Anda di halaman 1dari 28

MODUL TUTORIAL

BLOK GANGGUAN SISTEM SARAF DAN PSIKIATRI


SKENARIO 1

ANDHIKA WAHYU PRATAMA


61115043

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
TAHUN AJARAN 2018 / 2019
Skenario 1
Trauma Kepala
Winda, 16 tahun dirujuk dari RS setalah mengalami kecelakaan lalu lintas. Sewaktu di RS,
Winda sempat sadar, lalu secara perlahan kesadarannya turun kembali dan diperjalanan muntah
2 kali. Setelah dilakukan peeriksaan oleh dokter jaga, ditemukan kesadaran seporos dengan GCS
11 ( E2, V4, M5 ). TD 150/90 mmHg Nadi 56 x/menit, suhu 37,6 derajat celcius, nafas 20 x/menit,
ppil anisokor, kanan 5 mm dan kiri 2 mm. Winda dikonsulkan ke bagian penyakit araf. Dari
pemeriksaan ditemukan reflek cahaya kanan menurun, kiri normal, reflek bisep dan trisep kanan-
kiri normal, dan ditemukan reflek babinsky di sisi kiri. Hasil pemeriksaan rontgen foto schedel
serta pemeriksaan CT scan kepala di temukan adanya fraktur linier os temporal kanan serta lesi
hiperdens di frontotemporal kanan. Segera dilakukan konsul cito ke bagian bedah saraf. Dari hasil
konsul bedah saraf, Winda dianjurkan operasi craniectomy untuk evakuasi hematonm. Setelah
operasi selesai, Winda dirawat 3 hari di ICU dan setelah semua kondisi stebil, Winda dipindahkan
ke bangsal penyakitsaraf untuk pemulihan.
Di bangsal penyakit saraf, Winda dirawat diruangan pemulihan. Ruangan ini bersebelahan
dengan ruang emergency ini dirawat pasien pasien dengan berbagai gangguan yang
menyebabkan kesadaran menurun. Seperti pada bed no. 1, seorang laki-laki 56 tahun dirawat
dengan hemiparesis dupleks ex causa perdarahan intra cerebral dan ini adalah serangan stroke
yang kedua, sedangkan pada bedno 4, pasien dirawat dengan menngitis. Menurut kepala
ruangan emergency, semua pasien di ruangan ini tetap menjalani fisioterapi pasif untuk
mencegah atrofi otot dan kontraktur.
Bagaimana anda menjelaskan berbagai kondisi pasien dengangangguan kesadaran ini?
Step 1 (Terminologi Asing)
1. Soporous : Berkaitan dengan koma atau tidur malam ( keadaan mengantuk yang dalam ),
pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat misalnya; rangsangan nyeri,
tapi pasien tidak terbangun sempurna.

(Sumber : Kamu saku kedokteran dorland ed. 28)


2. GCS : Skala yang dipkai untuk menila atau menentukan tingkat kesadaran pasien, mulai dari
sadar sepenuhnya sampai kesadaran koma.

(Sumber : Kamus kesehatan)


3. Kontraktur : Hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi secara pasif maupun aktif
karena keterbatasan sendi, otot dan kulit.

(Sumber : Kamus kesehatan )


4. Craniectomy : Proses pembedahan untuk menghilangan bagian Dri tengkorak yang disebut
flappy tulang, untuk mengurangi tekanan intrakranial.

(Sumber : kamus saku kedokteran dorland, ed. 28)


5. Pupil anisokor : Pupil ipsilateral melebar.

(Sumber : Kamus kesehatan )


6. Reflek Babinsky : Tindakan reflek jari2 kaki, yag ditimbulkan dengan stimulus gesekan pada
telapak kaki yang menyebabkan semua jari2 menekuk ke bawah.

(Sumber : Kamus kesehatan)

7. Hematom : Kumpulan darah tidak normal diluar pembulha darah.

(Sumber : Kamus saku kedokteran dorland ed. 28)

8. V4 : Respon verbal kacau ( confused )

(Sumber : Kamus kesehatan)

9. Reflek Bisep : Reflek dari otot yang berada pada lengan bagian atas yang akan berkontraksi
saat menekuk tangan dan berelaksasi saat meluruskan tangan. ( Sumber : Kamus kesehatan)
10. Fraktur : Garis fraktur tinggal pada tengkorak yang meliputi seluruh kesehatan tulang

(Sumber : Kamus kesehatan)


11. M5 : Respon motoriknya dapat melokalisasi nyeri atau dapat melakukan tarikan terhadap
sentuhan. (Sumber : Kamus kesehatan)

12. Hemiparesis : Satu tangan / satu kaki, satu sisi wilayah menji lemah namuun tak
sepenuhnya lumpuh.

(Sumber : Kamus kesehatan)

13. E2 : Mata bisa membuka dengan rangsangan nyeri

(Sumber : Kamus kesehatan)

Step 2 (Rumusan Masalah)

1) Apa indikasi dilakukan craniectomy ?

2) Mengapa winda sempat sadar dan mengalami penurunan kesadaran ?

3) Apa tujuan dilakukan craniectomy ?

4) Mengapa pada pemeriksaan pupil ditemukan pupil anisokor ?

5) Mengapa pada saat perjalanan winda muntah ?

6) Mengapa reflek cahaya kanan menurun ?

7) Mengapa ditemukan TD meningkat dan Nadi menurun ?

8) Bagaimana interpretasi GCS winda ?

Step 3 (Hipotesis)

1) Indikasinya :

 Adanya penurunan kesadaran secara tiba-tiba

 Adanya tanda laseralisasi/herniasi

 Adanya cedera sistemik yang mengeluarkan operasi emergency


2) Pada saat kecelakaan kemungkinan winda mengalami benturan dibagian kepala, trauma
kepala dapat menyebabkan pemurunan kesadaran dan sempat sadar karena telah diberikn
pertolongan petama pada winda dengan cara membuka jalan nafas.

3) Tujuannya :

 Menghailangkan bekuan darah (hematom)

 Mengontrol perdarahan pada kepala

 Untuk meringankan tekanan didalam tengkorak

4) Disebabkan oleh karna adanya trauma dikepala kemudian terjadi hematom yang
meningkatkan tekanan intrakranial lbus temporalis dan menekan saraf mata N. III ( N. Oculo
Motorius )

5) Karena tekanan intrakranial meningkat merangsang pusat muntah dari nervus vagus
sehingga terjadi peningkatan tekanan inntraabdomen, peristaltik meningkat, spingter
esofagus terbuka.

6) Menurun karena fraktur linier os. Temporalis kanan menyebabkan pupil anisokor kanan
sehingga terjadi cedera bagian kanan

7) TD meningkat karena winda mengalami trauma kepala yang mengakibatkan cedera pada
otak sehingga darah terlokalisasi ke daerah yang mengalami trauma akibatnya darah perifer
menurun dan TD meningkat. Sedangakan Nadi menurun karena sirkulasi ddarah lenih
utama dibagia yang mengalami trauma pada kasus ini di kepala sehingga darah perifer
menurun.

8) Interpretasinya :

Soporus : GCS II : Sedang :

 E2 : Berarti mata bisa membuka dengan rangsangan nyeri

 V4 : Respon verbal kacau

 M5 : Respon motoriknya dapat melojalisasi nyeriatau dapat melakukan tarikan


terhadap sentuhan
Step 4 (Skema)

Winda KLL

trauma kepala

perdarahan

suplai oksigen tekanan intrakranial gangguan pupil dextra

penururnan kesadarn merangsang reseptor intra kranial dilatasi pupil dextra

pusat muntah ikut terangsang

kontraksi duodenum dn antrum lambung anisokor

tekanan abdominal meningkat

peristaltik meningkat

muntah

craniectomy
Step 5 (Learning Objective)
1. Mahasiswa Mampu memahami dan menjelaskan tentang trauma system
saraf
2. Mahasiswa Mampu Memahami dan Menjelaskan Tentang gangguan system
saraf , infeksi gangguan koordinasi, dan kejang yang memerlukan rujukan.

Step 6 (Mencari Informasi & Belajar Mandiri)

Pembahasan
Sistem saraf merupakan salah satu sistem koordinasi yang bertugas menyampaikan
rangsangan dari reseptor untuk dideteksi dan direspon oleh tubuh. Sistem saraf memungkinkan
makhluk hidup tanggap dengan cepat terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
lingkungan luar maupun dalam. Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang
mempunyai bentuk bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi.
Untuk menanggapi rangsangan, ada tiga komponen yang harus dimiliki oleh sistem saraf, yaitu:
a. Reseptor, adalah alat penerima rangsangan atau impuls. Pada tubuh kita yang bertindak
sebagai reseptor adalah organ indera.
b. Penghantar impuls, dilakukan oleh saraf itu sendiri. Saraf tersusun dari berkas serabut
penghubung (akson). Pada serabut penghubung terdapat sel-sel khusus yang memanjang dan
meluas. Sel saraf disebut neuron.
c. Efektor, adalah bagian yang menanggapi rangsangan yang telah diantarkan oleh penghantar
impuls. Efektor yang paling penting pada manusia adalah otot dan kelenjar.

Fungsi Sistem Saraf


Saraf sebagai sistem koordinasi atau pengatur seluruh aktifitas tubuh manusia
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu sebagai alat komunikasi, pengendali atau pengatur kerja,
dan pusat pengendali tanggapan.
a. Saraf sebagai alat komunikasi antara tubuh dan dunia di luar tubuh. Hal ini dilakukan oleh
alat indera yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit. Karena ada indera, dengan
mudah kita dapat mengetahui perubahan yang terjadi di luar tubuh kita.
b. Saraf sebagai pengendali atau pengatur kerja organ tubuh sehingga dapat bekerja serasi
sesuai dengan fungsi masing-masing.
c. Saraf sebagai pusat pengendali tanggapan atau reaksi tubuh terhadap perubahan keadaan di
sekitarnya. Karena saraf sebagai pengendali kerja alat tubuh maka jaringan saraf terdapat pada
seluruh alat tubuh.

Trauma Sistem Saraf


 Trauma Kapitis
 Trauma Medulla Spinalis

Trauma Kapitis
A. Definisi

Trauma capitis adalah bentuk trauma yang dapat mengubah kemampuan otak
dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik, intelektual, emosi, sosial atau sebagai
gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan pada fungsi otak. (Black, 1997)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala.
(Suriadi, 2003)
B. Etiologi
Penyebab cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Trauma oleh benda tajam
Seperti luka karena peluru, benda tajam menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal.
2. Trauma oleh benda tumpul
Menyebabkan cedera menyeluruh (difus) kerusakan terjadi ketika kekuatan diteruskan ke
subtansi otak, dimana energi diserap oleh lapisan pelindung yaitu rambut, kulit kepala dan
tengkorak, sehingga menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang perjalanan kejaringan
otak.

C. Klasifikasi Cedera Kepala


1. Cedera kepala ringan :
 Klien bangun dan mungkin bisa berorientasi
 GCS (13-15)
 Kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit
 Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hamatom

2. Cedera kepala sedang :


 Klien mungkin konfusi/samnolen, namun tetap mampu untuk mengikuti
perintah sederhana
 GCS (9-12)
 Hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam
 Dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan

3. Cedera kepala berat :


 Klien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran
 GCS (3-8)
 Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam
 Mengalami kontusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial.

D. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan Oksigen dan Glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar
akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai
bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma.Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi
cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada
kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolism anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.Dalam keadaan normal
cerebal blood flow (CBF) adalah 50–60 ml/menit/100gr jaringan otak, yang merupakan 15 %
dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan ventrikel,
takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak
tidak begitu besar (Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. 1998)
E. Manifestasi Klinis
 Nyeri yang menetap atau setempat.
 Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
 Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di
bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea serebro spiral ( cairan
cerebros piral keluar dari telinga ), minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
 Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
 Penurunan kesadaran
 Pusing/berkunang-kunang.
 Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
 Peningkatan TIK
 Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
 Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

F. Pemeriksaan Penunjang
 CT-Scan : mengidentifikasi adanya sol, hemoragi menentukan ukuran ventrikel
pergeseran cairan otak.
 MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
 Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan dan trauma. EEG : memperlihatkan keberadaan/perkembangan
gelombang.
 Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan
garis tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang),
 BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
 PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
 Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid.
 Kimia/elektrolitdarah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dal
peningkatan TIK.
 GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK.
 emeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
 Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang
cukup efektif untuk mengatasi kejang.

G. Penatalaksanaan
a) Penanganan terhadap 5B yaitu :
1) Breathing : Bebaskan obstruksi, suction, intubasi, trakeostomi
2) Blood : Monitor TD, pemeriksaan Hb, leukosit
3) Brain : Ukur GCS
4) Bladder : Kosongkan bladder karena urine yang penuh dan merangsang mengedan.
5) Bower : Kosongkan dengan alasan dapat meningkatkan TIK

b) Penatalaksanaan Medik
1) Konservatif
a) Istirahat baring di tempat tidur.
b) Analgetik untuk mengurangi rasa sakit.
c) Pemberian obat penenang
d) Pemberian obat gol osmotic diuretic ( manitol). Untuk mengatasi edema serebral.
e) Setelah keluhan-keluhan hilang, maka mobilisasi dapat dilakukan secara
bertahap, dimulai dengan duduk di tempat tidur, berdiri lalu berjalan.
2) Operatif
Operasi hanya dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti pada perdarahan epidural dan
perdarahan subdural dengan maksud menghentikan perdarahan dan memperbaiki fraktur
terbuka jaringan otak yang menonjol keluar, atau pada fraktur dimana fragmen-fragmen
tulang masuk ke jaringan otak.

H. Komplikasi

1. Kejang pasca trauma, Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di
awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma).
Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur
depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.

2. Demam dan mengigil : Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan
memperburuk “outcome”. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.
Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan
cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.

3. Hidrosefalus: Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala
klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia,
gangguan miksi.

4. Spastisitas : Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi.
Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan
kontraktur, Bantuan dalam posisioning.Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM,
terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin,
botulinum, benzodiasepin

5. Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium,
agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan
penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan
menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin
dan terapi modifikasi lingkungan.

6. Mood, tingkah laku dan kognitif ,Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol
dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons
Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah
laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%,
gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.

7. Sindroma post kontusio , Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera
kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap
suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori.

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera
berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki
kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12
atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan
dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali
berturnpang-tindih dengan gejala depresi.

CONTUSIO SEREBRI
Definisi
Contusio serebri merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar,
dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Contusio serebri (cerebral contussion) adalah
luka memar pada otak. Memar yang disebabkan oleh trauma dapat membuat jaringan menjadi
rusak dan bengkak dan pembuluh darah dalam jaringan pecah, menyebabkan darah mengalir
ke dalam jaringan disebut hematoma.
Memar otak atau Contusio serebri adalah perdarahan di dalam jaringan otak yang tidak
disertai oleh robekan jaringan yang terlihat, meskipun sejumlah neuron mengalami kerusakan
atau terputus. Memar otak disebabkan oleh akselerasi kepala tiba-tiba yang menimbulkan
pergeseran otak dan kompresi yang merusak dan membuat penurunan kesadaran sementara.
Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat adanya
kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak mengganggu
jaringan.
Epidemiologi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, dapat bersifat temporer atau permanen. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran penderita cedera kepala yang masuk ke Instalasi Rawat Darurat Bedah
(IRDB) RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado dalam periode Januari 2013 – Desember 2013.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif. Subjek penelitian ialah pasien yang
masuk ke IRDB RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari 2013 – Desember 2013
yang didiagnosis cedera kepala. Jenis kelamin, usia, pekerjaan, penyebab cedera kepala dan
diagnosis dicatat dari rekam medik pasien. Hasil penelitian memperlihatkan 420 kasus cedera
kepala, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 302 orang (71,9%) sedangkan
jenis kelamin perempuan 118 orang (28,1%). Puncak kejadian pada kelompok umur 15-19tahun
(17,1%) dengan profesi terbanyak sebagai pelajar/mahasiswa sejumlah 138 orang (32,9%) dan
profesi yang paling sedikit TNI/POLRI dan pendeta masing – masing 1 pasien (0,2%). Dari rekam
medik didapatkan penyebab cedera kepala tersering ialah kecelakaan lalu lintas yang dialami
oleh 298 orang (71,0%) dan 178 orang didiagnosis komosio serebri yang merupakan diagnosis
tersering sebanyak 40,8%.

Etiologi
Penyebab contusio cerebri atau memar otak adalah adanya akselerasi kepala tiba-tiba
yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak akibat dari kecelakaan, jatuh
atau trauma. Dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur
parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak. Lokasi kontusio yang
begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya
gaya yang mengenai kepala.

Patofisiologi
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak
tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan. Hal yang paling penting untuk terjadinya lesi contusio ialah adanya akselerasi kepala
yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak
membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap
lintasan asendens retikularis. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena
itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Sistem akitifitas retikularis
berfungsi sebagai mempertahankan kesadaran. Sistem aktivitas ini terletak di bagian atas batas
otak, terutama di mesensefalon dan hipotalamus.

Manifestasi Klinis
Gejala lain yang sering muncul pada contusion serebri yaitu :
a. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri
b. Kehilangan gerakan
c. Denyut nadi lemah
d. Pernapasan dangkal
e. Kulit dingin dan pucat
f. Sering defekasi dan berkemih tanpa disadari
g. Pasien dapat diusahakan untuk bangun/sadar tetapi kembali kedalam keadaan tidak
sadarkan diri
h. Tekanan darah dan suhu abnormal

Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan
diagnosa contusio cerebri adalah dengan dilakukan pemeriksaan imaging berupa CT-scan
dikarenakan perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah dikenali.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya
kemungkinan komplikasi jangka pendek. Pada gambaran CT-Scan didapatkan adanya
gambaran hiperdens pada parenkim otak.

Penatalaksanaan
Pengelolaan konservatif pada contusio serebri bertujuan untuk mengurangi
tekanan intrakranial dengan cara non-bedah, tindakan tersebut antara lain:
 Oksigenasi ventilasi Dengan oksigenasi dan ventilasi diharapkan PCO2
dipertahankan sekitar 30 mmHg dan dicegah agar PCO2 tidak turun dibawah 25
mmHg, sehingga akan tercapai vasokonstriksi pembuluh darah otak dan akan
menurunkan volume intrakranial sehingga dapat menurunkan tekanan
intrakranial.
 Pemberian manitol Dosis yang digunakan adalah 0,2 sampai dengan 1 gram per
kgBB. Manitol tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan hipotensi akan
memperberat hipovolemia. Pemberian diuretik juga dapat menggunakan
furosemide, dosis yang digunakan adalah 0,3 sampai dengan 0,5 mg/kgBB.
 Balance cairan dan elektrolit Kebutuhan cairan pada pasien cedera kepala harus
tercukupi, oleh karena bila tidak dapat menyebabkan dehidrasi sistemik yang
dapat menyebabkan cedera sekunder pada jaringan otak yang mengalami
trauma.

EPIDURAL HEMATOM
A. Defenisi
Definisi
Epidural hematoma atau perdarahan ekstradura diartikan sebagai adannya
penumpukan darah diantara dura dan tubula interna/lapisan bawah tengkorak (Japardi, 2004).
Lebih sering terjadi pada lobus temporal dan parietal (Smeltzher & Bare, 2001).

Epidemiologi
60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi
pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien
yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.

Etiologi
Epidural hematom terjadi karena laserasi pembuluh darah yang ada di antara tengkorak
dan durameter akibat benturan yang menyebabkan fraktur tengkorak seperti kecelakaan
kendaraan, atau tertimpa sesuatu. Sumber perdarahan biasanya dari laserasi cabang arteri
meningen, sinus duramatis, dan diploe,
Patofisiologi
Fraktur tengkorak karena benturan mengakibatkan laserasi (rusak) atau robeknya arteri
meningeal tangah, arteri ini berada diantara durameter dan tengkorak daerah inferior menuju
bagian tipis tulang temporal. Rusaknya pembuluh darah ini mengakibatkan darah memenuhi
ruangan epidural yang menyebabkan hematom epidural. Apabila perdarahan ini terus
berlangsung menimbulkan desakan durameter yang akan menjauhkan duramater dari tulang
tengkorak hal ini akan memperluas hematom. Perluasan hematom ini akan menekan lobus
temporal ke dalam dan kebawah. Tekanan ini menyebabkan isi otak mengalami herniasi.
Adanya herniasi ini akan mengakibatkan penekanan saraf yang ada dibawahnya seperti
penekanan pada medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Pada bagian juga
terdapat nervus okulomotor, yang mana penekanan pada saraf ini meyebabkan dilatasi pupil
dan ptosis. Perluasan atau membesarnya hematom akan mengakibatkan seluruh isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
intracranial (TIK) sehingga terjadi penekanan saraf-saraf yang ada diotak

Manifestasi Klinis
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun secara
progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar disekitar mata dan
dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telingah.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala.
Gejala yang sering tampak :
1) Penurunan kesadaran , bisa sampai koma
2) Bingung
3) Penglihatan kabur
4) Susah bicara
5) Nyeri kepala yang hebat
6) Keluar cairan dari hidung dan telingah
7) Mual
8) Pusing dan Berkeringat

Pemeriksaan Penunjang
-CT scan: Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler,
pergeseran otak.
- MRI: sama dengan CT scan dengan/tanpa menggunakan kontras
- Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergerseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan/trauma
- EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
- Sina X: mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur
dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang
- BAER (Brain auditory Evoked Respons): menentukan fungsi korteks dan batang otak
- PET (Positron Emission Tomogrhapy): menunjukkan metabolisme pada otak
- Fungsi lumbal: dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid
- AGD: mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK

Penatalaksanaan
Penanganan darurat :

 Dekompresi dengan trepanasi sederhana


 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma

Terapi medikamentosa :

I. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital Usahakan agar jalan nafas selalu babas,


bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu
dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline
II. Mengurangi edema otak Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik” air dari ruang
intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam dosis yang
cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an bedah. Pada kasus biasa,
harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali
(diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang
lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang
ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi
bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba
juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang
diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan
dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg. d. Barbiturat. Digunakan
untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin,
akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak
relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai
oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.

INDIKASI
Operasi di lakukan bila terdapat :
 Volume hamatom> 30 ml
 Keadaan pasien memburuk
 Pendorongan garis tengah > 5 mm fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak
depres dengan kedalaman>1 cm EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan
pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang

Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

Komplikasi
Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :
 Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana keadaan
ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak
(brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
 Kompresi batang otak.
Prognosis
Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :

 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )


 Besarnya
 Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang
mengalami koma sebelum operasi.

Trauma Medulla Spinalis

Definisi
Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma
langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti
fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refl eks, baik komplet ataupun inkomplet.

Trauma Medulla Spinalis adalah Trauma yang terjadi pada jaringan medulla
spinalis yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang
vertebrata atau kerusakan jaringan medulla spinalis lainnya termasuk akar-akar saraf
yang berada sepanjang medulla spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi.

Epidemiologi
Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada era
modern, dengan 8.000-10.000 kasus per tahun pada populasi penduduk USA dan
membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan dan asuransi di
USA.

Etiologi

 Trauma
 Kelainan pada vertebra (arthropathi spinal)
 Keganasan yang menyebabkan fraktur patologik
 Infeksi
 Osteoporosis
 Kelainan congenital
 Gangguan vaskuler
 Kecelakaan lalu lintas
 Olah raga , Tumor

Patofisiologi

Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur Trauma medula spinalis dapat


menyebabkan komosio, kontusio, laserasi, atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi
medula spinalis berupa rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun
desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, mem besar, lalu menyatu dalam waktu satu
jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia
alba, dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin
dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural luas.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma. Yang paling
berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh korpus vertebra yang
mengalami dislokasi ke posterior dan trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi. Toleransi medula spinalis
terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran darah kapiler
dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior akibat kompresi tulang
Mekanisme kerusakan primer Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer:
(1) gaya impact dan kompresi persisten,
(2) gaya impact tanpa kompresi,
(3) tarikan medula spinalis,
(4) laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.

Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis Trauma Medula Spinalis (Brunner dan Suddarth, 2001)

a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b. paraplegia
c. tingkat neurologik
d. paralisis sensorik motorik total
e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f. penurunan keringat dan tonus vasomoto
g. penurunan fungsi pernafasan
h. Kelemahan motorik ekstermitas atas lebih besar dari ekstermitas bawah

Penegakan Diagnosis
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran,
reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
b. CT Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak
jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya
tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi
maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada
trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

Penatalaksanaan
1. Lakukan tindakan segera pada cedera medula spinalis.
Tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada medula spinalis.sebagian
cedera medula spinalis diperburuk oleh penanganan yang kurang tepat,efek hipotensi
atau hipoksia pada jaringan saraf yang sudah terganggu.
- Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan.
- Beri bantal,guling atau bantal pasir pada sisi pasien u/ mencegah pergeseran.
- tutup dengan selimut untuk menghindari hawa panas badan.
- pindahkan pasien ke RS yang memiliki fasilitas penanganan kasus cedera medula
spinalis.

2.Perawatan khusus
- Kontusio / transeksi / kompresi medula spinalis.
a) metil prednisolon 30 mg / kg BB bolus intra vena selama 15 menit dilanjutkan
dg 5,4mg /kg BB/ jam, 45 menit.setelah bolus ,selama 23 jam hasil optimal bila
pemberian dilakukan < 8 jam onset.
b) Tambahkan profilaksis stres ulkus : antasid / antagonis H2

3.Tindakan operasi diindikasikan pada :


- Fraktur servikal dg lesi parsial medula spinalis
- Cedera terbuka dg benda asing / tulang dlm kanalis spinalis.

Komplikasi
a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi

Daftar Pustaka
Boughman Diane. E (2001). Buku saku keperawatan medical bedah. EGC : Jakarta.

Evelyn C. Peace (1998). Anatomo fisiologi untuk paramedic. PT Gramedia: Jakarta.

Guyton& hall (1997). Buku ajar fisiologi kedoteran . EGC : Jakarta.

Justin M, 2006, Subdural Hematoma, Vol 171.


Wilkins, Williams L, 2008, ContralateralbAcute Epidural Hematoma After Decompressive
Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65.
Ersay F, Rapid spontaneous resolution of epidural hematoma,Turkish journal of trauma &
emergency surgey.
Gupta R, Mohindra S, 2008, Traumatic Ipsilateral acute extradural and subdural hematoma
http://etd.unsyiah.ac.id/index.php?prodi=250&page=80

http://etd.unsyiah.ac.id/baca/index.php?id=18947&page=11

file:///C:/Users/Hp/Downloads/11224-32807-5-PB%20(2).pdf
-

Anda mungkin juga menyukai