1 Latar Belakang
Trauma merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45
tahun dan lebih dari 50% merupakan trauma kapitis. Cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran dan dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental
yang kompleks defisit kognitif, psikis, intelektual dan lain-lain yanng dapat
bersifat sementara ataupun menetap.1
Di Indonesia, cedera kepala merupakan penyebab hampir dari setengah
dari seluruh kematian akibat trauma. Di USA kejadian cedera kepala setiap
tahunya diperkirakan sebanyak 500.000 kasus dan 10% diantara kasus tersebut
meninggal sebelum sampai di rumah sakit. 80 % dari penderita yang sampai di
rumah sakit dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % cedera kepala
sedang, dan sisanya sebagai cedera kepala berat. Di Indonesia di rumah sakit dr
Hasan Sadikin (Bandung), pada tahun 2011 kejadian cedera kepala sebanyak
2.509, terdiri atas 74% cedera kepala ringan, 17% cedera kepala sedang dan 9 %
cedera kepala berat .2
Cidera kepala merupakan cidera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri dan
perdarahan pada bagian otak. Perdarahan pada bagian otak tergantung letak
perdarahan dan dapat mempengaruhi volume dan fungsi jaringan yang ada di
dalam otak, Salah satu perdarahan pada daerah kepala yaitu adalah subdural
hematom.3
Subdural hematom (SDH) merupakan perdarahan intrakranial yang
mengisi ruang potensial diantara duramater dan arachnoid. Hematoma subdural
adalah tipe paling umum dari lesi massa intrakranial traumatis Subdural
hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan trauma kepala berat,
berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1-5,3
kasus per 100.000 populasi. Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat.
Bertambah besarnya volume perdarahan mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranial yang ditandai dengan nyeri kepala, papil edema, dan muntah
yang seringkali bersifat proyektil. Pada tahap lebih lanjut, jika hematom yang
terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai
dengan penurunan kesadaran, adanya pupil yang anisokor dan terjadinya
hemiparesis kontralateral.3
Fokus utama dalam penanganan pasien dengan kecurigaan cedera kepala,
terutama cedera kepala berat adalah harus mencegah cedera otak sekunder.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah
yang cukup untuk perfusi otak merupakan langkah paling penting untuk
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder, yang pada akhirnya akan
meningkatkan tingkat kesembuhan pasien.4
BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
a. Skalp
Skalp banyak mengandung pembuluh darah, sehingga laserasi skalp dapat
menyebabkan kehilangan darah yang berat, syok hemoragik, dan bahkan
kematian. Pasien yang ditransport dengan waktu yang lama paling berisiko untuk
mengalami komplikasi ini. 5
b. Tengkorak
Dasar tulang tengkorak berbentuk ireguler, dan permukaannya dapat
menyebabkan injuri ketika otak bergerak dalam tulang tengkorak selama aselerasi
dan deselerasi yang terjadi selama peristiwa traumatik. Fossa anterior lobus
frontalis, fossa media lobus temporal, dan fossa posterior terdapat serebellum dan
batang otak bagian bawah. 5
c. Meningens
Meninges melapisi otak dan terdiri atas tiga lapis: duramater, arachnoid
mater, dan pia mater. Duramater bersifat keras, membran fibrosa yang melekat ke
lapisan dalam tulang tengkorak. Pada tempat tertentu, dura membelah menjadi
dua dan terdapat sinus venousus, yang menyuplai drainage vena mayor dari otak.
Sinus sagital superior midline drains ke sinus transverse bilateral dan sinus
sigmoid yang biasanya lebih besar pada sisi kanan. Laserasi sinus venosus ini
dapat menyebabkan hemoragis masif.5
Arteri mengingea terletak diantara dura dan permukaan internal tulang
tengkorak pada ruang epidural. Fraktur tengkorak dapat menyebabkan laserasi
arteri ini dan menyebabkan epidural hematom. Kerusakan pembuluh darah
meningeal yang terbanyak adalah arteri meningea media, yang terletak disekitar
fossa temporal. Hematoma dari kerusakan arteri pada lokasi ini dapat
menyebabkan deteriorasi yang cepat dan kematian. Epidural hematom juga dapat
terjadi akibat injuri sinus duraal dan dari fraktur tengkorak yang menyebar secara
lambat dan menyebabkan tekanan yang lebih sedikit pada otak. Bagaimanapun,
kebanyakan epidural hematom merupakan kegawatdaruratan yang mengancam
nyawa yang harus dievaluasi oleh ahli bedah saraf secepat mungkin.5
Di bawah dura adalah lapisan meningeal kedua: tipis, transparan,
arachnoid mater. Karena dura tidak melekat ke membran arachnoid dibawahnya,
terdapat suatu ruang potensial antara lapisan ini, ruang subdural, dimana dapat
terjadi perdarahan dilokasi ini. Pada cedera otak, bridging veins yang melewati
permukaan otak ke sinus venosus di dalam dura dapat robek, menyebabkan
terbentuknya hamatoma subdural.5
Lapisan ketiga, pia mater, melengket pada permukaan otak. Cairan
cerebrospinal mengisi ruang antara arachnoid mater yang tahan air dan piamater
(ruang subarachnoid), sebagai bantalan otak dan spinal cord. Perdarahan pada
ruang berisi cairan ini (perdarahan subarahnoid) biasanya diikuti dengan kontusio
otak dan injuri pembuluh darah besar pada dasar otak.5
Gambar 2.2 Tiga Lapisan Meninges duramater, arachnoid mater, dan pia mater.5
d. Otak
Otak terdiri atas serebrum, batang otak, dan serebellum. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx serebri. Hemisfer kiri
mengatur kemampuan bahasa pada orang tangan kanan dan lebih dari 85% orang
kiri. Lobus frontal mengontrol fungsi eksekutif, emosi, fungsi mototrik, dan pada
sisi dominan, ekspresi speech (area motor speech). Lobus parietal meneruskan
fungsi sensoris dan orientasi spasial, lobus temporal meregulasi dungsi memori
tertentu, dan lobus oksipital bertanggungjawab terhadap penglihatan.5
Batang otak terdiri atas midbrain, pons, dan medulla. Pada midbrain dan
pons bagian atas terdapat reticular activating system, yang bertanggungjawab
terhadap kesadaran. Pusat vital kardiorespirasi terdapat pada medulla, yang
terhubung dengan spinal cord. Lesi kecil pada batang otak dapat berhubungan
dengan defisit neurologis berat.5
Serebellum, mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan, terproyeksi
posterior pada fossa posterior dan berhubungan dengan spinal cord, batang otak,
dan hemisfer serebri.5
e. Sistem ventrikular
Ventrikel merupakan suatu sistem yang merupakan ruang yang berisi
cairan LCS dan akuaduktus dalam otak. CSF diproduksi secara konstan didalam
ventrikel dan diabsorbsi oleh permukaan otak. Terdapatnya darah pada CSF dapat
mengganggu proses reabsorpsi, menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Edema dan lesi massa (contoh : hematoma) dapat menyebabkan pergeseran sistem
ventrikel, dapat diidentifikasi melalui CT scan.5
f. Kompertemen intrakranial
Partisi meningeal membagi otak menjadi beberapa bagian. Tentorium serebelli
membagi kavitas intrakranisl menjadi kompartemen supratentorial dan kompartemen
infratentorial. Midbrain lewat melalui suatu bukaan yang disebut hiatus tentorial atau
notch. Nervus okulomotor (N.III) berjalan melalui tepi tentorium dan dapat
terkompresi ketika terjadi herniasi lobus temporal. Fiber parasimpatik yang berfungsi
dalam konstriksi pupil terletak pada permukaan N.III, kompresi pada permukaan
fiber selama herniasi menyebabkan dilatasi pupil karena aktivitas simaptik yang
berlawanan, sering disebut blown pupil.5
Bagian otak yang biasanya mengalamai herniasi melalui notch tentorial
adalah bagian medial lobus temporal, yang dikenal dengan unkus. Herniasi unkal
juga menyebabkan kompresi traktus kortikospinal (pyramidal) pada midbrain.
Traktus motoris lewat pada sisi berlawanan pada foramen magnum, sehingga
kompresi pada tingkat midbrain menyebabkan kelemahan pada sisi tubuh yang
berlawanan (kontralateral hemiparesis). Dilatasi pupil ipsilateral berhubungan
dengan hemiparesis kontralateral merupakan tanda klasik herniasi unkal.
Pendorongan massa lesi pada sisi berlawanan dengan midbrain terhadap tepi
tentorial menyebabkan hemiparesis dan dilatasi pupil pada sisi yang sama dengan
hematom.5
Gambar 2.4. Herniasi Unkal (lateral). Lesi sekunder arteri meningea media
terhadap fraktur tulang temporal dapat menyebabkan epidural hematoma. Unkus
mengkompresi batang otak atas, melibatkan sistem reticular (penurunan GCS),
nervus okulomotor (perubahan pupil), dan traktus kortikospinal pada midbrain
(kontralateral hemiparesis).5
2.2 Fisiologi
Konsep fisiologi yang berhubungan dengan cedera kepala termasuk
tekanan intrakranial, doktrin Monro-Kellie, dan aliran darah seberal.5
a. Tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial dapat menurunkan perfusi serebral dan
menyebabkan atau mengeksaserbasi iskemik. Tekanan intrakranial normal pada
pasien dalam keadaan istirahat sekitar 10 mmHg. Tekanan lebih dari 22 mmHg,
terutama jika menetap atau refrakter terhadap pengobatan, berhubungan dengan
outcome yang buruk. 5
b. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie merupakan konsep yang simpel, vital dalam
menjelaskan dinamika tekanan intrakranial. Doktrin menyebutkan bahwa volume
total intrakranial harus konstan, karena kranium adalah kontainer rigid yang tidak
dapat mengembang. Ketika volume intrakranial berlebihan, TIK meningkat.
Darah vena dan CSF dapat dikompres dari kontainer, sebagai buffer tekanan.
Sehingga, segera setelah injuri, suatu massa seperti bekuan darah dapat membesar
sementara TIK tetap normal. Akan tetapi, ketika limit pemindahan CSF dan darah
intravaskular terlah tercapai, TIK meningkat secara cepat. 5
2.3.2 Epidemiologi
Subdural hematom lebih sering terjadi dibanding epidural hematom, angka
kejadian mencapai 30% pada pasien dengan cedera otak berat. Kerusakan akibat
subdural hematom akut biasanya jauh lebih berat daripada epidural hematom
karena adanya cedera parenkim konkomitan.5
Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
trauma kepala berat, berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural
hematoma terjadi 1-5,3 kasus per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena
daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan
nasional mengenai morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas
perdarahan subdural berhubungan dengan faktor umur yang merupakan faktor
resiko pada cedera kepala (blunt head injury). Perdarahan subdural biasanya lebih
sering ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-70 tahun. Pada
orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga lebih mudah
pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak
ada adhesi, sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat pada bayi-
bayi.3
2.3.3 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:3
Trauma kapitis
Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin,
heparin,hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni)
Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma,
serebral, malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase
dural.
Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting )
Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal,
lumboperitoneal shunt )
Child abuse atau shaken baby sybdrome
Spontan atau tidak diketahui
2.3.4 Patogenesis
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya „bridging veins‟ (menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater) atau karena
robeknya arachnoid. Karena otak yang diselimuti cairan cerebrospinal
dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat di mana vena tersebut menembus
duramater.6,7
Gambar 2.8. Lapisan subdural
yang paling sering ditemukan. Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi
parenkim otak biasanya terletak ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan
kontralateral terhadap defisit motorik. Akan tetapi gambaran pupil dan gambaran
motorik tidak merupakan indikator yang mutlak bagi menentukan letak
hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak
terletak kontralateral terhadap SDH atau karena terjadi kompresi pedunkulus
serebral yang kontralateral pada tepi bebas tentorium. Trauma langsung pada saraf
okulomotor atau batang otak pada saat terjadi trauma menyebabkan dilatasi pupil
kontralateral terhadap trauma. Perubahan diamater pupil lebih dipercaya sebagai
indikator letak SDH.
Secara umum, gejala yang nampak pada subdural hematom seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera neuronal
primer, kecuali bila ada efek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak
khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti:
sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n.
III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya, kadang kala dengan
riwayat trauma yang tidak jelas, sering diduga tumor otak.
2.3.7 Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan
jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan
kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada
keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau
turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid
interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan
kejang setelah terjadinya trauma kepala.
Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan
nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita
sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan
anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga
penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini,
dan apakah dalam pengaruh alkohol.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau
nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus
dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring
tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini
bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh.
Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2.
Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi
hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi
hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti
cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai
dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan
menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan
tanda- tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma
Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik
pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan
adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak
dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula
spinalis.
Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial
meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini
adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)
adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma
langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.
Pemeriksaan Penunjang.14
Laboratorium
2.3.8 Tatalaksana
Triage atau penapisan, bertugas memeriksa tanda vital dan memberi label
sesuai kegawatan. Semua pasien cedera otak segera dikonsultasikan pada dokter
jaga bedah saraf.
Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak di Ruang Gawat Darurat
1. General precaution
2. Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi ( Airway, Breathing, Circulation)
3. Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik seluruh organ)
4. Pemeriksaan neurologis
5. Menentukan diagnosis klinis dan pemeriksaan tambahan
6. Menentukan diagnosis pasti
7. Menentukan tatalaksana
- Primary survey
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama pasien
dengan penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan penatalaksanaan :
Secondary Survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal, maka dimulai
secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh pasien), meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
1. Anamnesis
Informasi yang diperlukan adalah:
– Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
– Keluhan utama
– Mekanisma trauma
– Waktu dan perjalanan trauma
– Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
– Amnesia retrograde atau antegrade
– Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo
– Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala
–Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi
dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah
2. Pemeriksaan fisik Umum
Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan
khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode:
– Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau,
– Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan status neurologis terdiri dari :
a. Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan:
GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)
GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)
GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)
TINDAKAN PEMBEDAHAN
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH,
tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam
masa mempersiapkan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan
dengan medika mentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial.16
Seperti pemberian mannitol 0,25 gr/kgBB atau furosemide 10 mg
intavena, dihiperventilasikan. Tindakan operatif baik pada kasus akut maupun
kronik, apabila diketemukan ada gejala-gejala yang progresif maka jelas
diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi
seblum diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan
adalah airway, breathing, dan circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan
kepada: 16
Evakuasi seluruh SDH
Merawat sumber perdarahan
Reseksi parenkim otak yang nonviable
Mengeluarkan ICH yang ada.
Guideline :
Menurunkan TIK dengan drainase CSS transventrikel dan monitoring TIK lebih penting
daripada operasi dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10 mm).15
Option :
Indikasi pembedahan pada SDH akut sesuai penjelasan rekomendasi.
Indikasi pembedahan :15
SDH Akut
1) Pasien SDH tanpa melihat GCS :
a. Dengan ketebalan > 10 mm
b. Atau pergeseran midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan
2) Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK. Bisa
tekanan intrakranial melebihi 20 mmHg atau pupil anisokor atau terdilatasi
tetap, diperlukan pembedahan.
3) Pasien SDH dengan GCS < 9 :
a. Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline,harus dilakukan
pembedahan evakuasi hematoma jika mengalami penurunan GCS 2 poin atau
lebih antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit
b. Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau fixed
c. Dan/atau TIK > 20 mmHg
SDH Kronis
1. Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi neurologis fokal atau
kejang
2. Ketebalan lesi > 1cm
Waktu :15
Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka pembedahan dilakukan
secepat mungkin. Kemampuan untuk mengontrol TIK lebih penting daripada evakuasi
hematom.
Metode :15
Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika dengan drainase LCS
transventrikel juga untuk monitor TIK . Metode operasi craniotomy dekompresi dan
pemasangan drainase LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi
tertentu.
HIPERVENTILASI
Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih diinginkan. Perlakuan
hiperventilasi yang agresif dan lama akan menurunkan kadar PaCO2 yang
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral sehingga menimbulkan
gangguan perfusi otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2 dibiarkan turun sampai di
bawah 30 mm Hg (4,0 kPa). Hypercarbia (PCO2> 45 mm Hg) akan meningkatkan
vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial, dan karenanya harus dihindari.
Hiperventilasi profilaksis (pCO2 <25 mm Hg) tidak dianjurkan (IIB).
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya dalam batas waktu
tertentu. Umumnya, PaCO2 dipertahankan pada 35 mmHg (4,7 kPa). Hiperventilasi
dalam waktu singkat (PaCO2 antara 25-30 mm Hg) jika diperlukan pada keadaan
perburukan neurologis akut, sementara pengobatan lainnya baru dimulai.
Hiperventilasi akan mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan perburukan
neurologis akibat hematoma intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi
emergensi dapat dilakukan.5
ANTIKONVULSAN
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di RS dengan cedera
kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat. Terdapat 3 faktor yang berkaitan
dengan insiden epilepsi: (1) Kejang awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2)
Perdarahan Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi.15
Penelitian tersamar ganda / double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai
profilaksis bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu
pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang
biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan
secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit.
Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar
terapetik serum. Pada pasien dengan kejang
berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain fenitoin
sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus menerus kadang
memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan
segera karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan
cedera otak.15
Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang
pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi.
Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap
terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma (early
type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma.
Fenitoin atau Carbamazepin terbukti efektif untuk kejang pasca trauma tipe dini oleh
karena pada fase ini belum terbentuk fokus epilepsi.
Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk menurunkan
resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis loading segera setelah
trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20 mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan
kecepatan infus maksimum 50 mg/menit.Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin
yang direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10 mg/kgBB/hari untuk
mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml. Pengobatan profilaksis dengan
levetiracetam dilakukan dengan cara pemberian dosis 500 mg setiap 12 jam selama
7 hari setelah cedera otak tanpa pemberian loading dose.15
MANITOL
Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat. Manitol dapat
menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke dalam ruangan Intra vaskular. Pada
kronik SDH, hipotesa bahwa hematoma meningkat sebagai hasil gradien osmotik
dalam kapsul hematoma. Akibatnya, peningkatan hematoma
menghasilkan ketegangan pada kapsul, yang menyebabkan perdarahan mikro dan
pembesaran hematoma lebih lanjut. Pengurangan tekanan hematoma dengan
menggunakan manitol dapat mencegah rangkaian kejadian ini, menghentikan
persinggahan terus-menerus di dalam rongga hematoma dan secara serentak
membiarkan resorpsi spontan hematoma.17
Sediaan manitol yang digunakan biasanya 15 dan 20% (20 gram setiap 100 ml
larutan). Manitol diberikan bolus 0,25 – 1 gr/KgBB dalam 10 – 20 menit,
setiap 4 – 8 jam.15
Manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol tidak
mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan manitol merupakan
diuretic osmotic yang potensial. Adanya perburukan neurologis yang akut, seperti
terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada keadaan tersebut
pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus diberikan secara cepat (dalam waktu lebih
dari 5 menit) dan pasien segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi
bila lesi penyebabnya sudah diketahui.15
SALINE HIPERTONIK
Saline hipertonik juga digunakan untuk mengurangi peningkatan tekanan intrakranial,
dalam konsentrasi 3% hingga 23,4%; Sodium laktat hipertonis diberikan dengan dosis
1,5 ml/KgBB selama 15 menit dalam setiap kali pemberian. Sodium laktat hipertonis
dapat diberikan pada kasus dengan peningkatan TIK, dengan kondisi hipovolemia atau
hipotensi karena tidak bertindak sebagai diuretik. Sodium laktat dapat menurunkan
TIK dengan jumlah pemberian yang lebih sedikit, penurunan TIK yang lebih besar dan
menurunkan TIK yang lebih cepat.15
BARBITURAT
Barbiturat efektif dalam mengurangi tekanan intrakranial refrakter terhadap tindakan
lain, meskipun mereka tidak boleh digunakan di pada keadaan hipotensi atau
hipovolemia. Selanjutnya, barbiturat sering menyebabkan hipotensi, sehingga mereka
tidak diindikasikan pada fase resusitasi akut. Waktu paruh panjang dari kebanyakan
barbiturat memperpanjang waktu untuk menentukan kematian otak, yang merupakan
pertimbangan pada pasien dengan cedera yang menghancurkan dan kemungkinan tidak
dapat disembuhkan. Barbiturat tidak dianjurkan untuk menginduksi penekanan burst
yang diukur dengan EEG untuk mencegah perkembangan hipertensi intrakranial.15
KORTIKOSTEROID
Kortikosteroid menghambat sintesis pro-inflamasi, system imun, enzim
proinflamasi dan sintesis nitric oxide dan siklooxygenase. Kortikosteroid mengurangi
serta mengacaukan reaksi inflamasi yang terinduksi angiogenik. Hal ini dibuktikan
dalam uji coba pada hewan tikus, tikus yang diberi dexamethasone pada struktur
histologinya didapatkan bahwa tidak terbentuknya neomembran pada SDH. Studi
pertama penggunaan kortikosteroid dimulai pada tahun 1974 oleh Bender. Namun
tetap opsi pembedahan masih menjadi opsi pertama sebagai tatalaksana.
Dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan konservatif
direkomendasikan pada pasien tanpa gejala fokal dan nonsopor atau nokomatous
pasien. Kortikosteroid dapat menjadi alternative pengobatan pada pasien dengan
subdura hematom kronik yang tidak dapat dilakukan pembedahan untuk drainase.
Pada 2009 Delgado-Lopez menggunakan tindakan konservatif kortikosteroid,
dexamethasone 4 mg setiap 8 jam selama 48-72 jam, jika pasien mengalami perbaikan
maka dosis dikurangi menjadi 1 mg/ hari selama 3 hari. 96
% dari keseluruhan pasien yang diberikan memberikan efek yang baik.
Dalam studi meta analisis didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan akan rekurensi,morbiditas, mortality, dari pasien yang diobati dengan
kortikosteroid ataupun dengan tindakan pembedahan.Namun dosis ideal dan durasi
dari pengobatan masih belum jelas dan butuh studi lebih lanjut dalam populasi yang
besar.
ASAM TRANEKSAMAT
Fibrinolisi dan hiperkoagulasi tampak memainkan peran dalam terjadinya
liquefikasi dan progresi dari SDH. Sebagai tambahan, peningkatan permeabilitas dari
kapiler pada bagian luar membrane hematoma membuat terjadinya perdarahan mikro
yang membuat hematoma menjadi berkembang. Kalikrein system , yang teraktivasi
oleh plasmin, terinduksi oleh inflamasi dan peningkatan permeabilitas vascular,
migrasi dari sel leukosit ditemukan pada bagian luar dari membrane kronik SDH.17
Asam traneksamat memiliki antifibrinolitik efek melalui inhibisi aktivasi
plasminogen dan plasmin. Terdapat hipotesa mengatakan bahwa asam traneksamat
mungkin dapat menghambat aktivitas fibrinolitik dan meningkatkan permeabilitas
vascular dari membrane hematom, berpengaruh terhadap penyerapan dari hematom.
Dengan adanya asumsi ini , Kageyama melakukan penilitian dengan memberikan 750
mg asam traneksamat satu kali per hari didapatkan penyerapan menyeluruh yang
komplit terhadap seluruh hematoma, dapat disimpulkan bahwa pengobatan dengan
menggunakan asam traneksamat dapat menjadi pengobatan konservatif yang valid.17
Namun sampai saat ini penggunaan akan asam traneksamat padapasien kronik
SDH masih dalam penelitian, terutama penggunaanya pada pasien dengan risiko
tromboembolik, harus dievaluasi kembali dengan studi yang lebih besar.17
2.3.9 Komplikasi
Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim otak
biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat meningkatkan
tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau masih terdapat sisa
hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan lagi. Sebanyak sepertiga
pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera kepala berat. Infeksi luka dan
kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi. Meningitis atau abses serebri dapat
terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial.18
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi drainase,
sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi. Komplikasi medis,
seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi pada 16,9% kasus.
Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom intraparenkim, atau tension
pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.18
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT scan
4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom dilapaorkan
sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10% pasien. Empiema
subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada kurang dari 1%
pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural kronis (SDH). Pada pasien ini,
timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap, usia pasien, dan kondisi
medis secara bersamaan.18
2.3.10 Prognosis
Mortalitas pasien subdural hematom yang memerlukan tindakan pembedahan
adalah 40%-60%. Mortalitas pasien koma yang dioperasi adalah 57- 68%. Tingginya
mortalitas ini karena sebagian besar kasus subdural hematom berkaitan dengan cedera
jaringan intrakranial ataupun ekstrakranial. Keelainan intrakranial yang paling sering
ditemui adalah kontusio serebri dan hematoma intraserebral. Kelainan ekstrakranial
yang paling sering adalah fraktur fasial, ekstremitas, dada dan trauma abdomen.
Perbandingan angka mortalitas pasien yang dioperasi dengan yang tidak, masih belum
tersedia karena kebanyakan pasien akhirnya memerlukan tindakan operasi.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Atmadja AS. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. CDK 29 -236/ vol. 43
no. 1, th. 2016. Available from: www.kalbemed.com/CME.aspx.
2. Satyanegara. S. Trauma Kepala. Ilmu Bedah Saraf (5 Ed, Pp. 313-43). Jakarta,
Dki, Indonesia: Pt Gramedia Pustaka Utama.2014
3. Meagher, RJ et al. Subdural Hematoma, Medscape Reference, Last Updated
26 July 2018.Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1137207overview.
4. Iskandar. 2017. Diagnosis Dan Penanganan Cedera Kepala Di Daerah Rural.
Division Of Neurosurgery, Departement Of Surgery, Dr. Zainoel Abidin General
Hospital – Medical Faculty Of Syiah Kuala University, Banda Aceh, Indonesia
National symposium & workshop “Aceh Surgery Update 2”, 94 Banda Aceh 16 –
17 September 2017.
5. ATLS Subcommittee. Advance trauma life support: the tenth edition. J Trauma
Acute Care Surg. 2018 May; 74(5):1363-6.
6. Sastrodiningrat, A. G. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural Akut.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK USU:
Medan.2006
7. Charles, F. Schwartz’s Principles of Surgery, Edition Ninth. United State of
America : The McGraw-Hill.2010
8. Sylvia P. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses proses Penyakit (pp. 1174-76).
Jakarta: EGC.2006
9. Adhiyaman V, Asghar M. Chronic subdural haematoma in the elderly.
Postgrad Med J ,2002, 78, 71-5.