Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis
1. Stres
a. Pengertian Stres
Kupriyanov dan Zhidanov (2014) menyatakan bahwa stress
yang ada saat ini adalah sebuah atribut kehidupan modern. Hal ini
dikarenakan stress sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa
terelakkan, baik dilingkungan sekolah, kerja, keluarga, atau
dimanapun, stress juga bisa menimpa siapapun termasuk anak-anak,
remaja, dewasa, atau yang sudah lanjut usia. Dengan kata lain, stress
pasti terjadi pada siapapun dan dimanapun, yang jadi masalah adalah
apabila jumlah stress itu begitu banyak dialami seseorang
dampaknya bisa membahayakan kondisi fisik dan mental.
Purwanti, et al. (2017) juga menyatakan bahwa “stres adalah
respon tubuh tidak spesifik terhadap kebutuhan tubuh yang
terganggu”. Menurut Lubis (2009) stres juga adalah perasaan tidak
enak yang disebabkan oleh persoalan-persoalan di luar kendali atau
reaksi jiwa dan raga terhadap perubahan. Stres menurut Sarafino &
Smith (2011) merupakan sebuah kondisi kesenjangan akibat
terjadinya ketidakcocokan antara tuntutan fisiologis dan psikologis
berdasarkan situasi dari sumber biologis, psikologis, dan sosial yang
ada pada individu. Seseorang dapat merasa tertekan karena
situasinya dianggap berbahaya atau mengancam.

b. Sumber Stres
Yusuf (2011) menyebutkan bahwa berbagai faktor penyebab
stres dapat berupa pengaruh internal seperti kondisi tubuh atau fisik
dan konflik pribadi, maupun pengaruh eksternal seperti keluarga
yang kurang harmonis, orang tua yang otoriter, masalah ekonomi,
dan lingkungan masyarakat.
Stresor adalah stimulus yang mengawali atau perubahan. Stresor
dibagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Stresor internal
berasal dari dalam diri seseorang. Stresor eksternal berasal dari luar
diri seseorang. Faktor yang dapat menyebabkan stres (Ardhiyanti et
al., 2014):
1. Fisik: suhu, suara, beban, sinar, arus listrik
2. Kimiawi: asam basa, obat, zat racun, hormon, gas
3. Mikrobiologi: virus, bakteri, parasit
4. Fisiologis: gangguan struktur jaringan dan organ
5. Proses perkembangan: pubertas dam memasuki usia lanjut
6. Psikis: hubungan sosial (masyarakat, budaya, keagamaan)

c. Klasifikasi Stres
Berdasarkan etiologinya stres dapat diklasifikasikan sebagai
berikut (Rice dalam Pin, 2011) :
1) Stres Kepribadian (Personality Stress). Stres kepribadian adalah
stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang.
Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan
kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu bersikap positif
akan memiliki risiko yang kecil terkena stres keperibadian.
2) Stres Psikososial (Psychosocial Stress). Stres psikososial adalah
stres yang dipicu oleh hubungan dengan orang lain di sekitarnya
ataupun akibat situasi sosialnya. Contohnya stres ketika
mengadaptasi lingkungan baru, masalah keluarga, stres macet di
jalan raya dan lain-lain.
3) Stres Bio-ekologi (Bio-Ecological Stress). Stres bio-ekologi
adalah stres yang dipicu oleh dua hal. Hal yang pertama adalah
ekologi atau lingkungan seperti polusi serta cuaca. Sedangkan
hal yang kedua adalah kondisi biologis seperti menstruasi,
demam, asma, jerawatan, dan lain-lain.
4) Stres Pekerjaan (Job Stress). Stres pekerjaan adalah stres yang
dipicu oleh pekerjaan seseorang. Persaingan di kantor, tekanan
pekerjaan, terlalu banyak kerjaan, target yang terlalu tinggi,
usaha yang diberikan tidak berhasil, persaingan bisnis adalah
beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stres akibat
karir pekerjaan.
5) Stres siswa (Student stress). Stres siswa itu dipicu oleh
akademik. Sewaktu menempuh pendidikan terdapat tiga
kelompok stresor yaitu stresor dari segi personal dan sosial,
gaya hidup dan budaya, serta stresor yang dicetuskan oleh faktor
akademis itu sendiri.

d. Tanda dan Gejala Stres


Menurut Hartono (2011) beberapa gejala awal akibat stres
dapat dibagi menjadi keluhan somatik, psikis, dan gangguan
psikomotor dengan atau tanpa gejala psikotik.
1) Keluhan Somatik (sakit). Keluhan Somatik antara lain: gangguan
cerna, nyeri dada atau debar jantung (palpitasi), insomnia berupa
sulit tidur atau tidur tapi mudah terbangun, gangguan yang tidak
spesifik seperti sakit kepala atau tidak nafsu makan, nyeri otot,
letih, lesu, tidak bergairah.
2) Keluhan Psikis. Keluhan psikis antara lain: putus asa, merasa
masa depan suram, sedih dan merasa bersalah, impulsif dan
mudah marah, selalu tegang dan suka menyendiri.
3) Gangguan psikomotor. Gangguan psikomotor antara lain: gairah
kerja/belajar menurun dan mudah lupa dan konsentrasi berkurang.

e. Tahapan Stres
Tahapan stres yang terjadi pada seseorang yang pernah
mengalami stres menurut diantaranya adalah sebagai berikut
(Sukadiyanto, 2010).
a. Tahap pertama. Tahap ini merupakan tahap stres yang paling
ringan dan biasanya ditandai dengan munculnya semangat yang
berlebihan, penglihatan lebih “tajam” dari biasanya, dan merasa
mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya (namun
tanpa disadari cadangan energi dihabiskan dan timbulnya rasa
gugup yang berlebihan).
b. Tahap kedua. Pada tahap ini, dampak stres yang semula
‘menyenangkan’ mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan
karena habisnya cadangan energi. Keluhan-keluhan yang sering
dikemukakan antara lain merasa letih sewaktu bangun pagi dalam
kondisi normal, badan (seharusnya terasa segar), mudah lelah
sesudah makan siang, cepat lelah menjelang sore, sering
mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar-
debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang, dan tidak bisa
santai.
c. Tahap ketiga. Jika tahap stres sebelumnya tidak ditanggapi
dengan memadai, maka keluhan akan semakin nyata, seperti
gangguan lambung dan usus (gastritis atau maag, diare),
ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan
pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun tengah malam dan
sukar kembali tidur, atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur
kembali), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.
d. Tahap keempat. Orang yang mengalami tahap-tahap stres diatas
ketika memeriksakan ke dokter sering kali ditanyakan tidak sakit
karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ
tubuhnya. Namun pada kondisi berkelanjutan, akan muncul gejala
seperti ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas rutin karena
perasaan bosan, kehilangan semangat, terlalu lelah karena
gangguan pola tidur, kemampuan mengingat dan konsentrasi
menurun, serta muncul rasa takut dan cemas yang tidak jelas
penyebabnya.
e. Tahap kelima. Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang
sangat, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan
sederhana, gangguan pada sistem pencernaan makin berat, serta
semakin meningkatnya rasa takut dan cemas.
f. Tahap keenam. Tahap ini merupakan tahap puncak, biasanya
ditandai dengan timbulnya rasa panik dan takut mati yang
menyebabkan jantung berdetak semakin cepat, kesulitan untuk
bernapas, tubuh gemetar dan berkeringat, dan adanya
kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.

f. Teori Stres
Secara fundamental teori stres hanya digolongkan atas tiga
pendekatan; stres model stimulus (rangsangan), stres model response
(respons) dan stres model tra
nsactional (transaksional) (Lyon, 2012):
1) Stres model stimulus
Stres model stimulus merupakan model stres yang
menjelaskan bahwa stres itu adalah variabel bebas (independent)
atau penyebab manusia mengalami stres (Lyon, 2012).
Penyebab-penyebab stres tersebut berperan dalam menentukan
seberapa banyak stres yang akan mungkin diterima. Oleh karena
itu, tekanan yang berasal dari situasi-situasi lingkungan bisa
bertindak sebagai penyebab dan penentu pada gangguan-
ganguan kesehatan apabila terjadi dalam kurun waktu yang
sering dan dengan jumlah yang berbahaya. Adapun situasi-
situasi yang memungkinkan menjadi pemicu terjadinya stres
adalah beban kerja, kepanasan, kedinginan, suara keributan,
ruangan yang berbau menyengat, cahaya yang terlalu terang,
lingkungan yang kotor, ventilasi yang tidak memadai, dan lain
sebagainya (Hariharan & Rath, 2008).
2) Stres model respons.
Stres model respons dikembangkan oleh Hans Selye.
Selye adalah ahli yang dikenal luas karena penelitian dan
teorinya tentang stres yang berkaitan dengan aspek fisik dan
kesehatan (Lyon, 2012). Hasil stres itu bersumber dari dalam
diri individu. Hasil stres itupun meliputi perubahan kondisi
psikis, emosional, dan psikologis (Carr & Umberson, 2013).
Model stres yang diperkenalkan Selye adalah local
adaptation syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome
(GAS) (Rice, 2012).
a) Local adaptation syndrome (LAS)
Local adaptation syndrome (LAS) memiliki karakter
yaitu hanya terjadi setempat, adaptif/diperlukan stresor
untuk menstimulasi, berjangka pendek, serta
restoratif/membantu memulihkan homeostasis region.
Contoh LAS yang banyak ditemui dalam lingkungan
keperawatan yaitu respon refleks nyeri dan respon
inflamasi. Respon refleks nyeri adalah respon setempat dari
sistem saraf pusat terhadap nyeri. Respon ini bersifat adaptif
dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut. Respon
ini melibatkan reseptor sensoris, saraf sensoris yang
menjalar ke medulla spinalis, neuron penghubung dalam
medulla spinalis, saraf motorik yang menjalar dari medulla
spinalis, serta otot efektor. Contoh respon refleks nyeri
yaitu refleks tangan dari permukaan panas dan keram otot.
Contoh lain dari LAS yaitu respon inflamasi. Respon
inflamasi distimulasi oleh trauma dan infeksi dimana respon
ini menghambat penyebaran inflamasi dan meningkatkan
penyembuhan dengan tanda-tanda calor, tumor, rubor, dan
dolor. Respon inflamasi terjadi dalam tiga fase yaitu
perubahan dalam sel dan sitem sirkulasi, pelepasan eksudat
dari luka, dan perbaikan jaringan oleh regenerasi dan
pembentukan jaringan parut (Rice, 2012).
b) General adaptation syndrome (GAS)
General adaptation syndrome (GAS) melibatkan
sistem tubuh seperti sistem saraf otonom dan sistem
endokrin. GAS dikenal sebagai respon neuroendokrin.
Sesuai pada GAS (Gambar 2.1.), ada tiga tahapan stres
respons, yaitu alarm (tanda bahaya), resistance
(perlawanan), dan exhaustion (kelelahan). Tahapan pertama
stres respons dalam GAS adalah alarm. Alarm merupakan
suatu kondisi yang tidak diinginkan dan terjadi ketika ada
perbedaan antara kenyataan yang sedang terjadi dan situasi
yang diharapkan, Sebagai akibatnya tubuh menerima
rangsangan dan secara alami mengaktifkan reaksi flight-or-
fight karena adanya kondisi yang berpotensi mengancam
kestabilan kondisi tubuh (Lyon, 2012). Pada tahap pertama
ini akan timbul seperti sakit di dada, jantung berdebar, sakit
kepala, disfagia (kesulitan menelan), kram, dan lain
sebagainya (Rice, 2012). Tahapan kedua dari GAS adalah
resistance (perlawanan). Perlawanan terjadi saat alarm
tidak berakhir atau terus menerus berlangsung. Dampaknya,
kekuatan fisik pun dikerahkan untuk melanjutkan
kerusakan-kerusakan karena rangsangan-rangsangan yang
membahayakan sedang menyerang (Lyon, 2012). Peristiwa
ini terjadi karena pada tahap kedua terjadi konflik dengan
tahap pertama (Rice, 2012). Oleh karena itu, selama proses
perlawanan di tahap resistance ada kemungkinan akan
timbulnya penyakit, seperti radang sendi, kanker, dan
hipertensi (Lyon, 2012). Ketika stres masih berlangsung
terusmenerus, maka selanjutnya stres berada pada pada
tahap terakhir. Berdasarkan GAS, di tahap ketiga ini tubuh
sudah merasakan exhaustion (kelelahan) (Lyon, 2012).
Kondisi ini dikarenakan tubuh benar-benar tidak sanggup
lagi mengadakan perlawanan terhadap sumber stres. Atau
dengan kata lain, tubuh sudah menyerah karena kehabisan
kemampuan untuk menghadapi serangan yang mengancam.
Oleh karena itu, pada tahap ketiga ini, menurut Lyon (2012)
dan Rice (2012) akan berdampak pada kesehatan, bahkan
organ-organ tubuh bisa berhenti berfungsi atau bisa
mengakibatkan kematian pada seseorang.
Gambar 2.1. General Adaptation Syndrome
3) Stres model transaksional
Stres model ini menekankan pada peranan penilaian
individu terhadap penyebab stres yang mana akan menentukan
respons individu tersebut (Lyon, 2012).

g. Efek Stresor Pada Tubuh


Secara fisiologi, respons stres adalah pola reaksi saraf dan
hormon yang bersifat menyeluruh dan tidak spesifik terhadap setiap
situasi apapun yang mengancam homeostasis (Sherwood, 2012).

Stressor
Respon spesifik yang khas untuk jenis stressor

Tubuh

Respon menyeluruh nonspesifik apapun jenis stresornya= respon stres

Gambar 2.2. Efek Stressor pada Tubuh


Sumber: Sherwood (2012)

Tabel 2.1. Perubahan Hormon Utama Selama Respon Stres


Hormon Perubahan Tujuan
1.Memperkuat sistem saraf simpatis untuk
mempersiapakan tubuh “fight on flight”
naik
Epifirin 2.Memoblisasi simpanan karbohidrat dan
 
lemak; meningkatkan kadar glukosa dan
asam lemak darah
1. Memobilsasi simpanan energi dan bahan
CRH pembangun metabolik untuk digunakan jika
ACTH naik diperluka; meningkatkan glukosa, asam
kortisol amino darah, dan asam lemak darah ACTH
mempermudah proses belajar dan perilaku
1.Bekerja bersama untuk meningkatkan
Glukogon naik
glukosa darah dan asam lemak darah.
1.Menahan Garam dan H2O untuk
Renin
meningkatkan volume plasma; membantu
angiotensin naik
mempertahankan tekanan darah jika terjadi
aldosteron
pengeluaran akut plasma
1.Vasopresin dan angiostensin II menyebabkan
Vasopresin naik vasokontriksi arteriol untuk meningkatkan
    tekanan darah
2.Vasopresin membantu proses belajar
Sumber: Sherwood (2012)

h. Cara Mengendalikan Stres


Brecht G. 2000 (Flaviana Oktaviani Maun, 2016) menyatakan
bahwa kiat untuk mengendalikan stres adalah sebagai berikut:
a. Sikap, keyakinan, dan pikiran kita harus positif, fleksibel,
rasional, dan adaptif terhadap orang lain. Artinya, jangan
terlebih dahulu menyalahkan orang lain sebelum introspeksi
diri dengan pengendalian internal.
b. Kendalikan faktor-faktor penyebab stres dengan jalan:
Kemampuan menyadari (awereness skills), Kemampuan untuk
menerima (acepetance skills), Kemampuan untuk menghadapi
(coping skills), Kemampuan untuk bertindak (action skills).
c. Perhatikan diri anda, proses interpesonal dan interaksi, serta
lingkungan anda.
d. Kembangkan sikap efisien.
e. Relaksasi.
f. Visualisasi (angan-angan terarah)
g. Circuit breaker dan koridor stres.
Teknik singkat untuk menghilangkan stres, misalnya
melakukan pernapasan dalam, mandi santai dalam bak, tertawa,
pijat, membaca, kecanduan positif (melakukan yang disukai
secara teratur), istirahat teratur , dan ngobrol (Putri Soedibyo,
2016). Beberapa cara untuk mengurangi stres antara lain
melalui pola makan yang sehat dan bergizi, memelihara
kebugaran jasmani, latihan pernapasan, latihan relaksasi,
melakukan aktivitas yang mengembirakan, berlibur, menjalin
hubungan yang harmonis, menghindari kebiasaan yang jelek,
merencanakan kegiatan harian secara rutin, memelihara
tanaman dan binatang, meluangkan waktu untuk diri sendiri
(keluarga), menghindari diri dalam kesendirian (Purwanti,
2017).

i. Pengukuran Tingkat Stres


Alat ukur tingkat stres adalah kuesioner dengan sistem
scoring yang akan diisi oleh responden dalam suatu penelitian. Ada
beberapa kuesioner yang sering dipakai untuk mengetahui tingkat
stres pada siswa antara lain :

1) Kessler psychological distress scale


Kessler Psychological Distress Scale (KPDS) terdiri dari 10
pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan skor 1
untuk jawaban dimana responden tidak pernah mengalami stres,
2 untuk jawaban dimana responden jarang mengalami stres, 3
untuk jawaban dimana responden kadang-kadang mengalami
stres, 4 untuk jawaban dimana responden sering mengalami stres
dan 5 untuk jawaban dimana responden selalu mengalami stres
dalam 30 hari terakhir. Skala pengukuran yang digunakan
adalah skala ordinal. Tingkat stres dikategorikan sebagai
berikut:
(a) Skor di bawah 20 : tidak mengalami stres
(b) Skor 20-24 : stres ringan
(c) Skor 25-29 : stres sedang
(d) Skor ≥ 30 : stres berat
(Easton et al., 2017).
2) Perceived stress scale (PSS-10)
Perceived stress scale (PSS-10) merupakan self-report
questionnaire yang terdiri dari 10 pertanyaan dan dapat
mengevaluasi tingkat stres beberapa bulan yang lalu dalam
kehidupan subjek penelitian. Skor PSS diperolehi dengan
reversing responses (sebagai contoh, 0=4, 1=3, 2=2, 3=1, 4=0)
terhadap empat soal yang bersifat positif (pertanyaan 4, 5, 7 &
8) kemudian menjumlahkan skor jawaban masing-masing
pertanyaan (Olpin & Hesson, 2009). Soal dalam perceived
stress scale ini akan menanyakan tentang perasaan dan pikiran
responden dalam satu bulan terakhir ini. Responden akan
diminta untuk mengindikasikan seberapa sering perasaan
ataupun pikiran dengan membulatkan jawaban atas pertanyaan.
(a) Tidak pernah diberi skor 0
(b) Hampir tidak pernah diberi skor 1
(c) Kadang-kadang diberi skor 2
(d) Cukup sering skor 3
(e) Sangat sering diberi skor 4
Semua penilaian diakumulasikan, kemudian disesuaikan dengan
tingkatan stres sebagai berikut:
(a) Stres ringan (total skor 1-14)
(b) Stres sedang (total skor 15-26)
(c) Stres berat (total skor >26)
3) Hassles Assessment Scale for Student in College (HASS/Col)
Hassles Assessment Scale for Student in College (HASS/Col)
terdiri dari 54 pertanyaan yang merupakan suatu skala yang
terdiri dari kejadian umum yang tidak menyenangkan bagi para
siswa/mahasiswa. Setiap kejadian tersebut diukur berdasarkan
frekuensi terjadinya dalam satu bulan, dalam bentuk skala
sebagai berikut:
(a) Tidak pernah diberi skor 0
(b) Sangat jarang diberi skor 1
(c) Beberapa kali diberi skor 2
(d) Sering diberi skor 3
(e) Sangat sering diberi skor 4
(f) Hampir setiap saat diberi skor 5
Semua penilaian diakumulasikan, kemudian disesuaikan dengan
tingkatan stres. Skor kurang dari 75 menunjukkan seseorang
mengalami stres ringan, skor 75-135 menunjukkan seseorang
mengalami stres sedang, skor lebih dari 135 menunjukkan
seseorang mengalami stres berat (Corcoran & Fischer, 2013).
Berdasarkan alat ukur di atas, penelitian ini menggunakan
Perceived stress scale (PSS-10) karena dapat mengevaluasi
tingkat stres yang dirasakaan beberapa bulan yang terakahir
dalam kehidupan subjek penelitian.

j. Dampak stres
Stres tidak selalu memberikan dampak negatif karena stres
juga bisa berdampak positif. Stres yang memberikan dampak positif
diistilahkan dengan Eustress, dan stres yang memberikan dampak
negatif distilahkan dengan distress (Gadzella et al., 2012).
Kupriyanov dan Zhdanov (2014) menyimpulkan bahwa hasil reaksi
tubuh terhadap sumber-sumber stres merupakan eustress. Ketika
eustress (stres yang berdampak baik) dialami seseorang, maka
terjadilah peningkatan kinerja dan kesehatan. Sebaliknya ketika
seseorang mengalami distress (stres yang berdampak buruk), maka
mengkibatkan semakin buruknya kinerja, kesehatan dan timbul
gangguan hubungan dengan orang lain.
Dalam lingkungan akademik telah ditemukan bahwa stres
dapat berdampak positif kepada mahasiswa. Stres bisa berkontribusi
positif kalau jumlah stres tersebut adalah normal. Rafidah, et al.
(2009) menyatakan bahwa sebenarnya stres itu bisa memengaruhi
aktifitas belajar dan memori seseorang. Dalam proses belajar,
dampak positif stres bisa dirasakan oleh siswa apabila jumlah stres
tersebut tidak melebihi kemampuan mereka. Jumlah stres yang
cukup atau normal itu sangatlah perlu karena bisa mengaktifkan
kinerja otak. Schwabe & Wolf (2012) menemukan bahwa stres bisa
menyebabkan berfungsinya beberapa sistem memori pada otak
manusia. Penelitian tersebut membuktikan bahwa setelah seseorang
menerima stres, sistem berbasis corpus striatum (pusat saraf yang
berada di dalam otak hemisphere dekat thalamus) dapat menggeser
sistem berbasis hippocampus (bagian sistem limbik yang bertugas
penyimpan memori) untuk membantu kinerja tugas-tugas yang ada
di dalam otak. Atau dengan kata lain, dengan adanya stres yang
diterima, kemampuan sistem-sistem yang ada di otak pun bisa
bekerja dengan optimal.
Dampak negatif stres (distress) bisa dirasakan oleh siswa
ketika stres tersebut melebihi kemampuan mereka untuk beru-rusan
dengannya. Secara khusus, stres bisa berdampak negatif terhadap
kondisi belajar dan kemampuan kognitif siswa. Penelitian Stallman
(2010) yang melibatkan 6.479 siswa di Australia mengungkapkan
bahwa distress berkaitan dengan ketidakmampuan dan penurunan
prestasi akademik. Selain itu, Palmer (2013) juga melakukan
penelitian kepada sejumlah siswa di wilayah New York, Amerika
Serikat. Hasil penelitian Palmer mengungkapkan bahwa ada
hubungan negatif antara fatique (kelelahan) dan stres siswa. Dengan
adanya hubungan kelelahan dan stres siswa, maka terdapat juga
pengaruh yang negatif terhadap proses belajar dan kemampuan
kognitif para siswa. Lebih lanjut, beberapa peneliti lain telah
menemukan bahwa stres bisa mengakibatkan siswa merasa depresi
(Jayanthi et al., 2015), penurunan prestasi akademik (Stallman,
2010), kondisi kesehatan yang memburuk (Marshall et al., 2008),
siswa yang mengalami depresi, cemas, dan stres secara berlebih akan
cenderung kurang terlibat dalam berinteraksi di dalam kelas (Carton
dan Goodboy, 2015).

2. Indeks Massa Tubuh (IMT)


a. Pengertian Indeks Massa Tubuh
IMT adalah cara termudah untuk memperkirakan obesitas serta
berkolerasi tinggi dengan massa lemak tubuh, selain itu juga penting
untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai risiko
komplikasi medis (Pudjiadi, 2010). Indeks massa tubuh (IMT)
diartikan sebagai berat dalam kilogram yang dibagi dengan tinggi
badan dalam meter kuadrat (Bandini et al, 2011).
Indeks massa tubuh (IMT) dihitung sebagai berat badan dalam
kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m2)
dan tidak terikat pada jenis kelamin. IMT secara signifikan
berhubungn dengan kadar lemak tubuh total sehingga dapat dengan
mudah mewakili kadar lemak tubuh. Saat ini, IMT secara
internasional diterima sebagai alat untuk mengidentifikasi kelebihan
berat badan dan obesitas. (Hill,2005) dalam (Sara Sofia,2009).
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan cara yang sederhana untuk
memantau status gizi seseorang, khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan. Berat badan kurang dapat
meningkatkan resiko terhadap penyakit infeksi, sedangkan berat
badan berlebih akan meningkatkan resiko terhadap penyakit
degenerativ, Oleh sebab itu, mempertahankan berat badan normal
memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup yang
lebih panjang (Depkes RI,2010). Indeks massa tubuh (IMT)
merupakan alternatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena
murah serta metode skrining kategori berat badan yang mudah
dilakukan (CDC,2009). Salah satu cara yang digunakan untuk
mengetahui status gizi dengan membandingkan berat badan dan
tinggi badan seseorang yaitu Indeks Massa Tubuh (Depkes RI,
2013).

b. Klasifikasi Indeks Massa Tubuh


Interpretasi IMT pada anak tidak sama dengan IMT pada orang
dewasa. IMT pada anak disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin
anak karena anak lelaki dan perempuan memiliki kadar lemak tubuh
yang berbeda (Arisman, 2008, hal. 232). Rumus untuk mengetahui
nilai IMT dapat dihitung dengan rumus metrik berikut (Arisman,
2011, hal. 165):
Berat badan(Kg)
IMT= 2
[ Tinggi badan(m)]
Keterangan:
1) Tinggi badan
Tinggi badan diukur dengan keadaan berdiri tegak lurus,
tanpa menggunakan alas kaki, kedua tangan merapat ke badan,
punggung dan bokong menempel pada dinding serta pandangan
diarahkan ke depan. Kedua lengan tergantung relaks di samping
badan. Bagian pengukur yang dapat bergerak disejajarkan
dengan bagian teratas kepala (vertex) dan harus diperkuat pada
rambut kepala yang tebal.
Pengukuran dilakukan dua kali paling sedikit. Ketelitian
bacaan skala ± 0,5cm. Tinggi badan menurut Chumlea yang
ditemukan pada tahun 1984 diperoleh dengan rumus:
TB Laki-laki = 64,19 – (0,40 x usia) + (2,02 x TL)
TB perempuan= 84,88 – (0,40 x usia) + (1,83 x TL)
Fibula dapat dijadikan acuan selain menggunakan tulang
tibia. Tinggi tulang fibula (dalam cm), selanjutnya ditulis TF
diukur dari kaput fibula hingga malleolus lateralis. Tinggi badan
diperoleh dengan menerapkan tinggi tulang fibula dengan
rumus:
TB Laki-laki = 153,1 – (0,26 x usia) - (1 x 1 ) + (1,05 x TF)
TB perempuan= 153,1 – (0,26 x usia) - (1 x 2 ) + (1,05 x TF)
Pengukuran tinggi badan dapat pula dengan menggunakan
panjang rentang tangan (PRT). PRT adalah jarak antara dua
ujung jari tangan kiri dan kanan terpanjang (biasanya ujung jari
tengah) melalui tulang dada. Pengukuran PRT dilakukan dengan
posisi pasien sama seperti ketika ditimbang beratnya dan diukur
tingginya, kecuali kedua lengan direntangkan kesamping badan
(lengan membentuk sudut 90 terhadap ketiak), sedangkan
setengah PRT adalah jarak dari ujung jari tengah (lengan yang
tidak dominan) hingga incisura jugularis. Rumus PRT tidak
boleh diterapkan pada anak di bawah lima tahun karena tungkai
dan batang badan belum berkembang dalam kecepatan yang
sama. Penentuan TB menggunakan PRT dihitung dengan rumus:
TB Laki-laki = 53,4 – (0,67 x PRT)
TB perempuan= 81,0 – (0,48 x PRT)
Penentuan TB menggunakan ½ PRT, menggunakan
rumus:
TB=[0,73 x (2 x ½ PRT)] + 0,43
2) Berat badan
Penimbangan berat badan terbaik dilakukan pada pagi hari
bangun tidur sebelum makan pagi, sesudah 10-12 jam
pengosongan lambung. Timbangan badan perlu dikalibrasi pada
angka nol sebagai permulaan dan memiliki ketelitian 0,1kg.
Berat badan dapat dijadikan sebagai ukuran yang reliable
dengan mengkombinasikan dan mempertimbangkannya
terhadap parameter lain seperti tinggi badan, dimensi kerangka
tubuh, proporsi lemak, otot, tulang dan komponen berat
patologis (seperti edema dan splenomegali).
Berat badan ideal orang dewasa dapat diperoleh
menggunakan formula Lorentz:
( TB cm−150 )
BBI laki−laki=( TBcm −100 ) −
4
( TB cm−150 )
BBI perempuan=( TBcm −100 ) −
2,5

Adapun klasifikasi IMT menurut Word Health


Organization (WHO) dapat dilihat dalam Tabel 2.1. berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang
Dewasa Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik
(WHO,2012)
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Underweight <18,5
Normal 18,5-22,9
Overweight ≥23,0
Beresiko 23,0-24,9
Obesitas tingkat I 25,0-29,9
Obesitas Tingkat II ≥30,0
Sumber: Sudoyo et al,2014

Sementara pengkategorian IMT dari Kementerian


Kesehatan (2010) sebagai berikut:
Tabel 2.2. Klasifikasi IMT berdasarkan Kementerian Kesehatan
Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Sangat kurus < -3SD
Kurus -3 SD s/d <-2 SD
Normal - 2 SD s/d 1 SD
Gemuk >1 SD s/d 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber: Kementerian Kesehatan (2010, hal. 4)
Tabel 2.3. Klasifikasi IMT menurut Umur pada Grafik CDC (2016)
Status berat badan Range Persentil
Underweight < Presentil ke-5
Normal Presentil ke-5 s/d < Presentil ke-85
Overweight Presentil ke-85 s/d < Presentil ke-95
Obesitas ≥ Presentil ke-95

c. Kelebihan dan Kekurangan Indeks Massa Tubuh


Indeks massa tubuh (IMT) merupakan salah satu indikator yang
dapat dipercayai untuk mengukur lemak tubuh. Walau
bagaimanapun, terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan dalam
mengggunakan IMT sebagai indikator pengukuran lemak tubuh.
Kekurangan indeks massa tubuh adalah: Pada olahragawan tidak
akurat (terutama atlet bina) yang cenderung berada pada kategori
obesitas dalam IMT disebabkan mereka mempunyai massa otot yang
berlebihan walaupun presentase. Lemak tubuh mereka dalam kadar
yang rendah, sedangkan dalam pengukuran berdasarkan berat badan
dan tinggi badan, kenaikan nilai IMT adalah disebabkan oleh lemak
tubuh (Ida, 2015).
Pada anak-anak tidak akurat karena jumlah lemak tubuh akan
berubah seiringan dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuh
badan seseorang. Jumlah lemak tubuh pada lelaki dan perempuan
juga berbeda selama pertumbuhan. Oleh karena itu, pada anak-anak
dianjurkan untuk mengukur berat badan berdasarkan nilai persentil
yang dibedakan atas jenis kelamin dan usia. Pada kelompok bangsa:
tidak akurat pada kelompok bangsa tertentu karena harus
dimodifikasi mengikuti kelompok bangsa tertentu. Sebagai contoh
IMT yang melebihi 23,0 adalah berada dalam kategori kelebihan
berat badan dan IMT yang melebihi 27,5 berada dalam kategori
obesitas pada kelompok bangsa seperti Cina, India, dan Melayu (Ida,
2015).
Kelebihan indeks massa tubuh adalah:
a. Biaya yang diperlukan tidak mahal
b. Untuk mendapat nilai pengukuran, hanya diperlukan data berat
badan dan tinggi badan seseorang.
c. Mudah dikerjakan dan hasil bacaan adalah sesuai nilai standar yang
telah dinyatakan pada tabel IMT.

d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Indeks Massa Tubuh


1. Usia
Usia merupakan faktor yang secara langsung berhubungan
dengan Indeks Massa Tubuh Seseorang. Prevalensi obesitas
(berdasarkan IMT) meningkat secara terus menerus dari usia 20-
60 tahun. Setelah 60 tahun angka obesitas mulai menurun. Hasil
survey kesehatan di Inggris menyatakan bahwa kelompok usia
16-24 tahun tidak berisiko mengalami obesitas dibandingkan
dengan kelompok usia yang lebih tua. Kelompok usia setengah
baya dan pensiun memiliki risiko obesitas yang lebih tinggi.
Semakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung
kehilangan massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak
tubuh. Kadar metabolisme juga akan menurun menyebabkan
kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah.
2. Jenis kelamin
IMT dengan kategori kelebihan berat badan lebih banyak
ditemukan pada laki-laki. Namun, angka kejadian obesitas lebih
tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perempuan memiliki
sekitar 19 kali lipat risiko lebih tinggi mengembangkan
kelebihan berat badan dan obesitas dibandingkan dengan laki
laki (Ahmed, 2017).
3. Genetik
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa lebih dari 40%
variasi IMT dijelaskan oleh faktor genetik. IMT sangat
berhubungan erat dengan generasi pertama keluarga. Studi lain
yang berfokus pada pola keturunan dan gen spesifik telah
menemukan bahwa 80% keturunan dari dua orang tua yang
obesitas juga mengalami obesitas dan kurang dari 10% memiliki
berat badan normal (Hill, 2012).
4. Pola makan
Pola makan adalah pengulangan susunan makanan yang
terjadi saat makan. Pola makan berkenaan dengan jenis, proporsi
dan kombinasi makanan yang dimakan oleh seorang individu,
masyarakat atau sekelompok populasi. Makanan cepat saji
berkontribusi terhadap peningkatan indeks massa tubuh
sehingga seseorang dapat menjadi obesitas. Hal ini terjadi
karena kandungan lemak dan gula yang tinggi pada makanan
cepat saji. Selain itu peningkatan porsi dan frekuensi makan
juga berpengaruh terhadap peningkatan obesitas. Orang yang
mengkonsumsi makanan tinggi lemak lebih cepat mengalami
peningkatan berat badan dibanding yang mongkonsumsi
makanan tinggi karbohidrat dengan jumlah kalori yang sama
(Idapola, 2009).
5. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik menggambarkan gerakan tubuh yang
disebabkan oleh kontraksi otot menghasilkan energi ekspenditur.
Menjaga kesehatan tubuh membutuhkan aktifitas fisik sedang
atau bertenaga serta dilakukan hingga kurang lebih 30 menit
setiap harinya dalam seminggu. Penurunan berat badan atau
pencegahan peningkatan berat badan dapat dilakukan dengan
beraktifitas fisik sekitar 60 menit dalam sehari (Sugondo,2010).
6. Tingkat Stres
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kelompok
tingkat stres ringan dan tingkat stres sedang sebagian besar
responden mengalami peningkatan IMT dan sebagian lainnya
mengalami penurunan IMT. Analisis hubungan menunjukkan
bahwa terdapat hubungan positif bermakna antara tingkat stres
dengan indeks massa tubuh (Purwanti et al., 2017). Penelitian
lain mengungkapkan bahwa responden yang pernah mengalami
stres akibat konflik sekolah/rekreasi memiliki risiko empat kali
lebih tinggi untuk mendapatkan berat badan dan menjadi
kelebihan berat badan dan obesitas (Ahmed, 2017).

B. Hubungan Stres dengan Indeks Masa Tubuh


Respon hormon utama dalam stres adalah aktivasi sistem
corticothrophin releasing hormone (CRH) dan adreno corticotropic
hormone (ACTH). Proses yang terjadi meliputi perangsangan pada
hipotalamus menyebabkan disekresinya hormon corticothropin
releasing hormone (CTH), selanjutnya merangsang hipofisis anterior
untuk mensekresi ACTH. Terjadinya peningkatan sekresi CTH dan
ACTH, menyebabkan korteks adrenal melepaskan kortisol secara
berlebihan. Hormon kortisol merupakan hotmon utama salama adaptasi
terhadap stress. Disaat tubuh mengalami stress, maka secara tidak
langsung tubuh melepaskan hormon kortisol. Tingginya kadar hormon
tersebut akan merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormone insulin,
leptin, dan sistem neuropeptide Y (NPY) yang menimbulkan rasa lapar
sehingga terdapat keinginan untuk makan. Hal tersebut mengakibatkan
terjadinya penumpukan lemak viseral dan dapat meningkatkan berat
badan (Lusia, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Pelletier (2016)
pada mahasiswa tahun dua didapatkan hasil bahwa adanya hubungan
stres yang berlebih dengan berat badan yang berlebih juga. Di Malaysia
tahun 2012, prevalensi berat badan berlebih pada mahasiswa fakultas
kedokteran cukup tinggi yakni sebesar 35,9 persen. Di Indonesia
menurut penelitian yang dilakukan Purwanti (2017) pada mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura didapatkan dihasil 8,3
persen yang mengalami berat badan berlebih. Penelitian yang
dilakukan Eka, dkk (2011) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi Manado didapatkan hasil 32,2 persen yang
mengalami berat badan berlebih.
C. Penelitian Terkait
Tabel 2.2. Penelitian yang Pernah Dilakukan
No. Peneliti/Jurnal Judul Penelitian Desain Hasil Penelitian
Penelitian
1. Ahmed, Sarker Shamima (2017)/ Adolescents’ Level Penelitian Skor stres rata-rata adalah karena
Journal of Enam Medical College of Perceived Stress kuantiatif dengan kehidupan rumah (3,40 ± 0,54), kinerja
Vol 7 No 2 May 2017 and its cross-sectional sekolah (3,31 ± 0,63), kehadiran di
Relationship with dan analisis sekolah (2,42 ± 0,87), hubungan
Body Mass Index in Spearman rank romantis (3,02 ± 0,92), tekanan teman
a Bangladeshi sebaya (2,85 ± 0,72 ), karena interaksi
Population guru (2,89 ± 0,56), ketidakpastian masa
depan (3,83 ± 0,90), konflik
sekolah/rekreasi (3,55 ± 0,68), tekanan
keuangan (2,99 ± 0,79) dan tanggung
jawab semakin dewasa (3,11 ± 0,76).
Sebagian besar responden (86,7%)
sangat tertekan. Penelitian ini
mengidentifikasi jenis kelamin,
pendidikan Ayah, dan stres yang
disumbangkan oleh konflik
sekolah/rekreasi sebagai prediktor
signifikan dari BMI remaja
Kesimpulan: Konflik sekolah/rekreasi
ditemukan terkait dengan BMI ketika
disesuaikan dengan faktor lain.
Sekolah dilaporkan menjadi sumber
stres remaja.
No. Peneliti/Jurnal Judul Penelitian Desain Hasil Penelitian
Penelitian
2. Purwanti et al. (2017)/ Journal of Hubungan Tingkat penelitian Ada 24 orang (28,6%) mengalami stres
Enam Medical College, JVK, 3 (2) Stres Dengan analitik ringan dan 38 orang (45,2%) dengan
(2017) hlm. 47 – 56 Indeks Massa observasional berat badan normal. Berdasarkan
Tubuh Mahasiswa dengan analisis statistik diperoleh nilai
PSPD FK UNTAN pendekatan signifkansi (p) yang didapatkan adalah
Cross sectional 0,000 dan nilai korelasi (r) adalah
dan uji statistik 0,734. Terdapat hubungan yang
Rank Spearman signifikan antara tingkat stres dengan
indeks massa tubuh mahasiswa PSPD.
3. Shimanoe et al. (2015)/ PLOS Perceived Stress Penelitian Tidak ada hubungan yang signifikan
ONE, and Coping kuantitatif antara stres yang dirasakan dan BMI
DOI:10.1371/journal.pone.0118105 Strategies in pendekatan Studi pada pria (Ptrend = 0,09) atau wanita
February 12, 2015 Relation to Body cross-sectional. (Ptrend = 0,58).
Mass Index: Cross- Uji analisis
Sectional Study of regresi logistik
12,045 Japanese
Men and Women
4. Rizvi et al. (2018)/ International Association of body Penelitian Tidak ada hubungan signifikan yang
Journal of Clinical and mass index with kuantitatif ditemukan antara ketinggian dan
Experimental Physiology, Oct-Dec perceived stress in pendekatan Studi tingkat stres, tetapi hubungan yang
2015, Vol 2, Issue 4 male Saudi students cross-sectional. signifikan ditemukan antara berat
Uji analisis badan, BMI
Pearson
product-moment
correlation
5. Kumaladewi et al. (2018)/ Hubungan Antara Analitik Tidak terdapat hubungan yang
No. Peneliti/Jurnal Judul Penelitian Desain Hasil Penelitian
Penelitian
Pendidikan Dokter, Gelombang 2, Tingkat Stres observasional bermakna antara tingkat stres dengan
Tahun Akademik 2017-2018, dengan Indeks dengan IMT underweight atau overweight (p
Volume 4, No. 2, Tahun 2018 Massa Tubuh pendekatan cross underweight = 0,47, p overweight =
Mahasiswa sectional dan uji 0,25).
Fakultas statistik chi-
Kedokteran square
Universitas Islam
Bandung
6. Saat et al. (2010)/ ASEAN Journal Stress And Its Penelitian Tidak ada hubungan antara skor stres
of Psychiatry, Vol. 11 (2) July – Relationship With kuantitatif dan BMI (r = 0,056, p> 0,05).
December 2010: XX XX Body Mass Index pendekatan Studi Selanjutnya, menurut tahun siswa, jenis
Among Biomedical cross-sectional. kelamin, dan ras hasil dari korelasi
Science Students In Uji Spearman’s Spearman menunjukkan bahwa tidak
Kuala Lumpur, correlation ada hubungan yang signifikan antara
Malaysia skor stres dan BMI
D. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan tinjauan teoritis di atas maka kerangka pemikiran dapat
digambarkan sebagai berikut:

Usia

Jenis Kelamin
IMT
Genetik

Pola Makan

Aktifitas Fisik

Stres

1. Stres Ringan
2. Stres Sedang
3. Stres Berat

Keterangan : Diteliti

Tidak diteliti

Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran


E. Hipotesis Kerja
Hipotesis kerja adalah suatu rumusan masalah hipotesis dengan tujuan
membuat ramalan akan peristiwa yang akan terjadi apabila suatu gejala
muncul. Biasanya menggunakan rumusan pernyataan “jika...maka....”
(Notoadmodjo, 2010). Berdasarkan kerangka pemikiran maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah “jika tingkat stres semakin tinggi maka
dapat menyebabkan peningkatan berat badan”

Anda mungkin juga menyukai