeson J5

M. massetericus dibagi menjadi pars superficialis dan pars profunda. M.

temporalis melekat pada bagian lateral tengkorak dan dibagi menjadi bagian

anterior, media, dan posterior. Serabut-serabut dari M. temporalis membentuk

tendon yang berinsersi pada processus coronoideus dan aspek anterior dari ramus

mandibula. M. pterygoideus lateralis merupakan otot utama yang berperan dalam

gerak membuka mulut dan protrusi mandibula. M. pterygoideus lateralis dibagi

menjadi 2 bagian. Bagian inferior berasal dari permukaan luar lamina lateralis

processus pterygoideus dari tulang sphenoidale dan processus pyramidalis dari

tulang palatina. Bagian superior berasal dari tulang sphenoidale dan pterygoid

12
ridge. Caput superior dan inferior dari serabut-serabut otot tersebut berjalan ke

posterior dan lateral, bergabung di depan condylus. Caput superior aktif selama

pergerakan menutup mandibula, dan caput inferior aktif selama gerak membuka

mulut dan protusif mandibula. Translasi caput condylus pada eminentia articularis

dihasilkan oleh kontraksi M. pterygoideus lateralis4.

Gambar 2. 7 M. Pterygoideus merupakan Otot Utama yang Berperan


dalam Gerak Membuka Mulut.
Dikutip dari : Okeson J5

2.2.2 Otot-Otot Tambahan dalam Mastikasi

M. digastricus venter anterior melekat pada aspek lingual mandibula pada

parasymphysis dan berjalan ke belakang, berinsersi pada os hyoid. Kontraksi dari

M. digastricus venter anterior menyebabkan mandibula bergerak ke bawah dan ke

belakang. M. mylohyoideus dan M. geniohyoideus ikut berperan dalam

menggerakkan mandibula ke bawah pada saat M.-M. infrahyoideus menstabilkan

os hyoid selama pergerakan mandibula. Otot-otot ini juga berperan dalam retrusi

mandibula4.

13
Gambar 2. 8 Otot-Otot Tambahan dalam Mastikasi.
Dikutip dari : Okeson J5

Bagian inferior M. buccinator melekat di sepanjang permukaan fasial


mandibula dan bagian superiornya melekat pada permukaan alveolar di posterior
processus zygomaticus. Serabut-serabut dari M. buccinator berjalan horizontal. Di
bagian anterior, serabut-serabut M. buccinator berinsersi pada mukosa, kulit, dan
bibir. M. buccinator membantu memposisikan pipi pada saat gerak mastikasi dari
mandibula.4

2.3 Vaskularisasi TMJ

Vaskularisasi utama dari TMJ berasal dari arteri carotis externa. Arteri carotis

externa melewati columna mandibula dan berjalan ke superior dan posterior, masuk

ke glandula parotis. Arteri tersebut kemudian memberikan 2 cabang yang penting,

yaitu arteri facialis dan arteri lingualis, yang memberikan vaskularisasi pada daerah

itu. Pada ketinggian colum mandibula, arteri carotis externa bercabang menjadi

arteri temporalis superficialis dan arteri maxillaris interna. Kedua arteri ini

memberikan vaskularisasi pada otot-otot mastikasi dan TMJ. Arteri-arteri pada

tulang temporale dan mandibula juga memberikan cabang pada kapsul TMJ.4

14
2.4 Suplai Saraf TMJ

Nervus mandibularis menginervasi secara motoris otot-otot mastikasi dan M.

digastricus venter anterior. Inversi sensoris TMJ berasal dari cabang nervus

auriculotemporalis; nervus ini berasal dari nervus mandibularis yang bercabang

pada fossa infratemporalis dan kemudian bercabang lagi ke kapsul sendi (Gambar

2.9). Nervus massetericus dan nervus temporalis profunda menginvervasi bagian

anterior sendi. Kedua nervus ini terutama memberikan inervasi motoris, namun

juga mengandung serabut-serabut sensoris yang terdistribusi pada bagian anterior

kapsul TMJ. Suplai saraf otonom pada TMJ berasal dari nervus auriculotemporalis

dan nervus yang berjalan bersama arteri temporalis superficialis.4

Gambar 2. 9 Cabang dari Nervus Auricurotemporalis


Mensuplai Inervasi Sensoris dari TMJ.
Dikutip dari : Okeson J5

2.5 Fisiologi Pergerakan Temporomandibular Joint (TMJ)

Berdasarkan hasil penelitian elektromiografi, gerak mandibula dalam


hubungannya dengan rahang atas dapat diklasifikasikan sebagai berikut yaitu1,6:

15
1. Gerak membuka
2. Gerak menutup
3. Protrusi
4. Retusi
5. Gerak lateral

2.5.1 Gerak Membuka Mulut

M. pterygoideus lateralis berfungsi menarik processus condylaris ke depan

menuju eminentia articularis. Pada saat bersamaan, serabut posterior M. temporalis

harus relaks dan keadaan ini akan diikuti dengan relaksasi M. massetericus, serabut

anterior M. temporalis dan M. pterygoideus medialis yang berlangsung cepat dan

lancar. Keadaan ini akan memungkinkan mandibula berotasi di sekitar sumbu

horizontal, sehingga processus condylaris akan bergerak ke depan sedangkan

angulus mandibula bergerak ke belakang. Dagu akan terdepresi, keadaan ini

berlangsung dengan dibantu gerak membuka yang kuat dari M. digastricus, M.

geniohyoideus dan M. mylohyoideus yang berkontraksi terhadap os hyoideus

yang relatif stabil, ditahan pada tempatnya oleh M. infrahyoideus. Sumbu tempat

berotasinya mandibula tidak dapat tetap stabil selama gerak membuka, namun akan

bergerak ke bawah dan ke depan di sepanjang garis yang ditarik (pada keadaan

istirahat) dari processus condylaris ke orifisum canalis mandibularis. 5

Jadi, gerak membuka dari mandibula melibatkan otot-otot berikut:

1. M. pterygoideus lateralis

2. M. suprahyoideus, yaitu M. digastricus, M. geniohyoideus, dan M.

mylohyoideus.

16
2.5.2 Gerak Menutup Mulut

Penggerak utama mandibula pada saat menutup mulut adalah M.

massetericus, M. temporalis, dan M. pterygoideus medialis. Rahang dapat menutup

pada berbagai posisi, dari menutup pada posisi protrusi penuh sampai menutup pada

keadaan processus condylaris berada pada posisi paling posterior dalam fossa

glenoidalis. Gerak menutup pada posisi protrusi memerlukan kontraksi M.

pterygoideus lateralis, yang dibantu oleh M. pterygoideus medialis. Caput

mandibula akan tetap pada posisi ke depan pada eminentia articularis. Pada gerak

menutup retrusi, serabut posterior M. temporalis akan bekerja bersama dengan M.

massetericus untuk mengembalikan processus condylaris ke dalam fossa

glenoidalis, sehingga gigi- geligi dapat saling berkontak pada oklusi normal.5

Pada gerak menutup cavum oris, kekuatan yang dikeluarkan otot

pengunyahan akan diteruskan terutama melalui gigi-geligi ke rangka wajah bagian

atas. M. pterygoideus lateralis dan serabut posterior M. temporalis cenderung

menghilangkan tekanan dari caput mandibula pada saat otot-otot ini berkontraksi,

yaitu dengan sedikit mendepresi caput selama gigi-geligi menggeretak. Keadaan ini

berhubungan dengan fakta bahwa sumbu rotasi mandibula akan melintas di sekitar

ramus, di daerah manapun di dekat orifisum canalis mandibular.5

2.5.3 Gerak Protrusi Mandibula

Pada kasus protrusi bilateral, kedua processus condylaris bergerak ke depan

dan ke bawah pada eminentia articularis dan gigi-geligi akan tetap pada kontak

meluncur yang tertutup. Penggerak utama pada keadaan ini adalah M. pterygoideus

lateralis dibantu oleh M. pterygoideus medialis. Serabut posterior M. temporalis

17
merupakan antagonis dari kontraksi M. pterygoideus lateralis. M. massetericus, M.

pterygoideus medialis dan serabut anterior M. temporalis akan berupaya

mempertahankan tonus kontraksi untuk mencegah gerak rotasi dari mandibula yang

akan memisahkan gigi-geligi. Kontraksi M. pterygoideus lateralis juga akan

menarik discus articularis ke bawah dan ke depan menuju eminentia articularis1,6.

2.5.4 Gerak Retrusi Mandibula

Selama pergerakan, caput mandibula bersama dengan discus articularisnya

akan meluncur ke arah fossa mandibularis melalui kontraksi serabut posterior M.

temporalis. M. pterygoideus lateralis adalah otot antagonis dan akan relaks pada

keadaan tersebut. Otot-otot pengunyahan lainnya akan berfungsi mempertahankan

tonus kontraksi dan menjaga agar gigi-geligi tetap pada kontak meluncur.

Elastisitas bagian posterior discus articularis dan kapsul TMJ akan dapat menahan

agar discus tetap berada pada hubungan yang tepat terhadap caput mandibula ketika

processus condylaris bergerak ke belakang1,6.

2.5.5 Gerak Lateral Mandibula

Pada saat rahang digerakkan dari sisi yang satu ke sisi lainya untuk mendapat

gerak pengunyahan antara permukaan oklusal premolar dan molar, processus

condylaris pada sisi tujuan arah mandibula yang bergerak akan ditahan tetap pada

posisi istirahat oleh serabut posterior M. temporalis sedangkan tonus kontraksinya

akan tetap dipertahankan oleh otot-otot pengunyahan lain yang terdapat pada sisi

tersebut. Pada sisi berlawanan processus condylaris dan discus articularis akan

terdorong ke depan ke eminentia articularis melalui kontraksi M. pterygoideus

18
lateralis dan medialis, dalam hubungannya dengan relaksasi serabut posterior M.

temporalis. Jadi, gerak mandibula dari sisi satu ke sisi lain terbentuk melalui

kontraksi dan relaksasi otot-otot pengunyahan berlangsung bergantian, yang juga

berperan dalam gerak protrusi dan retrusi.5

Pada gerak lateral, caput mandibula pada sisi ipsilateral, ke arah sisi gerakan,

akan tetap ditahan dalam fossa mandibularis. Pada saat bersamaan, caput mandibula

dari sisi kontralateral akan melakukan gerak translasi ke depan. Mandibula akan

berotasi pada bidang horizontal di sekitar sumbu vertikal yang tidak melintas

melalui caput yang ‘cekat’, tetapi melintas sedikit di belakangnya. Akibatnya, caput

ipsilateral akan bergerak sedikit ke lateral, dalam gerakan yang dikenal sebagai

gerak Bennett (Bennett Movement)5

Selain menimbulkan pergerakan aktif, otot-otot pengunyahan juga

mempunyai aksi postural yang penting dalam mempertahankan posisi mandibula

terhadap gaya gravitasi. Bila mandibula berada pada posisi istirahat, gigi-geligi

tidak beroklusi dan akan terlihat adanya celah atau freeway space diantara arcus

dentalis superior dan inferior1,6.

19
Gambar 2. 10 Gerakan Bennett (Bennett Movement)
Dikutip dari : http://www.dent-wiki.com/dental_technology/bennett-movement/

20
BAB III
TEMPOROMANDIBULAR DISORDER (TMD)
3

3.1 Definisi Temporomandibular Disorder (TMD)

Temporomandibular disorder (TMD) atau gangguan pada TMJ merupakan

istilah yang digunakan untuk sekelompok gangguan pada sendi

temporomandibular, otot mastikasi, dan struktur terkait yang mengakibatkan gejala

umum berupa nyeri dan keterbatasan membuka mulut. Biasanya pasien dengan

gangguan ini mengeluhkan gejala yang persisten atau nyeri wajah kronis. Nyeri

pada gangguan TMJ umumnya disertai suara click pada sendi rahang dan

keterbatasan membuka mulut7.

Sekitar 60 – 70% populasi umum setidaknya memiliki satu gejala TMD

namun hanya seperempat yang menyadari adanya gangguan tersebut. Lebih jauh

lagi, hanya 5% dari kelompok orang dengan satu atau dua gejala TMD yang pergi

ke dokter. Kelainan ini paling banyak dialami perempuan (1:4), dan sering terjadi

pada awal masa dewasa7.

3.2 Etiologi Temporomandibular Disorder (TMD)

Berbagai usaha-usaha ilmiah telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor

penyebab yang berhubungan dengan TMD. Tabel 1 menunjukkan beberapa faktor

etiologi yang telah diketahui; namun, sebagian besar dari faktor-faktor tersebut juga

sering dilaporkan pada orang yang tidak menderita TMD. Oleh karena itu, sangatlah

sulit untuk menentukan etiologi pasti dari TMD pada masing-masing pasien3.

21
Tabel 3. 1 Faktor Etiologi TMD.

Faktor Etiologi dalam TMD


Trauma langsung pada rahang akibat kecelakan atau perkelahian
Jejas iatrogenik selama perawatan dental atau perawatan medis
Defek developmental pada sendi (hipoplasia, dan sebagainya)
Penyakit sendi degeneratif: osteoarthritis, arthrosis
Penyakit autoimun: arthritis rheumatoid, lupus
Aktivitas parafungsional sendi: clenching, bruxism
Gangguan gerak orofasial
Behavioral disorders: stress, depresi
Diskrepansi pada hubungan rahang
Diskrepansi pada oklusi gigi
Dikutip dari : Okeson J5

Umumnya, diakui bahwa trauma langsung pada rahang merupakan faktor

risiko etiologi pada TMD. Namun, data juga menunjukkan bahwa pada banyak

pasien TMD, tidak ada etiologi pasti yang dapat diidentifikasi kecuali faktor-faktor

behavioral seperti stress dan ketegangan. Gangguan autoimun, seperti arthritis

rheumatoid dan lupus erythematosus dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan

yang signifikan pada TMJ, namun gangguan tersebut relatif jarang pada populasi

pasien dengan TMD. Aktivitas parafungsional pada sendi, seperti clenching dan

bruxism, diperkirakan merupakan salah satu etiologi umum dari TMD, namun

penelitian klinis menunjukkan bahwa banyak orang yang memiliki kebiasaan

parafungsional tersebut namun tidak semuanya mengalami TMD. Di antara faktor-

faktor yang telah diteliti sebagai penyebab potensial dari TMD, faktor psikologi dan

behavioral (tingkah laku) mendapat perhatian yang lebih selama beberapa tahun

terakhir. Faktor-faktor tersebut telah diidentifikasi sebagai faktor yang berperan

penting dalam onsen dan persistensi dari nyeri punggung bawah dan tension type

headache. Sekarang teradapat data-data ilmiah yang mendukung bahwa faktor

22
psikologis dan behavioral berperan penting dalam berkembangnya beberapa jenis

TMD, khususnya yang berhubungan dengan nyeri dan disfungsi otot. Hubungan

rahang dan oklusi gigi pernah dianggap sebagai faktor etiologi dominan dari TMD,

namun penelitian epidemiologis selama 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa

maloklusi dan diskrepansi oklusal, kecuali pada kondisi yang parah, tidak lebih

sering dijumpai pada pasien dengan TMD dibandingkan dengan orang normal.3

3.3 Klasifikasi Temporomandibular Disorder (TMD)

Ketidakjelasan etiologi TMD menyebabkan klasifikasi diagnostik terhadap

TMD saat ini didasarkan pada tanda dan gejala pada pasien. Dahulu gangguan pada

TMJ diklasifikasikan menjadi gangguan intrakapsular (TMJ) atau gangguan

ekstrakapsular (otot) namun klasfifikasi tersebut tidak cukup bervariasi untuk

memungkinkan diagnosis dari berbagai abnormalitas TMJ dan otot mastikasi.

Klasifikasi yang ada saat ini memungkinkan lebih dari 1 diagnosis dan lebih

merefleksikan kondisi klinis sesungguhnya4

American Academy of Orofacial Pain (AAOP) menerbitkan klasifikasi umum

dari gangguan yang mempengaruhi cranium, TMJ, dan otot-otot mastikasi (Tabel

3.2).4

23
Tabel 3. 2 Klasifikasi Diagnostik Temporomandibular Disorders.

Kategori Diagnosis Diagnosis


Tulang kranial Gangguan perkembangan dan kongenital: aplasia,
(termasuk mandibula) hipoplasia, hiperplasia, dysplasia (misalnya,
mikrosomia hemifasial, Treacher Collins syndrome,
hipoplasia condylar)
Acquired disorders (neoplasia, fraktur)
Gangguan TMJ Deviasi bentuk
Displacement discus articularis (dengan atau tanpa
reduction)
Dislokasi
Kondisi inflamatoris (synovitis, kapsulitis)
Arhtritides (osteoarthritis, osteoarthrosis,
polyarthritides)
Ankilosis
Neoplasia
Gangguan otot mastikasi Nyeri myofasial
Myositis
Spasme
Protective splinting
Contracture (pemendekan permanen pada otot atau
tendon)
Dikutip dari : Okeson J5

Berdasarkan klasifikasi tersebut, berikut beberapa definisi dan kriteria klinis

dari TMD:

1. Nyeri myofasial

Merupakan nyeri yang berasal dari otot, umumnya disertai keluhan nyeri pada

area tertentu dengan tenderness pada saat palpasi otot.

Kriteria klinis: Nyeri atau sakit pada rahang, bagian temporal, wajah, area

preauricular, atau di dalam telinga pada saat rahang dalam posisi istirahat

maupun berfungsi, nyeri pada palpasi pada 3 atau lebih area otot.

24
2. Nyeri myofasial dengan pembukaan mulut terbatas

Kriteria klinis: Nyeri myofasial, pembukaan mulut tanpa bantuan < 40 mm

tanpa nyeri, pembukaan mulut maksimum dengan bantuan ≥ 5 mm dari

pembukaan mulut tanpa bantuan tanpa disertai nyeri.

3. Displacement discus articularis dengan reduction

Discus articularis berubah dari posisi awalnya di antara condylus dan

eminentia articularis ke posisi anterior dan medial atau lateral namun

perubahan posisi berkurang saat pembukaan mulut maksimum, umumnya

menyebabkan timbulnya bunyi.

Kriteria klinis: Clicking baik pada pembukaan maupun penutupan mulut

yang terjadi pada saat pembukaan interincisal minimal 5 mm dari posisi mulut

tertutup, clicking tidak terjadai pada pembukaan mulut secara protrusif, dan

muncul 2 kali dari percobaan 3 kali berturut-turut atau clicking pada

pembukaan atau penutupan mulut dan pada ekskursi lateral.

4. Displacement discus articularis tanpa reduction, dengan pembukaan

mulut terbatas

Discus articularis berubah dari posisi normal di antara condylus dan fossa ke

posisi anterior dan medial atau lateral, berhubungan dengan pembukaan

mulut yang terbatas.

Kriteria klinis:

i. Riwayat pembukaan mulut yang terbatas secara signifikan.

25
ii. Pembukaan mulut maksimum tanpa bantuan ≤ 35 mm, peregangan

pasif dapat menambah pembukaan mulut ≤ 4 mm, dan ekskursi lateral

< 7 mm dan/atau deviasi yang tidak terkoreksi pada sisi ipsilateral saat

membuka mulut.

iii. Tidak disertai bunyi sendi yang tidak termasuk dalam kriteria bunyai

akibat displacement discus dengan reduction.

5. Displacement discus articularis tanpa reduction, tanpa pembukaan mulut

terbatas

Discus articularis berubah dari posisi normal di antara condylus dan fossa ke

posisi anterior dan medial atau lateral, tidak berhubungan dengan pembukaan

mulut yang terbatas.

Kriteria klinis:

i. Pembukaan mulut maksimum tanpa bantuan > 35 mm, peregangan

pasif dapat menambah pembukaan mulut ≥ 5 mm, dan ekskursi lateral

≥ 7 mm.

ii. Disertai bunyi sendi yant tidak termasuk dalam kriteria bunyi sendi

akibat displacement discus dengan reduction.

6. Artharlgia

Nyeri dan tenderness pada kapsul sendi dan/atau lapisan synovial TMJ.

Kriteria klinis:

i. Nyeri pada satu atau kedua sisi sendi

ii. Nyeri pada sendi selama pembukaan mulut maksimum (dengan atau

tanpa bantuan)

26
iii. Nyeri pada sendi selama ekskursi lateral

7. Osteoarthritis TMJ

Kondisi inflamatoris di dalam persendian akibat kondisi degeneratif pada

struktur-struktur sendi.

Kriteria klinis:

i. Arthralgia dan krepitus.

ii. Pemeriksaan penunjang menunjukkan satu atau beberapa hal berikut:

erosi dari outline kortikal normal, sklerosis pada sebagian atau seluruh

bagian condylus dan eminentia articularis, permukaan sendi yang

datar, pembentukan osteofit.

8. Osteoarthrosis TMJ

Gangguan sendi degeneratif yang mengakibatkan bentuk dan struktur sendi

abnomal.

Kriteria klinis:

i. Tidak disertai arthralgia.

ii. Krepitus.

iii. Pemeriksaan penunjang menunjukkan satu atau beberapa hal berikut:

erosi dari outline kortikal normal, sklerosis pada sebagian atau seluruh

bagian condylus dan eminentia articularis, permukaan sendi yang

datar, pembentukan osteofit.4

3.4 Pemeriksaan Klinis Temporomandibular Disorder (TMD)

27
3.4.1 Anamnesis

Gejala paling umum yang berhubungan dengan TMD adalah nyeri. Nyeri

tersebut umumnya berkaitan dengan fungsi mandibula, jika nyeri tersebut tidak

berkaitan dengan fungsi mandibula, diagnosis alternatif harus dicurigai. ‘Diari

nyeri’ dapat membantu mengidentifikasi saat timbulnya nyeri serta frekuensi dari

nyeri yang bertambah atau berkurang, dan juga mengidentifikasi perilaku atau

situasi yang berperan terhadap gejala tersebut. Diagram nyeri pada leher dan kepala

juga dapat membantu dalam menentukan derajat nyeri serta untuk menilai

keberhasilan perawatan. Tabel 3.3 menunjukkan daftar pertanyaan yang dapat

membantu dalam menilai fungsi mandibula.4

Tabel 3. 3 Anamnesis: Pertanyaan yang Dapat Diajukan untuk Mengevaluasi Pasien dengan
Disfungsi Mandibula

Evaluasi terhadap Pasien dengan Disfungsi Mandibula


Apakah pernah merasakan nyeri pada wajah, di depan telinga, dan pada daerah
temporal?
Apakah pernah mengalami nyeri pada pipi, leher, telinga, atau kepala?
Kapan nyeri tersebut paling parah (pagi [saat bangun] atau seiring berjalannya
hari [menuju sore])?
Apakah ada rasa sakit saat rahang digunakan (membuka mulut dengan lebar,
menguap, mengunyah, berbicara, atau menelan)?
Apakah ada rasa nyeri pada gigi?
Apakah ada bunyi pada sendi pada saat rahang digerakkan atau saat mengunyah
(clicking, popping, atau krepitus)?
Apakah rahang pernah terkunci atau tidak dapat digerakkan (terkunci pada posisi
rahang terbuka atau tertutup)?
Apakah gerakan rahang terasa terbatas?
Apakah ada perubahan tiba-tiba pada saat gigi terkatup?
Apakah gigitan terasa tidak nyaman?
Apakah pernah mengalami trauma pada rahang?
Apakah pernah mendapatkan perawatan untuk gejala-gejala pada rahang? Bila
iya, apakah efek dari perawatan tersebut?
Apakah pernah mengalami masalah pada otot, tulang, atau sendi, seperti arthritis
atau fibromyalgia?
Apakah ada keluhan nyeri pada bagian tubuh yang lain?
Dikutip dari : Okeson J5

28
3.4.2 Pemeriksaan Fisik

Tidak ada satu pun pemeriksaan fisik yang dapat digunakan untuk

memastikan diagnosis TMD, namun pola abnormalitas pada hasil pemeriksaan

dapat menunjukkan kemungkinan sumber masalah dan kemungkinan diagnosis.

Tenderness (nyeri tekan) otot mastikasi pada palpasi merupakan pemeriksaan yang

paling konsisten pada kasus TMD.4

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain:

1. Inspeksi

i. Asimetri wajah, pembengkakan, hipertrofi M. massetericus dan M.

temporalis.

ii. Pola pembukaan mulut (deviasi, pergerakan yang tidak terkoordinasi,

keterbatasan pembukaan mulut)

2. Penilaian terhadap rentang pergerakan mandibula

i. Pembukaan mulut maksimum sesuai kenyamanan pasien, dengan rasa

nyeri, dan dengan bantuan klinisi

ii. Pergerakan protrusif dan lateral maksimum

3. Palpasi

i. Otot-otot mastikasi

ii. Sendi temporomandibular (TMJ)

iii. Otot-otot leher dan otot-otot tambahan pada rahang

iv. Area parotid dan submandibular

v. Kelenjar limfe

4. Tes provokasi

29
i. Static pain test (ketahanan mandibula terhadap tekanan)

ii. Nyeri pada sendi atau otot pada saat clenching

iii. Reproduksi gejala melalui pengunyahan (malam, permen karet)

5. Pemeriksaan intraoral

Tanda-tanda parafungsi (menggigit bibir atau pipi, linea alba yang tampak

jelas, scalloped pada tepi lidah, keausan pada oklusal gigi, mobilitas gigi,

sensitivitas terhadap perkusi, tes suhu, fraktur multiple pada email dan

restorasi) .4

3.4.3 Diagnostic Imaging

Jika pemeriksaan klinis menunjukkan kondisi patologis yang progresif pada

TMJ, pengambilan gambar perlu dilakukan sebagai bagian dari penilaian peyakit.

Adanya trauma, abnormalitas motoris dan sensoris, keterbatasan yang parah pada

gerak mandibula, dan perubahan akut pada oklusi merupakan hasil pemeriksaan

klinis yang mengindikasikan perlunya diagnostic imaging. Abnormalitas yang

paling sering dijumpai dari hasil imaging pasien dengan TMD adalah plain-film

radiography, tomografi, arthrografi, computerized tomography (CT), magnetic

resonance imaging (MRI), single-photon emission computed tomography, dan

radioisotope scanning.4

CT merupakan metode imaging yang dapat diandalkan untuk

mendokumentasikan penyakit sendi osteodegeneratif. CT dapat menunjukkan

detail abnormalitas tulang dan sesuai digunakan untuk mempelajari kasus ankilosis,

fraktur, tumor tulang, dan penyakit sendi osteodegeneratif. MRI merupakan metode

30
imaging pilihan untuk menilai posisi discus pada saat membuka dan menutup

mulut. Radioisotope scanning untuk mendeteksi peningkatan aktivitas metabolik

telah digunakan untuk mendeteksi hiperplasi condylar. Scanning terhadap tulang

merupakan indikator yang sensitif terhadap aktivitas metabolik tulang dan oleh

karenanya juga dapat menunjukkan hasil yang positif pada sendi yang sedang

mengalami remodeling fisiologis. Radioisotope scanning jika dikombinasikan

dengan hasil pemeriksaan klinis dan imaging lainnya umumnya efektif untuk

mendiagnosis pertumbuhan condylar yang terus berjalan akibat hiperplasia.4

3.4.4 Penanganan Pasien Dengan Temporomandibular Disorder (TMD)

Penanganan TMD tergantung pada jenis gangguan TMJ. Sebagian besar

pasien dengan TMD memiliki lebih dari 1 diagnosis TMD, dan penting bagi klinisi

untuk memulai perawatan yang ditujukan pada setiap diagnosis tersebut dan

terhadap faktor-faktor etiologi yang diketahui. Protokol umum pada pasien dengan

nyeri myofasial, arthralgia, dan displacement discus mencakup peresepan NSAIDs

(Non-Steroid Anti-inflammatory Drugs), seperti diklofenak dan ibuprofen, untuk

mengurangi inflamasi pada sendi; dan juga terapi untuk mengurangi nyeri dan

disfungsi otot.3

Penanganan terhadap komponen myofasial dari nyeri, selain mencakup

pemberian NSAIDs, juga diperlukan terapi lain yang ditujukan pada faktor-faktor

fisik yang menyebabkan ketegangan dan nyeri pada otot serta faktor-faktor

fungsional dan perilaku yang berperan dalam menyebabkan keberlangsungan

gejala-gejala pada otot tersebut. Penanganan yang ditujukan pada nyeri dan

31
disfungsi otot umumnya mencakup pengurangan aktivitas fungsional yang

menyebabkan otot bekerja berlebihan, termasuk mengunyak makanan yang keras,

dan pengurangan aktivitas oral, seperti menyanyi. Latihan pembukaan mulut secara

pasif, penggunaan kompres panan atau dingin, dan pemijatan lembut dapat

mengurangi nyeri secara paliatif. Pasien dengan nyeri myofascial umumnya

memiliki pola kontak gigi yang persisten, baik pada pasien dengan atau tanpa

kebiasan clenching atau bruxism. Mengajari pasien untuk melepas kontak antar gigi

dan melemaskan rahang sering kali dapat mengurangi nyeri dalam waktu yang

singkat. Pada kasus yang berat, penggunaan muscle relaxant, seperti

methocarbamol, cyclobenzaprine, atau diazepam, dilaporkan dapat membantu

mengurangi gejala TMD. Kombinasi self-treatment yang dilakukan pasien di rumah

dengan pemberian muscle relaxant umumnya dapat mengurangi gejala TMD.3

Gambar 3. 1 Splint pada (A) Rahang Atas, (B) Rahang Bawah.


Dikutip dari : Greenberg, M.S. and Glick, M.4

Terapi dengan splint merupakan metode yang banyak digunakan dalam

penanganan TMD selama 40 tahun terakhir. Splint digunakan untuk menangani

nyeri myofasial, displacement discus dengan dan tanpa reduction. Literatur

menunjukkan bahwa terapi splint memiliki efektivitas yang tinggi dalam

32
mengurangi aktivitas parafungsional rahang, yang pada akhirnya akan mengurangi

nyeri sendi dan otot. Splint yang paling sering digunakan adalah splint akrilik datar,

yang banyak digunakan untuk menangani nyeri myofasial dan noctural bruxism.3

Penanganan terhadap displacement discus tergantung dari apakah

displacement tersebut disertai dengan atau tanpa reduction saat penutupan mulut.

Penemuan klinis paling umum dari pasien dengan displacement dengan reduction

adalah adanya clicking pada TMJ saat membuka dan menutup mulut. Beberapa

pasien merasa lebih terganggu dengan suara clicking sendi dibandingkan dengan

nyeri yang timbul akibat gangguan TMJ tersebut. Penanganan pada pasien seperti

ini memerlukan informasi pada pasien bahwa penanganan untuk menghilangkan

bunyi clicking sulit dilakukan dan kemungkinan hasilnya tidak sesuai dengan

keinginan. Jika displacement discus tidak disertai dengan reduction namun disertai

nyeri myofasial, nyeri umumnya akan hilang saat disfungsi otot berkurang, namun

pada beberapa pasien, ketika nyeri myofasial berkurang, nyeri menjadi lebih

terlokalisir pada sendi, mengindikasikan bahwa displacement discus merupakan

faktor utama yang berperan dalam nyeri yang dirasakan pasien tersebut. Pada

pasien seperti ini, pemberian NSAIDs dapat mengurangi nyeri dan meningkatkan

fungsi. Jika nyeri dan keterbatasan sendi menetap, sebagian kecil pasien memilih

arthroscopic joint surgery untuk menstabilkan sendi dan mengurangi nyeri.3

TMD dapat menyebabkan nyeri alih (referred pain). Pada nyeri alih, nyeri

dirasakan bukan pada nervus yang terlibat, tetapi pada cabang lain nervus tersebut

atau bahkan pada nervus yang berbeda. Titik pemicu nyeri alih disebut trigger

point. Nyeri alih biasanya mengikuti aturan berikut:

33
1. Nyeri alih paling sering terjadi pada akar cabang nervus yang sama,

misalnya nyeri alih pada molar maksila yang berasal dari molar mandibula.

Pada kondisi ini, cabang mandibula nervus trigeminal menyebabkan nyeri

alih ke cabang maksila nervus trigeminal.

2. Terkadang nyeri alih dapat terjadi pada nervus yang jauh dari nervus yang

terlibat. Pada kondisi ini, nyeri biasanya terjadi lebih ke arah cephalad (ke

atas, ke arah kepala), dan bukan ke arah kaudal.

3. Pada area trigeminal, nyeri alih jarang menyeberangi midline, kecuali

sumber nyeri berasal dari midline. Contohnya, nyeri dari TMJ kanan tidak

akan menyeberang ke sisi kiri wajah. Namun pada area servikal ke bawah

nyeri dapat menyeberangi midline, walaupun normalnya nyeri berada pada

sisi yang sama dari sumber nyeri.7

Nyeri pada daerah kepala dan leher yang disebabkan TMD biasanya tumpul,

konstan, dan terus menerus. Hal lain yang perlu diingat adalah provokasi lokal pada

sumber nyeri/trigger point akan meningkatkan rasa sakit pada lokasi nyeri alih,

tetapi provokasi pada lokasi nyeri alih umumnya tidak akan meningkatkan rasa

sakit pada sumber nyeri/trigger point. Contohnya adalah nyeri alih pada regio

temporal kepala yang berasal dari TMJ, pergerakan rahang (provokasi lokal) akan

meningkatkan sakit pada regio temporal tesebut.7

Injeksi anestesi lokal juga dapat digunakan sebagai alat bantu diagnostik

untuk membedakan nyeri alih dan nyeri primer. Injeksi anestesi lokal pada lokasi

nyeri alih tidak akan mengurangi nyeri. Namun injeksi anestesi lokal pada trigger

point/ sumber nyeri akan mengurangi nyeri8.

34
Gambar 3. 2 Skema yang Menggambarkan Nyeri Alih dari TMJ
Dikutip dari : Okeson J5

Penanganan terhadap referred pain dapat dilakukan dengan trigger point

therapy Trigger point therapy menggunakan dua modalitas, yaitu (1) mendinginkan

kulit yang menutupi otot yang terlibat, dan kemudian merentangkannya; dan (2)

suntikan anestesi lokal langsung ke dalam otot. Terapi semprot dan regang (spray

and stretch) dilakukan dengan mendinginkan kulit dengan fluoromethane (spray

pendingin) dan kemudian otot yang sakit diregangkan dengan lembut. Tindakan

pendinginan ini dilakukan dengan tujuan memungkinkan peregangan dilakukan

tanpa rasa sakit, yang akan memicu reaksi kontraksi atau strain. Pasien yang

merespons modalitas ini dapat menggunakan variasi lain seperti menghangatkan

otot tersebut, kemudian dengan cepat medinginkannya dan setelah itu dengan

lembut meregangkan otot yang sakit9.

Injeksi anestesi lokal, cairan fisiologis, atau air steril, atau dry needling tanpa

memasukkan cairan atau obat secara intramuscular dapat dilakukan pada trigger

35
point. Metode yang dianjurkan untuk injeksi trigger point adalah dengan procaine

yang diencerkan sampai 0,5% dengan cairan fisiologis karena toksisitas procaine

terhadap otot rendah. Selain itu, dapat pula digunakan lidocaine 2% (tanpa

vasokonstriktor). Sampai saat ini belum ada protokol yang mengatur pemberian

injeksi trigger point ini, tetapi umumnya suntikan diberikan pada sekelompok otot

setiap minggu selama 3-5 minggu. Jika respons terhadap terapi tidak cukup, terapi

ini harus segera dihentikan9.

36
BAB IV
PEMBAHASAN

Kompleksitas anatomi di daerah kepala dan leher, pemeriksaan umum perlu

dan penting dilakukan untuk menentukan kemungkinan gangguan lainnya. Bahkan

sebelum suatu pemeriksaan struktur mastikasi dilakukan. Evaluasi fungsi nervus

kranialis, mata, telinga, dan leher juga perlu dilakukan . Jika didapatkan temuan

yang abnormal terutama di daerah TMJ, praktisi klinis terutama dokter gigi

spesialis harus segera merujuk pada spesialis yang tepat. Sebelumnya, sangat

sedikit informasi tentang kelainan temporomandibular (TMD) dan relevansinya

dengan perawatan. Informasi didapatkan dari tes gerakan-gerakan aktif dan palpasi

otot-otot mastikasi10.

Suatu prosedur pemeriksaan seperti yang dilakukan oleh Kaltenborn (1974),

Maitland (1967), dan Menell (1970) direkomendasikan pertama kali oleh Hansson

dkk (1980) untuk digunakan dalam profesi dokter gigi. Pada akhir 1980-an dengan

melihat keuntungan-keuntungan yang didapatkan setelah diaplikasikan lebih dari

10 tahun, prosedur ini mengalami modifikasi menjadi lebih sistematis, dan optimal

dengan maksud untuk meningkatkan relevansi klinis. Hasil pemeriksaan digunakan

untuk mendokumentasikan kerusakan jaringan, setelah dilakukan pemeriksaan

singkat intraoral dan extraoral. Gerakan-gerakan aktif dicatat dan pada kasus-kasus

tertentu dilengkapi catatan gerakan-gerakan pasif10.

Setiap struktur sistem mastikasi diuji secara sistematis dan berurutan seperti

berikut10 :

37
1. Tekanan-tekanan dan tranlasi dinamis dengan tes tekanan terhadap

permukaan sendi.

2. Tes terhadap area bilaminar dengan cara tekanan pasif.

3. Tranlasi dan traksi menggunakan beban tertentu pada kapsul dan ligament.

4. Pengujian fungsional otot-otot pengunyahan paling baik menggunakan

isometri kontraksi dibanding palpasi.

5. Teknik menggerakkan sendi untuk membantu membedakan antara

permasalahan miogenic (Otot) atau arthrogenic (Sendi).

6. Akhirnya, uji tes dinamis digunakan untuk membedakan suara kliking pada

sendi.

Dengan demikian diagnosis dilakukan dengan evaluasi secara seksama.

Informasi diperoleh melalui anamnesis dan prosedur pemeriksaan yang akan

mengarah pada satu kelainan spesifik. Jika pasien memiliki satu kelainan tunggal,

maka diagnosis menjadi suatu prosedur rutin yang perlu dilakukan. Diperlukan

kecermatan untuk dapat mengidentifikasi setiap kelainan, sehingga mampu

membuat prioritas dalam penanganannya10.

Pada gangguan yang memiliki gejala primer berupa nyeri, maka sangat perlu

dilakukan identifikasi sumber nyeri. Identifikasi pada kondisi nyeri primer cukup

mudah karena titik penyebab nyeri umumnya berada pada lokasi yang sama. Pada

nyeri primer pasien dapat menunjukkan langsung lokasi sumber nyeri. Tetapi jika

nyeri bersifat heterotopik pasien hanya dapat menjelaskan lokasi nyeri yang berada

cukup jauh (nyeri alih) dari sumber penyebab nyeri yang sebenarnya. Perlu diingat

bahwa penanganan hanya menjadi efektif jika dilakukan pada sumber penyebab

38
nyeri dan bukan pada lokasi nyerinya. TMD merupakan masalah kompleks yang

memerlukan kecermatan didalam diagnosis dan perawatan awal atau lanjutan.

Perawatan seperti penggunaan splint maupun trigger point therapy dengan injeksi

dapat dilakukan pada pasien yang telah mengalami TMD7,10.

39
BAB V
KESIMPULAN

Temporomandibular joint (TMJ) adalah persendiaan dari kondilus mandibula

dengan fossa gleinodalis dari tulang temporal. TMJ merupakan satu-satunya sendi

yang ada di area orofasial yang bertanggung jawab terhadap pergerakan membuka

dan menutup rahang, mengunyah serta berbicara yang letaknya dibawah depan

telinga Apabila terjadi sesuatu kelainan pada salah satu sendi ini, maka seseorang

akan mengalami masalah yang serius yaitu terasa nyeri saat membuka mulut,

menutup mulut, makan, mengunyah, berbicara, bahkandapat menyebabkan mulut

terkunci. Kelainan ini disebut juga sebagai temporomandibular joint disorder

(TMD) atau disfungsi temporomandibular joint (TMJ).

Struktur temporomandibular joint merupakan struktur sendi yang kompleks

dan mempunyai fungsi yang spesifik serta mempunyai kelainan yang spesifik /

kompleks sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dengan seksama serta ditindak

lanjuti perawatannya. Penanganan terhadap disfungsi atau penyakit

temporomandibular joint sangat tergantung dari kecermatan praktisi dalam

mengetahui gambaran klinis dan diagnosis untuk jenis TMD yang terdapat pada

pasien, dan menentukan jenis rencana perawatan yang dibutuhkan oleh pasien

sehingga memperoleh prognosis yang baik.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Ingawale SM, Goswami T. Biomechanics of the Temporomandibular Joint,

Human Musculoskeletal Biomechanics. Hum Musculoskelet Biomech

[Internet]. 2012;1(3):160–82.

2. Sharma S, Gupta DS, Pal U. Etiological Factors of Temporomandibular Joint

Disorders. Natl J Maxillofac Surg. 2011;2(2):116–9.

3. Silverman S, Eversole LR, Truelove E. Essential of Oral Medicine. 13th ed.

London: BC Decker Inc.; 2001. 231-279 p.

4. Greenberg MS, Glick, M. Burket’s Oral Medicine : Diagnosis & Treatment.

10th ed. Ontario: BC Decker Inc.; 2003. 122-156 p.

5. J. O. Management of Temporomandibular Disorders and Occlusion. 6th ed.

Toronto: CV. Mosby; 2008. 15-70 p.

6. Scrivani SJ. Nonsurgical Management of Pediatric Temporomandibular Joint

Disorder. Oral Maxillofac Surg Clin NA [Internet]. 2017;30(1):35–45.

Available from: https://doi.org/10.1016/j.coms.2017.08.001

7. U.S. DEPARTMENT OF HEALTH AND HUMAN SERVICES National

Institutes of Health. TMJ Disorder. J Natl Institues Heal. 2017;1(1):1–16.

8. Shore NA. Occlusal Equilibration and Temporomandibular Joint

Dysfunction. Philadelphia: J. B Lippincott Company; 1999. 231-2 p.

9. Holdcroft A, Power I. Management of Pain. Br Med J. 2003;1(362):635–9.

10. Suhartini. Kelainan pada Temporomandibular Joint (TMJ). Stomatognatic J

Kedokt Gigi Univ Jember. 2011;8(2):76–85.

41

Anda mungkin juga menyukai