Anda di halaman 1dari 23

MEKANISME HIPERSENSITIVITAS

DAN KORTIKOSTEROID

Maria Ulfah
11711123
Hipersensitivitas

O Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau


sensitivitas terhadap antigen yang pernah
dipajankan atau dikenal sebelumnya.
O Pembagian reaksi menurut waktu timbulnya reaksi:
1. Reaksi cepat
2. Reaksi intermediet
3. Reaksi lambat
Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut
Gell & Coombs, terbagi menjadi 4 reaksi.
O Reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Reaksi alergi)
1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk
pembentukan IgE sampai diikat silang oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast/basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara
pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel
mast/basofil melepas isinya (granul)  timbul
reaksi (akibat ikatan silang antara antigen dan IgE).
3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang
kompleks (anafilaksis)
O Mediator pada reaksi tipe 1
- Histamin
- Prostaglandin dan leukotrien
- Sitokin
O Manifestasi reaksi tipe 1
a. Reaksi lokal
Hanya terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen
masuk.
b. Reaksi sistemik-anafilaksis
Reaksi ini dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit
sajadan dapat mengancam nyawa.
c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terlebih dahulu
untukmenimbulkan sensitasi.
O Reaksi tipe 2 atau sitotoksik
Reaksi ini terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Reaksi ini terjadi disebabkan oleh lisis dan
bukan efek toksik. Antibodi dapat mengaktifkan sel
yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang
dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui ADCC (Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity).
1. Reaksi transfusi
2. Penyakit hemolitik bayi baru lahir
3. Anemia hemolitik
O Reaksi tipe III atau kompleks imun
Dalam keadaan normal kompleks imun dalam
sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan
kemudian dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear.
Umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah
dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil
dan larut sulit untuk dimusnahkan, sehingga dapat
lebih lama berada dalam sirkulasi. Namun, tidak
berbahaya, akan timbul permasalahan bila mengendap
di jaringan.
1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh
darah
Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi
dan IgM atau IgG3 (dapat juga IgA) diendapkan di
membran basal ginjal yang menimbulkan reaksi
inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi dapat
menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag,
perubahan permeabilitas vaskular, aktivasi sel mast,
produksi dan pelepasan mediator inflamasi dan bahan
kemotaktik serta influks netrofil. Bahan toksik yng
dilepaskan netrofil dapat menimbulkan kerusakan
jaringan setempat.
2. Kompleks imun mengendap di jaringan
Kompleks imun yang mengendap di jaringan adalah
ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas
vaskular yang meningkat, karena histamin yang di lepas
sel mast.
3. Bentuk reaksi
- Reaksi lokal atau Fenomena Arthus
- Reaksi tipe III sistemik-serum sickness
O Reaksi tipe IV
1. Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Reaksi ini dimulai dengan fase sensitasi yang
membutuhkan 1-2 minggu setelah kontak primer
dengan antigen. Th diaktifkan oleh APC melalui MHC-II.

Berbagai APC seperti sel langerhans (sel dendritik di


kulit) dan makrofag yang menangkap antigen dan
membawa ke kelenjar limfoid regional untuk di
presentasikan ke sel T.

Sel T yang diaktifkan sel CD4⁺ dan CD8⁺

Pajanan ulang menginduksi sel efektor


O Fase efektor
Pada fase ini sel Th 1 melepas berbagai sitokin yang
mengerahkan dan mengaktifkan makrofag dan sel
inflamasi nonspesifik lain. Gejala biasanya baru
nampak 24 jam setelah kontak kedua dengan antigen.
Sel langerhans akan mensekresi IL-1  merangsang
sel T untuk mensekresi IL-2  merangsang IFN γ. IL-2
dan IFN γ merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1
yang langsung bereaksi dengan limfosit T dan lekosit
serta sekresi eikosanoid  mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin  vasodilatasi
dan permeabilitas meningkat
O Manifestasi klinis
1. Dermatitis kontak
2. Hipersensitivitas tuberkulin
3. Reaksi Jones Mote
4. Penyakit CD8⁺
Kortikosteroid

O Kortikosteroid adalah sutu kelompok hormon steroid


yang dihasilkan dibagian korteks adrenal sebagai
tanggapan atas hormon ACTH yang dilepaskan oleh
kelenjar hipofisis.
O Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok
berdasarkan aktivitas biologis yaitu glukokortikoid
yang berperan mengendalikan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat
antiinflamasi dengan cara menghambat pelepasan
fosfolipid, serta menurunkan kinerja eosinofil.
O Kelompok mineralkortikoid yang berfungsi mengatur
kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan
garam di ginjal.
O kortikosteroid topikal merupakan obat topikal yang
mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang luas
sebagai antiinflamasi, antipruritus, anti-mitotik dan
anti alergi, dan vasokonstriksi.
O Dalam dermato terapi dibagi menjadi 3 mekanisme
yaitu:
- Vasokonstriksi pembuluh darah dermis bagian atas
sehingga mengurangi eritem pada berbagai
dermatosis. Efek vasokonstriksi juga mengurangi
terbentuknya cairan peradangan dan edem
setempat.
- Anti inflamasi akibat rangsangan mekanis, kimia,
radiasi, reaksi imunologi dan infeksi pada kulit.
- Antiproliferasi pada lapisan basal, kapiler dan
fibroblas.
O Cara kerja kortikosteroid sebagai anti-inflamasi:
1. Stabilisasi membran lisosom, sehingga lebih sulit
pecah. Kemudian enzim-enzim proteolitik yang
dilepaskan lisosom jumlahnya sangat berkurang.
2. Menurunkan permeabilitas kapiler, sebagai efek
sekunder penurunan pelepasan enzim proteolitik,
sehingga mencegah hilangnya plasma ke jaringan.
3. Menurunkan migrasi sel darah putih ke daerah
inflamasi, melalui mekanisme hambatan
pembentukan prostaglandin dan leukotrien.
O Efek samping
1. Efek terhadap epidermis (penipisan epidermis
akibat penurunan aktivitas proliferasi epidermis.
Hambatan melanosit sehingga terjadi
hipopigmentasi).
2. Efek terhadap dermis ( penurunan sintesis kolagen
dan pengurangan jaringan ikat sehingga terbentuk
striae, memudahkan perdarahan kapiler di kulit
berupa purpura dan ekimosis.
3. Efek vaskular (vasodilatasi diikuti efek rebound
inflamasi, edema dan pruritus)
Secara klinis
1. Atrofi
2. Dermatitis perioral
3. Rosasea
4. Dermatitis kontak alergi
5. Infeksi
6. Gangguan penyembuhan luka
7. Hipertrikosis
8. Takfilaksis
O Kortikosteroid sistemik yang paling banyak
digunakan adalah prednison karena telah lama
digunakan.
O Mekanisme kerja
O Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi
kecepatan sintesis protein. Molekul hormon
memasuki jaringan melalui memberan plasma
secara difusi pasif di jaringan target, kemudian
bereaksi dengan reseptor steroid  mengalami
perubahan bentuk  menuju nukleus dan berikatan
dengan kromatin  menstimulasi transkripsi RNA
dan sinteis protein spesifik.
O Pada jaringan (hepar), hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik. Pada
jaringan lain (sel limfoid dan fibroblas) hormon
steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya
menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid 
menimbulkan efek katabolik.

Anda mungkin juga menyukai