Anda di halaman 1dari 31

Referat

GANGGUAN PERILAKU DAN KOGNITIF PADA


PENYAKIT PARKINSON

Disusun Oleh:
dr. Juwita, M.Biomed

Pembimbing:
dr. Syahroni, Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-I NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
RUMAH SAKIT JIWA
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Salawat dan salam
kepada Rasulullah SAW yang telah memberi teladan bagi kita umatnya.

Tinjauan Kepustakaan ini berjudul Gangguan Perilaku dan Kognitif


pada Penyakit Parkinson yang diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani
Program Pendidikan Dokter Spesialis di Bagian/SMF Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala – RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada


dr. Syahroni, Sp.S yang telah membimbing penulis sehingga tugas ini dapat
diselesaikan, juga kepada kawan-kawan dokter muda terima kasih atas segala
bantuan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
penulis mengharapkan kritikan yang membangun, sehingga dapat tercapai
perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih
dan mengharapkan semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Banda Aceh, Desember 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................
ii
DAFTAR ISI...................................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.....................................................................
1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Definisi Parkinson...................................................................
3
2.2. Epidemiologi Parkinson..........................................................
3
2.3. Klasifikasi Parkinson...............................................................
3
2.4. Etiologi Parkinson...................................................................
3
2.5. Patofisiologi Parkinson...........................................................
4
2.6. Manifestasi Klinis Parkinson..................................................
7
2.7. Pemeriksaan Penunjang Parkinson..........................................
8
2.8. Penatalaksanaan Parkinson.....................................................
10
2.8.1 Terapi Dopaminergik..................................................
10..........................................................................................
2.8.2 Inhibitor MAO B.........................................................
11
2.8.3 Inhibitor Catechol-O-Methyl Transferase...................
12
2.8.4 Target Farmakologis Non-Dopaminergik...................
12

iii
2.8.5 Pembedahan.................................................................
13
2.9 Gangguan Perilaku dan Kognitif pada Parkinson....................
14
2.9.1 Gangguan Pengendalian Impuls..................................
14
2.9.2 Apatis...........................................................................
15
2.9.3 Psikosis........................................................................
17
2.9.4 Gangguan Kognitif dan Demensia..............................
20

BAB III KESIMPULAN


3.1. Kesimpulan...........................................................................
22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
23

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Neuron Dopaminergik pada Jalur Nigro-Striatal..........................


4
Gambar 2.2.Neuron Dopaminergik Normal dan Neuron Dopaminergik
pada Parkinson..............................................................................
5

iv
v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif progresif
kronik, menempati peringkat kedua terbanyak diderita setelah penyakit
Alzheimer.1 Sindrom ini diperkenalkan oleh James Parkinson pada tahun 1817
sebagai shaking palsy; dan dinamakan paralysis agitans oleh Marshal Hall
tahun 1841.2 Prevalensi Parkinson meningkat seiring dengan meningkatnya
usia, di seluruh dunia pasien Parkinson mencapai 5 juta orang. Parkinson
diderita oleh 1% populasi berusia di atas 60 tahun dan 4% pada orang yang
berusia 80 tahun; jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun. 3,4 Morbiditas
penyakit Parkinson terjadi pada 1–2 per 1000 populasi, umumnya pada laki-
laki dan kelompok usia lanjut.4
Insiden penyakit Parkinson di Amerika Serikat mencapai sekitar 1 juta
orang. Di Indonesia, penyakit Parkinson diperkirakan menyerang 1 per 272
populasi.5Angka harapan hidup saat ini secara keseluruhan mengalami
peningkatan, diperkirakan jumlah orang dengan penyakit Parkinson akan
meningkat di masa depan.6
Penyakit Parkinson terjadi akibat penurunan jumlah dopamin di otak
(berperan dalam mengendalikan gerakan) akibat kerusakan sel saraf di
substansia nigra pars compacta (SNpc) di batang otak1 serta adanya agregasi
protein abnormal berupa Lewy bodies, yang mengandung α-synuclein.7
Progresivitas penyakit Parkinson dapat bervariasi antara satu pasien
dengan pasien lainnya.1 Penyakit ini bersifat progresif yang mengenai gerakan
atau kontrol terhadap gerakan termasuk bicara dan memiliki onset yang
bersifat insidious (tidak diketahui dengan pasti kapan mulai sakit). Pada
penyakit Parkinson dapat ditemukan gejala motorik maupun non-motorik.
Gejala motorik dominan pada Parkinson berupa tremor pada saat istirahat
(resting tremor), rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural tubuh.

1
Sementara gejala non-motorik yang dapat ditemukan berupa depresi, rasa
cemas, halusinasi, psikosis, delusi, dan gangguan tidur yang diikuti dengan
gejala motorik onset lambat seperti ketidakstabilan postural, kekakuan dalam
gaya berjalan, serta kesulitan berbicara dan menelan.8 Gangguan perilaku dan
kognitif sebagai gejala non-motorik, sangat sering ditemukan pada pasien
Parkinson dan prevalensi kumulatifnya meningkat seiring dengan
perkembangan penyakit. Gejala-gejala tersebut sangat mengganggu pasien
maupun keluarganya, dan berdampak pada menurunnya kualitas hidup
pasien.9 Oleh karena itu, penulis tertarik mempelajari gangguan perilaku dan
kognitif pada pasien penyakit Parkinson serta penatalaksanaan yang sesuai.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Parkinson


Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeneratif progresif kronik,
ditandai kematian awal neuron dopaminergic di substansia nigra pars compacta
(SNpc) dan adanya alfa synuclein (aSyn; protein intraseluler) yang tersebar luas.10

2.2 Epidemiologi Parkinson


Insiden dan prevalensi penyakit Parkinson meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia, kejadian 1% pada individu berusia di atas 65 tahun.
Morbiditas penyakit Parkinson terjadi pada 1–2 per 1000 orang populasi. Di India,
kejadian Parkinson pada usia di atas 60 tahun adalah 247 per 100.000 penduduk.
Di Indonesia, belum terdapat data resmi yang memublikasikan jumlah pasien
Parkinson secara keseluruhan, namun demikian, penyakit Parkinson diperkirakan
menyerang 1 per 272 orang populasi di Indonesia. Penyakit ini ditemukan lebih
banyak 2 kali pada laki-laki dibanding perempuan. Diduga terdapat efek protektif
dari hormon seks perempuan.10

2.3 Klasifikasi Parkinson


Early Onset Parkinson Disease (EOPD) didefinisikan sebagai munculnya
onset Parkinsonian sebelum usia 40 tahun; sekitar 3-5% dari seluruh penyakit
Parkinson. EOPD diklasifikasikan menjadi 2 kelompok10:
a. Juvenile (muncul onset penyakit Parkinson sebelum usia 21 tahun)
b. Young onset (muncul onset penyakit Parkinson pada usia 21-40 tahun)

2.4 Etiologi Parkinson


Bentuk genetik penyakit Parkinson hanya 5-10 % dari semua kasus. Adanya
riwayat keluarga, muncul onset penyakit sejak muda (awal), dan gejala klinis
spesifik (contoh dystonia) mengarahkan pada dugaan bentuk genetic Parkinson
pada pasien. Dasar genetik dapat terlihat pada lebih dari 10% individu YOPD

3
(Young Onset Parkinson Disease), dan proporsi genetik ditemukan meningkat
lebih dari 40% bila onset penyakit muncul pada usia di bawah 30 tahun. Gen
utama yang diidentifikasi dan terbukti sebagai penyebab penyakit Parkinson
adalah Parkin (PARK 2), Leucine Rich Repeat Kinase 2 (LRRK 2/PARK 8), α-
synuclein (SNCA-PARK 1/PARK 4), PTEN induced putative kinase 1 (PINK
1/PARK 6), DJ 1 (PARK 7), ubiquitin-C-terminal hydrolase like 1 (UCH-L1) dan
ATPase tipe 13A2.10

2.5 Patofisiologi Parkinson


Patofisiologi penyakit Parkinson mencakup hilangnya atau degenerasi neuron
dopaminergik di substansia nigra pars compacta (SNpc) dan akumulasi Lewy
Bodies (agregat intrasel abnormal yang mengandung protein seperti α-synuclein
dan ubiquitin). Sekitar 60 – 70% neuron di substansia nigra pars compacta (SNpc)
telah hilang sebelum muncul gejala Parkinson. 10

Gambar 2.1 Neuron Dopaminergik pada Jalur Nigro-Striatal9

Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu regio kecil di
otak, sebagai pusat kontrol atau koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya
menghasilkan neurotransmitter yang disebut dopamine, yang berfungsi untuk
mengatur seluruh gerakan otot dan keseimbangan tubuh yang dilakukan oleh

4
sistem saraf pusat. Dopamine diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara
sel-sel neuron di otak terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan
refleks postural, serta kelancaran komunikasi. Pada penyakit Parkinson sel-sel
neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamine menurun dan
akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat (SSP) menurun dan
menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia), kelambatan bicara dan berpikir
(bradifrenia), tremor dan kekauan (rigiditas). 10

Gambar 2.2 Neuron Dopaminergik Normal dan Neuron Dopaminergik


Degenerasi pada Parkinson9

Patologi Lewy Bodies dimulai dari neuron kolinergik dan monoaminergik


batang otak dan neuron pada sistem olfaktorius. Bila perjalanan penyakit
progresif, lesi mulai mengenai area limbik dan neokortikal. Hilangnya neuron
dopaminergik yang awalnya terbatas di SNpc, kemudian menyebar luas seiring
waktu dan penyakit memasuki tahap lanjut. Kehilangan neuron dopaminergik di
striatum menyebabkan gangguan atau kegagalan kontrol motorik pasien
Parkinson.10
Sirkuit motorik Parkinson terdiri dari proyeksi kortiko-striatal dari korteks
motorik primer, area motorik suplementer, korteks motoric singulata dan korteks
pre-motorik, yang berakhir di dendrit neuron striatal. Terdapat 2 jalur yang
berperan pada sirkuit ini, yaitu jalur direk dan jalur indirek. Jalur direk adalah
koneksi monosinaptik antara neuron medium-spiny yang mengekspresikan
reseptor dopamine D1 dengan neuron GABAergik di globus pallidus internus

5
(Gpi) dan neuron GABAergik di substansia nigra pars retikulata (SNpr).
Sementara jalur indirek dimulai dari neuron medium-spiny yang mengekspresikan
reseptor dopamine D2, kemudian berproyeksi ke globus pallidus externus (Gpe)
dan mencapai Gpi melalui nucleus subthalamik.10
Melalui kedua jalur ini, tonus dopaminergik striatal meregulasi aktivitas output
GABA-ergik di ganglia basalis. Terjadi reduksi D1 (reseptor Dopamin 1) yang
memediasi aktivitas jalur direk dan peningkatan D2 (reseptor Dopamin 2) yang
memediasi aktivitas jalur indirek, menyebabkan peningkatan laju output neuron
GABA di ganglia basalis. Peningkatan ini akan sangat menghambat (over-
inhibisi) downstream area thalamo-cortical dan batang otak. Perubahan aktivitas
cerebellar dan berubahnya interaksi antara ganglia basalis dengan cerebellum,
berkontribusi ke patofisiologi tremor Parkinson.10
Saraf parasimpatik dan sistem saraf enterik merupakan struktur awal terkena
lesi patologi αSyn. Disfungsi aksis otak - saluran cerna - mikrobiota pada
Parkinson diduga terkait gejala non-motorik yang terjadi sebelum muncul gejala
motorik klasik, mendukung hipotesis bahwa proses patologis menyebar dari
saluran cerna ke otak. Mikrobiota usus berperan penting meregulasi gerakan;
perubahan mikrobiota mungkin menjadi faktor resiko penyakit Parkinson.10
Penelitian Sampson et al (2016) menggunakan hewan coba dengan over-ekspresi
αSyn melaporkan perubahan mikrobiota usus dibutuhkan untuk munculnya defisit
motorik, aktivasi mikroglia dan berkembangnya patologi αSyn.11 Studi Finnish
(2015) menunjukkan bahwa perubahan komposisi microbiota, terutama
berlebihnya Enterobacteriaceae berhubungan positif dengan derajat berat
instabilitas postural dan kesulitan berjalan pada pasien Parkinson.12
Stress oksidatif diduga mendasari proses degenerasi neuron SNc;
menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamine quinon yang
dapat bereaksi dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini
menumpuk, tidak dapat digradasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway, sehingga
menyebabkan kematian sel-sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu
dipertimbangkan antara lain:
a. Efek lain dari stres oksidatif yaitu terjadinya reaksi antara oksiradikal
dengan nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric-radical.

6
b. Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin
trifosfat (ATP) dan akumulasi elektron-elektron yang memperburuk stres
oksidatif, menyebabkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.
c. Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang
memicu apoptosis sel-sel SNc.

2.6 Manifestasi Klinis Parkinson


Defisiensi dopamine di ganglia basalis menyebabkan munculnya gejala
motorik Parkinsonian klasik berupa bradykinesia, tremor, rigiditas dan instabilitas
postural (muncul pada tahap lanjut). Penyakit Parkinson juga terkait dengan gejala
non-motorik, yang dapat mendahului gejala motorik. Gejala non-motorik ini
menjadi masalah di tahap lanjut penyakit Parkinson.10
Penyakit Parkinson didefinisikan secara klinis oleh adanya bradykinesia,
kombinasi dengan sedikitnya satu atau lebih manifestasi berupa kekakuan otot,
resting tremor, instabilitas postural (muncul pada tahap lanjut). Gejala motorik
dimulai unilateral, dan asimetri yang menetap selama perjalanan penyakit.
Sebagian besar pasien mengalami gejala non-motorik. Gejala non-motorik dapat
mendahului gejala motorik beberapa tahun sebelumnya. Gejala non-motorik
meliputi:10
a. Gangguan tidur (sering terbangun, Rapid Eye Movement Sleep Behaviour
Disorder, somnolen)
b. Hiposmia
c. Gangguan fungsi otonom (hipotensi ortostatik, disfungsi urogenital dan
konstipasi)
d. Gangguan kognitif
e. Gangguan mood
f. Nyeri.
Pada pasien Parkinson yang bertahan lebih dari 20 tahun setelah onset,
umumnya pasien mengalami demensia, halusinasi, hipotensi simptomatik,
konstipasi dan inkontinensia urine. Kekakuan berjalan, instabilitas postural, jatuh
juga dilaporkan pada pasien Parkinson.

7
Observasi klinis menunjukkan ada 2 subtipe utama Parkinson, yaitu:10
a. Penyakit Parkinson dominan tremor (relatif tidak ada gejala motorik
lainnya)
b. Penyakit Parkinson dominan non-tremor (akinesia-rigid syndrome,
Postural Instability Gait Disorder (PIGD)).
Penyakit Parkinson dominan tremor sering terkait dengan laju progresi
lambat dan disabilitas fungsional yang tidak terlalu berat dibanding jenis non-
tremor. Sekitar 90% pasien penyakit Parkinson mengalami gejala non-motorik
selama perjalanan penyakitnya, umumnya tidak berespon baik terhadap terapi
Dopamin. Gangguan mood dan konstipasi sebagian besar akan dialami pasien di
tahun-tahun berikutnya. Gejala otonom akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia, derajat beratnya penyakit atau seiring tingginya dosis terapi
dopamine. Gejala urinary meliputi urgensi, frekuensi, nokturia, inkontinensia
adalah gejala yang sering ditemukan. Gejala sensori nyeri dapat ditemukan pada
dua pertiga pasien, diduga akibat proses nosiseptif abnormal.10
Pasien Parkinson beresiko enam kali mengalami demensia, umumnya
demensia muncul di tahap progresivitas penyakit. Lebih dari 60% pasien penyakit
Parkinson mengalami demensia dalam 12 tahun setelah terdiagnosis. Hiposmia
muncul pada 90% pasien di tahap awal penyakit, dan dapat mendahului gejala
Parkinson. Banyak gangguan muncul di tahap lanjut perjalanan penyakit,
termasuk gejala non-motorik, gejala motorik resisten-dopamin, komplikasi
motorik akibat terapi dopamine jangka panjang.10

2.7 Pemeriksaan Penunjang Parkinson


Penyakit parkinson tahap dini merupakan tantangan diagnostik dengan
banyaknya diagnosis banding yang terdiri dari penyakit yang tidak berkaitan
dengan degenerasi substansia nigra atau defisiensi dopamine pada striatum.
Kriteria klinis UK Parkinson’s Disease Society Brain Bank (UKPDSBB) yang
umum digunakan memiliki keakuratan diagnostik hanya sekitar 80% saat
kunjungan pertama yang diikuti dengan perkembangan penyakit Parkinson tahap
dini pada pasien. Oleh karenanya, pencitraan fungsional dibutuhhkan untuk
mengkonfirmasi diagnosis klinis dan untuk memahami patofisiologi yang
mendasarinya. SPECT (juga dikenal sebagai DaTscan) berguna untuk menilai

8
densitas terminal dopaminergik saraf presinaps di dalam striatum karena dapat
membantu membedakan penyakit Parkinson dengan penyakit tertentu dengan
tanpa terjadi defisiensi terminal dopaminergik saraf presinaps.13 18F – DOPAL –
6 – fluoro - 3, 4 - dihydroxyphenylalnine (18F - DOPA) positron emission
tomography scan (PET scan) menilai integritas dopaminergik preninaps dan dapat
menggambarkan secara akurat. N – ω – fluoropropyl - 2β – carbomethoxy - 3β -
(4 - iodophenyl) nortropane (FP -CIT) merupakan agen pencitraan transporter
dopamine (DAT) yang selektif dan kuat. FP-CIT lebih sensitif daripada scan F-
DOPA dalam mendeteksi penurunan dopamine di striatum. Sebuah penelitian
yang membandingkan sensitivitas dan spesifisitas dari uptake di striatum dan
putaminal kontralateral berdasarkan penemuan FP-CIT SPECT dan F-DOPA PET
pada penderita Parkinson dan orang sehat terkontrol dan ditemukan mencapai
100% pada fase awal penyakit tersebut. Pada saat uptake awal dinilai, tingkat
spesifisitas FP-CIT mencapai 100 % tetapi berkurang untuk F-DOPA yaitu
mencapai 90 %, sedangkan sensitivitas sebesar 91 % untuk kedua teknik scanning
tersebut.
Standar pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki peran
utama dalam menegakkan diagnosis penyakit Parkinson; bagaimanapun, MRI 7
Tesla yang dikombinasikan dengan teknik yang canggih, seperti pencitraan tensor
diffuser, saat ini sedang diteliti untuk membantu menegakkan diagnosis penyakit
Parkinson. MRI membantu mendiagnosis pasien dengan gejala parkinsonisme,
dan juga membantu dalam menunjukkan perubahan spesifik pada ganglia basal
dan struktur infra-tentorial pada pasien parkinsonisme atipikal.
Saat ini, tidak ada pemeriksaan dasar cairan serebrospinal (CSF) yang berguna
secara klinis untuk mendiagnosis penyakit Parkinson. Terdapat beberapa
penelitian yang menilai kadar protein dalam CSF (seperti, kadar perbedaan jenis
α-synuclein) tetapi sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan tersebut masih
rendah. Padahal, rendahnya kadar plasma apolipoprotein A1 berkaitan dengan
tingginya tingkat keparahan gangguan motorik, namun kegunaanya sebagai
biomarker darah tidak ditetapkan sampai saat ini. Hambatan utama dalam
penelitian penyakit Parkinson adalah tidak adanya biomarker yang tepat dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis penyakit pada fase

9
awal atau bahkan tahap prodrominal penyakit, dan tidak ada satu ukuran saat ini
yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan untuk biomarker pada penyakit
Parkinson.

2.8 Penatalaksanaan Parkinson


Tujuan utama penelitian pada penyakit Parkinson adalah untuk
mengembangkan terapi modifikasi penyakit yang dapat memperlambat atau
menghentikan proses neurodegenerasi, namun, tidak ada terapi modifikasi
penyakit yang definitif untuk mencapai tujuan tersebut.
2.8.1 Terapi Dopaminergik
American Academy of Neurology (AAN) merekomendasikan untuk
memulai salah satu terapi obat yang tersedia saat pasien mulai memiliki
gangguan fungsional. Terapi medis tersedia untuk pengobatan gejala motorik
termasuk levodopa atau carbidopa, agonis dopamine (kedua tipe ergot dan non-
ergot), inhibitor monoamine oxidase-B (MAO-B), injeksi agonis dopamine
(apomorphine), inhibitor catechol-O-methyltransferase (COMT), inhibitor
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan anti kolinergik. Pada tahap lanjut
penyakit Parkinson, pemberian obat dapat ditambahkan melalui jalur alternatif
(misalnya, infus intrajejunum, injeksi subkutan atau patch trandermal).
Fluktuasi dan dikinesia motorik yang terus-menerus menjadi indikasi
pengobatan dengan deep brain stimulation (DBS). Terapi dopaminergik sangat
efektif pada gejala bradikinesia dan rigiditas tetapi inhibitor monoamine MAO
B termasuk cukup efektif. Agonis dopamine dan levodopa membantu untuk
mengurangi progresi dan disabilitas penyakit. Gejala tremor membaik dengan
pemberian obat antikolinergik seperti trihexyphenidyl tetapi memiliki efek
yang buruk dan tidak konsisten terhadap terapi pengganti dopamine.14
Mekanisme gejala motorik utama pada penyakit Parkinson adalah terjadi
deplesi dari dopamine striatum akibat kehilangan neuron dopaminergik pada
substansia nigra pars compacta (SNpc). Pemberian levodopa sebagai pengganti
dopamine striatum merupakan pilihan yang utama dalam pengobatan penyakit
Parkinson, oleh karenanya beberapa target tambahan untuk terapi
dopaminergik telah diidentifikasi. Levodopa menjadi terapi gold standar dan

10
hampir semua pasien membutuhkan obat ini selama masa sakitnya.
Penggunaan jangka panjang obat levodopa dipersulit dengan fluktuasi dan
diskinesia motorik. Mekanisme yang mendasarinya masih belum jelas. Salah
satu hipotesis yang diterima adalah keterlibatan mekanisme presinap dan
postsinaps yang menyebabkan perangsangan reseptor dopamine striatum yang
tidak fisiologis, sehingga menyebabkan berbagai respons gangguan adaptasi
neuron. Pemberian obat yang tidak menentu akibat waktu paruh levodopa yang
pendek, serta variabilitas dalam absorbsi dan transportasi pada blood-brain
barrier berperan penting dalam perkembangan komplikasi motorik.15
Reseptor dopamine terutama menargetkan kelompok reseptor D2, salah
satunya derivat ergoline. Baik levodopa dan agonis dopamine menyebabkan
nausea, kantuk di siang hari dan edema, namun efek samping tersebut lebih
sering ditemukan pada agonis dopamine. Agonis dopamine diketahui dapat
menyebabkan gangguan pengendalian impuls dan halusinasi akibat obat
(terutama pada orang lanjut usia dengan gangguan kognitif), oleh karena itu
obat-obat tersebut harus dihindari pada kelompok yang berisiko tinggi.
2.8.2 Inhibitor Mao B
Inhibitor MAO B menyebabkan peningkatan pada konsentrasi dopamine
di sinaps dan perbaikan gejala. Selegiline, inhibitor MAO B irreversibel yang
selektif, telah membuktikan efektivitasnya sebagai tambahan untuk obat
levodopa sejak 1970.16 Penelitian menunjukkan pemberian monoterapi
selegiline pada fase awal penyakit Parkinson membantu memperlambat
progresi penyakit. Pada penyakit Parkinson tahap lanjut, selegiline memiliki
kualitas hemat levodopa dan cukup dapat ditoleransi dalam pemakaian jangka
panjang.
Rasagiline, inhibitor MAO B irreversible lainnya, merupakan terapi
tambahan pada pasien dengan gejala fluktuasi motorik. Penelitian retrospektif
selama 3 tahun menilai efektivitas inhibitor MAO B pada penyakit Parkinson,
dilaporkan memiliki kemanjuran yang sama dalam mengontrol gejala motorik
pada penderita Parkinson dengan pemberian terapi yang optimal17, terapi
inhibitor MAO B berkaitan dengan penurunan kebutuhan levodopa dan
menurunkan frekuensi diskinesia. Safinamide merupakan inhibitor MAO B

11
reversibel dengan sifat antiglutaminergik. Safinamide membantu peningkatan
pengendalian gejala motorik yang berlebihan pada penderita Parkinson dan
memperbaiki kualitas hidup.

2.8.3 Inhibitor Catechol-O-Methyl Transferase


Sediaan levodopa saat ini mengandung carbidopa dan benzerazide untuk
mencegah metabolisme perifer dari dopamine, dan obat ini dapat
meningkatkan bioavailibilitas dari pengobatan sebelumnya. Penggunaan
kombinasi tiga obat levodopa, carbidopa dan inhibitor COMT secara signifikan
meningkatkan kualitas hidup.18 Penggunaan tolcapone dibatasi karena efek
samping obat tersebut. Entacapone, merupakan alternatif yang lebih aman, saat
ini masih tersedia namun efektivitasnya masih rendah. Pada uji klinis fase ke-2,
nebicapone ditemukan lebih efektif dari entacapone dan lebih aman dari
tolcapone. Opicapone, dalam regimen dosis oral sekali sehari, juga telah
terbukti menurunkan waktu “off” dan meningkatkan waktu “on” tanpa
menyebabkan gejala diskinesia pada penderita Parkinson tahap lanjut.

2.8.4 Target Farmakologis Non-Dopaminergik


Gejala-gejala dari penyakit Parkinson stadium lanjut (motorik dan non-
motorik) merespon terapi dopaminergik dengan buruk. Penyebabnya diduga
akibat abnormalitas neurotransmitter lainnya seperti asetilkolin, glutamate,
norepinefrin atau serotonin.19 Fluktuasi motorik, diskinesia akibat levodopa,
kekakuan saat berjalan, instabilitas postural dan jatuh, tremor, gangguan
menelan dan berbicara merupakan gejala-gejala yang membutuhkan
pengobatan dengan agen non-dopaminergik.
Defisiensi asetilkolin akibat degenerasi neuron kolinergik dapat
menyebabkan demensia, abnormalitas cara berjalan dan jatuh. Uji klinis
donepezil dimulai untuk pengobatan gejala jatuh yang dikaitkan dengan
hipotesis sistem kolinergik yang abnormal pada penyakit Parkinson.
Rivastigmin merupakan inhibitor kolinesterase yang digunakan untuk penyakit
Parkinson dengan demensia. Depresi pada penderita Parkinson bereaksi
terhadap semua jenis obat antidepresan dan terdapat bukti yang
merekomendasikan antidepresan trisiklik dibandingkan inhibitor reuptake

12
serotonin selektif. Amantidine merupakan agonis reseptor N-methyl-D-
aspartate (NMDA) yang digunakan untuk diskinesia akibat levodopa. Sebuah
uji klinis terbaru menilai efektivitas dan keamanan ADS-5102 (amantadine)
sebanyak 274 mg kapsul yang bebas (setara 340 mg amantadine hydrochloride)
untuk diskinesia akibat levodopa.
Penderita Parkinson dapat mengalami gangguan otonom, khususnya pada
tahap lanjut. Terapi farmakologis yang berhubungan dengan sistem saraf
otonom termasuk penggunaan mineralkortikoid, fludrokortison serta
penggunaan agen adrenergik (seperti midodrine dan etilefrine), prekursor
noradrenergik (yaitu droxipoda) untuk mengobat keluhan hipotensi ortostatik,
anti-muskarinik (seperti oxybutynin, tolterodine atau trsopium klorida) untuk
mengobati inkontinensia urin dan obat-obat prokinetik untuk memperbaiki
gejala konstipasi.

2.8.5 Pembedahan
Deep Brain Stimulatin (DBS) baik subthalamic nucleus (STN) maupun
Globus pallidus interna (GPi) dikenal sebagai pengobatan pada pasien dengan
komplikasi motorik. Untuk pengobatan gejala tremor, DBS thalamus dapat
menjadi pilihan pengobatan. Pembedahan dipilih saat fluktuasi dan diskinesia
motorik menjadi lumpuh meski merupakan reaksi gejala motorik terhadap
levodopa. Waktu rata-rata dilakukan DBS sekitar 10-13 tahun setelah diagnosis
penyakit Parkinson telah dibuat. Penemuan uji klinis EARLYSTIM,
randomized control trial menunjukkan bahwa DBS pada tahap awal penyakit
(durasi penyakit rata-rata 7,5 tahun, dengan fluktuasi motorik <3 tahun) dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien dan beberapa hasil penelitian tambahan
menilai lebih dari terapi medis yang terbaik.20
DBS bersifat reversibel dan dapat disesuaikan dengan perkembangan
penyakit. Gejala demensia, psikosis akut dan depresi berat menjadi kriteria
eksklusi DBS. Total harian dosis obat dopaminergik berkurang sekitar 60 %
setelah dimulai DBS, dan gejala diskinesia berkurang sekitar 60-70% . DBS
STN berkaitan dengan penurunan kebutuhan dosis levodopa. Tingkat
mortalitas sebesar <0,5% dan efek samping berupa perdarahan intrakranial atau
komplikasi berkaitan dengan alat (infeksi, salah penempatan dan sebagainya).

13
2.9 Gangguan Perilaku dan Kognitif pada Parkinson
Gangguan perilaku dan kognitif sangat sering ditemukan pada penderita
Parkinson dan prevalensinya meningkat seiring perkembangan penyakit. Gejala
tersebut dapat mengganggu pasien maupun keluarga pasien; dampak terbesar
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Gangguan yang dimaksud antara lain
gangguan pengendalian impuls, apatis, psikosis, dan demensia. 9 Berikut diulas
beberapa gangguan dan penatalaksanaannya.
2.9.1 Gangguan Pengendalian Impuls
Gangguan pengendalian impuls adalah kesulitan untuk melawan
impuls, dorongan atau godaan untuk melakukan aktivitas yang biasanya
menyenangkan namun pada akhirnya berpotensi merugikan dirinya sendiri
atau bagi orang sekitar akibat sifat berlebihan tersebut. Perilaku tersebut
berupa gangguan impulsif (tidak berpikir jauh ke depan atau tidak ada
pertimbangan terhadap suatu konsekuensi) dan gangguan kompulsif (perilaku
yang berulang-ulang dengan kurangnya pengendalian diri). Kedua perilaku
dilakukan terus-menerus secara berlebihan sehingga mengganggu fungsi vital
kehidupan.21 Menurut edisi kelima dari American Psychiatric Association
Diagnostic and Statistical Manual (DSM-V), gangguan pengendalian impuls
adalah gangguan kontrol impuls dan perilaku yang mengganggu, termasuk
kondisi yang melibatkan masalah pengendalian emosi dan perilaku diri.
Berdasarkan hasil meta-analisis dari 14 penelitian, pasien Parkinson memiliki
rasio yang lebih tinggi mengalami gangguan pengendalian impuls dan
hiperseksualitas.22 Penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko gangguan
pengendalian impuls adalah jenis kelamin laki-laki, usia muda saat onset
penyakit Parkinson, durasi penyakit, gejala non motorik yang lebih parah,
karakteristik impuls, riwayat merokok, penyalahgunaan zat, rendahnya
kualitas hidup pasien penyakit Parkinson, status belum menikah, dan riwayat
genetik.23 Gangguan pengendalian impuls berbeda dalam tingkat
keparahannya, dapat menimbulkan konsekuensi berupa kehancuran finansial,
perceraian, kehilangan pekerjaan, dan gangguan kesehatan24, hal ini terkait
gangguan fungsional yang berat, penurunan kualitas hidup dan peningkatan
beban bagi pengasuh pasien.25

14
Studi DOMINION menilai lebih 3000 pasien Parkinson yang telah
diobati26, menemukan gangguan pengendalian impuls lebih sering pada
pasien yang mendapat agonis dopamine (17,1%) dibandingkan pasien yang
tidak memakai obat (6,9%). Pasien Parkinson mengalami peningkatan risiko
terhadap lebih dari satu gangguan pengendalian impuls. Penelitian kohort
prospektif menunjukkan 40% pasien yang awalnya tanpa gangguan
pengendalian impuls dan menerima terapi agonis dopamine akan mengalami
gangguan pengendalian impuls dalam periode empat tahun. Insidensi
kumulatif gangguan pengendalian impuls selama 5 tahun sebesar 46%.27 Oleh
karenanya, pengurangan dosis agonis dopamine atau penghentian sepenuhnya
obat tersebut dapat menjadi pilihan dalam penanganan gangguan tersebut.
Namun, banyak pasien tidak mau atau tidak dapat mentolerir penghentian
agonis dopamine, dan sindrom penghentian agonis dopamine (DAWS,
Dopamine Agonist Withdrawl Syndrome) dapat terjadi sekitar 20% pada
pasien Parkinson dengan penghentian pemberian terapi agonis dopamine.
Sindrom penghentian agonis dopamine ditandai dengan gejala anxietas,
panik, apatis, fobia sosial, fatigue, iritabilitas, disforia, depresi, nyeri, nausea,
vomitus, hipotensi ortostatik, putus obat, dan keinginan bunuh diri.28
Konseling keluarga, tindakan seperti pembatasan sementara terhadap akses
keuangan, perubahan pada regimen obat sangat diperlukan, dan terapi
perilaku kognitif mungkin juga membantu.29

2.9.2 Apatis
Apatis didefinisikan sebagai kehilangan motivasi yang terus
berlanjut dari waktu ke waktu. Gejala utama berupa motivasi yang
berkurang, minimal selama empat minggu; dan berkurangnya perilaku
yang bertujuan, aktivitas kognitif yang bertujuan dan gangguan emosi.
Selain itu, ditemukan kelainan fungsi yang disebabkan oleh sikap apatis.30
Apatis dapat disertai gejala depresi, fatigue, penurunan kognitif dan
demensia; namun, gejala tersebut dapat timbul dengan sindrom yang
berbeda. Apatis dapat ditemukan pada 20% pasien Parkinson, timbul
berupa gejala non-motor awal dan prodromal penyakit Parkinson31, apatis
terbukti dapat memprediksi penurunan kognitif dan demensia dan dapat

15
meningkatkan beban bagi pengasuh pasien. Apatis dapat terjadi sebagai
bagian dari dopamine agonist withdrawal syndrome (DAWS).
Penatalaksanaan apatis terdiri dari konseling pasien dan keluarganya,
strategi perilaku untuk memaksimalkan fungsi eksekutif, dan pemberian
pengobatan untuk mengatasi gangguan mood dan gangguan kognitif.
Strategi psikososial dan perilaku melibatkan penyediaan jadwal dan
struktur harian tiap individu yang dapat membantu mempertahankan dan
memperkaya aktivitas yang memuaskan. Penelitian tentang pengobatan
yang spesifik terhadap gejala apatis pada pasien Parkinson agak terbatas;
termasuk uji klinis untuk menilai efek agonis dopamine, methylphenidate,
dan cholesterase inhibitor. Pengobatan dengan beberapa antidepresan,
seperti SSRI, diduga memperburuk kondisi apatis.32 Penelitian secara
retrospektif menilai sebanyak 181 pasien Parkinson dan menilai hubungan
antara skor skala apatis dengan penggunaan beberapa obat-obatan;
penggunaan inhibitor monoamine oxidase B terkait dengan lebih sedikit
menimbulkan sikap apatis.
Adapun untuk agonis dopamine, menurut Thobois et al dalam
penelitian RCT double-blind selama 12 minggu melaporkan bahwa gejala
apatis memiliki respon terhadap terapi piribedil, yaitu agonis reseptor
dopamine D2-D3. Saat difollow-up, skor apatis berkurang sebesar 34,6%
pada pengguna piribedil; dan berkurang hingga 3,2 % pada kelompok
placebo.33 Sebuah post-hoc analysis menemukan perbaikan apatis setelah
penggunaan patch ritigotine selama 4 minggu34, hasil yang sama juga
ditunjukkan dengan penggunaan pramipexole.35 Inhibitor cholinesterase
transdermal rivastigmine (9,5 mg/hari) menunjukkan perbaikan signifikan
sikap apatis setelah pengobatan selama 6 minggu (double-blind), studi
placebo terkontrol dari 31 pasien Parkinson dengan sikap apatis sedang
sampai berat, tanpa disertai demensia dan depresi.36

2.9.3 Psikosis
Untuk mendiagnosis psikosis pada penderita Parkinson, harus
ditemukan salah satu gejala berikut yaitu ilusi, persepsi yang salah,
halusinasi, atau delusi. Gejala-gejala tersebut terjadi berulang atau terus-

16
menerus paling sedikit selama satu bulan, dan tidak dicetuskan oleh
gangguan jiwa atau kondisi medis umum. Gejala tersebut biasanya terjadi
setelah onset penyakit Parkinson37; namun, penelitian kohort prospektif
terbaru melaporkan halusinasi ringan (termasuk halusinasi persepsi dan
visual) dapat ditemukan hingga 40 % dari penderita Parkinson, dan dapat
didahului gejala motorik dari penyakit Parkinson dalam 7-8 bulan. Gejala
psikotik dapat ringan atau berat; pasien dapat maupun tidak dapat
mengetahui gejala patologisnya, dan gejala dapat disertai dengan
gangguan afektif dan perilaku lainnya. Gejala psikotik lebih sering terjadi
pada penderita Parkinson dengan demensia, prevalensi halusinasi
(biasanya gambaran visual berupa orang-orang atau binatang) terjadi
sebesar 20-40%, dengan prevalensi mencapai 85 %, prevalensi delusi
sekitar 5-15 %.38 Faktor-faktor risiko kejadian psikosis pada penderita
Parkinson terdiri dari usia tua, onset penyakit yang lambat, tingkat
keparahan Parkinson, lamanya durasi penyakit Parkinson, hiposmia,
depresi, somnolen pada siang hari, gangguan perilaku tidur REM,
gangguan penglihatan, gangguan aksial yang berat, disfungsi otonom,
penurunan perhatian dan visuospasial, polifarmasi dan komorbiditas medis
yang tinggi.
Perubahan neurotransmitter dan patologi otak ditemukan berkaitan
dengan risiko terjadi gejala psikotik pada penderita Parkinson termasuk
Lewy bodies di lobus temporal dan defisit kolinergik. Studi pencitraan
fugsional juga menunjukkan penurunan dopamine pada striatum,
hipersensitivitas reseptor DA mesocorticolimbic, dan peningkatan ikatan
reseptor serotonini-2A (5HT2A) dalam aliran visual jalur ventral.39
Semua obat antiparkinson, bahkan DBS (Deep Brain Stimulation)
dapat memicu atau memperburuk gejala psikosis, dan beberapa uji klinis
menggunakan agonis dopamine menunjukkan peningkatan risiko
halusinasi visual dibandingkan kelompok plasebo. Di sisi lain, pemberian
apomorphine agonis dopamine D1/D2 secara terus-menerus melalui
injeksi subkutan memiliki efek bermanfaat dalam pengobatan gejala
psikosis.40 Pendekatan pengobatan harus mengesampingkan penyebab

17
medis seperti delirium, infeksi, kelainan metabolik dan menghilangkan
penyebab iatrogenik. Obat antikolinergik harus dikurangi dan dihentikan
secara perlahan-lahan, diikuti dengan inhibitor MAO dan agonis
dopamine. Jika memungkinkan, jumlah dosis levodopa (± inhibitor
COMT) juga harus dikurangi. Pendekatan psikoedukasi, seperti informasi
dan pedoman tentang fenomena alam, intervensi kognitif dan lingkungan,
seperti menyalakan lampu, interaksi dengan pengasuhnya, berkonsentrasi
pada objek halusinasi atau mengalihkan pandangan dari objek halusinasi,
dan strategi “coping” harus diperkenalkan.
Jika pendekatan tersebut gagal, maka obat clozapine (bertindak
sebagai antagonis reseptor D2 dopamin dan reseptor 2A serotonin) harus
dimulai pemberiannya, karena ini merupakan satu-satunya obat
antipsikotik atipikal yang dengan jelas memiliki tingkat efektivitas yang
tinggi dalam pengobatan gejala psikosis pada penderita Parkinson.41
Namun demikian, penggunaan obat tersebut memiliki risiko terjadi
agranulositosis (meskipun jarang, namun dapat terjadi sekitar 0,38 %
pasien yang mendapat obat tersebut), selanjutnya diperlukan pemantauan
hasil darah secara berkala. Oleh karena itu, obat antipsikotik quetiapine
biasanya menjadi yang pertama dimulai, meskipun belum ada evidence-
based nya. Dianjurkan untuk mentitrasi obat dengan lambat, hingga dosis
100-150 mg/hari. Jika tidak berhasil, direkomendasikan untuk
menggantikannya dengan clozapine. Obat antipsikotik lainnya, beberapa
neuroleptik tipikal, dikontraindikasikan karena akan memperburuk gejala
motorik, penurunan kognitif, mengantuk dan kebingungan, hipotensi
oortostatik, inkontinensia urin dan terjatuh. Adanya peningkatan mortalitas
dan gangguan cerebrovaskular bagi pasien lansia dengan demensi terkait
psikosis telah dilaporkan; ini juga berhubungan dengan pasien Parkinson
dengan demensia.42
Primavanserin, antagonis atau agonis invers 5-HT2A selektif tanpa
efek dopaminergik, adrenergik, histaminergik, muskarinik yang disetujui
oleh FDA pada tahun 2016 dan terbukti efektif dan aman dalam
pengobatan psikosis penyakit Parkinson.43 Penelitian double-blind secara

18
acak selama 6 minggu membuktikan keefektifannya pada 95 pasien
Parkinson (umur rerata 72 tahun) dengan gejala psikosis dibandingkan
dengan 90 pasien plasebo. Tidak ditemukan perburukan parkinsonisme.
Penelitian lainnya juga menunjukkan perbaikan, termasuk pengaruh klinis
dari perubahan skor, tidur malam tanpa gejala somnolen di siang hari dan
beban pengasuh. Hubungan antara halusinasi visual dan penurunan
aktivitas kolinergik di korteks menunjukkan bahwa agen kolinergik dapat
memperbaiki gejala psikosis pada penderita Parkinson. Studi Emre et al
(2004), yang menilai efektivitas dari rivastigmin dalam pengobatan
Parkinson dengan demensia menunjukkan dua kali lebih banyak pasien
awalnya tanpa halusinasi visual berkembang menjadi halusinasi pada
kelompok plasebo dibandingkan kelompok yang mendapatkan
rivastigmin; rivastigmin dapat melindungi terhadap perkembangan
halusinasi visual pada penderita Parkinson.44 Penelitian randomized
double-blind yang diterbitkan terbaru untuk menilai penggunaan inhibitor
kolinesterase, donepezil (5 mg /hari), pada 145 pasien Parkinson tanpa
demensia selama dua tahun tidak membuktikan adanya efek profilaksis
dari obat tersebut dalam perkembangan gejala psikosis penyakit Parkinson.
Terapi elektrokovulsif (ECT) belum diteliti secara uji klinis terkontrol,
tetapi case report dan case series menunjukkan perbaikan pada pasien
dengan penyakit Parkinson dan psikosis berat yang tidak respons terhadap
terapi farmakologis.45

2.9.4 Gangguan Kognitif dan Demensia


Defisit kognitif sebagian besar mempengaruhi fungsi atensi dan
eksekusi46 dan merupakan hasil dari kekurangan dopamine di ganglia
basalis dan dalam sirkuit striatum-prefrontal yang dorso lateral serta di
jalur mesocortikal.47 Sistem kolinergik telah terlibat dalam disfungsi
kognitif dan khususnya pada pasien Parkinson dengan gejala demensia;
sistem serotonergik, glutamatergik, dan noradrenergik juga dapat terlibat.

19
Gangguan kognitif ringan (MCI) pada penyakit Parkinson menjadi gejala
klinis yang disebabkan berbagai kelainan patologis otak, gangguan
tersebut ditandai dengan penurunan kinerja kognitif yaitu satu hingga dua
standar deviasi (SD) dibawah rerata populasi kontrol. Berdasarkan
penelitian cross-sectional, ditemukan MCI sekitar 25% dari semua
penderita Parkinson; penurunan fungsi atensi atau eksekutif menjadi
paling banyak prevalensinya.48 MCI-PD meningkatkan risiko PDD;
terutama disfungsi korteks posterior dengan gangguan bahasa semantic,
praksis (menggambar atau menyalin), dan penurunan visuospasial
berhubungan dengan percepatan terjadi PDD. Faktor risiko klinis lainnya
termasuk usia tua, riwayat keluarga menderita PDD, pendidikan yang
rendah, status ekonomi-sosial yang rendah, durasi dan keparahan penyakit,
subtype motorik dengan gangguan berjalan dan ketidakstabilan postural,
ganggaun perilaku tidur REM, perubahan irama bicara.49
PDD (Parkinson’s Disease Dementia) ditandai dengan penurunan
kognitif yang berbahaya dan progresif, yang cukup berat dan mengganggu
kehidupan sehari-hari. Prevalensi rata-rata demensia pada penyakit
Parkinson antara 30 - 40 %. Tingkat insidensi meningkat 5 hingga 6 kali
dibandingkan dengan kontrol sehat yang sesuai usia, dan prevalensi
selama 8 tahun sebesar 78%. Patologi PDD melibatkan penyebaran α-
synuclein, tetapi pada patologi penyakit Alzheimer terjadi perubahan
vaskuler dan patologis lainnya.50 Sebelum mempertimbangkan pengobatan
simptomatis, kemungkinan faktor yang berkontribusi harus
dikesampingkan, termasuk putus obat penenang dan dan obat dengan sifat
antikolinergik, serta penyakit fisik yang sesuai. Depresi dan sikap apatis
harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding dari gangguan kognitif,
meskipun gangguan psikiatrik tersebut dapat ditemukan pada PDD.
Pengobatan simptomatis dengan inhibitor asetilkolinesterase dan
memantine telah ditinjau secara luas, meta analisis menyimpulkan bahwa
efikasi inhibitor kolinesterase yang digunakan pada PDD khususnya
rivastigmine dan donepazil memiliki dampak positif pada penilaian umum,
fungsi kognitif, gangguan perilaku, dan aktivitas kehidupan sehari-hari.

20
Memantine dapat ditoleransi dengan baik dan sedikit meningkatkan
pengaruh terhadap perubahan pada satu penelitian; namun, fungsi kognitif
tampaknya tidak meningkat.51 Satu uji randomized placebo-controlled
trial (uji klinis selama 18 bulan) menunjukkan efek yang signifikan
terhadap kreatin (5 gr 2x sehari) dan koenzim q10 (100 mg 3x sehari)
terapi kombinasi dibandingkan dengan placebo.52 Setelah pengobatan
selama 12 hingga 18 bulan, ditemukan perbedaan yang signifikan pada
skor MoCA dari terapi kombinasi dan kelompok kontrol. Atomoxetine,
golongan SNRI, (n=55, uji klinis selama 5 minggu) juga menghasilkan
beberapa efek kognitif positif pada pasien Parkinson tanpa demensia (hasil
penelitian tambahan); dan tidak memperbaiki gejala depresi (hasil utama
penelitian). Pada akhirnya, intervensi non-farmakologis dapat bermanfaat
bagi subgrup pasien tertentu, termasuk olahraga, pelatihan kognitif,
metode stimulasi otak non invasif, dan teknik lain untuk meningkatkan
angiogenesis, plastisitas sinaps, dan neurogenesis53, hal ini merupakan
bagian yang menarik dan berpotensi untuk dikembangkan.

21
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegenerative kronis
progresif, akibat hilang atau penurunan suplai neurotransmitter dopamine dari
substansia nigra ke globus pallidus atau neostriatum (striatal dopamine
deficiency). Penyakit ini ditandai oleh kelainan baik motorik maupun non-
motorik. Gejala non-motorik meliputi abnormalitas kognitif dan behavior,
gangguan tidur, gangguan sensorik atau gangguan otonom.
Gangguan kognitif dan perilaku sebagai bagian gejala non-motorik, sering
dialami penderita penyakit Parkinson. Gangguan ini dapat memburuk seiring
perkembangan penyakit, dan gangguan motorik menjadi faktor utama yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menjadi beban bagi pengasuhnya
Gangguan perilaku dapat terjadi sebagai efek samping dari pengobatan
dopaminergik; demensia pada penderita Parkinson terutama disebabkan oleh
penurunan kolinergik. Beberapa pilihan pengobatan yang tersedia saat ini untuk
gangguan kognitif, demensia, psikosis, apatis, dan gangguan pengendalian impuls,
secara keseluruhan kurang berhasil pada pengobatan jangka panjang dibanding
pilihan pengobatan untuk mengobati tremor, rigiditas, bradikinesia, serta fluktuasi
dan diskinesia motorik. Perawatan multidisiplin sangat dibutuhkan, melibatkan
spesialis saraf dan khususnya ahli saraf yang terlatih dalam gangguan gerakan,
psikolog, psikiater, ahli bedah saraf, perawat, pekerja sosial, dan terapi okupasi
serta konseling yang komprehensif.

22
Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis neurologi. Jakarta:


Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2016.
2. Cheryl HW. Diagnosis and Management Parkinsons Disease. Profesional
Communication Inc, 1999.
3. Pringsheim T, Jette N, Frolkis A, Steeves TD. The prevalence of Parkinson’s
disease: A systematic review and meta-analysis. Mov Disord.
2014;29(13):1583–90.
4. Tysnes OB, Storstein A. Epidemiology of Parkinson’s disease. J Neural
Transm. 2017;124(8):901–5.
5. Setyono J, Noviani E, Gunarto U. Hubungan antara merokok dengan penyakit
Parkinson di RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala
Health. 2010;4(2):81–6.
6. Heyne, Sietske N. Parkinson’s Disease
(http://www.medicinenet.com/parkinsons_disease/article.htm) Diakses tanggal
21 Desember 2020)
7. Kalia LV, Lang AE. Parkinson’s disease. Lancet. 2015;386(9996):896–912
8. World Health Organization. Neurological disorders: Public health challenges.
Switzerland: WHO Press; 2006
9. Rektorova I. Current treatment of behavioural and cognitive symptoms of
Parkinson’s disease. Parkinsonism and Related Disorders 59 (2019): 65-73.
10. Radhakrishnan DM dan Goyal V. Parkinson’s disease: A review. Neurology
India. 2018; 66:S26-35
11. Sampson TR, Debelius JW, Thron T, Janssen S, Shastri GG, Khan ZE, et al.
Gut microbiota regulate motor deficits and neuroinflammation in a model of
Parkinson’s disease. 2016. Cell. 167:1469-80.
12. Scheperjans F, Aho V, Pereira PA, Koskinen K, Paulin L, Pekkonen E, et al.
Gut microbiota are related to Parkinson’s disease and clinical phenotype.
2015. Mov Disord 30:350-8.
13. Santangelo G, Trojano L, Barone P, Errico D, Grossi D, Vitale C. Apathy in
Parkinson's disease: diagnosis, neuropsychological correlates,
pathophysiology and treatment. 2013. Behav. Neurol. 27 (4) 501–513
14. Aarsland D, Bronnick K, Alves G, Tysnes OB, Pedersen KF, Ehrt U. The
spectrum of neuropsychiatric symptoms in patients with early untreated
Parkinson's disease. 2009. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 80 (8): 928–930.
15. Moreau C, Delval A, Defebvre L, Dujardin K, Duhamel K, Petyt G, et al.
Parkgait-II study group, Methylphenidate for gait hypokinesia and freezing in
patients with Parkinson's disease undergoing subthalamic stimulation: a
multicentre, parallel, randomised, placebo-controlled trial. 2012. Lancet
Neurol. 11 (7): 589–596

23
16. Rosa-Grilo M, Qamar MA, Evans A, Chaudhuri KR. The efficacy of
apomorphine- a non-motor perspective. 2016. Park. Relat. Disord. 33 (1):
S28–S35
17. Ferreira JJ, Katzenschlager R, Bloem BR, Bonuccelli U, Burn D, Deuschl G,
et al. Summary of the recommendations of the EFNS/MDS-ES review on
therapeutic management of Parkinson's disease. 2013. Eur. J. Neurol. 20 (1):
5–15
18. Meltzer HY, Mills R, Revell S, Williams H, Johnson A, Bahr D, et al.
Pimavanserin, A serotonin (2A) receptor inverse agonist, for the treatment of
Parkinson's disease psychosis. 2010. Neuropsychopharmacology 35 (4): 881–
892
19. Van Laar T, De Deyn PP, Aarsland D, Barone P, Galvin JE. Effects of
cholinesterase inhibitors in Parkinson's disease dementia: a review of clinical
data. 2011. CNS Neurosci. Ther. 17(5): 428–441.
20. Litvan I, Goldman JG, Troster AI, Schmand BA, Weintraub D, Petersen R, et
al. Diagnostic criteria for mild cognitive impairment in Parkinson's disease:
movement disorder society task force guidelines. 2012. Mov. Disord. 27 (3):
349–356
21. Weintraub D, David AS, Evans AH, Grant JE, Stacy M. Clinical spectrum of
impulse control disorders in Parkinson's disease. Mov. Disord. 2015.30(2):
121–127
22. Molde H, Moussavi Y, Kopperud ST, Erga AH, Hansen AL, Pallesen S.
Impulse-control disorders in Parkinson's disease: a meta-analysis and review
of case-control studies. 2018. Front. Neurol. 9: 330
23. Cossu G, Rinaldi R, Colosimo C, The rise and fall of impulse control
behaviour disorders. 2018. Park. Relat. Disord. 46 (1): S24–S29
24. Voon V, Sohr M, Lang AE, Potenza MN, Siderowf AD, Whetteckey J, et al.
Impulse control disorders in Parkinson disease: a multicenter case - control
study. 2011. Ann. Neurol. 69 (6): 986–996.
25. Phu AL, Xu Z, Brakoulias V, Mahant N, Fung VS, Moore GD, et al. Effect of
impulse control disorders on disability and quality of life in Parkinson's
disease patients. 2014. J. Clin. Neurosci. 21(1): 63–66
26. Weintraub D, Koester J, Potenza MN, Siderowf AD, Stacy M, Voon V, et al.
Impulse control disorders in Parkinson disease: a cross-sectional study of
3090 patients. 2010. Arch. Neurol. 67(5): 589–595.
27. Hassan A, Bower JH, Kumar N, Matsumoto JY, Fealey R, Josephs KA, et al.
Dopamine agonist-triggered pathological behaviors: surveillance in the PD
clinic reveals high frequencies. 2011. Park. Relat. Disord. 17(4): 260-264
28. Rabinak CA, Nirenberg MJ. Dopamine agonist withdrawal syndrome in
Parkinson disease. 2010. Arch. Neurol. 67(1):58–63.

24
29. Okai D, Askey-Jones S, Samuel M, O´Sullivan SS, Chaudhuri KR, Martin A,
et al. Trial of CBT for impulse control behaviors affecting Parkinson patients
and their caregivers. 2013. Neurology 80(9):792–799.
30. Drijgers RL, Dujardin K, Reijnders JS, Defebvre L, Leentjens AF. Validation
of diagnostic criteria for apathy in Parkinson's disease. 2010. Park. Relat.
Disord. 16(10): 656–660
31. Dujardin K, Langlois C, Plomhause L, Carette AS, Delliaux M, Duhamel A,
Defebvre L. Apathy in untreated early-stage Parkinson disease: relationship
with other non motor symptoms. 2014. Mov. Disord. 29: 1796–1801
32. Zahodne LB, Bernal-Pacheco O, Bowers D, Ward H, Oyama G, Limotai N, et
al. Are selective serotonin reuptake inhibitors associated with greater apathy
in Parkinson's disease?. 2012. J. Neuropsychiatry Clin. Neurosci. 24(3): 326–
330
33. Thobois S, Lhommee E, Klinger H, Ardouin C, Schmitt E, Bichon A, et al.
Parkinsonian apathy responds to dopaminergic stimulation of D2/D3
receptors with piribedil, 2013. Brain 136(5):1568–1577
34. Chaudhuri RK, Martinez-Martin P, Antonini A, Brown RG, Friedman JH,
Onofrj M, et al. Rotigotine and specific nonmotor symptoms of Parkinson's
disease: post hoc analysis of RECOVER. 2013. Park. Relat. Disord. 19: 660–
665.
35. Leentjens AF, Koester J, Fruh B, Shephard DT, Barone P, Houben JJ. The
effect of pramipexole on mood and motivational symptoms in Parkinson's
disease: a meta-analysis of placebo-controlled studies. 2009. Clin. Ther. 31:
89–98.
36. Devos D, Moreau C, Maltete D, Lefaucheur R, Kreisler A, Eusebio A, et al.
Rivastigmine in apathetic but dementia and depression-free patients with
Parkinson's disease: a double-blind, placebo-controlled, randomised clinical
trial. 2014. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 85: 668–674
37. Ravina B, Marder K, Fernandez HH, Friedman JH, McDonald W, Murphy D,
et al. Diagnostic criteria for psychosis in Parkinson’s disease: report of an
NINDS, NIMH work group. 2007. Mov. Disord. 22(8):1061-1068
38. Fenelon G dan Alves G. Epidemiology of psychosis in Parkinson's disease.
2010. J. Neurol. Sci. 289 (1–2): 12–17
39. Lenka A, Jhunjhunwala KR, Saini J, Pal PK. Structural and functional
neuroimaging in patients with Parkinson's disease and visual hallucinations: a
critical review. 2015. Park. Relat. Disord. 21(7): 683–691.
40. Antonini A, Isaias IU, Rodolfi G, Landi A, Natuzzi F, Siri C, et al. A 5-year
prospective assessment of advanced Parkinson disease patients treated with
subcutaneous apomorphine infusion or deep brain stimulation. 2011. J.
Neurol. 258 (4): 579–585
41. Ferreira JJ, Katzenschlager R, Bloem BR, Bonuccelli U, Burn D, Deuschl G,
et al. Summary of the recommendations of the EFNS/MDS-ES review on

25
therapeutic management of Parkinson's disease. 2013. Eur. J. Neurol. 20 (1):
5–15
42. Ballard C, Isaacson S, Mills R, Williams H, Corbett A, Coate B. Impact of
current antipsychotic medications on comparative mortality and adverse
events in people with Parkinson disease psychosis. 2015. J. Am. Med. Dir.
Assoc. 16: 898.e1–898.e7
43. Combs BL dan Cox AG. Update on the treatment of Parkinson's disease
psychosis: role of pimavanserin. 2017. Neuropsychiatric Dis. Treat. 13 (8):
737–744.
44. Emre M, Aarsland D, Albanese A, Byrne EJ, Deuschl G, De Deyn PP, et al.
Rivastigmine for dementia associated with Parkinson's disease. 2004. N.
Engl. J. Med. 351 (24): 2509–2518.
45. Calderon-Fajardo H, Cervantes-Arriaga A, Llorens-Arenas R, Ramirez-
Bermundez J, Ruiz-Chow A, Rodriguez-Violante M. Electroconvulsive
therapy in Parkinson's disease. 2015. Arq Neuropsiquiatr 73(10): 856–860
46. Lawson RA, Yarnall AJ, Duncan GW, Breen DP, Khoo TK, Williams-Gray
CH. ICICLE-PD study group. Cognitive decline and quality of life in incident
Parkinson's disease: the role of attention. 2016. Park. Relat. Disord. 27: 47–
53
47. Anderkova L, Barton M, Rektorova I. Striato-cortical connections in
Parkinson's and Alzheimer's diseases: relation to cognition. 2017. Mov.
Disord. 32 (6): 917–922.
48. Litvan I, Goldman JG, Troster AI, Schmand BA, Weintraub D, Petersen RC,
et al. Diagnostic criteria for mild cognitive impairment in Parkinson's disease:
movement disorder society task force guidelines. 2012. Mov. Disord. 27 (3):
349–356
49. Aarsland D, Creese B, Politis M, Chaudhuri KR, Ffytche DH, Weintraub D,
et al. Cognitive decline in Parkinson disease. 2017. Nat. Rev. Neurol. 13 (4):
217–231.
50. Jellinger KA. Dementia with Lewy bodies and Parkinson's disease-dementia:
current concepts and controversies. 2018. J. Neural. Transm. 125 (4): 615–
650
51. Aarsland D, Ballard C, Walker Z, Bostrom F, Alves G, Kossakowski K, et al.
Memantine in patients with Parkinson's disease dementia or dementia with
Lewy bodies: a double-blind, placebo-controlled, multicentre trial. 2009.
Lancet Neurol. 8 (7): 613–618
52. Li Z, Wang P, Yu Z, Cong Y, Sun H, Zhang J, et al. The effect of creatine
and coenzyme q10 combination therapy on mild cognitive impairment in
Parkinson's disease, Eur. Neurol. 73 (3–4) (2015) 205–211
53. Biundo R, Weis L, Fiorenzato E, Antonini A. Cognitive rehabilitation in
Parkinson's disease: is it feasible? 2017. Arch. Clin. Neuropsychol. 32 (7):
840–860

26

Anda mungkin juga menyukai