Anda di halaman 1dari 8

SPINAL CORD INJURY

A. Pengertian Spinal Cord Injury


Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai servikal, torakalis dan lumbalis akibat
trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dan sebagainya
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang belakang sehingga
mengakibatkan defisit neurologis.
Spinal Cord Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma sumsum tulang
belakang atau tekanan pada sumsum tulang belakang karena kecelakaan yang dapat
mengakibatkan kehilangan atau gangguan fungsi baik sementara atau permanen di motorik
normal, indera, atau fungsi otonom serta berkurangnya mobilitas atau perasaan (sensasi).
Spinal cord injury terjadi ketika sesuatu (tulang atau benda asing lain) masuk atau
mengenai spinal cord dan merusakkan spinal cord atau suplai darah.
B. Klasifikasi Spinal Cord Injury
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional
Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan
standart internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis.
Klasifikasi ini berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/ IMSOP dipakai
di banyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhemsif. Skala
kerusakan menurut ASIA/ IMSOP adala sebagai berikut:
Grade (A) Fraktur komplit. Tidak ada fungsi motorik maupun sensorik di seluruh
segmen dermatom dari titik lesi hingga S4-S5.
Grade (B) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi (termasuk segmen S4-S5)
terganggu, namun fungsi sensorik masih berjalan dengan baik.
Grade (C) Fraktur inkomplit. Fungsi motorik di bawah lesi masih berfungsi dan
mayoritas otot-otot penting dibawah lesi memiliki nilai kurang dari 3.
Grade (D) Fraktur Inkomplit. Fungsi motorik dibawah lesi dan mayoritas otot-otot
penting memiliki nilai lebih dari 3.
Grade (E) Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5 sindrom
utama cedera medula spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord Injury
Association yaitu :
(1) Central Cord Syndrome
(2) Anterior Cord Syndrome
(3) Brown Sequard Syndrome
(4) Cauda Equina Syndrome
1

(5) Posterior Cord Syndrome


Nama Sindroma
Central cord syndrome

Brown- Sequard
Syndrome

Anterior cord syndrome

Posterior cord syndrome

Cauda equine syndrome

Pola dari lesi saraf


Cedera pada posisi
sentral dan sebagian
daerah lateral.
Sering terjadi pada
trauma daerah servikal
Cedera
pada
sisi
anterior dan posterior
dari medula spinalis.
Cedera
akan
menghasilkan
gangguan
medulla
spinalis unilateral
Kerusakan
pada
anterior dari daerah
putih dan abu- abu
medulla spinalis
Kerusakan
pada
posterior dari daerah
putih dan abu- abu
medulla spinalis
Kerusakan pada saraf
lumbal atau sacral
sampai ujung medulla
spinalis

Kerusakan
Menyebar ke daerah sacral.
Kelemahan
otot
ekstremitas atas lebih berat
dari ekstremitas bawah.
Kehilangan proprioseptif
dan kehilangan fungsi
motorik secara ipsilateral

Kehilangan
motorik
dan
secara komplit.

Kerusakan
proprioseptif
diskriminasi dan getaran.
Fungsi
motorik
juga
terganggu
Kerusakan sensori dan
lumpuh
flaccid
pada
ekstremitas bawah dan
kontrol berkemih dan
defekasi.

Selain itu, Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:
1) Fase akut / spinal shock ( 2-3 minggu ), cirinya :
a. Gangguan motorik

funsgsi
sensorik

Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat
extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah cervical
akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut paraplegi.
b. Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang
terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun sensasi
dalam.
c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual )
Di sini bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran
pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus pembuluh
darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di dalam kandung kemih
sampai penuh sekali dan baru dapat keluar apabila sudah penuh.
d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi )
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4
yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi tractus
respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien tidak akan bekerja secara
maksimal sehingga dapat terkena gangguan pernafasan.
e. Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior
menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi penurunan
tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit dari posisi terlentang
ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang terlalu cepat. Hal ini terjadi pada
pasien yang bed rest lama dan endurancenya menurun.
2). Fase sub akut / recovery (3 minggu 3 bulan)
Dibagi dalam kriteria:
a. Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
b. Kriteria 2
3

Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,


motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
c. Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
d. Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
3). Fase kronik (di atas 3 bulan)
Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete /
incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu :
Setelah fase recovery kondisi pasien complete/ incomplete vital sign
pasien menurun dan autonomic dysrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan
pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera medula spinalis di atas
Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai respon dari
beberapa stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang mengeras (konstipasi),
iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus suhu atau nyeri dan distensi
visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak, berkeringat, kedinginan, muka
memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung buntu, sakit kepala,
pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.
C. Gejala Spinal Cord Injury
Spinal Cord Inury mempunyai gambaran klinik yang berbeda-beda tergantung letak
lesinya. Pasien dengan cedera medulla spinalis dapat merasakan nyeri yang hebat atau mati
rasa pada area-area tertentu pada tubuhnya. Selain itu, cedera tulang belakan dapat
menyebabkan gangguan kontrol otot seperti tidak terkontrol, melemah, sampai tidak dapat
digerakkan. Selain itu, dapat juga ditemui adanya gangguan fungsi otot autonom sehingga
pasien tidak dapat menahan BAB maupun BAK.
Pada cedera medulla spinalis terutama cedera cervical, gejala-gejala yang timbul
antara lain:
Cedera pada segmen C1-C2 menyebabkan gangguan bernafas
Cedera pada segmen C3 menyebabkan gangguan fungsi diafragma
Cedera pada segmen C4 menyebabkan hilangnya fungsi otot bisep dan bahu

Cedera pada segmen C5 menyebabkan hilangnya gerakan pergelangan tangan dan


telapak tangan
Cedera pada segmen C6 menyebabkan berkurangnya kontrol pergelangan tangan dan
kehilangan fungsi telapak tangan
Cedera pada segmen C7 menyebabkan berkurangnya fungsi jari-jari

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos Vertebra
Merupakan langkah awal untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang melibatkan medula
spinalis, kolumna vertebralis dan jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP,
lateral, dan odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal digunakan foto AP dan lateral.
2. CT-scan Vertebra
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan jaringan lunak, struktur tulang, dan kanalis
spinalis dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi cedera
fraktur pada tulang belakang.
3. MRI Vertebra
MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal medula spinalis dalam sekali
pemeriksaan.
E. Rehabilitasi Medis pada Spinal Cord Injury
Rehabilitasi medis pada Spinal Cord Injury dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Fase akut
a. Positioning
Positioning dapat dilakukan oleh perawat maupun fisioterapis, terutama jika pasien
hanya mampu bergerak dengan bantuan orang lain. Positioning diperlukan untuk
mengatur posisi anggota gerak agar tidak terjadi deformitas maupun timbulnya
kelainan lain seperti decubitus.
b. Latihan gerak pasif.
Latihan gerak pasif harus dilakukan pada semua sendi pada anggota gerak yang
mengalami plegi. Pada lesi di lumbal yang harus diperhatikan adalah saat

menggerakkan hip jangan sampai spine juga ikut bergerak. hal yang sama juga perlu
diperhatikan saat menggerakkan anggota gerak atas bila lesi terdapat pada cervical.
c. Chest terapi
Chest terapi dilakukan pada pasien-pasien dengan gangguan nafas atau penyakit paru
kronik. Pasien dengan tetraplegi memerlukan chest terapi karena dapat terjadi atopi
pada otot-otot intercostalis.
d. Exercise
1) Paraplegi : Latihan penguatan untuk anggota gerak atas dilakukan seawal mungkin
2) Tetraplegi : Gerakan aktif pada anggota gerak atas dilakukan pada posisi yang
tidak mengganggu posisi cervical.

2. fase pemulihan
a. Paraplegia
1) Sitting balance
Walau terjadi gangguan sensasi pada bagian bawah tubuh, namun sitting balance
bisa dicapai. Pasien dapat belajar untuk menggunakan sensasi pada bagian atas tubuh dan
menggunakan pandangan dengan lebih intensif. Ada banyak metode yang dapat
digunakan dalam melatih balance.
2) Mobilisasi dengan kusi roda
Kursi roda yang digunakan bisa berupa kursi roda manual ataupun kursi roda
elektrik. Penggunaan kursi roda ini sangat penting bagi pasien untuk dapat bergerak dan
membangun kemandirian. Pasien dengan kursi roda manual dapat berlatih untuk
mengoperasikan kursi rodanya pada jalan yang menanjak atau menurun serta pada jalan
yang ada tangganya.
6

3) Transfer
Pada saat awal pasien dapat diajarkan untuk miring kanan dan miring kiri dan
duduk di atas tempat tidur. Lalu dapat dilanjutkan untuk berpindah dari tempat tidur ke
kursi roda dan sebaliknya.
4) Perawatan diri
Perawatan diri harus dimulai saat awal terapi. Pasien harus diajarkan untuk
mengurangi tekanan-tekanan pada bagian tubuhnya (dudukannya) setiap 10 15 menit,
sehingga selanjutnya hal tersbut dapat menjadi suatu reaksi yang otomatis. Pasien juga
harus diajarkan cara mengobservasi daerah yang tertekan, atau bila areanya tidak dapat
terlihat oleh pasien, maka harus ada orang lain yang dapat mengobservasinya.
Pasien diajarkan untuk melatih gerakan pasif sendiri dan melaporkan kepada
terapis bila ada gerakan yang sulit dilakukan. Pasien diajarkan untuk melakukan beberapa
kegiatan fungsional yang mungkin untuk dilakukannya, seperti berpakaian dan mandi.
5) Penguatan anggota gerak atas
Hal ini dapat dilakukan pada matras atau kursi roda. Untuk memulai latihan,
pasien dapat menggunakan tahanan secara manual. Selanjutnya pasien dapat
menggunakan paralatan dengan beban atau dengan menggunakan beban berat badannya
sendiri. Selain itu pasien dapat melakukan olah raga untuk meningkatkan kekuatan otot
ekstemitas.
6) Latihan berdiri dan berjalan
Seperti saat latihan duduk, pasien harus diajarkan untuk mengkompensasi sensoris
yang hilang pada tubuh bagian bawah. Untuk dapat berdiri dan berjalan pasien akan
membutuhkan beberapa orthosis atau dengan menggunakan kruk, tergantung level lesi
yang terkena dan kondisi pasien.
7) Kemandirian
Untuk seorang muda yang menderita paraplegia, kemungkinan besar ia akan
dapat hidup secara mandiri dan dapat kembali bekerja. Modifikasi pekerjaan mungkin
diperlukan apabila pekerjaannya yang lama tidak dapat dilakukan dengan nyaman pada
7

kondisinya saat ini. Hal yang penting adalah bahwa persiapan untuk hidup mandiri harus
dilakukan sejak awal program terapi.
b. Tetraplegia
Walaupun beberapa tujuannya sama, pada kondisi tetraplegia dibutuhkan waktu
yang lama dan akan lebih sulit untuk mencapai target terapi. Salah satu masalah yang
timbul pada SCI yang lebih tinggi adalah adanya hipotensi postural yang timbul akibat
hilangnya kontrol vasomotor. Pasien dapat diajarkan untuk beradaptasi dengan perubahan
posisi, dan mereka harus mengenali tanda-tanda bila ia akan pingsan.
Kursi roda yang akan digunakan memerlukan adaptasi, seperti sandaran yang
tinggi. Pada kondisi pasien dengan lesi pada cervical bawah, pasien mampu untuk
transfer, namun pada lesi cervical atas, akan memerlukan bantuan untuk transfer.
Pada pasien dengan tetraplegi, tidak mudah untuk melakukan perawatan diri, tapi
pasien harus mampu mengetahui apa yang ia butuhkan dan tahu kapan ia harus
memerlukan bantuan dari orang lain. Derajat kemandirian yang dapat dicapai oleh
seorang dengan tetraplegi tidak akan setinggi penderita paraplegia, sehingga ia harus
diperiksa dengan hati-hati.
3.

Evaluasi
Evaluasi dapat dilakukan secara berkala, dimana tujuan dari evaluasi ini adalah
untuk mengetahui apakah terapi yang kita berikan bermanfaat atau berguna bagi
penyembuhan pasien ataukah harus diubah jika ada perubahan terhadap penyembuhan
masalah yang dihadapi pasien.

Anda mungkin juga menyukai