Anda di halaman 1dari 16

Dengan Menyebut Nama Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

TENTIR V
MODUL INFEKSI DAN IMUNOLOGI
1. Prinsip Dasar & Patogenesis Infeksi Parasit Adhitya S.R. .....1-2
2. Respon Imun terhadap Parasit Shela Putri Sundawa ..............2-8
3. Imunodefisiensi (PA) Siskawati Suparmin .................................8-11

1. Prinsip Dasar dan Patogenesis Infeksi Parasit


Di tentir ini cuma ada inti cerita kuliah aja. Kalo kebelet pengen tau detail sitokin2 dan
segala drama sistem imun vs cacing, silakan liat slide.
INTI KULIAH INI
Infeksi cacing sebelum sistem imun matur respon imun ke arah TH2 dan Treg bisa
menekan alergi di slide ada sekian banyak jurnal yang membandingkan prevalensi alergi
di populasi yang terinfeksi cacing vs yang tidak ternyata yang cacingan, prevalensi alergi
lebih rendah jadi produk antigen cacing bisa dipakai untuk tatalaksana atau pencegahan
alergi (suatu saat nanti).
Negara berkembang masih banyak penyakit menular: parasit, bakteri, virus.
Negara maju banyak penyakit KV, metabolisme, hiperinflamasi (alergi & autoimun).
Faktor risiko penyakit alergi & autoimun: infeksi helminth dan sanitasi.

4. Uji Diagnostik Imunodefisiensi & Autoimun M. F. Afif .........11-12


5. Pendekatan Klinis Autoimun & Imunodefisiensi- A.Fadhlan ...13-14
6. Konsep Infeksi Oportunistik Parasitologi Indra M. P. ............14-15

Diagram tersebut menunjukkan kalau infeksi cacing sebelum sistem imun matur
memberikan efek proteksi long-lasting terhadap penyakit alergi; sedangkan kalau setelah
maturasi, efeknya hilang setelah infeksi cacing diobati.

Seksi Pendidikan 2008 Tingkat III

Antigen cacing transplasenta respon imun TH2 di janin (belum matang) menekan
risiko alergi.
Respon imun terhadap cacing = menekan sistem imun menghambat kerusakan
asimtomatik.
Contoh sel yang berperan dalam respon terhadap cacing sekaligus dalam tissue repair :
alternative activated macrophage, eosinofil, mast cell.

Infeksi Helminth
- AKUT: Cacing aktivasi sel dendritik TH2 sel B (IgE & eosinofilia).
- KRONIK: Pada respon TH2 hyporesponsiveness = ciri infeksi helminthes kronik.
- Alternative Activated Macrophage Treg menekan respon imun TH1 dan
TH17
- Class-switching sel B IgG4
Jadi intinya, musti ada keseimbangan antara TH2 dan Treg parasit & pejamu hidup
bersama.
- Treg lemah: buruk untuk host & parasit
- Treg kuat: sistem imun ditekan parasit berjaya jadi patologis

2. Respon Imun terhadap Parasit


Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, mari kita mulai tentir ini. Semoga tentir ini
bisa menjelaskan kuliahnya yang tidak dikuliahkan.

Kalo ada infeksi cacing di mukosa respon TH2 sekresi mukus meningkat +
kontraktilitas meningkat biar cacingnya susah dapet makan.

Diagram ini nunjukkin subset sel T helper. Jadi di tengah itu ada yang naif; tergantung dari
jenis sitokin yang merangsangnya, akan jadi subset tertentu dan menghasilkan sitokin yang
beda juga. Untuk parasit, tubuh akan merespon ke arah TH2.
Kenapa cacing bisa menghambat alergi?
- Antigen cacing banyak klon IgE banyak (poliklonal) menuh-menuhin reseptor IgE di
mast cell antibodi untuk alergen ga dapet tempat ga bisa ada respon alergi.
- Infeksi cacing kronik IgG4 poliklonal menghambat degranulasi sel efektor.
- Supresi sitokin antiinflamasi oleh Treg dan Breg.
Jenis cacing: nongkrong di lumen vs di jaringan hidup lebih lama respon imun lebih
kuat cacing jaringan lebih bisa menekan alergi.
Tatalaksana Infeksi Cacing
Faktor : Timing (early vs late, long-lasting vs on-off), intensitas infeksi, genetik, jenis
cacing.

Gambar ini merupakan gambar yang akan menjadi modal kita untuk memahami imunologi
parasit.
Sekadar mengingatkan, pada pajanan pertama antigen makrofag akan teraktivasi dan
bertindak sebagai APC. APC akan memajankan antigen pada sel T helper yang selanjutnya
akan memicu terbentuknya sel T memori. Pada pajanan antigen ke-2, yang pertama akan
berespon adalah sel T memori yang kemudian akan bekerja dengan memicu sel B memori
dan sel T memori. Sel B diaktivasi supaya mengeluarkan imunoglobulin dan sel T memori
diaktivasi untuk memicu sel T sitotoksik.

You can tell more about a person by what he says about others than you can by
what others say about. Audrey Hepburn

Sebelum kita masuk pada respon imun yang lebih dalam, ada baiknya mengenal parasitparasitnya terlebih dahulu.
2.1 Helminthes
Helminthes atau cacing bervariasi secara biologis. Helminthes juga memiliki hospes
intermediate yang berbeda-beda tergantung spesiesnya. Misalnya pada schistosoma, hospes
intermediatenya adalah siput, sedangkan pada cacing filaria, hospes intermediatenya adalah
nyamuk.
Rute infeksi juga bervariasi:
- Ascaris lumbricoides melalui infeksi oral
- Schistosoma sp. melalui penetrasi langsung ke kulit manusia
- Cacing filaria melalui gigitan lalat atau nyamuk
Helminthes berada dalam tubuh manusia dalam tahap perkembangan yang berbeda-beda
(telur, larva, atau cacing dewasa). Karena adanya bermacam tahapan yang berbeda ini maka
akan menimbulkan beberapa hal yaitu:
- Variasi antigen (antigen permukaan parasit) yang berlebih
- Memicu respon imun hospes secara independen
Kedua hal ini kemudian akan memicu kesulitan dalam mengeliminasi patogen. Infeksi
helminthes dan respon imun hospes yang terjadi merupakan hasil dari perubahan yang
berkepanjangan dari ko-evolusi antara hospes dan parasit. Untuk lebih lengkapanya
mengenai respon imun pada parasit akan dibahas kemudian.

Sebelum parasit masuk ke dalam tubuh, terdapat mekanisme pertahanan tubuh bagian luar.
Pertahanan tubuh parasit ini berbeda-beda tergantung port d entree dari parasit tersebut.
Pada parasit yang menginfeksi melalui oral, berikut adalah mekanisme pertahanan yang ada
di mukosa:
- Non imunologis:
- Pelindung fisik: motilitas pencernaan, lapisan sel epitel
- Pelindung kimiawi: asam lambung, enzim pankreas, empedu, mukus
- Imunologis:
- Jaringan limfoid yang berhubungan dengan pencernaan (gut associated lymphoid
tissue/GALT), antara lain:
- Agregat limfoid di tonsil
- Peyers patch di ileum
- Folikel limfoid mukosa
- Sel yang aktif secara imunologis di lamina propria
- Limfosit yang berhamburan di antara enterosit

Supaya infeksi dapat timbul, maka parasit haruslah:


- Mengecoh hospes untuk mengembangkan respon imun yang inefektif
- Menemukan tempat yang cocok untuk maturasi dan penyebaran tanpa menyakiti atau
membunuh hospes
Sedangkan untuk mengatasi infeksi, hospes harus:
- Membuat respon imun yang efektif untuk mengeluarkan parasit
- Meminimalisir efeknya yang merugikan
Dari kemampuan hospes dalam mengatasi infeksi ini maka terdapat dua jenis hospes yaitu
hospes yang susceptible (sesuai) dan hospes yang insusceptible.
Helminthes juga memicu adanya aktivasi dari granulosit. Granulosit dikenal sebagai
inisiator respon imun tertentu dan regulator respon yang sedang berjalan. Perubahan pada
fisiologi pencernaan dan produksi mukus juga merupakan pernanan mekanisme efektor
termediasi granulosit terhadap helminthes yang berada di pencernaan.

2.1.1 Sel-sel yang terlibat dalam respon parasit


a. Eosinofil
Dalam keadaan normal menyusun 2-5% leukosit. Pada infeksi helminthes meningkat
menjadi 40%. Memiliki 4 toksin yang terkandung dalam granulnya, yaitu:
- Major basic protein-1 (MBP-1),
- eosinophil peroxidase (EPO),
- RNAse eosinophil-derived neurotoxin (EDN),
- Eosinophil cationic protein (ECP).
MBP, EPO, dan ECP adalah toksin helminthes yang poten. MBP menginduksi keluarnya
histamin dari sel mast. EDN dan ECP dapat bekerja sebagai ribonuklease. Eosinofil datang
ke sirkulasi darah karena panggilan dari IL-5 kemudian direkrut untuk bergabung ke
jaringan oleh kemotaksin eotaksin. Terjadi up-regulasi eotoksin pada kelainan yang ada di
saluran pencernaan misalnya eosinofil oesofagitis. Parasit seperti Necator americanus
mampu memecah eotoksin secara spesifik untuk menghambat perekrutan eosinofil pada
tempat yang terinfeksi.
Eosinofil juga dapat berlaku sebagai antigen-presenting cells (APC) dan mempresentasikan
antigen ke sel T CD4 naif yang kemudian akan memodulasi respon dari sistem imun yang
adaptif. Pada infeksi primer, eosinofil, muncul sebagai efektor dari respon imun. Caranya
dengan melakukan degranulasi dan terlibat secara langsung dalam pembunuhan patogen.
Pada infeksi sekunder, eosinofil bekerja sebagai modulator dari respon imun. Misalnya
infeksi Strongyloides stercoralis, keberadaan eosinofil dibutuhkan untuk menginisiasi
respon protektif termediasi IgM. Singkat kata, eosinofil sama-sama terlibat baik dalam
infeksi primer dan infeksi sekunder. Hanya saja bentuk peranannya berbeda. Hayo tadi apa
aja kalo yang primer?
b. Sel mast
Sel mast didistribusi melalui jaringan penghubung dan terletak berdekatan dengan darah
dan pembuluh limfatik, saraf, dan permukaan epitel. Sel mast mengekspresikan reseptor IgE
dengan afinitas yang tinggi yaitu FcRI. Ketika reseptor ini berikatan silang dengan antigen,
maka akan memicu terjadinya degranulasi sehingga terjadi pengeluaran protein protease
dan protein inflamatori seperti histamin. Jadi antigen helminthes akan berikatan dengan IgE
dan mengindukasi degranulasi sel mast dan terjadilah pengeluaran histamin. Ada dua
macam sel mast yaitu sel mast jaringan (terbanyak), dan sel mast mukosa. Sel mast
golongan pertama ditemukan di sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah
histamin dan heparin. Sel mast golongan kedua ada di saluran cerna dan napas. Selain
melalui mekanisme dengan IgE, sel mast juga dapat diaktifkan dan melepas mediator atas
pengaruh PAFm C3a, C5a, fosfolipase, dll. Kebalikannya PGE1, PGE2, dan adrenalin
menghambat degranulasi sel mast. Seperti pekerja yang profesional, sel mast bisa diundang
ke suatu tempat-tempat tertentu seperti usus dan paru. Kedatangan sel mast ini diundang
oleh integrin. Produk sel mast (histamin dan prostaglandin E2) memiliki efek 1) yang

sama pada pengrusakan batas sel epitel dan 2) bekerja pada ekspresi kemokin sel dendritik
untuk membantu perekrutan sel TH2.
c. Neutrofil
Sel pertama yang direkrut ke daerah infeksi yang kemudian menelan patogen dengan
fagositosis. Kasian ya idupnya neutrofil musti makan-makanin penyakit. TNF adalah
faktor aktivasi neutrofil yang utama. Pada model binatang, neutrofil merupakan sumber dari
IL-4 yang awal yang kemudian akan menginduksi respon TH2.
d. Basofil
Jumlahnya kurang dari 1% leukosit. Neutrofil memiliki granul basofilik di sitoplasmanya.
Sel ini juga menghasilkan histamin, dan mengekspresikan reseptor IgE berafinitas tinggi di
permukaannya. Nah yang tadi barusan dibahas, masih inget nggak nama reseptornya apa
dan ada di mana? Basofil melakukan maturasinya secara penuh di sumsum tulang sebelum
masuk ke darah, beda dengan sel mast yang keluar ke sumsum tulang sebagai progenitor
dan menjadi dewasa di jaringan. Basofil dan sel mast yang diaktifkan juga melepas berbagai
sitokin (IL1 sampai IL6, kecuali IL2), TNF, TGF, IFN-gamma, GM-CSF. IL-4
merupakan sitokin pertumbuhan untuk sel TH2, dan hanya dihasilkan pada kondisi dimana
terdapat IL-3 dan IL-18. (ini ada di slide tolong dicek lagi ya)
Basofil yang teraktivasi dapat menginduksi sel B untuk mengubah imunoglobulin yang
dihasilkannya menjadi IgE. Helminthes akan menghasilkan protease yang menginduksi
respon tipe 2 predominan. Kitin, yaitu komponen dari parasit, telur dan kerang, juga
menginduksi basofilia. Misalnya: antigen pada schistosoma yang menghasilkan
glikoprotein telur dapat menstimulasi basofil manusia untuk dengan cepat memproduksi IL4, memicu degranulasi, mengeluarkan IL-13, dan histamin. Produksi IL-4 oleh basofil bisa
mengaktivasi sel non imun seperti endotel vaskuler, otot polos dan sel epitel mukosa
memicu pengusiran nematoda enterik.
Basofil dapat berkontribusi pada imunitas yang dimediasi IL-4 dan inflamasi selama infeksi
helminthes melalui 2 mekanisme tertentu:
- Mekanisme bebas dari IgE: memicu produksi persisten dari sejumlah kecil IL-4.
Penting selama infeksi primer untuk diferensiasi TH2
- Mekanisme tergantung IgE: memicu sekresi sejumlah besar dari sitokin. Yang ini
penting untuk respon imun sekunder.
Rangkuman : Respon imun innate parasit dengan keberadaan IL-3 dan IL-18 akan
memicu basofil menghasilkan IL-4. IL4 akan memicu sel B untuk memproduksi IgE. Di sisi
lain, IL-4 juga akan memicu perkembangan respon TH2 dalam memproduksi IL-5 yang
akan memicu eosinofil. Respon imun sekunder IL-4 memicu respon TH2 yang kemudian
akan memerintahkan sel B untuk menghasilkan IgE.

Nih gambarnya biar jelas.

d. Sel T
Ada 4 subset sel T yang utama, yaitu TH1, TH2, TH17 dan Treg.
- Kerja sel TH1 untuk: autoimun, infeksi bakterial akut, infeksi mikroba dan protozoa
kronik.
- Kerja sel TH2 untuk: alergi, fibrosis, infeksi helminthes.
- Treg memiliki efek anti inflamatori (menginhibisi aktivitas sel imun untuk mengurangi
produksi sitokin proinflamatori) dengan menghasilkan IL-10 dan TGF. Treg menyusun 510% sel T CD4. Dapat dihasilkan secara naturan dan secara luas dihamburkan pada tempat
antigen. Treg merupakan kunci dari imunoregulasi.
- TH17 masih belum jelas kerjanya tapi dia menghasilkan IFN gamma, TNF alfa, IL-6 dan
IL-8 yang berlaku sebagai proinflamatori (sitokin yang meningkatkan reaksi inflamasi
seperti peningkatan suhu tubuh, akumulasi sel, dll). Keseimbangan sitokin anti dan pro
inflamatori penting untuk menentukan besarnya kecilnya patologi pada manusia.
Pada respon karena bakteri virus, helmin, dan protozoa, manusia itu punya beberapa respon
imun yang bisa memberi outcome manusia itu menjadi susceptible (gampang kena),

resisten, atau malah patologi terhadap penginvasi.

Jadi kalo orang yang susceptible ama parasit yang kerja itu TH1 dan kemudian akan
terjadilah inflamasi patologis. Tapi kalo orang yang resisten maka itu karena jasa-jasa TH2.
Kalo sel Treg dia akan menurunkan respon imun.
Gampangnya gini ,kalo helmin, yang dominan bekerja adalah TH2. Kalo TH1 itu lebih
dominan untuk bakteri, virus dan protozoa. Gambar di atas adalah gambaran secara umum.
Jadi jangan bingung ya teman-teman soal parasit yang susceptible, resisten dan lain-lain.
Pokoknya intinya kayak yang saya bahas sedikit tadi.
Perjalanan modulasi imun karena helminthes: Infeksi helminaktivasi sel dendritik di
jaringan perifer bermigrasi aktif ke nodus limfa sel dendritik mempresentasikan
antigennya ke sel T naif perkembangan sel T menjadi sel TH2.
2.1.2 Inflamasi
Merupakan respon jaringan tervaskularisasi terhadap lesi karena infeksi parasit atau agen
kimiawi, fisik atau biologis. Imunitas innate menginisiasi respon inflamasi dengan
mengenali karbohidrat, dll melalui PRR (pattern recognition receptor). PRR ini kemudian
akan memicu monosit/makrofag (IL-1, IL-6, IL-8, TNF, IL-10, IFN), sel dendritik (IL-12,
TNF), limfosit (TNF, IFN), fibroblas/sel endotel (IL-6, TNF, IFN) memicu inflamasi
sistemik demam dan respon fase akut.
Sitokin dengan aktivitas pirogen antara lain TNF, IL-1, IFN, IL-6, IL-8 dan Macrophage
Inflammatory Protein (MIP). Sitokin-sitokin ini juga memediasi respon hospes (respon fase
akut): leukositosis, perubahan permeabilitas vaskular, peningkatan respon metabolik,
perekrutan resoin imun non-spesifik (kemotaksis, fagositosis). Sitokin ini juga meng-upregulasi sintesis dari bermacam protein di liver dan jaringan lain (CRP, serum amiloid P).

Inflamasi mukosa karena infeksi helminthes


Sistem imunitas dari mukosa biasanya selalu dalam keadaan homeostasis, walaupun ada di
usus terdapat banyak antigen. Parasit yang masuk ke jaringan mukosa dapat menginduksi
inflamasi usus. Ketika pada akhirnya tidak ada keseimbangan lagi di mukosa, maka akan
terjadi inflamasi yang kemudian akan memicu terjadinya gastritis akut dan/atau diare.
Mekanismenya inflamasi mukosa karena infeksi helminthes adalah:
- Penempelan parasit pada enterosit (sel epitel pada usus halus dan usus besar dengan
kemampuan untuk sekresi dan digesti) menginduksi imunitas hospes. Inflamasi pada
mukosa ini juga diikuti dengan perubahan motilitas usus halus. Hal ini terjadi karena
induksi dari sel T CD4 dependen TH2. Keberadaan IL-4 dan IL-13 di lapisan eksterna
muskular karena hiperkontraktilitas otot usus. Nah semua inilah yang akan mengeluarkan
cacing. Ini mekanisme yang pertama, nah ada mekanisme yang lain yaitu dengan sel goblet.
- Sel goblet berada di usus halus dan besar dan berguna sebagai sumber utama musin. TH2
menginduksi hiperplasia sel goblet meningkatkan sekresi mukosa. Hal ini akan berakibat
pada perubahan lingkungan pencernaan dari netral menjadi asam, penjebakan parasit atau
penelungkupan parasit, inhibisi dari motilitas parasit dan kapasitas makan-memakan.
Mekanisme lain yaitu melibatkan mastositosis di lamina propria yang menyebabkan
perubahan permeabilitas sel epitel. Tujuan ini semua adalah untuk mengusir parasit.
Sel entero endokrin (EE) yang berada di mukosa GI berlaku sebagai sistem saraf sensorik,
mampu mentransmisi sinyal untuk mengaktivasi sistem saraf enterik mengeluarkan
sekretin, serotonin, cholecystokinin, chromogranin mempengaruhi fisiolofi pencernaan
(sekresi, motilitas).
Peran sel TH2 dalam infeksi helminthes:

Seperti yang tadi sudah dibahas kalau bakteri itu akan memicu TH1. Nah jalur ini kemudian
akan mengaktivasi makrofag di jalur klasik. Sedangkan helmin akan memicu TH2. Jalur ini
akan mengaktivasi makrofag di jalur alternatif berkontibusi pada respon protektif host
yaitu: mengontrol inflamasi TH1 dan perbaikan jaringan. Umumnya infeksi helminthes akan
menginduksi respon TH2 dalam 24 jam sejak masuknya parasit ke dalam eosinofilia dan
mastositosis hospes. Namun pada Schistosoma dan filariasis ada perkecualian untuk
tingkah TH2 nya.
Schistosoma sp.
Respon yang muncul terhadap schistosoma berubah-ubah tergantung dia lagi fase apa.
Respon dominan TH1 muncul sebelum keberadaan telur (masih diteliti, belum jelas). Ketika
infeksi berkembang dan telur dikeluarkan dari cacing dewasa responnya akan berubah
menjadi respon TH2. Emang apa sih bedanya respon TH1 dan 2? Jadi bedanya itu pada
sitokin-sitokin yang dihasilkan dan imunoglobulin yang diinduksi untuk dikeluarkan dari
sel B (plasma). TH1 itu sitokinnya IL-2, IFN gamma, TNF, dll. TH2 sitokinnya IL-4, IL-5,
IL-10, IL-13, IL-21. IFN gamma dari Th1 akan memicu timbulnya IgG. Kalau pada daerah
pembentukan antibodi banyak TH2 nya maka yang terbentuk adalah IgE. Prinsip dari
pembentukan antibodi dan sitokin yang berbeda-beda ini kemudian bisa kita jadikan dasar
untuk alergi, penyakit infeksi karena bakteri virus juga helmin.
Pertanyaan untuk dipikirkan mengapa pada negara maju yang bersih dimana infeksi sudah
menurun, alerginya menjadi bertambah? Jawaban : karena pada lahir keseimbangan
banyaknya TH2 dan TH1 belum seimbang. TH2 masih lebih banyak dihasilkan. Nah infeksi
pertama kali dari mikroba yang mengenai seorang bayi akan mengubah keseimbangan ini
dengan TH1 yang menjadi mulai banyak dibentuk.

Mengapa TH1 yang banyak dibentuk bukan TH2? Coba ditengok lagi, tadi sudah sempat
dibahas. Karena TH1 sekarang sudah banyak dihasilkan saat bayi ini sedang infeksi, maka
jika pada waktu yang sama bayi ini terpapar alergen berupa debu maka TH1 juga akan
langsung ikut mengatasi juga. Pengalaman infeksi dan paparan alergen bayi yang pertama
kali ini akan diingat dan langsung berespon jika ada hal yang sama di kemudian hari. Teori
tentang pembentukan TH1 yang berespon pada alergen lingkungan ini disebut dengan
hygiene hypothesis. Begitulah mengapa negara bersih lebih banyak yang alergi daripada
negara kotor. Sekarang mari kita kembali pada schistosoma. Telur si makhluk ini
mengandung Lacto-N-ficopentaose III (polylactosamine sugar), sesuatu yang bertindak
sebagai pemicu TH2. Nah makanya pas masuk fase telur yang terstimulasi TH2.

Protozoa contohnya yang akan dibahas di sini adalah malaria. Untuk patogenesis malaria,
virulensinya, dll bisa dipelajari sendiri ya teman-teman. Dulu kan juga udah pernah.
Imunitas terhadap malaria bersifat kompleks. Adanya mekanisme efektor imunitas adaptif
atau innate dapat membatasi puncak parasitemia, mencegah patologi yang parah dan
mengurangi beban sel yang terinfeksi di sirkulasi.
Imunitas terhadap parasit: aparasitemia.
Imunitas terhadap penyakit: parasitemia dengan atau tanpa gejala klinis ringan.
Antigen di permukaan malaria itu ada banyak sekali. Nih liat sendiri gambarnya.

Agar tidak membingungkan mari kita ringkas respon imun schistosoma ini:
- Fase pertama: 3-5 minggu, respon dominannya adalah TH1
- Fase transisi: parasit dewasa mulai memproduksi telur, respon imun mulai berubah ke TH2
- Fase kronis: respon TH2 dimodulasi
Karena perbedaan respon imun inilah, manifestasi klinis yang nampak pun juga berbeda.
Schistosomiasis akut:
- Menyebabkan penyakit febris (Katayama).
- Menginduksi sel MN perifer untuk memproduksi sitokin proinflamatori (TNF, IL-1, dan
IL-6)memuncal 6-8 minggu setelah infeksi.
- Hanya muncul pada orang yang berpergian pada daerah endemik.
- Akut yang parah: kakeksia dan kematian karena ketidakmampuan untuk membentuk
TH2.
Schistosomiasis kronis:
- Telur yang dibawa aliran darah menuju liver, ke sinosoid. Telur akan mati di jaringan. S.
mansoni dan S. japonicum telurnya mati di jaringan sedangkan S. haemaobium akan
merusak veseka urinaria. Hal ini akan memicu respon CD4 sehingga terbentuklah lesi
granulomatosa di sekeliling telur lama-lama jadi fibrosis.
- Sebenarnya granuloma ini memiliki peran protektif yang penting untuk host.
2.2 Parasit Filaria
Yang unik dari cacing ini adalah adanya simbiosis yang terjadi antara dia dan bakteri
dengan genus Wolbachia. Karena wolbachia inilah terjari repon imun yang agak berbeda.
Protein permukaan filaria disebut dengan wolbachia surface protein (WSP). Protein ini
akan menginduksi sitokin proinflamasi, IL-6, TNF oleh makrofag dan aktivitas kemotaktik
neutrofil. Kebanyakan mediator pro inflamasi perubahan pembuluh darah limfatikus
dilatasi dan obstruksi patologi limfa (edema, hidrokel). Sekadar untuk me-refresh
ingatan cacing filaria itu contohnya Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia
timori.

Oleh karena itu, antibodi yang ada tidak bisa mengenali infeksi karena variasi antigen yang
baru, dan ini akan menyebabkan multiplikasi parasit yang tidak terkontrol menyebabkan
penyakit yang parah.
Pada malaria respon imun yang ada berkembang secara bertahap.

2.3 Protozoa

Keterangan gambar (maap yang fotokopian, liat slide aja) :


- Garis hitam: parasitemia pada darah mengikuti infeksi sporozoit (sp). Dari gambar terlihat
terdapat periode prepaten (p) antara inokulasi sporozoit dan deteksi parasit di darah.
- Garis biru: ambang batas mikroskopik (misal keterbatasan deteksi).
- Area kuning: menggambarkan parasitemia subpaten.
- Area oranye: parasitemia paten asimtomatik.
- Garis merah: ambang batas klinis atau parasitemia yang memproduksi paraksisim atau
gejala klinis lain (area pink).
- Huruf i: periode inkubasi (waktu antara infeksi dan munculnya gejala klinis).
Seiring dengan perkembangan imunitas, ambang batas klinis juga meningkat.

Malaria yang parah di daerah endemik


Malaria serebral tidak biasa terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, dan lebih sering pada
anak yang lebih tua yang menderita dari infeksi yang kedua atau lebih. Mengapa hal ini
bisa terjadi? Sel T dan B naif hanya memproduksi IFN dan TNF yang terbatas saat infeksi
pertama. Pada infeksi kedua, sel T memori akan meningkatkan respon dan menyebabkan
pengeluaran sitokin inflamatori dalam jumlah besar yang berhubungan dengan parahnya
penyakit. Pada pajanan berikutnya, Treg akan memprouksi sitokin anti inflamatori (IL-10
dan TGF beta) dan menghambant sitokin inflamatori, sehingga menghasilkan imunitas
kilinis.
Malaria yang parah pada daerah non endemik atau low-endemik
Risiko terhadap terjadinya malaria yang parah meningkat seiring umur, sementara anakanak biasanya hanya terinfeksi.

Malaria itu kan menginfeksi eritrosit memicu makrofag yang teraktivasi dan sel
dendritik sitokin-sitokin dihasilkansel TH1 dipicu sehingga terbentuklah banyak IgG
(tadi udah kan Ig apa yang dihasilkan oleh TH1 atau TH2)

Malaria yang parah pada dewasa (di daerah yang gak endemik)
Permulaan Reaksi silang TH1: sel T dari dewasa yang belum pernah terkena terpapar dengan
antigen malaria untuk pertama kali berproliferasi dan mengeluarkan sitokin (IFN
gamma). Sel T yang sama juga bereaksi pada antigen lain (T. gondi, tetanus toksoid,
adenovirus, mikobakterial, streptokokal, fungal) menghasilkan IFN gamma.
Jadi pada infeksi yang pertama sel T yang berikatan silang dan reaktif ini menghasilkan
sitokin pro inflamatori dalam jumlah yang besar sehingga penyakit malarianya jadi parah.
Sel T baru terpapar tapi sudah bikin inflamatori yang banyak kenapa? Ya karena ada antigen
lain yang dulu pernah diingat-ingat (tadi contohnya), maka pas kena malaria dia bereaksi
hebat, berikatan silang dan menghasilkan sitokin inflamatori yang besar. Baru pada infeksi
selanjutnya, Treg memproduksi sitokin anti inflamatori (IL-10 dan TGf beta) dan
menghambat sitokin inflamatori, sehinga terbentuklah imunitas klinis. Kalau kata kaskus
kan no picture, hoax. Nah ini gan bisa disimak gambarnya.

Beberapa mekanisme antibodi sebagai antiparasit:


- inhibisi sitoadheren
- inhibisi invasi eritrosit
- ADCC (antibody dependent cytotoxicity)
Mekanisme sel sebagai antiparasit:
- Fagositosis eritrosit yang terinfeksi oleh makrofag, diinduksi oleh sel NK, sel T (auk
deh ini bacanya apaan), IFN gama dari TH1. Keberadaan IFN gamma (TNF alfa yang terup-regulasi) berhubungan dengan penyakit yang parah dan antiparasitemia.
- NO (nitrit oksida) yang diproduksi oleh makrofag dan IFN gamma dari sel T memiliki
aktivitas parasitisidal. Pada konsentrasi oprimal, TNF alfa dengan IFN gamma
menstimulasi produksi NO dan radikal bebas lain untuk mengeliminasi parasit.
- CD8 dan IFN gamma ada di fase hepatik.

Malaria yang tidak parah pada anak kecil (di daerah gak endemik)
Pada anak kecil dan anak-anak jumlah sel TH1 memori masih sedikit, sehingga dampak
malaria yang serius pada infeksi pertama tidak terjadi.

Malaria yang parah pada daerah yang epidemiknya rendah, tidak stabil atau transisi
Malaria yang parah terjadi pada orang di segala umur termasuk dewasa. Bisa terjadi gagal
hati, ginjal edema pulmonal, atau gagal multi organ.
Kesimpulannya: imunitas klinis pada malaria itu tergantung pada kemampuan untuk
mengurangi respon sel T silang yang reaktif, sehingga IFN gamma yang tidak protektif
dalam infeksi bisa dikurangi. Oleh karena itu sumber sel IFN gamma penting untuk
berdiferensiasi menjadi respon yang spesifik dan non spesifik.
Yak itu aja sih tentirnya. Maaf kalo ada typo, dst dst. Coba ini pertanyaan dijawab
Pertanyaan
- Mengapa malaria bisa menimbulkan penyakit yang parah padahal orang tersebut sudah
pernah terkena?
- Apa yang membedakan cacing filaria dengan helmin lain?
- Bagaimana fungsi kerja Treg?
In nature there are neither rewards nor punishments; there are consequences.
Robert Green Ingersoll.

3. Imunodefisiensi
Imunodefisiensi timbul karena defek dari berbagai tingkatan dari perjalanan pembentukan
sistem imun kita. Defek pada satu atau beberapa komponen sistem imun dapat
menyebabkan kelainan yang serius dan sering fatal.
Sistem imun kita dimulai dari nonspesifik dilanjutkan ke proses yang lebih spesifik.
Imunodefisiensi dapat terjadi dari makrofag yang tidak dapat memproses antigen sehingga
tidak terjadi reaksi imun. Kalo disuntik tinta cina, maka makrofag akan memfagosit itu.
Terus kalo ada antigen datang belakangan, tidak ada kesempatan untuk diproses. Bisa
imunodefisiensi karena sel T atau sel B nya juga.
Imunodefisiensi bisa dibagi berdasar etiologinya:
- Bisa primer secara herediter/genetik ada ketidakmampuan/tidak berfungsi sistem
imunnya
- Bisa sekunder, misalnya pada penyakit: kanker, infeksi dan pada orang yang dapat terapi:
imunoterapi/imunosupresif, kemoterapi/sitostatik, radiasi pada kanker, operasi pada organ
sistem imun (kayak operasi timus).
Imunodefisiensi juga bisa dilihat berdasar komponen apa yang gak berfungsi, misalnya:
- Imunodefisiensi limfosit B
- Imunodefisiensi limfosit T
- Imunodefisiensi kombinasi limfosit B dan T
- Imunodefisiensi komplemen/fagosit
Ada dua sistem imun: seluler dan humoral.

Sistem imun seluler bereaksi terhadap mikroba yang tertentu: virus, tumor, kuman yang
sulit direspon dengan imunitas humoral, contoh: Mycobacterium tuberculosis. Makanya
kalo orang defisiensi imunitas seluler biasanya yang diderita adalah penyakit infeksi virus,
jamur, parasit. Sistem imun seluler dimediasi oleh sel limfosit T yang mengalami
pematangan di timus.
Sistem imun humoral: di sini yang berperan adalah antibodi terhadap partikel/bakteri
ekstrasel. Kalau defisiensi humoral orang itu jadi mudah terkena infeksi yang
menghasilkan pus, abses, contohnya orang yang jerawatan terus. Sistem imun humoral
diperantarai sel B yang mengalami pematangan di sumsum tulang (bone marrow).
- sel TTimus
- sel BBone marrow
Nah, berarti dari infeksinya dapat diperkirakan sistem imun apa yang kurang.
Pada sistem humoral itu defisiensi imunnya dapat terjadi dalam beberapa tahap. Kadang ada
yang terjadi pada imunoglobulinnya, terjadi malfungsi dari antibodi. Dapat juga
kelainannya terjadi pada sel B nya.
Gambar di slide 7 : pada orang HIV menghasilkan banyak virus.
Gambar di slide 8 : kalo di eritrosit, terbentuk antibodi, bereaksi maka terjadi lisis. Saat
defisiensi imun, maka tidak terjadi lisis. Jadi orang yang imunodefisiensi gampang
transplantasi.

3.1 Imunodefisiensi primer yang terjadi pada sistem humoral


a. Bruton tipe agammaglobulinemiayang sering, X-linked.
Sel B nya tidak dapat terbentuk/berfungsi, deplesi sel B di organ limfoid perifer (tonsil,
limpa, nodus limfe) Sehingga tidak ada Ig sama sekali/agammaglobulinemia. Tapi sel
T/sistem imun seluler masih berjalan.
b. Common Variable Immunodeficiency (CVI)
Tidak seluruhnya disfungsi, jadi sel B nya berfungsi, tapi tidak komplit. Jumlah sel B nya
cukup, tapi ada defek pada diferensiasi atau fungsi terminalnyasehingga tidak bisa
menghasilkan imunoglobulin, Ig nya ada tapi rendah atau Ig nya malfungsi. Biasanya ini
diturunkan, karena mutasi gen. Mekanisme lainnya adalah karena sel T helper yang
abnormal atau peningkatan sel T supresormenyebabkan hipogammaglobulinemia.
c. Selective IgA deficiency
Bisa saja defisiensi tidak dapat memproduksi IgA saja, sehingga bakteri lewat usus, mulut,
saluran napas, dan saluran kemih tidak bisa dilawan.Terjadi defek diferensiasi sel B

penghasil IgA sehingga terjadi selektif defisiensi IgA. Sel B nya imatur (punya IgM dan
IgD), tapi produksi IgA tidak terjadi. Bisa juga terjadi mekanisme lainnya: ada antibodi
terhadap IgA (40% kasus), sehingga jumlah IgA menurun.
Anak diare teruscek apakah ia kena defisiensi IgA.
Ini jadi defisiensi bisa terjadi di mana-mana..

- Resesif autosom
Kelainan adenosin deaminase/ADAterjadi akumulasi deoksi ATP dan S-adenosil
homosistein yang bersifat toksik terhadap limfosit imatur sel B nya terkena, juga bisa
terjadi defek pada sel T. Biasanya diturunkan dan hidupnya tidak panjang karena infeksi
terus menerus. Bentuk lainnya: defisiensi PNP (protein nucleotidephosphorylase)
akumulasi deoksiguanosin dan deoksi GTP bersifat lebih toksik terhadap sel T daripada
sel B. Bentuk yang baru: defek pada MHC II pada sel B, makrofag, dan sel
dendritikdefek pada hipersensitivitas tipe lambatrentan infeksi virus.
- Resesif terkait-X
Sekitar 50% terjadi, sisanya karena mutasi yang menyebabkan defek pada IL-2, 4 , dan 7
yang menyebabkan aktivasi sel T terhambat. Pasien rentan infeksi jamur, bakteri virus.
Timus hipoplastik dan deplesi limfosit di KGB.
g. Deficiency of complement system
Berkaitan dengan reaksi antigen-antibodi. Komplemen ini menangkap bakteri ekstraseluler.
Jadi kalau defisiensi, infeksinya jadi seperti pada sel B. Kalau defisiensinya di C3 rentan
terhadap bakteri piogenik. Kalau di C1q, 2, 4 rentan terhadap penyakit kompleks imun.
Kalau di enzim C1esteraseaktivasi C1 tidak terkontrolterjadi angioedem herediter.
Kalau di C5-8rentan neisseria baik meningokok ataupun gonokok.

Kalau diradiasi, mulai dari atas sudah rusak, jadi ke bawah tidak ada lagi. Kalau kemo,
radiasi jadi mudah infeksi.
d. DiGeorge Syndrome
Kalau kelainannya di sel TDiGeorge Syndrome. Timusnya hipoplasi/aplasia. Timus
harusnya memang mengecil setelah akil balig. Tapi ini dari lahir sudah hipoplasi. Terjadi
imunodefisiensi seluler sehingga terjadi infeksi virus, jamur. Biasanya disertai tetani karena
aplasia paratiroid juga. Terapinya adalah dengan transplantasi timus.
e. Wiskott-Aldrich Syndrome
Resesif terkait-X. Merupakan kombinasi beberapa penyakit trombositopenia, eczema.
Terjadinya defek glikosilasi membran protein dan maturasi sel induk
hematopoetikmenyebabkan penurunan ekspresi CD43 di sel B, T, makrofag, neutrofil,
trombosit. Biasanya timus normal, tapi sel T-nya tidak ada di darah dan area parakortikal di
nodus limfe. Antibodinya normal. Orang yang punya penyakit ini susceptible/rentan
terhadap infeksi berulang dan keganasan limfoid.
f. Severe Combined Immunodeficiency Disease (SCID)
Adalah kombinasi imunodefisiensi humoral dan selular. Ada 2 tipe:

h. Defisiensi fagositosisjarang yang primer, biasanya sekunder. Jarang terjadi.


Orang yang efusi pleura, obatnya dikasih bedak, terjadi granulasi. Supaya cairan di rongga
pleura tidak terjadi. Makrofag memfagosit efusi itu, sehingga kalau ada bakteri datang,
makrofagnya udah makan bedak, jadi infeksi susah dilawan.
3.2 Imunodefisiensi Sekunder
- Karena penyakit lain atau terapiimunoterapi, kanker, transplantasi. Bisa terjadi
penurunan efektivitas terapi, rentan terhadap infeksi berulang, banyak bakteri menyebabkan
infeksi oportunistik bakteri yang seharusnya tidak timbul pada manusia bisa jadi timbul.
- Yang paling ditakutkan adalah AIDS disebabkan HIV ikatan dengan CD4 pada
gp120 berfusimenggunakan mikroorgan dari host untuk replikasi, berkembang biak
menyebabkan destruksi CD4 yang fungsinya sentral. CD4 berperan dalam imunitas seluler
dan humoral. Dan yang pertama kali rusak akibat CD4 yang terinfeksi HIV ini adalah
imunitas selulernya dulu. Setelah itu imunitas humoral pun mengimbangi rusaknya imunitas
seluler. Jadi pada akhirnya dua-duanya rusak. Penyebab: HIV ada 2 tipe: HIV-1 (Amerika,
Eropa, Afrika Timur) dan HIV-2 (terbatas di Afrika Barat). Bisa menyerang sistem imun

10

dan SSP. Infeksi melalui darah, transmisi melalui kontak seksual baik homo ataupun
heteroseksual bisa kena.

Pada HIV ada Nervous System Disorder karena monosit terinfeksi HIV akibat memfagosit
CD4 yang mati terkena virus HIV.

- Diagnosis HIV kalau terjadi serokonversi dari () jadi (+). Biasanya dalam perjalanannya
ada satu masa yang gak ada gejala sama sekali lalu limfadenopati/pembesaran kelenjar
lalu baru terlihat AIDS yang sebenarnya.

Ada 3 fase dalam penyakit AIDS:


- Fase Akut 3-12 mingguterjadi viremia dan juga menyerang jaringan limfoid. Terjadi
demam, mialgia, ruam kulit, nyeri tenggorokanself limiting/sembuh sendiri.
- Fase Latenmulai ada gejala tapi permulaan latenlah yang menyebabkan kita terinfeksi.
Jadi awalnya gak ada gejala, kemudian baru mulai muncul gejala. partly asymptomatic.
Terjadi limfadenopati, demam, ruam kulit, kelelahan. Kerusakan sel Th terus berlanjut.
- Fase Krisis. Rasio sel Th/Ts menurun, sel CD4<200. Demam >1 bulan, diare, kelelahan,
penurnan berat badan. Biasanya pada fase ini terjadi infeksi oportunistik: Candida albicans,
Pneumocystis carinii, Cytomegalovirus. Mycobacteria, Cryptococcus neoformans,
Histoplasma capsulatum, Toxoplasma gondii.
Bisa juga terjadi keganasan yang tidak wajar: kaposi sarkoma dan limfoma maligna.
AIDS merupakan imunodefisiensi sekunder yang banyak dijumpai sekarang. Kalau sudah
kena AIDS terus berjalan dan tidak bisa kita hentikan. Sedangkan orang yang
dikemoterapi dan radioterapi bisa dihentikan.
If you know how much youve got, you probably havent got much. Imelda
Marcos.

Kalau awal CD4nya masih normal >500 gejalanya paling rash, sakit sendi, seperti
influenza, hipersensitivitas tipe III. Selain KGB membesar, bisa neuropati, Guillain Barre,
demielinisasi saraf.
Kalau lanjut lagi penurunannya (intermediet) CD4-nya 200-500 TB
Sudah lanjut advanced CD4<200 barulah gejala AIDS yang full blown terlihat.
TB di Indonesia dan India meningkat karena HIV meningkat. Kalau <200 baru terjadi
parasit yang aneh-aneh yang tidak seharusnya terjadi pada manusia, seperti Pneumocystis
carinii.
Berapa lama gejala HIV?
Bervariasi, biasanya 10 minggu setelah berkontak, tetapi bisa juga lebih. Sampai full blown
itu 10 tahun. Karena ada fase tidak bergejala ini, pasien tidak periksa, dan kita tidak tahu.
Fase inilah yang bahaya untuk petugas medik.
Kalau kita curiga seseorang kena HIV, kita gak bisa langsung periksa tanpa persetujuannya.
Kita bisa kena tuntut.

4. Uji Diagnostik Imunodefisiensi dan Autoimun


Pertama-tama, seperti pada modul indera, saya memohon maaf atas keabalan tentir ini
yang dibuat dengan bahan baku slide dan catatan cakarayam saya. WAJIB liat slide.
Mohon dimaklumi.
Oke, jadi yang dimaksud dengan imunodefisiensi adalah adanya defek pada sistem imun,
sehingga disebut mengalami defisiensi atau kehilangan kesaktian. Akibatnya, orang yang
mengalami imunodefisiensi ini lebih rentan terhadap infeksi, yang efeknya adalah punya
gejala utama mengalami infeksi berulang. Imunodefisiensi ini ada yang bentuknya primer
dan sekunder. Kalo primer itu karena kelainan genetik, berupa penyakit kongenital. Yang
ngalamin defisiensi bisa dari sistem imun humoral, selular, ato dua-duanya. Kalo yang
sekunder itu karena didapat. Bisa karena malnutrisi, keganasan, dapet obat imunosupresi
(you-know-who lah ya), ato karena infeksi yang justru terjadi pada sel-sel imun sistem itu
sendiri. Pada kuliah/tentir ini, lebih dibahas ke yang imunodefisiensi primer sih.
Yak. Imunodefisiensi primer ini pembagiannya sendiri bisa berupa defek pada imunitas
innate atau adaptif. Aspek humoral innate itu komplemen, dan selularnya adalah sel-sel

11

fagosit dan penyakit disfungsi. Kalo imunitas adaptif aspek selularnya sel T & B, dan aspek
humoralnya antibodi. Untuk menyatakan imunitas kena defisiensi, harus diukur baik
kualitasnya yang dinilai dari fungsi dan kuantitasnya, yang dinilai dari jumlah, baik sel atau
titer antibodi. Berikut akan dibahas pemeriksaan-pemeriksaan untuk mendiagnosis
imunodefisiensi.
4.1 Defisiensi Imunitas Adaptif
4.1.1 Defisiensi Sel T
a. Kuantitas
- Hitung limfosit absolut: merupakan pemeriksaan umum sel T.
- Enumerasi sel T (itung jumlah sel T yang bersirkulasi).
- Hitung subset sel T, baik CD4 dan CD8.

4.2 Defisiensi Imunitas Nonspesifik


4.2.1 Defisiensi Fagosit
a. Kuantitas
Hitung jumlah absolut netrofil. Caranya adalah hitung jenis, trus persentasenya dikalikan
dengan leukosit total. Tapi ada juga alat yang bisa langsung ngitung netrofil.
b. Kualitas
Yang diperiksa adalah motilitas, pengenalan antigen dan adhesinya, ingesti, kemampuan
degranulasi, dan kemampuan membunuh bakteri. Pada kemampuan membunuh bakteri,
neutrofil diberikan suatu bakteri, kemudian dinilai apakah bisa membunuh bakteri itu ato
gak. Tes membunuh bisa pake NBT (Nitroblue Tetrazolium dye reduction test) ato
microbicidal assay.

b. Kualitas
- Tes DTH. Uji ini untuk memeriksa kemampuan sel T in vivo (di dalam tubuh) untuk
berespon terhadap antigen yang pernah masuk. Hilangnya respons imun terhadap antigen
yang pernah dikenali oleh tubuh ini dinamakan anergi. Tes yang bisa dilakukan untuk
ngeliat anergi pada DTH adalah tes Mantoux. Kalo misalnya dia TB tapi Mantoux negatif,
itulah anergi.

4.2.2 Defisiensi Komplemen

- Uji produksi sitokin oleh sel T. Utamanya periksa interleukin. Di catetan gw sih IL-1 dan
IL-2. Benar ato tidak, cek lagi ya. Trus kalo TH1 biasanya ngasilin sitokin proinflamasi,
sementara TH2 ngasilin sitokin yang berperan dalam pembentukan antibodi.

- Titer isohemaglutinin Anti A & B, merupakan indikator produksi IgM. Kadar normalnya
>1/40, kalau titernya <1/40 berarti gangguan produksi IgM.

Nah, untuk mendiagnosis seseorang defisiensi imun apa, liat dulu gejala klinisnya. Infeksi
apa yang sering rekurens. Kalo yang rekurens itu infeksi virus atau fungi, berarti gangguan
terjadi pada sel T yang berperan dalam imunitas selular adaptif yang berguna buat melawan
virus atau fungi. Periksa dulu kuantitas sel T dan subsetnya. Kalo normal, baru periksa
kualitatifnya. Kalo infeksi yang rekurens adalah infeksi bakteri, berarti gangguannya pada
imunitas humoral, karena yang bekerja untuk menangani infeksi bakteri di ekstrasel itu
antibodi dan sel fagosit dari innate immunity. Jadi, cek kuantitas sel B, komplemen dan
netrofil. Kalo normal, periksa kualitatifnya kayak kadar antibodi, respons antibodi spesifik,
komplemen, dan fungsi neutrofil.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------Autoimun. Sebenarnya yang dibahas di autoimun ini lebih ke SLE. Jadi intinya
autoimunitas ini mekanismenya adalah kegagalan mekanisme normal untuk mengeliminasi
sel imun yang liar, binal, abnormal, yang bisa menyerang tubuh sendiri, baik sel T atau
sel B. Nantinya autoimunitas ini dipengaruhi oleh kerentanan genetik tertentu dan dapat
dipicu oleh suatu peristiwa lingkungan hingga muncul penyakit, seperti pajanan sinar
matahari pada SLE atau infeksi.

- Periksa kadar antibodi spesifik setelah imunisasi. Merupakan pemeriksaan untuk menilai
kemampuan tubuh seseorang untuk berespons terhadap antigen yang dikenali. Pada orang
defisiensi imun, setelah diimunisasi, antibodi spesifik dari zat yang diimunisasikan ga akan
meningkat.

Penyakit autoimun ada yang sistemik, ada yang organ-specific. Apa aja penyakitnya
silakan diliat sendiri di slide. Mekanisme terjadinya penyakit autoimun adalah adanya
autoantibodi membentuk kompleks imun dengan antigen di dalam tubuh
menimbulkan aktivasi komplemen, sehingga biasanya pada autoimunitas kadar komplemen

- Proliferasi limfosit terhadap pajanan mitogen/antigen.


4.1.2 Defisiensi Sel B
a. Kuantitas: caranya dengan ngitung sel B yang bersirkulasi pake flow cytometry yang
diajarin di praktikum.
b. Kualitas
- Ukur kadar IgG, IgA, IgM, untuk menilai fungsi produksi sel B, merupakan pemeriksaan
umum.

a. Kuantitas: dengan ngukur kadar komplemen, yang sering diukur tuh C3 dan C4.
b. Kualitas: ngukur aktivitas komplemen dengan Haemolytic Complement Assay (CH50)
kemampuan komplemen melisis darah.

12

akan turun karena kepake terjadi inflamasi, muncul sitokin-sitokin inflamasi, dan hati
menghasilkan APP (Acute Phase Protein).
Untuk pemeriksaan autoimunitas, untuk yang organ-specific dilakukan pemeriksaan
autoantibodi dan uji fungsi organ. Sementara untuk autoimunitas sistemik dilakukan
pemeriksaan autoantibodi dan CRP. Khusus untuk SLE, penyakit ini punya suatu antibodi
terkait yang terkenal, yaitu ANA (Anti Nuclear Antibody). Titer ANA yang tinggi beserta
polanya (ada di praktikum PK) biasanya mengarahkan kepada diagnosis SLE. Tapi,
sebenernya ANA itu ga spesifik buat SLE aja. Penyakit-penyakit lain bisa nimbulin ANA
yang tinggi, contohnya Rheumatoid arthritis. Ada berbagai indikator atau antibodi yang
terkait SLE, bisa diliat di slide apa saja. Ada yang associated sama specifik.
- Associated : Tidak memastikan diagnosis kecuali titernya tinggi
- Specifik : bila ada menunjang diagnosis.
Yang perlu dicatat adalah Rheumatoid Factor, penanda pada RA bisa muncul pada SLE.
Buat diagnosis SLE menurut ARA adalah adanya 4 kriteria dari 11 kriteria SLE, yang
disebut MD SOAP BRAIN. Di antara 11 kriteria tersebut, yang merupakan kriteria
laboratorium adalah:
- Renal: kelainan ginjal berupa lupus nefritis, yaitu proteinuria >0,5 g/dL, dan silinder sel.
- Anemia: berupa anemia hemolitik yang dapat dinilai dengan Direct Coomb test, yaitu Hb
turun, disertai jumlah eritrosit yang turun, namun retikulosit (sel darah belum matang) dan
bilirubin yang naik. Ada pula leukopenia <4000/ mikroliter dan limfopenia
<1500/mikroliter.
- Titer ANA tinggi, anti dsDNA, anti Sm, dan pada SLE, tes VDRL bisa positif, tapi nilai
positif ini adalah false positive.
Selain itu, untuk ngeliat inflamasinya bisa dengan cek protein fase akut yang dihasilin di
hati. Akhir kata, saya udah ngantuk. Maaf abal. Makasih.

5. Pendekatan Klinis Penderita Autoimun dan


Imunodefisiensi

- Kerentanan ini dipicu oleh faktor lingkungan dan endogen (dari dalam tubuh)
- Terjadi inflamasi
- Perkembangan autoimunitas
- Bertambahnya jumlah antigen yang bersirkulasi dan menumpuk di jaringan
- Kerusakan jaringan
- Manifestasi klinis
Yang dapat menjadi pemicu timbulnya SLE adalah obat-obatan (prokainamida, hidralazin,
metildopa dan CPZ), radiasi UV, infeksi, pembedahan, kehamilan dan aborsi. Spektrum
gejala klinis SLE sendiri beragam, dari arthritis (90%), kelelahan (90%), panas lama (8082%), BB turun, gejala pada kulit berupa kemerahan, kelainan jantung, hematologi dll.
Ada kriteria khusus untuk menegakkan diagnosis SLE, yaitu:
M: malar rash
D: discoid rash
S: serositis (peluritis dan pericarditis)
O: oral ulcer
A: arthritis
P: photosensitivity
B: blood/hematologic disorder
- Hemolytic anemia OR
- Leukopenia (< 4000/ ml) OR
- Lymphopenia (<1500/ ml) OR
- Thrombocytopenia (<100.000)
R: renal disorder
- Persistent Proteinuria (>0.5 gr/d)
- Cellular cast or any tipe
A: anti nuclear antibody (ANA)
I: immunologic disorder (anti ds DNA, anti Sm atau antibodi antifosfolipid)
N: neurologic disorder

Bismillahirrahmanirrahim. Berhubung penjelasan dokternya superfisial sekali, saya juga


tidak bisa menambahkan banyak hal dalam tentir ini. Apalagi waktu ditanya ke dokternya
mengenai soal sumatif nanti, dokternya cuma bilang kalau soal-soal akan diambil dari
SLIDE. Jadi, saya ngga akan menambahkan isi tentir ini dari sumber lain. Apalagi
sebagian materi seperti HIV AIDS sudah dipahami melalui diskusi. Selamat belajar!

Prinsip terapi SLE mencakup pencegahan remisi, menjaga survivalibility organ/ginjal, daya
bertahan hidup pasien, komplikasi.komorbid dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Oleh
karena itu, penatalaksaannya secara umum meliputi pencegahan paparan sinar matahari dan
cuaca yang berlebihan, menghindari stres, trauma fisik dan merokok, serta diet dan
mengatasi/mencegah kelelahan yang berlebihan.

5. 1 Pendekatan Klinis pada Pasien Autoimun (Systemic Lupus Erythematosus)


SLE merupakan penyakit autoimun yang lebih banyak menyerang wanita daripada laki-laki,
ada yang mengatakan 7:1 dan ada juga 10: 1. Etiologinya masih belum diketahui dan gejala
pada setiap pasien bersifat unik/khas.

Obat-obatan golongan NSAID merupakan obat yang umum digunakan untuk


menatalaksana lupus, terutama gejala seperti demam, arthritis, dan pleurisy. Gejala biasanya
membaik beberapa hari setelah pengobatan, dan bahkan bagi kebanyakan pasien, NSAID
merupakan satu-satunya obat yang diperlukan untuk mengontrol SLE.

Penyakit lupus melibatkan berbagai langkah dalam patogenesisnya, yaitu:


- Adanya disfungsi sistem imun dan faktor genetik

Obat-obatan anti malaria juga dapat digunakan seperti hidroksiklorokuin, klorokuin, dan
kuinakrin. Obat-obatan ini digunakan untuk mengatasi rash pada kulit. Namun, harus

13

diperhatikan bahwa obat anti malaria dapat menyebabkan efek samping seperti rambut
rontok, kulit kering, kehilangan nafsu makan, kram perut, muntah, mual dll.
Obat-obat golongan kortikosteroid seperti prednison dapat diberikan 4 kali sehari, atau
dengan frekuensi berapa pun. Biasanya, steroid dosis besar dapat diberikan dalam jangka
waktu singkat. Hal ini disebut dengan pulse steroid.
Prednison merupakan obat yang sangat efektif untuk mengontrol lupus, apalagi jika jika
penyakit tersebut sudah melibatkan organ-organ seperti jantung, paru, ginjal dan hati, maka
obat ini dapat mencegah kehilangan fungsi organ tersebut. Pada orang yang tidak dapat
menoleransi steroid dengan baik atau tidak berespon, dapat diberikan steroid + obat
imunosupresi lainnya. Akan tetapi, steroid dapat menyebabkan berbagai macam efek
samping:
- Perubahan penampilan : akne, moon face, peningkatan berat badan dan perubahan
distribusi lemak (banyak pada perut dan wajah, namun sedikit pada ekstremitas)
- Perubahan psikologis : iritabilitas dan agitasi, euforia/depresi, insomnia
Pengobatan gejala muskuloskeletal pada SLE
Artritis
Terdinitis
Myositis
Artralga/myalgia
NSAID
+
+
(+)
Anti malaria
+
+
Steroid
(+)
(+)
+
Imunosupresan
(+)
Analgesik
+
Prognosis SLE bergantung pada manifestasi penyakit, aktivitas penyakit, kerusakan organ
spesifik (misal nefritis lupus) dan status fungsional. Oleh karena itu, manajemennya juga
harus meliputi 4 aspek: dukungan, tatalaksana, monitoring, dan perawatan.
5. 2 Pendekatan Klinis pada Pasien Imunodefisiensi (HIV AIDS)
Perkembangan baru penatalaksanaan penyakit HIV AIDS mulai berubah karena semakin
tren-nya penularan melalui alat suntik narkoba. Selain itu, penularan melalui hubungan
seksual juga sulit untuk dikendalikan walaupun sekarang sudah tersedia obat anti retroviral
(ARV) generik yang harganya lebih terjangkau.
Di kalangan pekerja, risiko penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu
hubungan seksual yang tidak aman, penggunaan narkoba suntikan, dan kecelakaan di
tempat kerja (terutama di layanan kesehatan). Oleh karena itu, untuk mencegahnya dapat
dilakukan tindakan-tindakan berikut:
- Penyuluhan
- Layanan testing dan konseling sukarela
- Pelayanan diganosis
- Layanan terapi
- Dukungan psikologi dan sosial

Pernah dilakukan penelitian mengenai HIV di kalangan remaja pengguna narkoba suntikan
di puskesma Kampung Bali dan YPI. Penelitian yang melibatkan 300 remaja tersebut
mendapatkan hasil mengejutkan, yaitu
Dose
Miligrams
angka HIV positif mencapai 93%.
Low
Less than 10 mg
Penyakit HIV AIDS bersifat kronik,
daily
membutuhkan waktu 10 tahun untuk
menimbulkan gejala. Namun, apabila
Moderate
11 to 40 mg daily
sudah menunjukkan gejala, pasien
High
41 to 100 mg daily
biasanya hanya akan dapat bertahan
hidup 6 bulan hingga 2 tahun
tergantung pengobatannya. Mitos pengobatan HIV sendiri adalah masih bersifat penelitian,
sangat kompleks dan mahal.
Ada 4 hal yang harus diperhatikan dalam pengobatan HIV, yaitu:
- Kapan mulai terapi
Terapi pasien HIV AIDS dimulai jika terbukti HIV positif DAN terdapat gejala AIDS,
ATAU hitung sel CD4 < 200 ATAU limfosit total < 1200. Gejala-gejala khas AIDS biasanya
muncul akibat infeksi oportunistik, seperti kandidiasis oral-esofageal, infeksi
Cytomegalovirus, infeksi TB, sarkoma Kaposi (khas pada pasien AIDS), dan
toksoplasmosis serebral (biasanya pada kondisi yang sudah sangat parah, dapat diketahui
dari gejala klinis dan pemeriksaan CT scan kepala).
- Kombinasi obat yang digunakan
Obat yang tersedia di Indonesia adalah AZT dan 3TC (Duviral), Nevirapin (Neviral),
Stavudin dan Evafirenz. (untuk penggunaannya dan efek samping ada di kuliah
Farmakologi)
- Kapan obat diganti
Obat terapi HIV AIDS diganti jika terjadi kegagalan pengobatan dan terjadi toksisitas ARV
yang menyebabkannya harus diganti. Selain itu, pada infeksi HIV juga dapat terjadi koinfeksi penyakit Hepatitis B (18%) dan hepatitis C (82%). Pada kasus ini hepatitis C harus
diobati terlebih dahulu.
- Bagaimana memantau hasil pengobatan
Selain itu, juga perlu dilakukan usaha untuk mengubah sikap tentang AIDS di kalangan
pekerja. Sikap pekerja terhadap AIDS dapat dinilai melalui keadaan berikut:
- Peduli:
- Penatalaksanaan dilakukan oleh dokter umum
- Peralatan sederhana
- Pasien tetap bekerja dan mendapat dukungan
- Dokter dapat menjaga kerahasiaan penyakit pasien

14

- Tidak peduli:
- Penatalaksanaan dilakukan oleh dokter ahli
- Memerlukan peralatan canggih
- Memberhentikan pekerja dari pekerjaannya
- Dokter menyebarluaskan diagnosis penyakit pasien pada orang lain
Sekian tentirnya, mohon maaf kalau terdapat kekurangan. Tetap baca sumber referensi
lainnya ya. BANGKIT!
The best index to a persons character is how he treats people who cant do him
any good, and how he treats people who cant fight back. Abigail van Buren.

6. Konsep Infeksi Oportunistik Parasitologi


(Immunological Aspects of Parasitic Diseases in
Immunocompromised Individuals)
UNTUK DIGUNAKAN BERSAMA SLIDE KULIAH
Mucosal immunity:
- Mukosa untuk barrier fisiologis dan imunologis.
- Menjaga homeostasis di dalam usus.
- Parasit masuk hospes melalui sistem pencernaan akan memulai terjadinya inflamasi.
- Inflamasi mengakibatkan keseimbangan di dalam usus berubah.
- Di dalam mukosa usus terdapat:
- Enterosit untuk sekretori dan digesti. Penempelan pada enterosit akan
menstimulasi respon imun. Penempelan pada enterosit penglepasan sitokin dan
kemokin mengaktivasi sel imun (makrofag, CD4+ helper), proliferasi epitel,
peningkatan kripta, dan penurunan enterosit (malabsorpsi) sehingga hospes
mencoba eliminasi parasit.
- Innate respon:
- Aktivitas NO dari neutrofil.
- Penglepasan beta-defensin inaktivasi parasit.
- Penglepasan kemokin dan sitokin kemoatraktan.
- Adanya respon adaptif
- Diperantarai intraepithelial lymphocyte
- Di antara sel epitel dan junction
- Banyak sel T CD8+
- Nave T-Cell di lamina propria (T helper) perubahan subset tergantung trigger
parasit (Criptosporodiosis TH1 ; Helminth: TH2)
Imunodefisiensi didapat:
- Imunosupresi: komplikasi biologi karena penyakit (HIV)
- Iatrogenik: komplikasi terapi

a. Strongyloides s.
- Transmisi dari tinja.
- Dua siklus: autoinfeksi dan hiperinfeksi.
- Hiperinfeksi: meningkatnya jumlah larva karena autoinfeksi terus menerus masuk ke
sirkulasi sistemik.
- Siklus: larva rhabdiform yang ada di dalam tubuh; larva filariform adalah stadium
infeksinya.
- Sistem imun yang menurun akan meningkatkan autoinfeksi sehingga terjadi hiperinfeksi
diseminasi ke organ-organ lain.
- Prevalensi pada orang imunokompeten jarang ditemukan! Ada pada: penggunaan
kortikosteroid, infeksi HIV/imunosupresi. Penggunaan kortikosteroid peningkatan
substansi ecdysteroid meningkatkan molting hiperinfeksi. Penggunaan kortikosteroid
TH2 mati via apoptosis, penurunan eosinofil, penurunan fungsi sel mast penurunan
respon imun host.
- Respon humoral dan selular:
- Induksi sel goblet dan mast pengikatan IL-13 yang dikeluarkan TH2
membantu mengeluarkan cacing dari saluran pencernaan (penelitan hewan).
- Aktivitas mukosa rendah tidak ada perubahan morfologi mukosa ada
perubahan sel-sel imun akan tetapi penurunan pematangan makrofag dan enterosit
kripta tidak ada perubahan sel mukosa dan tidak ada diare termediasi imun
(penelitian manusia).
- Respon Th2 belum terlalu jelas.
- IL4: penting untuk produksi IgE dan aktivasi sel mast.
- IL5: innate dan adaptive immunity.
- Aktivasi IgE dan IgG masih belum diketahui pasti.
- Strongyloidiasis simtomatik vs asimtomatik: perbedaan kadar IgA, M, dan E.
- Diagnosis: serologi, karena dengan pemeriksaan tinja sulit.
- Albendazole 400 mg X 2 X 3 hari dan ivermectin.
b. Criptosporodium parvum
- Melalui tinja melalui air; air yang diklorinasi tidak menjamin terbunuhnya ookista.
- Harus melalui pasteurisasi atau pemanasan.
- Sporokista yang menempel di sel usus.
- Parasit menempel di sel epitel saja dan tidak menuju lapisan dalam mukosa.
- Sporozoit yang mengaktivasi invasi seluler.
- Gal/GalNaC lectin, gp15/40, GP900 perlekatan di luar sitoplasma saja!
- Infeksi IL18 interferon gama Th1. Blokade interleukin 18, membuat hewan
rentan terhadap infeksi C. parvum.
- Perubahan mukosa peningkatan prostaglandin diare termediasi imun sekalipun tidak
ada peradangan!
- Pada model hewan:
- Respon humoral belum diketahui dengan jelas fungsinya.
- Kemampuan untuk melindungi diri terhadap C. parvum bergantung dari sel TH1.

15

- Gejala : diare, muntah, abdominal pain; immunocompromised: lebih berat, persisten,


mencapai paru dan kantung empedu.
- Diagnosis: ookista di tinja; PCR untuk gen parasit.
- Treatment: Cotrimoxazole (TMP+Sulfametoxazole). Pasien AIDS: mulai gunakan AZT
karena terdapat korelasi dengan jumlah sel T CD4+ dengan ketahanan pasien.

Daun apa yang tidak bisa disentuh? AZ dan HRG, 2008.

Jawaban : Daun touch me.

UNTUK DIGUNAKAN BERSAMA SLIDE KULIAH.


Terima kasih.
To be normal is the ideal aim of the unsuccessful. Carl Jung.

Segala Puji bagi Tuhan Semesta Alam.

16

Anda mungkin juga menyukai