Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan yang
disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari. ISPA merupakan
penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah.
ISPA dapat menimbulkan gejala ringan (batuk, pilek), gejala sedang (sesak, mengi) bahkan
sampai gejala berat (sianosis, pernapasan cuping hidung).

Pada umumnya anak-anak lebih sering mengalami ISPA baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Kejadian ISPA lebih sering terjadi di negara yang sedang
berkembang. Insidensi kejadian ISPA bila dikelompokkan menurut kelompok umur balita
diperkirakan sebesar 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per
anak/tahun di negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta

Episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara
berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta), dan Pakistan
(10\juta). Di Bangladesh, Indonesia dan Nigeria masing-masing sekitar 6 juta episode.

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan utama di
Indonesia. Prevalensi ISPA di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 25,0%, tidak jauh berbeda
dengan prevalensi pada tahun 2007 sebesar 25,5%. Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25,8%, diikuti kelompok umur kurang dari 1 tahun sebesar
22,0%. ISPA mengakibatkan sekitar 20-30% kematian pada balita.

Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif mempunyai peranan penting untuk
menunjang pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan pemenuhan nutrisi pada bayi. ASI
eksklusif diberikan kepada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan tanpa diberikan makanan
tambahan apapun. Setelah itu, baru kemudian bayi harus diberi makanan pendamping yang
bergizi dan tetap menyusu sampai bayi berusia dua tahun atau lebih.

Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif, baik bagi ibu maupun bayinya.
Bagi ibu, memberikan ASI tidak hanya bermanfaat untuk menjalin kasih sayang , tetapi juga
dapat mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mempercepat pemuihan kesehatan ibu,
menunda kehamilan, hingga mengurangi risiko terkena kanker payudara. ASI sendiri
mengandung banyak faktor kekebalan yang bermanfaat terhadap pencegahan dari berbagai
macam penyakit.

1.2 Rumusan Rumusan Masalah Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut, terdapat rumusan masalah yaitu

apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif terhadap

kejadian ISPA pada bayi.


1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian

ISPA pada bayi di Puskesmas Kuala Batee.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Kuala Batee
pada bualan januari sampai maret tahun 2019.
b. Mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif pada bayi di Puskesmas
Kuala Batee pada bualan januari sampai maret tahun 2019.
c. Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi di
Puskesmas Kuala Batee pada bualan januari sampai maret tahun 2019.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat bagi Penulis Manfaat bagi Penulis

Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis lebih mendalam


tentang hubungan faktor risiko ISPA terhadap kejadian ISPA pada pemberian ASI eksklusif.

1.4.2 Manfaat Manfaat bagi bagi Puskesmas Puskesmas

Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi
perumusan program baru di Puskesmas Kuala Bate yang bisa meningkatkan angka frekuensi
pemberian ASI eksklusif pada bayi, sehingga dapat menurunkan angka kejadian ISPA.

1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat Manfaat bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya bagi ibu-ibu tentang ISPA dan manfaat
pemberian ASI eksklusif pada bayi, dan menambah pengetahuan masyarakat tentang
hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

2.1. Definisi

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan suatu penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai alveoli
termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura yang
berlangsung selama 14 hari.

Menurut WHO, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran
pernapasan atas atau bawah, , yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit mulai
dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan,
tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu.

2.2 Epidemiologi

ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia, baik di negara maju
maupun di negara berkembang. ISPA banyak terjadi di negara berkembang dan sering
menyerang anak-anak terutama bayi dan balita. Di Bangladesh, ISPA merupakan penyakit
infeksi yang menyebabkan kematian sebesar dua per tiga dari total kematian anak berusia di
bawah satu tahun. Insidens kejadian ISPA menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29
episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara
maju. Di Indonesia, angka kejadian ISPA pada tahun 2013 sebesar 25,0%. Lima provinsi
dengan prevalensi ISPA tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh
(30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%). ISPA paling banyak
diderita oleh kelompok usia 1- 4 tahun (25,8%). Tidak ada perbedaan angka kejadian ISPA
pada laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok
penduduk dengan ekonomi menengah ke bawah.

2.3 Etiologi

ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Etiologi ISPA
meliputi lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA terbanyak
dari genus Stretococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus, Bordetella dan
Corinebacterium Virus penyebab ISPA antara lain dari golongan Myxovirus, Adenovirus,
Coronavirus,Picornavirus dan lain-lain. Kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus.
2.4. Klasifikasi

Berasarkan lokasi anatomi terkena infeksi, ISPA dibagi menjadi:

a. ISPA bagian atas


Yang termasuk ISPA bagian atas adalah nasofaringitis atau Commoncold, faringitis
akut, rhinitis akut, dan sinusitis akut.
b. ISPA bagian bawah
1. Berdasarkan kelompok umur, ISPA diklasifikasikan lagi menjadi: 1. Kelompok
umur 2 bulan – di bawah 5 tahun
- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar bernapas
disertai adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chestindrawing)
- Pneumonia, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar bernapas disertasi
napas cepat sesuai golongan umur, yaitu bila umur 2 bulan hingga <1 tahun
sebanyak 50 kali atau lebih/menit; dan bila umur 1 hingga <5 tahun 40 kali
atau lebih/menit.
- Bukan pneumonia, apabila hanya terdapat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas.

2. Kelompok umur kurang dari 2 bulan


- Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar bernapas
disertai napas cepat >60 kali per menit, atau adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam (chestindrawing).
- Bukan pneumonia, apabila hanya teradpat gejala batuk dan/atau sukar
bernapas.

2.5.Faktor Risiko

1. Mikroorganisme penyebab

Penyebab tersering ISPA adalah virus, karena sifatnya yang mudah menular sehingga
angka kejadian ISPA di masyarakat menjadi tinggi. Tetapi, ISPA yang disebabkan virus tidak
memerlukan tatalaksana khusus karena bersifat self-limiting.

2. Faktor host (pejamu)


a. Usia
ISPA lebih sering terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Anak berusia kurang
dari 2 tahun mempunyai risiko terkena ISPA lebih besra daripada anak yang lebih tua
karena pada usia kurang dari 2 tahun anak tersebut belum memiliki imunitas yang
sempurna dan lumen saluran napas yang relatif sempit.
b. Jenis kelamin
Suatu studi menyebutkan laki-laki lebih banyak mengalami ISPA daripada
perempuan.18 Tetapi dalam Riskesdas disebutkan tidak terdapat perbedaan angka
kejadian ISPA pada laki-laki maupun perempuan.Terdapat sedikit perbedaan anatomi
saluran napas antara anak laki-laki maupun perempuan, namun hal ini tidak
mempengaruhi kejadian ISPA.

c. Berat lahir
ISPA cenderung terjadi pada balita dengan riwayat berat badan lahir rendah
(BBLR) dibandingkan dengan balita tanpa riwayat BBLR.22 Bayi BBLR memiliki
sistem pertahanan tubuh yang belum sempurna yang mengakibatkan bayi BBLR
memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Selain itu, bayi BBLR juga memiliki pusat
pengaturan pernapasan yang belum sempurna, surfaktan paru yang masih kurang
jumlahnya, otot-otot pernapasan dan tulang iga yang masih lemah. Bayi BBLR juga
mudah mengalami infeksi paru dan gagal napas.

d. Status gizi
Status gizi menggambarkan baik atau buruknya konsumsi zat gizi seseorang.
Zat gizi diperlukan untuk pembentukan sistem kekebalan tubuh seperti antibodi.
Semakin baik status gizi seseorang, maka semakin baik sistem kekebalan tubuhnya.
Infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan virus sangat dipengaruhi oleh sistem
kekebalan tubuh. Bila sistem kekebalan tubuh baik, maka seseorang akan kebal
terhadap serangan virus. Selain itu, kesembuhan dari penyakit akibat serangan virus
juga akan lebih cepat. Anak dengan malnutrisi juga lebih sering mengalami ISPA
dibandingkan dengan anak dengan gizi yang baik.

e. Status Imunisasi
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap cenderung lebih
sering mengalami ISPA. Kebanyakan kasus ISPA pada anak terjadi akibat komplikasi
dari campak yang merupakan faktor risiko yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Namun, kemampuan tubuh untuk menangkal suatu penyit masih dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang lain seperti faktor genetik dan kualitas vaksin.

f. Pendidikan
Kurangnya pengetahuan di masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangan
ISPA dan bagaimana pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA
menyebabkan masih banyak kasus ISPA yang dapat ke sarana pelayanan kesehatan
sudah dalam keadaan berat.

g. Pemberian ASI eksklusif


Pemberian ASI secara eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan merupakan
langkah yang efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan gizi dan memberikan
perlindungan bagi bayi dari serangan infeksi khususnya ISPA. ASI mengandung
banyak faktor kekebalan dan bermanfaat terhadap pencegahan ISPA terutama sejak
pemberian ASI di awal kehidupan bayi hingga bayi berusia 6 bulan, salah satunya
adalah imunoglobulin. Imunoglobulin yang banyak ditemukan pada saluran cerna dan
saluran napas adalah imunoglobulin A (IgA). Selama minggu pertama kehidupan (4-6
hari) payudara ibu akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang banyak
mengandung zat-zat kekebalan tubuh (imunoglobulin, komplemen, lisozim,
laktoferin, dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari
serangan infeksi.

Bayi yang diberi ASI eksklusif cenderung tidak pernah mengalami ISPA
sedangkan bayi yang mendapatkan ASI non-eksklusif cenderung lebih sering
mengalami ISPA.21 Risiko anak yang diberi ASI tidak secara eksklusif lebih besar
dibandingkan dengan anak yang diberi ASI secara eksklusif. Kematian akibat
penyakit saluran pernapasan 2-6 kali lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula
dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI.

3. Faktor lingkungan

Keadaan fisik sekita rmanusia berpengaruh terhadap kesehatan manusia, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Ada beberapa faktor dari lingkungan yang berpengaruh
terhadap kesehatan, meliputi udara, kelembapan, air, dan pencemaran udara. ISPA termasuk
air – bornedisease yang merupakan penyakit yang penularannya melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan. Karena itu, secara
epidemiologi, udara mempunyai peranan yang besar pada transmisi penyakit infeksi saluran
pernapasan. Selain itu, faktor dari lingkungan yang meningkatkan risiko terjadinya kejadian
ISPA adalah asap yang dihasilkan pabrik, asap kendaraan bermotor, asap dari perokok, asap
dari bahan bakar yang digunakan untuk memasak, kurangnya ventilasi di rumah, suhu
ruangan rumah di bawah 18°C atau di atas 30°C, kepadatan hunian rumah, penggunaan
antinyamuk, dan partikel debu di sekitar tempat tinggal.

2.6. Manifestasi Klinis

Gejala ISPA dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Gejala ISPA Ringan


Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu
atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Batuk
b. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara seperti pada
waktu berbicara atau menangis
c. Pilek, yaiut mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d. Demam, dengan suhu badan lebih dari 37°C
2. Gejala ISPA Sedang
Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika ditemukan gejala
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Pernapasan cepat sesuai umur yaitu pada kelompok umur <2 bulan dengan
frekuensi napas 60 kali per menit atau lebih, pada kelompok umur 2 - <12 bulan
dengan frekuensi napas 50 kali per menit atau lebih, dan pada kelompok umur 12
bulan - <5 tahun dengan frekuensi napas 40 kali per menit atau lebih.
b. Suhu badan lebih dari 39°C
c. Tenggorokan berwarna merah
d. Telinga sakit atau mengeluarkan cairan dari lubang telinga
e. Pernapasan berbunyi seperti mengorok / mendengkur

3. Gejala ISPA Berat


Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA berat jika ditemukan gejala ISPA
ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:
a. Bibir atau kulit membiru
b. Kesadaran anak menurun
c. Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah
d. Sela iga tertarik ke dalam saat bernapas
e. Nadi lebih cepat dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f. Pernapasan cuping hidung

2.7. Diagnosis

Diagnosis etiologi ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegkkan karena pengambilan
dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan imunologi pun belum bisa memberikan hasil
yang memuaskan untuk menentukan penyebab ISPA. Pemeriksaan darah dan pembiakan
spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa dilakukan untuk diagnosis penyebab ISPA. Cara ini
cukup efektif untuk menentukan etiologi ISPA. Namun cara ini dianggap prosedur yang
berbahaya dan bertentangan dengan etika. Dengan pertimbangan ini, diagnosis etiologi
penyebab ISPA di Indonesia didasarkan pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO)
bahwa Streptococcus, Pneumoniae dan Haemophylusinfluenza merupakan bakteri yang selalu
ditemukan pada penelitian etiologi di negara berkembang, sedangkan di negara maju
seringkali disebabkan oleh virus. Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul
pada bayi/balita seperti yang telah dijelaskan pada uraian manifestasi klinis di atas.

2.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ISPA dikembangkan melalui suatu Manajemen Terpadu Balita Sakit


(MTBS). Melalui MTBS ini msemua penderita ISPA langsung ditangani di unit yang
menemukan. Namun, bila kondisi bayi/balita sudah berada dalam pneumonia berat,
sedangkan peralatan tidak mencukupi maka penderita langsung dirujuk ke unit dengan
fasilitas yang lebih lengkap. Pengobatan ISPA dilaksanakan. Berdasarkan klasifikasi ISPA
sebagaimana diuraikan secara ringkas pada bagan berikut
Antibiotika yang dapat digunakan adalah kotrimoksazol atau amoksisilin selama
3hari, dan dapat juga diberikan penurun panas seperti parasetamol. Setelah mendapat
antibiotika, penderita ditindaklanjuti pada kunjungan ulang setiap dua hari difasilitas
pelayanan kesehatan. Bila pasien menderita pneumonia berat, pasien harus segera dirujuk ke
fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

2.9.Pencegahan

1. Penyuluhan,
dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana melalui kegiatan ini diharapkan dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan
faktor risiko ISPA. Penyuluhan dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan
ASI eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak,
penyuluhan kesehatan lingkungan rumah, atau penyuluhan bahaya rokok.
2. Imunisasi lengkap
3. Usaha di bidang gizi dengan tujuan mengurangi malnutrisi.
4. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi BBLR.
5. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah polusi
di dalam maupun di luar rumah.

B. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif

ASI eksklusif merupakan pemberian ASI pada 6 bulan pertama kelahiran tanpa
disertai pemberian makanan atau minuman apapun.Setelah bayi berusia 6 bulan, barulah bayi
mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping atau makanan padat secara benar dan
tepat, sedangkan ASI tetap diberikan kepada bayi sampai berusia 2 tahun atau bahkan lebih
dari 2 tahun.

Bayi sehat umumnya tidak memerlukan makanan tambahan apapun sampai berusia 6
bulan kecuali terdapat keadaan-keadaan khusus yang membuat bayi perlu diberi makanan
tambahan sebelum berusia 6 bulan. Misalnya terjadi peningkatan berat badan bayi yang tidak
sesuai standar atau terdapat tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI
eksklusif tidak berjalan dengan baik. Namun, sebelum diberikan makanan tambahan, ibu
sebaiknya memperbaiki terlebih dahulu.

Cara pemberian ASI kepada bayi. Apabila setelah 1-2 minggu usaha tersebut telah
dilakukan tetapi belum terjadi peningkatan berat badan, barulah ibu dapat memikirkan untuk
memberikan makanan tambahan bagi bayi berusia di atas 4 bulan namun belum mencapai 6
bulan.

ASI merupakan suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam
organik yang disekresikan oleh kelenjar mammae. Berdasarkan stadium laktasinya,
komposisi ASI dapat dibagi sebagai berikut:
a. Kolostrum
Kolostrum merupakan cairan yang pertama kali disekresi oleh kelenjar
mammae, mengandung tissuedebris dan residual material yang terdapat dalam alveoli
dan duktus dari kelenjar mammae. Kolostrum mulai disekresikan dari hari ke-1
sampai hari ke-4 setelah melahirkan. Kolostrum bersifat viscous dengan warna
kekuning-kuningan, lebih kuning daripada ASI matur. Kolostrum juga merupakan
pencahar yang ideal untuk membersihkan mekonium dari usus bayi yang baru lahir
dan mempersiapkan saluran pencernaan bayi terhadap makanan yang akan datang.

Kolostrum mengandung lebih banyak protein serta antibodi (untuk


memberikan perlindungan pada bayi sampai umur 6 bulan) daripada ASI matur, kadar
karbohidrat dan lemak yang lebih rendah daripada ASI matur. Mineral, terutama
natrium, kalium dan klorida lebih tinggi daripada ASI matur. Total energi yang lebih
rendah daripada ASI matur, yaitu hanya 58 Kal / 100 mL. Vitamin yang larut dalam
lemak lebih tinggi dan vitamin yang larut dalam air lebih rendah daripada ASI matur.
ASI yang mengandung kolostrum akan menggumpal jika dipanaskan serta pH lebih
alkalis daripada ASI matur. Kolostrum mengandung tripsininhibitor, sehingga
hidrolisis protein dalam usus bayi menjadi kurang sempurna agar kadar antibodi lebih
banyak pada bayi.Volumenya berkisar 150-300 mL / 24 jam.

b. ASI masa peralihan

ASI ini merupakan peralihan dari kolostrum sampai menjadi ASI matur yang
disekresikan dari hari ke-4 sampai hari ke-10 pada masa laktasi. Kadar protein makin
rendah sedangkan kadar karbohidrat dan lemak makin tinggi. Volume ASI pada masa
peralihan semakin meningkat.

c. ASI matur
ASI matur merupakan ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan seterusnya.
Komposisinya relatif konstan. Ibu yang sehat dengan produksi ASI cukup dapat
memberikan ASI sebagai satu-satunya makanan yang paling baik dan cukup untuk
bayi sampai usia 6 bulan. ASI matur berwarna putih kekuning kuningan karena
mengandung garam Cacaseinat, Ribloflavin, dan Karoten ASI matur tidak
menggumpal jika dipanaskan dan mengandung antimikrobial lain, seperti:
- Antibodi terhadap bakteri dan virus
- Sel (fagosit, granulosit, makrofag, dan limfosit T)
- Enzim (lisozim, laktoperoksidase, lipase, katalase, fosfatase, amilase,
fosfodiesterase, alkalinfosfatase)
- Protein (laktoferin, B12 binding protein )
- Resistancefactor terhadap stafilokokus
- Komplemen interferronproducingcell
- Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya faktor bifidus.
d. Hormon-hormon
Laktoferin merupakan suatu ironbindingprotein yang bersifat bakteriostatik
kuat terhadap Escherichiacoli serta Candida albican, Lactobacillusbifidus, merupakan
koloni kuman yang memetabolisir laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan
rendahnya pH sehingga pertumbuhan kuman patogen akan terhambat. Imunoglobulin
memberikan mekanisme pertahanan yang efektif terhadap bakteri dan virus (terutama
IgA) dan bila bergabung dengan komplemen dan lisozim merupakan suatu
antibakterial yang langsung terhadap Escherichiacoli. Faktor lisozim dan komplemen
ini adalah suatu antibakterial nonspesifik yang mengatur pertumbuhan flora di usus.
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1. Desain penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik untuk mengetahui hubungan


pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi. Desain penelitian yang
digunakan adalah studi crossectional.

3.2. Tempat dan waktu penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Puskesmas Kuala Bate.Waktu penelitian adalah dari


bulan januari 2019 sampai Maret 2019 .

3.3. Subject

o Populasi Target :
seluruh bayi yang dibawa oleh ibunya yang datang berobat ke Puskesmas

o Populasi Terjangkau :
seluruh bayi yang dibawa oleh ibunya yang datang berobat ke Puskesmas

o Sampel :
populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi.

3.4. Kriteria inklusi dan ekslusi

o Kriteria inklusi :
- Bayi berusia 0-12 bulan datang ke Puskesmas Kuala Batee baik yang didiagnosis
ISPA
- Ibu yang membawa bayi tersebut bersedia menjadi responden.

o Kriteria eksklusi :
- Ibu tidak mengisi kuosioner secara lengkap
- Bayi yang bukan dibawa oleh ibunya

3.5. Sampel

Sampel dilakukan dengan metode non-probability sampling jenis consecutive


sampling Semua subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan
dimasukkan sebagai sampel penelitian sampai subjek yang diperlukan terpenuhi.
3.6. Instrumen

Mini project ini menggunakan instrumen berupa kuesioner. Kuesioner Mini project
ini memberikan data yang mencakup identitas seperti nama, usia, jenis kelamin, tempat
tinggal, tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua,riwayat persalinan. Pengambilan
data kuesioner dilakukan dengan melakukan wawancara langsung pada orangtua.

3.7. Cara pengambilan data

Gambar 1.Alur Penelitian

3.8. Cara Pengambilan data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh
secara langsung dari subjek penelitian dengan cara wawancara. Instrumen yang digunakan
untuk pengambilan data adalah dengan pembagian.
3.9. Pengelolaan dan Teknik analisa data

- Verifikasi Data
Kelengkapan dan kesesuaian data yang didapat dari kuesioner diperiksa
setelah selesai dikumpulkan.
- Entry Data
Data yang telah diverifikasi akan diklasifikasikan berdasarkan jenis data
(ordinal atau nominal).
- Analisis Data
Data yang telah melalui tahap verifikasi dan entry dianalisis secara deskriptif.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Deskripsi Karakteristik Sampel

Jenis Kelamin

Karakteristik Frekuensi Persentase


Laki – laki 27 29,7%
Perempuan 64 70,3%
Total 91 100%

Usia

0-6 Bulan 24 26,3%


7-12 Bulan 37 40,7%
13-24 Bulan 30 33%
Total 91 100%

Angka kejadian ispa dengan ASI ekslusif

Ya 18 17,8%
Tidak 73 80,2%
Total 91 100%

Riwayat batuk > 2 minggu dalam keluarga

Ya 5 5,5%
Tidak 86 94,5%
Total 91 100%

Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 91
orang. Kebanyakan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 64 orang (70,3%), dan
kebanyakan responden berusia 7-12 bulan sebanyak 37 orang (40,7%). Sebagian besar
responden tidak diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 73 orang (80,2%), sedangkan yang
diberikan ASI eksklusif berjumlah 18 orang (17,8%).

4.2 Pembahasan

Jumlah responden pada penelitian ini ada 91 orang.Yang terdiri dari laki-laki 27 orang
(29,7%) dan perempuan 64 orang (70,3%). Berdasarkan usia 0-6 Bulan berjumlah 24 orang
(26,3%), 7-12 bulan 37 orang (40,7%) dan usia 13-24 bulan 30 orang (33,%). Yang
memberikan asi ekslusif sebanyak 18 orang (17,8%), Mayoritas responden tidak diberikan
ASI eksklusif, yaitu sebanyak 73 bayi (80,2%) tersebut menderita ISPA. Berdasarkan angka
kejadian yang memiliki riwayat keluarga yang menderita batuk > dari 2 minggu sebanyak 5
orang (5,5%), sedangkan yang tidak memiliki riwayat keluarga sebanyak 86 orang (94,5%).

Dengan demikian, pemberian ASI eksklusif pada bayi lebih rendah dibandingkan
dengan yang tidak diberi ASI eksklusif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi alasan ibu
tidak memberikan ASI eksklusif (diberikan susu formula sebagai pengganti ASI), antara lain
sedikitnya produksi ASI atau ASI tidak ada keluar sama sekali dari payudara ibu, ibu sibuk
bekerja, ibu memiliki kegiatan sosial lain, kurangnya pengetahuan ibu, faktor makanan,
psikologis, dan perawatan payudara oleh ibu.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Penanganan penurunan prevalensi ISPA tentu
tidak hanya dengan upaya kuratif tetapi perlu ditingkatkan upaya promotif dan preventif
termasuk di dalamnya upaya peningkatan pemberian ASI eksklusif kepada bayi sampai usia 6
bulan.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan

Berdasarkan data yang di dapat, dapat di simpulkan angka kejadian penderita ISPA
pada bayidari usia 0-24 bulan, dari bulan januari sampai maret 2019 di puskesmas Kuala
Batee sebanyak 91 orang dari total pasien 334 pasien, jumlah ini termasuk cukup besar.

Menurut epidemiologi dari penyakit ISPA di Indonesia yang diambil pada tahun data
2013 Provinsi Aceh termasuk lima besar daerah yang angka kejadian ISPA tertinggi di
indonesia. Oleh karena itu, diperlukan adanya promosi kesehatan sebagai upaya pengontrolan
dan pencegahan terhadap penyakit ini. Guna meningkat pola hidup sehat dan pengetahuan ibu
tentang manfaat dari pemberian ASI ekslusif pada bayi.

5.2 Saran

Di wilayah sekitar Puskesmas Kuala Batee perlu ditingkatkan promosi kesehatan


untuk meningkat pengetahuan ibu tentang manfaat dan pentingnya ASI ekslusif pada anak,
dan meningkat pola hidup sehat untuk menurunkan angka kejadian ispa di masyarakat
khususnya pada bayi.
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013.\

2. Rustam, Musfardi. Hubungan ASI Ekslusif terhadap Kejadian ISPA pada Bayi usia 6-
12 Bulan .Jakarta: FKM UI,2010.

3. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Lingkungan. Pedoman Pengendalian


Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI, 2012.

4. Fuadi, Mirzal. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Paska Melahirkan terhadap


Pentingnya Pemberian ASI Ekslusif di RSUPH. Adam Malik Medan Tahun
2010.Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.

5. Ariefuddin, Y., Priyantini, S. dan Desanti, O.L. Hubungan Pemberian ASI Ekslusif
terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Bayi 0-12 Bulan. Semarang:
Universitas Islam Sultan Agung, 2010.

Anda mungkin juga menyukai