Anda di halaman 1dari 26

1.

Pengkajian

Pengkajian keperawatan untuk penderita AIDS (Doenges, 1999) adalah

1. Aktivitas / istirahat.

Mudah lelah, berkurangnya toleransi terhadap aktivitas biasanya, malaise

Takikardia , perubahan TD postural, pucat dan sianosis.

1. Integritas ego.

Alopesia , lesi cacat, menurunnya berat badan, putus asa, depresi, marah, menangis.

Feses encer, diare pekat yang sering, nyeri tekanan abdominal, abses rektal.

1. Makanan / cairan.

Disfagia, bising usus, turgor kulit buruk, lesi pada rongga mulut, kesehatan gigi / gusi yang
buruk, dan edema.

Pusing, kesemutan pada ekstremitas, konsentrasi buruk, apatis, dan respon melambat.

1. Nyeri / kenyamanan.

Sakit kepala, nyeri pada pleuritis, pembengkakan pada sendi, penurunan rentang gerak, dan
gerak otot melindungi pada bagian yang sakit.

Batuk, Produktif / non produktif, takipnea, distres pernafasan.

1. Diagnosa, Intervensi dan Rasional Tindakan Keperawatan.

Diagnosa, intervensi dan rasional tindakan keperawatan (Doenges, 1999) adalah :

1. Diagnosis Keperawatan :

Nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan ditandai dengan keluhan nyeri,
perubahan denyut nadi, kejang otot, ataksia, lemah otot dan gelisah.

Hasil yang diharapkan :

Keluhan hilang, menunjukkan ekspresi wajah rileks,dapat tidur atau beristirahat secara
adekuat.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, Mengindikasikan kebutuhan untuk
intensitas, frekuensi dan waktu. Tandai intervensi dan juga tanda-tanda
gejala nonverbal misalnya gelisah, perkembangan komplikasi.
takikardia, meringis.
Instruksikan pasien untuk menggunakan
Meningkatkan relaksasi dan perasaan
visualisasi atau imajinasi, relaksasi
sehat.
progresif, teknik nafas dalam.
Dapat mengurangi ansietas dan rasa
Dorong pengungkapan perasaan sakit, sehingga persepsi akan intensitas
rasa sakit.
M,emberikan penurunan nyeri/tidak
nyaman, mengurangi demam. Obat yang
Berikan analgesik atau antipiretik narkotik.
dikontrol pasien berdasar waktu 24 jam
Gunakan ADP (analgesic yang dikontrol
dapat mempertahankan kadar analgesia
pasien) untuk memberikan analgesia 24 jam.
darah tetap stabil, mencegah kekurangan
atau kelebihan obat-obatan.
Lakukan tindakan paliatif misal pengubahan
Meningkatkan relaksasi atau
posisi, masase, rentang gerak pada sendi
menurunkan tegangan otot.
yang sakit.

2. Diagnosis keperawatan :

Perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan tubuh dihubungkan dengan gangguan
intestinal ditandai dengan penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, kejang perut,
bising usus hiperaktif, keengganan untuk makan, peradangan rongga bukal.

Hasil yang harapkan :

Mmpertahankan berat badan atau memperlihatkan peningkatan berat badan yang mengacu
pada tujuan yang diinginkan, mendemostrasikan keseimbangan nitrogen po;sitif, bebas dari
tanda-tanda malnutrisi dan menunjukkan perbaikan tingkat energy.

INTERIVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


Lesi mulut, tenggorok dan esophagus
dapat menyebabkan disfagia,
Kaji kemampuan untuk mengunyah, perasakan
penurunan kemampuan pasien untuk
dan menelan.
mengolah makanan dan mengurangi
keinginan untuk makan.
Hopermotilitas saluran intestinal umum
terjadi dan dihubungkan dengan
Auskultasi bising usus muntah dan diare, yang dapat
mempengaruhi pilihan diet atau cara
makan.
Rencanakan diet dengan orang terdekat, jika Melibatkan orang terdekat dalam
memungkinakan sarankan makanan dari rumah. rencana member perasaan control
Sediakan makanan yang sedikit tapi sering berupa lingkungan dan mungkin
makanan padat nutrisi, tidak bersifat asam dan meningkatkan pemasukan. Memenuhi
juga minuman dengan pilihan yang disukai kebutuhan akan makanan
pasien. Dorong konsumsi makanan berkalori nonistitusional mungkin juga
tinggi yang dapat merangsang nafsu makan meningkatkan pemasukan.
Rasa sakit pada mulut atau ketakutan
akan mengiritasi lesi pada mulut
Batasi makanan yang menyebabkan mual atau
mungkin akan menyebabakan pasien
muntah. Hindari menghidangkan makanan yang
enggan untuk makan. Tindakan ini
panas dan yang susah untuk ditelan
akan berguna untuk meningkatakan
pemasukan makanan.
Tinjau ulang pemerikasaan laboratorium, misal Mengindikasikan status nutrisi dan
BUN, Glukosa, fungsi hepar, elektrolit, protein, fungsi organ, dan mengidentifikasi
dan albumin. kebutuhan pengganti.
Berikan obat anti emetic misalnya Mengurangi insiden muntah dan
metoklopramid. meningkatkan fungsi gaster

3. Diagnosa keperawatan :

Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat

Hasil yang diharapkan :

Mempertahankan hidrasi dibuktikan oleh membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, tanda-
tanda vital baik, keluaran urine adekuat secara pribadi.

INTERVESI KEPERAWATAN RASIONAL


Mempertahankan keseimbangan
Pantau pemasukan oral dan pemasukan cairan
cairan, mengurangi rasa haus dan
sedikitnya 2.500 ml/hari.
melembabkan membrane mukosa.
Meningkatkan pemasukan cairan
Buat cairan mudah diberikan pada pasien; gunakan
tertentu mungkin terlalu
cairan yang mudah ditoleransi oleh pasien dan yang
menimbulkan nyeri untuk
menggantikan elektrolit yang dibutuhkan, misalnya
dikomsumsi karena lesi pada
Gatorade.
mulut.
Indicator tidak langsung dari status
Kaji turgor kulit, membrane mukosa dan rasa haus.
cairan.
Hilangakan makanan yang potensial menyebabkan
diare, yakni yang pedas, berkadar lemak tinggi, kacang,
Mungkin dapat mengurangi diare
kubis, susu. Mengatur kecepatan atau konsentrasi
makanan yang diberikan berselang jika dibutuhkan
Menurunkan jumlah dan
Nerikan obat-obatan anti diare misalnya ddifenoksilat keenceran feses, mungkin
(lomotil), loperamid Imodium, paregoric. mengurangi kejang usus dan
peristaltis.
4. Diagnosa keperawatan :

Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses infeksi dan ketidak
seimbangan muskuler (melemahnya otot-otot pernafasan)

Hasil yang diharapkan :

Mempertahankan pola nafas efektif dan tidak mengalami sesak nafas.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


Auskultasi bunyi nafas, tandai daerah paru
Memperkirakan adanya perkembangan
yang mengalami penurunan, atau kehilangan
komplikasi atau infeksi pernafasan,
ventilasi, dan munculnya bunyi adventisius.
misalnya pneumoni,
Misalnya krekels, mengi, ronki.
Takipnea, sianosis, tidak dapat
Catat kecepatan pernafasan, sianosis, beristirahat, dan peningkatan nafas,
peningkatan kerja pernafasan dan munculnya menuncukkan kesulitan pernafasan dan
dispnea, ansietas adanya kebutuhan untuk meningkatkan
pengawasan atau intervensi medis
Meningkatkan fungsi pernafasan yang
Tinggikan kepala tempat tidur. Usahakan
optimal dan mengurangi aspirasi atau
pasien untuk berbalik, batuk, menarik nafas
infeksi yang ditimbulkan karena
sesuai kebutuhan.
atelektasis.
Berikan tambahan O2 Yng dilembabkan Mempertahankan oksigenasi efektif untuk
melalui cara yang sesuai misalnya kanula, mencegah atau memperbaiki krisis
masker, inkubasi atau ventilasi mekanis pernafasan

5. Diagnose keperawatan :

Intoleransi aktovitas berhubungan dengan penurunan produksi metabolisme ditandai dengan


kekurangan energy yang tidak berubah atau berlebihan, ketidakmampuan untuk
mempertahankan rutinitas sehari-hari, kelesuan, dan ketidakseimbangan kemampuan untuk
berkonsentrasi.

Hasil yang diharapkan :

Melaporkan peningkatan energy, berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan dalam tingkat
kemampuannya.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
Berbagai factor dapat meningkatkan kelelahan,
Kaji pola tidur dan catat perunahan
termasuk kurang tidur, tekanan emosi, dan
dalam proses berpikir atau berperilaku
efeksamping obat-obatan
Periode istirahat yang sering sangat yang
Rencanakan perawatan untuk dibutuhkan dalam memperbaiki atau
menyediakan fase istirahat. Atur menghemat energi. Perencanaan akan membuat
aktifitas pada waktu pasien sangat pasien menjadi aktif saat energy lebih tinggi,
berenergi sehingga dapat memperbaiki perasaan sehat dan
control diri.
Memungkinkan penghematan energy,
Dorong pasien untuk melakukan apapun
peningkatan stamina, dan mengijinkan pasien
yang mungkin, misalnya perawatan diri,
untuk lebih aktif tanpa menyebabkan kepenatan
duduk dikursi, berjalan, pergi makan
dan rasa frustasi.
Pantau respon psikologis terhadap Toleransi bervariasi tergantung pada status
aktifitas, misal perubahan TD, frekuensi proses penyakit, status nutrisi, keseimbangan
pernafasan atau jantung cairan, dan tipe penyakit.
Latihan setiap hari terprogram dan aktifitas
Rujuk pada terapi fisik atau okupasi yang membantu pasien mempertahankan atau
meningkatkan kekuatan dan tonus otot
PERAWATAN HIV
“Terapi Pengobatan HIV”
Oleh:
Hajrah
70300111026

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2014

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah suatu kumpulan gejala

penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh, buka penyakit bawaan tetapi di dapat dari hasil

penularan. Penyakit ini di sebabkan oleh human immunodefeciency virus (HIV). Penyakit ini

telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi

peningkatan jumlah pasien dan semakin melenda banyak negara. Sampai sekarang belum

ditemukan vaksin atau obat yang relatif efektif untuk AIDS sehingga menimbulkan keresahan

didunia.

Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi oleh salah satu

dari 2 jenis virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit,

menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dan penyakit lainnya sebagai

akibat dari gangguan kekebalan tubuh.


Kasus HIV/AIDS di indonesia semakin meningkat. Di indonesia sejak tahun 1999

telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada sub populasi

tertentu di beberapa provinsi yang memang mempunyai prevalensi HIV cukup tinggi.

Peningkatan ini terjadi pada kelompok orang yang berperilaku beresiko tinggi tertular HIV

yaitu para pekerja seks komersial dan penggunaan suntikan NAPZA, bukan hanya itu

penularan terhadap ibu ke janinnya juga kini semakin marak terjadi.

Komulatif kasus AIDS diperkirakan sampai pada jumlah 93.968-130.000 pada tahun

2002. Pada tahun 2010, diperkirakan 1-5 juta kasus infeksi HIV di indonesia dari jumlah

tersebut diperkirakan sebanyak 10.000 ODHA yang membutuhkan ART (Anteretroviral

theraphy) segera.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas terapi pengobatan

HIVdan tatalaksana sebelum mengkonsumsi ARV, sekaligus untuk memenuhi tugas

matakuliah Perawatan HIV.

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana tatalaksana setelah diagnosis HIV ditegakkan ?

2. Apa pengertian, tujuan, dan manfaat pemberian ARV ?

3. Apa saja golongan obat ARV ?

4. Bagaimana tatalaksana pemberian ARV ?

5. Apa saja regimen obat ARV ?

6. Apa saja alasan penggantian obat ARV ?

7. Apa saja efek samping yang ditimbulkan oleh ARV ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tatalaksana setelah diagnosis HIV ditegakkan.


2. Untuk mengetahui pengertian, tujuan, dan manfaat pemberian ARV.

3. Untuk mengetahui golongan obat ARV.

4. Untuk mengetahui tatalaksana pemberian ARV.

5. Untuk mengetahui regimen obat ARV.

6. Untuk mengetahui alasan penggantian obat ARV.

7. Untuk mengetahui efek samping obat ARV.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Tatalaksana Setelah Diagnosis Infeksi HIV Ditegakkan

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, setelah dinyatakan

terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke layanan PDP untuk menjalankan serangkaian

layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi.

Hal tersebut dilakukan untuk menentukan apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk terapi

antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi oportunistik yang

pernah atau yang sedang terjadi, dan menentukan panduan obat ARV yang sesuai.

1. Penialaian stadum klinis

Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan untuk

penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu.

2. Penilaian imunologi (pemeriksaan jumlah CD4)

Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA. Pemeriksaan CD4

melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan

profilaksis IO dan terapi ARV. Rata-rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100

sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50-100 sel/mm3/tahun.

3. Pemeriksaan laboraturium sebelum memulai terapi

Pada dasarnya pemantauan laboraturium bukan merupakann persyaratan mutlak untuk

menginisiasi terapi ARV. Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak

dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboraturium atas
indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk membantu keamanan dan toksisitas pada

ODHA yang menerima terapi ARV. Hanya apabila sumber daya memungkinkan untuk

dilakukan tes dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan pada pasien tertentu untuk

mengkonfirmasi adanya gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis. Pemeriksaan

yang dapat dilakukan seperti:

a. Darah lengkap

b. Jumlah CD4

c. SGOT/SGPT

d. Kreatinin serum

e. Urinalisa

f. HbsAg

g. Anti-HCV (untuk ODHA IDU atau riwayat IDU)

h. Profil lipid serum

i. Gula darah

j. VDRL/TPHA/PRP

k. Rontgen dada

l. Tes kehamilan

m. PAP smear/IFA-IMS

n. Jumlah virus/Viral load RNA HIV

4. Persyaratan lain sebelum memulai ARV

Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan

konseling kepatuhan yaitu sebagai berikut:

a. Untuk mencapai supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh

terlupakan.

b. Resiko kegagalan terapi timbul jika lupa minum obat.


c. Diadakan konseling kepatuhan secara terus menerus dan berulang.

d. Melakukan pemeriksaan fisik seperti:

1) Berat badan, tanda vital

2) Kulit : herpes zozter, sarkoma kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular erupsion, dermatitis

saborik berat, jejas suntikan

3) Limfadenopati

4) Selaput lendir orafaringeal, kandidiasis

5) Pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen

6) Pemeriksaan sistem saraf

7) Pemeriksaan fundus mata

8) Pemeriksaan saluran kelamin

5. Pengobatan pencegahan kotrimaksasol (PPK)

Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dengan dicegah dengan pemberian

pengobatan profilaksis terdapat dua macam pengobatan pencegahan yaitu promaksis primer

dan sekunder.

a. Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi

yang belum pernah diderita.

b. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk

mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya.

B. Pengetahuan Dasar Tentang ARV

1. Defenisi ARV
Terapi antriretroviral (ART) berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat.

Karena HIV adalah retrovirus, obat ini biasa disebut sebagai obat Antiretroviral (ARV). ARV

ini tidak membunuh virus itu, namun ARV dapat melambatkan pertumbuhan virus. Waktu

pertumbuhan virus dilambatkan, begitu pula dengan penyakit itu (Siti Anisa Husnu, 2013).

ART merupakan singkatan dari terapi antiretroviral, yaitu suatu pengobatan infeksi

viral seperti HIV dengan obat antiretroviral, sedangkan ARV merupakan singakatan dari

atntiretroviral yaitu obat atau agen yang menghentikan atau menghambat aktivitas retrovirus

sperti HIV (Levi strauss, 2011).

2. Tujuan pengobatan ARV

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian

untuk ODHA, tujuan pengobatan ARV yaitu:

a. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat.

b. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/ peningkatan sel CD4)

c. Menurunkan komplikasi akibat HIV

d. Memperbaiki kualitas hidup ODHA

e. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus

f. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV

3. Manfaat pengobatan ARV

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian

untuk ODHA, manfaat pengobatan ARV yaitu:

a. Menurunkan merbiditas dan mortalitas

b. Pasien dengan ARV tetap produktif

c. Memulihkan sistem kekebalan tubuh sehingga kebutuhan profilaksis infeksi oportinistik

berkurang atau tidak perlu lagi


d. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak terdeteksi, namun harus

dipandang tetap menular

e. Mengurangi biaya rawat inap dan terjadinya yatim piatu

f. Mendorong ODHA untuk meninta tes HIV atau mengungkapkan status HIV-nya secara

sukarela.

C. Golongan Obat ARV

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, obat ARV terdiri atas tiga

golongan utama, yaitu:

1. NRTI (Nucleiside Reverse Transcriptase Inhibitor)

NRTI bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses

transkripsi RNA virus pada DNA pejamu. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi

bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida.

Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi.

Jenis ARV yang termasuk golongan NRTI adalah sebagai berikut:

a. 3TC (lamivudine)

b. Abacavir (ABC)

c. AZT (ZDV, zidovudine)

d. d4T (stavudine)

e. ddI (didanosine)

f. Emtricitabine (FTC)

g. Tenofovir (TDF; analog nukleotida)

2. NNRTI (Non-Nucleiside Reverse Transcriptase Inhibitor)


NNRTI bekerja dengan cara berikatan dengan enzim reverse transcriptase sehingga

dapat memperlambat kecepatan sintesis DNA HIV atau menghambat replikasi (penggandaan)

virus.

Jenis ARV yang termasuk golongan NNRTI adalah sebagai berikut:

a. Efavirenz (EFV)

b. Nevirapine (NVP)

3. PI (Protease Inhibitor)

PI bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan

poliprotein HIV, protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein

fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih

terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel.

Jenis ARV yang termasuk golongan protease inhibitor adalah sebagai berikut:

a. Lopinavir/ritonavir (LPV/r)

b. Saquinavir (SQV)

c. Indinavir (IDV)

d. Nelfinafir (NFV)

D. Tatalaksana Pemberian ARV

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, tatalaksana pemberian

ARV adalah sebagai berikut:

1. Saat memulai terapi ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (Bila

tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk

menentukan apakah pendrita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut

ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4.

Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah

didasarkan pada penialaian klinis.

b. Tersedia pemeriksaan CD4:

1) Mulai terapi ARV pd pasien dg CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya

2) Terapi ARV dianjurkan pd pasien dg TB aktif, ibu hamil dan

koinfeksi Hep B tanpa memandang jumalh CD4.

2. Memulai terapi ARV pada keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang aktif

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau

diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Jenis infeksi oportunistik Rekomendasi

a. Profresif miltifocala. ARV diberikan langsung setelah

leukoencephalopathy, sarkoma diagnosis infeksi ditegakkan

kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,b. ARV diberikan setidaknya 2

kriptosporidiosis minggu setelah pasien

b. Tuberkolosis, PCP, kriptokokosis, mendapatkan pengobatan Infeksi

MAC. Oportunistik.

3. Prinsip pemberian ARV

a. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yg terserap dan berada dalam dosis

terapeutik untuk menjamin efektivitas penggunaan obat

b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dg mendekatkan akses pelayanan ARV

c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yg

baik.

ARV adalah bagian dari pelayanan HIV komprehensif. Sebelum memutuskan untuk

memberi ARV perlu diperhatikan bahwa:


a. Jangan mulai memberi ARV terlalu dini ketika jumlah CD4 masih normal, atau terlambat

ketika sistim imun sudah terlanjur rusak

b. Pemilihan jenis obat harus memperhitungkan bukti efikasi, sedikit efek samping dan

kemudahan pemberian

c. Pertimbangkan kemampuan daya beli dan ketersediaan obat

d. Harus ada pemantauan dan dukungan pada pasien dan keluarganya untuk meningkatkan

kepatuhan berobat (adherence)

e. Kelemahan dari ARV adalah karena digunakan obat multipel, juga dengan obat bukan ARV,

maka bahaya interaksi obat dan resistensi akan menurunkan potensi ARV. Dan karena ARV

dirancang untuk digunakan seumur hidup, maka kepatuhan berobat (95% jumlah obat yang

diminum) akan menghalangi timbulnya resistensi, dan ini penting ditekankan pada keluarga

pasien.

E. Regimen Pengobatan ARV

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, regimen pengobatan ARV

yaitu:

1. ARV lini pertama

ARV lini pertama dikonsumsi oleh penderita yang sudah memenuhi syarat minum

ARV. Yang termasuk ARV lini pertama adalah sebagai berikut:

a. zidovudin (AZT) 100mg

b. lamivudin (3TC) 150mg

c. stavudin (d4T) 30mg

d. efavirens (EFV) 200mg dan 600mg

e. nevirapine (NVP) 200mg

2 NRTI + 1 NNRTI
adapun paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:

Terapi antiretroviral dimulai dengan salah satu dari paduan ARV di bawah ini:

AZT+3TC+NVP Zidovudin+lamivudine+ Atau

nevirapine

AZT+3TC+AFV Zidovudin+lamivudine+efavirenz Atau

TDF+3TC (Atau Tenofovir+lamivudine (atau Atau

FTC) +NVP emtricitabine)+ nevirapine

TDF+3TC (atau Tenofovir+lamivudine (atau Atau

FTC) +EFV emtricitabine)+ efavirens

Panduan lini pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah

mendapat terapi ARV adalah sebagai berikut:

Pilihan yg Catatan
Populasi Target
direkomendasikan

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan paduan

+ EFV atau NVP yg sesuai u/ sebagian besar

pasien. Gunakan FDC jika

tersedia

Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau Tidak boleh menggunakan

NVP EFV pd trimester I. TDF

bs jadi pilihan

Ko-infeksi AZT atau TDF + 3TC + Mulai terapi ARV segera

HIV/TB EFV atau NVP setelah terapi TB dapat

ditoleransi (antara 2 – 8

mgg). Gunakan NVP atau


triple NRT bila EFV tdk

dapat digunakan

Ko-infeksi TDF + 3TC + EFV atau Pertimbangkan

HIV/Hepatitis B NVP pemeriksaan HBsAg

terutama bila TDF

merupkn paduan lini

pertama. Diperlukan

penggunaan 2 ARV yg

memiliki aktivitas anti

HBV.

2. ARV Lini Kedua

ARV lini kedua dikonsumsi oleh penderita yang sudah resisten dengan ARV lini

pertama. Yang termasuk ARV lini kedua adalah sebagai berikut:

a. Tenofovir (TDF)

b. Lopinavir/ritonavir (LPV/r)

c. Didanosine (ddI)

d. Abacavir (ABC)

2NRTI + boosted-PI

Adapun rekomendasi paduan untuk lini kedua adalah:

Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah

ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan kode ..../r

(misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir). Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan


untuk mengurangi dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka dosis yang

diperlukan menjadi sangat tinggi.

TDF atau AZT + 3TC + LPV/r


Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh pemerintah
adalah:

Apabila pada Lini Pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + 3TC

atau FTC sebagai dasar NRTI pada lini kedua. Dan apabila pada lini pertama menggunakan

TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada lini kedua.

Sedangkan paduan obat ARV yang tidak dianjurkan untuk dikonsumsi adalah

sebagai berikut:

Paduan ARV Alasan tidak dianjurkan

1. Mono atau dual terapi untuk1. Cepat menimbulkan resinten

pengobatan infeksi HIV kronis

2. d4T+AZT 2. Antagonis (menurunkan khasiat

3. d4T+ddl kedua obat)

4. 3TC+FTC 3. Toksisitas tumpang tindih

5. TDF+3TC+ABC atau (pankreatitis, hepatitis dan lipoatrofi) ,

TDF+3TC+ddl juga pernah dilaporkan kematian pada

6. TDF+ddl+NNRTI manapun ibu hamil

4. Bisa saling menggantikan tetapi tidak

boleh digunakan bersamaan

5. Panduan tersebut meningkatkan

mutasi K65R dan terkait dengan

seringnya kegagalan virologi secara

dini
6. Seringnya kegagalan virologi secara

dini

F. Alasan Mengganti Obat ARV

Menurut Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Pedoman Pelayanan Kefarmasian

untuk ODHA, ada kemungkinan mengganti ARV baik yang disebabkan karena toksisitas

ataupun kegagalan terapi.

1. Toksisitas

Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat,

sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantau secara klinis,

baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau dari hasil pemeriksaan

laboraturium, tergantung dari macam kombinasi obat yang dipakai dam sarana pelayanan

kesehatan yang ada.

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, terdapat banyak faktor

yang dapat menyebabkan timbulnya efek samping, antara lain:

a. Jenis kelamin (contoh: NVP lebih sering menyebabkan reaksi hipersensitifitas pada wanita

dengan jumlah CD4>250 sel/mm3.

b. Karakteristik obat( contoh efek samping NVP bersifat dose-related pada awal pengobatan

sehingga diberikan lead in-dose).

c. Digunakannya dua atau lebih obat dengan toksisitas yang sama. Efek samping antara

Rifampisin dengan NVP yang keduanya bersifat hepatotoksik berpotensi menimbulkan

toksisitas ganda

d. Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya efek samping adalah karena belum

ditemukan dan diobatinya penyakit yang mendasarinya misalnya koinfeksi hepatitis C.


e. Terdapat beberapa keadaan yang mempunyai resiko yang lebih sering mengalami efek

samping obat sehingga perlu pemantauan terapi yang lebih ketat.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, dalam menangani

toksisitas atau efek samping perlu mengikuti langkah sebagai berikut:

a. Tentukan derajat keseriusan toksisitas

b. Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah toksisitas berhubungan dengan obat

ARV atau obat non- ARV yang digunakan bersamaan.

c. Pertimbangkan proses penyakit lain (misalkan hepatitis viral pada pasien dengan ARV yang

menjadi kuning/jaundice) karena tidak semua masalah yang terjadi selama terapi adalah

akibat obat ARV

d. Tangani efek sesuai tingkat keparahan

e. Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas ringan dan sedang

f. Berikan obat simtomatik sesuai dengan gejala yang timbul jika diperlukan

g. Apabila dinilai perlu penghentian ARV karena toksisitas yang mengancam jiwa maka semua

ARV harus dihentikan sampai pasien stabil.

2. Kegagalan terapi

Kegagalan terapi dapat didefenisikan secara klinis dengan menilai prkembangan

penyakit secara imunologis dengan perhitungan CD4, dan atau secara virologis dengan

mengukur viral-load.

Penilaian klinis perkembangan penyakit harus dibedakan dengan sindrom pemulihan

kekebalan (Immuno Reconstitution Inflamatory Sindrome/ IRIS), yaitu keadaan yang dapat

muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai dengan timbulnya suatu respon

inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi
terutama pada pasien denga gangguan kekebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi

imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, kegagalan terapi menurut

WHO yaitu sebagai berikut:

a. Kegagalan klinis

Munculnya IO dari kelompok stadium 4 minimal setelah 6 bulan dalam terapi ARV.

Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium 3 (TB paru, infeksi bakteri berat) juga dapat

menunjukkan kegagalan terapi.

b. Kegagalan imunologis

Defenisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan

jumlah CD4 yang adekuat, walaupun telah terjadi penurunan/penekanan jumlah virus. Jumlah

CD4 juga dapat digunakan untuk menentukan apakah perlu mengubah terapi atau tidak.

c. Kegagalan virologis

Disebut gagal virologi jika:

1) Viral load tetap > 5000 copies/ml atau

2) Viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi.

Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama pengobatan

tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu dilihat kemungkinan

penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut, misal IRIS.

Kriteria dimasukkan dalam menentukan kegagalan terapi yaitu untuk mengantisipasi

suatu saat akan tersedia sarana pemeriksaan viral load yang terjangkau. Viral load masih

merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukan adanya kegagalan terapi.

G. Efek Samping ARV


Menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dalam Pedoman Nasional Tatalaksana

Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, efek samping obat adalah

salah satu penyebab morbiditas, dirawatnya pasien dan mortalitas. Hal tersebut juga

berpengaruh pada kepatuhan pasien terhadap rencana terapi. Karena itu pendeteksian dini

efek samping adalah hal kritis. Berikut ini adalah golongan obat dan efek samping yang

ditimbulkannya:

1. NRTI (Nucleiside Reverse Transcriptase Inhibitor)

Nama Obat Efek Samping

AZT Terjadi pigementasi pada kuku, mual, steanosis,

miopati, lipodistrifu, dislipidemia, hiberlaktaemia dan

anemia

D4T Pankreatitis, steanosis, neuropati perifer, lipodistrofi,

dislipidemia, hiberlaktaemia

Ddl Pankreatitis, steanosis, fibrosis hati, penyakit jantung

iskemik, neuropati perifer, lipodistrofi, dislipidemia,

hiberlaktaemia

3TC Laktat asidosis, neuropati perifer berat

FTC Laktat asidosis

ABC Rash, penyakit jantung iskemik, reaksi hipersensitif

sistemik

TDF Osteomalasia, penurunan GFR, sindrom fanconi

2. NNRTI (Non-Nucleiside Reverse Transcriptase Inhibitor)

Nama Obat Efek Samping

EFV Rash, hepatitis, gangguan pola tidur, ansietas,

dislipidemia, gynaecomastia, teratogenik


NVP Rash, hepatitis, reaksi hipersensitifitas sistemik

3. PI (Protease Inhibitor)

Nama Obat Efek Samping

LVP/r Diare, penyakit jantung iskemik, lipodistrofi,

displipidemia, gangguan metabolisme glukosa


BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Setelah diagnosis infeksi HIV ditegakkan, tatalaksana selanjutnya adalah melakukan

penilaian stadium klinis, penilaian imunologi (pemeriksaan jumlah CD4), pemeriksaan Lab.

Sebelum memulai terapi, persyaratan lain sebelum memulai terapi ARV, dan pengobatan

pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK).

ARV adalah obat yang menghambat replikasi HIV. Tujuan pemberian ARV adalah

menekan secara maksimum dan berkelanjutan terhadap jumlah virus, pemulihan atau

pemeliharaan fungsi imunologik, perbaikan kualitas hidup, pengurangan morbiditas dan

mortalitas penderita HIV. Obat ARV terdiri atas tiga golongan utama, yaitu NRTI, NNRTI,

dan PI.

B. Saran

Adapun saran penulis terhadap pembaca yaitu agar sekiranya memahami materi ini

sebaik-baiknya sehingga nantinya mampu memberikan pelayanan kesehatan paripurna pada

pasien, terutama pasien dengan infeksi HIV.


DAFTAR PUSTAKA

Departemen kesehatan RI. 2006. Pedoman pelayanan kefarmasian untuk orang dengan
HIV/AIDS. Jakarta

Husnu, siti annisa. 2013. Farma Arv Product Specification. Bandung

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Orang Dewas. Jakarta

Strauss Levi. 2011. Program HIV Karyawan Pedoman Hidup Positif Dengan HIV/AIDS. San Fransisco,
California

Anda mungkin juga menyukai