Anda di halaman 1dari 36

1.

1 Latar Belakang
Trauma merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45
tahun dan lebih dari 50% merupakan trauma kapitis. Cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran dan dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental
yang kompleks defisit kognitif, psikis, intelektual dan lain-lain yanng dapat
bersifat sementara ataupun menetap.1
Di Indonesia, cedera kepala merupakan penyebab hampir dari setengah
dari seluruh kematian akibat trauma. Di USA kejadian cedera kepala setiap
tahunya diperkirakan sebanyak 500.000 kasus dan 10% diantara kasus tersebut
meninggal sebelum sampai di rumah sakit. 80 % dari penderita yang sampai di
rumah sakit dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % cedera kepala
sedang, dan sisanya sebagai cedera kepala berat. Di Indonesia di rumah sakit dr
Hasan Sadikin (Bandung), pada tahun 2011 kejadian cedera kepala sebanyak
2.509, terdiri atas 74% cedera kepala ringan, 17% cedera kepala sedang dan 9 %
cedera kepala berat .2
Cidera kepala merupakan cidera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri dan
perdarahan pada bagian otak. Perdarahan pada bagian otak tergantung letak
perdarahan dan dapat mempengaruhi volume dan fungsi jaringan yang ada di
dalam otak, Salah satu perdarahan pada daerah kepala yaitu adalah subdural
hematom.3
Subdural hematom (SDH) merupakan perdarahan intrakranial yang
mengisi ruang potensial diantara duramater dan arachnoid. Hematoma subdural
adalah tipe paling umum dari lesi massa intrakranial traumatis Subdural
hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan trauma kepala berat,
berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1-5,3
kasus per 100.000 populasi. Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat.
Bertambah besarnya volume perdarahan mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial yang ditandai dengan nyeri kepala, papil edema, dan muntah
yang seringkali bersifat proyektil. Pada tahap lebih lanjut, jika hematom yang
terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai
dengan penurunan kesadaran, adanya pupil yang anisokor dan terjadinya
hemiparesis kontralateral.3
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala,
terutama cedera kepala berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah

yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang pada akhirnya akan
meningkatkan tingkat kesembuhan pasien.4

BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 Anatomi Kepala


Anatomi kepala terdiri atas skalp, tengkorak, meningesm otak, sistem ventrikuler,
dan kompartemen intrakranial.5

Gambar 2.1 Gambaran umum anatomi kranial. Panah mewakili produksi,


sirkulasi, dan resorpsi LCS.5

a. Skalp
Skalp banyak mengandung pembuluh darah, sehingga laserasi skalp dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berat, syok hemoragik, dan bahkan
kematian. Pasien yang ditransport dengan waktu yang lama paling berisiko untuk
mengalami komplikasi ini. 5

b. Tengkorak
Dasar tulang tengkorak berbentuk ireguler, dan permukaannya dapat
menyebabkan injuri ketika otak bergerak dalam tulang tengkorak selama aselerasi
dan deselerasi yang terjadi selama peristiwa traumatik. Fossa anterior lobus
frontalis, fossa media lobus temporal, dan fossa posterior terdapat serebellum dan
batang otak bagian bawah. 5
c. Meningens
Meninges melapisi otak dan terdiri atas tiga lapis: duramater, arachnoid
mater, dan pia mater. Duramater bersifat keras, membran fibrosa yang melekat ke
lapisan dalam tulang tengkorak. Pada tempat tertentu, dura membelah menjadi
dua dan terdapat sinus venousus, yang menyuplai drainage vena mayor dari otak.
Sinus sagital superior midline drains ke sinus transverse bilateral dan sinus
sigmoid yang biasanya lebih besar pada sisi kanan. Laserasi sinus venosus ini
dapat menyebabkan hemoragis masif.5
Arteri mengingea terletak diantara dura dan permukaan internal tulang
tengkorak pada ruang epidural. Fraktur tengkorak dapat menyebabkan laserasi
arteri ini dan menyebabkan epidural hematom. Kerusakan pembuluh darah
meningeal yang terbanyak adalah arteri meningea media, yang terletak disekitar
fossa temporal. Hematoma dari kerusakan arteri pada lokasi ini dapat
menyebabkan deteriorasi yang cepat dan kematian. Epidural hematom juga dapat
terjadi akibat injuri sinus duraal dan dari fraktur tengkorak yang menyebar secara
lambat dan menyebabkan tekanan yang lebih sedikit pada otak. Bagaimanapun,
kebanyakan epidural hematom merupakan kegawatdaruratan yang mengancam
nyawa yang harus dievaluasi oleh ahli bedah saraf secepat mungkin.5
Di bawah dura adalah lapisan meningeal kedua: tipis, transparan,
arachnoid mater. Karena dura tidak melekat ke membran arachnoid dibawahnya,
terdapat suatu ruang potensial antara lapisan ini, ruang subdural, dimana dapat
terjadi perdarahan dilokasi ini. Pada cedera otak, bridging veins yang melewati
permukaan otak ke sinus venosus di dalam dura dapat robek, menyebabkan
terbentuknya hamatoma subdural.5
Lapisan ketiga, pia mater, melengket pada permukaan otak. Cairan
cerebrospinal mengisi ruang antara arachnoid mater yang tahan air dan piamater
(ruang subarachnoid), sebagai bantalan otak dan spinal cord. Perdarahan pada
ruang berisi cairan ini (perdarahan subarahnoid) biasanya diikuti dengan kontusio
otak dan injuri pembuluh darah besar pada dasar otak.5

Gambar 2.2 Tiga Lapisan Meninges duramater, arachnoid mater, dan pia mater.5
d. Otak
Otak terdiri atas serebrum, batang otak, dan serebellum. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx serebri. Hemisfer kiri
mengatur kemampuan bahasa pada orang tangan kanan dan lebih dari 85% orang
kiri. Lobus frontal mengontrol fungsi eksekutif, emosi, fungsi mototrik, dan pada
sisi dominan, ekspresi speech (area motor speech). Lobus parietal meneruskan
fungsi sensoris dan orientasi spasial, lobus temporal meregulasi dungsi memori
tertentu, dan lobus oksipital bertanggungjawab terhadap penglihatan.5
Batang otak terdiri atas midbrain, pons, dan medulla. Pada midbrain dan
pons bagian atas terdapat reticular activating system, yang bertanggungjawab
terhadap kesadaran. Pusat vital kardiorespirasi terdapat pada medulla, yang
terhubung dengan spinal cord. Lesi kecil pada batang otak dapat berhubungan
dengan defisit neurologis berat.5
Serebellum, mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan, terproyeksi
posterior pada fossa posterior dan berhubungan dengan spinal cord, batang otak,
dan hemisfer serebri.5

e. Sistem ventrikular
Ventrikel merupakan suatu sistem yang merupakan ruang yang berisi
cairan LCS dan akuaduktus dalam otak. CSF diproduksi secara konstan didalam
ventrikel dan diabsorbsi oleh permukaan otak. Terdapatnya darah pada CSF dapat
mengganggu proses reabsorpsi, menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Edema dan lesi massa (contoh : hematoma) dapat menyebabkan pergeseran sistem
ventrikel, dapat diidentifikasi melalui CT scan.5

f. Kompertemen intrakranial
Partisi meningeal membagi otak menjadi beberapa bagian. Tentorium serebelli
membagi kavitas intrakranisl menjadi kompartemen supratentorial dan kompartemen
infratentorial. Midbrain lewat melalui suatu bukaan yang disebut hiatus tentorial atau
notch. Nervus okulomotor (N.III) berjalan melalui tepi tentorium dan dapat
terkompresi ketika terjadi herniasi lobus temporal. Fiber parasimpatik yang berfungsi
dalam konstriksi pupil terletak pada permukaan N.III, kompresi pada permukaan
fiber selama herniasi menyebabkan dilatasi pupil karena aktivitas simaptik yang
berlawanan, sering disebut blown pupil.5
Bagian otak yang biasanya mengalamai herniasi melalui notch tentorial
adalah bagian medial lobus temporal, yang dikenal dengan unkus. Herniasi unkal
juga menyebabkan kompresi traktus kortikospinal (pyramidal) pada midbrain.
Traktus motoris lewat pada sisi berlawanan pada foramen magnum, sehingga
kompresi pada tingkat midbrain menyebabkan kelemahan pada sisi tubuh yang
berlawanan (kontralateral hemiparesis). Dilatasi pupil ipsilateral berhubungan
dengan hemiparesis kontralateral merupakan tanda klasik herniasi unkal.
Pendorongan massa lesi pada sisi berlawanan dengan midbrain terhadap tepi
tentorial menyebabkan hemiparesis dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan
hematom.5

Gambar 2.4. Herniasi Unkal (lateral). Lesi sekunder arteri meningea media
terhadap fraktur tulang temporal dapat menyebabkan epidural hematoma. Unkus
mengkompresi batang otak atas, melibatkan sistem reticular (penurunan GCS),
nervus okulomotor (perubahan pupil), dan traktus kortikospinal pada midbrain
(kontralateral hemiparesis).5

2.2 Fisiologi
Konsep fisiologi yang berhubungan dengan cedera kepala termasuk
tekanan intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah seberal.5
a. Tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial dapat menurunkan perfusi serebral dan
menyebabkan atau mengeksaserbasi iskemik. Tekanan intrakranial normal pada
pasien dalam keadaan istirahat sekitar 10 mmHg. Tekanan lebih dari 22 mmHg,
terutama jika menetap atau refrakter terhadap pengobatan, berhubungan dengan
outcome yang buruk. 5

b. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan konsep yang simpel, vital dalam
menjelaskan dinamika tekanan intrakranial. Doktrin menyebutkan bahwa volume
total intrakranial harus konstan, karena kranium adalah kontainer rigid yang tidak
dapat mengembang. Ketika volume intrakranial berlebihan, TIK meningkat.
Darah vena dan CSF dapat dikompres dari kontainer, sebagai buffer tekanan.
Sehingga, segera setelah injuri, suatu massa seperti bekuan darah dapat membesar
sementara TIK tetap normal. Akan tetapi, ketika limit pemindahan CSF dan darah
intravaskular terlah tercapai, TIK meningkat secara cepat. 5

Gambar 2.5 Kurva Volume-Tekanan. Konten intrakranial awalnya dapat


melakukan kompensasi terhadap massa intrakranial baru, seperti subdural
hematom atau epidural hematom. Ketika volume massa ini mencapai titik ambang
batas kritis, peningkatan TIK cepat terjadi yang dapat mereduksi atau
menghentikan aliran darah otak. 5
Gambar 2.6 Doktrin Monro-Kellie dalam kompensasi intrakranial terhadap
ekspansi massa.5

c. Aliran darah otak


Traumatic brain injury berat yang dapat menyebabkan koma ditandai
dengan menurunnya aliran darah serebral selama beberapa jam pertama setelah
trauma. Aliran darah serebral biasanya meningkat setelah 2 sampai 3 hari
berikutnya, tapi pada pasien yang tetap koma, aliran darah serebral berada di
bawah normal selama beberapa hari atau minggu setelah trauma. Terdapat bukti
nyata bahwa level aliran darah serebral rendah tidak memenuhi kebutuhan
metabolik otak segera setelah trauma. Iskemia serebral regional, bahkan global
biasa terjadi setelah cedera kepala berat untuk alasan yang diketahui dan tidak
tentu. 5
Vaskularisasi serebral prekapiler biasanya dapat berkonstriksi atau dilatasi
sebagai respon terhadap perubahan mean arterial blood pressure (MAP). Untuk
kepentingan klinis, tekanan perfusi serebral (CPP) didefinisikan sebagai CPP =
MAP – ICP. Nilai MAP 50 – 150 mmHg merupakan autoregulasi untuk
mempertahankan aliran darah serebral yang konstan (autoregulasi tekanan).
Traumatic brain injury berat dapat mempengaruhi autoregulasi tekanan sampai
titik dimana otak tidak dapat melakukan kompensasi lagi secara adekuat untuk
perubahan tekanan perfusi serebral. Pada keadaan ini, jika MAP terlalu rendah,
dapat terjadi iskemia dan infark. Jika MAP terlalu tinggi, edema otak terjadi
dengan peningkatan TIK. 5
Aliran darah serebral juga berkonstriksi atau dilatasi dalam merespon
perubahan tekanan parsial oksigen (PaO2) dan tekanan parsial karbon dioksida
(PaCO2) darah (regulasi kimia). Dengan demikian, injuri sekunder dapat terjadi
dari hipotensi, hipoksia, hiperkapnia, dan hipokapnia iatrogenik. 5
Usaha untuk mempertahanakan perfusi serebral dan aliran darah dengan
menurunkan peningkatan TIK, mempertahankan volume intravaskular normal dan
MAP, dan mengembalikan oksigenisasi normal dan ventilasi. Hematom dan lesi
lain yang meningkatkan volume intrakranial harus dievakuasi secepatnya.
Mempertahankan tekanan perfusi serebral normal dapat memperbaiki aliran darah
serebral; bagaimanapun tekanan perfusi serebral tidak sama dengan atau aliran
darah serebral yang adekuat. Ketika mekanisme kompensasi exhausted dan TIK
meningkat secara eksponensial, perfusi otak menurun. 5

2.3. Subdural Hematom


2.3.1 Definisi
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan
araknoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal. Pada subdural
hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein”, karena
tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural terjadi
karena akselerasi dan deselerasi yang cepat pada kepala. Perdarahan subdural
paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di
daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.3
SDH berasal dari shearing kecil pada permukaan atau pembuluh darah
bridging korteks serebri. Berlawanan dengan bentuk lentikuler epidural hematom
pada CT scan, subdural hematom sering tampak mengikuti kontur otak.
Kerusakan akibat subdural hematom akut biasanya jauh lebih berat daripada
epidural hematom karena adanya cedera parenkim konkomitan.5

Gambar 2.7. Subdural hematom

2.3.2 Epidemiologi
Subdural hematom lebih sering terjadi dibanding epidural hematom, angka
kejadian mencapai 30% pada pasien dengan cedera otak berat. Kerusakan akibat
subdural hematom akut biasanya jauh lebih berat daripada epidural hematom
karena adanya cedera parenkim konkomitan.5
Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
trauma kepala berat, berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural
hematoma terjadi 1-5,3 kasus per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena
daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan
nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas
perdarahan subdural berhubungan dengan faktor umur yang merupakan faktor
resiko pada cedera kepala (blunt head injury). Perdarahan subdural biasanya lebih
sering ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-70 tahun. Pada
orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga lebih mudah
pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak
ada adhesi, sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat pada bayi-
bayi.3

2.3.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:3
 Trauma kapitis
 Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin,
heparin,hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni)
 Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma,
serebral, malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase
dural.
 Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting )
 Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal,
lumboperitoneal shunt )
 Child abuse atau shaken baby sybdrome
 Spontan atau tidak diketahui

Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :


 Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral
atrofi
 Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
 Spontan atau idiopatik
 Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan
alkohol kronis, epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan

(termasuk aspirin), penyakit kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis),


trombositopenia, dan diabetes mellitus.

Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan


pembekuan, dan terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista arachnoid
lebih banyak ditemukan pada pasien hematoma subdural kronik pada pasien usia
dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih tua, penyakit kardiovaskular dan
hipertensi arteri lebih banyak ditemukan, 16% pasien dengan hematoma subdural
kronik dalam terapi aspirin.3

2.3.4 Patogenesis
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya „bridging veins‟ (menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater) atau karena
robeknya arachnoid. Karena otak yang diselimuti cairan cerebrospinal
dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat di mana vena tersebut menembus

duramater.6,7
Gambar 2.8. Lapisan subdural

Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah


parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik
serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan
subdural akut pada fisura interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh
ruptur vena - vena yang berjalan diantara hemisfer bagian medial dan falks ; juga
pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi traumatik dari arteri pericalosal karena
cedera kepala. Perdarahan subdural interhemisferik akan memberikan gejala
klasik monoparesis pada tungkai bawah.6,7
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di
sekitarnya akan terbentuk jaringan ikat yang menyerupai kapsula.
Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya
dan mengembung
sehingga memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan
intrakranial yang meningkat secara perlahan-lahan.6,7
Hematoma subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi
cerebral. Bridging vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila
volume otak mengecil, sehingga walaupun hanya mengalami trauma
ringan dapat menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah,
keadaan ini menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum
gejala klinis muncul. Karena perdarahan yang timbul berlangsung
perlahan, maka lucid interval juga berlangsung lebih lama dibandingkan
pada perdarahan epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari.
Pada hematoma subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang
spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terbentukknya
membran atau kapsula baik pada bagian dalam dan bagian luar dari
hematoma tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam
membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada
membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan
volume dari perdarahan subdural kronik.6,7
Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas
hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
vein” perdarahan seringkali terkumpul 100-200 cc, perdarahan biasanya akan
berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai
mengadakan reorganisasi dan selesai dalam 10-20 hari.8
Inisiasi trauma terhadap vena penghubung menghasilkan perdarahan pada
ruang subdural. Setelah beberapa hari cloth dari perdarahan akan dilapisi oleh
lapisan tipis fibrin dan fibroblast pada hari keempat. Bagian luar dari membran
akan membesar dan fibroblast menginvasi hematom dan membentuk membran
pada minggu kedua.9
Membran vascular terbentuk disekeliling lesi. Darah dari dalam hematoma
subdural menarik cairan serebrospinal secara osmosis, menambah ukuran
hematoma, membuat neomembran yang tersusun dari jaringan ikat. Membran ini
mengandung pembuluh darah yang tipis terutama di sisi duramater. Pembuluh
darah ini rapuh dan seiring bertambahnya ukurnan pembuluh darah ini dapat
pecah dan terjadi perdarahan baru kembali.2
Darah yang terdapat dalam kapsul akan terurai membentuk cairan kental
(osmolaritas meningkat) yang dapat mengisap cairan dari ruang subarachnoid
menyebabkan hematoma membesar. Hematoma yang membesar menekan
jaringan otak sekitarnya, meregangkan pembuluh darah lainya menyebabkan
jumlah darah dalam rongga subdural bertambah banyak.2
Disamping itu, peningkatan aktivitas fibrinolisis dalam hematoma mengaktivasi
system renin-kalikrein yang menyebabkan terbentuknya bradikinin. Bradikinin
memicu vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang pada akhirnya
menambah jumlah cairan dalam rongga subdural. Akibat suplai arteri yang baik,
perdarahan berulang, arus balik yang tidak adekuat dan thrombosis vascular,
neomembran pada SDH kronik dapat mengalami hialinisasi, kalsifikasi bahkan
osifikasi.2

Gambar 2.9 Patofisiologi hematoma subdural kronis

Terdapat dua teori yang dipaparkan terkait patofisiologi kronik subdural


hematom, tekanan osmotik dan perdarahan rekuren dari kapsul hematom
berhubungan dengan hiperfibrinolisis. Gardner pertama kali memaparkan bahwa
membrane sekitar hematom bertindak sebagai membrane osmotic, dengan cairan
serebrospinal berdifusi kedalam hematoma yang hiperosmotik. Hal ini yang
menerangkan bahwa terjadi proses peningkatan ukuran dari hematoma.10
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
refluks dari cairan cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena.
Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena
komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian
pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui
mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar.
Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut
dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui
foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah
melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada
hematoma subdural kronik, didapatkan juga bahwa aliran darah ke thalamus dan
ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.6,7
2.3.5 Klasifikasi.2,8,11
a. Perdarahan akut (1-3 hari)
Akut subdural hematom seringkali muncul setelah terjadinya cedera
kepala berat dan muncul biasanya dari laserasi kortikal. Tindakan bedah
kraniotomi sering diperlukan untuk mengevakuasi hematom. Jika hematoma
berupa darah dapat di bersihkan dengan melakukan irigasi.Gejala yang timbul
segera kurang dari 72 jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala
yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien
yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran Ct-scan,
didapatkan lesi hiperdens.

b. Perdarahan sub akut (4-21 hari)


Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21 hari sesudah
trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan
status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan
meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak
berespon terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat terjadi
sindrom herniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya
lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

c. Perdarahan kronik (>21 hari)


Kronik subdural hematom dibedakan menjadi dua kategori yakni
traumatik dan non traumatic. Sepertiga dari total keseluruhan pasien dengan
kronik subdural hematom tidak memiliki riwayat cedera kepala berat.
Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu-
minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,
bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural
apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan
darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita harus berhati hati karena hematoma
ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi.
Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk
mengelilingi hematoma, pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk
atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila
terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah
yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari
hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru
yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan
menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma
subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Jamieson dan Yelland mengklasifikasikan SDH berdasarkan keterlibatan
jaringan otak karena trauma. Dikatakan SDH sederhana (simple SDH) bila
hematoma ekstra aksial tersebut tidak disertai dengan cedera parenkim otak,
sedangkan SDH kompleks (complicated SDH) adalah bila hematoma ekstra axial
disertai dengan laserasi parenkim otak, perdarahan intraserebral (PIS) dan apa
yang disebut sebagai ‟exploded temporal lobe‟. Lebih dari 70% perdarahan
intraserebral, laserasi dan kontusio parenkim otak yang berhubungan dengan SDH
akut disebabkan oleh kontra kup (contrecoup) trauma, kebanyakan dari lesi
parenkim ini terletak di lobus temporal dan lobus frontal. Lebih dari dua pertiga
fraktur pada penderita SDH akut terletak di posterior dan ini konsisten dengan lesi
kontra cop.

2.3.6 Manifestasi Klinis.6,12,13


Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor:
 Beratnya cedera otak yang terjadi pada saat benturan trauma
 Kecepatan pertambahan volume SDH.
Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak
difus yang membuat mereka tidak sadar dengan tanda-tanda gangguan batang
otak. Penderita dengan SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat
kesadaran tertentu sesuai dengan beratnya benturan trauma pada saat terjadi
kecelakaan (initial impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan
pertambahan hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita dengan benturan
trauma yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya
trauma. SDH dan lesi massa intrakranial lainnya yang dapat membesar hendaklah
dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah kejadian trauma. Stone dkk
melaporkan bahwa lebih dari separuh penderita tidak sadar sejak kejadian trauma,
yang lain menunjukkan beberapa lucid interval.
Gejala-gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh
massa hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik

yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi
parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan
kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi gambaran pupil dan gambaran
motorik tidak merupakan indikator yang mutlak bagi menentukan letak
hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak
terletak kontralateral terhadap SDH atau karena terjadi kompresi pedunkulus
serebral yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada saraf
okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil
kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil lebih dipercaya sebagai
indikator letak SDH.
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal
primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n.
III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan
riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.

a. Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai
48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi
batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan
pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural
akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan
subdural. Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita
memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita
mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan
intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang
otak.

c. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah
satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat
dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah
dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang
mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam
hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan
lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya,
menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering
terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan, sehingga selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar
karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang
kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang
besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 aphasia
 perubahan ingatan
 kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

2.3.7 Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan
jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan
kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada
keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau
turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid
interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan
kejang setelah terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan
nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita
sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan
anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga
penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini,
dan apakah dalam pengaruh alkohol.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau
nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus
dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring
tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini
bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh.
Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2.
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi
hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti
cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai
dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan
menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan
tanda- tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma
Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik
pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan
adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak
dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula
spinalis.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini
adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)
adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma
langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Pemeriksaan Penunjang.14
Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin,


elektrolit, profil hemostasis/koagulasi. Pemeriksaan laboratorium segera harus
mencakup PT, PTT, INR, dan jumlah trombosit

Foto Polos Kepala


Pemeriksaan foto polos tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya
SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk memperkirakan kemungkinan
adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara
fraktur tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral
terhadap SDH.

Pada foto polos kepala, dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral


dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur
tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)


CT scan merupakan modalitas tercepat untuk menentukan keberadaan,
ukuran dan ketajaman SDH, dan keberadaan dan ukuran midline shift (MLS).
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedera intracranial lainnya. 15

Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :15


1. GCS< 13 setelah resusitasi.
2. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang.
3. Nyeri kepala, muntah yang menetap
4. Terdapat tanda fokal neurologis
5. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
6. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
7. Evaluasi pasca operasi
8. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )

1) Perdarahan Subdural Akut

Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak


sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit
sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada
konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di
daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan
terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa
seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.16
Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan
gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT
window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada
perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline
shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus
dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.16
Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum
relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ‟bridging veins‟
yang terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer
menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering
berhubungan dengan child abused.16
Gambar 2.10. Akut subdural hematom116

2) Perdarahan Subdural Subakut


Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap
jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu
pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus
perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada
gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada
pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas
dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak.
Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga
membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma.16

Gambar 2.11. Subakut Subdural hematom16


3) Perdarahan Subdural Kronik
Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat
pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat
bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali,
hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang
mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara
komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).16

Gambar 2.12.Kronik bilateral subdural hematom16

MRI (Magnetic resonance imaging)


Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk
mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai
proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih
praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit.16
MRI baru dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan
kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat
dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi
otak nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu
mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengah
yang kurang jelas pada CT-scan.16
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi.16
Gambar 2.13. MRI Akut subdural Hematom16

Gambar2.14.Bilateral kronik subdural hematom16

2.3.8 Tatalaksana

Acuan Penatalaksanaan Umum (General Measures).15


Tatalaksana Cedera Otak di Triage IGD

Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label
sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikan pada dokter
jaga bedah saraf.
Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat
1. General precaution
2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi ( Airway, Breathing, Circulation)
3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik seluruh organ)
4. Pemeriksaan neurologis
5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
6. Menentukan diagnosis pasti
7. Menentukan tatalaksana

Perlindungan Umum (General precaution )


Perlindungan umum (General precaution) terdiri dari :
a. Informed to Consent dan Informed Consent
b. Perlindungan diri
Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (ABC) dan Disabilitas
Secara umum, setiap pasien dengan cedera kepala ditangani dengan prinsip-
prinsip berikut :

- Primary survey

Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien
dengan penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :

A = Airway ( Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal spine).

Airway , yaitu dengan membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol


cervical. Sebelum melakukan manipulasi, anggaplah ada fraktur cervical pada
setiap penderita terlebih bila ada penurunan kesadaran atau bila ditemukan adanya
jejas di atas klavikula. Pasang cervical collar untuk imobilisasi cervical sampai
terbukti tidak ada cedera cercival. Membersihkan jalan nafas dari segala
sumbatan, benda asing darah dan fraktur maksilofasial, gigi yang patah dan lain-
lain terutama pada pada pasien yang tidak sadar dengan lidah yang jatuh ke
belakang, harus segera dipasang guedel, darah dan lendir (sekret) segera disuction
untuk menghindari aspirasi. Jika penderita sadar dan dapat berbicara, maka dinilai
baik tetap perlu dievaluasi, lakukan intubasi jika apnea, GCS 8, pertimbangkan
juga pada GCS 9 dan 10 bila saturasi tidak mencapai 90 persen atau ada bahaya
aspirasi akibat perdarahan dan fraktur maksilofasial. Pada litertur lebih dianjurkan
dengan pemasangan nasotracheal tube, tetapi sebaliknya pada penderita dengan
nafas spontan dapat “false road” ke intrakranial pada kasus dengan fraktur basis
kranium anterior dan angka kegagalan lebih tinggi. Jika tidak memungkinkan
intubasi dapat dilakukan chrycothyroidetomy, ini tidak dianjurkan pada anak
karena dapat menyebabkan subglosis stenosis
B = Breathing (pernafasan).
Dengan ventilasi yang baik, proses pernafasan yang baik harus dipenuhi dengan
pertukaran oksigen dan karbodioksida dari tubuh. Evaluasi dilakukan dengan
saksama melalui tindakan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

C = Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol


perdarahan).

D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).

pemeriksaan mini neurologis, pemeriksaan ini meliputi :


 GCS setelah resusitasi
 Bentuk, ukuran dan reflex cahaya pupil kiri dan kanan, hati-hati cedera
langsung juga dapat menimbulkan dilatasi pada sisi pupil tersebut
 Nilai kekuatan motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak, hasil
diimplementasikan untuh menyingkirkan EDH, sebab harapan
keberhasilan untuh EDH murni sangat baik bila ditangani dengan cepat
dan tepat

Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis dasar


yang disebut AVPU ( Alert, Verbal stimuli response, Painful stimuli response or
unresponsive). Evaluasi neurologis yang cepat dan berulang dilakukan setelah
selesai primary survey, meliputi derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-
tanda lateralisasi dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk
menentukan level kesadaran dan dapat memprediksi outcome pasien.

E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan


penanganan menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan
lingkungan).
Exposure, dengan menghindarkan hipotermia, semua pakain yang dapat
menutupi tubuh penderita harus dilepas/dibuka agar tidak ada cidera yang
terlewatkan selama pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan
dengan log-rolling.
Sambil melakukan resusitasi, dapat ditanyakan riwayat kejadian yang meliputi :
 Waktu kejadian
 Tempat kejadian
 Memakai helm atau tidak (pada pengendara sepeda motor)
Mekanisme cedera, deselerasi yang tiba-tiba terhadap kepala pada KLL
atau jantung pada ketinggian, menyebabkan kerusakan otak difuse dan
kontusio polar. Benturan kuat terhadap kepalamenyebabkan kerusakan
otak fokaldengan komponen difus yang lebih ringan. Benturan terhadap
kepala dalam posisi terfiksir menyebabkan kerusakan otak fokal di bawah
tempat benturan tanpa adanya pingsan
 Ada tidaknya pingsan dan lamanya
 Keadaan setelah kejadian seperti kejang, muntah, sakit kepala dan lain-lain
 Ada tidaknya pengaruh alcohol dan obat-obatan

Tabel 2.1. Survei Primer Pasien Cedera Otak


Tabel 2.2. Skor Glasgow Coma Scale (GCS)

Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak


1. Penanganan cedera otak primer
2. Mencegah dan menangani cedera otak sekunder
3. Optimalisasi metabolisme otak
4. Rehabilitasi

Secondary Survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka dimulai
secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
1. Anamnesis
Informasi yang diperlukan adalah:
– Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
– Keluhan utama
– Mekanisma trauma
– Waktu dan perjalanan trauma
– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
– Amnesia retrograde atau antegrade
– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo
– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
–Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi
dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah
2. Pemeriksaan fisik Umum
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan
khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:
– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,
– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)

Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:


1. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda :
a. Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka
tembus dan benda asing.
b. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma),
ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di
membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.
c. Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita
dan fraktur mandibula
d. Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik
mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
e. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang
berhubungan dengan diseksi karotis

2. Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang.


Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan
cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status
motorik, sensorik, dan autonomik.

3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan:
GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)
GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)
GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)

b. Saraf kranial, terutama:


• Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek
konsensuil –> bandingkan kanan-kiri
• Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.

c. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal


detachment.
d. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda
lateralisasi.
e. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek
tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.
Kriteria Masuk Rumah Sakit
Pasien cedera kepala akan dirawat di rumah sakit dengan kriteria sebagai berikut:
1. Kebingungan atau riwayat pingsan / penurunan kesadaran
2. Keluhan dan gejala neurologik, termasuk nyeri kepala menetap dan muntah
3. Kesulitan dalam penilaian klinis, misalnya pada alkohol, epilepsi
4. Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabetes mellitus
5. Fraktur tengkorak
6. CT scan abnormal
7. Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi di luar rumah sakit
8. Umur pasien diatas 50 tahun
9. Anak-anak
10. Indikasi sosial

Kriteria Pulang Pasien Cedera Kepala


Kriteria pasien cedera kepala dapat dipulangkan dengan pesan :
- Sadar dan orientasi baik, tidak pernah pingsan
- Tidak ada gejala neurologis
- Keluhan berkurang, muntah atau nyeri kepala hilang
- Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
- Ada yang mengawasi di rumah
- Tempat tinggal dalam kota

Lembar Pesanan saat Pulang


Pasien cedera kepala yang pulang diberi lembar peringatan. Harap segera dibawa
ke IRD bila :
- Muntah makin sering
- Nyeri kepala atau vertigo memberat
- Gelisah atau kesadaran menurun
- Kejang
- Kelumpuhan anggota gerak

Kriteria Masuk Ruang Observasi Intensif (ROI)


Kriteria pasien cedera otak yang memerlukan perawatan di ROI :
- GCS < 8
- GCS < 13 dg tanda TIK tinggi
- GCS < 15 dengan lateralisasi
- GCS < 15 dengan Hemodinamik tidak stabil.
- Cedera kepala dengan defisit neurologis belum indikasi tindakan operasi.
- Pasien pasca operasi

Kriteria pasien pindah dari ROI ke Ruang HCU / F1


- pasien cedera kepala yang tidak memerlukan ventilator dan transportable ( layak
transport ).
- Telah dilakukan koordinasi dengan ruang HCU / F1
Kriteria masuk Ruang High Care Unit (HCU) / Ruang F1
- Pasien dengan CT scan abnormal yang belum indikasi operasi
- Pasien COR dan COS yang tidak memenuhi kriteria masuk ROI dan
memerlukan observasi ketat.
- Pasien yang memerlukan perawatan dengan observasi ketat paska pindah dari
ICU/ROI IRD.

TINDAKAN PEMBEDAHAN
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH,
tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam
masa mempersiapkan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan medika mentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial.16
Seperti pemberian mannitol 0,25 gr/kgBB atau furosemide 10 mg
intavena, dihiperventilasikan. Tindakan operatif baik pada kasus akut maupun
kronik, apabila diketemukan ada gejala-gejala yang progresif maka jelas
diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi
seblum diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan
adalah airway, breathing, dan circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan
kepada: 16
 Evakuasi seluruh SDH
 Merawat sumber perdarahan
 Reseksi parenkim otak yang nonviable
 Mengeluarkan ICH yang ada.
Guideline :
Menurunkan TIK dengan drainase CSS transventrikel dan monitoring TIK lebih penting
daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10 mm).15
Option :
Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan rekomendasi.
Indikasi pembedahan :15
SDH Akut
1) Pasien SDH tanpa melihat GCS :
a. Dengan ketebalan > 10 mm
b. Atau pergeseran midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan
2) Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK. Bisa
tekanan intrakranial melebihi 20 mmHg atau pupil anisokor atau terdilatasi
tetap, diperlukan pembedahan.
3) Pasien SDH dengan GCS < 9 :
a. Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline,harus dilakukan
pembedahan evakuasi hematoma jika mengalami penurunan GCS 2 poin atau
lebih antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit
b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed
c. Dan/atau TIK > 20 mmHg
SDH Kronis
1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau
kejang
2. Ketebalan lesi > 1cm

Waktu :15
Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan
secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada evakuasi
hematom.

Metode :15
Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS
transventrikel juga untuk monitor TIK . Metode operasi craniotomy dekompresi dan
pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi
tertentu.

Penjelasan Rekomendasi :15


Penderita COB dengan komplikasi SDH akut merupakan penyebab kematian utama
pada COB dengan lesi massa intrakranial dimana angka kematian mencapai 42%-
90%. Kerusakan otak yang terjadi lebih berat karena mekanisme trauma yang hebat,
kerusakan parenkim otak yang luas dan edema serebral. Secara patofisiologi, pengaruh
cedera otak primer yang terjadi terhadap hasil akhir lebih penting daripada efek SDH
itu sendiri sehingga kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada
tindakan evakuasi hematom.

TERAPI MEDIKAMENTOSA UNTUK CEDERA KEPALA


Tujuan utama protokol perawatan intensif adalah mencegah terjadinya
kerusakan sekunder otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya adalah bila sel
saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka diharapkan sel tersebut
dapat pulih dan kembali ke fungsi normal. Terapi medikamentosa antara lain cairan
intravena, hiperventilasi, manitol, furosemid, steroid, barbiturate dan antikejang.15
CAIRAN INTRAVENA
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk resusitasi dan
mempertahanakan normovolemia. Pemberian cairan intravena, darah, dan produk
darah harus sesuai kebutuhan. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.
Namun, perlu juga diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan, dan
menghindari penggunaan cairan hipotonik. Selain itu, menggunakan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia, yang berakibat buruk pada
otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan
Ringer Laktat atau garam fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien
dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan edema otak
sehingga harus dicegah.5

HIPERVENTILASI
Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih diinginkan. Perlakuan
hiperventilasi yang agresif dan lama akan menurunkan kadar PaCO2 yang
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral sehingga menimbulkan
gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2 dibiarkan turun sampai di
bawah 30 mm Hg (4,0 kPa). Hypercarbia (PCO2> 45 mm Hg) akan meningkatkan
vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial, dan karenanya harus dihindari.
Hiperventilasi profilaksis (pCO2 <25 mm Hg) tidak dianjurkan (IIB).
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu
tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg (4,7 kPa). Hiperventilasi
dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mm Hg) jika diperlukan pada keadaan
perburukan neurologis akut, sementara pengobatan lainnya baru dimulai.
Hiperventilasi akan mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan perburukan
neurologis akibat hematoma intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi
emergensi dapat dilakukan.5

ANTIKONVULSAN
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan cedera
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan
dengan insiden epilepsi: (1) Kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2)
Perdarahan Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi.15
Penelitian tersamar ganda / double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai
profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu
pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang
biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan
secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit.
Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar
terapetik serum. Pada pasien dengan kejang
berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin
sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus kadang
memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan
segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan
cedera otak.15
Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang
pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi.
Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap
terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma (early
type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma.
Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh
karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi.

Kriteria pasien risiko tinggi kejang pasca trauma:


1. GCS ≤ 10
2. Immediate seizures
3. Kontusio kortikal
4. Fraktur linier
5. Penetrating Head Injury
6. Fraktur depresi
7. Alkoholik kronis
8. Post traumatic Amnesia> 30 menit
9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom
10. Defisit neurologis fokal
11. Usia ≥ 65 tahun atau ≤15 tahun

Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk menurunkan
resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera setelah
trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan
kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin
yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari untuk
mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml. Pengobatan profilaksis dengan
levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis 500 mg setiap 12 jam selama
7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading dose.15

MANITOL
Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat
menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular. Pada
kronik SDH, hipotesa bahwa hematoma meningkat sebagai hasil gradien osmotik
dalam kapsul hematoma. Akibatnya, peningkatan hematoma
menghasilkan ketegangan pada kapsul, yang menyebabkan perdarahan mikro dan
pembesaran hematoma lebih lanjut. Pengurangan tekanan hematoma dengan
menggunakan manitol dapat mencegah rangkaian kejadian ini, menghentikan
persinggahan terus-menerus di dalam rongga hematoma dan secara serentak
membiarkan resorpsi spontan hematoma.17
Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20% (20 gram setiap 100 ml
larutan). Manitol diberikan bolus 0,25 – 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit,
setiap 4 – 8 jam.15
Manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol tidak
mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan manitol merupakan
diuretic osmotic yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti
terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut
pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu lebih
dari 5 menit) dan pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi
bila lesi penyebabnya sudah diketahui.15

SALINE HIPERTONIK
Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan tekanan intrakranial,
dalam konsentrasi 3% hingga 23,4%; Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis
1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis
dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau
hipotensi karena tidak bertindak sebagai diuretik. Sodium laktat dapat menurunkan
TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang lebih besar dan
menurunkan TIK yang lebih cepat.15

BARBITURAT
Barbiturat efektif dalam mengurangi tekanan intrakranial refrakter terhadap tindakan
lain, meskipun mereka tidak boleh digunakan di pada keadaan hipotensi atau
hipovolemia. Selanjutnya, barbiturat sering menyebabkan hipotensi, sehingga mereka
tidak diindikasikan pada fase resusitasi akut. Waktu paruh panjang dari kebanyakan
barbiturat memperpanjang waktu untuk menentukan kematian otak, yang merupakan
pertimbangan pada pasien dengan cedera yang menghancurkan dan kemungkinan tidak
dapat disembuhkan. Barbiturat tidak dianjurkan untuk menginduksi penekanan burst
yang diukur dengan EEG untuk mencegah perkembangan hipertensi intrakranial.15

KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid menghambat sintesis pro-inflamasi, system imun, enzim
proinflamasi dan sintesis nitric oxide dan siklooxygenase. Kortikosteroid mengurangi
serta mengacaukan reaksi inflamasi yang terinduksi angiogenik. Hal ini dibuktikan
dalam uji coba pada hewan tikus, tikus yang diberi dexamethasone pada struktur
histologinya didapatkan bahwa tidak terbentuknya neomembran pada SDH. Studi
pertama penggunaan kortikosteroid dimulai pada tahun 1974 oleh Bender. Namun
tetap opsi pembedahan masih menjadi opsi pertama sebagai tatalaksana.
Dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan konservatif
direkomendasikan pada pasien tanpa gejala fokal dan nonsopor atau nokomatous
pasien. Kortikosteroid dapat menjadi alternative pengobatan pada pasien dengan
subdura hematom kronik yang tidak dapat dilakukan pembedahan untuk drainase.
Pada 2009 Delgado-Lopez menggunakan tindakan konservatif kortikosteroid,
dexamethasone 4 mg setiap 8 jam selama 48-72 jam, jika pasien mengalami perbaikan
maka dosis dikurangi menjadi 1 mg/ hari selama 3 hari. 96
% dari keseluruhan pasien yang diberikan memberikan efek yang baik.
Dalam studi meta analisis didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan akan rekurensi,morbiditas, mortality, dari pasien yang diobati dengan
kortikosteroid ataupun dengan tindakan pembedahan.Namun dosis ideal dan durasi
dari pengobatan masih belum jelas dan butuh studi lebih lanjut dalam populasi yang
besar.

ASAM TRANEKSAMAT
Fibrinolisi dan hiperkoagulasi tampak memainkan peran dalam terjadinya
liquefikasi dan progresi dari SDH. Sebagai tambahan, peningkatan permeabilitas dari
kapiler pada bagian luar membrane hematoma membuat terjadinya perdarahan mikro
yang membuat hematoma menjadi berkembang. Kalikrein system , yang teraktivasi
oleh plasmin, terinduksi oleh inflamasi dan peningkatan permeabilitas vascular,
migrasi dari sel leukosit ditemukan pada bagian luar dari membrane kronik SDH.17
Asam traneksamat memiliki antifibrinolitik efek melalui inhibisi aktivasi
plasminogen dan plasmin. Terdapat hipotesa mengatakan bahwa asam traneksamat
mungkin dapat menghambat aktivitas fibrinolitik dan meningkatkan permeabilitas
vascular dari membrane hematom, berpengaruh terhadap penyerapan dari hematom.
Dengan adanya asumsi ini , Kageyama melakukan penilitian dengan memberikan 750
mg asam traneksamat satu kali per hari didapatkan penyerapan menyeluruh yang
komplit terhadap seluruh hematoma, dapat disimpulkan bahwa pengobatan dengan
menggunakan asam traneksamat dapat menjadi pengobatan konservatif yang valid.17
Namun sampai saat ini penggunaan akan asam traneksamat padapasien kronik
SDH masih dalam penelitian, terutama penggunaanya pada pasien dengan risiko
tromboembolik, harus dievaluasi kembali dengan studi yang lebih besar.17
2.3.9 Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak
biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa
hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga
pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan
kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat
terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial.18
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis,
seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus.
Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension
pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.18
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan
4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilapaorkan
sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema
subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1%
pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini,
timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi
medis secara bersamaan.18

2.3.10 Prognosis
Mortalitas pasien subdural hematom yang memerlukan tindakan pembedahan
adalah 40%-60%. Mortalitas pasien koma yang dioperasi adalah 57- 68%. Tingginya
mortalitas ini karena sebagian besar kasus subdural hematom berkaitan dengan cedera
jaringan intrakranial ataupun ekstrakranial. Keelainan intrakranial yang paling sering
ditemui adalah kontusio serebri dan hematoma intraserebral. Kelainan ekstrakranial
yang paling sering adalah fraktur fasial, ekstremitas, dada dan trauma abdomen.
Perbandingan angka mortalitas pasien yang dioperasi dengan yang tidak, masih belum
tersedia karena kebanyakan pasien akhirnya memerlukan tindakan operasi.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Atmadja AS. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. CDK 29 -236/ vol. 43
no. 1, th. 2016. Available from: www.kalbemed.com/CME.aspx.
2. Satyanegara. S. Trauma Kepala. Ilmu Bedah Saraf (5 Ed, Pp. 313-43). Jakarta,
Dki, Indonesia: Pt Gramedia Pustaka Utama.2014
3. Meagher, RJ et al. Subdural Hematoma, Medscape Reference, Last Updated
26 July 2018.Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1137207overview.
4. Iskandar. 2017. Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural.
Division Of Neurosurgery, Departement Of Surgery, Dr. Zainoel Abidin General
Hospital – Medical Faculty Of Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 94 Banda Aceh 16 –
17 September 2017.
5. ATLS Subcommittee. Advance trauma life support: the tenth edition. J Trauma
Acute Care Surg. 2018 May; 74(5):1363-6.
6. Sastrodiningrat, A. G. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK USU:
Medan.2006
7. Charles, F. Schwartz’s Principles of Surgery, Edition Ninth. United State of
America : The McGraw-Hill.2010
8. Sylvia P. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses proses Penyakit (pp. 1174-76).
Jakarta: EGC.2006
9. Adhiyaman V, Asghar M. Chronic subdural haematoma in the elderly.
Postgrad Med J ,2002, 78, 71-5.

10. Sakellaridis. N. (2015). Pathophysiology of chronic subdural hematoma.


Brain Disorders & Therapy.2015: 4 (4).

11. Andrew. H. Traumatic intracranial haematomas. In A. H.Kaye, Essential


Neurosurgery (3 ed., pp. 59-62). Mellbourne, Australia: Blackwell.2005
12. Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma, MedlinePlus Medical Encyclopedia,
2012.
13. Tom, S., dkk, Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape
Reference, 2011.
14. Sjamsuhidajat. R. Subdural Hematoma. In W. D. Jong, Buku ajar ilmu Bedah
(2 ed., p. 818). Jakarta. EGC.2004.
15. Tim Neurotrauma. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Edisi kedua.Surabaya:
Surabaya Neuroscience Institute. 2014.
16. Iliescu. I. Current diagnosis and treatment of chronic subdural haematomas.
Journal of medicine and life.2015; 8 (3), 278-84.

17. Jehuda S. (2017). The conservative and pharmacological management of chronic


subdural haematoma. Swiss Medical Weekly , 147, 1-9.
18. Engelhard, H. H., dkk, Subdural Hematoma Surgery, Medscape Reference,
2011.

Anda mungkin juga menyukai