SKENARIO 1
DISUSUN OLEH :
61115005
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2017/2018
BLOK GANGGUAN SISTEM SARAF DAN PSIKIATRI
SEMESTER 6
SKENARIO 1
TRAUMA KEPALA
Winda, 16 tahun dirujuk dari RS dengan keluhan tidak sadar setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas.sewaktu di RS, winda sempat sadar, lalu secara perlahan kesadarannya
turun kembali dan di perjalanan muntah 2 kali. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter
jaga, ditemukan kesadaran soporous dengan GCS 11 (E2, V4, M5). TD 150/90 mmHg, nadi
56x/menit, suhu 37,6°C, nafas 20 x/menit, pupil anisokor, kanan 5 mm dan kiri 2 mm. Winda
dikonsulkan ke bagian penyakit saraf. Dari pemeriksaan ditemukan refleks cahaya kanan
menurun, kiri normal, refleks bisep dan trisep kanan-kiri normal, dan ditemukan refleks
babinsky disisi kiri. Hasil pemeriksaan rontgen foto schedel serta pemeriksaan CT scan
kepala ditemukan adanya fraktur linier os temporal kanan serta lesi hiperdens di
frontotemporal kanan. Segera lakukan konsul cito craniectomy untuk evakuasi hematom.
Setelah operasi selesai, Winda di rawat 3 hari di ICU dan setelah semua kondisi stabil, winda
dipindahkan ke bangsal penyakit saraf untuk pemulihan.
1. Soporous : berkaitan dengan koma atau tidur malam (keadaan mengantuk yang
dalam), pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat misal
rangsang nyeri, tapi pasien tidak terbangun sempurna.
(kamus kedokteran dorland edisi 28)
2. GCS : skala yang dipakai untuk menilai atau menentukan tingkat kesadaran pasien,
mulai dari sadar sepenuhnya sampai kesadaran koma.
(kamus kesehatan)
3. Kontraktur : hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi secara pasif
maupun aktif karena keterbatasan sendi, otot dan kulit.
(kamus kesehatan)
4. Craniectomy : proses pembedahan untuk menghilangkan bagian dari tengkorak yang
di sebut flappy tulang, untuk mengurangi tekanan intrakranial.
(kamus kedokteran dorland edisi 28)
5. Refleks bisep : refleks dari otot yang berada pada lengan bagian atas yang akan
berkontraksi saat menekuk tangan dan berelaksasi saat meluruskan tangan.
(kamus kesehatan)
6. Refleks babinsky : tindakan refleks jari-jari kaku, yang ditimbulkan dengan stimulus
gesekan pada telapak kaki yang menyebabkan semua jari-jari menekuk ke bawah.
(kamus kesehatan)
7. Hematom : kumpulan darah tidak normal diluar pembuluh darah.
(kamus kesehatan)
8. V4 : respon verbal kacau (confused)
(kamus kesehatan)
9. Refleks trisep : refleks otot berada dibawah lengan dengan fungsi kerja yang
berkebalikan dengan refleks bisep.
(kamus kesehatan)
10. Fraktur linier : garis fraktur tinggal pada tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan
tulang.
(kamus kesehatan)
11. M5 : respon motoriknya dapat melokalisasi nyeri atau dapat melakukan tarikan
terhadap sentuhan.
(kamus kesehatan)
12. Hemiparesis : satu tangan/satu kaki, satu sisi wajah menjadi lemah namun tak
sepenuhnya lumpuh.
(kamus kesehatan)
13. E2 : mata bisa membukan dengan rangsangan nyeri
(kamus kesehatan)
STEP 3 (HIPOTESIS)
Nadi menurun karena sirkulasi darah lebih utama dibagian yang mengalami trauma
pada kasus ini di kepala sehinga perifer menurun mengakibatkan nadi melemah.
M5 : respon motoriknya dapat melokalisasi nyeri atau dapat melakukan tarikan terhadap
sentuhan
STEP 4 (SKEMA)
Trauma kepala
Perdarahan
Tekanan abdominal
meningkat
Peristaltik meningkat
muntah
craniectomy
STEP 5 (LEARNING OBJECT)
STEP 7 (PEMBAHASAN)
DEFINISI
Cedera Medula spinalis dalah cedera yang biasanya berupa fraktur atau cedera lain
pada tulang vertebra, korda spinalis itu sendiri, yang terletak didalam kolumna vertebralis,
dapat terpotong, tertarik, terpilin atau tertekan. Kerusakan pada kolumna vertaebralis atau
korda dapat terjadi disetiap tingkatan,kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh korda
atau hanya separuhnya.
Cedera medulla spinalis adalah cedera dimana medulla spinalis tertekan akibat fraktur
vertebra, perubahan posisi vertebra.
Cedera medulla spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis, vetebratis dan
lumbalis akibat suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang
dapat mengenai aringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang
belakang itu sendiri dan sumsum tulang belakang (spinal cord).
KLASIFIKASI
1. Grade A
a) Komplit
b) Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang diinervasi oleh segmen
sakral 4-5
2. Grade B
a) Inkomplit
b) Fungsi sensorik tetapi bukan motorik di bawah tingkat lesi dan
menjalar sampai segmen sakral (S4-5).
3. Grade C
a) Inkomplit
b) Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot
penting dibawah tinkat lesi memiliki nilai kurang dari 3.
4. Grade D
a) Inkomplit
b) Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot
penting memiliki nilai lebih dari 3.
5. Grade E
a) Normal
b) Fungsi motorik dan sensorik normal.
EPIDEMIOLOGI
Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3
membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam
pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi
cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan
hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan
cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan
klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.
ETIOLOGI
1. Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang syaraf yang terkena.
2. Paralegia.
3. Paralisis sensorik motorik total.
4. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih).
5. Penurunan keringat dan vasokomoto
6. Penurunan fungsi pernapasan
7. Gagal napas
PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida,
Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medula spinalis, tetapi lesi
traumatic pada medula spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma
yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsafleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada
tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk
dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada
waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertikal (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medula spinalis
dapat bersifat sementara atau menetap. akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema,
perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula
spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medula spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara
langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan/menggeserkan ruas tulang
belakang (fraktur dan dislokasi). lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen
yang terkena (segmen transversal, hemitransversal, kuadran transversal). hematomielia
adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia
grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri,
jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasi. kompresi medula spinalis terjadi
karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medula spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic
dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan
kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medula spinalis
akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasi, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik
dan mengalami jejas/reksis. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia,
gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.
jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik
yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9
yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistem anastomosis anterial anterior spinal.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1) Sinar X spinal : Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi),
unutk kesejajaran,reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
2) Ct-scan : Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
3) MRI : Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4) Mielografi : Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnyatidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid
medullaspinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
5) Foto ronsen torak : memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan
padadiafragma, atelektasis)
6) Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume
inspirasimaksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikatbagian bawah
atau pada trauma torakal dengan gangguanpada saraf frenikus /otot interkostal).
7) GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
PENCEGAHAN
factor –faktor resiko dominan untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis
kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan cedera
medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primer.untuk
mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut perlu dilakukan :
PENATALAKSANAAN
Terapi utama:
KOMPLIKASI
a) Neurogenik shock
b) Hipoksia
c) Gangguan paru-paru
d) Instabilitas paru
e) Ileus paralitik
f) Infeksi kandung kemih
g) Kontraktur
h) Dekubitus
i) Konstipasi
PROGNOSIS
Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai harapan untuk sembuh
kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk
sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien
mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90%
penderita cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri.
TRAUMA KEPALA
DEFINISI
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006)
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing.
Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan
tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan
jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada
proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.
e) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi
akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.
f) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas
setelah kecederaan (Mansjoer, 2000).
Perdarahan Intrakranial
a. Perdarahan Epidural (Hematoma Epidural)
Setelah cedera kepala ringan, darah terkumpul diruan epidural (ekstradural) diantara
tengkorak dan durameter. Keadaan ini sering diakibatkan karena terjadinya fraktur tulang
tengkorank yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak (laserasi)-dimana
arteri ini berada diantara dura meter dan tengkorak menuju bagian tipis tulang temporal-dan
terjadi hemoragik sehingga terjadi penekanan pada otot.
Penatalaksanaan untuk hematoma epidural dipertimbangkan sebagai keadaan darurat
yang ekstrem,dimana deficit neurologis atau berhentinya pernafasan dapat terjadi dalam
beberapa menit. Tindakan yang dilakukan terdiri atas membuat lubang pada tulang tengkorak
(burr),mengangkat bekuan dan mengontrol titik pendarahan.
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah pengumpulan darah pada ruang diantara dura meter dan
dasar otak,yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma subdural paling dering
disebabkan karena trauma,tetapi dapat juga terjadi akibat kecenderungan pendarahan yang
serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering terjadi pada venadan merupakan
akibat dari putusnya pembuluh darah kecilyang menjebatani ruang subdural. Hematoma
subdural bisa terjadi akut,subakut,dan kronis tergantung padaukuran pembuluh darah yang
terkena dan jumlah pendarahan yang terjadi.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44
tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala,
20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan
olahraga dan rekreasi (Turner DA, 1996). Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi
data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat
inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak
ada yang meninggal(PERDOSSI, 2007).
Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan
kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di
medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown,
Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga
rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika
Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti
berikut:
1. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
2. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
3. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).
Gejala Klinis
PATOFISILOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak
hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung.
Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi
kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan
yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama
glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat
kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena
itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan
hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme
jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen
tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat
menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya
tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak.
Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif
dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel).
Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi,
kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter
yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui
reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid)
menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym
degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies
terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan
mengkerut (shrinkage).
Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang dapat
dihentikan.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Fisik
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi,rhonkhi, takhipnea)
2) Sistem saraf : Saraf kranial adanya anosmia, agnosia, kelemahan gerakan otot mata,
vertigo.
3) Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan
penurunan fungsi saraf kranial.
4) Tingkat kesadaran : adanya perubahan mental seperti lebih sensitive, gelisah, stupor,
koma
5) Rangsangan meningeal : kaku kuduk, kernig, brudzinskhi.
6) Fraktur tengkorak : jenis fraktur, luka terbuka, perdarahan konjungtiva, rihinorrea,
otorhea, ekhimosisis periorbital, gangguan pendengaran.
7) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh peningkatan TIK dan
disritmia jantung.
8) Kognitif : amnesia postrauma, disoroentasi, amnesia retrograt, gangguan bahasa dan
kemampuan matematika.
9) Fungsi sensori : lapang pandang, diplopia, gangguan persepsi, gangguan pedengaran,
gangguan sensasi raba.
10) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak
volunter, ROM, kekuatan otot.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Therapy/tindakan penanganan
- Larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada
pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau
dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati
memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat
ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam
atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
- Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari) berguna
untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
- Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis
- Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan
memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15
mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi
50 mg/menit
Penatalaksanaan
Pedoman resusitasi dan penilaian awal
1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi
palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal,
pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu jalan nafas, maka
pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak
berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi
cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi,
jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak
terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan
PaCO2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intrabdomen
atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau
dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil darah vena untuk
pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri.
Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin)
menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia dan
hiperkapnia memburuk cedera kepala.
4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai
tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan
intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.
1. Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan prosedur berikut :
- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan
Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular
daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
- Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosis,
kimia darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin, atau masa
tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.
3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT
Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan
cedera kepala ringan, sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :
- Hematoma epidural
- Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema serebri
- Obliterasi sisterna perimesensefalik
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.
4. Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi,
lakukan tindakan berikut ini :
Penatalaksanaan Khusus
1. Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke
rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
- Foto servikal jelas normal
- Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat darurat jika
timbul gejala perburukan.
2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala trauma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan
normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan dengan observasi di rumah
meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi
intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.
3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera
pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma
intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasi ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif
walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi
setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi atau
tekanan tekanan intrakranial yang meningkat.
- Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan stupor atau
koma (tidak dapat mengikuti perintah karena kesadaran menurun), harus
diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial
meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai PCO2 40 mmHg dan PO2 90-
100 mmHg.
- Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik (hipotensi dan hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan
dengan kateter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala
akut, maka tekanan arteri harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70
mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia
otak dan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
- Memasang alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <8,
bila memungkinkan
- Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer
laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas
tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat
menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolik,
dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral
melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin.
(biasanya hari ke-2 perawatan).
- Temperatur badan : demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak
dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Pengobatan penyebab (antibiotika) diberikan bila perlu.
- Antikejang : fenitolin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari
14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik.
Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian
hari. Jika pasien tidak mengalami kejang pemberian fenitoin harus dihentikan
setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau secara ketat karena kadar
subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.
Komplikasi
Cedera kepala merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Melihat
penyebarannya yang banyak menimpa kalangan produktif. Penyakit ini disebut sebagai
penyebab kematian utama di kalangan yang tidak mentaati aturan dalam berlalu lintas. Selain
itu perawatan penyakit ini cukup serius dan sulit. Tidak menutup kemungkinan di tengah
perawatan bisa muncul komplikasi dari penyakit lainnya seperti edema, kerusakan jaringan
otak dan adanya perdarahan serius yang sulit ditangani. Prognosis pada cedera kepala sering
mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk
rumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan
meninggal 85% atau tetap pada kondisi vegetative hanya 5-10%. Syndrome pascakonkusi
berhubungan dengan sindrom nyeri kepala kronis, keletihan, pusing, ketidakmampuan
berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien
setelah cedera kepala. Sering kali bertumpang tindih dengan depresi. Jadi prognosisnya
buruk.
CONTUSIO SEREBRI
DEFINISI
Contusio serebri merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar,
dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Contusio serebri (cerebral contussion) adalah
luka memar pada otak. Memar yang disebabkan oleh trauma dapat membuat jaringan menjadi
rusak dan bengkak dan pembuluh darah dalam jaringan pecah, menyebabkan darah mengalir
ke dalam jaringan disebut hematoma. (Journal Of Neurotrauma 2012; 29:19-31)
Memar otak atau Contusio serebri adalah perdarahan di dalam jaringan otak yang
tidak disertai oleh robekan jaringan yang terlihat, meskipun sejumlah neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Memar otak disebabkan oleh akselerasi kepala tiba-tiba yang
menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak dan membuat penurunan
kesadaran sementara. Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi
otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis
tidak mengganggu jaringan. ( Ratnaike TE, Hastie H, Gregson B, Mitchell P. The geometry
of brain contusion: relationship between site of contusion and direction of injury. British
Journal of Neurosurgery 201; 25:410–3)
EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, dapat bersifat temporer atau permanen. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran penderita cedera kepala yang masuk ke Instalasi Rawat Darurat Bedah
(IRDB) RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado dalam periode Januari 2013 – Desember 2013.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif. Subjek penelitian ialah pasien
yang masuk ke IRDB RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari 2013 –
Desember 2013 yang didiagnosis cedera kepala. Jenis kelamin, usia, pekerjaan, penyebab
cedera kepala dan diagnosis dicatat dari rekam medik pasien. Hasil penelitian
memperlihatkan 420 kasus cedera kepala, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 302 orang (71,9%) sedangkan jenis kelamin perempuan 118 orang (28,1%). Puncak
kejadian pada kelompok umur 15-19tahun (17,1%) dengan profesi terbanyak sebagai
pelajar/mahasiswa sejumlah 138 orang (32,9%) dan profesi yang paling sedikit TNI/POLRI
dan pendeta masing – masing 1 pasien (0,2%). Dari rekam medik didapatkan penyebab
cedera kepala tersering ialah kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh 298 orang (71,0%) dan
178 orang didiagnosis komosio serebri yang merupakan diagnosis tersering sebanyak 40,8%.
Simpulan: Pada penelitian ini cedera kepala terbanyak terjadi pada laki-laki dengan
kelompok usia15-19 tahun. Pelajar/mahasiswa merupakan profesi terbanyak, kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab utama, dan komosio serebri sebagai diagnosis tersering.
ETIOLOGI
Penyebab contusio cerebri atau memar otak adalah adanya akselerasi kepala tiba-tiba
yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak akibat dari kecelakaan, jatuh
atau trauma. Dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak
struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan
arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
PATOFISIOLOGI
Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami
benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipital selain di tempat benturan
dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan. Lesi kedua
ini disebut lesi kontra benturan. Perdarahan mungkin pula terjadi disepanjang garis gaya
benturan ini. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai
kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri
dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau
tidak dijumpai defisit neurologik. Gejala defisit neurologik bergantung pada lokasi dan
luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di
dalam jaringan otak.
Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral.
Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural,
perdarahan epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subarachnoid. Pada daerah
kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan
daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema
sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat
menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal ini
disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga
perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial pressure (MAP) atau
peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7
hari.
MANIFESTASI KLINIS
Timbulnya lesi kontusio dapat menimbulkan gejala defisit neurologic berupa
timbulnya refleks patologis seperti refleks Babinski. Pada kontusio serebri yang berlangsung
lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya selalu dijumpai defisit neurologis
yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis
yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula
disertai perdarahan subaraknoid atau kontusio pada batang otak.
Kontusio serebri juga dapat disertai dengan adanya edema otak sehingga dapat
menyebabkan meningkatnya tekanan intracranial. Tekanan intrakranial yang meningkat dapat
menimbulkan gangguan mikrosirkulasi otak sehingga memperburuk keadaan edema otak.
Pada kontusio dengan perdarahan dan edema yang terjadi di daerah diensefalon dapat
menimbulkan pola pernapasan yang dalam dan kemudian semakin mendangkal dan diselingi
oleh fase apnea. Pola pernafasan ini disebut pola Cheyne Stokes. Dan juga memungkinkan
terjadinya rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua
lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku.
Bila lesi terdapat di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, pernapasan
hiperventilasi, motorik menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku
dalam sikap ekstensi. Lesi yang terdapat didaerah pons bagian bawah bila nuklei vestibularis
terganggu bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang dan
pernapasan tidak teratur. Bila pada bagian oblongata terganggu, pernapasan melambat tak
teratur dan tersengal-sengal.
b. Kehilangan gerakan
d. Pernapasan dangkal
PENEGAKAN DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
Contusio serebri dapat cenderung memburuk dari waktu ke waktu yang akan
mengarah cepat menjadi perdarahan intracranial yang menyebabkan perburukan keadaan
klinis dan kondisi neurologis. Dalam kasus ini, penanganan yang paling utama adalah dengan
memantau ketat keadaan tekanan intrakanial, Mean Arterial Pressure (MAP) dan Cor
Pulmonale Pressure (CPP). Pada pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya kejang dan
yang dapat memperburuk defisit neurologis, termasuk pasien dengan GCS skor ≤10, memar
kortikal, fraktur depres basis cranii, hematoma subdural, epidural hematoma serta perdarahan
intraserebral pemberian antikonvulsan dapat dipertimbangkan. Berkenaan dengan intervensi
bedah, masih terdapat beberapa perdebatan mengenai evakuasi lesi intraparenchymal seperti
contusio serebri. Dalam mengatasi kasus ini, bedah eksisi merupakan tindakan konservatif
yang paling baik dilakukan. Namun, tindakan yang paling efektif untuk mengatasi tekanan
intracranial adalah dengan dilakukannya craniectomy decompressive.
DEFINISI
Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang
tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater..Hematoma
epiduralmerupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka
mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah perietotemporal
akibat robekan arteria meningea media.
Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan araknoid,
biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural hematoma yang
seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika terjadi
pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging vein”.
EPIDEMIOLOGI
Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan trauma kepala
berat, berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1-3 kasus
per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan dengan
perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan
mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas perdarahan subdural berhubungan dengan faktor
umur yang merupakan faktor resiko pada cedera kepala (blunt head injury). Perdarahan
subdural biasanya lebih sering ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-70
tahun. Pada orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga lebih mudah
pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak ada adhesi,
sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat pada bayi-bayi.
ETIOLOGI
Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan
vena-vena. Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak
ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak
primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu
lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut
lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.
PATOFISIOLOGI
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah
penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi
sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam
rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki venavena yang halus ) dan
orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih
panjang ) memiliki resiko yang lebih besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada
permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan
vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti
karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan
reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan
jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan
hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya
perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa
darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga
akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran
dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu
ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan
bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun
secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar disekitar mata
dan dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan
telingah. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala.
Biasanya terjadi setelah minggu ketiga, sudahkronis biasanya terjadi pada orang tua,
Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut gejala
yang terasa Cuma pusing. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah
menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur. Karena penimbunan cairan tersebut
kapsul terus membesar dan mudah ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi
desak ruang. Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun cairan
>> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan
penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.
PENEGAKAN DIAGNOSA
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali. Foto Polos Kepala Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti
sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi
yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteria meningea media. Computed Tomography (CT-Scan) Pemeriksaan CT-Scan
dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada
epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi
(bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 –
90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.
PENATALAKSANAAN
1. EPIDURAL HEMATOM
Penanganan darurat :
Terapi medikamentosa :
b. Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik” air dari
ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam
dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB
dalam 1030 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an
bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin
dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan
harinya.
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang
pernah dicoba juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai
100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon
pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10
mg. d. Barbiturat. Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat
digunakan dengan pengawasan yang ketat.
INDIKASI
Volume hamatom> 30 ml
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 5 mm fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak
depres dengan kedalaman>1 cm EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan
pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang
Tanda-ta nda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
2. SUBDURAL HEMATOM
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan
operasi, perhatiaan hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa
untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian mannitol 0,25
gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena, dihiperventilasikan. Tidakan operatif Baik pada
kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala- gejala yang progresif maka
jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum
diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah airway,
breathing, dan circulatioan.
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran midline
shift >5 mm pada CT-Scan
b. Semua pasien SDH dengan GCS 2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk rumah
sakit.
c. Pasien SDH dengan GCS< 9, dan /atau TIK >20 mmhg .
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy. Tindakan yang
paling banyak diterima karena minimal komplikasi. Trepanasi atau burr holes
dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dan local anastesi Kraniotomi dan
membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang infasih dengan tingkat
komplikasi yang lebih tinggi.
KOMPLIKASI
Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana keadaan ini
mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain
shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
Kompresi batang otak.
Hemiparese/hemiplegia.
Disfasia/afasia
Epilepsi.
Hidrosepalus.
Subdural empiema
PROGNOSIS
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami
koma sebelum operasi.
Prognosis dari penderita SDH ditentukan dari:
pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin
jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosisnya.
Kasus Rujukan
a. Ditemukan nyeri kepala bersifat sekunder, maka sebaiknya pasien dirujuk ke Faskes
Sekunder atau Tersier (dengan dokter SpS). Hal paling penting yang harus
diperhatikan saat menghadapi kasus ini adalah identifikasi kasus "serius" (meningitis,
Iskandar.J.SpBS.2004.Cedera Kepala.Jakarta:BIP
Sylvia & Lorraine, 1994, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Penyakit. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI
Robertson C.S, Zager E, 2010, Clinical Evaluation of Portable Near-infrared Device for
detection of Traumatic Intracranial hematom, Journal of Neurotrauma.