Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA

Di Susun Oleh :

1. HELPA WIDYA PUTRI (220300891)

2. IRCHO NUR HIDAYAT (220300893)

3. SINTIA YOLANDA (220300917)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ALMA ATA

YOGYAKARTA

2022
A. DEFINISI
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya
disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan
disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan
Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun
bronchopneumonia disebut pneumonia (Depkes RI, 2002).
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai jaringan paru (alveoli). (DEPKES. 2006).
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis
yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat. (Zuh Dahlan. 2006)..
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh bakteri; merupakan
penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling sering menyebabkan kematian pada
anak dan anak balita (Said 2007).
Dapat disimpulkan pneumonia adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim paru yang
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang
ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam.

B. KLASIFIKASI
Menurut Zul Dahlan (2007), pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit primer maupun
sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain. Secara morfologis pneumonia dikenal sebagai
berikut:
1. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih lobus paru.
Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau “ganda”.
2. Bronkopneumonia, terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat
mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya,
disebut juga pneumonia loburalis.
3. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding alveolar (interstisium)
dan jaringan peribronkial serta interlobular.

Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, virus, atipikal


(mukoplasma), bakteri, atau aspirasi substansi asing. Pneumonia jarang terjadi yang mingkin terjadi
karena histomikosis, kokidiomikosis, dan jamur lain.
1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakterial. Terlihat pada anak
dari semua kelompok umur, sering dikaitkan dengan ISPA virus, dan jumlah RSV untuk
persentase terbesar. Dapat akut atau berat. Gejalanya bervariasi, dari ringan seperti demam
ringan, batuk sedikit, dan malaise. Berat dapat berupa demam tinggi, batuk parah, prostasi.
Batuk biasanya bersifat tidak produktif pada awal penyakit. Sedikit mengi atau krekels
terdengar auskultasi.
2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi terutama di musim gugur
dan musim dingin, lebih menonjol di tempat dengan konsidi hidup yang padat penduduk.
Mungkin tiba-tiba atau berat. Gejala sistemik umum seperti demam, mengigil (pada anak
yang lebih besar), sakit kepala, malaise, anoreksia, mialgia. Yang diikuti dengan rinitis, sakit
tenggorokan, batuk kering, keras. Pada awalnya batuk bersifat tidak produktif, kemudian
bersputum seromukoid, sampai mukopurulen atau bercak darah. Krekels krepitasi halus di
berbagai area paru.
3. Pneumonia bakterial, meliputi pneumokokus, stafilokokus, dan pneumonia streptokokus,
manifestasi klinis berbeda dari tipe pneumonia lain, mikro-organisme individual
menghasilkan gambaran klinis yang berbeda. Awitannya tiba-tiba, biasanya didahului dengan
infeksi virus, toksik, tampilan menderita sakit yang akut , demam, malaise, pernafasan cepat
dan dangkal, batuk, nyeri dada sering diperberat dengan nafas dalam, nyeri dapat menyebar
ke abdomen, menggigil, meningismus.

Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia, pneumonia dapat


diklasifikasikan:
1. Usia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang dilihat dengan adanya
tarikan dinding dada bagian bawah.
b. Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu pada usia 2 bulan – 1
tahun frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih, dan pada usia 1-5 tahun 40 x/menit atau
lebih.
c. Bukan pneumonia, ditandai secara klinis oleh batuk pilek biasa dapat disertai dengan
demam, tetapi tanpa terikan dinding dada bagian bawah dan tanpa adanya nafas cepat.

2. Usia 0 – 2 bulan
a. Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat
yaitu frekuensi nafas 60 x/menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah dan tidak
ada nafas cepat.
C. ETIOLOGI
Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri, virus,
mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa.
1. Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia lanjut.
Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae
sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua
atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang
terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut
jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).
2. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang tersering
menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini
kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu
pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh
dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan
bisa berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
3. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia.
Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki
karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas.
Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia
muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
4. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis. Termasuk
golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering
ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti
ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen yang berasal dari paru
(Djojodibroto, 2009).

Cara Penularan
Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara.
Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk
atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab
pneumonia kedalam saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, di samping itu terdapat
juga cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat
batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui
ciuman, memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita
(Azwar, 2002).

Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Pneumonia


Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita (Depkes, 2004),
diantaranya :
a. Faktor risiko yang terjadi pada balita
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat ringannya penyakit
adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
diantaranya :
1. Status Gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia. Tingkat
pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya
persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan
beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Dailure, 2000).
2. Status Imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9
bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan
kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap
mempertahankan kekebalan yang ada pada balita (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi
pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan
pemberian imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan
dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.
3. Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan makanan bayi
juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah
pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah
satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita (Dailure,
2000).
4. Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia. Risiko
untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur dibawah 2 tahun dibandingkan
yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak di bawah 2 tahun belum
sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Daulaire, 2000).
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan resiko terjadinya
pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak mempunyai sarana air bersih
menyebabkan balita sering berhubungan dengan berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi
oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang
berpengaruh diantaranya :
1. Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari
ruangan yang tertutup. Termasuk ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan
persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan naiknya
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk berkembangnya
bakteri terutama bakteri patogen (Semedi, 2001).
2. Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan oleh polusi di dalam
dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia
pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh karena asap rokok,
kompor gas, alat pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari
kendaraan bermotor (Lubis, 1989).

D. PATOFISIOLOGI
Jalan nafas secara normal steril dari benda asing dari area sublaringeal sampai unit paru paling
ujung. Paru dilindungi dari infeksi bakteri dengan beberapa mekanisme:
1. filtrasi partikel dari hidung.
2. pencegahan aspirasi oleh reflek epiglottal.
3. Penyingkiran material yang teraspirasi dengan reflek bersin.
4. Penyergapan dan penyingkiran organisme oleh sekresi mukus dan sel siliaris.
5. Pencernaan dan pembunuhan bakteri oleh makrofag.
6. Netralisasi bakteri oleh substansi imunitas lokal.
7. Pengangkutan partikel dari paru oleh drainage limpatik.
Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu mekanisme pertahanan dan
organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui aspirasi maupun rute hematologi.
Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus maka terjadi penumpahan dari cairan edema ke alveoli,
diikuti leukosit dalam jumlah besar. Kemudian makrofag bergerak mematikan sel dan bakterial debris.
Sisten limpatik mampu mencapai bakteri sampai darah atau pleura visceral
Jaringan paru menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhan paru menurun dan aliran
darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak terventilasi menjadi fisiologis right-to-left shunt dengan
ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan hipoksia. Kerja jantung menjadi meningkat karena
penurunan saturasi oksigen dan hiperkapnia. (Bennete, 2013)
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2.    Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan
fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang
terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak
ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan
terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.
4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-
sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut selama
beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat
celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning
hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu
makan, dan sakit kepala (Misnadiarly, 2008).
Tanda
Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain :
1. Batuk nonproduktif
2. Ingus (nasal discharge)
3. Suara napas lemah
4. Penggunaan otot bantu napas
5. Demam
6. Cyanosis (kebiru-biruan)
7. Thorax photo menujukkan infiltrasi melebar
8. Sakit kepala
9. Kekakuan dan nyeri otot
10. Sesak napas
11. Menggigil
12. Berkeringat
13. Lelah
14. Terkadang kulit menjadi lembab
15. Mual dan muntah

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus atau mikoplasma, umunya leukosit normal atau sedikit meningkat, tidak
lebih dari 20.000/mm3 dengan predominan limfosit (Sectish and Prober, 2007). Pada pneumonia
bakteri didapatkan leukositosis antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan sel
polimorfonuklear khususnya granulosit. Leukositosis hebat (30.000/mm3) hampir selalu
menunjukkan pneumonia bakteri. Adanya leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis
yang buruk. Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan peningkatan LED. Namun, secara
umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus
dan bakteri secara pasti (Said, 2008)
2. Uji serologi
Uji serologis untuk deteksi antigen dan antibodi untuk bakteri tipik memiliki sensitivitas dan
spesifisitas rendah. Pada deteksi infeksi bakteri atipik, peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat
mengkonfirmasi diagnosis (Said, 2008).
3. Pemeriksaan mikrobiologis
Pada pneumonia anak, pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan, kecuali pada pneumonia
berat yang rawat inap. Spesimen pemeriksaan ini berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru (Said, 2008). Spesimen dari saluran
napas atas kurang bermanfaat untuk kultur dan uji serologis karena tingginya prevalens
kolonisasi bakteri (McIntosh, 2002).
4. Pemeriksaan rontgen toraks
Foto rontgen tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan pada
pneumonia berat yang rawat inap. Kelainan pada foto rotgen toraks tidak selalu berhubungan
dengan manifestasi klinis. Kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis
sebelum timbul gejala klinis, namun resolusi infiltrat seringkali memerlukan waktu yang lebih
lama bahkan setelah gejala klinis menghilang. Ulangan foto rontgen thoraks diperlukan bila
gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk tindak lanjut. Umumnya pemeriksaan
penunjang pneumonia di instalasi gawat darurat hanyalah foto rontgen toraks posisi AP (Said,
2008).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Radang paru-paru dapat diobati dengan antibiotik. Itulah yang biasanya ditentukan di sebuah
pusat kesehatan atau rumah sakit , tapi sebagian besar kasus pneumonia masa kecil dapat diberikan
secara efektif di dalam rumah. Rawat inap disarankan pada bayi berusia dua bulan dan lebih muda,
dan juga dalam kasus yang sangat parah(WHO, 2011).
1. Terapi suportif umum:
a. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan
pemeriksaan AGD.
b. Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.
c. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan vibrasi.
d. Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif terhadap
pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral.
e. Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.
f. Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan bila terjadi
hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan respiratoy distress dan
respiratory arrest.
2. Penatalaksanaan pada Bayi dan Balita
 Untuk bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat : Bila ada sesak napas harus dirawat dan diberikan antibiotic.
b. Pneumonia : Bila tidak ada sesak napas tetapi napas cepat tidak per;lu dirawat
namun diberikan antibiotic oral.
c. Bukan Pneumonia : bila tidak ada napas cepat dan sesak napas, tidak perlu
antibiotic, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
 Untuk bayi berusia dibawah 2 bulan
a. Pneumonia : Bila ada napas cepat atau sesak napas harus dirawat dan diberikan
antibiotic.
b. Bukan Pneumonia : Tidak ada napas cepat atau sesak napas tidak perlu dirawat,
cukup diberikan pengobatan simptomatis.
 Pneumonia rawat jalan
a. Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral misalnya
amoksisilin atau kotrimoksazol.
b. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/KgBB .
c. Dosis kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP – 20 mg/kgBB sulfametoksazol).
 Pneumonia rawat inap
a. Pilihan antibiotika lini pertama dapat menggunakan beta-laktam atau kloramfenikol.
b. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap obat diatas, dapat diberikan
antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin.
c. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa
komplikasi.
d. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya sepsis atau meningitis.
e. Antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi beta-laktam/klavunalat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi
ketiga.
f. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10
hari,
3. Obat – obatan
a. Antibiotik
Antibiotik yang sering digunakan adalah penicillin G. Mediaksi efektif lainnya
termasuk eritromisin, klindamisin dan sefalosporin generasi pertama. Bila penderita alergi
terhadap golongan penisilin dapat diberikan eritromisin 500mg 4 x sehari. Demikian juga bila
diduga penyebabnya mikoplasma (batuk kering). Diberikan kotrimoksazol 2 x 2 tablet. Dosis
anak :
               • 2 – 12 bulan : 2 x ¼ tablet
               • 1 – 3 tahun : 2 x ½ tablet
               • 3 – 5 tahun : 2 x 1 tablet
Tergantung jenis batuk dapat diberikan kodein 8 mg 3 x sehari atau brankodilator
(teofilin atau salbutamol). Pada kasus dimana rujukan tidak memungkinkan diberikan
injeksi amoksisilin dan / atau gentamisin. Pada orang dewasa terapi kausal secara empiris
adalah penisilin prokain 600.000 – 1.200.000 IU sehari atau ampisilin 1 gram 4 x sehari
terutama pada penderita dengan batuk produktif.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada keadaan sepsis berat.
c. Inotropik
Pemberian obat inotropik seperti dobutamin atau dopamine kadang-kadang diperlukan bila
terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal pre renal.
d. Terapi oksigen
Terapi oksigen diberikan dengan tujuan untuk mencapai PaO 2 80-100 mmHg atau saturasi 95-
96 % berdasarkan pemeriksaan analisa gas darah.
e. Nebulizer
Nebulizer digunakan untuk mengencerkan dahak yang kental. Dapat disertai nebulizer untuk
pemberian bronchodilator bila terdapat bronchospasme.
f. Ventilasi mekanis
Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia :
 Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan oksigen 100 % dengan menggunakan
masker
 Gagal nafas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau didapat
asidosis respiratorik.
 Respiratory arrest
 Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.

H. KOMPLIKASI

a. Abses paru
Abses paru di dalam paru-paru diding tebal, nanah mengisi rongga yang dibentuk ketika
infeksi atau peradangan merusak jaringan paru-paru.

b. Efusi pleural dan empiema


Daerah yang sempit di antara dua selaput pleural secara normal berisi sejumlah kecil cairan
yang membantu melumasi paru-paru. Sekitar 20% pasien yang diopname untuk radang paru-
paru, cairan ini membangun di sekeliling paru-paru. Dalam banyak kasus terutama pada
streptococcus pneumoniae, cairan tetap steril, tetapi ada kalanya dapat terkena infeksi dan
bahkan berisi nanah (suatu kondisi yang disebut empiema). Radang paru-paru dapat juga
disebabkan pleura sehingga terjadi peradangan yang mana dapat mengakibatkan terganggunya
jalan nafas dan sakit yang akut.

c. Kegagalan paru-paru
Udara mungkin memenuhi area antara selaput-selaput pleural yang menyebabkan
pneumothorak atau kegagalan paru-paru. Kondisi bisa berupa suatu kesulitan dari radang
paru-paru (terutama sekali radang paru-paru pneumococcal) atau sebagian dari prosedur
pelanggaran yang digunakan untuk melakukan efusi pleural.

d. Komplikasi radang paru-paru yang lain


Di dalam kasus-kasus yang jarang, infeksi peradangan mungkin dapat menyebar dari paru-
paru ke hati dan dapat menyebar ke seluruh tubuh, kadang-kadang menyebabkan bisul pada
otak dan bagian tubuh atau organ-organ yang lain. Hemoptisis yang parah (batuk darah)
adalah komplikasi radang paru-paru serius yang lain. Selain itu komplikasi yang lain yaitu
perikarditis, meningitis dan atelektasis.

e. Gagal nafas
Kegagalan yang berhubungan dengan pernafasan adalah suatu hal yang penting-
penting yang dapat menyebabkan kematian pada diri pasien dengan radang paru-paru
pneumoccocal. Kegagalan dapat terjadi karena perubahan mekanik dalam paru-paru yang
disebabkan oleh radang paru-paru (kegagalan ventilatory) atau hilangnya oksigen di dalam
nadi ketika radang paru-paru mengakibatkan arus darah menjadi tidak normal (kegagalan
pernapasan hypoxemic).
I. PATHWAY

Agen infeksius Dehidrasi

Monosit/makrofag Tubuh kehilangan cairan

Sitokin pirogen

Mempengaruhi hipothalamus penurunan cairan intrasel

Anterior

Demam

Infeksi bakteri

peningkatan suhu
Secresi mulkus berlebih

kejang Mk :
Menyumbat saluran nafas hipertermi

resiko jatuh
A. jalan
bersihan
B.
nafas

J. ASUHAN KEPERAWATAN

I. ANALISA DATA
Nama Klien : An. M. R Ruang : Kalibiru Lor
No. RM : 750563 Mahasiswa : Kelompok

Hari/Tanggal/Jam Data Etiologi Problem TTD

Kamis, 17/11/2022 DS : Hipersekresi Bersihan jalan Kelompok


09.00 Ibu pasien mengatakan, anaknya jalan napas napas tidak
mengalami batuk pilek dan sesak efektif
napas

DO :
- Frekuensi napas berubah
- Pasien tampak sesak napas
- Terdapat penumpukan
sekret di hidung pasien
- Pasien terpasang O2 1 liter
- Hasil pemeriksaan TTV :
S : 39, 8 ̊C
N : 155 x/menit
RR : 62 x/menit
SPO2 : 98 %
Kamis, 17/11/2022 DS : Proses Hipertermia Kelompok
09.00 Ibu pasien mengatakan demam penyakit
yang dialami anaknya masih naik
turun

DO :
- Pasien tampak rewel
- Pasien tampak pucat
- Kulit pasien teraba hangat
- Hasil pemeriksaan TTV :
S : 39, 8 ̊C
N : 155 x/menit
RR : 62 x/menit
SPO2 : 98 %

Kamis, 17/11/2022 DS : - Risiko Jatuh Kelompok


09.00 Ibu pasien mengatakan saat ini
anak sudah bisa berdiri, sehingga
perlu pengawasan

DO :
- Pasien berusia 6 bulan
- Pasien terpasang iv plug di
tangan kiri
- Pasien terpasang O2 1 liter

II. PRIORITAS MASALAH


1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas
2. Hipertermia b.d proses penyakit
3. Risiko jatuh
III. Rencana asuhan keperawatan
Nama Klien : An. M. R Ruang : Kalibiru Lor
No. RM : 750563 Mahasiswa : Kelompok

HARI/TGL Dx TTD
PERENCANAAN
No. /JAM KEPERAWATAN
SLKI SIKI
1. Kamis, 17/11/2022 Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (I.01011) Kelompok
efektif b.d hipersekresi keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor tanda-tanda vital
09.00 jalan napas diharapkan masalah bersihan jalan 2. Monitor polanaps (frekuensi,
napas tidak efektif dapat teratasi kedalaman, usaha napas)
dengan kriteria hasil : 3. Posisikan semi fowler
4. Berikan oksigen
Bersihan Jalan Napas (L.01001) 5. Kolaborasi pemberian terapi
Indikator Awal Akhir farmakologi
Produksi sputum 2 4
Dipsnea 2 4
Frekuensi napas 2 4

Keterangan :
1 : meningkat
2 : cukup meningkat
3 : sedang
4 : cukup menurun
5 : menurun
2. Kamis, 17/11/2022 Hipertermia b.d proses Setelah dilakuka tindakan Regulasi Temperatur (I.14578) Kelompok
09.00 penyakit keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor tanda-tanda vital
diharapkan masalah hipertermia dapat 2. Monitor suhu kulit
teratasi dengan kriteria hasil : 3. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi
yang adekuat
Termoregulasi (L.14134) 4. Sesuaikan suhu lingkungan dengan
Indikator Awal Akhir kebutuhan pasien
Suhu tubuh 2 4 5. Edukasi keluarga untuk melakukan
Suhu kulit 2 4 kompres dengan air hangat
Pucat 2 4 6. Kolaborasi pemberian antipiretik

Keterangan :
1 : memburuk
2 : cukup memburuk
3 : sedang
4 : cukup membaik
5 : membaik
3. Kamis, 17/11/2022 Risiko Jatuh Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Jatuh (I.14540) Kelompok
09.00 keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi faktor risiko (usia ≤ 2
diharapkan masalah risiko jatuh dapat tahun)
teratasi dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi risiko jatuh
3. Orientasi ruangan pasa pasien dan
Tingkat Jatuh (L.14138) keluarga
Indikator Awal Akhir 4. Pasang handrail tempat tidur
Jatuh dari tempat 2 5 5. Dekatkan bel
tidur 6. Anjuran memanggil perawat jika
Jatuh saat 2 5 membutuhkan bantuan
dipindahkan 7. Ajarkan cara menggunakan bel
Keterangan : untuk memanggil perawat
1 : meningkat
2 : cukup meningkat
3 : sedang
4 : cukup menurun
5 : menurun
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta:
Depkes RI
Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid I, Peneribit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1,
EGC, Jakarta.
Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis.Jakarta :
EGC
Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta
Doenges, Marilynn, E. dkk (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arief dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI Jakarta
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa,
Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta: Pustaka
Obor Populer.
Nanda. 2011. Diagnostik keperawatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
Price, Sylvia dan Wilson Lorraine. 2006. Infeksi Pada Parenkim Paru: Patofisiologi Konsep
Klinis dan Proses-proses Penyakit volume 2 edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta:
Depkes RI
Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid I, Peneribit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1,
EGC, Jakarta.
Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis.Jakarta :
EGC
Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta
Doenges, Marilynn, E. dkk (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arief dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI Jakarta
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa,
Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta: Pustaka
Obor Populer.
Nanda. 2011. Diagnostik keperawatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
Price, Sylvia dan Wilson Lorraine. 2006. Infeksi Pada Parenkim Paru: Patofisiologi Konsep
Klinis dan Proses-proses Penyakit volume 2 edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai