Anda di halaman 1dari 45

BLOK GANGGUAN SISTEM SARAF DAN PSIKIATRI

SKENARIO 1

DISUSUN OLEH :

DIAH STANYA PUTRI

61115005

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

2017/2018
BLOK GANGGUAN SISTEM SARAF DAN PSIKIATRI

SEMESTER 6

TA. 2017 – 2018

PRODI KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM

SKENARIO 1

TRAUMA KEPALA

Winda, 16 tahun dirujuk dari RS dengan keluhan tidak sadar setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas.sewaktu di RS, winda sempat sadar, lalu secara perlahan kesadarannya
turun kembali dan di perjalanan muntah 2 kali. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter
jaga, ditemukan kesadaran soporous dengan GCS 11 (E2, V4, M5). TD 150/90 mmHg, nadi
56x/menit, suhu 37,6°C, nafas 20 x/menit, pupil anisokor, kanan 5 mm dan kiri 2 mm. Winda
dikonsulkan ke bagian penyakit saraf. Dari pemeriksaan ditemukan refleks cahaya kanan
menurun, kiri normal, refleks bisep dan trisep kanan-kiri normal, dan ditemukan refleks
babinsky disisi kiri. Hasil pemeriksaan rontgen foto schedel serta pemeriksaan CT scan
kepala ditemukan adanya fraktur linier os temporal kanan serta lesi hiperdens di
frontotemporal kanan. Segera lakukan konsul cito craniectomy untuk evakuasi hematom.
Setelah operasi selesai, Winda di rawat 3 hari di ICU dan setelah semua kondisi stabil, winda
dipindahkan ke bangsal penyakit saraf untuk pemulihan.

Di bangsal penyakit saraf, Winda dirawat diruang pemulihan. Ruangan ini


bersebelahan dengan ruang emergensi. Berbeda dengan ruang pemulihan, di ruang emergensi
ini dirawat pasien-pasien dengan berbagai gangguan yang menyebabkan kesadaran menurun.
Seperti pada bed no 1, seorang laki-laki 56 tahun dirawat dengan hemiparesis dupleks ex
causa perdarahan intra cerebral dan ini adalah serangan stroke yang kedua, sedangkan pada
bed no 4, pasien dirawat dengan meningitis, menurut kepala ruangan emergensi, semua
pasien di ruangan ini tetap menjalani fisioterapi pasif untuk mencegah atrofi otot dan
kontraktur.

Bagaimana anda menjelaskan berbagai kondisi pasien dengan gangguan kesadaran


ini?
STEP 1 (TERMINOLOGI ASING)

1. Soporous : berkaitan dengan koma atau tidur malam (keadaan mengantuk yang
dalam), pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuat misal
rangsang nyeri, tapi pasien tidak terbangun sempurna.
(kamus kedokteran dorland edisi 28)
2. GCS : skala yang dipakai untuk menilai atau menentukan tingkat kesadaran pasien,
mulai dari sadar sepenuhnya sampai kesadaran koma.
(kamus kesehatan)
3. Kontraktur : hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi secara pasif
maupun aktif karena keterbatasan sendi, otot dan kulit.
(kamus kesehatan)
4. Craniectomy : proses pembedahan untuk menghilangkan bagian dari tengkorak yang
di sebut flappy tulang, untuk mengurangi tekanan intrakranial.
(kamus kedokteran dorland edisi 28)
5. Refleks bisep : refleks dari otot yang berada pada lengan bagian atas yang akan
berkontraksi saat menekuk tangan dan berelaksasi saat meluruskan tangan.
(kamus kesehatan)
6. Refleks babinsky : tindakan refleks jari-jari kaku, yang ditimbulkan dengan stimulus
gesekan pada telapak kaki yang menyebabkan semua jari-jari menekuk ke bawah.
(kamus kesehatan)
7. Hematom : kumpulan darah tidak normal diluar pembuluh darah.
(kamus kesehatan)
8. V4 : respon verbal kacau (confused)
(kamus kesehatan)
9. Refleks trisep : refleks otot berada dibawah lengan dengan fungsi kerja yang
berkebalikan dengan refleks bisep.
(kamus kesehatan)
10. Fraktur linier : garis fraktur tinggal pada tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan
tulang.
(kamus kesehatan)
11. M5 : respon motoriknya dapat melokalisasi nyeri atau dapat melakukan tarikan
terhadap sentuhan.
(kamus kesehatan)
12. Hemiparesis : satu tangan/satu kaki, satu sisi wajah menjadi lemah namun tak
sepenuhnya lumpuh.
(kamus kesehatan)
13. E2 : mata bisa membukan dengan rangsangan nyeri
(kamus kesehatan)

STEP 2 (RUMUSAN MASALAH)

1. Apa indikasi dilakukan craniectomy ?


2. Mengapa Winda sempat sadar dan terjadi penurunan kesadaran ?
3. Apa tujuan dilakukan craniectomy ?
4. Mengapa pada pemeriksaan pupil ditemukan pupil anisokor ?
5. Megapa pada saat perjalanan Winda muntah ?
6. Mengapa refleks cahaya kanan menurun ?
7. Mengapa ditemukan tekanan darah tinggi dan nadi rendah ?
8. Bagaimana interpretasi dari gcs Winda ?

STEP 3 (HIPOTESIS)

1. a. Adanya penurunan kesadaran secara tiba-tiba.

b. adanya tanda laserasi/ herniasi

c. adanya cedera sistemik yang mengeluarkan operasi emergensi

2. Pada saat kecelakaan kemungkinan Winda mengalami benturan dibagian kepala,trauma


kepala dapat menyebabkan penurunan kesadaran dan sempat sadar karena telah
diberikan pertolongan pertama pada Winda dengan cara membuka jalan nafas.
3. (1) menghilangkan bekuan darah (hematom)

(2) mengontrol perdarahan pada kepala

(3) untuk meringankan tekanan dalam tengkorak


4. Disebabkan oleh adanya trauma dikepala kemudian terjadi hematom yang
meningkatkan tekanan intrakranial lobus temporalis dan menekan saraf mata N III (N.
Okulo motorius).
5. Karena tekanan intrakranial meningkat merangsang pusat muntah dari nervus vagus
sehingga terjadi peningkatan tekanan intraabdomen, peristaltik meningkat, sfingter
esofagus terbuka lalu terjadi muntah.
6. Refleks cahaya menurun karena fraktur linier os. Temporal kanan menyebabkan pupil
anisokor kanan dan cedera dibagian kanan.
7. TD meningkat karena Winda mengalami trauma kepala menyebabkan cedra pada otak
dan darah terlokalisasi kedaerah yang mengalami trauma mengakibatkan daerah perifer
menurun dan tekanan darah meningkat.

Nadi menurun karena sirkulasi darah lebih utama dibagian yang mengalami trauma
pada kasus ini di kepala sehinga perifer menurun mengakibatkan nadi melemah.

8. Soporous GCS II : sedang :

E2 : mata membuka dengan rangasangan nyeri

V4 : respon verbal kacau/ confused

M5 : respon motoriknya dapat melokalisasi nyeri atau dapat melakukan tarikan terhadap
sentuhan
STEP 4 (SKEMA)

Winda Kecelakaan lalu


lintas
(16 tahun)

Trauma kepala

Perdarahan

suplai O2 menurun Tekanan intrakranial Gangguan pupil dextra


meningkat

Penurunan kesadaran Dilatasi pupil dextra


Merangsang reseptor
intrakranial
anisokor

Pusat muntah ikut


terangsang

Kontraksi duodenum dan


atrium lambung

Tekanan abdominal
meningkat

Peristaltik meningkat

muntah

craniectomy
STEP 5 (LEARNING OBJECT)

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Trauma sistem saraf


2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang Trauma kepala
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan tentang kasus infeksi dan trauma
sistem saraf dan gangguan koordinasi, kejang yang memerlukan rujukan
STEP 6 (MENCARI INFORMASI DAN BELAJAR MANDIRI)

STEP 7 (PEMBAHASAN)

TRAUMA MEDULA SPINALIS

DEFINISI

Cedera Medula spinalis dalah cedera yang biasanya berupa fraktur atau cedera lain
pada tulang vertebra, korda spinalis itu sendiri, yang terletak didalam kolumna vertebralis,
dapat terpotong, tertarik, terpilin atau tertekan. Kerusakan pada kolumna vertaebralis atau
korda dapat terjadi disetiap tingkatan,kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh korda
atau hanya separuhnya.

Cedera medulla spinalis adalah cedera dimana medulla spinalis tertekan akibat fraktur
vertebra, perubahan posisi vertebra.

Cedera medulla spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis, vetebratis dan
lumbalis akibat suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Trauma pada tulang belakang
dapat mengenai aringan lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang
belakang itu sendiri dan sumsum tulang belakang (spinal cord).

KLASIFIKASI

American spinal injury association (ASIA) bekerja sama dengan international


medikal society of para legia (IMSOP) telah mengembangakan dan mempublkasikan
standart international untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera mendula spinalis.
Klasifikasi ini berdasarkan pada frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai
banyak negara karena sistem tersebut dipandang akrat dan komperhensif.

Skala kerusaka menurut ASIA/IMSOP

1. Grade A
a) Komplit
b) Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang diinervasi oleh segmen
sakral 4-5
2. Grade B
a) Inkomplit
b) Fungsi sensorik tetapi bukan motorik di bawah tingkat lesi dan
menjalar sampai segmen sakral (S4-5).
3. Grade C
a) Inkomplit
b) Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot
penting dibawah tinkat lesi memiliki nilai kurang dari 3.
4. Grade D
a) Inkomplit
b) Gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot
penting memiliki nilai lebih dari 3.
5. Grade E
a) Normal
b) Fungsi motorik dan sensorik normal.

EPIDEMIOLOGI

Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi


150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap
tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh
cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum
Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003
angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya
termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan
hormonal (menopause) (di kutip dari Medical Surgical Nursing, Charlene J. Reeves,1999).

Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3
membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam
pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi
cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan
hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu
dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan
cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan
klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.

ETIOLOGI

Penyebab tersering adalah kecelakaan mobil, kecelakaan motor, jatuh,cedera olah


raga, dan luka akibat tembakan atau pisau.

TANDA DAN GEJALA

1. Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang syaraf yang terkena.
2. Paralegia.
3. Paralisis sensorik motorik total.
4. Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung kemih).
5. Penurunan keringat dan vasokomoto
6. Penurunan fungsi pernapasan
7. Gagal napas

PATOFISIOLOGI

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari
ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida,
Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medula spinalis, tetapi lesi
traumatic pada medula spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma
yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medula spinalis
disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsafleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada
tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk
dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada
waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia.

Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan
vertikal (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medula spinalis
dapat bersifat sementara atau menetap. akibat trauma terhadap tulang belakang, medula
spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema,
perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula
spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.

Laserasi medula spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara
langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan/menggeserkan ruas tulang
belakang (fraktur dan dislokasi). lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen
yang terkena (segmen transversal, hemitransversal, kuadran transversal). hematomielia
adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia
grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri,
jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasi. kompresi medula spinalis terjadi
karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.

Suatu segmen medula spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic
dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan
kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medula spinalis
akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.

Akibat hiperekstensi dislokasi, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik
dan mengalami jejas/reksis. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia,
gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.
jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik
yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9
yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistem anastomosis anterial anterior spinal.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1) Sinar X spinal : Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi),
unutk kesejajaran,reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
2) Ct-scan : Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
3) MRI : Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4) Mielografi : Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnyatidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid
medullaspinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
5) Foto ronsen torak : memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan
padadiafragma, atelektasis)
6) Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume
inspirasimaksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikatbagian bawah
atau pada trauma torakal dengan gangguanpada saraf frenikus /otot interkostal).
7) GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

PENCEGAHAN

factor –faktor resiko dominan untuk cedara medulla spinalis meliputi usia, jenis
kelamin, dan penyalahgunaan obat. Frekuensi factor resiko ini dikaitkan dengan cedera
medulla spinalis bertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primer.untuk
mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut perlu dilakukan :

A. menurungkan kecepatan berkendara.


B. menggunakan sabuk pengaman.
C. menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
D. program pendidikan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk.
E. mencegah jatuh.
F. menggunakn alat – alat pelindung dan tekhnik latihan.

PENATALAKSANAAN

Pada prinsipnya cedera mendula spinalis di tunjukkan untuk:


 Melindungi medula spnalis dari kerusakan lebih lanjut.
 Mempertahankan struktur tulang belakang yang memungkinkan pemulihan maksimal
pada lesi inkomplit.
 Mencapai stabilitas vetebrata yang memungkinkan rehabitasi.

Terapi utama:

 Farmakoterapi. Metilprednisolon 30 mg/kg bolus selama 15 menit, lalu 45 menit


setelah pemberian bolus pertama, lanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg/jam selama 23
jam.
 Imobilisasi. Traksi, untuk menstabilkan medula spinalis.
 Bedah. Untuk mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus atau
fraktur vertebra yang mungkin menekan medula spinalis; juga diperlukan untuk
menstabilisasi vertebra untuk mencegah nyeri kronis.

KOMPLIKASI

a) Neurogenik shock
b) Hipoksia
c) Gangguan paru-paru
d) Instabilitas paru
e) Ileus paralitik
f) Infeksi kandung kemih
g) Kontraktur
h) Dekubitus
i) Konstipasi

PROGNOSIS

Pasien dengan cedera medula spinalis komplet hanya mempunyai harapan untuk sembuh
kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72 jam, maka peluang untuk
sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi sensorik masih ada, maka pasien
mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan kembali sebesar 50%. Secara umum, 90%
penderita cedera medula spinalis dapat sembuh dan mandiri.
TRAUMA KEPALA
DEFINISI
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan
fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006)

JENIS TRAUMA KEPALA


Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi (area) dimana terjadi trauma
(Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu
secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup
merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah
luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup
adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan
jaringan otak menekan tengkorak.
Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada
dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006). Kemungkinan kecederaan atau trauma
adalah seperti berikut;
a) Fraktur
Menurut American Accreditation Health Care Commission, terdapat 4 jenis fraktur
yaitu simple fracture, linear or hairline fracture, depressed fracture, compound
fracture. Pengertian dari setiap fraktur adalah sebagai berikut:
· Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit
· Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi, distorsi
dan ‘splintering’.
· Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.
· Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak
terdapat juga hematoma subdural (Duldner, 2008).
Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau kelainan
pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya
yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya
pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat (Graham and Gennareli, 2000; Orlando
Regional Healthcare, 2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii
yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoon’s
eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak
sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi
pada fossa anterior, media dan posterior (Garg, 2004).
Fraktur maxsilofasial adalah retak atau kelainan pada tulang maxilofasial yang
merupakan tulang yang kedua terbesar setelah tulang mandibula. Fraktur pada bagian ini
boleh menyebabkan kelainan pada sinus maxilari (Garg, 2004).

b) Luka memar (kontosio)


Luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan dimana n pembuluh
darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak,
menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak
menekan tengkorak. Biasanya terjadi pada ujung otak seperti pada frontal, temporal dan
oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging) seperti luka besar. Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami
pembengkakan yang di sebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat mengubah
tingkat kesadaran (Corrigan, 2004).
Umumnya,individu yang mengalami cidera luas mengalami fungsi motorik
abnormal,gerakan mata abnormal,dan peningkatan TIK yang merupakan prognosis buruk.

c) Cedera kepala ringan (Komosio)


Setelah cidera kepala ringan,akan terjadi kehilangan fungsi neurologis sementara dan
tanpa kerusakan struktur. Komosio (commotio) umumnya meliputi suatu periode tidak sadar
yangberakir sselama beberapa detik sampai beberapa menit. Kedaaan komosio ditunjukan
dengan gejala pusing atau berkunang-kunang. Dan terjadi kehilangan kesadaran penuh sesaat.
Jika jaringan otak dilobus frontal terkena klien akan berperilaku sedikit aneh,sementara jika
lobus temporal yang terkena maka akan menimbulkan amnesia dan disoreintasi.
Penatalaksanaan meliputi kegiatan:
· Mengobservasi klien terhadap adanya sakit kepala,pusing,peningkatan kepekaan
terhadap rangsang dan cemas.
· Memberikan informasi,penjelasan,dan dukungan terhadap klien tentang dampak
paskacomosio
· Melakukan perawatan 24 jam sebelum klien dipulangkan klien dipulangkan
· Memberitahukan klien/keluarga untuk segera membawa klien kerumah sakit jika
ditemukan tanda-tanda sukar bangun,konvulsi (kejang),sakit kepala berat,muntah,dan
kelemahan pada salah satu sis tubuh
· Mengajurkan klien untuk melakukan untuk melakukan kegiatan normal perlahan dan
bertahap.

d) Laserasi (luka robek atau koyak)

Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul atau runcing.
Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda bermata tajam dimana lukanya akan
tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan
jaringan bawah kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya pada
proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat menimbulkan jaringan parut.

e) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa
mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi
akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

f) Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas,tetapi sebagian
masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas
setelah kecederaan (Mansjoer, 2000).

 Perdarahan Intrakranial
a. Perdarahan Epidural (Hematoma Epidural)
Setelah cedera kepala ringan, darah terkumpul diruan epidural (ekstradural) diantara
tengkorak dan durameter. Keadaan ini sering diakibatkan karena terjadinya fraktur tulang
tengkorank yang menyebabkan arteri meningeal tengah putus atau rusak (laserasi)-dimana
arteri ini berada diantara dura meter dan tengkorak menuju bagian tipis tulang temporal-dan
terjadi hemoragik sehingga terjadi penekanan pada otot.
Penatalaksanaan untuk hematoma epidural dipertimbangkan sebagai keadaan darurat
yang ekstrem,dimana deficit neurologis atau berhentinya pernafasan dapat terjadi dalam
beberapa menit. Tindakan yang dilakukan terdiri atas membuat lubang pada tulang tengkorak
(burr),mengangkat bekuan dan mengontrol titik pendarahan.
b. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah pengumpulan darah pada ruang diantara dura meter dan
dasar otak,yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hematoma subdural paling dering
disebabkan karena trauma,tetapi dapat juga terjadi akibat kecenderungan pendarahan yang
serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering terjadi pada venadan merupakan
akibat dari putusnya pembuluh darah kecilyang menjebatani ruang subdural. Hematoma
subdural bisa terjadi akut,subakut,dan kronis tergantung padaukuran pembuluh darah yang
terkena dan jumlah pendarahan yang terjadi.

 Perdarahan subdural akut


Hematomasubdural akut dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau laserasi. Biasanya klien dalam keadaankomaatau mempunyai keadaan klinis
yang sama dengan hematoma epidural tekanan darah meningkat dan frekuensi nadi lambat
dan pernafasan cepat sesuai dengan peningkatan hematoma yang cepat.
 Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang
lambat, serta gelisah.
 Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil.

 Perdarahan subdural subakut


Hematoma subdural subakut adakah sekuel dari kontusio sedikit berat dan dicurigai pada
klien dengan kegagalan untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala.
Tanda-tanda dan gejalanya hampir sama pada hematoma subdural akut yaitu:
 Nyeri kepala
 Bingung
 Mengantuk
 Menarik diri
 Berfikir lambat
 Kejang
 Oedema pupil
 Perdarahan subdural kronis
Hematoma subdural kronis menyerupai kondisi lain yang mungkin dianggap sebagai
stroke. Pendarahan sedikit menyebar dan mungkin dapai kompresi pada intracranial. Darah
dalam otak mengalami perubahan karakter dalam 2-4 hari,menjadi kental dan lebih gelap.
Dalam beberapa minggu bekuan mengalami warna serta konsistensi seperti minyak mobil.
Otak beradaptasi pada invasi benda asing ini,tanda serta gejala klinis klien berfluktuasi
seperti terdapat sering sakit kepala hebat,kejang fokal.
Tindakan terhadap hematoma subdural kronis terdiri atas bedah pengangkatan bekuan
dengan dengan menggunakan penghisap dan pengirigasian area tersebut. Proses ini dapat
dilakukan melalui pembuatan lubang (burr) ganda atau kraniotomi yang dilakukan untuk lesi
massa subdural yang cukup besar yang dapat dilakukan melalui pembuatan lubang (burr).

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44
tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala,
20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan
olahraga dan rekreasi (Turner DA, 1996). Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi
data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat
inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka
kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak
ada yang meninggal(PERDOSSI, 2007).

Penyebab Trauma Kepala

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan
kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di
medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown,
Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga
rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika
Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti
berikut:
1. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau
kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).
2. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun
sesudah sampai ke tanah.
3. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau
menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).

Gejala Klinis

- Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,


kehilangan tonus otot.
- Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
- Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
- Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
- Muntah proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
- Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris)
deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti
pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon
tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.

PATOFISILOGI
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak
hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung.
Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi
kelabu.
Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan
yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama
glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat
kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena
itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan
hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme
jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen
tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.
Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat
menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi,
kontusio).

2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas
kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya
tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak.
Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif
dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :


CPP = MAP - ICP

CPP : Cerebral Perfusion Pressure


MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak
mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel).
Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi,
kejang, dll.

3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter
yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui
reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid)
menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym
degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

4. Kerusakan Membran Sel


Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan
DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin
(yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk
menjaga integritas dan repair membran tersebut).
Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang
menghasilkan radikal bebas yang berlebih.

5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies
terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan
mengkerut (shrinkage).
Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang dapat
dihentikan.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan Fisik

1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi,rhonkhi, takhipnea)
2) Sistem saraf : Saraf kranial adanya anosmia, agnosia, kelemahan gerakan otot mata,
vertigo.
3) Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan
penurunan fungsi saraf kranial.
4) Tingkat kesadaran : adanya perubahan mental seperti lebih sensitive, gelisah, stupor,
koma
5) Rangsangan meningeal : kaku kuduk, kernig, brudzinskhi.
6) Fraktur tengkorak : jenis fraktur, luka terbuka, perdarahan konjungtiva, rihinorrea,
otorhea, ekhimosisis periorbital, gangguan pendengaran.
7) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh peningkatan TIK dan
disritmia jantung.
8) Kognitif : amnesia postrauma, disoroentasi, amnesia retrograt, gangguan bahasa dan
kemampuan matematika.
9) Fungsi sensori : lapang pandang, diplopia, gangguan persepsi, gangguan pedengaran,
gangguan sensasi raba.
10) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan gerak
volunter, ROM, kekuatan otot.

Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang

A. CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,


menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
B. MRI : sama dengan CT Scan
C. Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma
D. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis.
E. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
F. Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan) adanya fragmen tulang.
G. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
H. perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
I. Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
J. AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub
arakhnoid.
K. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan mental.
L. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibatpeningkatan tekanan intrkranial

PENATALAKSANAAN MEDIS
Therapy/tindakan penanganan

- Larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang diberikan kepada
pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau
dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Profilaksis ulkus peptik : pasien dengan ventilasi mekanis atau koaglupati
memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat
ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam
atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton.
- Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari) berguna
untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
- Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis
- Kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Dengan
memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi
sampai tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15
mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi
50 mg/menit

Penatalaksanaan
Pedoman resusitasi dan penilaian awal

1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi
palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal,
pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera kepala orofasial mengganggu jalan nafas, maka
pasien harus diintubasi.

2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak
berikan oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi
cedera dada berat seperti pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks. Pasang oksimeter nadi,
jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum 95%. Jika pasien tidak
terlindung bahkan terancam atau memperoleh oksigen yang adekuat (PaO2 >95 mmHg dan
PaCO2 > 95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi.

3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intrabdomen
atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat pemantau
dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena ynag besar, ambil darah vena untuk
pemeriksaan dara perifer lengkap ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri.
Berikan larutan koloid. Sedangkan laruta kristaloid (dekstrosa dan dekstrosa salan salin)
menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera kepala. Keadaan hipotensi, hipoksia dan
hiperkapnia memburuk cedera kepala.

4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.
Dengan memberikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai
tiga kali masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan
intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

5. Menilai tingkat keparahan

a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

- Skor skala koma Glasgow 15(sadar penuh, atensif, dan orientasi)


- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang.
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala.
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

- Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)


- Konkusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan serebrospinal)
- Kejang

c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

- Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)


- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
- Pedoman penatalaksanaan

1. Pada semua pasien dengan cedera kepala atau leher, lakukan foto tulang belakang
servikal (proyeksi antero-posterior, lateral dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.

2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, dilakukan prosedur berikut :

- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan
Ringer laktat : catat isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular
daripada cairan hipotonis dan larutan ini tidak menambah edema serebri.
- Lakukan pemeriksaan : hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosis,
kimia darah, glukosa, ureum, kreatinin, masa protrombin, atau masa
tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alkohol bila perlu.

3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang : foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT
Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan
cedera kepala ringan, sedang atau berat, harus dievaluasi adanya :

- Hematoma epidural
- Darah dalam suaracnoid dan intraventrikel
- Kontusio dan perdarahan jaringan otak
- Edema serebri
- Obliterasi sisterna perimesensefalik
- Pergeseran garis tengah
- Fraktur kranium, cairan dalam sinus dan pneumosefalus.

4. Pada pasien yang koma (skor GCS <8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi,
lakukan tindakan berikut ini :

- Elevasi kepala 30o


- Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermiten dengan
kecepatan 16-20 kali/menit dengan volume tidal 10-12 ml/kg. Atur tekanan
CO2 sampai 28-32 mmHg. Hipokapnia berat (PCO2 < 25 mmHg) harus
dihindari sebab dapat menyebabkan vasokontriksi dan iskemia serebri.
- Berikan manitol 20% 1g/kg intravena dalam 20-30 menit. Dosis ulang dapat
diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6 jam sampai
maksimal 48 jam pertama.
- Pasang kateter Foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang
besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi > diploe)

Penatalaksanaan Khusus

1. Cedera kepala ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke
rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria sebagai berikut :

- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
- Foto servikal jelas normal
- Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gaeat darurat jika
timbul gejala perburukan.

Kriteria perawatan di rumah sakit :

- Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan


- Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun
- Adanya tanda atau gejala neurologis fokal
- Intoksikasi obat atau alkohol
- Adanya penyakit medis komorbid yang nyata
- Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.

2. Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan
skala trauma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT Scan
normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan dengan observasi di rumah
meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing atau amnesia. Resiko timbulnya lesi
intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.

3. Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera
pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma
intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasi ke bedah saraf untuk
tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif
walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi
setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi atau
tekanan tekanan intrakranial yang meningkat.

- Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi : umumnya pasien dengan stupor atau
koma (tidak dapat mengikuti perintah karena kesadaran menurun), harus
diintubasi untuk proteksi jalan nafas. Jika tidak ada bukti tekanan intrakranial
meninggi, parameter ventilasi harus diatur sampai PCO2 40 mmHg dan PO2 90-
100 mmHg.
- Monitor tekanan darah : jika pasien memperlihatkan tanda ketidakstabilan
hemodinamik (hipotensi dan hipertensi), pemantauan paling baik dilakukan
dengan kateter arteri. Karena autoregulasi sering terganggu pada cedera kepala
akut, maka tekanan arteri harus dipertahankan untuk menghindari hipotensi (<70
mmHg) dan hipertensi (>130 mmHg). Hipotensi dapat menyebabkan iskemia
otak dan hipertensi dapat mengeksaserbasi serebri.
- Memasang alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS <8,
bila memungkinkan
- Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer
laktat) yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas
tambahan dalam salin 0,45% atau dekstrosa 5% dalam air (D5W) dapat
menimbulkan eksaserbasi edema serebri.
- Nutrisi : cedera kepala berat menimbulkan respon hipermetabolik dan katabolik,
dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian makanan enteral
melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin.
(biasanya hari ke-2 perawatan).
- Temperatur badan : demam (temperatur > 101oF) mengeksaserbasi cedera otak
dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Pengobatan penyebab (antibiotika) diberikan bila perlu.
- Antikejang : fenitolin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari
intravena mengurangi frekuensi kejang pasca trauma dini (minggu pertama) dari
14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik.
Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian
hari. Jika pasien tidak mengalami kejang pemberian fenitoin harus dihentikan
setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau secara ketat karena kadar
subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin.

Komplikasi

 Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah


terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata atau
cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio
menyebabkan periode apnu yang singkat.
 Hematoma Epidural adalah penimbunan darah di atas durameter. Hemotoma epidural
terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam
jiwa.
 Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas
membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi
kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.
 Pendarahan subaraknoid adalah akumulasi darah di bawah membran araknoid tetapi
diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebraspinalis bila dalam
keadaan normal.
 Hematoma intraserebrum adalah pendarahan di dalam otak itu sendiri, hal ini dapat
timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.
Prognosis

Cedera kepala merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Melihat
penyebarannya yang banyak menimpa kalangan produktif. Penyakit ini disebut sebagai
penyebab kematian utama di kalangan yang tidak mentaati aturan dalam berlalu lintas. Selain
itu perawatan penyakit ini cukup serius dan sulit. Tidak menutup kemungkinan di tengah
perawatan bisa muncul komplikasi dari penyakit lainnya seperti edema, kerusakan jaringan
otak dan adanya perdarahan serius yang sulit ditangani. Prognosis pada cedera kepala sering
mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk
rumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan
meninggal 85% atau tetap pada kondisi vegetative hanya 5-10%. Syndrome pascakonkusi
berhubungan dengan sindrom nyeri kepala kronis, keletihan, pusing, ketidakmampuan
berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien
setelah cedera kepala. Sering kali bertumpang tindih dengan depresi. Jadi prognosisnya
buruk.

CONTUSIO SEREBRI

DEFINISI

Contusio serebri merupakan cedera kepala berat, dimana otak mengalami memar,
dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Contusio serebri (cerebral contussion) adalah
luka memar pada otak. Memar yang disebabkan oleh trauma dapat membuat jaringan menjadi
rusak dan bengkak dan pembuluh darah dalam jaringan pecah, menyebabkan darah mengalir
ke dalam jaringan disebut hematoma. (Journal Of Neurotrauma 2012; 29:19-31)

Memar otak atau Contusio serebri adalah perdarahan di dalam jaringan otak yang
tidak disertai oleh robekan jaringan yang terlihat, meskipun sejumlah neuron mengalami
kerusakan atau terputus. Memar otak disebabkan oleh akselerasi kepala tiba-tiba yang
menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak dan membuat penurunan
kesadaran sementara. Secara definisi Contusio Cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi
otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis
tidak mengganggu jaringan. ( Ratnaike TE, Hastie H, Gregson B, Mitchell P. The geometry
of brain contusion: relationship between site of contusion and direction of injury. British
Journal of Neurosurgery 201; 25:410–3)
EPIDEMIOLOGI

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif, psikososial, dapat bersifat temporer atau permanen. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran penderita cedera kepala yang masuk ke Instalasi Rawat Darurat Bedah
(IRDB) RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado dalam periode Januari 2013 – Desember 2013.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif retrospektif. Subjek penelitian ialah pasien
yang masuk ke IRDB RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari 2013 –
Desember 2013 yang didiagnosis cedera kepala. Jenis kelamin, usia, pekerjaan, penyebab
cedera kepala dan diagnosis dicatat dari rekam medik pasien. Hasil penelitian
memperlihatkan 420 kasus cedera kepala, sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 302 orang (71,9%) sedangkan jenis kelamin perempuan 118 orang (28,1%). Puncak
kejadian pada kelompok umur 15-19tahun (17,1%) dengan profesi terbanyak sebagai
pelajar/mahasiswa sejumlah 138 orang (32,9%) dan profesi yang paling sedikit TNI/POLRI
dan pendeta masing – masing 1 pasien (0,2%). Dari rekam medik didapatkan penyebab
cedera kepala tersering ialah kecelakaan lalu lintas yang dialami oleh 298 orang (71,0%) dan
178 orang didiagnosis komosio serebri yang merupakan diagnosis tersering sebanyak 40,8%.

Simpulan: Pada penelitian ini cedera kepala terbanyak terjadi pada laki-laki dengan
kelompok usia15-19 tahun. Pelajar/mahasiswa merupakan profesi terbanyak, kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab utama, dan komosio serebri sebagai diagnosis tersering.

ETIOLOGI

Penyebab contusio cerebri atau memar otak adalah adanya akselerasi kepala tiba-tiba
yang menimbulkan pergeseran otak dan kompresi yang merusak akibat dari kecelakaan, jatuh
atau trauma. Dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak
struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak. Lokasi
kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan
arah datangnya gaya yang mengenai kepala.

PATOFISIOLOGI

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan


otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami
kerusakan. Hal yang paling penting untuk terjadinya lesi contusio ialah adanya akselerasi
kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya
kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena
itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible
terhadap lintasan asendens retikularis. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen
dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Sistem akitifitas
retikularis berfungsi sebagai mempertahankan kesadaran. Sistem aktivitas ini terletak di
bagian atas batas otak, terutama di mesensefalon dan hipotalamus.(

Pada trauma yang membentur dahi kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami
benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan oksipital selain di tempat benturan
dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan. Lesi kedua
ini disebut lesi kontra benturan. Perdarahan mungkin pula terjadi disepanjang garis gaya
benturan ini. Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai
kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri
dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau
tidak dijumpai defisit neurologik. Gejala defisit neurologik bergantung pada lokasi dan
luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di
dalam jaringan otak.
Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral.
Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural,
perdarahan epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subarachnoid. Pada daerah
kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan
daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema
sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai pericontusional zone yang dapat
menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal ini
disebabkan oleh kerusakan autoregulasi pembuluh darah di pericontusional zone sehingga
perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan mean arterial pressure (MAP) atau
peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7
hari.

MANIFESTASI KLINIS
Timbulnya lesi kontusio dapat menimbulkan gejala defisit neurologic berupa
timbulnya refleks patologis seperti refleks Babinski. Pada kontusio serebri yang berlangsung
lebih dari enam jam penurunan kesadarannya biasanya selalu dijumpai defisit neurologis
yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis
yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula
disertai perdarahan subaraknoid atau kontusio pada batang otak.

Kontusio serebri juga dapat disertai dengan adanya edema otak sehingga dapat
menyebabkan meningkatnya tekanan intracranial. Tekanan intrakranial yang meningkat dapat
menimbulkan gangguan mikrosirkulasi otak sehingga memperburuk keadaan edema otak.
Pada kontusio dengan perdarahan dan edema yang terjadi di daerah diensefalon dapat
menimbulkan pola pernapasan yang dalam dan kemudian semakin mendangkal dan diselingi
oleh fase apnea. Pola pernafasan ini disebut pola Cheyne Stokes. Dan juga memungkinkan
terjadinya rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua
lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku.

Bila lesi terdapat di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun
hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, pernapasan
hiperventilasi, motorik menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan keempat ekstremitas kaku
dalam sikap ekstensi. Lesi yang terdapat didaerah pons bagian bawah bila nuklei vestibularis
terganggu bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang dan
pernapasan tidak teratur. Bila pada bagian oblongata terganggu, pernapasan melambat tak
teratur dan tersengal-sengal.

Gejala lain yang sering muncul pada contusion serebri yaitu :

a. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri

b. Kehilangan gerakan

c. Denyut nadi lemah

d. Pernapasan dangkal

e. Kulit dingin dan pucat

f. Sering defekasi dan berkemih tanpa disadari


g. Pasien dapat diusahakan untuk bangun/sadar tetapi kembali kedalam keadaan tidak
sadarkan diri

h. Tekanan darah dan suhu abnormal

PENEGAKAN DIAGNOSA

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan


diagnosa contusio cerebri adalah dengan dilakukan pemeriksaan imaging berupa CT-scan
dikarenakan perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah dikenali. Pemeriksaan
penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan
komplikasi jangka pendek. Pada gambaran CT-Scan didapatkan adanya gambaran hiperdens
pada parenkim otak.

PENATALAKSANAAN

Pengelolaan konservatif pada contusio serebri bertujuan untuk mengurangi tekanan


intrakranial dengan cara non-bedah, tindakan tersebut antara lain:

 Oksigenasi ventilasi Dengan oksigenasi dan ventilasi diharapkan PCO2


dipertahankan sekitar 30 mmHg dan dicegah agar PCO2 tidak turun dibawah
25 mmHg, sehingga akan tercapai vasokonstriksi pembuluh darah otak dan
akan menurunkan volume intrakranial sehingga dapat menurunkan tekanan
intrakranial.
 Pemberian manitol Dosis yang digunakan adalah 0,2 sampai dengan 1 gram
per kgBB. Manitol tidak boleh diberikan pada pasien dengan keadaan
hipotensi akan memperberat hipovolemia. Pemberian diuretik juga dapat
menggunakan furosemide, dosis yang digunakan adalah 0,3 sampai dengan 0,5
mg/kgBB.
 Balance cairan dan elektrolit Kebutuhan cairan pada pasien cedera kepala
harus tercukupi, oleh karena bila tidak dapat menyebabkan dehidrasi sistemik
yang dapat menyebabkan cedera sekunder pada jaringan otak yang mengalami
trauma.
 Meninggikan kepala Dengan posisi kepala lebih tinggi 20 sampai dengan 30
derajat akan memperbaiki venous out flow ke dalam aliran sistemik berjalan
lebih lancar. Hal ini akan mengurangi volume darah sehingga tekanan
intrakranial dapat diturunkan.
 Pemberian antibiotik Terutama pada penderita dengan rhinorea dan otorea
dapat terjadi infeksi pada jaringan otak oleh karena robeknya lapisan
duramater. Juga pada penderita cedera kepala akan lebih sering terjadi infeksi
saluran napas yang menyebabkan hipethermia. Kondisi ini akan meningkatkan
kebutuhan oksigen jaringan.
 Pemberian nutrisi yang adekuat Pada cedera kepala akan meningkatkan
metabolisme sehingga kebutuhan kalori meningkat 1,5 kali dari kebutuhan
normal, pemberian nutrisi sedapat mungkin secara enteral.
 Pemberian fenitoin Pada minggu-minggu pertama pasca cedera kepala dengan
kerusakan jaringan otak akan mengurangi resiko terjadi epilepsy post trauma.
Diberikann dosis 100 mg lewat injeksi (dewasa), dilanjutkan 5 mg/kgBB per
oral dengan dosis terbagi 3-4 x per hari.

Contusio serebri dapat cenderung memburuk dari waktu ke waktu yang akan
mengarah cepat menjadi perdarahan intracranial yang menyebabkan perburukan keadaan
klinis dan kondisi neurologis. Dalam kasus ini, penanganan yang paling utama adalah dengan
memantau ketat keadaan tekanan intrakanial, Mean Arterial Pressure (MAP) dan Cor
Pulmonale Pressure (CPP). Pada pasien yang berisiko tinggi untuk terjadinya kejang dan
yang dapat memperburuk defisit neurologis, termasuk pasien dengan GCS skor ≤10, memar
kortikal, fraktur depres basis cranii, hematoma subdural, epidural hematoma serta perdarahan
intraserebral pemberian antikonvulsan dapat dipertimbangkan. Berkenaan dengan intervensi
bedah, masih terdapat beberapa perdebatan mengenai evakuasi lesi intraparenchymal seperti
contusio serebri. Dalam mengatasi kasus ini, bedah eksisi merupakan tindakan konservatif
yang paling baik dilakukan. Namun, tindakan yang paling efektif untuk mengatasi tekanan
intracranial adalah dengan dilakukannya craniectomy decompressive.

EPIDURAL DAN SUBDURAL HEMATOM TRAUMATIK

DEFINISI

Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang
tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater..Hematoma
epiduralmerupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka
mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah perietotemporal
akibat robekan arteria meningea media.

Epidural hematom dan subdural hematom

Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan araknoid,
biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural hematoma yang
seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika terjadi
pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging vein”.

EPIDEMIOLOGI

60 % penderita hematoma epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang


terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada
pasien yang berusia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1.

Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan trauma kepala
berat, berdasarkan suatu penelitian. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1-3 kasus
per 100.000 populasi. Laki-laki lebih sering terkena daripada perempuan dengan
perbandingan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan
mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas perdarahan subdural berhubungan dengan faktor
umur yang merupakan faktor resiko pada cedera kepala (blunt head injury). Perdarahan
subdural biasanya lebih sering ditemukan pada penderita-penderita dengan umur antara 50-70
tahun. Pada orang-orang tua bridging veins mulai agak rapuh sehingga lebih mudah
pecah/rusak bila terjadi trauma. Pada bayi-bayi ruang subdural lebih luas, tidak ada adhesi,
sehingga perdarahan subdural bilateral lebih sering di dapat pada bayi-bayi.

ETIOLOGI

Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan


pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak retak.Fraktur
yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur
yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya
menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak
(laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya pembuluh darah, biasanya
arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak.

Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan memutuskan
vena-vena. Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu akselerasi tengkorak
ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan dengan arah dampak
primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan bersifat linear.Maka dari itu
lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah dampak disebut
lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak
terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi, maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.

PATOFISIOLOGI

Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid,


kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak
(hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Pada hematoma epidural,
perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura mater. Perdarahan ini lebih sering
terjadi di daerah temporal bila slaah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini
sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di daerah yang bersangkutan. Hematom pun
dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital.

Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah
penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi
sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam
rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki venavena yang halus ) dan
orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih
panjang ) memiliki resiko yang lebih besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada
permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan
vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti
karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan
reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan
jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil, yang menimbulkan
hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi timbulnya
perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan sisa
darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori
dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga
akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural
hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural
hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran
dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu
ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan
bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan
vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi,
level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun
secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar disekitar mata
dan dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan
telingah. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :

1) Penurunan kesadaran , bisa sampai koma


2) Bingung
3) Penglihatan kabur
4) Susah bicara
5) Nyeri kepala yang hebat
6) Keluar cairan dari hidung dan telingah
7) Mual
8) Pusing dan Berkeringat
Gejala yang timbul pada subdural :
1. Subdural Hematoma Akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma sampai dengan hari ke tiga
Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan
lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas , Secara klinis subdural
hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling
sering berupa hemiparese/plegi pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan
gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit .

2. Subdural Hematoma Subakut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 3 – minggu ke 3 sesudah


trauma Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-
lahan dalam beberapa jam Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma,penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon
terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

3. Subdural Hematoma Kronis

Biasanya terjadi setelah minggu ketiga, sudahkronis biasanya terjadi pada orang tua,
Trauma yang menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut gejala
yang terasa Cuma pusing. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang mudah
menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur. Karena penimbunan cairan tersebut
kapsul terus membesar dan mudah ruptur, jika volumenya besar langsung menyebabkan lesi
desak ruang. Jika volume kecil akan menyebabkan kapsul terbentuk lagi >> menimbun cairan
>> ruptur lagi >> re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang dengan
penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.

PENEGAKAN DIAGNOSA

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali. Foto Polos Kepala Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti
sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi
yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteria meningea media. Computed Tomography (CT-Scan) Pemeriksaan CT-Scan
dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada
epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi
(bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 –
90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi


duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan
batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk
menegakkan diagnosis

Gambar 6.Subdural hematoma

PENATALAKSANAAN

1. EPIDURAL HEMATOM
Penanganan darurat :

 Dekompresi dengan trepanasi sederhana


 Kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma

Terapi medikamentosa :

I. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital Usahakan agar jalan nafas selalu babas,


bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila
perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang
terutama untuk membuka jalur intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose
in saline
II. Mengurangi edema otak Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh
darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa,
paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 2530 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler.
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk “menarik” air dari
ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui
diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan dalam
dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB
dalam 1030 menit. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-an
bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin
dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan
harinya.
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu
yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang
pernah dicoba juga bervariasi : Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai
100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon
pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10
mg. d. Barbiturat. Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat
digunakan dengan pengawasan yang ketat.

INDIKASI

Operasi di lakukan bila terdapat :

 Volume hamatom> 30 ml
 Keadaan pasien memburuk
 Pendorongan garis tengah > 5 mm fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak
depres dengan kedalaman>1 cm EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan
pergeseran garis tengah dengan GCS 8 atau kurang
 Tanda-ta nda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

2. SUBDURAL HEMATOM

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan
operasi, perhatiaan hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa
untuk menurunkan peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian mannitol 0,25
gr/kgBBatau furosemide 10 mg intavena, dihiperventilasikan. Tidakan operatif Baik pada
kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan ada gejala- gejala yang progresif maka
jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum
diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang harus kita perhatikan adalah airway,
breathing, dan circulatioan.

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah :

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran midline
shift >5 mm pada CT-Scan

b. Semua pasien SDH dengan GCS 2 poin antara saat kejadian sampai saat masuk rumah
sakit.
c. Pasien SDH dengan GCS< 9, dan /atau TIK >20 mmhg .

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy. Tindakan yang
paling banyak diterima karena minimal komplikasi. Trepanasi atau burr holes
dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat dan local anastesi Kraniotomi dan
membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang infasih dengan tingkat
komplikasi yang lebih tinggi.

KOMPLIKASI

Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :

 Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana keadaan ini
mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain
shift) dan peningkatan tekanan intracranial.
 Kompresi batang otak.

Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :

 Hemiparese/hemiplegia.
 Disfasia/afasia
 Epilepsi.
 Hidrosepalus.
 Subdural empiema

PROGNOSIS

Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :

 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )


 Besarnya
 Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami
koma sebelum operasi.
Prognosis dari penderita SDH ditentukan dari:

 GCS awal saat operasi


 lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi
 lesi penyerta di jaringan otak
 serta usia penderita

pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin
jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosisnya.

Kasus Rujukan

a. Ditemukan nyeri kepala bersifat sekunder, maka sebaiknya pasien dirujuk ke Faskes
Sekunder atau Tersier (dengan dokter SpS). Hal paling penting yang harus
diperhatikan saat menghadapi kasus ini adalah identifikasi kasus "serius" (meningitis,

perdarahan subarakhnoid dan glaukoma akut).

b. Pasien dengan kejang berulang dan penurunan status neurologis dipertimbangkan


untuk dirujuk untuk mendapat perawatan di ruang intensif.
DAFTAR PUSTAKA

Iskandar.J.SpBS.2004.Cedera Kepala.Jakarta:BIP

Syaifuddin.2009.Anatomi Tubuh Manusia E/2.Jakarta.Salemba Medika

Sylvia & Lorraine, 1994, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses Penyakit. Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta.

Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarata : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran UI

Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.

Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.

Robertson C.S, Zager E, 2010, Clinical Evaluation of Portable Near-infrared Device for
detection of Traumatic Intracranial hematom, Journal of Neurotrauma.

Anda mungkin juga menyukai