Anda di halaman 1dari 74

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN Oktober 2020


UNIVERSITAS PATTIMURA

Trauma Kepala dan Kejang Kompleks pada Anak

Oleh :
Mathilda I. Uniplaita
2018-84-060

Pembimbing :
dr. Vivianty Hartiono, Sp.A-MARS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kepala yang menyebabkan cedera otak adalah salah satu bentuk
cedera otak non degenerative yang disebabkan oleh benturan, pukulan, ataupun
hentakan mendadak pada kepala atau suatu luka tembus di kepala yang
mengganggu fungsi otak normal (Centers for Disease Control and Prevention,
2015). Cedera otak karena trauma pada anak- anak adalah salah satu dari
penyebab kematian terbanyak. Menurut Bruce et al (1996), 300.000- 400.000
anak di amerika serikat dibawa ke rumah sakit karena cedera kepala setiap
tahunnya, dengan angka kematian mencapai 6000 - 7000 anak di usia < 14 tahun.
Data dari riskesdas tahun 2013 menunjukkan angka kejadian cedera kepala pada anak
sekitar 0,5 % populasi dari angka cidera yang lain.1
Menurut Mihic et al (2011), penyebab trauma kepala pada anak- anak yang
terbanyak adalah karena jatuh dan kecelakaan lalu lintas. Pada usia kurang dari 1
tahun, tersering adalah jatuh dari gendongan, tempat tidur dan tempat bermain,
trauma kepala ini relatif ringan dan jarang memerlukan tindakan spesifik.
Perbedaan yang nyata dengan trauma kepala pada dewasa adalah pada anak masih
terjadi proses perkembangan otak sehingga trauma kepala yang berlanjut menjadi
cedera otak merupakan proses kronis progresif yang berisiko menyebabkan
gangguan tumbuh kembang dari berbagai aspek berdasarkan hal tersebut perlu
pemantauan jangka panjang.1
Kejang adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik di neuron. Kejang dapat disertai oleh gangguan kesadaran, tingkah laku,
emosi, motorik, sensorik dan atau otonom. Kejang dapat dibagi atas kejang fokal
dan kejang umum. Kejang fokal berasal dari fokus lokal di otak, dapat melibatkan
sistem motorik, sensorik maupun psikomotor. Kejang umum melibatkan kedua
hemisfer, dapat berupa kejang non-konvulsif (absans) dan konvulsif.2
Kejang adalah kedaruratan neurologis yang sering dijumpai pada praktik
sehari-hari. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun minimal pernah

2
mengalami satu kali kejang. Sebanyak 21% kejang pada anak terjadi pada satu
tahun pertama kehidupan, sedangkan 64% dalam lima tahun pertama.2
Kejang dapat sederhana, berhenti sendiri, memerlukan pengobatan lanjutan,
merupakan gejala awal suatu penyakit berat atau menjadi status epileptikus.
Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan bahwa anak memang
kejang. Tata laksana kejang meliputi stabilisasi pasien, identifikasi etiologi, terapi
sesuai dengan etiologi, dan pemantauan secara berkesinambungan.2

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas

Nama : An. CW
Umur : 11 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
BB/TB : 35kg/125Cm
Alamat : Batu Meja

2.2 Anamnesis
Keluhan utama : Benturan pada kepala
Riwayat penyakit sekarang : Pasien adalah pasien rujukan dari RS Bhakti
Rahayu, masuk RS Dr. M. Haulussy dengan keluhan jatuh kepala terbentur lemari
sejak kemarin SMRS. Pasien terbentur saat sedang berjalan. Pingsan (-), mual (-),
muntah (-), batuk (-), pilek (-). Menurut keluarga pasien ada kejang 1x yang
pertama kali, berlangsung sekitar 20 menit di tangan bergerak, setelah tertumbuk
di lemari kemudian pasien sadar. Saat sampai di RS Haulussy, pasien sudah tidak
mengalami kejang. Makan minum baik. BAK dan BAB normal.
Riwayat Penyakit Dahulu : Menurut keluarga ada demam 3 hari naik turun, saat
ke RS demam turun.
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal
yang sama.
Riwayat Pengobatan : Pasien hanya diberikan cairan infus kemudian di rujuk ke
RS Haulussy. Pemakaian parasetamol saat pasien demam.

4
2.3 Pemeriksaan Fisik (1 Juli 2020)
Status generalis
- Kesadaran : Kesan somnolen (GCS E3V5M5)
- Keadaan umum : Tampak lemah
- BB : 35 kg
- TB : 125 cm
Vital sign
Nadi : 82x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,50 C
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Oksigen : 99%, room air
Pemeriksaan fisik
- Kepala : Normosefal
Luka di kepala daerah frontal kesan sudah
terhecting 3 cm x 1 cm
- Rambut : Hitam, tidak mudah di cabut
- Mata : Simetris, pupil isokor +|+, cahaya langsung
+|+, cahaya tidak langsung +|+,
palpebra edema -|-
Konjungtiva anemia -/|-, sklera ikterik -|-
Hematoma periorbita sinistra
- Telinga : Sekret (-)
- Hidung : Deviasi septum nasi (-)
- Mulut : Sianosis (-),
- Gusi : Bengkak (-),
- Lidah : Makroglosia (-), basah (+), pucat (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-)
- Thorax : Pengembangan dada simetris

5
- Kulit : Ikterus -/-, ruam (-)
a. Jantung :
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis teraba
o Perkusi : Redup
o Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-),
gallop (-)
b. Paru :
o Inspeksi : Dada simetris, bentuk dada normal
o Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (-)
o Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler, bunyi tambahan :
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Abdomen :
o Inspeksi : Tampak abdomen datar
o Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
o Perkusi : Timpani, asites (-)
o Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar Lien tidak teraba membesar
- Ekstremitas : Edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik
Motorik 5/5/5/5

Pemeriksaan Neurologi :
- Refleks Fisiologis : KPR (+), APR (+)
- Reflex Patologis : (-)
- Nervus Kranialis : Dalam batas normal
- Tanda Rangsangan Meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig sign (-), Brudsinki
I-IV (-)

6
2.4 Pemeriksaan penunjang (selama pasien dirawat)
(1 Juli 2020)
Darah Rutin Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,7g/dl 14,0-18,0 gr/dl
Hematokrit 35 % 37-43%(L)
3 3
Jumlah Leukosit 6.97 10 /mm 5,0-10,0 x103/mm3
(1
Jumlah Trombosit 125 103/mm3 150-400x103/mm3
Juli 2020)
Neutrofil 72.5% 50 – 70%
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Anti-SARS-CoV-2
Non reaktif Non reaktif
IgG/IgM
Spesimen :
WB/Serum/Plasma

2.5 Resume
Pasien adalah pasien rujukan dari RS Bhakti Rahayu, masuk RS Dr. M. Haulussy
dengan keluhan jatuh kepala terbentur lemari sejak kemarin SMRS. Pasien
terbentur saat sedang berjalan. Pingsan (-), mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek(-).
Menurut keluarga pasien ada kejang 1x yang pertama kali, berlangsung sekitar 20
menit di tangan bergerak, setelah tertumbuk di lemari kemudian pasien sadar. Saat
sampai di RS Haulussy, pasien sudah tidak mengalami kejang. Menurut keluarga,
pasien juga mengalami demam 3 hari naik turun, saat ke RS demam turun. Makan
minum baik. BAK dan BAB normal.
Pada Pemeriksaan fisik status generalis BB : 35 kg dan TB : 125 cm, kesan
somnolen dengan GCS E3V5M5. Pada kepala, terdapat luka di daerah frontal
kesan sudah terhecting 3 cm x 1 cm. Pada mata sinistra, pasien mengalami
hematoma periorbita. Hasil Lab : Trombosit 125x103/mm3, neutrofil 72,5%. Hasil
lab SARS COV 2 Non reaktif.

7
2.6 Diagnosis
 Trauma kapitis
 Kejang
2.7 Tatalaksana
 IVFD NaCl 0.9%
 Parasetamol 10 mg/kgBB (Bila pasien demam)
 Diazepam 10 mg, rectal (Bila pasien kejang)
 Oksigenasi nasal canul O2 2 liter/menit
2.8 Anjuran
- Rawat pada ruang anak
- Pemeriksaan Foto CT-Scan
- Pemeriksaan CSS
2.9 Prognosis
- Quo Ad functionam: Dubia ad bonam
- Quo Ad vitam: Dubia ad bonam
- Quo Ad sanationam: Dubia ad bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Trauma kapitis


3.1.1 Definisi
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab tersering anak dibawa
ke dokter atau unit gawat darurat. Hanya sebagian kecil dari anak yang
mengalami trauma kepala mengalami cedera pada otak, apabila terjadi
cedera pada otak dapat menyebabkan kematian atau gangguan fungsi
kognitif dan motorik yang menetap. Penyebab tersering trauma kepala
adalah jatuh dan kecelakaan lalu lintas.3,4,5
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang
mengakibatkan gangguan fungsi otak. Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.6

3.1.2 Epidemiologi
Setiap tahun, TBI (Traumatic Brain Injury) pediatrik menghasilkan
lebih dari 500.000 kunjungan gawat darurat dan sekitar 60.000 rawat inap di
Amerika Serikat. TBI fatal pada anak-anak terutama disebabkan oleh trauma
non-kecelakaan dan cedera terkait kendaraan bermotor (termasuk pejalan
kaki yang tertabrak kendaraan). Jatuh dan TBI terkait olahraga / rekreasi
jarang menyebabkan cedera fatal tetapi dapat menyebabkan gejala pasca
gegar otak hingga 30% pasien. Jatuh lebih sering terjadi pada anak-anak
dalam kelompok usia 0 sampai 4 tahun, sedangkan cedera yang
berhubungan dengan olahraga dan rekreasi lebih sering terjadi pada

9
kelompok usia 5 sampai 14 tahun. Di semua kelompok umur, laki-laki lebih
cenderung mengalami TBI.6
Cedera kepala pada anak-anak sering terjadi, terhitung sekitar 500.000
kunjungan gawat darurat (UGD) per tahun di Amerika Serikat. Meskipun
sebagian besar cedera ini ringan, trauma kepala menyebabkan morbiditas
dan mortalitas anak yang signifikan. Trauma adalah penyebab utama
kematian pada anak-anak yang berusia lebih dari 1 tahun, dan cedera otak
traumatis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan yang
disebabkan oleh trauma pada anak-anak, yang mengakibatkan lebih dari
2.000 kematian setiap tahunnya.8

3.1.3 Etiologi Trauma kapitis


Data Centers for Disease Control and Prevention pada tahun 2011
didapatkan penyebab trauma kapitis antara lain:9,10
1. Jatuh (35,2%)
2. Penyebab tidak diketahui atau penyebab lain (21%)
3. Kecelakaan lalu lintas (17,3%)
4. Kecelakaan kerja, rumah tangga, atau olahraga (16,5%)
5. Kekerasan benda tumpul atau tajam (10%)
Kebanyakan cedera kepala terjadi sekunder terhadap kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh, penyerangan, kegiatan rekreasi, dan pelecehan
anak. Persentase masing-masing faktor berbeda antara studi dan distribusi
bervariasi sesuai dengan usia, kelompok, dan jenis kelamin. Beberapa faktor
(misalnya, gangguan kejang, gangguan perhatian defisit, dan penggunaan
alkohol atau narkoba) dikenal untuk meningkatkan kerentanan anak dan
remaja untuk jenis trauma. Bayi dan anak-anak lebih rentan terhadap
penyalahgunaan karena ketergantungan mereka pada orang dewasa dan
ketidakmampuan untuk membela diri.9,10
Kecelakaan kendaraan bermotor mencapai 27-37% dari semua cedera
kepala pediatrik. Dalam kebanyakan kasus yang melibatkan anak-anak

10
muda dari 15 tahun, korban adalah pejalan kaki atau pengendara sepeda,
pejalan kaki kecelakaan pada anak usia 5-9 tahun adalah penyebab paling
sering kedua kematian. Dewasa muda berusia 15-19 tahun cenderung
penumpang di kecelakaan dan alkohol sering merupakan faktor
penyebabnya.9,10
Jatuh adalah penyebab paling umum dari cedera pada anak-anak muda
dari 4 tahun, berkontribusi 24% dari semua kasus trauma kepala. Kegiatan
rekreasi memiliki distribusi musiman, dengan puncak selama musim semi
dan musim panas. Mereka mewakili 21% dari semua cedera otak anak,
dengan kelompok rentan terbesar usia 10-14 tahun.9,10

3.1.4 Klasifikasi Trauma Kapitis


Klasifikasi trauma kepala dilakukan untuk menentukan tatalaksana
dan meramalkan hasil luarannya. Klasifikasi terdiri dari beberapa jenis
tergantung aspek yang mendasarinya. Berdasarkan derajat keberatannya,
trauma kepala diklasifikasikan menjadi trauma kepala ringan, sedang dan
berat. Klasifikasi trauma kepala berdasarkan etiologinya dibagi menjadi
cedera primer dan cedera sekunder. Klasifikasi lain berdasarkan dari tingkat
keparahan trauma kepala, adanya luka diluar kepala, gangguan kesadaran
atau memori pasca trauma, trauma kepala dibagi menurut GCS yang sudah
dimodifikasi.1
Trauma kepala dibagi berdasarkan skor pada Skala Koma Glasgow
Pediatrik. Skor 13-15 digolongkan sebagai trauma kepala ringan, skor 9-12
sebagai trauma kepala sedang dan skor 3-8 sebagai trauma kepala berat.
Makin rendah skor pada Skala Koma Glasgow menunjukkan makin
beratnya cedera otak dan makin buruknya prognosis.3
Trauma kepala pada anak juga dibagi berdasarkan umur, yaitu : anak
usia kurang dari 2 tahun dan anak usia lebih dari 2 tahun. Pembagian ini
perlu karena trauma pada anak kurang dari 2 tahun mempunyai
karakteristik: a) pemeriksaan klinis lebih sulit, b) kerusakan intrakranial
umumnya asimtomatik, c) sering terjadi keretakan tulang kepala akibat
trauma kepala ringan, d) sering terjadi kerusakan otak.3

11
Gambar 3.1 Glasgow Coma Scale Modifikasi untuk Bayi dan Anak
sumber: Erny, Prasetyo O, Prasetyo D. Trauma Kepala pada Anak: Klasifikasi hingga
Pemantaun Jangka Panjang. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2019;8(2):42-58. 1

Berdasarkan dari nilai GCS saat kejadian otak pada anak oleh Brasure et al
(2012) terbagi menjadi:

Gambar 3.2 Derajat trauma kepala


sumber: Gambar 3.1 Glasgow Coma Scale Modifikasi untuk Bayi dan Anak
sumber: Erny, Prasetyo O, Prasetyo D. Trauma Kepala pada Anak: Klasifikasi hingga
Pemantaun Jangka Panjang. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2019;8(2):42-58. 1

12
3.1.5 Patofisiologi
Cedera neurologis setelah trauma kepala berhubungan dengan
fisiologi unik dan patofisiologi otak dan lingkungan intrakranial. Otak
adalah struktur setengah padat yang bermandikan cairan serebrospinal
(CSF) dan ditutupi oleh membran pia-arachnoid bagian dalam yang halus
dan lapisan fibrous tebal luar dura, yang semuanya terbungkus dalam
tengkorak, yang ditutupi oleh struktur lima lapis. dari kulit kepala. Setelah
masa bayi (saat jahitan tengkorak menyatu), kubah tengkorak menjadi kaku
dan struktur yang tidak sesuai untuk menampung otak. Karena volume
intrakranial relatif tetap, setiap perubahan volume salah satu komponen
intrakranial (darah, otak, dan CSF) harus terjadi dengan mengorbankan
komponen lainnya; jika komponen lain tidak menurun secara proporsional,
tekanan intrakranial (ICP) akan meningkat.11
Cedera otak terjadi dalam dua fase: primer dan sekunder. Cedera
primer adalah kerusakan mekanis yang terjadi pada saat trauma dan dapat
disebabkan oleh benturan langsung otak terhadap struktur kalvarial internal,
oleh tulang atau benda asing yang diproyeksikan ke dalam otak, dan oleh
gaya geser yang dikirimkan ke saluran materi putih. Cedera otak sekunder
adalah kerusakan saraf lebih lanjut yang terjadi setelah peristiwa traumatis
pada sel yang awalnya tidak terluka. Hal ini disebabkan oleh berbagai
penyebab, termasuk hipoksia, hipoperfusi, dan gangguan metabolisme, dan
dapat juga diakibatkan oleh gejala sisa dari cedera primer (misalnya, edema
serebral, perluasan massa intrakranial) atau disebabkan oleh cedera
ekstrakranial (misalnya, hipotensi akibat kehilangan darah yang berlebihan,
hipoksia akibat memar paru). Tujuan klinisi adalah untuk mengidentifikasi
dan mengobati setiap komplikasi dari cedera otak primer untuk membatasi
kerusakan saraf lebih lanjut akibat cedera otak sekunder.11,12
Benturan langsung pada kepala dapat menyebabkan cedera kepala
traumatik pada tempat benturan (coup) atau di sisi berlawanan (contre-
coup). Coup lebih sering terjadi bila suatu benda menghantam kepala yang

13
sedang diam. Contre-coup terjadi bila kepala yang bergerak menghantam
suatu obyek yang diam. Cedera kepala fokal dapat terjadi pada tempat
benturan, sedangkan cedera kepala difus terjadi karena gerakan akselerasi-
deselerasi otak di dalam rongga tengkorak.12
Gejala cedera kepala traumatik adalah kehilangan kesadaran,
penurunan kesadaran atau perubahan kesadaran, amnesia, dan defisit
neurologis yang ditentukan oleh jenis lesi intrakranial yang terjadi.12
Patologi trauma kapitis
1. Fraktura Tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur
kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata,
depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada
foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-
tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum,
depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan
operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat
hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena
duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.13
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan
bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai
cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak
mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak
peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.14
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma

14
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih
jelas pada tahun-tahun terakhir ini.14
3. Lesi Fokal
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak
diregio temporal atau temporal parietal dan sering akibat robeknya
pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal
arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga
kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus
vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau
hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan
atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera,
prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih
terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum
operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak
koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.13,15
b. Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan
atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.
Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.13

15
c. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada
setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.13
4. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada
di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang
didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas
perdarahan.16

Gambar 3.3 Jenis perdarahan akibat trauma kepala.


sumber: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kegawatan pada bayi dan anak.
Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, 2012.12
3.1.6 Diagnosis
Anamnesis

16
Anamnesis yang terperinci mengenai cedera meliputi penyebab trauma,
gejala yang dialami korban, mekanisme trauma perlu dilakukan sehingga
dapat diketahui lokalisasi dan cara terjadinya cedera kepala. Sementara
pada bayi serta balita yang belum bisa berkomunikasi dengan lancar,
gejala-gejala cedera kepala dapat dikenali melalui perubahan kebiasaan
tidur, sering menangis atau terlihat depresi, serta kehilangan minat pada
mainan favorit.17,18,19,20
Anamnesis yang perlu digali meliputi:1,3
a. Mekanisme trauma, ketinggian jatuh, alas saat jatuh dan posisi tubuh
saat jatuh. Jika trauma kepala akibat kecelakaan lalin perlu ditanyakan
apakah anak menggunakan pelindung kepala, apakah anak terlempar
jika terjadi sampai setinggi apa, jika terseret posisi kepala dimana
apakah jatuh pada posisi kepala dibawah atau tidak.
b. Kesadaran anak setelah kejadian trauma kepala apakah anak masih
sadar baik, menangis atau tidak, untuk anak yang sudah bisa berbicara
apakah anak masih merespon pertanyaan atau tidak dan jika terjadi
gangguan kesadaran berapa lama terjadi.
c. Apakah ada cedera ganda dibagian tubuh yang lain dan seberapa parah
dan apakah terjadi perdarahan yang masif. Setelah kejadian trauma
apakah anak masih mengingat orang tuanya, lokasi kecelakaan dan
pada anak yang relatif sudah besar apakah masih mengingat
mekanisme kecelakaan.
d. Apakah ada muntah spontan yang terjadi tanpa sebab lainnya.
e. Nyeri kepala hebat
f. Perdarahan dari hidung, telinga atau mulut.
g. Kejang spontan saat trauma atau beberapa saat setelah trauma kepala.
h. Apakah terjadi perubahan perilaku anak yang bermakna setelah trauma
dan apakah ada gangguan pola tidur pasca trauma.
i. Riwayat tumbuh kembang anak hingga saat trauma kepala terjadi
untuk menentukan potensi awal anak.

17
Pemeriksaan Fisik
Beberapa hal yang perlu diobservasi, adalah:1,3,4,17
a. Nilai kesadaran anak dengan Skala Koma Glosgow Pediatrik
b. Fungsi vital
Tekanan darah yang meninggi disertai dengan bradikardi dan
pernapasan yang tidak teratur (trias Cushing) menandakan adanya tekanan
tinggi intrakranial. Nadi yang cepat disertai hipotensi danpernapasan yang
ireguler mungkin disebabkan gangguan fungsi batang otak misalnya pada
fraktur oksipital.
c. Status mental
Dievaluasi apakah anak masih menangis, responsif atau diam, gaduh
gelisah hingga agitasi.
d. Status lokalis trauma
Perlu diperinci dengan cermat misalnya jika ada benjolan, lokasi,
besar, rasa nyeri, berdenyut atau tidak (pulsatif).
e. Kepala:
1. Jejas trauma apakah ada hematoma, lacerasi, luka terbuka, depresi
tulang, gigi patah atau tanggal
2. Cairan yang keluar melalui telinga, hidung dan mulut, battle sign,
racoon eyes.
3. Wajah asimetris atau tidak.
4. Refleks pupil isokor atau anisokor, diameter pupil dan refleks
cahaya.
5. Evaluasi nervi cranialis apakah ada lateralisasi atau tidak.
f. Leher:
1. Jejas trauma, lokasi, jika ada secepatnya harus dilakukan stabilisasi
dan imobilisasi untuk mencegah cedera baru akibat perlakuan.
2. Kaku kuduk jika dicurigai terjadi kebocoran cairan serebrospinal
tetapi terdapat jejas diseputar leher maka pemeriksaan meningeal

18
sign dapat dilakukan ditempat lain misalnya memeriksa tanda
kerniq atau laseque.
g. Pemeriksaan jejas diluar kepala yang berpotensi menyebabkan
perdarahan baik yang nyata atau perdarahan internal.
h. Pemeriksaan sensorimotor untuk menilai pergerakan apakah masih
spontan, simetris dan terkoordinasi dengan baik atau tidak.
Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis untuk menilai keterlibatan
parenkim otak.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diindikasikan pada trauma kepala derajat
sedang berat. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium
yang terdiri dari pemeriksaan darah lengkap, serum elektrolit, gula darah
dan S100B/calcium-binding protein B (biomarker yang menunjukkan
kerusakan sel otak). Pemeriksaan penunjang lainnya adalah radiologis
yang terdiri dari CT Scan kepala atau MRI kepala dan pemeriksaan EEG.1
Pemeriksaan darah lengkap untuk mengevaluasi penurunan kadar
Hb dan PCV (Packed Cell Volume) terutama pada trauma kepala dengan
perdarahan masif. Kondisi anemia harus diwaspadai mengingat
hemoglobin sebagai molekul pengangkut oksigen harus dijaga
kecukupannya untuk mencegah terjadinya hipoksia yang akan
menyebabkan cedera otak sekunder akibat kerusakan mekanisme
autoregulasi pembuluh darah otak yang menyebabkan tekanan darah
diotak akan sangat tergantung pada tekanan darah sistemik.1
Keterkaitan antara jumlah lekosit darah tepi dengan berbagai
penyakit pada sistem saraf pusat yang berkaitan dengan proses inflamasi
sudah dievaluasi sejak tahun 1896. Menghitung rasio Netrofil terhadap
limfosit (RNL) adalah salah satu petanda yang mudah dilakukan.
Penelitian secara umum mendapatkan adanya peningkatan jumlah netrofil
yang bersamaan dengan penurunan jumlah limfosit segera setelah terjadi

19
cedera jaringan termasuk pada cedera otak. Penelitian sebelumnya juga
menemukan keterkaitan antara RNL dengan cedera iskemik cerebral.1,18
Peningkatan jumlah lekosit darah tepi terutama netrofil
mengindikasikan terjadi respon inflamasi pasca trauma kepala minor pada
anak. Hasil penelitian tersebut mengesankan bahwa stress karena trauma
dapat menyebabkan demarginasi lekosit yang nyata walaupun trauma
kepala yang terjadi bukan tergolong berat. Pada penelitian lanjutan
ditemukan korelasi positif antara lekosit dan kadar neutrofil dengan derajat
keberatan trauma dan skor Acute Ischaemic Stroke (AIS). Rovlias et al
melaporkan bahwa pasien dengan trauma kepala berat secara bermakna
menunjukkan peningkatan lekosit secara bermakna dibanding dengan
trauma kepala derajat sedang – ringan. Peningkatan jumlah lekosit
merupakan akibat dari peningkatan kortisol dan katekolamin yang terjadi
pada trauma kepala dan semakin tinggi jumlah lekosit pada saat pasien
masuk RS merupakan presenden keburukan prognosis.1
Evaluasi trombosit juga menunjukkan hubungan yang erat dengan
derajat trauma kepala, skor GCS, hasil luaran klinis dan lama tinggal di
RS. Validitas trombositopenia digunakan sebagai faktor prediktor untuk
keburukan prognosis setelah trauma kepala dengan spesifisitas 77,4%,
Odd’s rasio 3,1, risiko relatif 2,15. Penurunan jumlah rata rata trombosit
secara paralel terjadi sesuai dengan derajat trauma kepala. Hal tersebut
terjadi akibat karena terjadi peningkatan konsumsi trombosit secara
bermakna pada tempat migrasi lekosit segera setelah trauma kepala.
Hubungan terbalik dilaporkan antara jumlah trombosit dan Mean Platelet
Volume (MPV) pada kondisi fisiologis dan patologis untuk memelihara
hemostasis dengan menjaga kestabilan jumlah trombosit. Peneliti
menekankan bahwa hasil rasio MPV/N untuk identifikasi derajat trauma
dapat digunakan sebagai parameter untuk merencanakan tindakan
pemeriksaan lanjutan.20,21,22
Komplikasi sistemik terutama disebabkan oleh kondisi hipoksemia,
hipotensi, hipertensi, hiperglikemia dan hipoglikemia. Diantara komplikasi

20
sekunder tersebut, hiperglikemia merupakan salah satu hal yang sering
terjadi dan berhubungan dengan derajat cedera dan hasil luaran pasien.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa hiperglikemia
berperan penting dalam mempercepat keburukan hasil klinis pada trauma
kepala. Mekanisme yang memicu terjadinya hiperglikemia setelah trauma
kepala adalah respon akibat strees fisik, respon inflamasi, diabetes
mellitus, disfungsi kelenjar pituitary dan atau hipothalamus, pembedahan
dan anestesia. Pasien trauma kepala dengan hiperglikemia memiliki
peningkatan risiko perburukan hasil luaran dan kematian lebih nyata
dengan kondisi hiperglikemia persisten dibanding dengan hiperglikemia
sesaat setelah trauma. Efek langsung lainnya akibat hiperglikemia adalah
asidosis laktat, gangguan keseimbangan elektrolit, inflamasi, penyakit
pembuluh darah, kerusakan SDO dan hiperpermeabilitas.1,23
Pemeriksaan S100B dianjurkan untuk mengurangi penggunaan CT
Scan kepala untuk menurunkan risiko radiasi yang berbahaya untuk
perkembangan otak anak. S100B adalah protein yang bersifat neurotropik,
dan kadar dalam serum secara umum meningkat pada populasi anak yang
masih mengalami perkembangan otak. Peningkatan kadar serum S100B
ditemukan pada trauma kepala berat sehingga hasil tersebut dapat
digunakan sebagai faktor prediktor keburukan hasil luaran. Pasien cedera
kepala berat dengan kadar Protein S100B 120 jam pasca trauma yang
tinggi, memiliki hasil keluaran yang buruk.1,24
Beberapa modalitas pemeriksaan pencitraan saat ini banyak
dilakukan pada kasus trauma kepala pada anak misalnya CT scan Kepala
dan MRI Kepala. Tentunya ada banyak pertimbangan untuk melakukan
pemeriksaan tersebut mengingat risiko radiasi yang dapat mengganggu
proses perkembangan otak untuk anak usia < 2 tahun. CT scan adalah
salah satu pemeriksaan radiologis yang masih sering dipakai sampai
sekarang. Penggunaan MRI saat ini lebih banyak digunakan karena
menunjukkan hasil yang lebih sensitif daripada CT scan, namun karena
faktor alat dan biaya, CT scan masih menjadi alat bantu penegakan

21
diagnosa yang utama. CATCH (Canadian Assessment of Tomography for
Childhood Head injury) dan PECARN (Pediatric Emergency Care
Applied Research Network) adalah beberapa algoritma yang dipakai untuk
menentukan penggunaan CT scan pada pasien dengan cedera otak
ringan.1,12

Gambar 3.4 Panduan pemeriksaan CT scan kepala menurut PECARN pada anak usia < 2 tahun
sumber: Erny, Prasetyo O, Prasetyo D. Trauma Kepala pada Anak: Klasifikasi hingga Pemantaun
Jangka Panjang. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2019;8(2):42-58.1

22
Gambar 3.5 Panduan pemeriksaan CT scan kepala menurut PECARN pada anak usia > 2 tahun
sumber: Erny, Prasetyo O, Prasetyo D. Trauma Kepala pada Anak: Klasifikasi hingga Pemantaun
Jangka Panjang. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2019;8(2):42-58.1
Kegunaan EEG yang terutama untuk menegakkan diagnosis status
epileptikus non konvulsivus yang dapat mengikuti kejadian trauma kepala.
Penelitian menunjukkan pada 22% trauma kepala dapat terjadi manifestasi
klinis kejang konvulsi maupun non konvuksi. Penelitian pada 2012 kasus
menunjukkan gambaran EEG dengan perlambatan yang berat dan supresi
pada gelombang delta berkaitan dengan keburukan hasil luaran pada 3-6
bulan pada pasien dengan trauma kepala. Meta analisis dari kemampuan
EEG sebagai faktor prognostik pada 44 penelitian trauma kepala berat
dengan mengekslusi lesi lokal yang nyata, dilakukan dekompresi
kraniotomi, atau adanya penumpukan cairan subdural dan ekstradural,
hasil EEG berupa tidak ditemukan somatosensory evoke potensial bilateral
berkaitan dengan keburukan hasil luaran pada 99.5% pasien.1,25

23
Gambar 3.6 Indikasi CT-Scan kepala menurut Catch rule berdasarkan risiko pada
trauma kepala.
sumber: Erny, Prasetyo O, Prasetyo D. Trauma Kepala pada Anak: Klasifikasi hingga
Pemantaun Jangka Panjang. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2019;8(2):42-58. 1

3.1.7 Tatalaksana Trauma Kapitis


Pasien dengan cedera kepala berat sering terjadi hipoksia, hipotensi
dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah: 7
a. Jalan nafas (Airway)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang denganposisi
kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi
lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindarkan
aspirasi muntahan.
b. Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atauperifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulaoblongata,

24
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenikhyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma
dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan
pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan
denganpemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakansekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan
intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung atau pneumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, cairan atau
darah.

Prinsip penatalaksanaan trauma kepala adalah stabilisasi tanda vital,


mempertahankan tekanan intrakranial yang fisiologis dan melakukan
koreksi defisit elektrolit, dan parameter-parameter dari hasil pemeriksaan
darah lengkap serta mengevaluasi trauma ditempat lain.1
Stabilisasi tekanan intrakranial dilakukan disamping untuk tatalaksana
akut juga untuk mencegah cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder
terjadi akibat hipoperfusi jaringan otak dan menyebabkan penumpukan hasil
metabolisme. Hal ini menyebabkan edema otak dan meningkatkan tekanan
intra kranial. Adelson et al mengatakan bahwa cedera kepala dengan GCS <
8 perlu mempertimbangkan pemasangan alat pengukuran tekanan
intracranial, termasuk bayi dengan ubun- ubun yang masih terbuka. Pada
penelitian lain menyatakan bahwa menjaga tekanan perfusi otak antara 40
mmHg – 65 mmHg penting dilakukan untuk mencegah cedera otak
sekunder.1

25
Terapi konvensional pada cedera otak adalah head up 30°, pencegahan
hipotermia/ hipertermia, analgesia, sedasi, terapi hyperosmolar, diuretic, dan
intervensi pembedahan lainnya. Head-up 30° bertujuan menurunkan tekanan
intracranial menggunakan prinsip gravitasi. Keuntungan lain dari posisi ini
adalah meningkatkan venous return dan memperbaiki distribusi dari cairan
cerebro spinal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa posisi horizontal
lebih baik untuk menaikkan tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
pressure), namun posisi horizontal ini cenderung untuk meningkatkan
tekanan intrakranial, sehingga dapat memicu cedera otak sekunder. 1
Penggunaan terapi hyperosmolar mannitol bertujuan menurunkan
tekanan intracranial, tetapi karena menyebabkan rebound ischemic effect,
hipovolemi akibat diuresis, dan gangguan keseimbangan elektrolit, maka
penggunaan mannitol semakin ditinggalkan dan saat ini banyak digunakan
cairan yang bersifat hipertonis saline. Hipertonis saline juga meningkatkan
volume di pembuluh darah dengan menarik cairan di parenkim otak tetapi
memiliki efek diuresis yang lebih rendah. 1
Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat
penurun tekanan intrakranial seperti Manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap 8
jam atau furosemid 1 mg/kg/ hari serta nimodipin sesuai kondisi pasien atau
NaCl 3% dengan dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan dengan infus
kontinyu 0.1-1 ml/kgBB/jam dengan monitoring tekanan intrakranial. NaCl
3% dapat juga diberikan dengan dosis inisial 5 ml/ kgBB dilanjutkan dengan
dosis 2 ml/kgBB tiap 6 jam. Pemantauan kadar elektrolit dan diuresis
diperlukan jika pasien diberikan cairan hipertonis. Hindari / seminimal
mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial.3,4
Penggunaan terapi hipotermia bertujuan untuk menghindari cedera
otak sekunder akibat peningkatan metabolisme otak. Pengembalian suhu
tubuh (rewarming) harus dilakukan dengan perlahan (0,5° C - 1°C) per 3 – 4
jam, karena dapat mengakibatkan efek rebound pada peningkatan tekanan
intracranial. Penggunaan barbiturate (phenobarbital, thiopental) dalam dosis

26
tinggi dapat menurunkan tekanan intracranial, pada saat terapi lain seperti
pembedahan tidak efektif. Hal tersebut karena barbiturate menurunkan
demand metabolisme dan menurunkan ROS serta lipid peroxide. Tetapi
karena barbiturat juga menimbulkan hipotensi, penurunan cardiac output,
pemakaian barbiturate biasanya digolongkan pada terapi tingkat ke tiga,
apabila terapi –terapi lain dan pembedah tidak bisa dilakukan.1,26
Terapi hiperventilasi merupakan salah satu tatalaksana awal pada
pasien dengan tujuan mencegah hipokarbia sehingga terjadi vasokonstriksi
relatif pembuluh darah otak dengan tujuan akhir menurunkan tekanan
intrakranial. Tetapi yang harus dihindari adalah hiperventilasi agresif karena
justru akan menyebabkan iskemia dan menyebabkan cedera otak sekunder.
Sehingga, para ahli menyarankan bahwa hiperventilasi secara agresif harus
dihindari pada 48 jam pertama setelah kejadian trauma. Menurut guideline
dari AHA tahun 1992, justru yang harus dilakukan adalah terapi
normoventilasi pada kasus cedera otak pada trauma.1,26
Pemberian sedasi dan analgesia berdasarkan prinsip bahwa rasa nyeri
dapat meningkatkan demand metabolism dari otak, sehingga dapat
menaikkan tekanan intracranial, mual dan muntah juga dapat merangsang
saraf simpatis sehingga meningkatkan tekanan darah dan meningkatkan
risiko perdarahan pada saat pasca operasi, stress karena nyeri dan tidak
nyaman juga dapat memberikan trauma psikologis. Reaksi fisiologis dari
terapi, seperti batuk karena pemakaian selang hisap dan menggigil karena
terapi hipotermia juga dapat meningkatkan demand metabolism dari otak.
Semua reaksi tersebut menjadi dasar diperlukannya obat- obatan sedasi dan
analgesic. Penggunaan sedasi untuk cedera otak harus memiliki efek
minimal pada kardiovaskuler, memiliki onset dan offset kerja pendek,
gampang di titrasi, termetabolisir dengan baik, memiliki efek anti kejang,
tidak memiliki metabolit aktif, dan interaksi dengan obat- obat lainnya
minimal. 1,26
Terapi pembedahan tergantung kasus masing-masing. Pembedahan
yang dilakukan bertujuan untuk mengatasi masalah bedah murni misalnya

27
fraktur tulang tengkorak atau mengatasi masalah akibat terbentuknya SOP
di otak.1,26

3.1.8 Komplikasi
Epilepsi pasca-trauma adalah kejang yang berhubungan dengan
trauma dan dibagi menurut saat timbulnya, yaitu tipe langsung, dini dan
lambat. Pada tipe langsung terjadi serangan dalam beberapa detik setelah
kecelakaan akibat stimulasi mekanik pada jaringan otak. Pada tipe dini,
kejang terjadi dalam 24-48 jam setelah kejadian dan hal ini mungkin
disebabkan oleh edema, perdarahan, kontusio, laserasi atau nekrosis otak.
Kejang dapat berupa kejang umum atau fokal dan sering terdapat pada anak
di bawah 1 tahun. Sering pula didapati fraktur tengkorak (24X) berupa
fraktur impresi dan compound depressed fractures. Kejang ini relatif sering
pada anak dan dapat timbul pada trauma kapitis yang tidak berat. Status
epileptikus terdapat pada 1/5 anak tersebut dan terutama terjadi pada jam-
jam pertama setelah trauma.17
Tipe lambat timbul dalam kurun waktu 2 tahun setelah kejadian dan
50% timbul dalam 12 bulan pertama. Hal ini mungkin disebabkan oleh
karena fokus epilepsi berasal dari jaringan parut serebro-meningeal. Tipe
lambat ini bertambah dengan adanya salah satu dari hematoma akut, impresi
fraktur dan epilepsi dini. Tetapi tidak terdapat korelasi antara timbulnya
epilepsi post-traumatik dini dan lambat.17
Epilepsi pasca-trauma sering timbul pada trauma di lobus parietalis
dan bagian antero-medial lobus temporalis. Hal ini terutama terjadi pada
anak dengan gangguan kesadaran 1 jam atau lebih, adanya laserasi otak dan
amnesia pasca-trauma lebih dari 24 jam. Kejang dapat berbentuk kejang
umum atau kejang fokal yang menjadi kejang umum, tidak pernah
berbentuk petit mal. Gambaran EEG tidak dapat dipakai untuk menduga
akan timbulnya epilepsi post-traumatik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
riwayat trauma kapitis dan tidak adanya riwayat kejang sebelumnya.
Adanya hematoma intrakranial harus terlebih dahulu disingkirkan dengan

28
CT-scan. Terhadap epilepsi post-traumatik ini tidak dianjurkan untuk
pemberian antikonvulsan profilaksis. Prognosis pada umumnya baik dan
serangan berkurang setelah 3 tahun. Operasi eksisi dipertimbangkan bila
serangan menetap setelah 3 tahun.17

3.1.9 Prognosis
Faktor yang menentukan prognosis adalah usia, mekanisme cedera,
skor GCS pediatrik pasca resusitasi, reaktivitas pupil, tekanan darah,
tekanan intrakranial pasca resusitasi, durasi gangguan kesadaran, gangguan
keseimbangan tubuh dan ukuran dan macam lesi intrakranial. Prognosis
fungsi intelek pada anak dengan trauma kapitis ringan tanpa
kelainanneurologis adalah baik. Prognosis trauma kapitis yang berat pada
anak lebih baik dibandingkan orang dewasa. Pada trauma kapitis yang berat,
80% akan mengalami perbaikan, 2-7% menunjukkan gangguan sedang
hinpga berat, 3% mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan 8-
9% meninggal. Makin muda anak prognosis makin kurang baik. Anak
dibawah 5 tahun menunjukkan mortalitas lebih besar dibandingkan anak
yang lebih besar dan prognosis pada anak di bawah 2 tahun pada umumnya
buruk.1,17

3.1.10 Edukasi
Pertolongan pertama yang dilakukan dengan tidak benar dapat
memperburuk kondisi bahkan dapat mempercepat perburukan hingga fatal.
Hal-hal yang perlu diketahui orang tua sehubungan dengan pertolongan
pertama yang benar pada saat terjadi trauma kepala adalah:
a. Trauma kepala yang tidak menunjukkan jejas misalnya hematoma baik
di kepala atau wajah, tidak ada muntah spontan tanpa provokasi, tidak
ada perubahan perilaku anak sehari-hari, tidak ada kejang spontan
tanpa provokasi, tidak perlu dirawat di RS tetapi pendampingan dan
observasi anak oleh observer yang sama setiap 2-3 jam sekali perlu
dilakukan selama 72 jam pasca trauma kepala.

29
b. Tirah baring atau pembatasan aktivitas fisik.
c. Selama masa observasi anak tidak boleh mengkonsumsi obat-obatan
yang bersifat sedatif dan anti muntah karena akan menimbulkan efek
sublimasi jika gejala muncul.
d. Jangan diberikan makanan dan minuman yang menimbulkan banyak
gas dilambung karena akan memicu muntah.
Segera dibawa ke RS jika:
a. Anak tampak lebih banyak tidur dari kebiasaannya dan lebih sulit
dibangunkan
b. Perubahan perilaku yang bermakna misalnya mejadi histeria, marah
tanpa alasan, atau justru sulit diajak komunikasi
c. Muntah tanpa masalah di pencernaan yang terus menerus
d. Kejang baik pada wajah atau anggota gerak
e. Keluhan sakit kepala yang memberat disertai dengan kaku pada leher
f. Tampak keluar cairan atau darah dari telinga, hidung
g. Pada bayi atau anak usia <18 bulan jika tampak sulit minum dan ubun-
ubun besar membonjol
h. Terdapat gangguan gerak misalnya tangan dan kaki tampak lemas
untuk bergerak

3.2 Kejang pada anak


3.2.1 Definisi
Kejang adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik di neuron. Kejang dapat disertai oleh gangguan kesadaran,
tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan atau otonom.2
Kejang dapat dibagi atas kejang fokal dan kejang umum. Kejang fokal
berasal dari fokus lokal di otak, dapat melibatkan sistem motorik, sensorik
maupun psikomotor. Kejang umum melibatkan kedua hemisfer, dapat
berupa kejang non-konvulsif (absans) dan konvulsif.2

3.2.2 Patofisiologi

30
Kejang yang diprovokasi dapat terjadi pada siapa saja dan bukan
merupakan epilepsi. Istilah kejang sekunder atau gejala kejang akut
terkadang digunakan untuk menjelaskan kejang dari berbagai penyebab
yang dapat diidentifikasi, misalnya kelainan elektrolit, toksin, dan tumor.
Epilepsi muncul saat kejang terjadi tanpa faktor pemicu karena
kecenderungan kejang yang bertahan lama. Fisiologi otak yang berubah
selalu terjadi pada pasien epilepsi, namun kejang pada dasarnya terjadi
secara acak untuk alasan yang sama sekali tidak diketahui. Namun
demikian, beberapa kelainan fisiologis dasar yang menyebabkan
kecenderungan yang mendasari terjadinya kejang telah diketahui.27
Kejang tidak terjadi secara spontan dalam keadaan normal karena
fisiologi neuronal menjaga stabilitas membran saraf dan mencegah transfer
cepat cairan sinkron yang memulai kejang. Beberapa mekanisme normal
yang luar biasa memungkinkan hanya satu potensial aksi untuk lewat dalam
interval waktu dari satu neuron ke neuron berikutnya sebagai bagian dari
transfer informasi sinaptik normal. Kejang dapat diprovokasi di otak normal
oleh keadaan yang mengganggu stabilitas ini. Misalnya, perubahan
konsentrasi ion, seperti hiponatremia, menyebabkan hilangnya gradien
elektrokimia normal di seluruh membran sel yang diperlukan untuk menjaga
stabilitas; penarikan obat dari benzodiazepin, barbiturat, dan terutama
alkohol mungkin menyebabkan reseptor inhibitor GABA menjadi peka
sehingga aktivitas neuron yang biasanya tidak berbahaya merangsang
kejang; hipoglikemia mengubah metabolisme sel.27
Meskipun mekanisme patofisiologis dari beberapa jenis epilepsi
diketahui, perawatan serupa ditujukan untuk menghentikan kejang atau
mengurangi kecenderungan terjadinya apa pun penyebabnya. Kebanyakan
obat antiepilepsi (AED) ditemukan secara kebetulan dan mekanisme
kerjanya tidak diketahui dan oleh karena itu tidak terkait dengan
patofisiologi kejang yang dicurigai. Di sisi lain, obat untuk pengobatan akut
kejang dan status epileptikus (SE) ditujukan untuk menghentikan kejang
setelah terjadi. Obat-obatan yang gagal ini agak spesifik terhadap

31
mekanisme, dan ada nilai klinis dalam meninjau patofisiologi kejang tonik-
klonik umum.27
Premis dasar dari patofisiologi kejang tonik-klonik umum adalah itu
kejang dimulai dengan eksitasi yang kuat dari neuron serebral epilepsi yang
rentan, yang mengarah ke pelepasan sinkron dari grup terhubung yang
semakin besar neuron akhirnya mempengaruhi bagian otak yang mengarah
ke manifestasi klinis kejang. Meskipun kejadian pemicu sama sekali tidak
diketahui, jelas bahwa ketidakseimbangan eksitasi berlebih dan penurunan
penghambatan menopang kejang. Glutamat adalah neurotransmitter
rangsang yang paling umum dan memediasi eksitasi berlebih melalui
reseptor subtipe N-metil-D-aspartat (NMDA). Ini tidak diragukan lagi
sangat penting dan merupakan tempat paling logis dari tindakan obat
antiseizure. Namun, antagonis NMDA yang berguna secara klinis belum
berhasil besar, mungkin karena obat yang mempengaruhi sistem ini
memiliki efek mendalam lainnya pada pembelajaran dan memori.27
Patofisiologi kejang pada tingkat selular berhubungan dengan
terjadinya paroxysmal depolarization shift (PDS) yaitu depolarisasi
potensial pascasinaps yang berlangsung lama (50 ms). Paroxysmal
depolarization shift merangsang lepas muatan listrik yang berlebihan pada
neuron otak dan merangsang sel neuron lain untuk melepaskan muatan
listrik secara bersama-sama sehingga timbul hipereksitabilitas neuron otak. 2
Paroxysmal depolarization shift diduga disebabkan oleh kemampuan
membran sel melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya
inhibisi oleh neurotransmiter asam gama amino butirat (GABA), atau
meningkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmiter glutamat dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang.2
Pada pasien dengan epilepsi fokal, terdapat sekelompok sel neuron
yang bertindak sebagai pacemaker lepasnya muatan listrik disebut sebagai
fokus epileptikus. Sekelompok sel neuron ini akan merangsang sel di
sekitarnya untuk melepaskan muatan listriknya. Keadaan ini merupakan
transisi fokal interiktal atau gelombang paku iktal pada elektroensefalografi.

32
Manifestasi klinis bergantung pada luasnya sel neuron yang tereksitasi.
Pasien epilepsi umum pembentukan gelombang paku-ombak terjadi pada
struktur korteks. Terdapat penyebaran cepat proses eksitasi (spike) dan
inhibisi (gelombang ombak) pada kedua hemisfer otak melalui jaras
kortikoretikular dan talamokortikal. Status epileptikus terjadi akibat proses
eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus yang diikuti oleh proses
inhibisi yang tidak sempurna.2

3.2.3 Kriteria Kejang


Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan akan lebih
mudah bila serangan kejang tersebut terjadi di hadapan kita. Pada awal
penanganan, sangatlah penting membedakan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisis apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan
yang menyerupai kejang. Perbedaan di antara keduanya dapat dilihat pada
gambar 3.7 Perlu diingat bahwa pada pasien epilepsi dapat terjadi serangan
yang menyerupai kejang, seperti aritmia, sinkop atau distonia. Oleh
karenanya, deskripsi akurat dari serangan saat itu sangat penting.2

Gambar 3.7 Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang
sumber: Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N. Buku ajar pediatri gawat darurat. Jakarta: Unit
Kerja Pediatri Gawat Darurat IDAI, 2011.2

33
3.2.4 Etiologi
Penentuan etiologi kejang berperan penting dalam tata laksana kejang
selanjutnya. Keadaan ini sangat penting terutama pada kejang yang sulit
diatasi atau kejang berulang. Etiologi kejang pada seorang pasien dapat
lebih dari satu. Etiologi kejang yang tersering pada anak dapat dilihat pada
Gambar 3.8 dibawah ini.

Gambar 3.8 Etiologi kejang pada anak


sumber: Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N. Buku ajar pediatri gawat darurat.
Jakarta: Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat IDAI, 2011.2

Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial
dan ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer
dan sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik.
Sedangkan sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial,
kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan
ensefalitis, dan trauma kepala.32
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan
metabolisme seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati,
uremia, hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia.

34
Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan
ke otak.32

3.2.5 Klasifikasi kejang


Jenis kejang dapat ditentukan berdasarkan deskripsi serangan yang
akurat. Penentuan jenis kejang ini sangatlah penting untuk menentukan jenis
terapi yang akan diberikan. Pemilihan obat anti kejang/obat anti epilepsi
(OAE) jangka panjang sangat dipengaruhi oleh jenis kejang pasien. Ada
obat diindikasikan untuk jenis kejang tertentu, misalnya karbamazepin
untuk jenis kejang fokal atau asam valproat untuk kejang tipe absans.
Pemilihan OAE yang salah dapat memperberat jenis kejang tertentu,
misalnya penggunaan karbamazepin dan fenitoin dapat memperberat kejang
umum idiopatik seperti kejang absans, atonik, dan mioklonik.2
Saat ini klasifikasi kejang yang digunakan adalah berdasarkan
Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic Seizures
tahun 1981 (gambar 3.9). Jenis kejang harus ditentukan setiap kali pasien
mengalami serangan. Tidak jarang ditemukan bahwa jenis kejang saat ini
berbeda dengan sebelumnya. Semakin banyak jenis serangan kejang yang
dialami pasien, semakin sulit penanganan kejang dan pemilihan obat anti
kejang. 2

35
Gambar 3.9 Klasifikasi kejang
sumber: Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N. Buku ajar pediatri gawat darurat.
Jakarta: Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat IDAI, 2011.2

Gambar 3.10 Klasifikasi kejang dasar ILAE 2017.


sumber: Fisher RS et all. Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification
of seizure types. Epilepsia. 2017;58(4). doi: 10.1111/epi.13671.28

36
Gambar 3.11 Klasifikasi operasional ILAE 2017 yang diperluas untuk jenis kejang.
sumber: Fisher RS et all. Instruction manual for the ILAE 2017 operational classification
of seizure types. Epilepsia. 2017;58(4). doi: 10.1111/epi.13671.28

Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat


diklasifikasikan menjadi:29
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan
keterlibatan satu hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang
menjadi kejang umum pada 30% anak yang mengalami kejang. Pada
umumnya kejang ini ditemukan pada anak berusia 3 hingga 13 tahun. 30
Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa
disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai
dengan perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat
pola aktivitas motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat
episode kejang terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering

37
ditandai dengan perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan
abnormal dari sensorik, autonom, dan psikis
2. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada
saat kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti
mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali
disertai mual dan muntah.
3. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan
menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan
kejang umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang
tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik.
2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua
hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran.
Kejang umum dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling
sering terjadi pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang
tiba – tiba, namun pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura
(motorik atau sensorik). Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat,
terdapat dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai
dengan rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai dengan
inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik,
terjadi gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang
disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada
anak selama episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga
beberapa saat setelah kejang berhenti.

38
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik.
Anak tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat
rigiditas otot yang progresif.
3. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh
secara tiba – tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini
dapat terjadi hingga ratusan kali per hari.
4. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba –
tiba.
5. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal)
atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal).
Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik
anak secara tiba – tiba, kehilangan kesadaran sementara secara singkat,
yang disertai dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata
berulang saat episode kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang
dari 30 detik. Kejang ini jarang dijumpai pada anak berusia kurang dari
5 tahun. Kejang absens atipikal ditandai dengan gerakan seperti
hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas,
dan disertai dengan perubahan kesadaran.31
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang
yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang
parsial. Kejang ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak
hingga usia 1 tahun.29

39
3.2.6 Diagnostik
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisis yang baik diperlukan untuk memilih
pemeriksaan penunjang yang terarah dan tata laksana selanjutnya.
Aloanamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya
kejang, dilanjutkan dengan pertanyaan terarah untuk mencari kemungkinan
faktor pencetus atau penyebab kejang. Anamnesis diarahkan pada riwayat
kejang sebelumnya, kondisi medis yang berhubungan, obat-obatan, trauma,
gejala infeksi, gangguan neurologis baik umum maupun fokal, serta nyeri
atau cedera akibat kejang.2
Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai tanda vital, mencari tanda
trauma akut kepala, dan ada tidaknya kelainan sistemik. Pemeriksaan
ditujukan mencari cedera yang terjadi mendahului atau selama kejang,
adanya penyakit sistemik, paparan zat toksik, infeksi, dan kelainan
neurologis fokal. Bila dijumpai kelainan fokal, misalnya paralisis Todd’s,
harus dicurigai adanya lesi intrakranial. Bila terjadi penurunan kesadaran
perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor penyebab.
Edema papil yang disertai tanda rangsang meningeal menunjukkan adanya
peningkatan tekanan intrakranial akibat infeksi susunan saraf pusat.2

Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi kejang pada anak,
diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan
laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan pencitraan
neurologis. Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang ini ditentukan sesuai
dengan kebutuhan.2
A. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang berguna untuk
mencari etiologi dan komplikasi akibat kejang lama. Jenis pemeriksaan
yang dilakukan bergantung pada kondisi klinis pasien. Pemeriksaan
yang dianjurkan pada pasien dengan kejang lama adalah kadar glukosa

40
darah, elektrolit, darah perifer lengkap, dan masa protrombin.
Pemeriksaan laboratorium tersebut bukan pemeriksaan rutin pada
kejang demam. Jika dicurigai adanya meningitis bakterialis perlu
dilakukan pemeriksaan kultur darah dan kultur cairan serebrospinal.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus herpes
simpleks dilakukan pada kasus dengan kecurigaan ensefalitis.2
B. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien kejang disertai
penurunan kesadaran atau gangguan status mental, perdarahan kulit,
kaku kuduk, kejang lama, gejala infeksi, paresis, peningkatan sel darah
putih, atau pada kasus yang tidak didapatkan faktor pencetus yang jelas.
Pungsi lumbal ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam setelah
pungsi lumbal yang pertama untuk memastikan adanya infeksi susunan
saraf pusat. Bila didapatkan kelainan neurologis fokal dan peningkatan
tekanan intrakranial, dianjurkan melakukan pemeriksaan CT Scan
kepala terlebih dahulu untuk mencegah risiko terjadinya herniasi.2
The American Academy of Pediatrics merekomendasikan bahwa
pemeriksaan pungsi lumbal sangat dianjurkan pada serangan kejang
pertama disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan karena
manifestasi klinis meningitis tidak jelas atau bahkan tidak ada. Pada
anak usia 12-18 bulan dianjurkan melakukan pungsi lumbal, sedangkan
pada usia lebih dari 18 bulan pungsi lumbal dilakukan bila terdapat
kecurigaan adanya infeksi intrakranial (meningitis).2
C. Elektroensefalografi
Pemeriksaan EEG digunakan untuk mengetahui adanya gelombang
epileptiform. Pemeriksaan EEG mempunyai keterbatasan, khususnya
interiktal EEG. Beberapa anak tanpa kejang secara klinis ternyata
memperlihatkan gambaran EEG epileptiform, sedangkan anak lain
dengan epilepsi berat mempunyai gambaran interiktal EEG yang
normal. Sensitivitas EEG interiktal bervariasi. Hanya sindrom epilepsi
saja yang menunjukkan kelainan EEG yang khas. Abnormalitas EEG

41
berhubungan dengan manifestasi klinis kejang, dapat berupa gelombang
paku, tajam dengan/atau tanpa gelombang lambat. Kelainan dapat
bersifat umum, multifokal, atau fokal pada daerah temporal maupun
frontal. 2
Pemeriksaan EEG segera dalam 24-48 jam setelah kejang atau sleep
deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya
kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya klinis.
Gambaran EEG yang normal atau memperlihatkan kelainan minimal
menunjukkan kemungkinan pasien terbebas dari kejang setelah obat
antiepilepsi dihentikan.2
D. Pencitraan neurologis
Foto polos kepala memiliki nilai diagnostik kecil meskipun dapat
menunjukkan adanya fraktur tulang tengkorak. Kelainan jaringan otak
pada trauma kepala dideteksi dengan CT scan kepala. Kelainan
gambaran CT scan kepala dapat ditemukan pada pasien kejang dengan
riwayat trauma kepala, pemeriksaan neurologis yang abnormal,
perubahan pola kejang, kejang berulang, riwayat menderita penyakit
susunan saraf pusat, kejang fokal, dan riwayat keganasan.2
Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih superior dibandingkan CT
scan dalam mengevaluasi lesi epileptogenik atau tumor kecil di daerah
temporal atau daerah yang tertutup struktur tulang misalnya daerah
serebelum atau batang otak. MRI dipertimbangkan pada anak dengan
kejang yang sulit diatasi, epilepsi lobus temporalis, perkembangan
terlambat tanpa adanya kelainan pada CT scan, dan adanya lesi
ekuivokal pada CT scan. 2

3.2.7 Tata laksana kejang pada anak


A. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami
kejang adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas,
pernapasan dan sirkulasi. Ini akan memastikan bahwa kejang tidak

42
membahayakan pasokan darah beroksigen ke otak dan tidak
menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia. 33,34
Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan
penilaian patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel.
Jika jalan napas tidak bebas, maka kita harus membuka dan
menjaganya dengan cara head tilt- chin lift atau jaw thrust
manuver dan memberikan ventilasi dengan bag-valve-mask jika
perlu. Jika jalan napas terganggu karena kejang, mengendalikan
kejang dengan antikonvulsan umumnya akan mengontrol jalan
napas. Bahkan jika jalan napas telah bebas, orofaring mungkin
perlu dibersihkan dari sekret oleh suction.33,34
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju
pernapasan, suara napas yang merintih, ekspansi dada, denyut
jantung dan warna kulit. Pemantauan saturasi oksigen dilakukan
dengan menggunakan pulse oksimetry. Jika anak menderita
hipoventilasi, respirasi harus didukung dengan oksigen melalui
perangkat bag-valve - mask.33,34
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi
denyut nadi. Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat,
sianosis serta akral yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer
yang tidak adekuat. Jika perlu, lakukan pemberian cairan
intravena. Jika akses pembuluh darah tidak dapat diperoleh,
pemberian antikonvulsan harus diberikan melalui rektal,
intramuskular atau rute bukal. Intraosseous acces (IO)
dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses
intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan
untuk administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses

43
intravena setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB
bolus cepat normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda
syok, lalu periksa tekanan darah segera setelah pemberian normal
saline atau setelah kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah
dan uji laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat hipoglikemi
berikan dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang
hipoglikemi tersebut.33,34
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert,
Voice, Pain, Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna
selama kejang yang disertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran
dan reaksi pupil harus diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi
selama kejang tetapi mungkin juga hasil dari keracunan opiat,
amfetamin, atropin dan trisiklik atau peningkatan tekanan
intrakranial.2,4 Perhatikan tanda-tanda defisit neurologis fokal,
baik selama atau setelah kejang dan perhatikan postur anak,
apakah terdapat dekortikasi atau deserebrasi sikap dimana
sebelumnya postur anak normal. Hal ini menunjukan bahwa
terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini
kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk
pada anak dan fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat
menunjukkan tanda – tanda meningitis. Perlu diingat bahwa
penggunaan berkepanjangan atau berulang-ulang dari obat anti
konvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran.33,34
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera.33,34

Umumnya kejang tonik klonik berhenti spontan dalam 5 menit. Bila


kejang tidak berhenti dalam 5 menit, maka kejang cenderung berlangsung
lama. Status epileptikus (SE) adalah kejang lama lebih dari 30 menit atau
kejang berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara kejang. Terdapat dua

44
jenis status epileptikus, yaitu SE konvulsif (parsial/fokal motorik dan tonik
klonik umum) dan SE non-konvulsif (absans dan parsial kompleks).2
Status epileptikus konvulsif pada anak merupakan kegawatan yang
mengancam jiwa dengan risiko terjadinya gejala sisa neurologis. Risiko ini
tergantung pada penyebab dan lamanya kejang. Makin lama kejang
berlangsung, makin sulit untuk menghentikannya. Tujuan tata laksana
kejang tonik klonik umum lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang
dan mencegah terjadinya status epileptikus.2
Langkah-langkah penanganan kejang terbagi atas tata laksana fase akut dan
fase meliputi:
a. Fase akut: penghentian kejang2
0-5 menit :
1. Yakinkan bahwa aliran udara pernapasan baik.
2. Monitor tanda vital, berikan oksigen, pertahankan perfusi oksigen
ke jaringan.
3. Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan
umum dan neurologis secara cepat.
4. Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal, dan infeksi.
5-10 menit
1. Pemasangan akses intravena.
2. Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah perifer lengkap,
glukosa, dan elektrolit.
3. Pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara intravena (kecepatan
5 mg/ menit), atau dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kgBB
(untuk berat badan <10 kg diberikan 5 mg, bila berat badan >10 kg
diberikan 10 mg, dosis maksimal 10 mg/kali).
4. Atau dapat diberikan lorazepam 0,05- 0,1 mg/kgBB intravena
(maksimum 4 mg). Alternatif lain adalah midazolam 0,05–0,1
mg/kgBB intravena. Pemberian diazepam intravena atau rektal
dapat diulang 1-2 kali setelah 5-10 menit, lorazepam 0,1mg/kgBB
dapat diulang sekali setelah 10 menit .

45
5. Jika didapatkan hipoglikemia, berikan cairan dekstrosa 25% 2
ml/kgBB.
10-15 menit
1. Cenderung menjadi status konvulsivus.
2. Berikan fenitoin 15-20 mg/kgBB intravena diencerkan dengan
NaCl 0,9% diberikan dengan kecepatan 25-50 mg/ menit.
3. Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5-10 mg/kgBB, sampai
maksimum dosis 30 mg/kgBB.
Lebih dari 30 menit
1. Pemberian antikonvulsan masa kerja panjang (long acting).
2. Fenobarbital 10 mg/kgBB intravena bolus perlahan–lahan dengan
kecepatan 100 mg/menit. Dapat diberikan dosis tambahan 5-10
mg/kgBB dengan interval 10-15 menit.
3. Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan meliputi analisis gas
darah, elektrolit, gula darah. Koreksi kelainan yang ada. Awasi
tanda-tanda depresi pernapasan.
4. Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke Unit
Perawatan Intensif. Berikan fenobarbital 5-8 mg/ kgBB secara
bolus intravena, diikuti rumatan fenobarbital drip dengan dosis 3–5
mg/kgBB/jam (Gambar 3.13).
Penanganan pasien dengan status konvulsivus/epileptikus tidak hanya
bertujuan untuk menghentikan kejang, tetapi juga mencegah terjadinya
komplikasi sistemik yang timbul pasca status konvulsivus. Pengenalan
dini, intervensi yang adekuat, dan pencegahan komplikasi penting untuk
prognosis pasien.2
Pada kejang lama dapat terjadi hipoksia terjadi akibat gangguan
ventilasi, sekresi air liur dan sekret trakeobronkial yang berlebihan, serta
peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia mengakibatkan asidosis, yang
selanjutnya menyebabkan penurunan fungsi ventrikel jantung, penurunan
curah jantung, hipotensi, dan mengganggu fungsi sel dan neuron.2

46
Pada SE terjadi pengeluaran katekolamin dan perangsangan saraf
simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung,
dan tekanan vena sentral. Edema otak terjadi akibat adanya hipoksia,
asidosis, atau hipotensi. Pada kejang yang tidak dapat teratasi, dapat terjadi
hiperpireksia sehingga dapat terjadi mioglobinuria dan peningkatan kreatin
fosfokinase akibat rabdomiolisis.2
Beberapa macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi status
konvulsivus dapat dilihat pada gambar 3.12 dibawah ini

Gambar 3.12 Obat-obatan yang sering digunakan dalam penghentian kejang.


sumber: Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N. Buku ajar pediatri gawat darurat.
Jakarta: Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat IDAI, 2011.2

Pengobatan jangka panjang


Pengobatan pada pasien yang mengalami kejang simptomatik akut ditujukan
pada faktor penyebab. Apabila faktor penyebab dapat segera diobati, maka
tidak diperlukan pemberian obat anti epilepsi jangka panjang. Risiko
berulangnya kejang terjadi dalam satu tahun pertama, khususnya dalam tiga
bulan pertama. Bila selama tiga bulan pertama tanpa pengobatan tidak

47
didapatkan kejang, maka pasien tidak memerlukan pengobatan jangka
panjang.2
Pengobatan selalu dimulai dengan satu jenis obat (monoterapi). Dosis
dinaikkan dengan titrasi sampai tercapai konsentrasi terapeutik serum atau
dosis terapeutik. Jika dengan dosis maksimal kejang masih tidak terkontrol,
pertimbangkan kombinasi terapi dengan OAE lainnya. Jika kejang
terkontrol, pertimbangkan penurunan dosis OAE yang pertama kali
diberikan. Tidak ada satu jenis OAE yang merupakan pilihan utama untuk
semua jenis epilepsi. Beberapa OAE lebih efektif untuk jenis kejang tertentu
atau sindrom tertentu. Saat ini pengobatan jangka panjang yang dianjurkan
adalah selama dua atau tiga tahun setelah kejang yang terakhir. 2

Gambar 3.13 Algoritma penanganan kejang akut dan status konvulsi


sumber: Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N. Buku ajar pediatri gawat darurat.
Jakarta: Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat IDAI, 2011.2

48
3.3 Diagnosis Banding
A. Meningitis
Definisi
Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak, ditandai
dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal
dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.17
Patogenesis17
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:17
1. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi ditempat lain seperti
faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi. Pada keadaan
ini sering didapatkan biakan kuman yang positif pada darah, yang sesuai
dengan kuman yang ada dalam cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan
oleh infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus
cavernosus.
3. Implantasi langsung: trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak,
pungsi lumbal dan mielokel.
Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena:
a. Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan
lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir.
b. Infeksi bakterial secara transplacental terutama listeria.
Sebagian besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyebaran
hematogen. Saluran napas merupakan port of entry utama bagi banyak
penyebab meningitis purulenta. Proses terjadinya meningitis bakterial
melalui jalur hematogen mempunyai tahap-tahap sebagai berikut:
1. Bakteri melekat pada sel epitel mukosa nasofaring (kolonisasi)
2. Bakteri menembus rintangan mukosa
3. Bakteri memperbanyak diri dalam aliran darah (menghindar dari sel
fagosit dan aktivitas bakteriolitik) dan menimbulkan bakteriemia

49
4. Bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
5. Bakteri memperbanyak diri dalam cairan serebrospinal
6. Bakteri menimbulkan peradangan pada selaput otak (meningen) dan
otak
7. Bakteri yang menimbulkan meningitis adalah bakteri yang mampu
melampaui semua tahap dan masing-masing bakteri mempunyai
mekanisme virulensi yang berbeda-beda, dan masing-masing
mekanisme mempunyai peranan yang khusus pada satu atau lebih dari
tahap-tahap tersebut. Terjadinya meningitis bakterial dipengaruhi oleh
interaksi beberapa faktor, yaitu: hosf yang rentan, bakteri penyebab dan
lingkungan yang menunjang.
Faktor Host
Beberapa faktor host yang mempermudah terjadinya meningitis:
1. Telah dibuktikan bahwa laki-laki lebih sering menderita meningitis
dibandinkan dengan wanita. Pada neonatus sepsis menyebabkan
meningitis, laki laki dan wanita berbanding 1,7:1.
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan prematur lebih mudah
menderita meningitis dibanding bayi cukup bulan.
3. Ketuban pecah dini, partus lama, manipulasi yang berlebihan selama
kehamilan, adanya infeksi ibu pada akhir kehamilan mempermudah
terjadinya sepsis dan meningitis.
4. Pada bayi adanya kekurangan maupun aktivitas bakterisidal dari
leukosit, defisiensi beberapa komplemen serum, seperti C1, C3, C5,
rendahnya properdin serum, rendahnya konsentrasi IgM dan IgA (IgG
dapat di transfer melalui plasenta pada bayi, tetapi IgA dan IgM sedikit
atau sama sekali tidak ditransfer melalui plecenta), akan mempermudah
terjadinya infeksi atau meningitis pada neonatus. Rendahnya IgM dan
IgA berakibat kurangnya kemampuan bakterisidal terhadap bakteri
gram negatif.
5. Defisiensi kongenital dari ketiga imunoglobulin (gamma globulinemia
atau dys-gammaglobulinemia, kekurangan jaringan timus kongenital,

50
kekurangan sel B dan T, asplenia kongenital mempermudah terjadinya
meningitis.
6. Keganasan seperti sistem RES, leukemia, mieloma multipel, penyakit
Hodgkin menyebabkan penurunan produksi imunoglobulin sehingga
mempermudah terjadinya infeksi.
7. Pemberian anti-biotik, radiasi dan imunosupresan juga mempermudah
terjadinya infeksi.
8. Malnutrisi

Faktor Mikroorganisme
Penyebab meningitis bakterial terdiri dari bermacam-macam bakteri.
Mikroorganisme penyebab berhubungan erat dengan umur pasien. Pada
periode neonatal bakteri penyebab utama adalah golongan enterobakter
terutama Escherichia coli disusul oleh bakteri lainnya seperti Streptococcus
grup B, Streptococcus pneumonia, Staphylococus sp dan Salmonella sp.
Sedangkan pada bayi umur 2 bulan sampai dengan 4 tahun yang terbanyak
adalah Hemophilus influenzae type B disusul oleh Streptococcus
pneumoniae dan Neisseria meningitidis. Pada anak lebih besar 4 tahun yang
terbanyak adalah Streptococus pneumoniae, Neisseria meningitidis. Bakteri
lain yang dapat menyebabkan meningitis bakterial adalah kuman batang
gram negatip seperti Proteus, Arcobakter, Enterobakter, Klebsiella Sp dan
Seprata Sp.

Faktor Lingkungan
Kepadatan penduduk, kebersihan yang kurang, pendidikan rendah dan
sosial ekonomi yang rendah memegang peranan penting untuk
mempermudah terjadinya infeksi. Pada tempat penitipan bayi apabila
terjadi infeksi lebih mudah terjadi penularan. Adanya vektor binatang
seperti anjing, tikus, memungkinkan suatu predisposisi, untuk terjadinya
leptospirosis.

51
Patofisiofogi
Akhir-akhir ini dikemukakan sebuah konsep baru mengenai
patofisiologi meningitis bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks,
komponen-komponen bakteri dan mediator inflamasi berperan dalam
menimbulkan respons peradangan' pada selaput otak (meningen) serta
menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan
intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang dapat mengakibatkan
timbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada bakteremia atau
embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan
saraf pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat-
tempat yang lemah, yaitu di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang
merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung
kadar glukose yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam cairan
serebrospinal, maka bakteri tersebut akan memperbanyak diri dengan
mudah dan cepat oleh karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas
fagositosis dalam cairan serebrospinal, kemudian tersebar secara pasif
mengikuti aliran cairan serebrospinal melalui sistem ventrikel keseluruh
ruang subaraknoid.17
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis)
akan melepaskan dinding sel atau komponen-komponen membran sel
(endotoksin, teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak
serta menimbulkan peradangan di selaput otak (meningen) melalui
beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga
timbul meningitis. Bakteri Gram negatif pada waktu lisis akan melepaskan
lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan
teichoic acid (asam teikoat).17
Produk-produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan
makrofag di susunan saraf pusat (sel astrosit dan mikroglia) memproduksi
mediator inflamasi seperti Interleukin-1 (IL-I) dan tumor necrosis factor
(TNF). Mediator inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa
mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, yang

52
selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis
bakterial dapat juga terjadi syndrome inappropriate anti diuretic hormon
(SIADH) diduga disebabkan oleh karena proses peradangan akan
meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopresin endogen
sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan
SIADH ini menyebabkan hipervolemia, oliguria dan peningkatan
osmolaritas urine meskipun osmolaritas serum menurun, sehingga timbul
gejala-gejala water intoxication yaitu mengantuk, iritabel dan kejang.17

53
Gambar 3.14 Patofisiologi molekuler meningitis bakterial
sumber: Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI, 1999.17

Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran


darah otak yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak
oleh trombus dan adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien
yang mengalami kejang. Akibat yang lain adalah penurunan tekanan perfusi
serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah
sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami
iskemia, penurunan autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan-
kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga
menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak, peningkatan
tekanan intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan
gangguan fungsi metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu
peningkatan kadar asam laktat dan penurunan pH cairan serebrospinal dan
asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme anaerobik, keadaan ini
menyebabkan penggunaan glukose meningkat dan berakibat timbulnya
hipoglikorakia.17
Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah
peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan-
bahan toksik bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan
rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot-otot
tertentu untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan
Brudzinski serta kaku kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat
peradangan selaput otak adalah mual, muntah, iritabel, nafsu makan
menurun dan sakit kepala. Gejala-gejala tersebut dapat juga disebabkan
karena peningkatan tekanan intra kranial, dan bila disertai dengan distorsi
dari nerve roots, maka timbul hiperestasi dan fotofobia.17
Pada fase akut, bahan-bahan toksik bakteri mula-mula menimbuikan

54
hiperemia pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang
subaraknoid, dan selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga mempermudah adesi sel
fagosit dan sel polimorfonuklear, serta merangsang sel polimorfonuklear
untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan
selanjutnya memfagosit bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat
dalam ruang subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul
didaerah konveks otak tempat cairan serebrospinal djabsorbsi oleh vili
araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar
serebelum.17
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel
polimorfonuklear yang memfagosit bakteri, secara berangsur-angsur sel
polimorfonuklear digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit yang
jumlahnya akan bertambah banyak, dan pada saat ini terjadi eksudasi
fibrinogen. Dalam mingu ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblast yang
berperan dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk jaringan
fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan-perlekatan. Bila
perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan, dan bila terjadi di aqueductus Sylvii, foramen
Luschka dan Magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu
48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga mengalami pembengkakan,
proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan adventisia,
sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus
nekrosis dan trombus dapat menyebabkan oklusi total atau partial pada
lumen pembuluh darah, sehingga keadaan tersebut menyebabkan aliran
darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.17
Infark vena dan arteri yang luas akan menyebabkan hemiplegia,
dekortikasi atau deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang
timbul selama beberapa hari pertama dirawat tidak mempengaruhi
prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang menetap lebih dari 4

55
hari dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan
penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang fokal akan
menyebabkan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang yang
berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah
otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum
dirawat sering menyebabkan gangguan pendengaran atau tuli yang
menetap. 17
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik
korteks serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah
atau karena hipoksia, invasi kuman akan mengakibatkan penurunan
kesadaran, kejang fokal dan gangguan fungsi motorik berupa paresis yang
sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II, selain
itu juga menimbulkan gangguan sensorik dan gangguan fungsi intelek
berupa retardasi mental dan gangguan tingkah laku: gangguan fungsi
intelek merupakan akibat kerusakan otak karena proses infeksinya, shok
dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di durameter
atau araknoid yang berupa tromboflebitis, robekan-robekan kecil dan
perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat
molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan subdural sehingga timbul
efusi subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam
yang lama, kejang dan muntah. 17
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood
brain barrier) meningkat akan menyebabkan edema vasogenik, karena
pleiositosis dan toksin akan menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan
karena aliran cairan serebrospinal terganggu/ hidrosefalus akan
menyebabkan terjadinya edema interstisial. 17
Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi
absorbsi dan penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan
edema otak dan vaskulitis: kelainan saraf kranial pada meningitis bakterial
disebabkan karena adanya peradangan lokal pada perineurium dan
menurunnya persedian vaskular ke saraf kranial, terutama saraf VI, III, dan

56
IV, sedang ataksia yang ringan, paralisis saraf kranial VI dan VII
merupakan akibat infiltrasi kuman ke selaput otak di basal otak, sehingga
menimbulkan kelainan batang otak. 17
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradangan ke
mastoid, sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan
pendengaran tipe konduktif. Kelainan saraf kranial II yang berupa papilitis
dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena infark
yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi
neurologis fokal yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di
korteks serebri akibat edema dan peradangan yang menyebabkan infark
serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk prognosis buruk,
karena meninggalkan manifestasi sisa dan retardasi mental. 17

Manifestasi Klinis
Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk
meningitis bakterial. Tanda dan manifestasi klinis meningitis bakterial
begitu luas sehingga sering juga didapatkan pada anak-anak baik yang
terkena meningitis maupun tidak. Tanda dan gambaran klinis sangat
bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah sebelum diagnosis
dibuat dan respons tubuh terhadap infeksi. 17
Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis,
gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi
baru lahir hanya terjadi pada 1/2 dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak
lemah dan malas, tidak mau minum, muntah-muntah, kesadaran menurun,
ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi tidak teratur,
kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila
didapatkan sepsis pada bayi baru lahir kita harus mencurigai adanya
meningitis. 17
Bayi berumur 3 bulan-2 tahun jarang memberi gambaran klasik
meningitis. Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam,
muntah, gelisah, kejang berulang, kadang-kadang di dapatkan pula high

57
pitched cry (pada bayi). Tanda fisik yang tampak jelas adalah ubun-ubun
tegang dan membonjol, sedangkan tanda Brudzinski dan Kernig sulit
dievaluasi. Oleh karena insidens meningitis pada umur ini sangat tinggi,
maka adanya infeksi susunan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan
demam terus menerus yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. 17
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan
gambaran klasik. Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil,
muntah dan nyeri kepala. Kadang-kadang gejala pertama adalah kejang,
gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti delirium,
stupor dan koma dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan
adalah kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul
akibat inflamasi pembuluh darah meningen, sering disertai dengan fotofobi
dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal disebabkan karena
iritasi meningen serta radiks spinalis. 17
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium,
juga karena terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf-saraf kranial VI,
VII, dan IV adalah yang paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya
sekunder karena nekrosis kortikal atau vaskulitis oklusif, paling sering
karena trombosis vena kortikal. Vaskulitis serebral dapat menyebabkan
serebritis dan abses. Trombosis vaskular dapat menyebabkan kejang dan
hemiparesis. 17

Diagnosis
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat
gejala dan tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala,
muntah, kaku kuduk dan adanya tanda rangsang meningeal kemungkinan
dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan meningitis
aseptik. Hampir semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti
meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis
melalui pungsi lumbal. Oleh karena itu setiap pasien dengan kecurigaan
meningitis harus dilakukan pungsi lumbal. 17

58
Pada bayi-bayi yang menderita sepsis pungsi lumbal harus dilakukan
oleh karena 20% pasien sepsis pada neonatus juga menderita meningitis.
Pungsi lumbal juga dilakukan pada anak-anak yang menderita bakteriemia
dengan demam tidak turun-turun atau curiga adanya rangsang meningeal.
Oleh karena meningitis bakterial bersifat progresif, hasil pemeriksaan
cairan serebrospinal yang normal pada pemeriksaan pertama pada pasien
yang diduga menderita meningitis jangan sampai menghilangkan
kewaspadaan dokter akan kemungkinan terjadinya meningitis. Observasi
ketat pasien diperlukan sampai pasien kembali normal, pungsi lumbal
dapat diulangi setelah 8 jam apabila memang diperlukan. Selama fase akut,
dalam beberapa hari pertama, sel yang dominan adalah polimorfonuklear
sampai sekitar 95%. Dengan perjalanan penyakit ada kenaikan bertahap
limfosit dan sel mononuklear yang besar dan pengobatan antibiotik yang
diberikan sebelum pasien masuk rumah sakit dapat mengacaukan
gambaran cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal yang mengandung sel
polimorfonuklear harus dipertimbangkan sebagai abnormal, karena 95%
dari populasi normal tidak menunjukkan sel polimorfonuklear dalam
cairan serebrospinal. Kenaikan kadar protein dan penurunan kadar glukose
cairan serebrospinal biasanya didapatkan pada meningitis bakterial, hal
tersebut dapat membantu membedakan dengan meningitis aseptik
walaupun gambaran laboratorium tersebut juga bisa didapatkan pada
meningitis tuberkulosa. Kenaikan kadar protein biasanya di atas 75% dan
setiap penyakit yang mengenai leptomeningen akan menyebabkan
kenaikan kadar protein cairan serebrospinal. Kadar gula biasanya menurun
sampai 20 mg% bahkan kadang-kadang dapat sampai 0 mg%. Faktor-
faktor yang diduga merendahkan gula dalam cairan serebrospinal adalah
mikroorganisme yang sangat banyak yang membutuhkan gula untuk
metabolismenya, jumlah sel yang amat tinggi,defek pada transpor gula ke
dalam cairan serebrospinal, dan mungkin ada peningkatan pemakaian gula
-oleh otak akibat kenaikan proses glikolisis. Pengukuran kadar C-reactive
protein dalam cairan serebrospinal mempunyai nilai kepekaan, ketepatan

59
dan produktif yang tinggi dalam menentukan bakterial penyebab pada
meningitis. 17
Kultur dan uji resistensi bakteri pada cairan serebrospinal baru ada hasil
setelah 24-72 jam. Untuk identifikasi bakteri penyebab yang cepat adalah
pewarnaan Gram, counterimmunoelectrophoresis dan aglutinasi lateks.
Pewarnaan Gram bukanlah untuk menegakkan diagnosis etiologis, tetapi
penting untuk menentukan pengobatan. Counterimmunoelectropkoresis
dapat membedakan bakteri seperti H influenzae, N. meningitidis,
Streptococcus group B, dan S. pneumonine, tetapi kurang sensitif dan
banyak negatif palsu. Pemeriksaan dapat dilakukan pada cairan
serebrospinal, urin dan serum. Aglutinasi lateks lebih sensitif dan dapat
dilakukan pada cairan serebrospinal atau urin, hanya memerlukan sedikit
cairan dan dalam waktu 30 menit sudah ada hasil. Pemeriksaan lain adalah
limulus Iysate dan polymerase chain reaction (PCR). Limulus Iysate pada
cairan serebrospinal berguna untuk deteksi kuman Gram negatif, tetapi
tidak dapat untuk diferensiasi jenis kuman Gram negatif. 17

Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat pengobatan yang tidak
sempurna atau pengobatan yang terlambat. Komplikasi yang mungkin
ditemukan adalah ventrikulitis, efusi subdural, gangguan elekbolit,
meningitis berulang, abses otak, kelainan neurologis berupa paresis atau
paralisis, gangguan pendengaran, hidrosefalus, pada pengawasan jangka
panjang mungkin ditemukan retardasi mental dan epilepsi. 17

Tatalaksana
Pasien meningitis purulenta pada umumnya dalam kesadaran yang
menurun yang seringkali disertai muntah dan atau diare. Oleh karenanya
untuk membina masukan yang baik, pasien perlu langsung mendapat
cairan intravena. Bila didapatkan tanda asidosis maka hal ini harus
dikoreksi dengan memberikan cairan yang mengandung korektor basa.

60
Darah atau plasma dapat diberikan menurut keperluan.17
Bila anak masuk dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0.2-
0,5 mg/ kgBB secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum
berhenti pemberian diazepam dapat diulang dengan dosis dan cara yang
Sama. Apabila kejang berhenti dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital
dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB IM, dua puluh empat jam kemudian
diberikan dosis rumat 4-5 mg/ kgBB/hari. Apabila dengan diazepam
intravena 2 kali berturut-turut kejang belum berhenti dapat diberikan
fenitoin dengan dosis 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan
dengan kecepatan dalam 1 menit jangan melebihi 50 mg atau 1 mg/ kgBB/
menit. Dosis selanjutnya 5 mg/ kgBB/hari diberikan 12-24 jam
kemudian.17
Kortikosteroid pada penelitian terbukti bahwa steroid dapat
mengurangi produksi mediator inflamasi seperti sitokin, sehingga dapat
mengurangi kecacatan neurologis seperti paresis dan tuli, dan menurunkan
mortalitas apabila diberikan pada pasien ringan dan sedang, dan diberikan
15-20 menit sebelum pemberian antibiotik. Kortikosteroid yang
memberikan hasil baik ialah deksametason dengan dosis 0,6
mg/kgBB/hari selama 4 hari. Penggunaan kortikosteroid pada pasien
meningitis masih kontroversial, tetapi kebanyakan peneliti setuju dengan
menggunakan deksametason. 17
Penggunaan antibiotik terdiri dari 2 fase, yaitu fase pertama sebelum
ada hasil biakan dan uji sensitivitas. Pada fase ini pemberian antibiotik
secara empirik. Di klinik kami penyebab terbanyak H. influenzae dan
Pneumococcus, pada neonatus Salmonella, maka digunakan kombinasi
ampisilin dan kloramfenikol secara intravena. Dosis ampisilin 200-300
mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 6 dosis, kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 4 dosis pada neonatus 50 mg/kgBB/hari). Pada bayi dan anak
pengobatan selama 10-14 hari, dan pada neonatus selama 21 hari.
Pengobatan secara empirik lain ialah: pada neonatus digunakan kombinasi
antara ampisilin dan aminoglikosid atau ampisilin dan sefotaksim. Pada

61
umur 3 bulan-10 tahun digunakan kombinasi ampisilin dan kloramfenikol
atau sefuroksim, sefotaksim atau seftriakson. Pada usia lebih dari 10 tahun
digunakan penisilin. Pada gangguan imunitas digunakan kombinasi
ampisilin dan sefotaksim. Pada pasien dengan pirau digunakan sefotaksim
dan Vancomycin. Pengobatan fase kedua setelah ada hasil biakan dan uji
sensitivitas disesuaikan dengan kuman penyebab dan obat yang serasi.
Pada meningitis terdapat peningkatan permeabilitas sawar darah otak, dan
hal ini justru menguntungkan karena antibiotik lebih mudah masuk ke
dalam ruang subaraknoid dan ventrikel. 17
Antibiotik yang dipergunakan untuk meningitis purulenta ialah: H.
influenzae: ampisilin, kloramfenikol, seftriakson dan sefotaksim. S.
preumonise: penisilin, kloramfenikol, sefuroksim, seftriakson, dan
vankomisin. N. meningitidis: penisilin, kloramfenikol, sefuroksim,
seftriakson. Kuman gram negatif: sefotaksim, septazidim, seftriakson dan
amikasin. Staphylococcus: nafsilin, vankomisin, dan rifampisin. Neonatus:
ampisilin, gentamisin, tobramisin, vankomisin, amikasin, kanamisin,
seftriakson, sefotaksim, seftazidim, dan penisilin. Dosis antibiotik pada
meningitis purulenta: ampisilin 200-300 mg/ kgbb/hari (tunggal 400 mg),
kloramfenikol 100 mg/kgbb/hari (neonatus 50 mg/kebb/hari, waspada gray
baby), sefuroksim 250 mg/kebb/hari, sefotaksim 200 my/ kgbbfhari
(nconalus 0-7 hari 100 my / kgbb/hari), seftriakson 100 mg /kgbb/ hari,
seftazidim 150 mpg/ kgbb/hari (ncenatus 60-90 mg/kebb/hari, gentamisin
neonatus: 0-7 hari 5 mg/kgbb/hari, 7-28 hari 7,5 mg/kgbb/hari, amikasin
10-15 mg/kgBB/hari. 17
Pungsi lumbal ulangan apabila klinis membaik dilakukan pada hari
ke-10 pengobatan, keadaan laboratorium membaik pengobatan diteruskan
2 hari lagi, kemudian di pulangkan. Pada nconatus pada hari ke-21 atau
kalau ada indikasi. 17

Prognosis
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor

62
antara lain: 17
1. Umur pasien
2. Jenis mikroorganisme penvcbab
3. Berat ringannya infeksi
4. Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan
5. Kepekaan bakteri terhadap antibiotik yang diberikan

Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya, pada bayi baru
lahir yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi yang
berat disertai DIC mempunyai prognosis vang kurang baik. Apabila
pengobatan terlambat ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan
kernatian atau cacat yang permanen. Infeksi yang disebabkan bakteri yang
resisten terhadap antibiotik bersifat fatal. 17
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang
adekuat dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan
dapat diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh
bakteri gram negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang
disebabkan oleh bakteri-bakteri seperti H. influenzae, pneumokok,
meningokok angka kematian dapat ditu-rankan dari 50-60% menjadi 20-
25%.17

B. Ensefalitis
Virus yang menyerang susunan saraf pusat dapat berupa meningitis
aseptik (meningitis non purulenta) dan ensefalitis. Meningitis aseptik
mempunyai gambaran klinis yang khas, adanya demam disertai adanya
tanda rangsang meningeal, gangguan kesadaran tidak begitu dalam,
peningkatan jumlah sel dengan dominasi sel limfosit dan tidak
didapatkan bakteri pada pewarnaan gram dan biakan. 17
Virus penyebab meningitis aseptik dapat juga mengenai otak yang biasa
disebut meningoensefalitis, ensefalitis akut, ensefalomiclitis. Batas
antara meningitis akut dan ensefalitis kadang tidak jelas, beberapa

63
penulis memakai tingkat kesadaran untuk membedakannya. Beberapa
mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis yang terbanyak
adanya: Herpes simpleks, arbovirus, Eastern dan Western Equine St
Louis encephalitis. Penyebab yang jarang adalah Enterovirus
(Coxsackie dan Echovirus), parotitis, adenovirus, Lassa virus, rabies,
cytomegalovirus (CMV). Enam puluh persen penyebab ensefalitis tidak
diketahui, dari penyebab yang diketahui tersebut kira-kira 67%
berhubungan dengan penyakit infeksi pada anak seperti parotitis,
varisela, morbili dan rubela, 20% adalah dari kelompok arbovirus dan
Herpes simplex, 5% dari kelompok Enterovirus, sisanya dari agen
lainnya. 17

Patogenesis
Virus masuk tubuh pasien melalui beberapa jalan. Tempat
permulaan masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan
17
saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus tersebut
akan menyebar keseluruh tubuh dengan beberapa cara: 17
a. Setempat virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan
atau organ tertentu.
b. Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
c. Penyebaran hematopen sekunder: virus berkembang biak di daerah
pertama kali masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke
organ lain.
d. Penyebaran melalui saraf: virus berkembang biak dipermukaan selaput
lendir dan menyebar melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi
belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak,
kemudian menyerang susunan saraf pusat dan akhirnya diikuti oleh
kelainan neurologis.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh: 17

64
1. Invasi dan pengerusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang
sedang berkembang biak.
2. Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan
berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular dan paravaskular.
Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.
3. Reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan
sampai yang berat. Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi
dapat juga perlahan-lahan. 17
Masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai
dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan,
malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat. Kemudian diikuti oleh
tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari distribusi dan
juasnya lesi pada neuron. Gejala-gejala tersebut berupa pasien gelisah,
iritabel, screaming attack, perabahan dalam perilaku, gangguan
kesadaran dan kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal
berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf
otak. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan
mencapai meningen. Ruam kulit kadang didapatkan pada beberapa tipe
ensefalitis misalnya pada enterovirus, varisela dan zoster. 17

Diagnosis
Di negara negara berkembang diagnosis spesifik untuk mengetahui
penyebab ensefalitis tidak mudah oleh karena terbatasnya fasilitas
yang tersedia. Di Amerika Serikat sampai 1978 lebih dari 50% kasus
ensefalitis tidak diketahui penyebabnya. 17
Untuk memastikan diagnosis ensefalitis didasarkan atas gambaran

65
klinis, pemeriksaan virologis dan patologi anatomi. Walaupun tidak
begitu membantu gambaran cairan serebrospinal dapat pula
dipertimbangkan. Biasanya berwarna jernih, jumlah sel berkisar antara
50 sampai 200 dengan dominasi sel limfosit. Jumlah protein kadang-
kadang meningkat dan kadar glucosa biasanya masih dalam batas
normal. 17
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi yang difus
(aktivitas lambat bilateral). Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, apabila didapat lesi fokal
pada pemeriksaan EEG atau CT-scan, pada daerah tersebut dapat
dilakukan biopsi, tetapi apabila pada pemeriksaan CT-scan dan EEG
tidak didapatkan lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat
tanda klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak didapatkan maka
biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya
menjadi predileksi virus Herpe simplex. 17

Tata Laksana
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di
rumah sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari
penanganan tersebut adalah mempertahankan fungsi orgar, yang
caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma yaitu
mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara
enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit,
koreksi terhadap gangguan asam basa darah. 17
Bila kejang dapat diberi diazepam 0,3-4),5 mg/kgBB IV
dilanjutkan dengan fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan
kompres dingin dapat diberikan apabila pasien panas. Apabila
didapatkan tanda kenaikan tekanan intrakranial dapat diberi
deksametason 1 mg/kgBB/x dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5
mg/kgBB/hari. Pemberian deksametason tidak di indikasikan pada
pasien tanpa tekanan intrakranial yang meningkat atau keadaan umum

66
telah stabil. Mannitol juga dapat diberikan dengan dosis 1,5-2 g/kgBB
IV dalam periode 8-12 jam. Perawatan yang baik berupa drainase
postural dan aspirasi mekanis yang periodik pada pasien ensefalitis
yang mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada
tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan.
Pada pasien herpes ensefalitis dapat diberikan Adenosine Arabinose 15
mg/ kgBB/hari IV diberikan selama 10 hari. Pada beberapa penelitian
dikatakan pemberian Adenosine Arabinose untuk herpes ensefalitis
dapat menurunkan angka kematian dan 70% menjadi 28%.17
Komplikasi
Kesadaran pasien sewaktu keluar dari rumah sakit bukan
merupakan gambaran penyakit secara keseluruhan karena gejala sisa
kadang-kadang baru timbul setelah pasien pulang. Beberapa kelainan
yang mungkin dapat dijumpai antara lain retardasi mental, iritabel,
emosi tidak stabil, sulit tidur, hallusinasi, enuresis, anak jadi perusak
dan tindakan asosial lainnya. Adanya gangguan motorik dan epilepsi
tidak jarang didapatkan pada pasien. 17

67
BAB IV
DISKUSI KASUS

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu


kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi
atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.6
Pada kasus ini, penyebab anak mengalami cedera kepala karena terjatuh
dan kepala terbentur lemari. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan
bahwa kebanyakan cedera kepala terjadi sekunder terhadap kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, penyerangan, kegiatan rekreasi, dan pelecehan anak. Jatuh adalah
penyebab paling umum dari cedera pada anak-anak muda dari 4 tahun,
berkontribusi 24% dari semua kasus trauma kepala.9,10 Untuk gejala cedera kepala
traumatik sendiri adalah kehilangan kesadaran, penurunan kesadaran atau
perubahan kesadaran, amnesia, dan defisit neurologis yang ditentukan oleh jenis
lesi intrakranial yang terjadi.12 Pada pasien gejala yang muncul adalah hanya
terjadi perubahan kesadaran namun, tidak terdapat manifestasi gejala lain pada
pasien ini.
Pada kasus ini untuk pemeriksaan kesadaran didapati GCS 13 (E3V5M5)
yang bila disesuaikan dengan teori untuk klasifikasi cedera kepala, pasien anak ini
mengalami cedera kepala ringan. Untuk pemeriksaan fisik lainnya ditemukan

68
adanya luka dengan kesan hecting ukuran 3 cm x 1 cm dan hematoma periorbita
sinistra. Hal ini terjadi akibat trauma yang dialami oleh pasien.
Untuk pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil trombositopenia dengan
trombosit 125x103/mm2. Kondisi dapat terjadi pada pasien dengan cedera kepala
bila dihubungkan dengan teori karena terjadi peningkatan konsumsi trombosit
secara bermakna pada tempat migrasi lekosit segera setelah trauma kepala. 20,21,22
Selain itu, terdapat sedikit peningkatan neutrofil, yang jika berdasarkan teori
dijelaskan dapat terjadi karena respon inflamasi pasca trauma kepala minor pada
anak. Hasil penelitian tersebut mengesankan bahwa stress karena trauma dapat
menyebabkan demarginasi lekosit yang nyata walaupun trauma kepala yang
terjadi bukan tergolong berat.1
Prinsip penatalaksanaan trauma kepala adalah stabilisasi tanda vital,
mempertahankan tekanan intrakranial yang fisiologis dan melakukan koreksi
defisit elektrolit, dan parameter-parameter dari hasil pemeriksaan darah lengkap
serta mengevaluasi trauma ditempat lain.1
Terapi konvensional pada cedera otak adalah head up 30°, pencegahan
hipotermia/ hipertermia, analgesia, sedasi, terapi hyperosmolar, diuretic, dan
intervensi pembedahan lainnya. Head-up 30° bertujuan menurunkan tekanan
intracranial menggunakan prinsip gravitasi. Keuntungan lain dari posisi ini adalah
meningkatkan venous return dan memperbaiki distribusi dari cairan cerebrospinal.
Pada kasus anak ini, anak juga mengalami kejang. Hal ini sesuai dengan
teori untuk komplikasi dari trauma kepala yang mengatakan tipe langsung
epilepsi-pasca trauma ialah serangan kejang terjadi dalam beberapa detik setelah
kecelakaan akibat stimulasi mekanik pada jaringan otak. Ada juga tipe dini yang
mana kejang terjadi dalam 24-48 jam setelah kejadian dan hal ini mungkin
disebabkan oleh edema, perdarahan, kontusio, laserasi atau nekrosis otak. Kejang
dapat berupa kejang umum atau fokal. Kejang ini relatif sering pada anak dan
dapat timbul pada trauma kapitis yang tidak berat. Status epileptikus terdapat pada
1/5 anak tersebut dan terutama terjadi pada jam-jam pertama setelah trauma. 17
Status epileptikus (SE) adalah kejang lama lebih dari 30 menit atau kejang
berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara kejang. Terdapat dua jenis status

69
epileptikus, yaitu SE konvulsif (parsial/fokal motorik dan tonik klonik umum) dan
SE non-konvulsif (absans dan parsial kompleks). Status epileptikus konvulsif
pada anak merupakan kegawatan yang mengancam jiwa dengan risiko terjadinya
gejala sisa neurologis.2 Pada kasus ini, pasien mengalami kejang selama 20 menit
setelah terbentur yang ditandai dengan pergerakan tangan abnormal. Keadaan ini
termasuk dalam SE konvulsif berdasarkan teori.
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang
adalah untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini
akan memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah beroksigen
ke otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau
iskemia.33,34 Pada kasus ini didapatkan informasi bahwa anak mengalami kejang
selama 20 menit setelah terbentuk dan tangan bergerak secara abnormal maka
tatalaksana yang bisa diberikan, yaitu pemasangan akses intravena, pengambilan
darah untuk pemeriksaan: darah perifer lengkap, glukosa, dan elektrolit,
pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara intravena (kecepatan 5 mg/ menit),
atau dapat diberikan diazepam rektal 0,5 mg/kgBB (untuk berat badan <10 kg
diberikan 5 mg, bila berat badan >10 kg diberikan 10 mg, dosis maksimal 10
mg/kali).2 Pada kasus ini, tatalaksana yang diberikan sudah sesuai dengan teori.
Pada kasus ini, anak juga mengalami demam selama 3 hari naik turun.
Penyebab demam tidak diketahui maka kasus ini bisa didiagnosis banding dengan
meningitis dan ensefalitis. Untuk diagnosis banding meningitis dan ensefalitis
karena pasien demam dan juga pasien mengalami kejang dan disertai penurunan
kesadaran namun, untuk pemeriksaan neurologis, tidak ditemukan kelainan.
Berdasarkan teori, meningitis dan ensefalitis dapat memberikan gejala dimulai
dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala kemudian dapat diikuti
kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran seperti delirium,
stupor dan koma dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah
kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig.17 Untuk menyingkirkan diagnosis
banding meningitis bisa dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal dan untuk
diagnosis ensefalitis bisa disingkirkan dengan pemeriksaan CSS, EEG dan
pemeriksaan pencitraan otak.17

70
DAFTAR PUSTAKA

1. Erny, Prasetyo O, Prasetyo D. Trauma Kepala pada Anak: Klasifikasi


hingga Pemantaun Jangka Panjang. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma. 2019;8(2):42-58.
2. Pudjiadi AH, Latief A, Budiwardhana N. Buku ajar pediatri gawat darurat.
Jakarta: Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat IDAI, 2011.
3. Mangunatmadja I, Handryastuti S. Rekomendasi penatalaksanaan trauma
kepala. Jakarta: Badan penerbit IDAI, 2016.
4. Pudjiadi AH, Hegar B., et all. Pedoman pelayanan medis. Edisi 2. Jakarta:
IDAI, 2011.
5. Marino BS, Fine KS. Blueprint pediatric. 7th ed. Philadelphia: Wolter
Kluwer Health, 2020.
6. Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E. Traumatic brain injury in
the United States: emergency department visits, hospitalizations, and
deaths. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention.
National Center for Injury Prevention and Control. 2006. p. 111-112.
7. Haydel MJ, Saaed W. Pediatric head trauma. Louisiana: StarPearls
Publishing, 2019.
8. Bachur RG, Shaw KN. Fleisher & Ludwig’s textbook of pediatric
emergency medicine. 7th ed. Philadelphia: Wolter Kluwer Health, 2015.

71
9. Verire MJ. Pediatric Head Trauma. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/907273. Accessed on June 17th,
2013.
10. Hymel KP, Stoiko MA, Herman BE, et al. Head injury depth as an
indicator of causes and mechanisms. Pediatrics. 2010. p. 712-720.
11. Cameron P, Browne G., et all. Textbook of paediatric emergency medicine.
3rd ed. Australia: Elsevier, 2019.
12. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kegawatan pada bayi dan
anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, 2012.

13. Saanin S. Cedera Kepala [internet].


http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Sebab.html. [diakses 2020 Okt
27]
14. American College of Surgeon Committee on Trauma. 2004. Cedera
Kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli
Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI.
15. Hickey JV. 2003. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of
Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia :
lippincot William & Wilkins.
16. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala.
Jakarta : Deltacitra Grafindo.
17. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI,
1999.
18. Kastilong M, Subrata I, Tangkudung G, Khosama H. Rasio neutrofil
limfosit dan luaran cedera kepala. J sinaps. 2018;1(2): 20-28.
19. Rovlias A and Kotsou S. The Blood Leucocyte count and its prognostic
significance in severe head injury. Surg Neurol. 2001; 55(4):190–6
20. Lippi G, Carbucicchio A, Benatti M, Cervellin G. The mean platelet
volume is decreased in patients with mild head trauma and brain injury.
Blood Coagul Fibrinolysis. 2013;24(7): 780–3.

72
21. Turfan M, Erdogan E, Ertas G, Duran M, Murat SN, Celik E., et al.
Usefulness of mean platelet volume for predicting stroke risk in atrial
fibrillation patients. Blood Coagul Fibrinolysis. 2013;24(1): 55–8
22. Berksoy EA and Anil M. Effectiveness of complete blood count
parameters for Predicting intracranial injury in children with minor head
trauma. Sanamed. 2019;14(1): 59-65
23. Shi J, Dong B, Mao Y,Guan W, Zhu Rang Wang S. Review: traumatic
brain injury and hiperglycemia, a potentially modifiable risk factor.
Oncotarget. 2016; 7(43): 71052-7061
24. Thelin EP, Nelson DW, Bellander BM. A review of the clinical utility of
serum S100B protein level in the assessment of traumatic brain injury. Act
Neurochir. 2017;159:209-25
25. Aquino L, Kang CY, Harada MY, Ko A, Do- Nguyen A, Ley EJ, et al,. Is
Routine Continuous EEG for ISSN 1978-2071 (Print); ISSN 2580-5967
(Online) Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 8(2) : 42-58,
September 2019 Traumatic Brain Beneficial?. Am (12):1433-1437
26. Kochanek PM, Carney N, Adelson PD, Ashwal S, Bell MJ, Bratton S, et
al, 2012. Guidelines for the acute medical management of severe traumatic
brain injury in infants, children, and adolescents-- second edition. Pediatr
Crit Care Med, 13 Suppl 1: S1-82.
27. Huff, JS, Fountain NB. Pathophysiology and definitions of seizures and
status epilepticus. Emerg Med Clin N Am. 2011;29:1-13.
doi:10.1016/j.emc.2010.08.001
28. Fisher RS et all. Instruction manual for the ILAE 2017 operational
classification of seizure types. Epilepsia. 2017;58(4). doi:
10.1111/epi.13671.
29. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al.
Epilepsy. Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th
Edition: McGraw Hill. 2008.
30. Major P, Thiele E.A. Seizures in Children: Determining the Variation.
Pediatrics in Review. 2007;28:363-371.

73
31. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.
2006;53:257-277
32. Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency &
Critical Care UK Annual Congress. 2013
33. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical
Guidelines. NSW Department of Health. 2009.
34. Febrile Convulsions in Children. Victoria Departement of Health.
December 2010.

74

Anda mungkin juga menyukai