Anda di halaman 1dari 27

Meningitis

Definisi Meningitis

Meningitis adalah proses peradangan pada leptomeninges dan cairan serebrospinal


didalam celah subarakhnoid, biasa akibat infeksi. Meningoensefalitis bila terjadi
peradangan meninges dan parenkim otak. Kadang meningitis berupa iritan nonbakterial
pada celah subarakhnoid (meningitis kimiawi). Berdasarkan etiologi dan perkembangan
klinis, meningitis terbagi atas piogenik akut (biasa bakteri), aseptik (biasa viral), dan kronik
(biasa tuberkulosis, spirochetal atau kriptokokkus). (Kumar V, Abbas AK, Aster JC et
al. Robbins and Cotran pathologic basis of disease Ed.9th. USA: Philadelphia;
2015.)

Etiologi

Tabel 1. Penyebab tersering meningitis1

Organisme Penyebab
Tipe Infeksi Sindrom Klinis
Tersering
Infeksi Bakteri
Meningitis Meningitis piogenik Escherichia coli atau group B
akut streptococci (balita),

Neisseria meningitidis (dewasa


muda),

Streptococcus pneumoniae atau


Listeria monocytogenes (orang
tua)

Meningitis kronik Mycobacterium tuberculosis

Infeksi lokal Abses Streptococci dan staphylococci


Empiema Polymicrobial (staphylococci,
anaerobik gram-negatif)

Infeksi Viral
Meningitis Meningitis akut Enteroviruses,
aseptik Measles (subacute sclerosing
panencephalitis),

Influenza species,

Lymphocytic choriomeningitis
virus
Ensefalitis Sindrom ensefalitik Herpes simplex (HSV-1, HSV-2),

Cytomegalovirus,

Human immunodeficiency virus,

JC polyomavirus (progressive
multifocal leukoencephalopathy)

Arthropod-borne West Nile virus,

encephalitis Eastern equine encephalitis virus,

Western equine encephalitis


virus,

St. Louis encephalitis virus,

La Crosse encephalitis virus,

Venezuelan equine encephalitis


virus,

Japanese encephalitis virus,

Tick-borne encephalitis virus

Brainstem and Rhombencephalitis Rabies

spinal cord Spinal poliomyelitis Polio,

syndromes West Nile virus

Rickettsia, Spirochetes, dan Jamur


Sindrom Rocky Mountain spotted Rickettsia rickettsii
meningitis fever

Neurosyphilis
Treponema pallidum
Lyme disease
Borrelia burgdorferi
(neuroborreliosis)

Fungal meningitis
Cryptococcus neoformans,

Candida albicans
Protozoa dan Metazoa
Sindrom Cerebral malaria Plasmodium falciparum
meningitis Amebic encephalitis Naegleria species

Infeksi lokal Toxoplasmosis Toxoplasma gondii


Cysticercosis Taenia solium
Kumar V, Abbas AK, Aster JC et al. Robbins and Cotran pathologic basis
of disease Ed.9th. USA: Philadelphia; 2015.

1. Meningitis Bakterialis
Meningitis bakterialis akut adalah infeksi meningitis yang terjadi
dalam waktu kurang dari 3 hari dan umumnya disebabkan oleh bakteri.
a. Patofisiologi :
Strain meningitis bakteri meliputi:
• Haemophilus influenzae
• Streptoccus pneumoniae
• Neisseria meningitidis
• Listeria monocytogenes
Kondisi medis yang menjadi predisposisi meningitis termasuk
sinusitis, keadaan defisiensi imun, fraktur tulang tengkorak, atau alasan
lain untuk tengkorak cacat, proses bedah saraf, shunt.
b. Manifestasi Klinis
 Anamnesis :
Nyeri kepala, Fotofobia, Penurunan kesadaran, Kejang,
Kelemahan 1 sisi, Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda
hidrosefalus: nyeri kepala berat, muntah-muntah, kejang. Pada
orang dewasa biasanya diawali dengan infeksi saluran
pernapasan atas yang ditandai dengan demam dan keluhan-
keluhan pernapasan, kemudian diikuti gejala-gejala SSP. Pada
Meningitis Mengingokokus seringkali diawali dengan gejala
septikemia dan syok septik, seperti demam, nyeri pada lengan
dan/atau tungkai.
 Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik
menyeluruh.
- Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS (penurunan
kesadaran)
- Pemeriksaan kaku kuduk positif, pemeriksaan kekuatan
motoric (hemiparesis).
- Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus
seperti papiledema.
- Pada Meningitis Meningokokus sering diawali dengan
tanda septicaemia dan syok septik, seperti kulit teraba
dingin atau kebiruan pada bibir, terdapat papul sampai
ekimosis pada ekstremitas.

 Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap, Kimia klinik (SE, SGOT, SGPT, BUN,
SK,Albumin
- kadar elektrolite urine bila di curigai komplikasi SIADH
pada penderita meningitis.
- Lumbal punksi( pleositosis dominan sel
polimorfonuklear, peningkatan kadar protein, penurunan
kadar glukosa, rasio glukosa LCS: Darah < 0.4)

Kontra indikasi lumbal punksi:


a. Papil edema
b. Penurunan keasadaran yang dalam dan progressif
c. Kecurigaan lesi desak ruang
d. Deficit neurologis fokal

Kontraindikasi relative:
a. Infeksi pada daerah tusukan
b. Syok
c. Koagulopathy
d. Trombosit < 50.000 g/dL
Pada kasus tersebut perlu dilakukan pemeriksaan imaging
sebelum dilakukan lumbal punksi
- Pemeriksaan latex aglutinasi atau PCR untuk 3 kuman
penyebab, Kulturdarah dan likuor serta tes kepekaan
antibiotika
- Pengecatan gram pada darah dan likuor.
- EEG bila didapatkan riwayat kejang
- Pencitraan : CT scan kepala + kontras atau MRI kepala
+ Kontras.

c. Kriteria Diagnosis
- Tanda dan gejala klinis meningitis disertai
- Parameter cairan serebrespinal (CSS) abnormal: predominansi
PMN, rasio glukosa CSS:darah < 0,4, • Didapatkannya bakteri
penyebab di dalam CSS secara mikroskopis dan/atau hasil kultur
positif
ATAU :
- Gejala dan tanda klinis meningitis disertai
- Parameter CSS abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa
CSS:darah <0,4 dan Kultur CSS negative disertai dengan satu
dari hal berikut: (Kultur darah positif, Tes antigen atau PCR dari
CSS menunjukan hasil positif)
Dengan atau tanpa :
- Riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang baru
- Riwayat faktor predisposisi, seperti pneumonia,
sinusitis, otitis media, gangguan imunologi tubuh,
alkoholisme, dan DM.
d. Diagnosis Banding :Meningitis Viral, Meningitis TB
e. Tatalaksana
 Terapi antibiotic empiric:
a. Neonatus, bakteri penyebab streptokokkus group B, listeria
monocytogenes, E Coli; antibiotika: Ampicillin +
cefotaxime
b. 2 bulan - 18 tahun, bakteri penyebab N. meningitides, S.
pneumonia, H. Influenza; antibiotika Ceftriaxon atau
cefotaxime, dapat ditambahkan vankomisin
c. 18-50 tahun, bakteri penyebab S, Pneumonia, N.
Meningitidis; antibiotika Ceftriaxone dapat ditambahkan
Vancomicyn
d. > 50 tgh, bakteri penyebab S. Pneumonia, L.
Monocytogenes, bakteri ram negative; Antibiotika
Vancomicyn + ampicillin, + Ceftriaxone.
 Pemberian antibiotika Spesifik sesuai dengan hasil kultur
 Dexamethasone 0.15 mg/KgBB (10 mg pada dewasa) setiap 6
jam selama 2-4 hari. Diberikan pertama 30 menit sebelum
diberikan antibiotika
 Pemberian antipyretika (paracetamol, metamizole) sesuai
dengan kebutuhan penderita
 Injeksi H2 bloker setiap 12 jam
 Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
 Penatalaksanaan kejang dengan anti konvulsan sesuai dengan
protocol status epileptikus
 Pada kondisi Status epilepsy Refrakter pasien dirawat di ICU
dengan menggunakan ventilator dan obat – obatan astesi
 Jika pasien gelisah dapat diberika obat sedative clobazam 2x10
mg
 Apabila didapatkan tanda-tanda tekanan intracranial yang
meningkat maka dapat diberikan manitol 20%, diberikan
dengan dosis awal 1-1,5 g/kg berat badan selama 20 menit,
dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg berat badan setiap 4-6 jam atau
dengan menggunakan cairan hypertonic saline NaCl 3% 2
ml/KgBB selama 30 menit atau Natrium - laktat 1.2 ml/kgBB
selama 15 menit
 Hemikraniektomi dekompresi, pemasangan EVD atau VP shunt
dapat dilakukan pada kondisi malignant intracranial
hypertension. Pemasangan lumbal drain dapat dilakukan
sebagai alternative yang kurang invasive dibandingkan dengan
EVD.
2. Meningitis Kriptokokus ( Meningitis Fungal )
Cryptococcus adalah organisme yang paling umum menyebabkan
jamur meningitis, walaupun Candida dan Aspergillus, juga beberapa yang
lain bisa. Meningitis jamur jarang terlihat pada inang imunokompeten;
pasien dengan AIDS sangat rentan terhadap kriptokokus meningitis.
a. Manifestasi Klinis :
• Anamnesis
Gejala prodromal 2-4 minggu, Demam dan sakit kepala,
Tanda klasik meningitis tidak selalu dijumpai, Tanda
peningkatan TIK(+), Gangguan kognitif Keluhan defisit
neurologi fokal.
• Pemeriksaan Fisik
Penurunan kesadaran, Tanda rangsang meningeal, Tanda
peningkatan Tekana intracranial, Demam, Kejang,
Defisit neurologis fokal.
• Pemeriksaan Penunjang
Lumbal Pungsi menunjukkan peningkatan tekanan CSF,
dengan limfositosis limfositik 100–300 sel. Protein
umumnya meningkat dan glukosa mungkin berkurang.,
LCS tinta India dan kultur didapatkan C. neoformans,
CT Brain dengan kontras sebelum dilakukan drainase
lumbar

b. Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan LCS didapatkan Kriptokokus pada pengecatan
Tinta India atau kultur didapatkan C. neoformans

c. Diagnosis Banding
Meningitis Viral, Meningitis Bakterialis, Enchepalitis.

d. Tatalaksana
Tatalaksana Umum
Ditujukan terhadap fungsi vital paru-paru, jantung, ginjal,
keseimbangan elektrolit dan cairan, gizi, higiene.
Tatalaksana Khusus
- Drainase lumbal untuk menurunkan TIK
- Farmakologis :
a. Simptomatik : antipiretik dan obat nyeri kepala
b. Minggu 1-2 (induksi):
Ampoterisin B 0,7-1 mg/KgBB/hari dalam infus
Dekstrose 5% dan diberikan 4-6 jam + Flukonazole
800mg/hari (PO) Atau Fluconazole 800-
1200mg/hari (PO) selama 2 minggu
c. Minggu 3-10 (Konsolidasi):
Flukonazole 800mg/hari(PO)

3. Meningitis Viral
Virus dapat dengan mudah menyerang meningen, menghasilkan
meningitis akut yang sulit dibedakan dari bakteri meningitis. Sejumlah virus
dapat menghasilkan meningitis virus, termasuk enterovirus, HSV2, CMV,
EBV, LCM, HIV, dan adenovirus. HSV2 lebih cenderung menyebabkan
meningitis daripada ensefalitis, sedangkan kebalikannya berlaku untuk
HSV1, yang lebih cenderung menyebabkan enchepalitis.

a. Manifestasi Klinis
 Anamnesis
Pasien datang dengan sakit kepala dan demam,
seringkali dengan sakit leher. Penurunan kesadaran dan
kejang jarang terjadi , dan jika ada, kejang menunjukkan
adanya meningoensefalitis.
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis sering menunjukkan tanda-
tanda meningeal. Kaku kuduk dapat ditemukan,
meskipun keparahan tanda-tanda meningeal tidak terlalu
menonjol seperti meningitis bakteri.
 Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium rutin biasanya dalam batas normal.
- Pencitraan normal. Dalam MRI seringkali peradangan
meningeal tidak cukup untuk dilihat pada MRI.
- LP paling sering menunjukkan pleositosis limfositik di
CSF, biasanya kurang dari 100 sel, walaupun beberapa
ratus sel bisa saja erlihat. Ribuan sel menunjukkan
infeksi bakteri. Protein mungkin meningkat, tetapi
glukosa normal.
- Titer spesifik untuk virus tertentu dapat dilakukan.

b. Diagnosis Banding
Abses Otak, Meningitis Bakterial, Meningitis Fungal

c. Tatalaksana
Meningitis virus adalah penyakit self limiting disease hanya
membutuhkanpengobatan suportif dengan analgesik,
antiemetik. Pengecualiannya adalah HIV dan HSV-2, di mana
pengobatan (terapi antiretroviral dan asiklovir, masing-masing)
dapat dimulai, meskipun mungkin tanpa pengaruh langsung
pada perjalanan meningitis itu sendiri. Pemulihan penuh
biasanya terjadi dalam 1-2 minggu
4. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis Tuberkulosa adalah radang selaput otak akibat
komplikasi Tuberkulosa Primer.
a. Manifestasi Klunis
 Anamnesis
Malaise, Anoreksia, Demam, Nyeri kepala yang semakin
memburuk, Perubahan mental, Penurunan kesadaran,
Kejang, Kelemahan 1 sisi
 Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik
menyeluruh
 Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS,
pemeriksaan kaku kuduk, pemeriksaan saraf kranialis
(kelumpuhan saraf kranialis II, III, IV, VI, VII, VIII),
kekuatan motorik (hemiparesis), pemeriksaan
funduskopi (tuberkel pada khoroid dan papil edema
sebagai tanda peningkatan tekanan intrakranial).

b. Kriteria Diagnosis
Memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan imaging dan cairan serebrospinal.

c. Diagnosis Banding
Meningitis Bakterialis
d. Pemeriksaan Penunjang
• CT-scan kepala / MRI kepala dengan kontras
• Thorax foto PA
• Lab: darah rutin (Hb/leuko), ureum, kreatinin, gula darah
sewaktu, natrium
• Test HIV
• Pemeriksaan mikrobiologi: pewarnaan langsung dengan ZN,
kultur Ogawa,
GeneXpert

e. Tatalaksana
• Penderita sebaiknya dirawat di perawatan intensif
• Perawatan penderita meliputi kebutuhan cairan dan elektrolit,
kebutuhan gizi, posisi penderita, perawatan kandung kemih,
dan defekasi.
• Pengobatan:
 Isoniazid (INH) 10-20 mg/KgBB/hari (anak), 400
mg/hari (dewasa).
 Rifampisin 10-20 mg/KgBB/hari, dosis 600 mg/hari
dengan dosis tunggal (dewasa).
 Etambutol 25 mg/KgBB/hari sampai 150 mg/hari.
 PAS (Para-Amino-Salicilyc0-Acid) 200 mg/KgBB/hari
dibagi dalam 3 dosis dapat diberikan sampai 12 g/hari.
 Streptomisin IM kurang lebih 3 bulan dengan dosis 30-
50mg/KgBB/hari.
 Kortikosteroid: prednisone 2-3 mg/KgBB/hari (dosis
normal), 20mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2-4
minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1
mg/KgBB/hari selama 1-2 minggu. Deksametason IV
(terutama bila ada edema otak) dengan dosis 10 mg
setiap 4-6 jam, bila membaik dapat diturunkan sampai 4
mg setiap 6 jam
Abses Otak
Definisi Abses Otak :
Penumpukan materi piogenik yang terlokalisir di dalam atau di antara parenkim,
otak, dengan etiologi bermacam-macam meliputi :
 Bakteri (yang sering) : Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob,
 Streptococcus β hemolitikus, Streptococcus α hemolitikus, E.coli,
 Bacteroides.
 Jamur : N.asteroids, Candida, Aspergillus, Actinomycetes
 Parasit : E.Histolitika, Cystisercosis, Schistosomiasis
Manifestasi Klinis
 Anamnesis : demam, nyeri kepala, perubahan kesadaran, dapat disertai
kejang dan deficit, neurologis fokal
 Pemeriksaan: Kesadaran menurun, demam, kejang dan terdapat defisit
neurologis fokal.
Kriteria Diagnosis
 Gambaran klinisnya tidak khas. Kriteria terdapat gejala infeksi seperti
demam; peningkatan tanda TIK (sakit kepala yang semakin memberat,
muntah proyektil, penurunan kesadaran), dan tanda neurologis fokal.
 Pemeriksaan darah rutin: 50-60% didapati leukositosis, 70-95% LED
meningkat.
 Ditemukan fokus seperti otitis media, sinusitis, endokarditis, pneumonia,
selulitis.
 CT Scan kepala dengan kontras: massa hipodens dengan penyangatan
cincin pada tepinya

Subdural Empiema Epidural Abses


Spinal Epidural Abses
Diagnosis Banding
 Space Occupying Lesion lainnya seperti toksoplasmosis otak,
tuberkuloma, abses TB, keganasan
Pemeriksaan Penunjang
 Darah rutin (leukosit, LED), ureum, kreatinin, SGOT, SGPT.
 Pungsi lumbal: dilakukan bila tidak ada kontraindikasi untuk kultur dan tes
sensitifitas
 CT Scan kepala + kontras
 MRI kepala + Kontras

Tatalaksana
 Terapi kausal:
 Terapi empirik:
- Sefalosporin generasi III intravena (Ceftriaxone 2 g/12 jam iv atau
- Cefotaxime 2 g/8 jam iv)
- Metronidazole 500 mg/8 jam IV
Terapi empirik diberikan hingga didapatkan antibiotik yang sesuai dengan hasil
tes sensitivitas kuman yang diisolasi dari abses atau dari sumber infeksi. Jika hasil
isolasi tidak ditemukan kuman penyebab, maka terapi empirik dapat dilanjutkan
hingga 6-8 minggu, dapat diberikan
 Antiedema dexamethasone atau manitol sesuai indikasi
 Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter >2,5 cm
Tetanus

Definisi Tetanus:

Terjadinya rigiditas dan spasme yang diakibatkan oleh toksin tetanus


(tetanospasmin) yang dihasilkan oleh bakteri gram positif berbentuk basil,
yaitu Clostridium tetani. Selain itu, tetanus juga dapat didefinisikan sebagai
keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri
(biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh.

Etiologi

Clostridium tetani adalah bakteri anaerobik gram positif berbentuk basil


dan bersifat motil. Bakteri ini tidak berkapsul dan dapat membentuk spora yang
resisten terhadap panas dan desinfeksi. Spora yang yang tak berwana ini
berlokasi di salah satu ujung basilus sehingga bentuknya terlihat seperti drum-
stick. Bakteri ini dapat ditemukan di tanah, debu, dan feses manusia serta
hewan. Sekitar 65% kasus tetanus terjadi akibat adanya infeksi melalui luka.
Selain itu, bakteri tetanus juga dapat menginfeksi melalui paku, infeksi pada
gigi dan penggunaan jarum suntik.

Faktor risiko

 Ibu hamil yang tidak mendapat imunisasi tetanus


 Pasien diabetes
 Pasien yang belum mendapat imunisasi tetanus

Patofisiologi

Clostridium tetanus adalah bakteri yang dapat menghasilkan spora, yang mana
spora ini dapat tumbuh jika adanya kondisi yang rendah oksigen, seperti saat
devitalisasi jaringan, yang mana pada kondisi ini tubuh membutuhkan oksigen
untuk memprebaiki jaringan yang rusak. Namun hal ini mengakibatkan kadar
oksigen dalam tubuh akan menurun. Kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan oleh
spora Clostridium tetani untuk tumbuh dan berkembang biak secara vegetatif.
Selain mengalami pertumbuhan, pada kondisi yang anaerobik, C. tetani juga
mengeluarkan kedua toksinnya yaitu tetanolisin, yang merupakan zat hemolysin
yang tidak terlihat aktivitas patologisnya, serta tetanospasmin yang mana toksinnya
berperan dalam munculnya gejala klinis tetanus.

Tetanospasmin diproduksi dalam bentuk protein dengan beban 150 kda, yang
terdiri dari 100 kda rantai berat dan 50-kda rantai ringan yang terikat dalam ikatan
disulfide. Rantai yang berat, memediasi terikatnya tetanospasmin pada saraf
presinaptik motorik serta menciptakan pori-pori agar rantai yang ringan dapat
masuk ke dalam sitosol. Rantai yang ringan ini adalah metalloproteinase yang
bergantung pada zink dan menyerang sinaptobrevin. Sinaptobrevin adalah protein
yang berperan dalam proses eksositosis. Kemudian toksin tetanus ini akan
melanjutkan perjalanannya hingga mencapai medulla spinalis, lalu ditransport
menyebrangi sinaps dan dibawa oleh ujung saraf inhibitor yang GABAergik
dan/atau glisinergik, yang mana ujung saraf ini mengatur aktivitas saraf motoric
bawah (LMN). Masuknya toksin ke ujung saraf inhibitor, menyebabkan
terhambatnya pelepasan GABA dan glisin, sehingga terjadi hiperaktifitas dari otot,
yang mana hiperaktifitas ini berupa rigiditas dan spasme.

Klasifikasi

a. Tetanus local
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena
gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–
otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk
ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat
berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai, biasanya
dimulai dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum
dan opistotonus. Dalam 24 – 48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh
sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan
mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. Selain
kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga
muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis
tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat
pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan
nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala
kuduk kaku sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya
diikuti kejang umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan
rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan
fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan
yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang.
Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan
menelan, asfiksia dan sianosis. Selain itu, pada tetanus umum juga dapat terjadi
rigiditas abdomen. Retensi urine sering terjadi karena spasme sfincter kandung
kemih. Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai
panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Pada kasus yang
berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang
labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia jantung.
c. Tetanus sefalik
Tetanus yang jarang terjadi dan biasanya terjadi disertai palsi saraf kranial
akibat adanya trauma kepala atau otitis media.
d. Tetanus neonatorum
Sebagian besar kasus tetanus neonatorum disebabkan oleh infeksi dari
umbilikal kord akibat persalinan yang tidak bersih dan ibu yang tidak
mendapat infeksi tetanus. Pada akhir minggu pertama kehidupan, bayi yang
terinfeksi tetanus akan mulai rewel, sulit minum asi dan ditemukan adanya
rigiditas serta spastisitas.

Gambaran Klinis
 Adanya hiperaktifitas otot volunter berupa rigiditas dan spasme.
 Trismus
 Risus sardonikus
 Kaku leher
 Opistotonus
 Nyeri otot
 Berkeringat
 Takikardi

Kriteria derajat tetanus

Kriteria Pattel Joag

 Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang
belakang
 Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat
keparahan
 Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari
 Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
 Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau aksila 99ºF
( 37,6 ºC).

Grading

 Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2


(tidak ada kematian)
 Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2.
Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam
(kematian 10%)
 Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang
dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
 Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
 Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus
neonatorum (kematian 84%).

Klasifikasi Alblett’s:

 Grade 1 (ringan) Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak


ada penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
 Grade 2 (sedang) Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau
sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu
 Grade 3 (berat) Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama
dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan
yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan
takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus
meningkat.
 Grade 4 (sangat berat) Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang
berat, sering kali menyebabkan “autonomic storm”.

Komplikasi

 Laringospasme, obstruksi saluran pernapasan atas akibat spasme


 Fraktur tulang panjang akibat kejang
 Aspirasi pneumonia, terjadinakibat adanya kekakuan di lejer, sehingga
memungkinkan saliva atau darah pasien masuk ke saluran pernapaaan
sehingga terjadi aspirasi pneumonia

Penatalaksanaan

a. Perawatan luka
1. Bersihkan luka dengan sabun dan air hangat selama 10 menit lalu
irigasi dengan saline, atau gunakan polvydone iodine 2 kali sehari
2. Debridement, keluarkan semua benda asing dari luka
3. Tutup luka dengan kassa dan kassa diganti setiap hari
b. Netralisasi toksin
1. Tetanus toksoid (TT) atau Tetanus dan difteria (Td) diberikan sebanyak
0,5 ml melalui intramuscular pada pasien berusia lebih dari 10 tahun.
Sedangkan pada pasien berusia kurang dari 10 tahun maka dapat
diberikan Difteria dan tetanus (DT) melalui intramuskular
2. Tetanus Immunoglobulin (TIG)
TIG diberikan pada pasien dewasa maupun anak-anak sebanyak 250 IU
melalui intramuscular, namun dosis ini dapat ditingkatkan hingga 500
IU jika luka yang didapat sudah lebih dari 12 jam,adanya risiko
kontaminasi yang berat dan pasien memiliki beban tubuh lebih dari 90
kg.

3. Antitetanus serum (ATS)


ATS diberikan sebanyak 10.000 IU secara intramuscular, jika tidak ada
ketersediaan TIG
c. Antikonvulsi
Diazepam diberikan sebanyak 5 mg secara intravena atau lorazepam
sebanyak 2 mg setiap 2-6 jam. Pada anak, dosis yang diberikan adalah 0,1-
0,2 mg/KgBB setiap 2-6 jam. Dosis ini dapat dinaikkan hingga 600 mg.
Selain itu, Agen lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme ialah
barbiturate short-acting sebanyak 100-150 mg setiap 4 jam pada dewasa
dan 6-10 mg/kgBB pada anak, melalui segala cara, dan klorpromazin
sebanyak 50-150 mg diberikan setiap 4-8 jam melalui intramuscular pada
dewasa dan 4-12 mg setiap 4-8 jam melalui intramuscular pada anak-anak.
Spasme ringan: 5-20 mg p.o setiap 8 jam
Spasme Sedang: 5-10 mg i.v, tidak melebihi 80-120 mg dalam 24 jam atau
dalam bentuk drip
Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml dekstrose 5% dan diinfuskan
dengan kecepatan 10-15 mg/jam diberikan dalam 24 jam
d. Antibiotik
Antibiotik diindikasikan untuk situasi di mana luka berisiko tinggi untuk
terinfeksi, seperti: luka yang terkontaminasi, luka tusuk dan lasrasi yang
lebih dari 5cm. Antibiotik yang dapat diberikan ialah metronidazole, pada
orang dewasa dengan dosis 500 mg setiap 8 jam melalui intravena dan pada
anak-anak dengan dosis 7,5 mg setiap 8 jam melalui intravena
e. Trakeostomi saat terjadi laringospasme

Rabies

Definisi
Rabies adalah penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus
rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi
manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala,
kelelawar) Rabies hampir selalu berakibat fatal jika postexposure prophylaxis tidak
diberikan sebelum onset gejala berat. Virus rabies bergerak ke otak melalui saraf
perifer. Masa inkubasi dari penyakit ini tergantung pada seberapa jauh jarak
perjalanan virus untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya mengambil masa
beberapa bulan.

Manifestasi Klinis
1. Stadium prodromal
Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di tenggorokan
selama beberapa hari.
2. Stadium sensoris
Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada tempat
bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang sensoris.
3. Stadium eksitasi
Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hal yang
sangat khas pada stadium ini adalah munculnya macam-macam fobia
seperti hidrofobia. Kontraksi otot faring dan otot pernapasan dapat
ditimbulkan oleh rangsangan sensoris misalnya dengan meniupkan udara
ke muka penderita. Pada stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis,
konvulsan, dan takikardia. Tindak tanduk penderita tidak rasional kadang
maniacal disertai dengan responsif. Gejala eksitasi terus berlangsung
sampai penderita meninggal.
4. Stadium paralisis
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium sebelumnya,
namun kadang ditemukan pasien yang tidak menunjukkan gejala eksitasi
melainkan paresis otot yang terjadi secara progresif karena gangguan pada
medulla spinalis.
Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8 minggu.
Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya timbul sesudah 12
minggu. Mengetahui port de entry virus tersebut secepatnya pada tubuh pasien
merupakan kunci untuk meningkatkan pengobatan pasca gigitan (post exposure
therapy). Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan
mungkin telah dilupakan. Tetapi pasien ekarang mengeluh tentang perasaan
(sensasi) yang lain ditempat bekas gigitan tersebut. Perasaan itu dapat berupa rasa
tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar (panas), berdenyut dan sebagainya.

 Anamnesis
Penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan anjing,
kucing, atau binatang lainnya yang :
 Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka).
 Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh).
 Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan sebagainya).
 Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain-lain).
Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari-7 tahun.
Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, dan
lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajat patogenitas virus
dan persarafan daerah luka gigitan). Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada
ekstremitas 46-78 hari.

 Pemeriksaan Fisik
 Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan
mungkin telah dilupakan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan
parestesia pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%),
mioedema (menetap selama perjalanan penyakit).
 Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat: hiperventilasi,
hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma
abnormalitas ADH, paralitik/paralisis flaksid.
 Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian.
 Tanda patognomonis
 Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang
persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris
spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.

 Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium kurang bermakna

Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan yang menggigit
mati dalam 1 minggu. Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise, anoreksia,
kadang ditemukan parestesia pada daerah gigitan.
Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten, nyeri
pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi,
kejang, hidrofobia dan aerofobia.

Diagnosis Banding
• Tetanus.
• Ensefalitis.
• lntoksikasi obat-obat.
• Japanese encephalitis.
• Herpes simplex.
• Ensefalitis post-vaksinasi.

Tatalaksana
- Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk
menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan spasme otot
ataupun untuk mencegah penularan.
- Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen) 5-
10 menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan debridement dan
diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii atau larutan
ephiran, Jika terkena selaput lendir seperti mata, hidung atau mulut, maka
cucilah kawasan tersebut dengan air lebih lama; pencegahan dilakukan
dengan pembersihan luka dan vaksinasi.
- Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah menunjukkan
gejala rabies, penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam
penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
- Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) Bila serum heterolog (berasal dari
serum kuda) Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi pada luka sebanyak-
banyaknya, sisanya disuntikkan secara IM. Skin test perlu dilakukan terlebih
dahulu. Bila serum homolog (berasal dari serum manusia) dengan dosis 20
IU/ kgBB, dengan cara yang sama.
- Pemberian serum dapat dikombinasikan dengan Vaksin Anti Rabies (VAR)
pada hari pertama kunjungan. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dalam
waktu 10 hari infeksi yang dikenal sebagai post-exposure prophylaxis atau
“PEP”VAR secara IM pada otot deltoid atau anterolateral paha dengan dosis
0,5 ml pada hari 0, 3,7,14, 28 (regimen Essen atau rekomendasi WHO), atau
pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21 (regimen Zagreb/rekomendasi
Depkes RI).
- Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun
terakhir, bila digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2
dosis pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan berat vaksin diberikan
lengkap.
- Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari
tangan dan genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis tunggal. Cara
pemberian SAR adalah setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka dan
setengah dosis IM pada tempat yang berlainan dengan suntikan SAR,
diberikan pada hari yang sama dengan dosis pertama SAR.
DAFTAR PUSTAKA

1. Panduan Praktik Klinis Nurologi. PERDOSSI. 2016.


2. Allan H. Ropper Martin A. Samuels, Joshua P. Klein SP. Adams and Victor’s Principles
of Neurology. 11th ed. York N, editor. McGraw-Hill; 2019.
3. Brust JM. Current Diagnosis And Treatment Neurology. 3 th. United States: McGraw-
Hill; 2019. 66-78 p.
4. ll KEM et. Netter’s Concise Neurology. Updated Ed. Frank H N, editor. Philadelphia:
Elsevier; 2017. 273-294 p.
5. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. 2014. Manson’s Tropical
Diseases, Twenty-Third Edition. Elsevier, Philadelphia.
6. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. 2013. Medical Microbiology, Seventh Edition.
Elsevier, Philadelphia.
7. Brooks GF, Caroll KC, Butel JS, Morse, SA, Mietzner, TA. 2013. Jawetz, Melnick
&Adelberg’s Medical Microbiology International Edition, Twenty Sixth. ed. McGraw-
Hill Companies, New York.
8. Dirjen Bina Upaya Kesehatan. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer, Edisi Revisi. 2014.

Anda mungkin juga menyukai

  • Scrib 5
    Scrib 5
    Dokumen28 halaman
    Scrib 5
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Scrib 4
    Scrib 4
    Dokumen3 halaman
    Scrib 4
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Scrib 2
    Scrib 2
    Dokumen18 halaman
    Scrib 2
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Skizofrenia
    Leaflet Skizofrenia
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Skizofrenia
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Scrib 3
    Scrib 3
    Dokumen1 halaman
    Scrib 3
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Journalreading Rsjiklender
    Journalreading Rsjiklender
    Dokumen13 halaman
    Journalreading Rsjiklender
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Bahan Refreshing
    Bahan Refreshing
    Dokumen7 halaman
    Bahan Refreshing
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Contusio Cerebri
    Contusio Cerebri
    Dokumen12 halaman
    Contusio Cerebri
    Adhalma
    Belum ada peringkat
  • Scrib 1
    Scrib 1
    Dokumen4 halaman
    Scrib 1
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    Dokumen25 halaman
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Contusio Cerebri
    Contusio Cerebri
    Dokumen12 halaman
    Contusio Cerebri
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Subarachnoid Hemorrage
    Subarachnoid Hemorrage
    Dokumen33 halaman
    Subarachnoid Hemorrage
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Plasenta Previa
    Plasenta Previa
    Dokumen16 halaman
    Plasenta Previa
    Asyha Kantifa
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhn Skabies
    Penyuluhn Skabies
    Dokumen17 halaman
    Penyuluhn Skabies
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • REFERAT
    REFERAT
    Dokumen35 halaman
    REFERAT
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • REFERAT
    REFERAT
    Dokumen35 halaman
    REFERAT
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Bahan Refreshing 2
    Bahan Refreshing 2
    Dokumen29 halaman
    Bahan Refreshing 2
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Angioudema
    Angioudema
    Dokumen10 halaman
    Angioudema
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Ab Inkomplit
    Ab Inkomplit
    Dokumen22 halaman
    Ab Inkomplit
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Staphylococcal Scaled Skin Syndrome
    Staphylococcal Scaled Skin Syndrome
    Dokumen3 halaman
    Staphylococcal Scaled Skin Syndrome
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    Dokumen25 halaman
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • SSJ
    SSJ
    Dokumen19 halaman
    SSJ
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    Dokumen25 halaman
    OPTIMALKAN KONTRASEPSI
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Cover Skripsi
    Cover Skripsi
    Dokumen2 halaman
    Cover Skripsi
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Pemfigus
    Pemfigus
    Dokumen14 halaman
    Pemfigus
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Ssss
    Ssss
    Dokumen5 halaman
    Ssss
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Alma Tugas 2
    Alma Tugas 2
    Dokumen1 halaman
    Alma Tugas 2
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Dermatitis Numularis
    Dermatitis Numularis
    Dokumen8 halaman
    Dermatitis Numularis
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat
  • Definisi Kusta
    Definisi Kusta
    Dokumen25 halaman
    Definisi Kusta
    adhalmacptng
    Belum ada peringkat