Anda di halaman 1dari 10

PROBLEM SOLVING BIOETIK

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN SKILLS LAB


 Mahasiswa WAJIB membaca petunjuk skills dan aktif berdiskusi
 Waktu skills lab adalah 100 menit online melalui zoom kelas besar dan POST TEST
 Post Test dilaksanakan langsung setelah skills di ruang zoom yang sama
 Penilaian skill berdasarkan nilai post test

A. SASARAN BELAJAR
1. Mengetahui 4 kaidah bioetik
2. Mengetahui contoh atau pengaplikasian 4 kaidah bioetik

B. RENCANA PEMBELAJARAN
Waktu praktikum 2 x 50 menit
Panduan instruktur 1. 5 menit pertama pembukaan oleh tim modul
2. 65 menit selanjutnya, penyampaian materi bioetik
3. 10 menit berikutnya, sesi diskusi
4. 20 menit terakhir, pelaksanaan post test

C. DASAR TEORI
DASAR ETIKA DALAM KEGAWATDARURATAN MEDIS
Meskipun tanggung jawab profesional telah menjadi perhatian dari dokter sejak jaman
dahulu, beberapa tahun terakhir ini terlihat adanya peningkatan yang cukup mencolok dalam hal
perhatian profesional kesehatan dan masyarakat terhadap isu-isu moral dalam pelayanan
kesehatan. Meningkatnya minat dalam etika kedokteran merupakan akibat dari beberapa faktor,
diantaranya perkembangan teknologi kedokteran kontemporer yang begitu pesat, medikalisasi
penyakit yang dijumpai di masyarakat, peningkatan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan,
adanya upaya untuk melindungi hak-hak dari kelompok masyarakat yang lebih lemah, dan terus
meningkatnya biaya perawatan kesehatan. Semua faktor ini berkontribusi pada signifikansi dan
kompleksitas dari masalah-masalah moral yang mungkin muncul dalam penanganan kasus-kasus
gawat darurat di lapangan.

Pluralisme Moral
Dalam menyikapi permasalahan etik, dokter yang menangani kasus gawat darurat dapat
berkonsultasi dengan berbagai sumber untuk mendapatkan bimbingan. Sumpah profesi dan kode
etik merupakan sumber bimbingan yang penting, sama halnya seperti nilai-nilai budaya umum,
norma-norma sosial yang terkandung dalam hukum, tradisi moral keagamaan dan filsafat, dan
contoh dari role-model profesional. Semua sumber-sumber ini dianggap sebagai otoritas moral, yang
kemudian dapat menginspirasi para dokter untuk menjalani kehidupan moral yang baik dan
berkomitmen tinggi terhadap profesinya. Kendati demikian masalah dapat saja muncul kala timbul
konflik antara berbagai sumber acuan moral tersebut akibat adanya pluralisme dalam masyarakat
yang heterogen. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan teori moral yang secara
menyeluruh dapat menilai dan merumuskan klaim moral dari berbagai sumber. Tujuan dari bioetika
adalah untuk membantu kita memahami, menafsirkan, dan menimbang nilai-nilai moral yang saling
bertentangan sehingga kemudian dapat dijadikan dasar untuk menemukan solusi dalam menjawab
masalah moral yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan.

Tugas dokter pada kasus gawat darurat


Faktor setting dan tujuan yang unik dari kasus gawat darurat memunculkan sejumlah
masalah etika yang bersifat khas. Beberapa tantangan moral khusus yang dihadapi oleh dokter yang
menangani kasus gawat darurat diantaranya : pertama, pasien sering tiba di unit gawat darurat
dengan penyakit akut atau cedera yang memerlukan perawatan segera. Dalam situasi seperti ini,
dokter hanya memiliki sedikit waktu untuk mengumpulkan data tambahan atau berkonsultasi
dengan ahli lain. Dokter diharapkan dapat melakukan tindakan yang cepat berdasarkan protokol
pengobatan yang telah ditentukan sebelumnya. Kedua, pasien di unit gawat darurat seringkali tidak
dapat berpartisipasi dalam keputusan mengenai perawatan kesehatan mereka karena adanya
perubahan akut pada kondisi mental pasien. Ketika pasien tidak memiliki kapasitas pengambilan
keputusan, maka akan muncul masalah dalam hal informed consent untuk pengobatan. Ketiga,
dokter yang bekerja di unit gawat darurat biasanya belum pernah bertemu dan menangani pasien
yang dijumpai di UGD. Dengan demikian, dokter tersebut sama sekali tidak memiliki pengetahuan
sebelumnya tentang kondisi pasien, nilai-nilai, atau keinginan tentang perawatan medis yang akan
dijalaninya. Kesediaan pasien untuk menjalani perawatan darurat dan kepercayaan terhadap dokter
yang menanganinya lebih didasarkan pada jaminan kelembagaan dan profesional daripada
hubungan pribadi dokter-pasien. Keempat, dokter UGD bekerja dibawah aturan kelembagaan, dan
memiliki hubungan kerja yang erat dengan dokter, perawat, teknisi medis, serta profesional
kesehatan lainnya. Dengan demikian, dokter harus memahami dan menghormati peraturan
kelembagaan dan norma-norma etik antar profesi. Keenam , dokter darurat memiliki tugas sosial
untuk memberikan bantuan darurat di luar pengaturan perawatan kesehatan normal mereka ketika

2
intervensi tersebut dapat menyelamatkan nyawa atau anggota badan. Terakhir, berdasarkan tingkat
keahlian yang mereka miliki, dokter unit gawat darurat diharapkan dapat menjadi sumber daya bagi
masyarakat dalam perawatan pra-rumah sakit, manajemen bencana, toksikologi, resusitasi
kardiopulmoner, kesehatan masyarakat, pengendalian cedera, dan bidang terkait lainnya.

Hubungan dokter-pasien pada kasus gawat darurat


Hubungan dokter-pasien adalah pusat moral kedokteran dan elemen penentu dalam etika
kedokteran. Sifat yang unik dari kasus gawat darurat dan keragaman pasien yang mungkin ditemui di
lapangan menimbulkan tantangan moral khusus, seperti disebutkan di atas. Prinsip-prinsip moral
yang luas tetap dapat membantu dokter yang menangani kasus gawat darurat untuk menunaikan
tugas etikanya yang mendasar. Berikut ini uraian tentang pendekatan berbasis prinsip teori bioetika
yang meliputi beneficence, nonmaleficence, autonomy, dan justice dalam menghadapi dilema etik
yang muncul pada kasus gawat darurat.

Beneficence
Dokter memiliki tugas pokok untuk melayani pasien mereka dengan cara mengobati atau
mencegah penyakit dan cedera serta menginformasikan kepada pasien tentang kondisi mereka.
Dokter unit gawat darurat harus dengan cepat menangani penyakit akut dan cedera untuk
mencegah atau meminimalkan rasa sakit dan penderitaan, hilangnya fungsi tubuh, dan korban jiwa.
Dalam mencapai tujuan ini, dokter unit gawat darurat diharapkan menerapkan prinsip beneficence,
yaitu mereka bertindak untuk kepentingan terbaik bagi pasien mereka.
Demi mendapatkan manfaat kesehatan, pasien bebas untuk mengungkapkan informasi pribadi yang
sensitif kepada dokter yang merawatnya dan memberikan akses bagi dokter untuk melakukan
pemeriksaan dan pengobatan. Namun demikian, pasien tetap memiliki hak dalam hal perlindungan
informasi pribadi dari pengungkapan yang tidak sah dan mencegah gangguan atas privasi fisik
mereka. Oleh karena itu dokter unit gawat darurat diharapkan dapat menghormati prinsip
beneficence, dengan cara melindungi privasi pasien dan kerahasiaan informasi pasien. Informasi
pribadi hanya dapat diungkapkan jika pengungkapan tersebut diperlukan untuk melaksanakan tugas
yang lebih mendesak, seperti kewajiban untuk melindungi pihak ketiga dari bahaya yang serius atau
untuk mematuhi hukum.

3
Nonmaleficence
Sama mendasarnya seperti tugas untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
pasien, dokter juga memiliki tugas menjaga diri jangan sampai menimbulkan bahaya/kerusakan
(harm). Prinsip nonmaleficence ini adalah inti dari usaha untuk mempertahankan integritas dokter
gawat darurat dan kepercayaan pasien. Dalam penanganan kasus gawat darurat, potensi manfaat
yang mungkin diperoleh pasien seringkali disertai potensi komplikasi, efek samping, atau bahaya
lainnya yang signifikan. Dokter yang menangani kasus gawat darurat kadang tidak dapat
menghindarkan dari menimbulkan harm, tetapi mereka dapat menghormati prinsip nonmaleficence
dengan selalu berusaha memaksimalkan manfaat dari pengobatan dan untuk meminimalkan risiko
bahaya yang mungkin timbul. Dokter yang bekerja di unit gawat darurat seharusnya telah mengikuti
pelatihan dan berpengalaman dalam penanganan kasus gawat darurat.

Respect for autonomy


Pasien dewasa yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan memiliki hak untuk
menerima atau menolak perawatan kesehatan yang direkomendasikan, dan dokterpun harus
menghormati pilihan mereka. Hak ini didasarkan pada prinsip moral menghormati otonomi pasien
dan tertuang dalam doktrin informed consent. Menurut doktrin ini, dokter harus terlebih dahulu
menginformasikan kepada pasien yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan tentang kondisi
penyakitnya, alternatif pengobatan yang ada serta konsekuensi yang mungkin didapat, dan
kemudian memperoleh persetujuan sukarela dari pasien. Dokter unit gawat darurat juga harus
menghormati keputusan tentang perawatan pasien yang dibuat oleh pembuat keputusan pengganti
yang berhak (surrogate decision maker), jika memang pasien tidak memiliki kapasitas pengambilan
keputusan. Dokter juga harus memiliki kemampuan untuk menentukan kapasitas pengambilan
keputusan dari pasien dan mengidentifikasi surrogate decision maker jika memang dibutuhkan.
Dokter unit darurat dapat mengobati tanpa adanya informed consent jika memang perlu dilakukan
intervensi untuk mencegah kematian atau mencegah bahaya yang serius bagi pasien. Dalam
beberapa kasus, karena alasan pribadi dan budaya, pasien kadang meminta informasi juga diberikan
kepada keluarga atau teman-teman dan dan pihak ketiga tersebut diperbolehkan untuk membuat
pilihan pengobatan untuk pasien. Pasien juga dimungkinkan untuk melepaskan hak mereka atas

4
informed consent atau mendelegasikan otoritas pengambilan keputusan untuk perawatan mereka
kepada pihak lain.
Justice
Secara luas, bertindak adil dapat dipahami sebagai tindakan yang dilakukan tanpa
kecenderungan pada salahsatu pihak tertentu (impartiality). Dalam hal ini, dokter unit gawat darurat
memiliki tugas untuk memberikan perawatan kepada pasien tanpa memandang ras, warna kulit,
keyakinan, jenis kelamin, kebangsaan, atau hal-hal lain yang tidak relevan. Secara lebih spesifik,
keadilan mengacu pada pemerataan manfaat dan beban bidang kesehatan yang didapat oleh
seluruh lapisan masyarakat.

ANALISIS KASUS ETIKA METODE FOUR-BOXES DARI JONSEN DAN SIEGLER


Masalah etika akan selalu muncul dalam setiap pertemuan klinis antara pasien dan dokter
karena perawatan pasien selalu melibatkan pertimbangan teknis dan moral. Gambaran utama dari
pertemuan klinis ini adalah hubungan terapeutik antara dokter dan pasien, dimana dalam hubungan
ini terkandung tanggung jawab etis. Dokter harus bertujuan, sesuai dengan perkataan Hippocrates,
"untuk membantu dan tidak membahayakan/merugikan." Dokter perlu melakukan pendekatan
hubungan dokter-pasien dengan suatu identitas profesional yang mencakup kewajiban untuk
memberikan perawatan yang kompeten kepada pasien, menjaga kerahasiaan, dan berkomunikasi
secara jujur dan penuh kasih
Dalam suatu hubungan terapeutik, perawatan klinis dan kewajiban etika berjalan secara
bersama-sama. Alasannya adalah bahwa pasien dan dokter pada dasarnya memiliki tujuan yang
sama, yaitu untuk menanggulangi masalah medis dan kebutuhan pasien. Misalnya, seorang pasien
datang dengan keluhan utama sesak disertai mengi, maka dokter akan merespon pasien dengan
memanfaatkan sarana yang tersedia untuk mendiagnosa dan mengobati kondisi pasien. Setelah
menegakkan diagnosis, misalnya diagnosis kasus tersebut adalah asma, maka dokter dapat
melakukan terapi sehingga kondisi pasien membaik dan pasien puas. Pada kondisi ini telah terjadi
tindakan etik : pasien dibantu dan tidak dirugikan. Namun dalam kasus serupa yang lain, kondisi
yang awalnya sederhana dapat menjadi rumit. Sesak pada pasien kemungkinan disebabkan oleh
kanker yang menghalangi jalan napas. Penyakit ini mengancam nyawa dan pengobatannya sulit
dengan tingkat keberhasilan yang rendah. Pada kasus lainnya, kelancaran hubungan dokter-pasien

5
dapat terganggu oleh adanya suatu permasalahan etik : keraguan dalam mengambil keputusan
tindakan yang tepat ketika tanggung jawab etik saling bertentangan atau ketika maknanya tidak
pasti atau membingungkan. Misalnya, tugas dokter untuk menyembuhkan terhalang oleh adanya
penolakan pasien terhadap pengobatan, atau pasien tidak mampu serta tidak dijamin oleh asuransi.
Prinsip-prinsip yang melandasi dokter dan pasien dalam hubungan terapeutik tampaknya
bertabrakan. Kondisi ini tentu saja akan menghalangi proses pengambilan keputusan perawatan
klinis pasien.

EMPAT TOPIK / FOUR BOXES DARI JONSEN DAN SIEGLER


Bioetika mengenal adanya empat prinsip etika yang sangat relevan dengan kedokteran
klinis: prinsip beneficence, nonmaleficence, menghormati otonomi, dan keadilan. Sejumlah ahli
bioetik ada yang menambahkan prinsip lain diantaranya empati, kasih sayang, kesetiaan, integritas,
dan kebajikan lainnya. Jonsen dan Siegler telah merumuskan suatu cara pendekatan yang lebih
spesifik manakala dokter menghadapi suatu dilema etika. Dalam pendekatan tersebut terdapat
empat domain yang dianggap merupakan struktur penting dari kasus dalam kedokteran klinis, yang
meliputi indikasi medis, preferensi pasien, kualitas hidup, dan fitur kontekstual. Pendekatan
terhadap kasus klinis ini sering disebut dengan metode Four Boxes dari Jonsen dan Siegler.
Setiap kasus klinis pada dasarnya adalah kumpulan informasi yang harus ditafsirkan oleh
dokter dalam rangka untuk melaksanakan proses penalaran yang diperlukan untuk diagnosis dan
pengobatan. Setiap dokter dalam masa awal pembelajarannya telah dilatih dengan suatu pola umum
untuk menangani kumpulan informasi tersebut : keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
kesehatan umum pasien, hasil pemeriksaan fisik, dan hasil penelitian laboratorium. Data yang
diurutkan ke dalam pola akan mengarahkan dokter dalam mengambil keputusan tentang diagnosis
dan pengobatan. Empat kotak dari Jonsen dan Siegler akan membantu dokter untuk mengumpulkan,
memilah, dan mengurutkan fakta dari masalah etika klinis. Setiap topik atau "kotak" diisi dengan
fakta-fakta dari kasus klinis yang sedang ditangani sehingga akhirnya akan diperoleh gambaran yang
komprehensif tentang dimensi etis dari kasus itu.
Indikasi medis mengacu pada intervensi diagnostik dan terapi yang sedang digunakan untuk
mengevaluasi dan mengobati masalah medis dalam kasus tersebut. Preferensi pasien menunjukkan
pilihan pasien tentang pengobatan mereka, atau keputusan dari mereka yang berwenang untuk

6
mewakili pasien ketika pasien tidak mampu melakukannya (surrogate decision maker). Kualitas
hidup menggambarkan kondisi kehidupan pasien sebelum dan setelah pengobatan. Fitur
Kontekstual menggambarkan kondisi keluarga, sosial, kelembagaan, keuangan, dan hukum di mana
kasus tertentu terjadi, sejauh hal itu mempengaruhi keputusan medis.
Setelah semua informasi yang relevan dikumpulkan ke dalam empat kotak, selanjutnya
dilakukan penilaian hubungan antara informasi dan prinsip-prinsip dasar bioetika. Berdasarkan
penilaian hubungan dari berbagai informasi yang telah dikumpulkan maka dokter akan dapat
melihat pola permasalahan bioetika secara lebih jelas dan kemudian mengambil tindakan etik
berdasarkan pertimbangan dari keempat kotak tadi. Dokter kemudian dapat merumuskan
rekomendasi kepada pasien sebagai pengambil keputusan atau lainnya.

BOX 1 Indikasi Medis


Indikasi medis adalah fakta, pendapat, dan interpretasi tentang kondisi fisik/psikologis
pasien yang menjadi dasar bagi dokter untuk melakukan kegiatan diagnostik dan terapi yang
bertujuan untuk mewujudkan tujuan keseluruhan kedokteran : pencegahan, pengobatan, dan
perawatan penyakit dan cedera. Setiap diskusi tentang masalah etika dalam kedokteran klinis harus
dimulai dengan pernyataan indikasi medis.

Prinsip Etika beneficence dan Nonmaleficence


Indikasi medis menggambarkan pekerjaan sehari-hari perawatan klinis untuk mendiagnosis
kondisi pasien dan memberikan perawatan. Prinsip-prinsip etika yang mengatur kegiatan ini adalah
prinsip-prinsip beneficence dan nonmaleficence, yaitu melakukan tindakan yang sifatnya
menguntungkan pasien dan tidak menyakiti mereka. Pepatah moral kuno dalam dunia kedokteran
yang dinyatakan dalam sumpah Hipokrates, adalah "Saya akan menggunakan pengobatan untuk
memberikan manfaat bagi orang sakit sesuai dengan kemampuan dan penilaian saya tetapi tidak
sekalipun bermaksud untuk mencederai dan berbuat kesalahan." Dalam dunia kedokteran, manfaat
dan bahaya memiliki arti khusus : membantu dengan mencoba untuk menyembuhkan dan
melakukannya secara aman dan tanpa menimbulkan rasa sakit pada pihak pasien.
Oleh karena itu, dalam etika kedokteran, beneficence artinya yaitu tugas untuk
menghasilkan perbaikan dalam kesehatan fisik atau psikologis. Efek obyektif dari tindakan diagnostik

7
dan terapeutik tersebut misalnya, mendiagnosis dan mengobati infeksi, mengobati kanker sehingga
menghasilkan remisi, dan memfasilitasi penyembuhan patah tulang. Nonmaleficence berarti
tindakan medis yang dilakukan ini dapat mencegah cedera lebih lanjut atau mengurangi risiko.

Pendekatan Klinis terhadap prinsip Beneficence dan Nonmaleficence


Prinsip-prinsip umum beneficence dan nonmaleficence harus berdasarkan pada keadaan
klinis pasien. Terdapat lima pertanyaan yang perlu dijawab untuk mengetahui ruang lingkup topik
Indikasi Medis.
Kelima pertanyaan adalah sebagai berikut:
1. Apa masalah medis pasien? Apakah masalahnya akut? kronis? kritis? reversibel?
terminal?
2. Apa tujuan dari pengobatan?
3. Dalam kondisi seperti apakah pilihan terapi tersebut tidak diindikasikan?
4. Bagaimanakah probabilitas keberhasilan dari berbagai pilihan pengobatan?
5. Bagaimanakah manfaat yang didapat oleh pasien dari tindakan medis dan perawatan,
dan bagaimana kerugian/komplikasi dapat dicegah dengan tindakan tersebut?

BOX 2 PREFERENSI PASIEN


Bab ini membahas topik kedua yang sangat penting untuk analisis masalah etika dalam
kedokteran klinis, yaitu, preferensi pasien. Preferensi pasien adalah pilihan yang dibuat oleh pasien
ketika mereka dihadapkan pada kondisi dimana mereka harus mengambil keputusan tentang
kesehatan dan perawatan medis yang harus mereka jalani. Pilihan ini akan mencerminkan
pengalaman pasien, keyakinan, dan nilai-nilai namun tetap berdasarkan pada informasi dan
rekomendasi dari pihak dokter. Bila ada indikasi medis untuk pengobatan, dokter harus
mengusulkan rencana perawatan yang dapat pasien terima atau tolak.
Ada sejumlah pertanyaan tentang permasalahan yang perlu diangkat dalam mengidentifikasi
dan menilai masalah etika yang berkaitan dengan preferensi pasien.
1. Apakah pasien telah diberitahu tentang manfaat dan risiko, memahami informasi itu, dan
memberikan persetujuan?
2. Apakah pasien secara mental mampu dan cakap dalam melakukan tindakan secara

8
hukum, dan adakah bukti ketidakmampuannya ?
3. Jika secara mental pasien memang mampu, apakah preferensi pengobatan yang
dinyatakan oleh pasien ?
4. Jika tidak mampu, apakah pasien telah menyatakan pilihan pengobatan yang akan dijalani
sebelumnya?
5. Siapa pengganti yang tepat untuk membuat keputusan untuk pasien tidak mampu?
6. Apakah pasien tidak mau atau tidak mampu bekerja sama dengan pengobatan medis? Jika
demikian, mengapa?

BOX 3 KUALITAS HIDUP


Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengembangkan
langkah-langkah meningkatkan kualitas hidup yang dapat digunakan untuk memberikan beberapa
dasar empiris untuk pertimbangan nilai dan untuk mengevaluasi hasil dari intervensi klinis. Ukuran
yang dipakai diantaranya adalah fungsi fisik, seperti mobilitas, kinerja kegiatan sehari-hari, nyeri,
interaksi sosial, dan ketajaman mental.
Pertanyaan tentang kualitas hidup yang relevan dengan identifikasi dan penilaian dari setiap
masalah etika klinis :
1. Bagaimana prospek, dengan atau tanpa pengobatan, untuk kembali ke kehidupan normal,
dan apakah pasien mungkin akan menderita defisit fisik, mental, dan sosial meskipun
pengobatannya tersebut berhasil?
2. Apakah ada bias yang dapat mengganggu proses evaluasi yang dilakukan oleh dokter dalam
menilai kualitas hidup pasien?
3. Apa masalah etika yang muncul jika dokter berusaha untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien?
4. Apakah penilaian terhadap kualitas hidup pasien kemudian memunculkan pertanyaan yang
diantaranya mencakup perubahan rencana pengobatan ?

BOX 4 CONTEXTUAL FEATURES


Dalam kotak terakhir ini ada sejumlah pertanyaan tentang Fitur Kontekstual yang relevan dengan
analisis masalah etika. Pertanyaan yang harus dijawab tersebut mencakup :

9
1. Apakah ada kepentingan profesional, interprofessional, atau bisnis yang mungkin
menciptakan konflik kepentingan dalam pengobatan klinis pasien?
2. Apakah ada pihak lain selain dokter dan pasien, seperti anggota keluarga, yang memiliki
kepentingan dalam keputusan klinis?
3. Apakah ada batasan yang dikenakan terhadap konfidensialitas pasien karena adanya
kepentingan yang sah dari pihak ketiga?
4. Apakah ada faktor keuangan yang menciptakan konflik kepentingan dalam pengambilan
keputusan klinis?
5. Apakah ada masalah alokasi sumber daya kesehatan yang mungkin mempengaruhi
keputusan klinis?
6. Apakah ada masalah agama yang dapat mempengaruhi keputusan klinis?
7. Apakah isu-isu hukum yang mungkin mempengaruhi keputusan klinis?
8. Apakah ada pertimbangan dari penelitian klinis yang mungkin mempengaruhi keputusan
klinis?
9. Apakah ada masalah kesehatan masyarakat dan keselamatan yang mempengaruhi
keputusan klinis?
10. Apakah ada konflik kepentingan dalam lembaga dan organisasi (misalnya, rumah sakit) yang
dapat mempengaruhi keputusan klinis dan kesejahteraan pasien?

10

Anda mungkin juga menyukai