Reaksi Hipersensitivitas
I.1. Definisi
Peningkatan reaktivitas/sensitivitas thd Ag yang pernah dikenal
1
II. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi: Cepat/anafilaksis/alergi
2
Sel Mast & Mediator pada Reaksi Tipe I
1) Histamine
Komponen utama granul sel mast, 10% berat granul
Mediator primer yg dilepas, akan diikat o/ reseptornya (H1-4)
- H1 : permeabilitas vascular ↑,vasodilatasi,kontraksi otot polos
- H2: sekresi mukosa gaster, aritmia jantung
- H3:CNS (regulator?)
- H4: eosinofil (?)
Puncak reaksi : 10-15 menit
[cAMP]↑ = CEGAH GRANULASI
[cGMP]↑= memacu degranulasi
Degranulasi sel mast:
- Tidak timbulkan lisis sel
- Krn: anafilatoksin,C3a,C5a
Fase aktivasi:
++¿ ¿
- Perubahan dlm membrane sel mast krn metilasi fosfolipid→influx Ca timbulkan
aktivase fosfolipase
- Glikolisis, pengaktifan enzim, pergerakan granul ke perm.sel
2) PG & LT
Asal: hasil metabolism asam arakidonat (pengaruh fosfolipase A2) & sitokin pada fase
lambat rx tipe I
Mediator sekunder
Efek biologis timbul lbh lambat, TAPI lbh menonjol & berlangsung lbh lama dibandingkan
dengan Histamin
LT: u/ brokokonstriksi, permeabilitas vascular &produksi mucus ↑
Prostaglandin E: bronkokonstriksi
3) Sitokin
Dilepas: sel mast & basofil
E.g., IL 3-6,10,13,TNF-α,GM-CSF
Ubah lingkungan mikro,kerahkan sel inflamasi (neutrofil,eosinofil)
IL-4 & IL-13 : produksi IgE o/ sel B ↑
IL-5: aktivasi eosinofil
Manifestasi
1) Reaksi Lokal
Pada jaringan/organ spesifik, melibatkan permukaan epitel
Atopi: kecenderungan u/ menunjukkan rx tipe 1 dan diturunkan
Sensitasi dpt tjd secara pasif JIKA serum/darah org yg alergi dimasukkan ke dlm sirkulasi
org normal.
Rx alergi: kulit,matamhidung,sal.napas
2) Reaksi sistemik-anafilaksis
Dapat fatal,dalam beberapa menit
3
Dipacu o/: makanan, obat/sengatan serangga,latihan jasmani.
2/3 pasien: pemicu nya tak teridentifikasi
3) Reaksi pseudoalergi/anafilaktoid
Libatkan pelepasan mediator o/ sel mast yg tdk mll IgE
Mekanisme jalur efektor nonimun
Tdk perlu pajanan terdahulu u/ timbulkan sensitasi
Timbul o/ antimikroba,penisilin,pelemas otot
4
III. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi sitotoksik/sitolitik
Terjadi karena: dibentuk Ab jenis IgG/IgM thd Ag yg merupakan bag.sel pejamu
Sitolotik: karena lisis, BUKAN EFEK TOKSIS
Erat dgn proses penanggulangan munculnya sel klon baru,yg dapat ditemukan pd Sel
tumor,terinfeksi virus,dan terinduksi mutagen.
Sel target: krn factor lingkungan→kecacatan DNA→DNA Repair/Musnahkan mll mekanisme
imunologik—WHY? Jika tdk, →penyakit.
Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan
komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi
melekat pada permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1
komplemen. Konsekuensinya adalah:
a) Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan
menarik makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan
basofil untuk memproduksi molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain.
Fagositosis terjadi dengan cara merusak patogen dalam fagolisosom oleh kombinasi
metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika target terlalu besar maka lisosom
dieksositosis.
b) Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada
membran sel sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor (makrofag,
neutrofil) yang membawa reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b berikatan dengan sel
target membentuk ikatan kovalen setelah putusnya ikatan tiolester internal oleh C3
konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan enzim serum, C3d berikatan dengan sel
target secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi sebagai struktur pengenalan untuk sel
yang memiliki reseptor komplemen. Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel yang
memiliki reseptor Fc (makrofag, eosinofil, neutrofil, sel K)
c) Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan Membrane
Attack Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.
Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan pada kompleks
antibodi melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen komplemen yang melekat
pada permukaan sel tersebut. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc merangsang fagosit
untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan prostaglandin yang merupakan molekul-
molekul yang berperan pada respon inflamasi. Sel-sel efektor yang telah terikat kuat pada
membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti yang terlihat
pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat ketidaksesuaian faktor
resus (Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan
pada penolakan jaringan transplantasi hiperakut akibat interaksi dengan antibodi yang telah
ada sebelunya pada resipien. Reaksi terhadap trombosit dapat menyebabkan
trombositopenia sedangkan reaksi terhadap neutrofil dan limfosit dihubungkan dengan
lupus eritematosus sistemik (SLE).
5
IV. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
1) Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah
Asal Ag: infeksi kuman pathogen persisten (malaria),spora jamur,peny.auto imun
Infeksi: dpt dgn Ag dlm Σ↑↑,tp TANPA respons Ab efektif; makrofag yg diaktifkan trs
menerus lepas bhn yg dapat rusak jaringan
Kompleks imun,tda Ag dalam sirkulasi & IgM/IgG3(dpt jg IgA) diendapkan di membrane
basal vascular&memb.basal ginjal→rx inflamasi local&luas
Bhn toksik neutrofil→jaringan rusak
Komplek yg tjd→aktivasi makrofag,sel mast; agregasi trombosit,etc.
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung
pada jumlah absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan
relatif antara kadar antigen dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau
bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih tinggi dari antibody.
Kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya
adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel – sel PMN, agregasi trombosit dan
vasodilatasi yang kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini disebut Reaksi
Arthus.
6
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung
Kelas imunoglobulin
Pembersihan (clearance) kompleks imun juga dipengaruhi oleh kelas
immunoglobulin yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada
eritrosit dan dikeluarkan secara perlahan–lahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian
halnya dengan IgA yang tidak mudah melekat pada eritrosit dan dapat disingkirkan
cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam berbagai jaringan
misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.
Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah
berfungsinya aktivasi komplemen melalui jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui
jalur klasik dapat mencegah penegendapan kompleks imun karena C3b yang
terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks yang besar. Kompleks yang
terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu dibawa ke
hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu,
misalnya pada defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan membentuk
kompleks yang berukuran besar dan memungkinkan ia terperangkap diberbagai
jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun yang paling merusak
apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan
7
Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas
vaskular. Peningkatan permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya oleh peningkatan pelepasan vasoactive amine. Semua hal yang
berkaitan dengan penglepasan substansi ini harus dipertimbangkan, misalnya
komplemen, mastosit, basofil, dan trombosit yang dapat memberikan kontribusinya
pada peningkatan permeabilitas vascular.
Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan
tekanan darah tinggi dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap dalam
glomerulus dimana tekanan darah meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding
percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi, seperti pada pleksus
choroids dimana tempat turbelensi.
8
− Ginjal
− Pembuluh kutan pada wajah menimbulkan topeng merah serigala (Canis lupus)
− Perikardium, pleura menimbulkan nyeri dada
Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan
antitoksin
9
V. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Peran: CD4+ & CD8+
Sel T lepas sitokin; produksi mediator sitokin→respons inflamasi pd penyakit kulit
hipersensitivitas lambat.
DTH Tipe IV
- Hipersensitivitas granulomatosis
- Fase sensitasi : 1-2 minggu setelah kontak primer dgn antigen
- Fase efektor: sel Th1 lepas sitokin yg aktifkan makrofag&sel inflamasi nonspesifik; gejala:
24 jam setelah kontak sekunder dengan antigen
Reaksi Tuberkulin
Hipersensitivitas lambat terhadap antigen mikroorganisme terjadi pada banyak
penyakit infeksi dan telah digunakan sebagai alat bantu diagnosis. Seperti yang terjadi pada
reaksi tuberculin. Reaksi ini terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Kemudian
setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah
sehingga menyebabkan hubungan serat-serat kolagen kulit rusak
Reaksi Granuloma
Reaksi yang menyusul respon akut dimana terjadi influks monasit,neutrofil dan
limfosit ke jaringan. Bila keadaan terkontrol neutrofil dikerahkan lagi dan berdegenerasi.
Selanjutnya dikerahkan sel mononuclear yaitu sel monosit, sel makrofag , sel limfosit dan
sel plasma yang menyebabkan gambaran patologik dari inflamasi kronik, monosit dan
makrofag yang berperan:
- Menelan dan mecerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
- Modulasi respons imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin
- Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel yang berperan dalam informasi melalui
sekresi sitokin.
10
VI. Peranan Anti Histamin dan Kortikosteroid
6.1 Farmakokinetik
Antagonis Reseptor H1 (AH1)
Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara baik. Efeknya timbul
15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1 setelah pemberian dosis tunggal kira-
kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir 8-12 jam, Difenhidramin yang diberikan secara oral
akan mencapai kadar maksimal dalam darah setelah kira-kira 2jam berikutnya. Kadar
tertinggi terdapat pada paru-paru. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi
dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah 24jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya.
Famotidin
Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah
penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%,
Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25%
dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa
paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.
Nizatidin
Biovailabilitas oral nizatidin >90% , tidak dipengaruhi oleh makanan atau
antikolinergik. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dalam 1 jam.
Waktu paruh plasma sekitar 1 setengah jam. Lama kerja sampai dengan 10 jam>
disekresi melalui ginjal; 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16
jam.
Kortikosteroid
11
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol
memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme perantara, fungsi
kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara
ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang
ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada
orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada
plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90%
berikatan dengan globulin-α2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel
target.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh
dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam
jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1%
kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol
diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid
sebelum mencapai hati.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan
lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.
Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk
aktifnya dalam tubuh.
6.2 Farmakodinamik
Antagonis Reseptor H1 (AH1)
1. Antagonisme terhadap histamine
2. Menghambat bronkokonstriksi
3. Menurunkan permeabilitas kapiler
4. Mengatasi reaksi anafilaksis dan alergi
5. Tidak dapat menghambat sekresi asam lambung, namun dapat mengahmabat sekresi
saliva dan kelenjar eksokrin lain akibat histamine
6. AH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek Perangsangan yang kadang-
kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisa, dan eksitasi. Efek
perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umunya
menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalnya kantuk, berkurangnya
kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat
Famotidin
1. Menghambat sekresi asam lambung
2. 3 kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
Nizatidin
12
Potensi untuk menghambat sekresi asam lambung kurang kebih sama dengan
ranitidin.
Kortikosteroid
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus sel
membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock
protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon
reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon
glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau
menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor
dihambat dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor
pada DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi
oleh protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan
ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang
terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai
oleh mekanisme nontranskripsi.
6.3 Indikasi
Antagonis Reseptor H1 (AH1):
1. Penyakit Alergi
2. Mabuk perjalanan dan keadaan lain
Famotidin
1. Mengatasi tukak duodenum dan tukak lambung
2. Profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis, pencegahan tukak stress
Nizatidin
Sama dengan AH2 lainnya.
Kortikosteroid
1. Dermatosis alergi atau yang dianggap mempunyai dasar alergi (kecuali pada
herpes zoster)
2. Penyakit kulit berat yang dapat menyebakan kematian (dermatitis, kelainan kulit
karena alergi obat secara sistemik (allergic drug eruption), eritroderma, reaksi
13
lepra, lupus eritema-tosa, pemfigoid bulosa(bullous pemphigoid),pemfigus
danherpes zoster)
6.4 Kontraindikasi
Antagonis Reseptor H1 (AH1):
1. Hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara structural
2. Bayi baru lahir atau premature
3. Ibu menyusui
4. Narrow-angle glaucoma
5. Stenosing peptic ulcer
6. Hipertropi prostat simptomatik
7. Bladder neck obstruction
8. Penyumbatan pylorodudenal
9. Gejala saluran napas atas (termasuk asma)
10. Pasien tua
11. Pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI)
Kortikosteroid
1. Pasien tukak lambung
2. Nefritis
3. Diabetes
4. Hipertensi
5. Gagal jantung kongestif
6. Tuberkolosis
Famotidin
14
Nyeri kepala, diare dan konstipasi
Nizatidin
Efek samping ringan saluran cerna
Kortikosteroid
Dapat timbul karena pemberian terus menerus dengan dosis yang berlebihan,
penghentian pemakaian secara tiba-tiba. Efek samping yang ditimbulkan: Insufisiensi
adrenal akut/krisis adrenal, Habitus Cushing, hiperglikemia dan glikosuria,
osteoporosis dll
6.6 Dosis
Antagonis Reseptor H1 (AH1)
15
aktivitas anti motion
sickness
Alkylamine / + – ++
Bropheniramine 4-8 4-6 + Sedasi ringan
(dimetane,dll)
Chlorpheniramine 4-8 4-6 +++ Sedasi ringan;
(chlortrimeton,dll) tersedia dalam
komponen
perawatan flu
Derivat phenothiazine / +++
Promethazine 10-25 4-6 +++ Sedasi lanjut;
(phenergen,dll) antiemetik
Lain-lain
Cyproheptadine 4 + Sedasi menengah;
(periactin,dll) juga mengandung
aktivitas
antiserotonin
ANTIHISTAMIN GENERASI KEDUA
Piperidine
Fexofenadine (allegra) 60 - Resiko rendah dari
aritmia
Lain-lain
Loratadine (claritin) 10 12 - Aksi yang lebih lanjut
Catirizine (Zyrtec) 5-10 -
(Sjabana Dripa : Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta, 2005, p.
467-487).
Famotidin
Oral pada tukak duodenum/lambung: 40 mg 1 x sehari. Pada tukak peptic tanpa
komplikasi: dosis awal 20 mg sebelum tidur. Pada Zollinger-Ellison: dosis
diindividualisasi, dosis awal per oral dianjurkan 20 mg/6 jam.
Intravena pada hipersekresi asam lambung/pasien yang tidak dapat diberikan
peroral: 20 mg/12 jam.
Nizatidin
Oral dewasa: tukak duodenum aktif: 300 mg 1 x sehari pada saat akan tidur atau 150
mg 2 x sehari. Pada tukak peptik tanpa komplikasi: dosis awal dikurangi 50%.
16
Kortikosteroid
17
VII. Batasan Hukum Islam untuk Menentukan Alternatif Terbaik dari 2 Pilihan Sulit
18