Disusun Oleh :
Shara Anggita A. 1061711107
Siti Mahmudah 1061711109
Ulfia Oktafiana Putri H. 1061711116
Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi
infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas
meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan
infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis,
bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat
berkembang menyebabkan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas yang
paling banyak terjadi serta perlunya penanganan dengan baik karena dampak
komplikasinya yang membahayakan adalah otitis, sinusitis dan faringitis (Depkes RI,
2007).
Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi saluran
napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih mudah terjadi
pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran infeksi saluran napas
antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang kurang baik terhadap kesehatan
diri maupun publik serta rendahnya gizi. Faktor lingkungan meliputi belum
terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban, pengelolaan sampah, limbah,
pemukiman sehat hingga pencemaran air dan udara. Perilaku masyarakat yang kurang
baik tercermin dari belum terbiasanya cuci tangan, membuang sampah dan meludah di
sembarang tempat. Kesadaran untuk mengisolasi diri dengan cara menutup mulut dan
hidung pada saat bersin ataupun menggunakan masker pada saat mengalami flu supaya
tidak menulari orang lain masih rendah (Depkes RI, 2007).
Salah satu penyakit infeksi saluran napas adalah sinusitis. Sinusitis adalah radang
membran pelapis sinus (rongga berisi udara yang berada di belakang hidung, pipi, dan
dahi). Ini menyebabkan nyeri dan kelembekan sekitar mata dan pipi. Hidung tersumbat
dan berair dan kadang gatal di bagian atas gigi dan rahang, ada rasa tak enak dimulut
dan demam. Sinusitis biasanya terjadi sebagai komplikasi infeksi flu (Peters, 2007).
Sinusitis merupakan penyakit yang sering dijumpai. Infeksi pada sinus dapat diobati
dengan antibiotika. Jika infeksi sinus tidak diobati dengan baik, infeksi dapat menjalar
(Samsuridjal, 2005).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernapasan (Depkes, 2007).
Mikroorganisme penyebab ISPA ditularkan melalui udara. Mikroorganisme yang
ada diudara akan masuk kedalam tubuh melalui saluran pernapasan dan menimbulkan
infeksi dan penyakit ISPA. Selain itu mikroorganisme penyebab ISPA berasal dari
penderita yang kebetulan terinfeksi, baik yang sedang jatuh sakit maupun yang
membawa mikroorganisme di dalam tubuhnya (Hartono dan Rahmawati, 2012).
Infeksi oleh bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola kolonisasi bakteri.
Timbul mekanisme pertahanan pada jalan napas seperti filtrasi udara inspirasi di rongga
hidung, refleksi batuk, refleksi epiglotis, pembersihan mukosilier dan fagositosis.
Karena menurunnya daya tahan tubuh penderita maka bakteri patogen dapat melewati
mekanisme sistem pertahanan tersebut akibatnya terjadi invasi di daerah-daerah saluran
pernafasan atas maupun bawah.
3
kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare
(Muttaqin, 2008).
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise
(lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya),
gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara 17 nafas), dyspnea (kesakitan bernafas),
retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat
berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan
kematian. (Nelson, 2000).
4
4. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)
Malnutrisi dianggap bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita terutama pada
negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena keadaan
malnutrisi menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh anak. Hal tersebut memudahkan
masukya agen penyakit ke dalam tubuh. Malnutrisi menyebabkan resistensi terhadap
infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk. Menurut WHO (2000), telah dibuktikan
bahwa ada hubungan antara malnutrisi dengan episode ISPA.
5. Faktor Pendidikan Ibu
Ibu dengan pendidikan yang baik akan memiliki akses informasi yang lebih luas
sehingga berdampak positif terhadap cara merawat bayi. Kemampuan merawat bayi
oleh seorang ibu ada hubungannya dengan tingkat kemampuan masyarakat. Itulah
sebabnya sehingga Infant Mortality Rate (IMR) suatu negara dijadikan sebagai
parameter terhadap kemajuan negara tersebut (Romelan, 2006).
6. Status Sosioekonomi
Diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah
mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa status ekonomi yang baik akan lebih baik Universitas Sumatera
Utara dalam menurunkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut dibandingkan dengan
ekonomi yang rendah (Yulihanday, 2000).
7. Polusi Udara
Secara umum efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan dapat
menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti
sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan
pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran
pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibat dari hal
tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri
lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan. Hal ini akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran pernafasan (Prabu, 2009). Selain itu adanya pencemaran udara
di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru, sehingga
mempermudah timbulnya gangguan pada saluran pernafasan (Chahaya, 2005).
5
2.6 Klasifikasi ISPA
Menurut Depkes (2004) penyakit ISPA dapat dibagi dua berdasarkan lokasi
anatominya yaitu:
1. ISPA atas (ISPaA)
Contoh : Faringitis, Laringitis, Rhinitis, Otitis media, Sinusitis.
2. ISPA bawah (ISPbA)
Contoh : Bronkitis, Pneumonia.
2.7 Sinusitis
. Sinusitis adalah radang atau infeksi dari satu atau lebih mukosa sinus
paranasal. Sinus itu sendiri adalah rongga udara yang terdapat pada bagian padat dari
tulang tengkorak di sekitar wajah yang terhubung dengan hidung. Fungsi dari rongga
sinus adalah untuk menjaga kelembapan hidung dan menjaga pertukaran udara di
daerah hidung. Bila peradangan ini mengenai beberapa sinus disebut multisinus, sedang
bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu :
1. Sinus Frontal, terletak di atas mata dibagian tengah dari masing-masing alis
2. Sinus Maxillary, terletak diantara tulang pipi, tepat di samping hidung
3. Sinus Ethmoid, terletak di antara mata, tepat dibelakang tulang hidung
4. Sinus Sphenoid, terletak dibelakang sinus ethmoid dan di belakang mata
(Damayanti dan Endang, 2002)
6
Gambar 2. Rongga Sinus Berdasarkan Anatomi
7
2.9 Penyebab Sinusitis
1. Adanya sumbatan dalam hidung oleh karena :
Tulang-tulang yang bengkok, polip hidung, pembesaran selaput lender hidung,
adanya benda asing, tumor dihidung.
2. Adanya infeksi menahun di hidung
a. Alergi
b. Infeksi, organ-organ disekitar hidung seperti infeksi amandel (tonsillitis), infeksi
adenoid, infeksi tenggorok (farimitus) dan infeksi gigi dirahang atas.
c. Faktor lain seperti berenang/menyelam, trauma, polusi udara dapat
mengakibatkan perubahan-perubahan pada selaput lender dan kerusakan rambut
halus/siliasinus.
8
Virus yang sering menjadi penyebab adalah virus influenza, corona virus dan
rinovirus. Seringkali infeksi virus ini diikuti infeksi kuman terutama kuman kokus
(streptokokus pneumonia, stapilokokus aureus) dan Haemophilus influenza. Kadang
infeksi jamur dapat menyebabkan sinusitis terutama pada orang-orang imunodefisiensi.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus
juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat
bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan
negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan
terapi antibiotik.
9
b. Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan ini dapat melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau
hiperplasia (Mansjoer, 2001).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Transiluminasi
Pada pemeriksaan ini hanya sinus frontal dan maksila yang dapat
dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit,
sehingga tampak lebih suram dibandingkan dengan sisi yang normal. (Ross,
1999).
b. Nasal Endoskopi
Pemeriksaan ini dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat
melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus
media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus
superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad,
2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi sangat
dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini dalam menegakkan
diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan
jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
c. Pemeriksaan CT scan
Pemeriksaan ini merupakan gold standar diagonis sinuistis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dala hidung dan
sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
d. Pemeriksaan Mikrobiologik dan Tes Resistensi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius
atau superior dengan tujuan untuk mendapat antibiotik yang tepat guna.
10
(misalnya dengan menghindari diri supaya tidak terserang pilek, atau jika sudah
terlanjur pilek sebaiknya segera berobat secara teratur, minum obatnya sesuai anjuran
dokter dan tidak sembarangan minum antibiotik).
2.13.2 Strategi Terapi
Pengobatan sinusitis dilakukan dengan menganalisa terlebih dahulu
penyebabnya. Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri menggunakan terapi
antibiotika. Antibiotika harus dihabiskan sesuai anjuran, jangan menghentikan sendiri
penggunaan antibiotika walaupun merasa sudah sehat.
2.13.3 Tatalaksana Terapi
a. Terapi Non Farmakologi
1. Melakukan terapi uap panas untuk menghilangkan gejala sinusitis.
2. Minum banyak cairan, seperti air, jus buah dan teh bermanfaat untuk
mengencerkan lendir dalam rongga hidung.
3. Banyak istirahat.
4. Menghindari pemicu alergi yang dapat menyebabkan terjadinya sinusitis.
5. Rajin cuci tangan untuk mengurangi risiko tertular penyakit saluran pernafasan.
6. Mengusahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat, yaitu yang berventilasi
cukup, dengan pencahayaan yang memadai, dan tidak berasap.
b. Terapi Farmakologi
1. Terapi Pokok
Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari,
kecuali bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotika yang dapat
dipilih tertera pada tabel 1 dan 2. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari
maka antibiotika dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang
kompleks diperlukan tindakan operasi (Depkes RI, 2005).
11
Tabel 1. Antibiotika yang dapat dipilih pada terapi sinusitis menurut
Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
12
Tabel 2. Obat antibiotika untuk terapi sinusitis menurut Handbook of
Pharmacotherapy- Dipiro
Obat Dosis
Amoksisilin-clavulanat Dewasa : 1000mg/tablet tiap 12 jam selama 10 hari
Azitromisin Dewasa : 500mg /hari selama 3 hari
Anak : 10mg /kgBB /hari selama 3 hari maksimum 5 hari
Cefixime Dewasa : 400mg /hari atau 200mg tiap 12 jam selama 10hari
Anak : 8-20mg /kgBB /hari 12-24 jam
Ciprofloxacin Dewasa : 500mg tiap 12 jam selama 10 hari
Clarithromycin Dewasa : 500mg tiap 12 jam atau 1000mg selama 14 hari
Cefadroxil Dewasa : 1-2g /hari dibagi dalam 2 dosis
Doksisiklin Dewasa : 100-200mg /hari, 1 sampai 2 dosis terbagi
Dewasa : 500mg /hari selama 10-14hari atau 750mg/ hari
Levofloxacin selama 5 hari
(Lacy, 2008)
13
a. Kontraindikasi Obat Antibiotika
2. Terapi Penunjang
1. Antihistamin
Antihistamin bekerja dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi seperti
histamin serta memblok migrasi sel (Depkes, 2006).
2. Mukolitik
Mukolitik bekerja dengan mengencerkan mukus sehingga mudah dieskpektorasi.
3. Dekongestan
Dekongestan nasal digunakan sebagai terapi simptomatik yang dapat diberikan
secara oral dan topikal. Dekongestan topikal dapat menyebabkan vasokontriksi
sehingga mengurangi oedema pada mukosa hidung karena bekerja pada reseptor
α permukaan otot polos pembuluh darah, sedangkan dekongestan oral bekerja
dengan meningkatkan pelepasan 12 noradrenalin dari ujung neuron (Depkes,
2006).
14
2.14 Algoritma Terapi
15
2.15 Tinjauan tentang Obat Sinusitis
1. Penisilin
Penisilin merupakan derivat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisida
dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah resistensi
akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan ditemukannya derivat
penisilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yang dapat diberikan oral,
karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp. Namun hanya
Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama
Penicilin V (Depkes RI, 2005).
Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin meliputi terhadap Streptococcus
pyogenes, Streptococcus pneumoniae serta aksi yang kurang kuat terhadap
Enterococcus faecalis. Aktivitas terhadap bakteri Gram negatif sama sekali tidak
dimiliki (Depkes RI, 2005).
Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya derivat penicilin yang
berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin (amoksisilin) yang mencakup E. Coli,
Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria
gonorrhoeae. Penambahan gugus β-laktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas
cakupan hingga Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis. Sehingga saat ini
amoksisilin-klavulanat merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi
alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin (Depkes RI, 2005).
2. Sefalosporin
Sefalosporin merupakan derivat β-laktam dengan mekanisme kerja menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun
gram negative, tapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi.
Dikalsifikasikan menjadi:
a. Sefalosporin Generasi Pertama
sefalosporin dengan spektrum antimikroba yang terutama aktif terhadap kuman
gram positif. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar S.aureus dan
Sterptokokus termasuk S.pyogenes, dan S.pneumonia. sefalosporin yang termasuk
generasi pertama adalah sefalotin dan sefazolin, sefadroksil, sefaleksin, sefadrin.
b. Sefalosporin Generasi Kedua
Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan
generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif, misalnya
16
H.influenza, P.mirabilis, E.coli dan Klebsiella. Terhadap P.aeruginosa dan
enterobacter golongan ini tidak efektif. Sefotoksin aktif terhadap kuman anaerob.
Sefuroksim dan sefamadol lebih tahan terhadap penisilinase dibandingkan dengan
generasi pertama dan memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap H.influenzae dan
N.gonorrhoeae.Yang termasuk sefalosporin golongan kedua yaitu sefotaksim.
c. Sefalosporin Generasi Ketiga
Memiliki aktivitas terhadap organisme gram positif dan lebih aktif terhadap
enterobacter serta terhadap P.aeroginosa. Golongan ini pada umumnya kurang aktif
terhadap kokus gram positif bila dibandingkan generasi pertama, tapi jauh lebih
aktif terhadap Enterobacteriaceae (starin penghasil penisilinase). Yang termasuk
sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim, sefpodoksim, seftibufen, sefdinir,
seftizokim, seftriakson, sefoperazon, seftazidim. Antibiotik betalaktam lainnya
adalah Aztreonam, Imipenem, dan Meropenem.
3. Makrolida
Golongan makrolida menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan
secara reversibel dengan ribosom sub unit 50S, dan umumnya bersifat bakteriostatik,
walaupun terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka
(Setiabudy, 2007).
Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi gram positif
coccus seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus spp, Enterococci, H. influenzae,
Neisseria spp, Bordetella spp, Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma,
Rickettsia dan Legionella spp. Batang gram positif yang peka terhadap eritromisin ialah
C. Perfringens, C. Diptheriae dan L. monocytogenes. Eritromisin tidak aktif terhadap
kebanyakan kuman gram negatif, namun ada beberapa spesies yang sangat peka
terhadap eritromisin yaitu N. gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. Pneumoniae,
Legionella Pneumophilla, dan C. trachomatis. (Depkes RI, 2005).
4. Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki
spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam amino ke
ribosom bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah bakteriostatik yang
luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan ricketsia
(Depkes RI, 2005).
17
Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin. Generasi
kedua merupakan penyempurnaan dari sebelumnya yaitu terdiri dari doksisiklin,
minosiklin. Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu
antara lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya. Selain
itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh eliminasi lebih panjang (> 15
jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap stafilokokus yang resisten
terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerob seperti Acinetobacter spp,
Enterococcus yang resisten terhadap vankomisin sekalipun tetap efektif (Depkes RI,
2005).
5. Quinolon
Golongan quinolon merupakan antimikroba oral memberikan pengaruh yang baik
dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi
asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal mempunyai
peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu
generasi kedua terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin,
lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi
infeksi community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin,
ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang memungkinkan
penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain (Depkes
RI, 2005).
Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat
DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P.
aeruginosa, staphylococci, enterococci, streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob
pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga quinolon
seperti levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti
B. fragilis, dan gram positif baru muncul pada generasi keempat yaitu trovafloksacin
(Depkes RI, 2005).
18
BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN KASUS
B. Objektif
C. Assesment
19
a. Pasien menderita sinusitis akut diterapi dengan menggunakan obat cefixime.
Cefixime merupakan antibiotik yang digunakan untuk mengobati berbagai
infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Cara kerja obat ini adalah dengan
menghambat pembentukan dinding sel bakteri sehingga bakteri menjadi mati.
Beberapa kondisi yang dapat ditangani oleh cefixime di antaranya adalah infeksi
telinga, bronchitis, radang amandel, tenggorokan, pneumonia, dan infeksi
saluran kemih, sehingga cefixime kurang tepat digunakan untuk lini pertama
dalam pengobatan.
b. Rhinos SR (Pseudoephedrine HCl 120 mg, Loratadine 5 mg) digunakan untuk
meringankan gejala-gejala yang berkaitan dengan rhinitis alergika seperti bersin-
bersin, hidung tersumbat dan gatal-gatal di hidung.
c. Triamcort (Triamcinolone 4 mg) digunakan untuk alergi saluran pernapasan,
alergi kulit, alergi hidung dan kondisi lainnya.
d. Erdobat (Erdosteine 300 mg) digunakan untuk mengobati gangguan saluran
pernafasan akut dan kronik.
D. Plan
Terapi Farmakologi
1. Untuk mengatasi sinusitis sebaiknya merekomendasikan ke dokter dengan
mengganti antibiotik cefixim menjadi amoksisilin.
2. Untuk meringankan gejala-gejala sinusitis diberikan rhinos SR dengan dosis
2 kali sehari 1 tablet.
3. Untuk mengatasi alergi pada saluran pernafasan diberikan triamcort dengan
dosis 2 kali sehari 1 tablet.
4. Untuk mengobati gangguan saluran pernafasan akut dan kronis serta untuk
mengencerkan dahak diberikan erdobat dengan dosis 2 kali sehari 1 tablet.
Terapi Non Farmakologi
1. Olahraga secara teratur
2. Pasien disarankan banyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi dan
untuk menurunkan viskositas mukus.
3. Istirahat total disarankan sampai demam berkurang.
20
4. Makan makanan yang bergizi seimbang untuk meningkatkan sistem imun
sehingga akan mempercepat penyembuhan penyakit.
5. Membersihkan tempat dan lingkungan pasien.
6. Membuka jendela pada pagi hari supaya sinar matahari dapat masuk
kedalam ruangan dan terjadi pertukaran udara.
3.4 KIE
1. Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang sejarah penyakit, gejala-gejala dan
factor pencetus.
2. Menjelaskan bagaimana cara penggunaan obat yang tepat, kapan
menggunakannya, efek samping apa yang mungkin terjadi serta bagaimana cara
mencegah atau mengurangi efek samping akibat penggunaan obat tersebut.
3. Menginformasikan kepada pasien untuk teratur dalam peminuman antibiotik dan
harus dihabiskan.
4. Menyarankan untuk melakukan tes bakteri dengan cek sputum pada saluran
pernafasan.
21
5. Menyarankan pasien untuk menggunakan masker.
6. Menyarankan pasien untuk membilas atau mencuci hidung secara teratur dengan
larutan garam isotonis (salin).
7. Melakukan olahraga ringan dan berenang.
8. Rajin cuci tangan untuk mengurangi risiko tertular penyakit saluran pernafasan.
9. Mengusahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat, yaitu yang berventilasi
cukup, dengan pencahayaan yang memadai, dan tidak berasap.
10. Pasien disarankan untuk menghindari berenang dan menyelam.
22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Pasien mengalami sinusitis akut.
2. Obat yang digunakan dalam kasus adalah cefixime, rhinos SR, triamcort dan
erdobat. Penggunaan cefixime diganti dengan amoksisilin karena lini pertama untuk
sinusitis akut yaitu amoksisilin.
4.2 Saran
1. Dianjurkan untuk hidup sehat dengan melakukan olah raga teratur dan menjaga pola
hidup sehat.
2. Dianjurkan teratur dalam meminum obat sesuai resep dokter dan obat harus
dihabiskan khususnya untuk antibiotik.
3. Dianjurkan untuk melakukan tes bakteri dengan cek sputum pada saluran pernafasan.
23
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti dan Endang. 2002. Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher.
Edisi 5. Jakarta : FK UI.
Depkes RI, 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.
Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.
Jakarta: Penerbit Departemen Kesehartan RI.
Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L. 2008. Drug Information
Handbook International. USA : Lexi Comp.
Mehra, P. dan Murad, H. 2004. Maxillary sinus disease of odontogenic origin. North
America : Otolaryngologic Clinics.
Naning, R. 2014. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta.
Rahmawati, Dwi dan Hartono. 2012. Gangguan Pernafasan pada Anak: ISPA.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Romelan, 2006. Kaitan antara Karakteristik Balita dan Ibu dengan Kejadian ISPA.
Diperoleh dari : http://eprint.undip.ac.id/4751. [diakses pada tanggal 25 April
2012].
Saleha, A., 2002. Hubungan Antara BBLR dengan kejadian Infeksi ( diare dan ISPA)
pada bayi usia 1-12 bulan di RSUP Kariadi Semarang. Diperoleh dari:
http://eprint.undip.ac.id. [diakses pada tanggal 8 april 2012].
24