Anda di halaman 1dari 45

Laporan Kasus

GANGGUAN PERILAKU PASCA CEDERA


KEPALA BERAT

Oleh
dr. Meutia Maulina

Pembimbing:
Dr. dr. SUHERMAN, Sp.S (K)

Bagian/ SMF Neurologi


Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh
2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, sebagian besar cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas. Cedera kepala adalah bentuk cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang kranium, robekan
selaput otak dan kerusakan parenkim otak, serta mengakibatkan gangguan neurologis.1
Cedera kepala dialami oleh sekitar 1,5-2 juta orang setiap tahunnya di Amerika.
Diperkirakan sekitar 1,4 juta kunjungan ke unit gawat darurat disebabkan oleh cedera kepala,
sebanyak 275.000 rawatan rumah sakit dan 52.000 kematian per tahun disebabkan oleh
cedera kepala. Selain itu, cedera kepala merupakan kasus yang paling banyak menghabiskan
uang selain penyakit keganasan. Biaya rawatan yang dihabiskan sekitar 9-10 juta dollar
setiap tahunnya. Berdasarkan studi sebelumnya, di negara maju angka kejadian cedera kepala
lebih tinggi dibandingkan negara berkembang, oleh karena perbedaan kepadatan populasi dan
kemajuan transportasi. Cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas lebih tinggi 12% di negara
maju. Cedera kepala di Indonesia, meskipun tidak lebih tinggi dari negara maju, namun untuk
kategori negara berkembang, prevalensi cedera kepala akibat kecelakaan termasuk tinggi, hal
ini karena kemajuan dan angka transportasi, serta rendahnya kesadaran keamanan bekerja dan
berkendara. Laki-laki lebih berisiko dua kali lipat dibandingkan perempuan untuk mengalami
cedera kepala. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki merupakan salah satu
faktor risiko cedera kepala.2
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan kerusakan kraniu dan otak Cedera
kepala merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari luar,
yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun
fungsi fisik. Cedera kepala merupakan suatu trauma yang mengenai struktur kepala yang
dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau menimbulkan kelainan
struktural.3
Lesi yang paling sering terjadi akibat trauma kepala adalah hematom dan perdarahan
serebral akibat kontusio, yang terjadi sekitar 15-35% dari seluruh pasien cedera kepala.
Kontusio traumatik dan perdarahan intraserebral akibat kontusio dapat menyebabkan
disabilitas kognitif, fisik dan psikologis (blossoming contussion)3
1
Selain disabilitas fisik, kognitif dan psikologis, cedera kepala berat juga dapat
menyebabkan gangguan perilaku. Perubahan atau gangguan perilaku terjadi sekitar 62%
dalam satu tahun pasca cedera kepala. Gangguan perilaku ini kemudian bisa menetap sampai
5 tahun pasca cedera. Beberapa gejala gangguan perilaku ini bisa muncul sejak pasien sadar
setelah periode tidak sadar, atau baru muncul dalam onset 3 bulan setelah cedera kepala
terjadi, keluarga pasien sering mengatakan bahwa pasien tidak seperti dirinya sendiri, atau
berbeda dari pasien sebelum mengalami cedera kepala. Perubahan perilaku yang terjadi
dalam satu tahun seteleh cedera kepala sebanyak 49% dan terjadi dalam 5 tahun sebanyak
74% (what are the disrupti)4
Oleh karena kemajuan teknologi dan transportasi semakin pesat, memungkinkan
cedera kepala traumatik akibat kecelakaan lalu lintas akan semakin bertambah, mengingat
rendahnya kesadaran aman berkendara dan taat berlalu lintas di negeri ini, membuat cedera
kepala traumatik bisa meningkat pesat. Sehingga sangat diperlukan pengetahuan dan
kemampuan untuk menangani cedera kepala traumatik dan akibatnya yang tidak kalah
penting yaitu gangguan dan perubahan perilaku yang dapat mengganggu kualitas hidup
pasien pasca cedera kepala.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Willy Saputra
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 33 tahun
Alamat : Desa Ulee Kareng, Banda Aceh
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
No CM :1-22-63-36
Tanggal Masuk RS :1 November 2019

2.2 Riwayat Penyakit Pasien


Keluhan Utama: Bicara meracau
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUZA dengan keluhan
bicara meracau dan nyeri kepala yang dirasakan sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya pasien mengendarai sepeda motor tunggal tanpa menggunakan helm, kemudian
terjatuh akibat menghindari kucing yang melintas. Pasien kemudian terjatuh, kepala terbentur
aspal dan pasien tidak sadarakan diri selama 15 menit. Setelah sadar, pasien bicara meracau
tidak koheren saat ditanya oleh keluarga, gelisah, mengamuk, berteriak dan mengeluh nyeri
kepala hebat. Pasien tidak dapat mengingat kejadian terjatuh dan beberapa kejadian setelah
terjatuh. Muntah menyemprot sebanyak 3 kali, kejang tidak ada. Perdarahan dari hidung,
mulut dan telinga tidak ada. Kelemahan anggota gerak tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak ada
Riwayat Penggunaan Obat : Tidak Ada

2.6 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan fisik pertama sekali di ruang IGD RSUDZA, didapatkan pasien
tampak sakit sedang. Tanda vital, tekanan darah 110/70 mmhg, frekuensi nadi 82 kali per
menit isi cukup, reguler, frekuensi nafas 20 kali per menit simetris, reguler dan suhu 36,6oC.
Nilai skor nyeri R-Flacc5.

3
Pada status generalis, didapatkan kepala normosepali, konjungtiva tidak pucat dan
sklera tidak ikterik. Pada leher, tampak trakea di tengah, tidak dijumpai adanya pembesaran
tiroid dan juga pembesaran kelenjar getah bening, tekanan vena jugular dalam batas normal.
Dada tampak simetris saat statis dan dinamis, auskultasi paru vesikuler, tidak terdapat ronkhi
dan mengi. Bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak terdapat murmur maupun gallop, batas tidak
melebar. Abdomen simetris dan soepel, hepar dan lien tidak teraba, peristaltic usus dalam
batas normal, nyeri tekan tidak ada, defans muscular tidak ditemukan, balotemen (-). Pada
punggung tidak dijumpai adanya deformitas. Ekstremitas hangat , tidak dijumpai adanya
sianosis, tidak dijumpai edema pada kedua lengan dan tungkai.
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan GCS E4M6V4. Pupil bulat isokor3 mm/3
mm, dengan reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+). Kaku kuduk (-), pada
pemeriksaan nervus cranialis tidak dijumpai adanya paresis. Pada pemeriksaan kekuatan
motorik, tidak ditemukan adanya kelemahan anggota gerak. Reflek fisiologis dalam batas
normal, reflek patologis hofman trimmer negatif, babinski group tidakd ijumpai. Pada fungsi
otonom tidak dijumpai inkontinensia uri maupun alvi.

• Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang


• Kesadaran : Apatis
• Tanda-tanda vital
o Nadi : 82 x/menit, regular, kuat, dan isi cukup.
o Pernapasan : 20 x/menit
o TD : 110/60 mmHg
o Suhu : 36,60C

2.7 Status Generalis

Kepala Normosefali, terdapatpembengkakan di bagiankepalabelakang.


Rambuthitammerata, tidakmudahdicabut.
Mata Konjungtiva bulbi hiperemis (+/+), injeksi konjungtiva (+/+),
skleraikterik (-/-),strabismus (-/-).
Bola mata kanan menonjol (+)
Telinga Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-), darah(-/-)
Hidung Normonasi, mukosahiperemis (-/-), edema konka (-/-), sekret (-

4
/-), epistaksis (-/-), pernapasancupinghidung (-)
Tenggorok Hiperemis (-), T2/T2, trakea di tengah.
Gigi danMulut Bibirtampak normal, tidakadasianosis.Lidah normal, gigigeligi
normal.
Leher Pembesaran KGB (-), pembesarankelenjartiroid (-), JVP 5+1
cm.
Toraks Inspeksi: Dada terlihatsimetriskanandankiri, pergerakan
dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak terdapat
retraksi. Pulsasiiktuskordistidakterlihat.
Palpasi: Gerak pernafasan simetris, tidak ada bagian yang
tertinggal. Vocal Fremitus teraba sama kuat kanan dan kiri.
Iktuskordistidakteraba.
Perkusi: Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor. Batas
paru – hati didapatkan pada ICS 7 sebelah kanan.
Batas Jantung
Batas kanan : ICS 4linea parasternal kanan
Batas kiri : ICS 4lineamidclavikulakiri
Auskultasi: Bunyiparuvesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Bunyijantung S1, S2 reguler. Murmur (-). Gallop (-).
Abdomen Inspeksi : Datar, supel, turgor baik, dinding abdomen simetris
Auskultasi :BU (+) normal pada 4 kuadran.
Palpasi:Hepardan Lien tidakteraba.
Perkusi :timpani padaseluruhlapang abdomen, shifting dullness
(-)
Punggung Tampak normal. Tidakterlihatkelainanbentuktulangbelakang.
Ekstremitasatasdanbawah Akralhangat (+), edema (-)
Kuku Sianosis (-). CRT< 3 detik.

2.8 Status neurologis

GCS : E4 M6 V4
Tanda rangsang meningeal Dekstra Sinistra

5
Kaku kuduk (-)

Laseque >70° >70°

Kernig >135° >135°

Brudzinski I (-) (-)

Brudzinski II (-) (-)

Nervus Cranialis Dekstra Sinistra

N. I dalam batas normal

N.II
Visus 6/6 6/6
Melihatwarna - -
Funduskopi Normal Normal
Pupil:
 Bentuk Bulat Bulat
 RCL (+) (+)
 RCTL (+) (+)

 Akomodasi - -

 Konvergensi
N. III, IV, dan VI
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia
Palpebra superior Retraksi Normal
Konj. Tarsalis sup/inf Sekret (+) Sekret (+)
Pergerakan bola mata
 Nasal Baik Baik
 Temporal Baik Baik
 Nasal atas Baik Baik

 Temporal atas Baik Baik

 Temporal bawah Baik Baik

Lagophtalmus (-) (-)

6
Exophtalmus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ptosis (-) (-)

N.V
Cabang motorik Baik Baik
Cabang sensorik
 Opthalmikus Baik Baik
 Maxillaris Baik Baik
 Mandibularis Baik Baik

N.VII
Motorik orbitofrontalis Baik Baik
Motorik orbicularis oculi Baik Baik
Motorik orbicularis oris Baik Baik
Pengecap 2/3 anterior lidah Baik Baik

N.VIII
Vestibular
 Vertigo (-) (-)
 Nistagmus (-) (-)
Cochlearis
 Tuli konduktif (-) (-)

 Tuli sensorineural (-) (-)

N.IX dan X
Motorik Deviasi uvula (-)
Sensorik Refleks muntah (+)

N.XI
Mengangkatbahu Baik Baik
Menoleh Baik Baik

N.XII
Pergerakanlidah Baik, tidak tampak deviasi
Atrofi (-)

7
Fasikulasi (-)
Tremor (-)

- Sistem Motorik
Kekuatan motorik 5555 5555
5555 5555
Gerakan Involunter
 Tremor : (-)
 Chorea : (-)
 Athetose : (-)
 Mioklonik : (-)

Trofik : eutrofik
Tonus : normotonus
- Sistem sensorik
 Rasa raba : Baik
 Rasa nyeri : Baik
 Rasa suhu : Baik
 Rasa getar : Baik
 Rasa arah : Baik
 Rasa sikap : Baik

Refleks fisologis Dekstra sinistra

BPR ++ ++

TPR ++ ++

KPR ++ ++

APR ++ ++

Refleks fisologis Dekstra sinistra

8
Hoffman Tromer - -

Babinsky - -

Chaddock - -

Oppenheim - -

Gordon - -

Schaffer - -

Klonus tumit - -

Klonus lutut - -

- Fungsi otonom
 Miksi : baik
 Defekasi : baik
 Eksresi keringat : baik

2.9 PemeriksaanLaboratorium
 Tanggal 1 November 2019
DarahRutin Kimia Klinik

Hemoglobin: 13,2mg/dl GDS: 91 mg/dL


Hematokrit : 40 %
Eritrosit : 4,5 x106/mm3
Leukosit :4,8 x 103/mm3
Trombosit : 207 x 103/mm3

Diftel count:
Eosinophil :0%
Basophil :1%
Netrofilbatang : 0 %
Netrofilsegmen : 72 %

9
Limfosit : 20 %
Monosit :7%

 Tanggal 10 November 2019


Darah Rutin Kimia Klinik

Hemoglobin : 13,6mg/dl Analisa Gas Darah:


Hematokrit : 40 % pH : 7,406 mmHg
Eritrosit : 4,6 x106/mm3 pCO2 : 39,50 mmHg
Leukosit :6,7 x 103/mm3 HCO3 : 25,1 mmHg
Trombosit : 207 x 103/mm3 BE : 1,0
Diftel count: Elektrolit:
Eosinophil :1% Natrium : 145mmol/L
Basophil :0% Kalium : 3,8 mmol/L
Netrofilbatang :0% Klorida : 113 mmol/L
Netrofilsegmen : 83 % Ginjal-Hipertensi:
Limfosit :9% Ureum : 32 mg/dL
Monosit :7% Kreatinin : 0,50 mg/dL

 Tanggal 11 November 2019


Kimia Klinik

Analisa Gas Darah:


pH : 7,409 mmHg
pCO2 : 42,8 mmHg
HCO3 : 27,1 mmHg
BE : 2,0
Elektrolit serum:
Natrium : 138mmol/L
Kalium : 3,4 mmol/L
Klorida : 105 mmol/L
Elektrolit
Kalsium : 8,0 mg/dL
Magnesium : 1,7 mg/dL

10
 Tanggal 12 November 2019
Kimia Klinik

Elektrolit serum:
Natrium : 141 mmol/L
Kalium : 3,3 mmol/L
Klorida : 107 mmol/L
Elektrolit
Kalsium : 8,1 mg/dL
Magnesium : 1,8 mg/dL

 Tanggal 13 November 2019


Kimia Klinik

Elektrolit serum:
Natrium : 141 mmol/L
Kalium : 3,8 mmol/L
Klorida : 107 mmol/L
Elektrolit
Kalsium : 8,2 mg/dL
Magnesium : 1,8 mg/dL
Ginjal-Hipertensi:
Ureum : 25 mg/dL
Kreatinin : 0,50 mg/Dl
2.10 Pemeriksaan Radiologis

11
Gambar 2.1 CT Scan Kepala non kontras 01 November 2019

Gambar 2.2 CT Scan Kepala non kontras 09 November 2019

12
2.11 Diagnosis
Diagnosa klinis : severe headache, gangguan perilaku
Diagnosa topis : lobus frontal dextra et sinistra
Diagnosa etiologis : akselerasi deselerasi impact
Diagnosa patologik : oedem, hemoragik

2.12 Tatalaksana
A. Terapi umum (suportif)
a. Stabilisasi hemodinamik/sirkulasi
Oksigen 4 L/menit via sungkup
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
b. Diet cair Clinimix via NGT
c. Pasang Cateter

B. Terapi Medikamentosa
 Drip Novalgin 1fls setiap 8 jam
 Drip. Phenytoin100mg setiap 8 jam
 IV Omeprazole 40 mg setiap 12 jam
 IV Piracetam 1 gram setiap 8 jam
 IV Citicolin1000 mg setiap 12 jam
 IM Haloperidol 1 mg prn
 PO Alprazolam tablet 0,5 mg setiap 24 jam (malam)

2.13 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanactionam : dubia ad malam

13
2.14 Follow up
Hari Keluhan Status neurologis Terapi
Vital sign

H1 Nyeri kepala, GCS : E4M6V4  IV Novalgin 1amp/8 j


2-11-19 gelisah, Pupil Bulat  IV fenitoin 100 mg/8 j
bicara isokor3mm/3mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
meracau (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
TD:110/70 Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
N: 78 Motorik: 12 jam
RR:20 Ekstatas:5555/5555  IM Haloperidol 1 mg prn
T:36,6 Ekst bawah :5555/5555
 PO Alprazolam tablet 0,5
Skala nyeri : R. Fisiologis: +2/+2 mg setiap 24 jam
5/ R-flacc R. Patologis: -/- (malam)
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H2 Nyeri kepala GCS : E4M6V4  IV Novalgin 1amp/8 j
3-11-19 berkurang, Pupil Bulat  IV fenitoin 100 mg/8 j
bicara isokor3mm/3mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
meracau, (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
gelisah Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
berkurang Motorik: 12 jam
TD:120/70 Ekstatas:5555/5555  IM Haloperidol 1 mg prn
N:76 Ekst bawah :5555/5555  PO Alprazolam tablet 0,5
RR:20 R. Fisiologis: +2/+2 mg setiap 24 jam
T:36,5 R. Patologis: -/- (malam)
Skala nyeri : Sensoris : belum dapat
3/R-flacc dinilai
Otonom : dbn
H3 Pasien GCS : E4M6V4  IV Novalgin 1amp/8 j
4-11-19 gelisah, Pupil Bulat  IV fenitoin 100 mg/8 j
bicara isokor3mm/3mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
meracau (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
sudah tidak Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
dikeluhkan Motorik: 12 jam
TD:110/60 Ekst atas:5555/5555  IM Haloperidol 1 mg prn
N:78 Ekst bawah :5555/5555
 PO Alprazolam tablet 0,5
RR:20 R. Fisiologis: +2/+2 mg setiap 24 jam
T:36,5 R. Patologis: -/-
(malam)
Skala nyeri : Sensoris : belum dapat
2/R-Flacc dinilai
Otonom : dbn
H4 Gelisah GCS : E4M6V4  IV Novalgin 1amp/8 j
5-11-19 berkurang Pupil Bulat  IV fenitoin 100 mg/8 j
TD:120/80 isokor3mm/3mm  IV Omeprazol 40mg/12 j
N:70 RCL(+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
RR:20 Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
T:36,5 Motorik: 12 jam

14
Skala nyeri : Ekstatas:5555/5555  IM Haloperidol 1 mg prn
3/R-Flacc Ekst bawah :5555/5555  PO Alprazolam tablet 0,5
R. Fisiologis: +2/+2 mg setiap 24 jam
R. Patologis: -/- (malam)
Sensoris : dbn
Otonom : dbn
H5 Gelisah GCS : E4M6V4  IV Novalgin 1amp/8 j
6-11-19 berkurang, Pupil Bulat  IV fenitoin 100 mg/8 j
sesekali isokor3mm/3mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
bicara (+/+), RTCL (  IV Piracetam 1 gr/12 j
meracau +/+)menurun, visus  IV Citicolin 1000 mg/
TD:100/80 1/300, 3/60 12 jam
N:79 Nn.Craniales : parese(-)  IM Haloperidol 1 mg prn
RR:20 Motorik:  PO Alprazolam tablet 0,5
T:36,6 Ekstatas:5555/5555 mg setiap 24 jam
Skala nyeri : Ekst bawah :5555/5555
(malam)
3/R-flacc R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : dbn
Otonom : dbn
H6 Gelisah GCS : E4M6V4  IV Novalgin 1amp/8 j
7-11-19 berkurang, Pupil Bulat  IV fenitoin 100 mg/8 j
sesekali isokor3mm/3mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
bicara (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
meracau Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
TD:120/80 Motorik: 12 jam
N:76 Ekstatas:5555/5555
RR:20 Ekst bawah :5555/5555
T:36,6 R. Fisiologis: +2/+2
Skala nyeri : R. Patologis: -/-
5/R-flacc Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H7 Gelisah GCS : E4M6V4  IV Novalgin 1amp/8 j
8-11-19 berkurang, Pupil Bulat  IV fenitoin 100 mg/8 j
sesekali isokor3mm/3mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
bicara (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
meracau Nn.Craniales : kesan  IV Citicolin 1000 mg/
TD:110/67 parese(-) 12 jam
N: 102 x/i Motorik:
RR: 16 x/i kesan lateralisasi (-)
T:36,8oC R. Fisiologis: +2/+2
Skala nyeri : R. Patologis: -/-
5/R-Flacc Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : BAK (+)
H8 Penurunan GCS : E2M5V4  IV Novalgin 1amp/8 j
9-11-19 kesadarana Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
TD:117/65 5mm/3mm, RCL (+/+),  IV Omeprazol 40mg/12 j
N: 94 x/i RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j

15
RR: 20 x/i Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
T:36,3oC Motorik: 12 jam
Skala nyeri : Ekst atas:5555/5555
4/R-flacc Ekst bawah :5555/5555 P/ Head CT scan ulang
R. Fisiologis: +2/+2  konsul bedah saraf 
R. Patologis: -/- craniectomy evakuasi
Sensoris : belum dapat ICH
dinilai
Otonom : BAK on
kateter
H9 Penurunan GCS : on sedasi  IV Novalgin 1amp/8 j
10-11- kesadaran Four Score : E1M2B4R1  IV fenitoin 100 mg/8 j
19
TD:115/72 Pupil Bulat anisokor  IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N: 66 x/i 4mm/2mm, RCL (+/+),  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR: 20 x/i RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,5oC Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
0/R-Flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H10 Penurunan GCS : E2M4Vx  IV Novalgin 1amp/8 j
11-11- kesadaran Four score : E1M2B4R4  IV fenitoin 100 mg/8 j
19
TD:100/80 Pupil Bulat anisokor  IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:90 4mm/2mm, RCL (+/+),  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
5/BPS Ekstatas:5555/5555
Ekst bawah :5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H11 Penurunan GCS : E2M4Vx  IV Novalgin 1amp/8 j
12-11- Kesadaran Four score : E1M2B4R1  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/80 Pupil Bulat anisokor  IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 4mm/3mm, RCL (+/+),  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
4/BPS Ekstatas:5555/5555
Ekst bawah :5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : dbn

16
Otonom : dbn

H12 Penurunan GCS : E2M4Vx  IV Novalgin 1amp/8 j


13-11- Kesadaran Four score : E1M2B4r1  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/60 Pupil Bulat anisokor  IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 4mm/2mm, RCL (+/+),  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 Nn.Craniales : parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
Skor Nyeri : Motorik: 12 jam
Ekstatas:5555/5555
Ekst bawah :5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn

H13 Penurunan GCS : E2M4V2  IV Novalgin 1amp/8 j


14-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:130/60 4mm/3mm, RCL  IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 (+/+), RTCL (+/+)  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 Nn.Craniales :  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
3/R-Flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah
:5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn

H14 Penurunan GCS : E3M4V2  IV Novalgin 1amp/8 j


15-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/80 3mm/3mm, RCL  IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 Nn.Craniales :  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
4/R-flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah
:5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn

H15 Penurunan GCS : E2M4V4  IV Novalgin 1amp/8 j

17
16-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/80 4mm/2mm, RCL  IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 Nn.Craniales :  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
4/R-flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah
:5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H16 Penurunan GCS : E4M5v4  IV Novalgin 1amp/8 j
17-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/80 4mm/3mm, RCL  IV Ceftriaxone 2 gr/24 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 Nn.Craniales :  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 parese(-)  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Motorik: 12 jam
3/R-flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H17 Penurunan GCS : E4M5V4  IV Novalgin 1amp/8 j
18-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 (perbaikan) 3mm/2mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
TD:105/76 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
N:72 Nn.Craniales :  IV Citicolin 1000 mg/
RR:20 parese(-) 12 jam
T:36,6 Motorik:
Skala nyeri : Ekst atas:5555/5555
2/R-flacc Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn

H18 Gangguan GCS : E4M5V4  IV Novalgin 1amp/8 j


19-11- kesadaran Pupil Bulat isokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/80 3mm/3mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
RR:20 Nn.Craniales :  IV Citicolin 1000 mg/
18
T:36,6 parese(-) 12 jam
Skala nyeri : Motorik:
2/R-flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H19 Penurunan E4M5V2  IV Novalgin 1amp/8 j
20-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/60 4mm/2mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
RR:20 Nn.Craniales :  IV Citicolin 1000 mg/
T:36,6 parese(-) 12 jam
Skala nyeri : Motorik:
2/R-flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H20 Gangguan GCS : E4M5V2  IV Novalgin 1amp/8 j
21-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:120/70 4mm/2mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
RR:20 Nn.Craniales :  IV Citicolin 1000 mg/
T:36,6 parese(-) 12 jam
Skala nyeri : Motorik:
2/R-Flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah
:5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H21 Gangguan GCS : E4M5V1  IV Novalgin 1amp/8 j
22-11- kesadaran Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 TD:104/69 4mm/2mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
N:72 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
RR:20 Nn.Craniales :  IV Citicolin 1000 mg/
T:36,6 parese(-) 12 jam
Skala nyeri : Motorik:
2/ R-flacc Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :
5555/5555

19
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H22 Gangguan GCS : E4M5V2  IV Novalgin 1amp/8 j
23-11- kesadaran, Pupil Bulat anisokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 batuk 4mm/2mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
TD:120/80 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
N:72 Nn.Craniales :  IV Citicolin 1000 mg/
RR:20 parese(-) 12 jam
T:36,6 Motorik:
Skala nyeri : Ekst atas:5555/5555
2/R-Flacc Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H23 GCS :  IV Novalgin 1amp/8 j
24-11- TD:120/80 Pupil Bulat  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 N:72 isokor3mm/3mm,  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 RCL (+/+), RTCL (  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 +/+)  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : Nn.Craniales : 12 jam
parese(-)
Motorik:
Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn
H24 GCS :  IV Novalgin 1amp/8 j
25-11- TD:120/80 Pupil Bulat isokor  IV fenitoin 100 mg/8 j
19 N:72 3mm/3mm, RCL  IV Omeprazol 40mg/12 j
RR:20 (+/+), RTCL ( +/+)  IV Piracetam 1 gr/12 j
T:36,6 Nn.Craniales :  IV Citicolin 1000 mg/
Skala nyeri : parese(-) 12 jam
Motorik:
Ekst atas:5555/5555 P/ persiapan PBJ
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai

20
Otonom : dbn

H25 GCS : Paracetamol 3x500 mg


26-11- TD:120/80 Pupil Bulat isokor Piracetam 3x800 mg
19 N:72 3mm/3mm, RCL Citicoline 3x500 mg
RR:20 (+/+), RTCL ( +/+) Omeprazole 1x20 mg
T:36,6 Nn.Craniales : Fenitoin 3x100 mg
Skala nyeri : parese(-)
Motorik:
Ekst atas:5555/5555
Ekst bawah :
5555/5555
R. Fisiologis: +2/+2
R. Patologis: -/-
Sensoris : belum dapat
dinilai
Otonom : dbn

21
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Anatomi dan Fisiologi Otak


3.1.1 Anatomi
Otak terletak dalam rongga kranium, terdiri atas semua bagian Sistem Saraf Pusat
(SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari serebrum (otak besar), serebellum
(otak kecil), brainstem (batang otak) dan limbic system (sistem limbik). Serebrum merupakan
bagian terbesar dan teratas dari otak yang terdiri dari dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan
hemisfer kanan. Otak besar terdiri atas corteks (permukaan otak), ganglia basalis, dan sistem
limbik. Kedua hemisfer kiri dan kanan dihubungkan oleh serabut padat yang disebut dengan
corpus calosum. Setiap hemisfer dibagi atas 4 lobus, yaitu lobus frontalis (daerah dahi), lobus
oksipitialis (terletak paling belakang), lobus parietalis dan lobus temporalis. 5
Serebellum berada pada bagian bawah dan belakang tengkorak dan melekat pada otak
tengah. Hipotalamus mempunyai beberapa pusat (nuklei) dan Thalamus suatu struktur
kompleks tempat integrasi sinyal sensori dan memancarkannya ke struktur otak diatasnya,
terutama ke korteks serebri.5
Brainsteam (batang otak) terletak diujung atas korda spinalis, berhubungan banyak
dengan korda spinalis. Batang otak terdiri atas diensefalon ( bagian batang otak paling atas
terdapat diantara serebellum dengan mesencefalon, emosi dan hasrat-hasrat dan merupakan
bagian otak yang paling sensitif terhadap serangan. 5

ggg
Gambar 3.1 Anatomi Otak5

22
Otak dilindungi oleh selaput meningens yang merupakan jaringan ikat fibrosa,
berfungsi sebagai pelindung terutama saat terjadi cedera kepala, meningens akan mengurangi
tekanan yang diberikan terhadap parenkim serebri. Meningens terdiri dari tiga lapisan, yaitu :
1. Duramater
Duramater terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.
Duramater adalah jaringan ikat fibrosa yang melekat pada permukaan dalam
cranium. Terdapat rongga diatas duramater yang bisa terisi darah saat terjadi
cedera dan merobek arteri meningea media.
2. Arachnoid
Lapisan arachnoid merupakan lapisan transparan dan terdapat rongga dibawahnya
(spatium subarachnoid) yang berisi cairan serebrospinal.
3. Piamater
Lapisan piamater merupakan lapisan yang melekat langsung pada permukaan
otak, mengisi sulcus serebri.

3.1.2 Fisiologi Otak


Otak memiliki kurang lebih 15 miliar neuron yang membangun substansia alba dan
substansia grisea. Otak merupakan organ yang sangat kompleks dan sensitif. Fungsinya m
sebagai pengendali dan pengatur seluruh aktivitas, seperti : gerakan motorik, sensasi,
berpikir, dan emosi. Sel-sel otak bekerja bersama- sama dan berkomunikasi melalui signal-
signal listrik. 6
Bagian fungsional korteks serebri adalah sebuah selaput tipis yang mengandung
neuron-neuron yang menutupi permukaan seluruh bagian serebrum yang berbelit. Selaput ini
memiliki tebal hanya 2-5 mm dimana jumlah total daerah ini kira-kira seperempat meter
persegi. Pada korteks serebri terdapat suatu area yang dinamakan area asosiasi dimana area-
area tersebut menerima dan menganalisis sinyal secara bersamaan dari berbagai Lobus
parietal Lobus oksipital Serebelum Medula spinalis Lobus temporal Lobus frontal 9 macam
region, baik dari korteks motorik, sensorik, dan struktur subkortikal. Area asosiasi yang
paling penting yaitu:6
A. Area asosiasi parieto-oksipitotemporal
1. Analisis terhadap keserasian spasial tubuh, area yang terus-menerus melakukan
analisis keserasian seluruh tubuh secara spasial ini dimulai di bagian porsterior korteks
parietalis dan meluas ke korteks oksipitalis superior.

23
2. Area pemahaman bahasa, disebut dengan area Wernicke yang terletak di belakang
korteks auditorik primer pada bagian posterior girus temporalis di lobus temporalis.
3. Area untuk melakukan proses membaca, yaitu girus angularis yang mengartikan
kata-kata yang diterima secara visual yang akan diteruskan ke dalam area Wernicke.
4. Area penamaan objek, terletak di daerah paling lateral lobus oksipitaslis anterior
dan lobus temporalis posterior.
B. Area asosiasi prefrontal, yang fungsinya yaitu untuk merencanakan pola yang kompleks
dan berurutan dari gerakan motorik. Selain itu, area asosiasi prefontal ini berfungsi penting
untuk melakukan proses berpikir dalam benak pikiran. Area ini penting dalam fungsi
perluasan pikiran dan dikatakan dapat menyimpan memori kerja.
C. Area asosiasi limbik, yaitu terletak di belahan anterior lobus temporalis, bagian ventral
lobus frontalis, dan di girus singulata di dalam fisura longitudinalis di 10 permukaan tengah
setiap hemisferium serebri. Korteks limbik adalah bagian dari sistem limbik yang
menghasilkan banyak sekali pengaturan emosi untuk mengaktifkan area otak lain ke dalam
suatu aksi.6

3.2 Cedera Kepala


Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan
gangguan neurologis. Traumatic brain injury merupakan gangguan fungsi otak ataupun
patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan (force) eksternal yang dapat terjadi di
mana saja termasuk lalu lintas, rumah, tempat kerja, selama berolahraga, ataupun di medan
perang.7

3.2.1 Epidemiologi Cedera Kepala


Cedera kepala traumatika masih merupakan penyebab kematian dan kecacatan
tertinggi pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi masalah utama dalam
bidang kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi. Cedera kepala, pada tahun 2020 akan
menjadi penyebab kematian dan kecacatan terbanyak di dunia melebihi penyakit-penyakit
yang lain. Meskipun insidensi cedera kepala di negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara,
Jepang dan Australia terus mengalami penurunan, namun insidensinya mengalami kenaikan
di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan ini erat hubungannya dengan
meningkatnya industrialisasi dan pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor.1-3 Di USA
24
kejadian cedera kepala setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus, dan 10%
diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Delapan puluh persen dari penderita
yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan, 10% termasuk
cedera kepala sedang dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat. Lebih dari 100.000 orang,
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA. 8
Beban akibat cedera kepala ini terutama tampak jelas pada negara-negara
berpendapatan rendah dan menengah. Sebab, di Negara-negara ini terdapat banyak faktor
risiko yang dapat mendorong terjadinya cedera kepala. Hal ini semakin diperparah oleh
ketidaksiapannya sistem kesehatan di negara-negara tersebut. 8
Secara kesuluruhan angka kematian pada pasien-pasien cedera kepala ringan adalah
sekitar 0,1% dan paling sering disebabkan oleh perdarahan intrakranial yang tidak
terdiagnosa. Walaupun banyak pasien cedera kepala ringan yang dapat kembali bekerja,
namun sekitar 50% dari pasien ini memiliki disabilitas sedang sampai berat bila diukur
dengan Glasgow Outcome Scale (GOS) atau Disability Outcome Scale (DOS). Hal ini
menunjukkan bahwa cedera kepala ringan pun memiliki morbiditas yang signifikan. Pada
pasien-pasien yang mengalami cedera kepala yang lebih parah, prognosisnya jauh lebih
buruk, sekitar 30% dari pasien yang diterima di rumah sakit dengan Glasgow Coma Scale
(GCS).9

3.2.2 Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi: 10
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan menjadi
fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi
fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur
tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak.
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya terletak di area
temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Robeknya
vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab dari perdarahan
25
subdural. Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan
Epidural.
.
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana
pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak
rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila
otak menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,
walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi
dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang
membutuhkan tindakan operasi.
5. Commutio cerebri
Commutio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang berlangsung
kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak.
Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat.
6. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan fraktur
pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran yang
menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari.
Dapat mengakibatkan amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung
letak frakturnya:
1) Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran
biru (Brill Hematom atau Racoons Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis
interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri
dan darah vena (AV shunt.
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen
magnum dan merusak medula oblongata sehingga dapat mengakibatkan kematian pasien.

26
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.
GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan
kelainan neurologis yang terjadi.
Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara
(verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Cedera kepala
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu: 11
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan berdasarkan CT
scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan otak,
memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48
jam.
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS < 9.

Tabel 3.1 Glasgow Comma Scale11

3.2.3 Mekanisme Cedera Kepala


Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera yang terjadi akibat
benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang terjadi
akibat cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea /

27
hipotensi sistemik. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.12
Terdapat beberapa hipotesis yang memperkirakan bagaimana lesi di otak terbentuk
setelah terjadi cedera kepala, yaitu:12
1. Getaran otak
Trauma pada kepala menyebabkan seluruh terngkorak beserta isinya bergetar.
Kerusakan yang terjadi bergantung pada besarnya getaran. Makin besar getarannya
makin besar kerusakan yang ditimbulkan.
2. Deformasi tengkorak
Benturan pada tengkorak menyebabkan kompresi pada daerah yang terbentur. Tulang
yang terkompresi ini akan membentur jaringan dibawahnya dan menimbulkan
kerusakan pada otak. Pada sisi diseberangnya, tengkorak bergerak menjauh dari
jaringan otak dibawahnya, sehingga timbul ruangan vakum yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah.
3. Pergeseran otak
Benturan pada kepala menyebabkan otak bergeser mengikuti arah gaya benturan.
Gesekan lurus ini disebut juga gerakan translasional. Gerakan geseran lurus ini
disebut juga gerakan translasional. Geseran ini dapat menimbulkan lesi bila
permukaan dalam tengkorak kasar seperti yang terdapat di basis crania. Kelambanan
otak karena konsistensinya yang lunak menyebabkan gerakannya tertinggal terhadap
gerakan tengkorak. Di daerah seberang gerakan otak akan membentur tulang
tengkorak dengan segala akibatnya.
4. Rotasi otak
Pada saat benturan kepala terjadi, otak akan mengalami rotasi sentrifugal yang
mengakibatkan benturan otak pada tabula interna. Rotasi otak dapat terjadi pada
bidang sagital, horizontal, koronal dan kombinasinya. Gerakan berputar ini tampak
disemua daerah kecuali daerah frontal dan temporal. Di daerah dimana otak dapat
bergerak, kerusakan otak yang terjadi sedikit atau tidak ada, kerusakan terbesar terjadi
di daerah yang tidak dapat bergerak atau terbatas gerakannya yaitu di daerah frontal di
fossa serebri anterior dan daerah temporal di fossa serebri media. Karena sulit
bergerak, jaringan otak di daerah ini mengalami regangan yang mengakibatkan
kerusakan pada pembuluh darah dan neuron.
28
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan contrecoup. Lesi
coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan
lokasi benturan. Akselerasi-deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan.12,13
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain. Kekuatan rotasional
dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya
cedera coup dan contrecoup yang jelas. Hal ini menimbulkan regangan pada akson-akson
dengan akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan tersebut diatas
dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury.12,13
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala ditandai oleh
kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran darah serta
metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like” ini menyebabkan akumulasi asam laktat sebagai
akibat dari terjadinya glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah diikuti dengan pembentukan edem. Sebagai akibat berlangsungnya
metabolisme anaerob, selsel otak kekurangan cadangan energi yang turut menyebabkan
terjadinya kegagalan pompa ion di membran sel yang bersifat energy-dependent.12,13
Pada fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang diikuti dengan
pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamat dan aspartat) yang berlebihan. Selain itu, pada
fase kedua dapat juga ditandai oleh teraktifasinya Nmethyl-D-aspartate, α-amino-3-hydroxy-
5-methyl-4-isoxazolpropionate, serta kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-
dependent.13
Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-digesting di
intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim seperti lipid peroxidases,
protease, dan fosfolipase yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak
bebas dan radikal bebas di intraseluler. Sebagai tambahan, aktifasi dari enzim caspases (ICE-
like proteins), translocases, dan endonuklease mampu menginisiasi perubahan struktural dari
membran biologis. dan nucleosomal DNA secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan
mendukung terjadinya proses degradasi membran vaskular dan struktur seluler dan akhirnya
menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel terprogram (apoptosis).12,13

29
3.2.4 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai
berikut:14
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada mastoid (tanda
Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa adanya batas posterior,
yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal
dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung glukosa),
perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS) untuk menentukan derajat keparahan cedera kepala dan sebagai
assesement awal yang paling penting dalam survey sekunder.
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat tanda–tanda
ancaman herniasi tentorial.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis,


mencari sebab cedera kepala, beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu : 15
1. X-Ray
X-Ray dilakukan untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan
kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang
menunjukkan fraktur pada basis crania, fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal lainnya.
Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan
kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan arteri meningea media.
2. CT scan kepala non kontras
CT scan memperlihatkan perbedaan densitas antara struktur-struktur intrakranial.
Densitas serebrum pada CT adalah isodens. Struktur-struktur hiperdens termasuk tulang
tengkorak, kelenjar pineal dan darah segar; struktur-struktur hipodens termasuk cairan
serebrospinal, lemak dan air. Struktur-struktur yang berdampingan memiliki densitas yang
berbeda agar dapat dengan mudah diidentifikasi pada CT scan. Pergeseran struktur normal,
seperti kelenjar pineal atau sistem ventrikular, dapat menunjukkan adanya lesi.
CT Scan kepala non kontras harus segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat
kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda
neurologis fokal. CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan
komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom subdural.
30
Hematoma intraserebral terlihat hiperdens pada CT dan biasanya ditemukan pada
lobus temporal dan frontal setelah trauma. Struktur-struktur normal dapat tergeser. Terkadang
hemorrhagik intraserebral lobus temporal terlihat berangkaian dengan hematoma subdural
diatasnya─yang dinamakan lobus temporal burst, dan memiliki prognosis yang cukup buruk.
Tidak jarang, CT scan pada kasus cedera kepala mayor gagal menunjukkan adanya lesi.
Dengan cara lain, area dengan hipodensitas relatif dapat dilihat didalam struktur white matter,
mencerminkan adanya edema serebral postraumatik. 15

3.2.5 Tatalaksana Cedera Kepala Berat


Cedera intrakranial akut seringkali berkaitan dengan kerusakan neurologis yang berat.
Seringkali, pasien dibawa ke unit gawat darurat dalam keadaan koma─yakni, "tidak dapat
membuka mata, mengeluarkan kata-kata yang dapat dimengeri, atau mengikuti perintah."
Penatalaksanaan awal cedera kepala yang berat adalah ABC yang menjadi inti dari ilmu
kegawatdaruratan medis modern.16
Langkah pertama pada ABC adalah Airway/saluran nafas (A) dan membebaskan jalan
nafas dari benda-benda obstruktif (seperti, gigi palsu, vomitus). Karena pasien mungkin
mengalami cedera cervikal, radiografi lateral cervikal harus diperoleh terlebih dahulu
sebelum leher dapat dimanipulasi untuk intubasi trakeal. Namun, jika pernafasan tampak
terancam, intubasi nasotrakeal atau endotrakeal dengan leher pada posisi netral harus
dilakukan dengan sangat hati-hati sesegera mungkin. Kadang kala, trauma pada wajah
mencegah pemasangan intubasi, dan krikotiroidektomi atau trakeostomi dapat menjadi
pilihan jika diperlukan.16,17
Setelah saluran nafas dibebaskan, langkah berikutnya adalah Breathing/pernafasan
(B). Rata-rata dan ritme pernafasan, juga suara nafas, harus dievaluasi. Perubahan pola
pernafasan dapat mencerminkan disfungsi sistem saraf pusat pada level tertentu. Lesi
hemisferik bilateral yang dalam dan basal ganglia dapat menyebabkan respirasi Cheyne-
Stokes (pernafasan dengan periode hiperventilasi dan apnea yang silih berganti), dan
hiperventilasi neurogenik sentral dapat diakibatkan oleh lesi pada mesensefalik atau pontine
bagian atas. Pernafasan ataksik muncul pada fase terminal, dimana hanya medullary yang
masih dapat berfungsi. Analisa gas darah harus diperiksa pada semua pasien dengan cedera
kepala, karena hipoksemia sering terjadi. Oksigen harus diberikan untuk menjaga kadar PaO2
dalam batas normal; hiperventilasi direkomendasikan untuk menjaga PaCO2 diantara 25 dan
30 mmHg, karena hipokarbia merupakan serebral vasokontriktor yang kuat, mengurangai
volume darah otak dan, oleh sebab itu, tekanan intrakranial. Foto polos dada harus diperoleh
31
untuk memastikan tidak ada cedera pada rongga dada seperti pneumothorak, kontusi paru
atau aspirasi. Kemudian perhatian diarahkan pada status16,17
Circulatory/sirkulasi (C) pasien, yang dapat digambarkan oleh tekanan darah. Karena
shok jarang terjadi akibat cedera kepala murni, pemeriksaan dengan teliti harus dilakukan
untuk mencari penyebab lain (yaitu, ruptur lien atau fraktur tulang panjang). Kateter vena
sentral, pada subklavian atau vena jugular interna, seringkali memiliki peran yang tak ternilai
dalam mengevaluasi dan mengobati pasien-pasien dengan cedera multipel. Bersamaan
dengan nilai hematokrit, tekanan vena sentral dapat membedakan shok hipovolemik dengan
beberapa kasus shok neurogenik yang disebabkan oleh cereda korda spinal. Pada shok
neurogenik, disfungsi saraf servikal mengganggu aliran simpatis ke jarigan, menyebabkan
pooling vena dan hipotensi. Shok tipe ini biasanya ditandai dengan hipotensi, bradikardia,
tekanan vena sentral relatif normal, dan nilai hematokrit yang normal, sedangkan shok
hipovolemik menyebabkan takikardia, tekanan vena sentral yang sangat rendah, dan nilai
hematokrit yang menurun. Shok neurogenik biasanya dapat diatasi dengan menundukan
kepala pasien dan memberikan terapi cairan yang tidak terlalu banyak; kadang-kadang
atropin atau vasopresor juga dibutuhkan. Sedangkan, pasien dengan shok hipovolemik
membutuhkan cairan intravena yang sangat banyak, yang dapat menyebabkan kelebihan
cairan pada sirkulasi dan menimbulkan edema paru pada pasien dengan hipotensi neurogenik.
Pada saat dan setelah penilaian ABC, pemeriksaan fisik lengkap juga dilakukan. Evaluasi
neurologis harus difokuskan pada tingkat kesadaran pasien, reaksi pupil, gerakan
ekstraokular, dan reaksi motorik. Anggota medis dan paramedis dapat melakukan
pemeriksaan tersebut di tempat kejadian trauma, unit gawat darurat, dan ruang rawat intesif.
Dengan demikian, perubahan pada pasien dapat dikenali lebih awal dan penatalaksanaan
dapat diterapkan sesegera mungkin. 16,17
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di rumah sakit untuk
observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur kranium
dan tanda neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan observasi
neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera kepala
berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan.

32
Gambar 3.2 Tatalaksana awal pasien cedera kepala
Sumber : Netter atlas

Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori: 17


1. Operatif
Tindakan operatif dilakukan apabila terdapat indikasi menurut kasus cedera kepala.
a. Intrakranial, seperti tindakan kraniotomi evakuasi bedah saraf cyto pada hematom yang
mendesak ruang. Pertimbangan melakukan tindakan operatif pada kasus tersebut berdasarkan

33
tingkat kesadaran, klinis yang mengarahkan ke peningkatan tekanan intracranial, dan volume
perdarahan yang diperkirakan berdasarkan luas lesi di CT Scan.
b. Ekstrakranial, seperti tindakan inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang menekan
pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini membutuhkan terapi bedah segera dengan
debridement luka dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada
meningen dan parenkim serebri.

2. Medikamentosa
a. Agen terapi hiperosmotik intravena seperti Manitol dapat digunakan jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat sebelum evakuasi
hematom intrakranial pada pasien. Memberikan manitol pada pasien harus memperhatikan
fungsi ginjal dan perkembangan selama terapi. Terapi hiperosmotik akan meningkatkan
aliran cairan serebrospinal, menarik ekstravasasi cairan ke dalam kompartemen intravascular
sehingga produk akhirnya akan mengurangi edema.
b. Antibiotik profilaksis, seperti antibiotik spektrum luas untuk pencegahan infeksi akibat
adanya luka dan defek mukosa sebagai port d`entry kuman.
c. Antikonvulsan untuk mencegah kejang dan mengurangi brain oxygen demand .
d. Antispasmodik seperti agen calcium channel blocker nimodipin yang digunakan pada
beberapa kasus cedera kepala seperti SAH untuk mecegah neuronal spasm.
e. Neuroprotektor seperti citicoline.

3.2.6 Komplikasi Cedera Kepala Berat


1. Gejala sisa cedera kepala berat akan menyebabkan beberapa pasien dengan cedera kepala
berat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien
akan tetap dalam status vegetatif.
2. Kebocoran cairan serebrospinal terjadi apabila hubungan antara rongga subarachnoid dan
telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan tertutup
jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi
kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (pada
minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, fraktur depresi kranium
dan hematom intrakranial.
34
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca concusio berupa nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular
(konkusi labirintin).18

Gambar 3.3 Komplikasi cedera kepala


Sumber : Netter
3.2.7 Prognosis Cedera Kepala
Glasgow Outcome Scale sering digunakan untuk menilai hasil terapi pada kasus
cedera kepala berat. Kategori-kategeri hasil akhir termasuk kematian, status vegetatif

35
persistent, disabilitas berat (memerlukan bantuan untuk menjalani aktifitas hidup sehari-hari),
disabilitas sedang (tidak memerlukan bantuan dalam aktifitas hidup sehari-hari), dan sembuh
(dapat menjalani pekerjaan sebelumnya). Pada seri Becker, yang merepresentasikan operasi
dan terapi agresif, hasilnya adalah sebagai berikut: mortalitas, 32%; disabilitas berat/status
vegetatif, 11%; disabilitas sedang/sembuh, 57%. Semua pasien pada seri ini berada dalam
keadaan koma saat penerimaan.18
Bermacam-macam faktor pretrauma mempengaruhi prognosis cedera kepala berat.
Umur adalah faktor yang paling penting, karena mortalitas cedera kepala meningkat seiring
dengan bertambahnya umur. Tren ini disebabkan oleh insidens komplikasi medis yang tinggi
pada pasien tua dengan cedera kepala berat; terlebih lagi, lesi masa intrakranial lebih sering
terjadi pada pasien tua. Adanya cedera atau penyakit terdahulu (sebelum trauma) pada otak
juga memperburuk prognosis. Contohnya adalah sindrom "punch-drunk" pada petinju,
dimana cedera kepala minor yang berulang menghasilkan kumulatif prognosis yang buruk.
Berbagai macam aspek koma sangat berhubungan erat dengan hasil akhir. Nilai Glasgow
Coma Scale berhubungan dengan hasil akhir. Kematian atau status vegetatif adalah hasil
akhir pada 80% pasien dengan nilai 3 sampai 4, pada 54% pasien dengan nilai 5 sampai 7,
pada 27% pasien dengan nilai 8 sampai 10, dan pada 6% pasien dengan nilai 11 sampai 15.
Tanda-tanda disfungsi batang otak merupakan faktor prognosis yang buruk. Jika respons
pupil terhadap cahaya negatif pada kedua mata, mortalitasnya mencapai 65% pada pasien
dengan lesi masa dan 82% pada pasien dengna cedera otak difus. Jika respons
okulovestibular nihil, mortalitas mendekati 60%. Postur deserebrasi terkait dengan 50%
mortalitas.19
Gangguan otonomik, seperti pola pernafasan yang abnormal dan hipertensi, juga
memberikan prognosis yang buruk, dan jenis/asal cedera juga menjadi faktor penentu.
Contohnya, adanya lesi masa meningkatkan mortalitas secara signifikan; oleh karena itu, CT
scan sangatlah penting dalam prognosis. Hasil akhir yang paling baik berhubungan dengan
scan normal atau scan dengan lesi densitas rendah (edema). Prognosis semakin bertambah
buruk pada lesi densitas tinggi berikut: hematoma epidural, hematoma subdural akut,
hematoma intraserebral akut (atau kontusi hemorrhagik), urutan diatas dimulai dari prognosis
yang terburuk. Pada seri dimana pengawasan tekanan intrakranial diterapkan sejak awal,
tekanan intrakranial meningkat pada semua pasien cedera kepala paska operasi. Pada dua per
tiga pasien nonoperatif dengan cedera otak difus, tekanan intrakranial melebihi 10 mmHg.
Terjadinya tekanan intrakranial yang sulit dikontrol (>40 mmHg) selalu menurunkan tekanan
perfusi serebral dan membawa hasil akhir yang buruk. Rangkaian kejadian ini bertanggung
36
jawab atas separuh kematian pada cedera kepala berat. Pada pasien dengan cedera kepala
difus, hipertensi intrakranial yang tidak terlalu tinggi meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.19

Gambar 3.4 Prognosis cedera kepala


Sumber : Netter

3.3 Perubahan Perilaku Pasca Cedera Kepala Berat


Kepribadian dan perilaku didefinisikan sebagai pola respons emosional dan motivasi
yang berkembang selama kehidupan organisme; sangat dipengaruhi oleh pengalaman
kehidupan awal; dapat dimodifikasi, tetapi tidak mudah diubah, dengan metode perilaku atau
pengajaran; dan sangat mempengaruhi (dan dipengaruhi oleh) proses kognitif. Pada orang-

37
orang, pola-pola respons emosional dan motivasi ini sebagian dikenali sendiri, dan dengan
mudah dikenali orang-orang terdekat karena pola yang sudah dikenali.
Perubahan kepribadian dan perilaku dikaitkan dengan TBI ketika cedera menyebabkan
perubahan yang jelas dan ditandai dalam perilaku karakteristik pra-cedera pasien, perubahan
kepribadian ini bisa bersifat sementara atau permanen. Orang lain yang akrab dengan
karakteristik perilaku harian individu mungkin mengenali respons emosional dan motivasi
yang orang tersebut yang mungkin pasien tidak sepenuhnya menyadari atau tidak dapat
melaporkan secara subyektif perubahan kepribadian dan perilaku yang dialaminya. Paling
sering, perubahan permanen dikaitkan dengan kerusakan pada sistem korteks limbik dan
frontal otak dan paling sering melibatkan defisit afektif, karena sistem limbik, frontal
merupakan integrasi teritori otak yang memainkan peran sebagai pengatur perilaku,
kepribadian, kognitif, persepsi dan intelektual seseorang. 20,21
Sehingga adanya kerusakan baik akibat cedera maupun proses patologis lain di daerah
ini, akan mempengaruhi sedikit banyaknya fungsi yang diatur oleh bagian tersebut.
Perubahan kepribadian dan perilaku dikaitkan dengan TBI ketika cedera menyebabkan
perubahan yang jelas dan ditandai dalam perilaku karakteristik pra-cedera pasien perubahan
kepribadian ini bisa bersifat sementara atau permanen. Orang lain yang akrab dengan
karakteristik perilaku harian individu mungkin mengenali respons emosional dan motivasi
yang orang tersebut yang mungkin pasien tidak sepenuhnya menyadari atau tidak dapat
melaporkan secara subyektif perubahan kepribadian dan perilaku yang dialaminya. Paling
sering, perubahan permanen dikaitkan dengan kerusakan pada sistem korteks limbik dan
frontal otak dan paling sering melibatkan defisit afektif, karena sistem limbik, frontal
merupakan integrasi teritori otak yang memainkan peran sebagai pengatur perilaku,
kepribadian, kognitif, persepsi dan intelektual seseorang.20,21
Sebuah studi tentang perubahan perilaku impulsif agresif setelah TBI dilakukan pada
tahun 2001 para peneliti melakukan penelitian dengan 45 subjek (26 di kelompok berperilaku
agresif impulsif dan 19 di kontrol non-agresif) di fasilitas rehabilitasi cedera otak. Para
peneliti menemukan bahwa sebagian besar individu dalam kelompok berperilaku agresif
impulsif memiliki sifat kepribadian premorbid yang agresif. Mereka berpendapat bahwa TBI
tidak menyebabkan perilaku agresi impuls tetapi lebih memperparah karakteristik premorbid
pada pasien yang sebelumnya memang cenderung agresif dan impulsif, namun dengan
mengalami TBI, kecenderungan tersebut semakin mungkin terjadi dan menunjukkan
perubahan perilaku yang signifikan setelah trauma, hasil ini dikaitkan dengan kerusakan
lobus frontal sebagai topis TBI nya. 20,21
38
3.4 Ilustrasi Kasus
Pasien laki-laki Tn. WS usia 33 tahun datang dibawa keluarga nya dengan keluhan
bicara meracau dan nyeri kepala yang dirasakan sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya pasien mengendarai sepeda motor tunggal tanpa menggunakan helm, kemudian
terjatuh akibat menghindari kucing yang melintas. Menurut studi epidemiologi, laki-laki lebih
sering mengalami cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dibandingkan perempuan,
terutama laki-laki usia produktif 30-40 tahun hal ini karena laki-laki usia produktif tersebut
lebih banyak jumlahnya sebagai pengemudi dan pengendara kendaraan bermotor
dibandingkan perempuan. Prevalensi cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas yang lebih
banyak pada laki-laki usia produktif ini yang menjadi masalah utama kesehatan di tahun 2020
nanti, dan tinggi nya biaya kesehatan yang dihabiskan. 22
Pasien kemudian terjatuh, kepala terbentur aspal dan pasien tidak sadarkan diri selama
15 menit. Setelah sadar, pasien bicara meracau tidak koheren saat ditanya oleh keluarga,
gelisah, mengamuk, berteriak dan mengeluh nyeri kepala hebat. Pasien tidak dapat mengingat
kejadian terjatuh dan beberapa kejadian setelah terjatuh. Muntah menyemprot sebanyak 3
kali, kejang tidak ada. Perdarahan dari hidung, mulut dan telinga tidak ada. Kelemahan
anggota gerak tidak ada.
Pasien dewasa dan remaja yang mengalami cedera kepala berat dengan GCS dibawah
9, sering mengalami sekuele dan komplikasi pasca cedera akibatn kerusakan permanen pada
otak, yang mrngakibatkan gangguan kognitif jangka panjang, emosional dan masalah
perilaku. Cedera kepala berat berkaitan dengan meningkatnya risiko munculnya gejala
gangguan psikiatrik pasca cedera seperti depresi, kecemasan, perilaku kasar dan perubahan
perilaku menjadi agresif. Sebuah studi menyatakan bahwa diantara dua kelompok yang terdiri
dari kelompok orang pasca cedera kepala berat dan control, sebanyak 67 kelompok pasca
cedera kepala, lebih banyak mengalami gangguan atensi, emosi, dan gangguan perilaku
dibandingkan kelompok control sebanyak 72 orang. Usia lebih muda dan dan pendidikan
yang lebih rendah semakin meningkatkan kerentanan mengalami gangguan perilaku pasca
cedera. (life after adolescent)23
Setelah terjatuh, pasien tidak sadarkan diri selama beberapa menit, kemudian sadar
namun pasien tidak bisa mengingat kejadian nya. Penurunan kesadaran mendadak pasca
cedera terjadi akibat disfungsi reticular activating system (RAS) oleh karena trauma. Trauma
atau cedera kepala menyebabkan percepatan dan perlambatan mendadak pada struktur
didalam cranium.
39
Setelah dibawa ke rumah sakit, pada pasien ini kemudian dilakukan pemeriksaan fisik
neurologi dan penunjang berupa CT Scan kepala tanpa kontras. Dari hasil CT Scan
ditemukan adanya perdarahan intraserebral pada lobus frontal. Lobus frontal bersama sistem
limbic merupakan pusat yang mengatur fungsi luhur, persepsi, perilaku dan fungsi kognitif.
Adanya perdarahan di lobus ini menyebabkan gangguan fungsi yang dijalankan. Hal ini
menjelaskan munculnya gangguan perubahan perilaku yang dialami setelah pasien sadar.
Pasien mengalami aggressive behavior, bicara yang inkoheren dan meracau. Perilaku agresif
adalah salah satu konsekuensi perubahan perilaku paling sering akibat cedera kepala.
Prevalensi perubahan perilaku menjadi agresif ini berkisar 11-34%. Manifestasi perilaku
agresif bisa berupaperilaku agresif verbal dan fisik. Studi-studi sebelumnya menyebutkan
bahwa perilaku agresif pasca cedera kepala berkaitan dengan depresi, lesi pada lobus frontal,
fungsi psikososial yang buruk sebelum cedera kepala dan riwayat menggunakan alcohol.
Adanya lesi perdarahan pada lobus frontal pasien ini, menjadi sebab adanya perilaku agresif
setelah cedera kepala berat. (Agression after TBI)24
Efek neurologis dan psikologis pasca cedera kepala bisa terjadi bersamaan. Efek
psikologis termasuk didalamnya perilaku agitasi, iritabel, marah dan episode diskontrol.
Sebanyak 36% pasien pasca cedera kepala berat mengalami salah satu dari empat spectrum
perubahan perilaku diatas. Munculnya perilaku tersebut bisa terjadi sesaat setelah kesadaran
pulih sampai 5 tahun setelah cedera kepala terjadi. Agitasi ditandai dengan pergerakan yang
tidak bisa dihindari dan dihentikan. Pasien yang agitasi bisa saja kemudian marah dan
menjadi agresif jika ada yang menghalangi pergerakannya. Agitasi berkaitan dengan
gangguan fungsi kognitif, seperti orientasi, memori dan disinhibisi. Hal ini sangat umum
terjadi pada fase akut setelah cedera kepala traumatic, seperti yang dialami pasien pada kasus.
Gangguan fungsi kognitif ini selain pada fase akut, juga bisa menetap kemudian. Iritabilitas
adalah tendensi merasa kecewa, bisa karena adiakibatkan cedera kepala traumatik dan afek
pasien itu sendiri. Lesi pada sistem limbic (frontal, prefrontal, korteks anterior temporal,
amigdala, hipotalamus) bertanggung jawab sebagai sebab utama munculnys perilaku agresif,
iritabel pasca cedera kepala. (the emotional and behavioural consequences) 25
Kasus yang dialami pasien adalah Contussional Intracerebral Hemorrhage.
Perdarahan setelah cedera kontusional lebih sering terjadi secara perlahan. Volume
perdarahan akan bertambah apabila mekanisme clotting tidak bersamaan dengan bleeding.
Sehingga disfungsi korteks akibat perdarahan lebih sering timbul beberapa hari setelah onset
cedera. Pada pasien kemudian dilakukan pemeriksaan CT scan ulangan, dengan volume

40
darah dan clot intraserebral yang semakin meluas, kemudian dilakukan tindakan operatif
emergensi untuk evakuasi darah dan clot.26
Pasien diterapi sesuai dengan guideline manajeman trauma dengan tujuan utama
untuk mengembalikan respirasi sirkulasi adekuat. Pada pasien juga diberikan terapi
farmakologis berupa injeksi citicoline 1000 mg. Citicoline merupakan agen kolinergik yang
memiliki efek terhadap siklus oksigenase sel dan proses pembentukan ATP. Adenosine Tri-
Phosphate (ATP) dibutuhkan untuk fungsi optimal pompa Sodium-Potassium(Na-K) ATPase
untuk mempertahankan integritas membrane sel dan mencegah akumulasi cairan di
kompartemen ekstraseluler sehingga terjadi edema dan membentuk lipid peroksidase. Saat
terjadi cedera kepala berat, metabolisme aerob efektif menjadi terganggu, sehingga suasana
sel menjadi asam, glikolisis dan ATP tidak tersedia, sehingga sel akan menjadi edema dan
lisis. Adanya citicolin akan meningkatkan oksigenase seluler, menyediakan ATP lebih
banyak untuk metabolism sek dan mencegah cedera sekunder neuronal. (Citicolin for
traumatic brain injury pubmed)27
Pasien juga diberikan injeksi omeprazole dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
stress ulcer. Salah satu komplikasi mayor setelah cedera kepala baik ringan maupun berat
adalah gastrointestinal ulcer. Prevalensi stress ulcer berkisar dari 40-80% setelah cedera
kepala berat. Penyebab ulkus setelah trauma ini kompleks dan dipengaruhi beberapa factor.
Salah satu teori yang menjelaskan sebabnya yaitu respon hipermetabolik setelah trauma,
peningkatan aktivitas sitokin inflamasi, disfungsi hepar, dan iskemia saluran cerna yang
menjadi dasar pathogenesis stress ulcer. Tingginya konsentrasi ekspresi endotelin-1 pada
jaringan bersama dengan meningkatnya sintase nitrit oksida yang menginduksi perlukaan
mukosa gaster, sehingga menyebabkan luka dan memperparah rasa nyeri yang dialami
pasien. Cedera kepala dalam fase akut juga berefek pada sekresi hormone dari sistem
hipotalamus-pituitari adrenokortikal, sehingga meningkatkan kadar kortisol dalam plasma
secara signifikan. Meningkatnya kadar kortisol plasma menyebabkan sel parietal dig aster
mensekresi lebih banyak asam, dan rasa perih di gaster. Omeprazole merupakan agen proton
pump inhibitor yang menghambat pompa ion proses akhir sekresi asam lambung.
(Relationship between Plasma Cortisol Levels and Stress Ulcer following Acute and Severe
Head Injury)28

41
BAB IV
PENUTUP

Cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas semakin bertambah insidennya.


Disabilitas akibat cedera kepala berat traumatic lebih tinggi daripada angka mortalitasnya.
Selain menyebabkan disabilitas fisik, cedera kepala berat traumatika bisa menyebabkan
disabilitas fungsi kognitif, memori, atensi, dan perubahan perilaku.
Perubahan perilaku bisa terjadi setelah onset cedera, atau terjadi kemudian sampai 5
tahun setelah cedera kepala dan bisa menetap. Terdapat banyak factor yang bisa
mempengaruhi perubahan perilaku pasien pasca cedera, salah satunya lokasi cedera, dimana
sistem limbic dan area prefrontal merupakan area yang paling sering mengalami kerusakan
dan menyebabkan perubahan perilaku, seperti agitasi, cemas, agresif dan depresif.
Area otak yang mengalami cedera, harus segera direstorasi dan diterapi untuk
mencegah nekrotik dengan tujuan mempertahankan fungsi bagian otak tersebut, sehingga
penanganan pasien cedera kepala harus cepat dan sebisa mungkin memperhatikan kecukupan
oksigen dan metabolism optimal bagi otak.
Perubahan perilaku menjadi negatif, akan menimbulkan hendaya bagi pasien,
menghambat proses rehabilitasi pasca cedera dan fungsi social pasien sehari-hari.
Rehabilitasi pasca cedera tidak hanya berfokus pada rehabilitasi fisik saja, namun juga
diperlukan rehabilitasi kognitif dan perilaku.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Mcallister, Thomas W. 2008 Neurobehavioral sequelae of traumatic brain injury:


evaluation and management.
2. Tyerman, Andi. 2012. Psychological Effect after Traumatic Brain Injury.
3. Riggio, Silvana. 2011. Traumatic Brain Injury and Its Neurobehavioural Sequele.
New York
4. Rieger, Sarah M. 2015. Personality and Behavior Changes Subsequent to Traumatic
Brain Injury: A Review of the Literature. International Journal of Emergency Mental
Health and Human Resilience, Vol. 17, No.2, pp. 469-474, ISSN 1522-4821
5. Min Li, et al. 2010. Relationship between Plasma Cortisol Levels and Stress Ulcer
following Acute and Severe Head Injury. Karger. Australia
6. Kurland, David, et al. 2012. Hemorrhagic Progression of a Contusion after Traumatic
Brain Injury: A Review
7. Milman, A, et al. 2005. Mild Traumatic Brain Injury Induces Persistent Cognitive
Deficits and Behavioral Disturbances in Mice
8. Linda, Lil; Jianghong Liu. 2012. The effect of pediatric traumatic brain injury on
behavioral outcomes:a systematic review. USA
9. Jorge, Ricardo E, et al. 2005. Pathophysiologic Aspects of Major Depression
Following Traumatic Brain Injury
10. Arifin, Muhammad Zafrullah. 2010. Head Injury Management
11. Carney, Nancy, et al. 2016. Guidelines for the Management of Severe Traumatic
Brain Injury 4th Edition
12. Gouick, Jo ; Douglas Gentleman. 2006. The emotional and behavioural consequences
of traumatic brain injury. UK

13. Frost, R Brock, et al. 2012. Prevalence of Traumatic Brain Injury in the General Adult
Population: A Meta Analysis. USA
14. Centers for Disease Control and PreventionTraumatic Brain Injury In the United
States: Epidemiology and Rehabilitation.
15. Prince, Brett. 2008. Emotional and Behavioral Changes Following Brain
Injury
16, David B. Arciniegas; Hal S. Wortzel, 2014. Emotional and Behavioral
Dyscontrol After Traumatic Brain Injury

43
17. Rao, Vani, et al. 2009. Aggression After Traumatic Brain Injury: Prevalence and
Correlates. (The Journal of Neuropsychiatry and Clinical Neurosciences 2009;
21:420–429)
18. Finnanger, Torun, et al. 2015. Life after Adolescent and Adult Moderate and Severe
Traumatic Brain Injury: Self-Reported Executive, Emotional, and Behavioural
Function 2–5 Years after Injury. Hindawi Publishing Corporation Behavioural
Neurology Volume 2015, Article ID 329241, 19 pages
http://dx.doi.org/10.1155/2015/329241
19. Stefan, Angelique, et al. 2018. What are the disruptive symptoms of behavioral
disorders after traumatic brain injury? A systematic review leading to
recommendations for good practices. France

44

Anda mungkin juga menyukai