Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi ISPA

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi yang terdapat

pada saluran nafas atas maupun saluran nafas bagian bawah. Infeksi akut ini

menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai hidung sampai

alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura) (Depkes

RI, 2012). Menurut WHO, ISPA adalah penyakit saluran pernapasan atas

atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai

penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya,

faktor lingkungan, dan faktor pejamu (Ching et al., Bulletin WHO 2007).

Penyakit infeksi ini dapat menyerang siapa saja dari semua golongan

umur, akan tetapi bayi, balita, dan manula merupakan yang paling rentan

untuk terinfeksi penyakit ini. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan

hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan

dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumoni bila

infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian

(Ching et al., Bulletin WHO 2007; Morris, 2009).

2.2 Klasifikasi

ISPA dibagi menjadi infeksi saluran pernafasan bagian atas dan infeksi

saluran pernafasan bagian bawah. Infeksi saluran pernapasan atas adalah

8
9

infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri termasuk nasofaringitis atau

common cold, faringitis akut, uvulitis akut, rhinitis, nasofaringitis kronis,

sinusitis. Sedangkan, infeksi saluran pernapasan akut bawah merupakan

infeksi yang telah didahului oleh infeksi saluran atas yang disebabkan oleh

infeksi bakteri sekunder, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah

bronkhitis akut, bronkhitis kronis, bronkiolitis dan pneumonia (Morris,

2009; Dahlan, 2009).

Menurut Daniel YT Goh. et al. ISPA dibagi atas beberapa klasifikasi

menurut gejala klinisnya, yaitu: Rinitis infeksi akut, Faringitis dan tonsilitis,

Otitis media, Sinusitis akut, Laryngotracheo-bronchitis, Epiglotitis,

Bronkitis akut, Bronkiolitis akut, Pneumonia.

Menurut Depkes RI tahun 2012, klasifikasi ISPA dapat dibedakan

berdasarkan berat ringannya gejala yang ditimbulkan, yaitu tanda dan gejala

ringan (bukan pneumonia), sedang (pneumonia sedang/pneumonia), dan

berat (pneumonia berat). Penyakit batuk-pilek seperti rinitis, faringitis,

tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai

bukan pneumonia.

2.2.1 Ringan (bukan pneumonia)

Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK),

batuk tanpa pernafasan cepat atau kurang dari 40 kali/menit, hidung

tersumbat atau berair, tenggorokan merah, dan telinga berair. Tanda

emergency untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu : tidak bisa

minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk

2.2.2 Sedang (pneumonia sedang/pneumonia)

Tidak ada TDDK, batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga

merah, dari telinga keluar cairan kurang dari 2 minggu.


10

Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar limfe yang nyeri tekan

(adentis servikal).

2.2.2 Berat (pneumonia berat)

Terdapat TDDK pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa

anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta),

batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di

taring, kejang, apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya

penarikan yang kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.

2.3 Etiologi

ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas dan

menimbulkan reaksi inflamasi. Selain itu polusi dari bahan bakar kayu

tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen,

Sulfur, Nitrogen dan Oxygen juga bisa menyebabkan ISPA karena sangat

berbahaya bagi kesehatan pernafasan.

Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh bakteri dan virus yang

jumlahnya lebih dari 300 macam. Infeksi saluran pernafasan bawah

terutama pneumonia disebabkan oleh bakteri dari genus streptokokus,

haemofilus, pnemokokus, bordetella korinebakterium, dan virus miksovirus,

koronavirus, pikornavirus dan herpesvirus. Berdasarkan penelitian viris

yang paling sering menyebabkan ISPA pada balita adalah influenza-A,

adenovirus, dan parainfluenza virus (Unuvar, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Imran Lubis et al., jelaslah bahwa penyebab

utama penyakit ISPA adalah virus, tetapi pada bakteri baik karena infeksi

sekunder atau primer dapat memberikan manifestasi klinis yang lebih

berbahaya. Kontak terhadap virus dapat mencapai 75-80%, akan tetapi


11

seperempatnya saja yang menjadi sakit atau yang menimbulkan gejala klinis

setelah beberapa hari atau bulan.

2.4 Patogenesis

Proses patogenesis terkait dengan tiga faktor utama, yaitu keadaan imunitas

inang, jenis mikroorganisme yang menyerang pasien, dan bernagai faktor

yang berinteraksi satu sama lain (Dahlan,2009). Infeksi patogen mudah

terjadi pada saluran nafas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak akibat

infeksi yang terdahulu. ISPA melibatkan invasi langsung ke dalam mukosa

yang melapisi saluran pernafasan. Inokulasi atau masuknya bakteri atau virus

terjadi ketika tangan seseorang kontak dengan patogen, kemudian orang

tersebut memegang hidung atau mulut, atau ketika seseorang secara langsung

menghirup droplet dari batuk penderita ISPA.

Setelah terjadinya inokulasi, virus dan bakteri akan melewati beberapa

pertahanan tubuh, seperti pertahanan fisik dan mekanikal , humoral, pertahanan

imunitas. Pertahanan fisik dan mekanikal seperti rambut halus yang melapisi

hidung sehingga dapat menangkap dan menyaring patogen, lapisan mukosa

banyak terdapat pada saluran pernafasan atas sehingga dapat mencegah

masuknya bakteri yang potensial, sudut yang dihasilkan dari persimpangan

antara hidung dan faring menyebabkan partikel-partikel besar akan jatuh ke

belakang tenggorokan, sel-sel bersilia pada saluran pernafasan bawah

menangkap dan membawa patogen kembali ke faring dan dari situ patogen

tersebut akan dibawa ke lambung.

Inflamatory cytokines dari sel host memediasi respon imun untuk menyerang

patogen. Flora normal nasofaring seperti spesies staphilokokus dan

sterptokokus membantu pertahanan melawan patogen yang potensial. pasien

dengan fungsi imun dan humoral yang kurang optimal meningkatkan risiko
12

tertular ISPA, dan mereka berada dalam risiko tinggi untuk penyakit yang lebih

lama dan berat.

Penyebaran virus dari manusia ke manusia sering terjadi pada ISPA. Patogen

menyebabkan kerusakan dengan berbagai mekanisme seperti dengan

memproduksi toxin, protease, dan faktor dari bakteri sendiri seperti

pembentukan kapsul yang tahan terhadap fagositosis

Waktu inkubasi sebelum munculnya gejala sangat bervariasi tergantung dari

jenis patogen yang meninfeksi. Rhinovirus dan grup A dari streptokokus

mungkin memiliki masa inkubasi 1 – 5 hari, influenza dan parainfluenza

mungkin memiliki masa inkubasi 1 – 4 hari, dan respiratory syncytial virus

(RSV) mungkin memiliki masa inkubasi sampai satu minggu.

Infeksi awal pada nasofaring mungkin menyerang beberapa struktur

saluran nafas dan menyebabkan sinusitis, otitis media, epiglottitis, laringitis,

trakeobronkitis, dan pneumonia. inflamasi yang menyerang pada level

epiglotis dan laring dapat membahayakan jalannya udara terutama pada

balita.

2.5 Tanda dan Gejala Klinis

2.5.1 Gejala Klinis Anamnesis

Gejala klinis ISPA berbeda tergantung dari tempat terjadinya infeksi.

gejala yang ditimbulkan oleh infeksi virus yang terjadi di nasofaring

biasanya mulai timbul 1 – 2 hari setelah inokulasi, dan kebanyakan

akan sembuh atau mengalami penurunan gejala hingga seminggu. .

jika gejala lebih dari 2 minggu pertimbangkan untuk diagnosis lain

seperti alergi, mononukleosis, atau tuberkulosis. Apabila gejala tejadi

secara terus menerus melebihi 10 hari atau memburuk secara progresif


13

setelah 5 – 7 hari pertama, maka kemungkinan infeksi disebabkan oleh

bakteri.

Gejala yang paling sering muncul adalah rhinorea, sumbatan atau

obstruksi pernafasan hidung (hidung tersumbat), dan bersin-bersin.

Rhinorea merupakan gejala klinis yang lebih khas untuk ISPA yang

disebabkan oleh virus daripada bakteri. Mukopurulen sering

berkembang dari yang berwarna cerah sampai keruh, sampai yang

berwarna hijau kekuningan selama 2 – 3 hari onset gejala. Walaupun

demikian, warna dan kekeruhan muko purulen tidak reliabel untuk

membedakan infeksi virus atau bakteri. Indikator infeksi bakteri

adalah apabila purulen disertai dengan krusta dan luka-luka di daerah

hidung, pada kulit terdapat pustul atau impetigo, dan munculnya

tanda-tanda rhinorea pada anggota keluarga lain. Obstruksi nasal akan

menyebabkan pasien bernafas menggunakan mulut yang akan

menyebabkan mulut kering terutama waktu bangun tidur.

Gejala yang ditimbulkan dari infeksi pada faring adalah

tenggorokan luka dan gatal, odinofagia, atau disfagia. Jika inflamasi

terjadi pada bagian posterior faring, maka pasien akan mengalami rasa

tidak nyaman saat menelan.

Gejala batuk akan muncul pada infeksi laring atau merupakan hasil

dari sindrom batuk pernafasan atas dan biasanya berkembang pada

hari keempat dan kelima. manifestasi lain yang sering muncul antara

lain: hyposmia (menurunnya sensitivitas indra penciuman), gejala

sinus, sakit kepala, fotofobia, demam, gejala gastrointestinal, mialgia

berat, kelelahan atau malaise, nyeri abdomen.


14

Secara ringkas gejala klinis ISPA berdasarkan klasifikasinya

disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.1
Gejala Klinis ISPA Berdasarkan Klasifikasinya

Gejala Klinis

Klasifikasi
Rinitis infeksi akut • hidung tersumbat, bersin, rhinorea
• demam, malaise (tidak enak badan), nyeri otot pada
infeksi yang berat
• kadang-kadang batuk mungkin timbul yang
mengindikasikan adanyan inflamasi pada laring,
trakea, dan bronkus
Faringitis dan • prevalensi tersiring terjadi pada usia empat sampai
tonsilitis sepuluh tahun
• sakit tenggorokan
• batuk
• demam, malaise, hidung tersumbat
• kemerahan pada faring, bengkak atau kemerahan
pada tonsil dan mengeluarkan exudat
• cervical lymphadenopathy
Otitis media • sakit telinga
• demam
• membran timpani yang bengkak dan kemerahan
• adanya cairan di telinga bagian tengah,
• telinga gatal dan keluar discharge
Sinusitis akut • purulent nasal discharge
• nyeri pada wajah dan tenderness
• bengkak periorbital
• sakit kepala atau sakit gigi
• demam
Laryngotracheobronchiti • adanya gejala infeksi saluran pernafasan atas
s • stridor
• suara parau/serak
• batuk keras
• mungkin ada distress pernafasan tapi biasanya
tidak terlalu parah
Epiglotitis • sering terjadi pada usia tiga sampai empat tahun
• demam, tidak enak badan, lesu
• menolak makan dan minum
• keluar saliva terus menerus
• mungkin ada stridor inspirasi
• batuk biasanya bukan gejala yang menonjol
15

Bronkitis akut • Batuk berdahak


• ronchi
• demam
• takipnea/nafas cepat
Bronkiolitis akut • menyerang anak <24 bulan, terutama umur satu
samapi enam bulan
• biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran
pernafasan atas
• demam
• batuk
• distress pernafasan
• wheezing
• sulit makan
Pneumonia • demam
• batuk
• takipnea/nafas cepat
• adanya konsolidasi pada x-ray parenkim paru

Sumber : (Daniel YT Goh. et al., 1999, hal. 2).

2.5.2 Gejala Klinis Pemeriksaan Fisik

Temuan klinis yang mungkin didapatkan pada gejala ISPA ringan

adalah eritema dan edema pada mukosa hidung, mukopurulen pada

hidung, dan temperatur tubuh meningkat.

Temuan klinis yang sering pada ISPA yang disebabkan oleh virus

antara lain: eritema faring, exudat faring dan tonsil, adanya vesikel

atau ulkus yang dangkal pada palatum, konjungtivitis, hipertropi

tonsil, batuk, diare, demam.

Temuan klinis yang sering pada ISPA yang disebabkan oleh bakteri

antara lain: eritema, bengkak, dan munculnya exudat pada faring dan

tonsil, temperatus 38,3oC atau lebih tinggi, tidak adanya

konjungtivitis, batuk, dan rhinorea yang mana merupakan tanda

infeksi virus.
16

2.6 Cara Penularan

ISPA termasuk golongan Air Borne Disease yang penularan penyakitnya

terjadi melalui udara yang telah tercemar. Patogen yang masuk ke dalam

tubuh melalui salurang pernafasan atas akan menginfeksi saluran pernafasan

dan menyebabkan inflamasi. Penularan melalui udara terjadi melalui droplet

tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Selain

penularan melalui udara, dapat pula menular melalui kontak langsung ketika

tangan seseorang kontak dengan patogen, kemudian orang tersebut memegang

hidung atau mulut. Namun penyakit ini sebagian besar penularannya adalah

karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau patogen

penyebab.

2.7 Diagnosis

Diagnosis ISPA dapat ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Tes untuk patogen yang spesifik sangat membantu

apabila pemberian terapi berdasarkan patogen penyebabnya. Pemeriksaan yang

dilakukan adalah biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung.

Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan

pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura.

Terdapat beberapa diagnosis banding yang memiliki gejala yang sangat

mirip dengan ISPA yang harus dipertimbangkan antara lain: allergic

rhinitis, asthma, community-acquired pneumonia, immunoglobulin a

deficiency, infectious mononucleosis, obstructive sleep apnea, otitis media,

pediatric retropharyngeal abscess, reflux laryngitis, dan tuberculosis.


17

2.8 Faktor-Faktor Yang berhubungan Dengan ISPA

Terdapat banyak sekali faktor yang mungkin dapat menyebabkan seseorang

terinfeksi ISPA, akan tetapi berdasarkan telah dari berbagai sumber, dalam

penelitian ini secara umum faktor yang berperan dalam penularan ISPA

difokuskan ke dalam dua kelompok, yaitu faktor Individu dan faktor

lingkungan. Faktor individu meliputi status gizi, BBLR, dan status

imunisasi dasar. Sedangkan faktor lingkungan meliputi paparan terhadap

asap rokok, tingkat pendidikan ibu, pola pemberian ASI, dan kepadatan

hunian.

Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Prajapati et al. tentang faktor

yang berhubungan dengan ISPA pada balita di Gujarat pada tahun 2012,

didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Penyakit ISPA

dengan status imunisasi dan BBLR. Hasil yang sama juga didapatkan untuk

status gizi. Jadi terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit ISPA

dengan status gizi pasien (Pore et al., 2010). Akan tetapi hasil yang berbeda

ditemukan oleh Sharbatti dan Aljumaa dalam penelitiannya terhadap 137

bayi pada tahun 2005. hasil penelitiannya menunjukan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara penyakit ISPA dengan status imunisasi dan

status gizi pasien. Mungkin hal ini disebabkan oleh perbedaan demografis

tempat penelitian.

Berdasarkan penelitian sebelumnya untuk faktor lingkungan didapatkan

hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit ISPA

dengan paparan asap rokok (Trisnawati dan Juwarni, 2012; Sharbatti dan

Aljumaa, 2012). Untuk faktor pola pemberian ASI dan tingkat pendidikan

ibu juga terdapat hubungan yang signifikan dengan penyakit ISPA

(Sharbatti dan Aljumaa, 2012).


18

2.8.1 Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi

makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Gizi sangat penting untuk

pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan aktifitas tubuh. Tanpa

asupan gizi yang cukup, maka tubuh akan mudah terkena

penyakitpenyakit infeksi (Almatsier, 2003). Status gizi seseorang

dapat mempengaruhi kerentanan terhadap infeksi. Anak merupakan

kelompok yang paling rentan terhadap berbagai masalah kesehatan

sehingga apabila kekurangan gizi maka kemungkinan akan sangat

mudah terserang infeksi salah satunya adalah ISPA.

Banyak faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang, antara

lain faktor external yang meliputi pendapatan, pendidikan, pekerjaan,

budaya, dan lain-lain. Faktor internal seperti usia, kondisi fisik, infeksi

juga dapat mempengaruhi status gizi seseorang. Ada beberapa cara

melakukan penilaian status gizi pada kelompok masyarakat. Salah

satunya adalah dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal

dengan Antropometri.

Menurut Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak yang

dikeluarkan oleh Depkes RI tahun 2011, kategori dan ambang batas

status gizi anak adalah sebagai mana terdapat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.2
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks Kategori Ambang Batas
Status Gizi
Indeks Masa Tubuh Sangat kurus <-3 SD
Menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
anak Umur 0 – 60 Bulan Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >2 SD
19

Indeks Masa Tubuh Sangat kurus <-3 SD


Menurut Umur (IMT/U) Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
anak umur 5 – 18 Tahun Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Obesitas > 2 SD
Sumber : (Depkes RI, 2011, hal. 4).

Pada penelitian ini, status gizi anak dianggap baik apabila kategori

status gizinya normal atau lebih, atau berada pada ambang batas diatas

-2 SD (Standar Deviasi). Sedangkan status gizi anak dianggap buruk

apabila kategori status gizinya kurus atau sangat kurus, atau berada

pada ambang batas dibawah -2 SD.

2.8.2 Status Imunisasi Dasar

Imunisasi adalah perlindungan yang paling ampuh untuk mencegah

beberapa penyakit berbahaya. Dengan imunisasi kekebalan tubuh anak

dapat terangsang, sehingga anak dapat terhindar dari berbagai

penyakit salah satunya adalah penyakit infeksi seperti ISPA. Dinas

Kesehatan Republik Indonesai merekomendasikan pentingnya

pemberian lima imunisasi dasar lengkap unutk bayi dibawah satu

tahun agar tumbuh kembang anak dapat optimal, menjadi anak yang

sehat, kuat, cerdas, kreatif, dan berprilaku baik (Depkes RI, 2009).

Lima jenis imunisasi dasar lengkap tersebut antara lain: Hepatitis

B, BCG, DPT – Hepatitis B, Polio. dan Campak. Imunisasi Hepatitis

B diberikan pada umur kurang dari tujuh hari sebanyak satu kali yang

bermanfaat untuk mencegah penularan Hepatitis B dan kerusakan hati.

Imunisasi BCG diberikan satu kali pada umur satu bulan yang

bermanfaat untuk mencegah penularan TBC (tuberkulosis) yan berat.

Imunisasi DPT – Hepatitis B diberikan tiga kali pada umur dua bulan,

tiga bulan, dan empat bulan yang bermanfaat untuk mencegah


20

penularan difteri yang menyebabkan penyumbatan jalan nafas, batuk

rejan (batuk 100 hari), tetanus, dan Hepatitis B. Imunisasi Polio

diberikan empat kali pada bulan pertama, kedua, ketiga, dan keempat

yang bermanfaat untuk mencegah penularan polio yang dapat

menyebabkan lumpuh layu pada tungkai dan atau lengan. Imunisasi

Campak diberikan satu kali pada umur 9 bulan yang bermanfaat untuk

mencegah penularan campak yang dapat mengakibatkan komplikasi

radang paru, radang otak, dan kebutaan (Depkes RI, 2009).

Banyak manfaat yang diperoleh dengan diberikannya lima

imunisasi dasar lengkap ini. Hal ini sangat besar pengaruhnya untuk

menurunkan morbiditas dan mortalitas yang ditimbulkan oleh ISPA

serta komplikasinya.

2.8.3 Bayi Berat Lahir Rendah

BBLR adalah bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram

yang sebagian disebabkan oleh lahir sebelum waktunya (prematur),

dan sebagian lagi karena mengalami gangguan pertumbuhan selama

masih dalam kandungan PJT (Pertumbuhan Janin Terhambat) (Depkes

RI, 2008). Rata-rata berat badan bayi normal apabila dilahirkan cukup

bulan adalah 3200 gram atau diatas 2500 gram (Soetjhiningsih, 1995).

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) menunjukkan

kecenderungan untuk lebih rentan menderita penyakit infeksi

dibanding bayi dengan bayi berat lahir normal (BBLN) dan hal itu

merupakan penyebab tingginya tingkat kematian bayi (Salehah, 2002).

Komplikasi yang terjadi akibat BBLR seperti asfiksia, infeksi,

hipotermia, hiperbilirubinemia masih sangat tinggi (Depkes RI, 2011).

Permasalahan yang terjadi bukan hanya itu, melainkan bayi dengan


21

berat lahir rendah sering pula disertai dengan kelainan, baik kelainan

jangka pendek, maupun jangka panjang. kelainan jangka pendek yang

sering terjadi adalah RDS (Respiratory Distress Syndrome),

perdarahan intra/periventrikular, NEC (Necrotizing Entero Cilitis),

displasia bronko-pulmonar, sepsis, paten duktus arteriosus. Adapun

kelainan jangka panjang sering berupa kelainan neurologik seperti

serebral palsi, retinopati, retardasi mental, juga dapat terajadi disfungsi

neurobehavioral dan prestasi sekolah yang kurang baik

(Mochtar, 2008).

2.8.4 Paparan Terhadap Asap Rokok

Rokok merupakan benda beracun yang memberi dampak yang sangat

membahayakan baik pada perokok aktif ataupun perokok pasif,

terutama pada balita yang tidak sengaja terkontak asap rokok. Nikotin

dengan ribuan bahaya beracun asap rokok lainnya masuk ke saluran

pernapasan bayi yang dapat menyebabkan Infeksi pada saluran

pernapasan (Trisnawati dan Juwarni, 2012). Paparan terhadap asap

rokok dapat merusak pertahanan saluran pernapasan sehingga

kemungkinan dapat mempermudah penularan ISPA.

2.8.5 Tingkat Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan ibu yang rendah juga berperan dalam prevalensi

penyakit ISPA. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah cenderung tidak

awas terhadap terhadap tanda dan gejala awal munculnya penyakit

ISPA yang menyebabkan keterlambatan dalam penanganan, bahkan

bisa sampai menimbulkan komplikasi yang berat seperti pneumonia,

dan lain-lain. Penularan penyakit ISPA bisa saja dicegah apabila tanda
22

dan gejalanya terdeteksi sedini mungkin dan dilakukan penanganan

yang optimal.

2.8.6 Pola Pemberian ASI

Air susu ibu (ASI) sebagai makanan alamiah adalah makanan terbaik

yang dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang

dilahirkannya. Selain komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan

bayi yang bisa berubah sesuai dengan kebutuhan pada setiap saat, ASI

juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari

berbagai penyakit infeksi (Lubis, 2003).

Pemberian ASI ekslusif adalah pemberian ASI saja selama

sedikitnya 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, yang kemudian diikuti

dengan pemberian makanan tambahan, dan ASI selanjutnya masih

dapat diteruskan sampai usia anak 2 tahun. (Soetjhiningsih, 1995)

ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan untuk

pertumbuhan serta perkembangan anak, sehingga dapat mencegah

tejadinya keadaan kekurangan gizi yang mana apabila gizi anak

tercukupi, maka kesehatan anak juga akan lebih baik. ASI juga

memberikan kekebalan tubuh pada anak karena kandungan yang

terkandung didalamnya, salah satunya yaitu imunitas sellular. ASI

mengandung sel. Sembilan puluh persen sel dalam ASI terdiri dari

makrofag. Fungsi makrofag adalah membunuh dan memfagositosis

mokro-organisme, membentuk C3 dan C4 serta lisozim dan laktoferin.

Sepuluh persen lagi terdiri dari limfosit T dan B (Lubis, 2003).

2.8.7 Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian yang tidak berlebih merupakan salah satu

persyaratan rumah sehat. Diketahui ISPA merupakan penyakit infeksi


23

yang penularan patogennya melalui udara, oleh karena itu, jika

semakin padat tempat tinggal seorang anak, maka risiko penularan

penyakit ISPA juga akan semakin tinggi.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan no 829/Menkes/SK/VII/1999

tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, disebutkan bahwa

kepadatan hunian lebih dari atau sama dengan 8 m2 per orang

dikategorikan sebagai tidak padat (Riskesdas, 2013). Secara umum

penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar

minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan

diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥ 9

m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan

bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni <

9 m²/orang.

2.9 Pencegahan Penularan dan Manajemen

2.9.1 Pencegahan Penularan

Pencegahan penyakit ISPA dengan mempertimbangan faktor-faktor

yang berpengaruh dapat membantu menurunkan morbiditas penyakit

ISPA Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan

strategi operasional untuk mengendalikan penyakit ISPA seperti

membangun komitmen dengan pengambil kebijakan di semua tingkat

dengan melaksanakan advokasi dan sosialisasi pengendalian ISPA

dalam rangka pencapaian tujuan nasional dan global, penguatan

jejaring internal dan eksternal (profesi, perguruan tinggi, LSM, ormas,

swasta, lembaga internasional, dll), penemuan kasus pneumonia

dilakukan secara aktif dan pasif, peningkatan mutu pelayanan melalui


24

ketersediaan tenaga terlatih dan logistik, peningkatan peran serta

masyarakat dalam rangka deteksi dini pneumonia Balita dan pencarian

pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan. pelaksanaan Autopsi

Verbal Balita di masyarakat, penguatan kesiapsiagaan dan respon

pandemi influenza melalui penyusunan rencana, kontinjensi di semua

jenjang, latihan (exercise), penguatan surveilans dan penyiapan sarana

prasana, pencatatan dan pelaporan dikembangkan secara bertahap

dengan sistem komputerisasi berbasis web, monitoring dan pembinaan

teknis dilakukan secara berjenjang, terstandar dan berkala, dan

evaluasi program dilaksanakan secara berkala.

2.9.2 Manajemen

Secara umum terapi penyakit ISPA adalah terapi simptomatik untuk

meringankan gejala, dan terapi causa untuk menghilangkan penyebab

dengan antibiotik. Kebanyakan ISPA didiagnosis dan ditangani sendiri

di rumah, dan bisa sembuh tanpa peresepan obat. Maka dari itu pasien

harus diedukasi untuk penanganan simptomatik dirumah apabila

ditemui tanda dan gejala penyakit ISPA.

Pengenalan jenis patogen (baik virus maupun bakteri) penyebab

ISPA juga penting untuk dilakukan untuk memilih antivirus atau

antibakteri yang sesuai. Biasanya dengan memperhatikan tren lokal

tentang prevalensi mikroorganisme penyebab ISPA dan pola resisten

lokal, dapat menjadi kunci untuk pemilihan terapi yang sesuai dengan

jenis patogen.

Di Indonesia, terapi antibiotik pilihan pertama yang biasa

digunakan untuk mengobati penderita ISPA adalah kortimoksasol


25

(trimetoprim + sulfametoksasol), dan pilihan antibiotik kedua adalah

amoksisilin. (Depkes RI, 2012)

2.10 Prognosis

ISPA sangat jarang menyebabkan kecacatan permanen atau kematian, akan

tetapi hal ini sering mengganggu aktifitas sehari-hari seseorang. Biasanya

ISPA terdiagnosis dan ditangani sendiri di rumah, dan bisa sembuh tanpa

peresepan obat. Namun apabila infeksi terjadi terus menerus, dapat

menyebabkan komplikasi yang serius.

Anda mungkin juga menyukai