Anda di halaman 1dari 7

Isu etik dalam kasus dan asuhan pelayanan keperawatan medikal bedah beserta solusinya

Semakin banyak, karena pasien dan keluarga terlibat dalam keputusan perawatan kesehatan, konflik nilai
timbul bila ada perbedaan dalam rencana perawatan yang diinginkan. Meskipun perbedaan ini paling
sering dikaitkan dengan konflik antara dokter dan pasien, mereka mungkin juga ada di antara penyedia
layanan kesehatan dan tim layanan kesehatan seperti perawat. Terlepas dari pihak-pihak yang terlibat,
isu-isu yang menyebabkan konflik ditandai dengan: mencoba untuk membedakan dan membuat
keputusan 'benar' yang menguntungkan pasien, dan menciptakan kerangka pendukung tentang apa yang
membuat keputusan tertentu atau tindakan tertentu terhadap pilihan yang tepat.

Beberapa masalah etik yang sering dijumpai oleh perawat khususnya pelayanan keperawatan medikal
bedah diantaranya asuhan klien HIV/AIDS, transplantasi organ, keputusan untuk mengakhiri hidup
maupun kasus terminal illness, perintah resusitasi, euthanasia, nutrisi dan cairan (kozier, mantap 3)

AIDS

Karena keterkaitannya erat dengan perilaku seksual, penggunaan obat-obatan terlarang, dan penurunan
kondisi fisik dan kematian, AIDS menimbulkan stigma sosial. Menurut pernyataan sANA (American
Nursing Assosiation) kewajiban perawat untuk merawat klien yang terinfeksi HIV tidak dapat
dikesampingkan, kecuali jika risikonya melebihi tanggung jawab: “bukan hanya asuhan keperawatan yang
harus diberikan, tetapi perawat harus diberitahu juga mengenai risiko dan tanggung jawab yang mereka
hadapi dalam memberikan asuhan. Menerima risiko pribadi yang melebihi batas tugas bukan kewajiban
moral, melainkan pilihan moral” (ANA, 2006).

Isu etik lainnya berpusat pada pemeriksaan untuk mengetahui status HIV/AIDS pada profesional
kesehatan dan klien (kozier), Contoh klien TB yang diwajibkan untuk pemeriksaan HIV, atau pasien dengan
rencana tindakan operasi atau invasif akan diperiksa status HIVnya.

Transplantasi organ dan jaringan

Organ untuk transplantasi mungkin berasal dari donor yang masih hidup atau donor yang baru saja
meninggal. Isu etik yang berkaitan dengan transplantasi organ meliptui alokasi orga, menjual bagian
tubuh, keikutsertaan anak-anak sebagai donor potensial, persetujuan, definisi kematian yang jelas dan
konflik kepentingan antara donor potensil dan resipien. Pada beberapa situasi, keyakinan agama
seseorang juga dapat menimbulkan konflik. Sebagai contoh, agama tertentu melarang mutilasi tubuh,
meski untuk kepentingan orang lain (kozier)

End-of-life issues

Beberapa masalah etik yang paling sering mengganggu bagi perawat melibatkan isu seputar kematian dan
menjelang ajal. Hal ini meliputi euthanasia, bunuh diri asistif, terminasi ventilator mekanik, dan
pengentian atau penundaan pemberian makanan dan cairan.

Euthanasia aktif meliputi bunuh diri asistif atau memberikan klien alat untuk membunuh diri mereka
sendiri jika mereka memintanya. Euthanasia pasif melibatkan pencabutan alat bantu yang sangat
dibutuhkan, seperti melepas ventilator atau tidak melakukan upaya untuk menyadarkan seorang klien

Terminasi penanganan penyokong hidup

Antibiiotik, transplantasi organ, dan kemajuan teknologi (missal ventilator) membantu memperpanjang
hidup, tetapi tidak selalu dapat memperbaiki kesehatan. Klien atau keluarga klien (pemberi keputusan
klini) dapat menyebutkan bahwa mereka menghendaki pencabutan alat penyokong hidup, mereka
mungkin mebuat arahan lanjut tentang masalah ini, atau mereka dapat menunjuk pembuat keputusan
pengganti. Namun biasanya lebih menyulitkan tenaga kesehatan professional untuk menghentikan suatu
penanganan dari pada memutuskan sejak awal untuk tidak memulai penanganan tersebut

Pengentiian atau penundaan pemberian makanan dan cairan

Memberikan makanan dan cairan umumnya dianggap sebagai bagian dari praktik keperawatan umum
sehingga menjadi suatu kewajiban moral (kozier), Pemotongan cairan dan nutrisi pada akhir kehidupan
merupakan isu yang sangat sensitif karena makanan dan cairan merupakan kebutuhan manusia yang
esensial dan sangat penting bagi interaksi sosial di banyak kebudayaan (mantap 3). Seorang perawat
memiliki kewajiban moral untuk tidak memberikan makanan atau cairan jika pemberian makanan atau
cairan ini diketahui lebih berbahaya disbanding tidak memberikannya. (kozier). Hal ini bisa menyebabkan
keluarga klien marah karena mungkin mereka menganggap sebagai pembiaran, maka sebaiknya perawat
memberikan penjelasan edukasi yang intens. mereka mungkin menjadi marah saat diberi nasihat agar
tidak memberi makanan atau cairan secara oral kepada pasien yang sekarat dengan risiko aspirasi. Dalam
kasus pertama, keluarga mungkin salah mengira bahwa nutrisi yang ditolak akan memperpanjang
kelangsungan hidup; Dalam kasus kedua, keluarga mungkin merasa dilarang melakukan satu tindakan
pengasuhan yang masih bisa mereka berikan kepada orang yang mereka cintai. Dalam kedua kasus
tersebut, pendekatan yang sensitif terhadap pendidikan dan konseling menjadi hal yang penting (mantap
3)

Keputusan Resusitasi

Resusitasi jantung paru (CPR) pada awalnya dikembangkan untuk penyakit akut, seperti infark
miokard, namun CPR kini telah menjadi standar intervensi (terlepas dari diagnosisnya) kecuali ada
perintah khusus yang bertentangan. Kurangnya perintah DNR untuk pasien yang sakit parah
menyebabkan konflik etis bagi tim layanan kesehatan karena CPR hampir tidak pernah berhasil pada
individu-individu sakit terminal ini. Memahami alasan keengganan mereka untuk mengizinkan
perintah DNR sangat penting. Ada alasan agama atau budaya bahwa pasien dan keluarga mereka
meminta resusitasi, tapi mungkin juga ada kesalahpahaman tentang prosedur seperti apa yang
memerlukan dan apakah DNR membatasi perawatan pasien lainnya. Bagi beberapa pasien dan
keluarga, mereka tidak mengambil keputusan, melainkan dibuat oleh seorang tokoh religius yang
memandu pengambilan keputusan, sehingga sangat penting untuk melibatkan tokoh kunci ini dalam
diskusi. Pasien dan keluarga mungkin juga takut bahwa DNR diterjemahkan ke dalam '' Menyediakan
Tanpa Perawatan 'dan setelah DNR terpasang, pasien tidak akan lagi dibalik atau dimandikan dan
semua intervensi lainnya akan dihentikan, termasuk perawatan suportif. Melalui komunikasi yang
welas asih dan sensitif, kekhawatiran ini dapat diatasi dan keputusan dibuat sesuai dengan nilai
pasien. (mantap3)

Solusi untuk mengatasi kasus isu etik

Beberapa strategi membantu perawat mengatasi kendala organisasi dan sosial yang dapat mengganggu
praktik etik keperawaratan dan menimbulkan distress moral bagi perawat. Sebagai seorang perawat
sebaiknya:

a. Menyadari nilai pribadi dalam di seorang perawat dan aspek etik dalam keperawatan
b. Terbiasa dengan kode etik keperawatan
c. Menghargai nilai, opini, dan tanggung jawab tenaga kesehatan professional lain yang mungkin
berbeda dengan profesi kita
d. Berpartsisipasi dalam atau menerapkan ronde etik. Ronde etik menggunakan kasus hipotesis dan
kasus nyata yang befokus pada dimensi etik asuhan klien, bukan diagnosis klinis dan penanganan
klien
e. Berperan dalam komite etik institusional
f. Berusaha dalam praktik kolaboratif sehingga dapat menjalankan fungsi efektif dengan
bekerjasama dengan tenaga kesehatan professional lainnya
g. Tidak peduli seberapa canggih teknologinya, seberapa canggih sistem pengiriman kesehatan, atau
seberapa beragam komunitas keperawatan, menghargai kebutuhan, nilai, dan preferensi pasien
dan keluarga akan terus menjadi inti perawatan khususnya perawatan paliatif.
h. Tanggung jawab etis sebagai perawat akan terus menjadi kewajiban untuk membangun
kepercayaan dari pasien dan keluarga kita dan menerapkan prinsip kemanfaatan untuk
mengurangi penderitaan mereka, terutama di penghujung kehidupan. (mantap 3)

Menurut sumber lain solusinya dengan ethic education

Salah satu kesempatan paling penting bagi perawat untuk mengurangi tekanan moral yang terkait
dengan perawatan pasien adalah dengan mengembangkan lingkungan praktik penyelidikan etis
sehingga problema isu dapat diidentifikasi, ditangani, dan diselesaikan. Tentu, upaya semacam itu
membutuhkan iklim etis yang positif di tingkat organisasi, namun dapat didukung dan ditingkatkan
oleh perawat sendiri. Sejumlah forum yang dipimpin oleh perawat dapat dibedah secara praktis dan
efektif. Misalnya, perawat di unit atau tempat latihan tertentu dapat memimpin dalam menyiapkan
pembekalan multidisiplin untuk kasus yang sangat sulit. Ini bisa lebih dari sekadar dukungan sebaya
dengan fokus khusus pada isu-isu etis yang dimainkan, bagaimana mereka ditangani (atau tidak), dan
apa yang akan bekerja lebih baik di masa depan. Misalnya, pembekalan berpusat pada kasus di mana
keluarga tersebut meminta agar pasien tidak menerima obat penghilang rasa sakit di penghujung
kehidupan, meskipun penilaian oleh perawat bahwa pasien tersebut dalam keadaan sakit yang berat,
dapat berfokus pada kewajiban profesional untuk meredakan penderitaan, serta masalah legal dan
isu klinis untuk kasus ini. Selain itu, kurikulum etika dapat dikembangkan oleh kelompok yang
berkepentingan yang dapat dilembagakan sebagai bagian dari program pelayanan yang sudah ada,
ronde keperawatan yang penting, atau pelatihan berbasis unit. Kurikulum semacam itu bisa
sederhana dan mencakup topik seperti: truth telling (menceritakan kebenaran pada pasien),
pengganti keputusan, dan kesia-siaan medis. Dibutuhkan minat, komitmen, dan antusiasme seorang
perawat untuk memulai (mantap 3)
Pembahasan berdasarkan kasus

Menurut kronologi keluarga klien perawat sudah menyuntik klien yang sudah meninggal, sedangkan
berdasarkan kronologis dari pihak rumah sakit kondisi klien saat diberikan injeksi obat pukul 22.20
wib kondisinya masih normal, yaitu napas teratur dan nadi kuat. Sedangkan saat dokter hamdan
berkunjung ke klien pukul 22.20 wib setelah perawat melakukan injeksi dokter spesialis syaraf
memeriksa klien, diketahui nadi 74 kali permenit, S1 dan S2 normal. Klien meninggal kemungkinan
karena cardiac arrest karena riwayat kesehatan klien menderita diabetes dan darah tinggi.

Permasalahan ini bisa saja diakibatkan karena berawal dari komunikasi efektif, keluarga klien
dibiarkan dalam keadaan resah sehingga terjadi mispersepsi dan miskomunikasi antara tenaga
kesehatan dan pihak keluarga klien sampai diajukannya somasi yang ketiga kali dan pelaporan kepada
polda setempat. Keluarga menduga tenaga kesehatan melakukan malpraktek.

Menurut definisinya Guwandi (1994) menyatakan malpraktek adalah kelalaian dari seorang dokter
atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam memberikan
pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam
mengobati dan merawat orang sakit atau terluka dilingkungan wilayah yang sama. Sedangkan Allis
dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktek merupakan batasan yang spesifik dari
kelalaian yang ditujukan pada seseorang yang terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan
kinerjanya sesuai bidang tugas atau pekerjaannya (Ake, 2003). Berdasarkan hal diatas tenaga
kesehatan dimungkinkan tidak melakukan malpraktek seperti yang didugakan oleh keluarga klien,
namun untuk membuktikan tindakan malpratek atau tidak harus diselidiki berdasarkan kewenangan
oleh pihak yang terkait.

Vestal, K.W (1995) dalam Ake (2003) mengatakan bahwa untuk mengatakan
secara pasti malpraktek apabila penggungat dapat menunjukkan hal dibawah
ini :
a) Duty
Pada saat terjadinya cidera, terkait dengan kewajibannya mempergunakan ilmu dan
kepandaiannya untuk menyembuhkan atau meringankan beban penderitaan pasien berdasarkan
standar profesi
b) Breach of duty
Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajiban artinya menyimpang dari apa yang seharusnya
dilakukan menurut standar profesi
c) Injury
Seseorang mengalami cidera atau kerusakan yang dapat dituntut secara hukum
d) Proximed cause
Pelanggaran terhadap kewajibannya terkait dengan cidera yang dialami oleh pasien

Bidang pekerjaan perawat yang beresiko melakukan kesalahan:


a) Assesment error
Termasuk kegagalam mengumpulkan informasi tentang pasien secara adekuat atau kegagalam
megidentifikasi informasi yang diperlukan seperti data hasil labor, TTV, keluhan pasien yang
membutuhkan tindakan segera, kegagalan mengumpulkan data yang berdampak pada ketidak
tepatanmenentukan diagnose keperawatan
b) Planning errors
Kegagalan mencatat masalah pasien, kegagalan mengkomunikasikan secara efektif rencana
keperawatan yang telah dibuat, kegagalan memberikan asuhan keperawatan yang berkelanjutan,
dan kegagalan memberikan informasi atau instruksi yang dimengerti oleh pasien
c) Intervention error
Kegagalan menginterpretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi, kegagalan melakukan
asuhan keperawatan secara hati-hati dan kegagalan mengikuti order dokter atau supervisor

Kategori utama kelalaian yang berakibat tuntutan hukum malpraktek :


a) Kegagalan mengikuti standar keperawatan
b) Kegagalan untuk menggunakan peralatan secara bertanggung jawab
c) Kegagalan berkomunikasi
d) Kegagalan mendokumentasikan
e) Kegagalan untuk menilai dan memantau
f) Kegagalan bertindak sebagai advokat bagi klien

Perawat memberikan asuhan keperawatan harus sesuai dengan standar yang ada yaitu standar
pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional dengan tetap berpegang pada kode etik
profesi keperawatan. Pada kasus perawat seperti yang diberitakan kelompok berdiskusi perlu
diadakan pertemuan antara pihak keluarga dan tenaga kesehatan yang di fasilitasi oleh pihak RS untuk
memberikan klarifikasi agar tidak terjadi miskomunikasi. Keluarga pasien memberikan somasi sampai
ketiga kali menunjukkan belum ada pertemuan secara bersamaan sehingga terjadinya pelaporan.

Anda mungkin juga menyukai