Oleh
dr. Meutia Maulina
Pembimbing:
Dr. dr. SUHERMAN, Sp.S (K)
2
BAB II
LAPORAN KASUS
3
Pada status generalis, didapatkan kepala normosepali, konjungtiva tidak pucat dan
sklera tidak ikterik. Pada leher, tampak trakea di tengah, tidak dijumpai adanya pembesaran
tiroid dan juga pembesaran kelenjar getah bening, tekanan vena jugular dalam batas normal.
Dada tampak simetris saat statis dan dinamis, auskultasi paru vesikuler, tidak terdapat ronkhi
dan mengi. Bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak terdapat murmur maupun gallop, batas tidak
melebar. Abdomen simetris dan soepel, hepar dan lien tidak teraba, peristaltic usus dalam
batas normal, nyeri tekan tidak ada, defans muscular tidak ditemukan, balotemen (-). Pada
punggung tidak dijumpai adanya deformitas. Ekstremitas hangat , tidak dijumpai adanya
sianosis, tidak dijumpai edema pada kedua lengan dan tungkai.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan GCS E4M6V4. Pupil bulat isokor3 mm/3
mm, dengan reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+). Kaku kuduk (-), pada
pemeriksaan nervus cranialis tidak dijumpai adanya paresis. Pada pemeriksaan kekuatan
motorik, tidak ditemukan adanya kelemahan anggota gerak. Reflek fisiologis dalam batas
normal, reflek patologis hofman trimmer negatif, babinski group tidakd ijumpai. Pada fungsi
otonom tidak dijumpai inkontinensia uri maupun alvi.
4
/-), epistaksis (-/-), pernapasancupinghidung (-)
Tenggorok Hiperemis (-), T2/T2, trakea di tengah.
Gigi danMulut Bibirtampak normal, tidakadasianosis.Lidah normal, gigigeligi
normal.
Leher Pembesaran KGB (-), pembesarankelenjartiroid (-), JVP 5+1
cm.
Toraks Inspeksi: Dada terlihatsimetriskanandankiri, pergerakan
dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak terdapat
retraksi. Pulsasiiktuskordistidakterlihat.
Palpasi: Gerak pernafasan simetris, tidak ada bagian yang
tertinggal. Vocal Fremitus teraba sama kuat kanan dan kiri.
Iktuskordistidakteraba.
Perkusi: Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor. Batas
paru – hati didapatkan pada ICS 7 sebelah kanan.
Batas Jantung
Batas kanan : ICS 4linea parasternal kanan
Batas kiri : ICS 4lineamidclavikulakiri
Auskultasi: Bunyiparuvesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Bunyijantung S1, S2 reguler. Murmur (-). Gallop (-).
Abdomen Inspeksi : Datar, supel, turgor baik, dinding abdomen simetris
Auskultasi :BU (+) normal pada 4 kuadran.
Palpasi:Hepardan Lien tidakteraba.
Perkusi :timpani padaseluruhlapang abdomen, shifting dullness
(-)
Punggung Tampak normal. Tidakterlihatkelainanbentuktulangbelakang.
Ekstremitasatasdanbawah Akralhangat (+), edema (-)
Kuku Sianosis (-). CRT< 3 detik.
GCS : E4 M6 V4
Tanda rangsang meningeal Dekstra Sinistra
5
Kaku kuduk (-)
N.II
Visus 6/6 6/6
Melihatwarna - -
Funduskopi Normal Normal
Pupil:
Bentuk Bulat Bulat
RCL (+) (+)
RCTL (+) (+)
Akomodasi - -
Konvergensi
N. III, IV, dan VI
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia
Palpebra superior Retraksi Normal
Konj. Tarsalis sup/inf Sekret (+) Sekret (+)
Pergerakan bola mata
Nasal Baik Baik
Temporal Baik Baik
Nasal atas Baik Baik
6
Exophtalmus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ptosis (-) (-)
N.V
Cabang motorik Baik Baik
Cabang sensorik
Opthalmikus Baik Baik
Maxillaris Baik Baik
Mandibularis Baik Baik
N.VII
Motorik orbitofrontalis Baik Baik
Motorik orbicularis oculi Baik Baik
Motorik orbicularis oris Baik Baik
Pengecap 2/3 anterior lidah Baik Baik
N.VIII
Vestibular
Vertigo (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Cochlearis
Tuli konduktif (-) (-)
N.IX dan X
Motorik Deviasi uvula (-)
Sensorik Refleks muntah (+)
N.XI
Mengangkatbahu Baik Baik
Menoleh Baik Baik
N.XII
Pergerakanlidah Baik, tidak tampak deviasi
Atrofi (-)
7
Fasikulasi (-)
Tremor (-)
- Sistem Motorik
Kekuatan motorik 5555 5555
5555 5555
Gerakan Involunter
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Athetose : (-)
Mioklonik : (-)
Trofik : eutrofik
Tonus : normotonus
- Sistem sensorik
Rasa raba : Baik
Rasa nyeri : Baik
Rasa suhu : Baik
Rasa getar : Baik
Rasa arah : Baik
Rasa sikap : Baik
BPR ++ ++
TPR ++ ++
KPR ++ ++
APR ++ ++
8
Hoffman Tromer - -
Babinsky - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaffer - -
Klonus tumit - -
Klonus lutut - -
- Fungsi otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Eksresi keringat : baik
2.9 PemeriksaanLaboratorium
Tanggal 1 November 2019
DarahRutin Kimia Klinik
Diftel count:
Eosinophil :0%
Basophil :1%
Netrofilbatang : 0 %
Netrofilsegmen : 72 %
9
Limfosit : 20 %
Monosit :7%
10
Tanggal 12 November 2019
Kimia Klinik
Elektrolit serum:
Natrium : 141 mmol/L
Kalium : 3,3 mmol/L
Klorida : 107 mmol/L
Elektrolit
Kalsium : 8,1 mg/dL
Magnesium : 1,8 mg/dL
Elektrolit serum:
Natrium : 141 mmol/L
Kalium : 3,8 mmol/L
Klorida : 107 mmol/L
Elektrolit
Kalsium : 8,2 mg/dL
Magnesium : 1,8 mg/dL
Ginjal-Hipertensi:
Ureum : 25 mg/dL
Kreatinin : 0,50 mg/Dl
2.10 Pemeriksaan Radiologis
11
Gambar 2.1 CT Scan Kepala non kontras 01 November 2019
12
2.11 Diagnosis
Diagnosa klinis : severe headache, gangguan perilaku
Diagnosa topis : lobus frontal dextra et sinistra
Diagnosa etiologis : akselerasi deselerasi impact
Diagnosa patologik : oedem, hemoragik
2.12 Tatalaksana
A. Terapi umum (suportif)
a. Stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
Oksigen 4 L/menit via sungkup
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
b. Diet cair Clinimix via NGT
c. Pasang Cateter
B. Terapi Medikamentosa
Drip Novalgin 1fls setiap 8 jam
Drip. Phenytoin100mg setiap 8 jam
IV Omeprazole 40 mg setiap 12 jam
IV Piracetam 1 gram setiap 8 jam
IV Citicolin1000 mg setiap 12 jam
IM Haloperidol 1 mg prn
PO Alprazolam tablet 0,5 mg setiap 24 jam (malam)
2.13 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanactionam : dubia ad malam
13
2.14 Follow up
Hari Keluhan Status neurologis Terapi
Vital sign
14
Skala nyeri : Ekstatas:5555/5555 IM Haloperidol 1 mg prn
3/R-Flacc Ekst bawah :5555/5555 PO Alprazolam tablet 0,5
R. Fisiologis: +2/+2 mg setiap 24 jam
R. Patologis: -/- (malam)
Sensoris : dbn
Otonom : dbn
H5 Gelisah GCS : E4M6V4 IV Novalgin 1amp/8 j
6-11-19 berkurang, Pupil Bulat IV fenitoin 100 mg/8 j
sesekali isokor3mm/3mm, RCL IV Omeprazol 40mg/12 j
bicara (+/+), RTCL ( IV Piracetam 1 gr/12 j
meracau +/+)menurun, visus IV Citicolin 1000 mg/
TD:100/80 1/300, 3/60 12 jam
N:79 Nn.Craniales : parese(-) IM Haloperidol 1 mg prn
RR:20 Motorik: PO Alprazolam tablet 0,5
T:36,6 Ekstatas:5555/5555 mg setiap 24 jam
Skala nyeri : Ekst bawah :5555/5555
(malam)
3/R-flacc R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : dbn
Otonom : dbn
H6 Gelisah GCS : E4M6V4 IV Novalgin 1amp/8 j
7-11-19 berkurang, Pupil Bulat IV fenitoin 100 mg/8 j
sesekali isokor3mm/3mm, RCL IV Omeprazol 40mg/12 j
bicara (+/+), RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
meracau Nn.Craniales : parese(-) IV Citicolin 1000 mg/
TD:120/80 Motorik: 12 jam
N:76 Ekstatas:5555/5555
RR:20 Ekst bawah :5555/5555
T:36,6 R. Fisiologis: +2/+2
Skala nyeri : R. Patologis: -/-
5/R-flacc Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H7 Gelisah GCS : E4M6V4 IV Novalgin 1amp/8 j
8-11-19 berkurang, Pupil Bulat IV fenitoin 100 mg/8 j
sesekali isokor3mm/3mm, RCL IV Omeprazol 40mg/12 j
bicara (+/+), RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
meracau Nn.Craniales : kesan IV Citicolin 1000 mg/
TD:110/67 parese(-) 12 jam
N: 102 x/i Motorik:
RR: 16 x/i kesan lateralisasi (-)
T:36,8oC R. Fisiologis: +2/+2
Skala nyeri : R. Patologis: -/-
5/R-Flacc Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : BAK (+)
H8 Penurunan GCS : E2M5V4 IV Novalgin 1amp/8 j
9-11-19 kesadarana Pupil Bulat anisokor IV fenitoin 100 mg/8 j
TD:117/65 5mm/3mm, RCL (+/+), IV Omeprazol 40mg/12 j
N: 94 x/i RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
15
RR: 20 x/i Nn.Craniales : parese(-) IV Citicolin 1000 mg/
T:36,3oC Motorik: 12 jam
Skala nyeri : Ekst atas:5555/5555
4/R-flacc Ekst bawah :5555/5555 P/ Head CT scan ulang
R. Fisiologis: +2/+2 konsul bedah saraf
R. Patologis: -/- craniectomy evakuasi
Sensoris : belum dapat ICH
dinilai
Otonom : BAK on
kateter
H9 Penurunan GCS : on sedasi IV Novalgin 1amp/8 j
10-11- kesadaran Four Score : E1M2B4R1 IV fenitoin 100 mg/8 j
19
TD:115/72 Pupil Bulat anisokor IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N: 66 x/i 4mm/2mm, RCL (+/+), IV Omeprazol 40mg/12 j
RR: 20 x/i RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,5oC Nn.Craniales : parese(-) IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
0/R-Flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H10 Penurunan GCS : E2M4Vx IV Novalgin 1amp/8 j
11-11- kesadaran Four score : E1M2B4R4 IV fenitoin 100 mg/8 j
19
TD:100/80 Pupil Bulat anisokor IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:90 4mm/2mm, RCL (+/+), IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 Nn.Craniales : parese(-) IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
5/BPS Ekstatas:5555/5555
Ekst bawah :5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H11 Penurunan GCS : E2M4Vx IV Novalgin 1amp/8 j
12-11- Kesadaran Four score : E1M2B4R1 IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/80 Pupil Bulat anisokor IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 4mm/3mm, RCL (+/+), IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 Nn.Craniales : parese(-) IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
4/BPS Ekstatas:5555/5555
Ekst bawah :5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : dbn
16
Otonom : dbn
17
16-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/80 4mm/2mm, RCL IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+) IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 Nn.Craniales : IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 parese(-) IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
4/R-flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah
:5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H16 Penurunan GCS : E4M5v4 IV Novalgin 1amp/8 j
17-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/80 4mm/3mm, RCL IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+) IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 Nn.Craniales : IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 parese(-) IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
3/R-flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H17 Penurunan GCS : E4M5V4 IV Novalgin 1amp/8 j
18-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor IV fenitoin 100 mg/8 j
19 (perbaikan) 3mm/2mm, RCL IV Omeprazol 40mg/12 j
TD:105/76 (+/+), RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
N:72 Nn.Craniales : IV Citicolin 1000 mg/
RR:20 parese(-) 12 jam
T:36,6 Motorik:
Skala nyeri : Ekst atas:5555/5555
2/R-flacc Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
19
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H22 Gangguan GCS : E4M5V2 IV Novalgin 1amp/8 j
23-11- kesadaran, Pupil Bulat anisokor IV fenitoin 100 mg/8 j
19 batuk 4mm/2mm, RCL IV Omeprazol 40mg/12 j
TD:120/80 (+/+), RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
N:72 Nn.Craniales : IV Citicolin 1000 mg/
RR:20 parese(-) 12 jam
T:36,6 Motorik:
Skala nyeri : Ekst atas:5555/5555
2/R-Flacc Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H23 GCS : IV Novalgin 1amp/8 j
24-11- TD:120/80 Pupil Bulat IV fenitoin 100 mg/8 j
19 N:72 isokor3mm/3mm, IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 RCL (+/+), RTCL ( IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 +/+) IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Nn.Craniales : 12 jam
parese(-)
Motorik:
Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H24 GCS : IV Novalgin 1amp/8 j
25-11- TD:120/80 Pupil Bulat isokor IV fenitoin 100 mg/8 j
19 N:72 3mm/3mm, RCL IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 (+/+), RTCL ( +/+) IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 Nn.Craniales : IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : parese(-) 12 jam
Motorik:
Ekst atas:5555/5555 P/ persiapan PBJ
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
20
Otonom : dbn
21
BAB III
PEMBAHASAN
ggg
Gambar 3.1 Anatomi Otak5
22
Otak dilindungi oleh selaput meningens yang merupakan jaringan ikat fibrosa,
berfungsi sebagai pelindung terutama saat terjadi cedera kepala, meningens akan mengurangi
tekanan yang diberikan terhadap parenkim serebri. Meningens terdiri dari tiga lapisan, yaitu :
1. Duramater
Duramater terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.
Duramater adalah jaringan ikat fibrosa yang melekat pada permukaan dalam
cranium. Terdapat rongga diatas duramater yang bisa terisi darah saat terjadi
cedera dan merobek arteri meningea media.
2. Arachnoid
Lapisan arachnoid merupakan lapisan transparan dan terdapat rongga dibawahnya
(spatium subarachnoid) yang berisi cairan serebrospinal.
3. Piamater
Lapisan piamater merupakan lapisan yang melekat langsung pada permukaan
otak, mengisi sulcus serebri.
23
2. Area pemahaman bahasa, disebut dengan area Wernicke yang terletak di belakang
korteks auditorik primer pada bagian posterior girus temporalis di lobus temporalis.
3. Area untuk melakukan proses membaca, yaitu girus angularis yang mengartikan
kata-kata yang diterima secara visual yang akan diteruskan ke dalam area Wernicke.
4. Area penamaan objek, terletak di daerah paling lateral lobus oksipitaslis anterior
dan lobus temporalis posterior.
B. Area asosiasi prefrontal, yang fungsinya yaitu untuk merencanakan pola yang kompleks
dan berurutan dari gerakan motorik. Selain itu, area asosiasi prefontal ini berfungsi penting
untuk melakukan proses berpikir dalam benak pikiran. Area ini penting dalam fungsi
perluasan pikiran dan dikatakan dapat menyimpan memori kerja.
C. Area asosiasi limbik, yaitu terletak di belahan anterior lobus temporalis, bagian ventral
lobus frontalis, dan di girus singulata di dalam fisura longitudinalis di 10 permukaan tengah
setiap hemisferium serebri. Korteks limbik adalah bagian dari sistem limbik yang
menghasilkan banyak sekali pengaturan emosi untuk mengaktifkan area otak lain ke dalam
suatu aksi.6
26
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan
kelainan neurologis yang terjadi.
Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara
(verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Cedera kepala
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu: 11
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan berdasarkan CT
scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan otak,
memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48
jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS < 9.
27
hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.12
Terdapat beberapa hipotesis yang memperkirakan bagaimana lesi di otak terbentuk
setelah terjadi cedera kepala, yaitu:12
1. Getaran otak
Trauma pada kepala menyebabkan seluruh terngkorak beserta isinya bergetar.
Kerusakan yang terjadi bergantung pada besarnya getaran. Makin besar getarannya
makin besar kerusakan yang ditimbulkan.
2. Deformasi tengkorak
Benturan pada tengkorak menyebabkan kompresi pada daerah yang terbentur. Tulang
yang terkompresi ini akan membentur jaringan dibawahnya dan menimbulkan
kerusakan pada otak. Pada sisi diseberangnya, tengkorak bergerak menjauh dari
jaringan otak dibawahnya, sehingga timbul ruangan vakum yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah.
3. Pergeseran otak
Benturan pada kepala menyebabkan otak bergeser mengikuti arah gaya benturan.
Gesekan lurus ini disebut juga gerakan translasional. Gerakan geseran lurus ini
disebut juga gerakan translasional. Geseran ini dapat menimbulkan lesi bila
permukaan dalam tengkorak kasar seperti yang terdapat di basis crania. Kelambanan
otak karena konsistensinya yang lunak menyebabkan gerakannya tertinggal terhadap
gerakan tengkorak. Di daerah seberang gerakan otak akan membentur tulang
tengkorak dengan segala akibatnya.
4. Rotasi otak
Pada saat benturan kepala terjadi, otak akan mengalami rotasi sentrifugal yang
mengakibatkan benturan otak pada tabula interna. Rotasi otak dapat terjadi pada
bidang sagital, horizontal, koronal dan kombinasinya. Gerakan berputar ini tampak
disemua daerah kecuali daerah frontal dan temporal. Di daerah dimana otak dapat
bergerak, kerusakan otak yang terjadi sedikit atau tidak ada, kerusakan terbesar terjadi
di daerah yang tidak dapat bergerak atau terbatas gerakannya yaitu di daerah frontal di
fossa serebri anterior dan daerah temporal di fossa serebri media. Karena sulit
bergerak, jaringan otak di daerah ini mengalami regangan yang mengakibatkan
kerusakan pada pembuluh darah dan neuron.
28
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan contrecoup. Lesi
coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan
lokasi benturan. Akselerasi-deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan.12,13
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan rotasional
dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya
cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan regangan pada akson-akson
dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan tersebut diatas
dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury.12,13
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala ditandai oleh
kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran darah serta
metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like” ini menyebabkan akumulasi asam laktat sebagai
akibat dari terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah diikuti dengan pembentukan edem. Sebagai akibat berlangsungnya
metabolisme anaerob, selsel otak kekurangan cadangan energi yang turut menyebabkan
terjadinya kegagalan pompa ion di membran sel yang bersifat energy-dependent.12,13
Pada fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang diikuti dengan
pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan aspartat) yang berlebihan. Selain itu, pada
fase kedua dapat juga ditandai oleh teraktifasinya Nmethyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-
5-methyl-4-isoxazolpropionate, serta kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-
dependent.13
Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-digesting di
intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim seperti lipid peroxidases,
protease, dan fosfolipase yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak
bebas dan radikal bebas di intraseluler. Sebagai tambahan, aktifasi dari enzim caspases (ICE-
like proteins), translocases, dan endonuklease mampu menginisiasi perubahan struktural dari
membran biologis. dan nucleosomal DNA secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan
mendukung terjadinya proses degradasi membran vaskular dan struktur seluler dan akhirnya
menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel terprogram (apoptosis).12,13
29
3.2.4 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai
berikut:14
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada mastoid (tanda
Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa adanya batas posterior,
yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal
dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung glukosa),
perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS) untuk menentukan derajat keparahan cedera kepala dan sebagai
assesement awal yang paling penting dalam survey sekunder.
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat tanda–tanda
ancaman herniasi tentorial.
32
Gambar 3.2 Tatalaksana awal pasien cedera kepala
Sumber : Netter atlas
33
tingkat kesadaran, klinis yang mengarahkan ke peningkatan tekanan intracranial, dan volume
perdarahan yang diperkirakan berdasarkan luas lesi di CT Scan.
b. Ekstrakranial, seperti tindakan inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan
pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera dengan
debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada
meningen dan parenkim serebri.
2. Medikamentosa
a. Agen terapi hiperosmotik intravena seperti Manitol dapat digunakan jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada pasien. Memberikan manitol pada pasien harus memperhatikan
fungsi ginjal dan perkembangan selama terapi. Terapi hiperosmotik akan meningkatkan
aliran cairan serebrospinal, menarik ekstravasasi cairan ke dalam kompartemen intravascular
sehingga produk akhirnya akan mengurangi edema.
b. Antibiotik profilaksis, seperti antibiotik spektrum luas untuk pencegahan infeksi akibat
adanya luka dan defek mukosa sebagai port d`entry kuman.
c. Antikonvulsan untuk mencegah kejang dan mengurangi brain oxygen demand .
d. Antispasmodik seperti agen calcium channel blocker nimodipin yang digunakan pada
beberapa kasus cedera kepala seperti SAH untuk mecegah neuronal spasm.
e. Neuroprotektor seperti citicoline.
35
persistent, disabilitas berat (memerlukan bantuan untuk menjalani aktifitas hidup sehari-hari),
disabilitas sedang (tidak memerlukan bantuan dalam aktifitas hidup sehari-hari), dan sembuh
(dapat menjalani pekerjaan sebelumnya). Pada seri Becker, yang merepresentasikan operasi
dan terapi agresif, hasilnya adalah sebagai berikut: mortalitas, 32%; disabilitas berat/status
vegetatif, 11%; disabilitas sedang/sembuh, 57%. Semua pasien pada seri ini berada dalam
keadaan koma saat penerimaan.18
Bermacam-macam faktor pretrauma mempengaruhi prognosis cedera kepala berat.
Umur adalah faktor yang paling penting, karena mortalitas cedera kepala meningkat seiring
dengan bertambahnya umur. Tren ini disebabkan oleh insidens komplikasi medis yang tinggi
pada pasien tua dengan cedera kepala berat; terlebih lagi, lesi masa intrakranial lebih sering
terjadi pada pasien tua. Adanya cedera atau penyakit terdahulu (sebelum trauma) pada otak
juga memperburuk prognosis. Contohnya adalah sindrom "punch-drunk" pada petinju,
dimana cedera kepala minor yang berulang menghasilkan kumulatif prognosis yang buruk.
Berbagai macam aspek koma sangat berhubungan erat dengan hasil akhir. Nilai Glasgow
Coma Scale berhubungan dengan hasil akhir. Kematian atau status vegetatif adalah hasil
akhir pada 80% pasien dengan nilai 3 sampai 4, pada 54% pasien dengan nilai 5 sampai 7,
pada 27% pasien dengan nilai 8 sampai 10, dan pada 6% pasien dengan nilai 11 sampai 15.
Tanda-tanda disfungsi batang otak merupakan faktor prognosis yang buruk. Jika respons
pupil terhadap cahaya negatif pada kedua mata, mortalitasnya mencapai 65% pada pasien
dengan lesi masa dan 82% pada pasien dengna cedera otak difus. Jika respons
okulovestibular nihil, mortalitas mendekati 60%. Postur deserebrasi terkait dengan 50%
mortalitas.19
Gangguan otonomik, seperti pola pernafasan yang abnormal dan hipertensi, juga
memberikan prognosis yang buruk, dan jenis/asal cedera juga menjadi faktor penentu.
Contohnya, adanya lesi masa meningkatkan mortalitas secara signifikan; oleh karena itu, CT
scan sangatlah penting dalam prognosis. Hasil akhir yang paling baik berhubungan dengan
scan normal atau scan dengan lesi densitas rendah (edema). Prognosis semakin bertambah
buruk pada lesi densitas tinggi berikut: hematoma epidural, hematoma subdural akut,
hematoma intraserebral akut (atau kontusi hemorrhagik), urutan diatas dimulai dari prognosis
yang terburuk. Pada seri dimana pengawasan tekanan intrakranial diterapkan sejak awal,
tekanan intrakranial meningkat pada semua pasien cedera kepala paska operasi. Pada dua per
tiga pasien nonoperatif dengan cedera otak difus, tekanan intrakranial melebihi 10 mmHg.
Terjadinya tekanan intrakranial yang sulit dikontrol (>40 mmHg) selalu menurunkan tekanan
perfusi serebral dan membawa hasil akhir yang buruk. Rangkaian kejadian ini bertanggung
36
jawab atas separuh kematian pada cedera kepala berat. Pada pasien dengan cedera kepala
difus, hipertensi intrakranial yang tidak terlalu tinggi meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.19
37
orang, pola-pola respons emosional dan motivasi ini sebagian dikenali sendiri, dan dengan
mudah dikenali orang-orang terdekat karena pola yang sudah dikenali.
Perubahan kepribadian dan perilaku dikaitkan dengan TBI ketika cedera menyebabkan
perubahan yang jelas dan ditandai dalam perilaku karakteristik pra-cedera pasien, perubahan
kepribadian ini bisa bersifat sementara atau permanen. Orang lain yang akrab dengan
karakteristik perilaku harian individu mungkin mengenali respons emosional dan motivasi
yang orang tersebut yang mungkin pasien tidak sepenuhnya menyadari atau tidak dapat
melaporkan secara subyektif perubahan kepribadian dan perilaku yang dialaminya. Paling
sering, perubahan permanen dikaitkan dengan kerusakan pada sistem korteks limbik dan
frontal otak dan paling sering melibatkan defisit afektif, karena sistem limbik, frontal
merupakan integrasi teritori otak yang memainkan peran sebagai pengatur perilaku,
kepribadian, kognitif, persepsi dan intelektual seseorang. 20,21
Sehingga adanya kerusakan baik akibat cedera maupun proses patologis lain di daerah
ini, akan mempengaruhi sedikit banyaknya fungsi yang diatur oleh bagian tersebut.
Perubahan kepribadian dan perilaku dikaitkan dengan TBI ketika cedera menyebabkan
perubahan yang jelas dan ditandai dalam perilaku karakteristik pra-cedera pasien perubahan
kepribadian ini bisa bersifat sementara atau permanen. Orang lain yang akrab dengan
karakteristik perilaku harian individu mungkin mengenali respons emosional dan motivasi
yang orang tersebut yang mungkin pasien tidak sepenuhnya menyadari atau tidak dapat
melaporkan secara subyektif perubahan kepribadian dan perilaku yang dialaminya. Paling
sering, perubahan permanen dikaitkan dengan kerusakan pada sistem korteks limbik dan
frontal otak dan paling sering melibatkan defisit afektif, karena sistem limbik, frontal
merupakan integrasi teritori otak yang memainkan peran sebagai pengatur perilaku,
kepribadian, kognitif, persepsi dan intelektual seseorang.20,21
Sebuah studi tentang perubahan perilaku impulsif agresif setelah TBI dilakukan pada
tahun 2001 para peneliti melakukan penelitian dengan 45 subjek (26 di kelompok berperilaku
agresif impulsif dan 19 di kontrol non-agresif) di fasilitas rehabilitasi cedera otak. Para
peneliti menemukan bahwa sebagian besar individu dalam kelompok berperilaku agresif
impulsif memiliki sifat kepribadian premorbid yang agresif. Mereka berpendapat bahwa TBI
tidak menyebabkan perilaku agresi impuls tetapi lebih memperparah karakteristik premorbid
pada pasien yang sebelumnya memang cenderung agresif dan impulsif, namun dengan
mengalami TBI, kecenderungan tersebut semakin mungkin terjadi dan menunjukkan
perubahan perilaku yang signifikan setelah trauma, hasil ini dikaitkan dengan kerusakan
lobus frontal sebagai topis TBI nya. 20,21
38
3.4 Ilustrasi Kasus
Pasien laki-laki Tn. WS usia 33 tahun datang dibawa keluarga nya dengan keluhan
bicara meracau dan nyeri kepala yang dirasakan sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya pasien mengendarai sepeda motor tunggal tanpa menggunakan helm, kemudian
terjatuh akibat menghindari kucing yang melintas. Menurut studi epidemiologi, laki-laki lebih
sering mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dibandingkan perempuan,
terutama laki-laki usia produktif 30-40 tahun hal ini karena laki-laki usia produktif tersebut
lebih banyak jumlahnya sebagai pengemudi dan pengendara kendaraan bermotor
dibandingkan perempuan. Prevalensi cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang lebih
banyak pada laki-laki usia produktif ini yang menjadi masalah utama kesehatan di tahun 2020
nanti, dan tinggi nya biaya kesehatan yang dihabiskan. 22
Pasien kemudian terjatuh, kepala terbentur aspal dan pasien tidak sadarkan diri selama
15 menit. Setelah sadar, pasien bicara meracau tidak koheren saat ditanya oleh keluarga,
gelisah, mengamuk, berteriak dan mengeluh nyeri kepala hebat. Pasien tidak dapat mengingat
kejadian terjatuh dan beberapa kejadian setelah terjatuh. Muntah menyemprot sebanyak 3
kali, kejang tidak ada. Perdarahan dari hidung, mulut dan telinga tidak ada. Kelemahan
anggota gerak tidak ada.
Pasien dewasa dan remaja yang mengalami cedera kepala berat dengan GCS dibawah
9, sering mengalami sekuele dan komplikasi pasca cedera akibatn kerusakan permanen pada
otak, yang mrngakibatkan gangguan kognitif jangka panjang, emosional dan masalah
perilaku. Cedera kepala berat berkaitan dengan meningkatnya risiko munculnya gejala
gangguan psikiatrik pasca cedera seperti depresi, kecemasan, perilaku kasar dan perubahan
perilaku menjadi agresif. Sebuah studi menyatakan bahwa diantara dua kelompok yang terdiri
dari kelompok orang pasca cedera kepala berat dan control, sebanyak 67 kelompok pasca
cedera kepala, lebih banyak mengalami gangguan atensi, emosi, dan gangguan perilaku
dibandingkan kelompok control sebanyak 72 orang. Usia lebih muda dan dan pendidikan
yang lebih rendah semakin meningkatkan kerentanan mengalami gangguan perilaku pasca
cedera. (life after adolescent)23
Setelah terjatuh, pasien tidak sadarkan diri selama beberapa menit, kemudian sadar
namun pasien tidak bisa mengingat kejadian nya. Penurunan kesadaran mendadak pasca
cedera terjadi akibat disfungsi reticular activating system (RAS) oleh karena trauma. Trauma
atau cedera kepala menyebabkan percepatan dan perlambatan mendadak pada struktur
didalam cranium.
39
Setelah dibawa ke rumah sakit, pada pasien ini kemudian dilakukan pemeriksaan fisik
neurologi dan penunjang berupa CT Scan kepala tanpa kontras. Dari hasil CT Scan
ditemukan adanya perdarahan intraserebral pada lobus frontal. Lobus frontal bersama sistem
limbic merupakan pusat yang mengatur fungsi luhur, persepsi, perilaku dan fungsi kognitif.
Adanya perdarahan di lobus ini menyebabkan gangguan fungsi yang dijalankan. Hal ini
menjelaskan munculnya gangguan perubahan perilaku yang dialami setelah pasien sadar.
Pasien mengalami aggressive behavior, bicara yang inkoheren dan meracau. Perilaku agresif
adalah salah satu konsekuensi perubahan perilaku paling sering akibat cedera kepala.
Prevalensi perubahan perilaku menjadi agresif ini berkisar 11-34%. Manifestasi perilaku
agresif bisa berupaperilaku agresif verbal dan fisik. Studi-studi sebelumnya menyebutkan
bahwa perilaku agresif pasca cedera kepala berkaitan dengan depresi, lesi pada lobus frontal,
fungsi psikososial yang buruk sebelum cedera kepala dan riwayat menggunakan alcohol.
Adanya lesi perdarahan pada lobus frontal pasien ini, menjadi sebab adanya perilaku agresif
setelah cedera kepala berat. (Agression after TBI)24
Efek neurologis dan psikologis pasca cedera kepala bisa terjadi bersamaan. Efek
psikologis termasuk didalamnya perilaku agitasi, iritabel, marah dan episode diskontrol.
Sebanyak 36% pasien pasca cedera kepala berat mengalami salah satu dari empat spectrum
perubahan perilaku diatas. Munculnya perilaku tersebut bisa terjadi sesaat setelah kesadaran
pulih sampai 5 tahun setelah cedera kepala terjadi. Agitasi ditandai dengan pergerakan yang
tidak bisa dihindari dan dihentikan. Pasien yang agitasi bisa saja kemudian marah dan
menjadi agresif jika ada yang menghalangi pergerakannya. Agitasi berkaitan dengan
gangguan fungsi kognitif, seperti orientasi, memori dan disinhibisi. Hal ini sangat umum
terjadi pada fase akut setelah cedera kepala traumatic, seperti yang dialami pasien pada kasus.
Gangguan fungsi kognitif ini selain pada fase akut, juga bisa menetap kemudian. Iritabilitas
adalah tendensi merasa kecewa, bisa karena adiakibatkan cedera kepala traumatik dan afek
pasien itu sendiri. Lesi pada sistem limbic (frontal, prefrontal, korteks anterior temporal,
amigdala, hipotalamus) bertanggung jawab sebagai sebab utama munculnys perilaku agresif,
iritabel pasca cedera kepala. (the emotional and behavioural consequences) 25
Kasus yang dialami pasien adalah Contussional Intracerebral Hemorrhage.
Perdarahan setelah cedera kontusional lebih sering terjadi secara perlahan. Volume
perdarahan akan bertambah apabila mekanisme clotting tidak bersamaan dengan bleeding.
Sehingga disfungsi korteks akibat perdarahan lebih sering timbul beberapa hari setelah onset
cedera. Pada pasien kemudian dilakukan pemeriksaan CT scan ulangan, dengan volume
40
darah dan clot intraserebral yang semakin meluas, kemudian dilakukan tindakan operatif
emergensi untuk evakuasi darah dan clot.26
Pasien diterapi sesuai dengan guideline manajeman trauma dengan tujuan utama
untuk mengembalikan respirasi sirkulasi adekuat. Pada pasien juga diberikan terapi
farmakologis berupa injeksi citicoline 1000 mg. Citicoline merupakan agen kolinergik yang
memiliki efek terhadap siklus oksigenase sel dan proses pembentukan ATP. Adenosine Tri-
Phosphate (ATP) dibutuhkan untuk fungsi optimal pompa Sodium-Potassium(Na-K) ATPase
untuk mempertahankan integritas membrane sel dan mencegah akumulasi cairan di
kompartemen ekstraseluler sehingga terjadi edema dan membentuk lipid peroksidase. Saat
terjadi cedera kepala berat, metabolisme aerob efektif menjadi terganggu, sehingga suasana
sel menjadi asam, glikolisis dan ATP tidak tersedia, sehingga sel akan menjadi edema dan
lisis. Adanya citicolin akan meningkatkan oksigenase seluler, menyediakan ATP lebih
banyak untuk metabolism sek dan mencegah cedera sekunder neuronal. (Citicolin for
traumatic brain injury pubmed)27
Pasien juga diberikan injeksi omeprazole dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
stress ulcer. Salah satu komplikasi mayor setelah cedera kepala baik ringan maupun berat
adalah gastrointestinal ulcer. Prevalensi stress ulcer berkisar dari 40-80% setelah cedera
kepala berat. Penyebab ulkus setelah trauma ini kompleks dan dipengaruhi beberapa factor.
Salah satu teori yang menjelaskan sebabnya yaitu respon hipermetabolik setelah trauma,
peningkatan aktivitas sitokin inflamasi, disfungsi hepar, dan iskemia saluran cerna yang
menjadi dasar pathogenesis stress ulcer. Tingginya konsentrasi ekspresi endotelin-1 pada
jaringan bersama dengan meningkatnya sintase nitrit oksida yang menginduksi perlukaan
mukosa gaster, sehingga menyebabkan luka dan memperparah rasa nyeri yang dialami
pasien. Cedera kepala dalam fase akut juga berefek pada sekresi hormone dari sistem
hipotalamus-pituitari adrenokortikal, sehingga meningkatkan kadar kortisol dalam plasma
secara signifikan. Meningkatnya kadar kortisol plasma menyebabkan sel parietal dig aster
mensekresi lebih banyak asam, dan rasa perih di gaster. Omeprazole merupakan agen proton
pump inhibitor yang menghambat pompa ion proses akhir sekresi asam lambung.
(Relationship between Plasma Cortisol Levels and Stress Ulcer following Acute and Severe
Head Injury)28
41
BAB IV
PENUTUP
42
DAFTAR PUSTAKA
13. Frost, R Brock, et al. 2012. Prevalence of Traumatic Brain Injury in the General Adult
Population: A Meta Analysis. USA
14. Centers for Disease Control and PreventionTraumatic Brain Injury In the United
States: Epidemiology and Rehabilitation.
15. Prince, Brett. 2008. Emotional and Behavioral Changes Following Brain
Injury
16, David B. Arciniegas; Hal S. Wortzel, 2014. Emotional and Behavioral
Dyscontrol After Traumatic Brain Injury
43
17. Rao, Vani, et al. 2009. Aggression After Traumatic Brain Injury: Prevalence and
Correlates. (The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences 2009;
21:420–429)
18. Finnanger, Torun, et al. 2015. Life after Adolescent and Adult Moderate and Severe
Traumatic Brain Injury: Self-Reported Executive, Emotional, and Behavioural
Function 2–5 Years after Injury. Hindawi Publishing Corporation Behavioural
Neurology Volume 2015, Article ID 329241, 19 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2015/329241
19. Stefan, Angelique, et al. 2018. What are the disruptive symptoms of behavioral
disorders after traumatic brain injury? A systematic review leading to
recommendations for good practices. France
44