Anda di halaman 1dari 11

KASUS

Acute Spinal Cord Injury

Tuan D berusia 45 tahun kecelakaan terjatuh dari atap rumah pasien dibawa ke puskesmas
dan akhirnya ke UGD. Hasil pengkajian pasien jatuh terpelanting dengan posisi telentang,
tidak mampu menggerakkan tangan, tidak dapat menggerakkan ekstremitas bawah, saat ini
pasien dalam pemantauan. Kesadaran compos mentis, CRT < 2 detik, parastesia dan paralisis
pada kedua ekstremitas bawah, kateter terpasang dengan urin output 100 cc. TD 90/60
mmHg, frekuensi nadi 58 x/menit, frekuensi napas 14 x/menit. Hasil radiologi: CT scan: lesi
di area C5, C6, dan thorakal 3,4. Pasien terpasang infus cairan kristaloid; RL , dexamethason
3 x 3 ampul

Pertanyaan:

1. Apakah manifestasi dari trauma acute spinal cord injury?


2. Apakah komplikasi dari trauma acute spinal cord injury?
3. Sebutkan beberapa test radiologi yang dapat dilakukan pada kasus acute spinal cord
injury?
4. Bagaimana penanganan kasus dengan acute spinal cord injury? (kolaboratif, dan
keperawatan)

1. Apakah manifestasi dari trauma acute spinal cord injury?

Tanda dan gejala tergantung dari lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Berikut
kondisi patologis saraf spinal akibat cidera :

Batas cidera Fungsi yang hilang


C1-C4 Hilagnya fungsi motorik dan sensorik leher ke bawah.
Terjadi paralisis pernafasan, tidak terkontrolnya bawel dan bladder.
Menyebabkan quadriplegia dan kehilangan fungsi pernafasan.
C4-C5 Menyebabkan quadriplegia dan dapat mempengaruhi fungsi pernafasan
jika adanya edema merusak nervus phrenic.
C5 (tangan) Hilangnya fungsi motorik dibawah batas bahu kebawah.
Hilangnya sensai dibawah klavikula.
Tidak dapat abduksi bahu dan fleksi siku.
C6 (tangan) Hilangnya fungsi motorik dibawah batas bahu dan lengan (tidak dapat
ekstensi pergelangan tangan).
Sensasi lebih banyak pada lengan jempol.
C5-C6 Menyebabkan quadriplegia, pergerakan motorik kasar pada lengan
C7 Fungsi motorik yang kurang sempurna pada bahu, siku, pergelangan
tangan dan bagian dari lengan (tidak dapat fleksi pergelangan tangan)
Sensasi lebih banyak pada lengan dan tangan.
C6-C7 Menyebabkan quadriplegia, pernafasan diaphragmatic breathing tetap
intak namun tidak mmapu mensupport ventilasi,otot tangan tetap
tersyarafi dan mampu melakukan fleksi siku, ekstensi pergelangan dan
mampu menggenggam jempol meskipun lemah.
C8 Tidak dapat fleksi jari-jari tangan.
Dapat mengontrol lengan tapi beberapa hari kemudian akan mengalami
kelemahan.
Hilangnya sensasi dibawah dada.
C7-C8 Menyebabkan quadriplegia, mempengaruhi gerakan ekstensi siku dan
jari, pernafasan diaphragmatic breathing tetap intak namun ventilasi
dan bersihan sekresi pada airway terganggu karena hilangnya
persyarafan otot intercostal, biceps dan triceps terhadap control
volunter.
T1-T6 Hilangnya kemampuan motorik dan sensorik dibawah dada tengah ,
kemungkinan otot intercosta mengalami kerusakan.
Kemungkinan otot intercosta mengalami kerusakan.
T1 Kehilangan fungsi abduksi jari tangan.
T6-T12 Hilangnya kemampuan motorik dan sensorik dibawah pinggang.
Fungsi pernafasan sempurna tetapi fungsi bowel dan bladder hilang.
Pernafasan dan pencernaan terganggu
L1-L3 Hilangnya fungsi motorik dari pelvis dan tungkai.
Hilangnya sensasi dari abdomen bawah ke tungkai.
L2 Tidak dapat fleksi panggul.
L3 Tidak dapat ekstensi lutut.
L4-S1 Hilangnya beberapa fungsi motorik pada pangkal paha, lutut dan kaki.
Tidak terkontrolnya bowel dan bladder.
L4 Tidak dapat dorsofleksi kaki.
L5 Tidak dapat ekstensi ibu jari kaki.
S1 Tidak dapat plantar fleksi kaki.
S2-S4 Hilangnya fungsi motorik ankle planter fleksa
Hilangnya sensasi pada tungkai dan perineum.

Pada kasus pasien tidak mampu menggerakkan tangan tidak (C5), dapat menggerakkan
ekstremitas bawah (C4-C5), bradikardi, RR menurun ( T3-T4-, C1-C3) karena dapat
mempengaruhi otot abdomen.

2. Apakah komplikasi dari trauma acute spinal cord injury?

a. Chest complication
Istirahat ditempat tidur mengakibatkan gangguan tahanan mekanik akibat dari
penurunan seluruh dan pengurangan pengembangan otot-otot intercostal, diafragma,
dan abdominal saat pernafasan supinasi. Sendi kostovertebral dan kostokondral serta
otot-otot abdominal bisa jadi terfiksasi dalam proses okspirasi. Sehingga
menyebabkan penurunan inspirasi maksimal dan berakibat pada penuruan kapasitas
pernafasan vital dan fungsional. Hal ini menyebabkan perbedaan regional dalam rasio
vertilasi /perfusi di daerah yang kontilasinya buruk serta daerah yang perfusinya
berlebihan dan pirauarterio venosa. Jika terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme
maka terjadilah hipoksia. Fungsi mukosiliaris juga terganggu maka sekresi mukus
mengumpul pada bronkioli saluran nafas yang tergantung, sehingga menimbulkan
atelektasis dan pneumonia hipostatik.

b. Deep vein thrombosis (DVT)


DVT ditandai dengan adanya pembengkakan pada kaki, eritema dan suhu yang
cenderung rendah. Sering ditemukan oleh fisioterapis ketika melakukan pemeriksaaan
gerak pasif pada salah satu atau kedua anggota gerak bawah. Jika DVT positif maka
latihan dihentikan sampai diberikan anti koagulan sehingga sistem vaskuler menjadi
stabil kembali. Jika DVT tidak terdiagnosis maka perlu diperhatikan terjadinya
emboli yang biasanya terjadi pada hari ke 10 – 40. Untuk mencegah emboli paru
akibat DVT, dapat digunakan filter intra vena cava pada pasien yang berkembang ke
arah DVT atau tidak dapat menerima pengobatan prifilaksis.
c. Ulcus decubitus
Disebabkan karena lamanya penekanan yang menyebabkan iskemik kemudian
nekrosis pada jaringan lunak diatas tonjolan-tonjolan tulang seperti sacrum, iscium,
trocanthor, dan tumit. Faktor-faktor pedukung yang menyebabkan ulcus decubitus
adalah karena adanya pembengkakan, malnutrisi, anemia, hipoalbuminemia dan
kelumpuhan.
d. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya jangkauan gerak suatu sendi. Hal ini merupakan
akibat dari hilangnya fleksibilitas jaringan lunak yang dikarenakan imobilisasi.
Timbulnya kontraktur merupakan salah satu tanda kecacatan yang paling parah karena
berpengaruh besar pada hasil akhir fungsional dan rehabilitasi.
e. Heterotopic ossification
Heteroptopic ossification merupakan pembentukan tulang pada jaringan lunak,
biasanya terjadi pada sendi besar seperti hip dan knee. Umumnya baru diketahui satu
hingga empat bulan setelah cedera dan lebih sering terjadi pada cedera komplit.
f. Neuropathic atau spinal cord pain
Kerusakan dari tulang vertebra, medula spinalis, saraf tepi, dan jaringan
disekitarnya dapat menyebabkan neuropatik. Rasa nyeri pada akar saraf bisa berupa
nyeri tajam teriris dan menjalar sepanjang perjalanan saraf tepinya bahkan mungkin
terjadi pada phantom limb pain.
g. Otonom dysreflexia
Dysreflexia otonom (AD) adalah suatu kondisi yang dapat terjadi pada siapa saja
yang memiliki cedera tulang belakang pada atau di atas tingkat T6. Hal ini terkait
pemutusan antara tubuh bawah cedera dan mekanisme kontrol untuk tekanan darah
dan fungsi jantung. Hal ini menyebabkan tekanan darah untuk naik ke tingkat yang
berpotensi berbahaya. Dysreflexia otonom dapat disebabkan oleh sejumlah hal.
Penyebab paling umum adalah kandung kemih penuh, infeksi kandung kemih,
sembelit parah, atau luka tekanan. Apa pun yang biasanya akan menyebabkan nyeri
atau ketidaknyamanan di bawah tingkat cedera tulang belakang dapat memicu
dysreflexia. Dysreflexia otonom dapat terjadi selama tes medis atau prosedur dan
perlu mengamati.
h. Gangguan fungsi seksual
Pada perempuan akan mengalami gangguan siklus menstruasi banyak terjadi
pada wanita dengan lesi komplit atau tidak komplit. Gangguan ini dapat terjadi untuk
beberapa bulan atau lebih dari setahun. Terkadang siklus menstruasinya akan kembali
normal. Pada pasien wanita dengan lesi yang komplit akan mengalami gangguan
sensasi pada organ genitalnya dan gangguan untuk fungsi seksualnya. Pada laki-laki
dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera.
Seluruh bagian dari fungsi sexual mengalami gangguan pada fase spinal shock.
Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi.
Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi
dan ereksi psychogenic jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya
pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya
cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter.

3. Sebutkan beberapa test radiologi yang dapat dilakukan pada kasus acute spinal
cord injury?
a. X-ray
 X-ray pada servical, thorak dan lumbal spinal digunakan untuk
mengidentifikasi adanya luka column vertebra. X-ray pada daerah servikal
harus melibatkan seluruh tulang dari servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1
untuk menghindari tidak teridentifikasinya cedera pada segmen bawah
servikal.
 Chest X-ray digunakan untuk mengetahui perubahan pada diafragma atau
adanya komplikasi pada pernafasan.
 Spinal X-ray digunakan untuk mengidentifikasi fraktur dan dislokasi serta
untuk mengidentifikasi level injury.
b. CT-Scan
CT-Scan pada injury column vertebra dapat menunjukkan adanya injury pada
spinal cord seperti adnaya perdarahan atu tanda-tanda kompresi.
c. MRI
Pemeriksaan MRI yang normal memperbolehkan dilepasnya collar support
dan mobilisasi dini, hal ini dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap
cedera pada daerah servikal dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi
diskus, dan cedera pada ligamen dan jaringan lunak. MRI digunakan untuk
mengetahui adanya tanda injury pada cord dan jaringan lunak dan
mengidentifikasi lesi pada cord, kompresi dan edema.
d. Mielografi
Pemeriksaan mielografi adalah pemeriksaan radiologi dari medula spinalis dengan
menyuntikan media kontras positif ke dalam ruang sub arakhnoid. Tujuannya
untuk mengetahui adanya kelainan pada ruang sub arakhnoid, saraf perifer dan
medulla spinalis. Persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan mielografi
adalah tanyakan apakah pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya,
tanyakan apakah pasien mempunyai riwayat penyakit asama, penandatangani
lembar informed consent yaitu pasien menyetujui untuk dilakukan pemeriksaan
mielografi, melepaskan benda logam yang ada pada tubuh pasien, pasien puasa 5
jam sebelum pemeriksaan dan jelaskan tentang prosedure pemeriksaan.

4. Bagaimana penanganan kasus dengan acute spinal cord injury? (kolaboratif,


dan keperawatan)
a. Penanganan pra-rumah sakit
Penanganan pra-rumah sakit menggunakan prinsip Advance Trauma Life Support
de
ngan mengutamakan primary survey yaitu ABCD (Airway, Breathing, Circulation
dan Disability).
Kaji respon pasien :
A : Alert (sadar)
V : verbal
P : Pain
U: Un respon

Airway :
- Kaji kepatenan jalan nafas
- Kaji adanya tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas, yaitu : adanya
snoring (disebabkan sumbatan oleh pangkal lidah), gurgling (adanya sumbatan
oleh benda cair), stridor (adanya sumbatan benda padat) dan crowing (adanya
sumbatan oleh pangkal lidah), sianosis, hipoksia, dan penggunaam otot bantu
pernafasan.
- Look and listen adanya masalah pada saluran nafas bagian atas seperti
muntahan, perdarahan, gigi lepas atau hilang dan trauma wajah.
- Pasang neck colar untuk mengfiksasi area kepala dan leher (pasien dicurigai
adanya cidera tulang belakang).

Breathing :

- Kaji frekuensi nafas


- Kaji pengembangan dada
- Kaji adanya penggunaan otot perafasan tambahan

Circulation :

- Kaji nadi
- Kaji adanya perdarahan
- Kaji CRT
- Kaji turgor

Disabilities :

- Cek pupil mata


- GCS
- Cek kekuatan otot mata
Immobilisasi pasien dengan menggunakan teknik log-roll dan spinal lift untuk
memindahkan pasien dengan minimum 4 penolong untuk imobilisasi tulang
belakang agar tidak mengalami cedera lebih lanjut. Ketika pasien sudah berada di
spinal board dengan posisi supine (terlentang), fiksasi area kepala dan leher
dengan head immobilizer. Kesegarisan anatomis dari seluruh tulang belakang
harus dijaga pada saat memutar atau mengangkat pasien. Satu orang ditugaskan
untuk menjaga kesegarisan leher dan kepala. Yang lain berada di sisi yang sama
dari pasien, secara manual mencegahh rotasi, fleksi, ekstensi, tekukan lateral, atau
tertekuknya thorax atau abdomen secara manual selama transfer pasien. Orang
keempat bertanggung jawab menggerakkan tungkai dan memindahkan spine
board dan memeriksa punggung pasien. Pada saat melakukan pengangkatan dan
evakuasi, komando ada di satu oarang yaitu yang berada di area kepala, area
kepala harus lebih tinggi daripada kaki. Pada saat tarnsport ke UGD rumah sakit
pantau respon pasien dan ABCD.

b. Penanganan di rumah sakit


Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan
sekunder.
Re-evaluasi ABCD pasien yaitu :
Airway  cek jalan nafas, pastikan ada atau tidaknya hambatan jalan nafas.
Snoring (pasang OPA) , gargling (suction)
Breathing  kaji kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien
RR 14x/ menit
- Berikan oksigen tambahan via NRM (10-15 L)
Rasional : pemberian oksigen tambahan via NRM agar kebutuhan oksigen
pasien terpenuhi dan mempertahankan saturasi oksigen pasien >95%.
- Persiapkan pemasangan intubasi
Rasional : jika pemberian oksigen melalui NRM tidak adekuat dan tidak
dapat mempertahankan saturasi oksigen >95% dan nilai RR pasien semakin
menurun <8-10xmenit maka lakukan persiapan pemasangan intubasi
ventilasi mekanik.
Circulation : TD 90/60 mmHg, frekuensi nadi 58 x/menit, CRT < 2 detik
- Pasang IV line dan berikan cairan kristaloid 500-1000cc
Rasional : pemasangan IV line dilakukan sebagai jalur pemerian terapi cairan
dan pemberian obat yang melalui intravena.
- Pemasangan foley kateter
Rasional : waktu pulihnya reflex berkemih umumnya 6-8 minggu,
pemasangan foley kateter dilakukan untuk memantau output cairan.
- Pemberian obat antagonis reseptor H2 (omeprazole) melalui injeksi 30 mg.
Rasional : Ulkus peptikum akut dapat terjadi pada pasien dengan SCI yang
ditandai dengan adanya perdarahan pada lambung, pemebrian obat antagonis
reseptor H2 akan melindungi lambung dari perdarahan
- Berikan obat kortikosteroid (metilprednisolon) dosis tinggi (bolus 30
mg/kgBB dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23
jam).
Rasional : metilprednisolon merupakan obat anti inflamasi, pada cidera
spinal penggunaan obat metilprednisolon untuk mengatasi inflamasi akibat
trauma.
- Berikan obat vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik
(dopamin) diberikan secra drip 2-15mcg/kgBB/menit.
Rasional : mekanisme kerja dopamin yaitu meningkatkan kontraktilitas
miokard dan meningkatkan frekuensi jantung sehingga cardiac output dan
tekanan darah meningkat.
- Berikan obat atropine sulfat diberikan melalui intravena dengan dosis 0,4-1,2
mg.
Rasional : atropin sulfat dapat meningkatkan frekuensi nadi
Disabilities : kesadaran pasien compos mentis
Exposure : seluruh pakaian dibuka dan diselimuti.
c. Kolaborasi pemasangan skeletal traction
Beban yang digunakan tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur tanpa
dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-5 kg, sedangkan pada dislokasi
digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai total 25 kg) dalam
posisi leher dalam keadaan fleksi. Pasien harus diperiksa status neurologis nya
setiap peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila terjadi
perburukan status neurologis. Selain itu, halo traction dapat digunakan sebagai
alat alternatif dari skeletal traction
Gambar jenis-jenis skeletal traction cone dan Gardner-Wells tongs

Skeletal traction Gardner-Wells tongs

Halo rompi traksi untuk stabilisasi servikal.

d. Rehabilitasi
Tindakan rehabilitasi medik merupakan penanganan lanjutan pada pasien
dengan spinal cord injury. Tindakan rehabilitasi mencakup fisioterapi, terapi
okupasi, dan bladder training. Program fisioterapi (PT) dapat memfasilitasi
pemulihan kekuatan otot, fleksibilitas, meningkatkan mobilitas, koordinasi,
mempertahankan ROM (Range of Movement) dengan memperkuat fungsi otot-
otot yang ada dan mempertahankan fungsi tubuh melalui latihan. Pijat,
hidroterapi, dan perawatan lain dapat membantu untuk meredakan nyeri. Program
latihan fisioterapi yang dapat dilakukan antara lain latihan ROM (pasif dan aktif)
dan penguluran untuk mencegah kontraktur dan adanya keterbatasan lingkup
gerak sendi pada bagian yang lesi. Terapi okupasional terutama ditujukan untuk
memperkuat dan memperbaiki fungsi ekstremitas atas, mempertahankan
kemampuan aktivitas hidup sehari-hari/ activities of daily living (ADL).
Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal mungkin.

Sumber :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/spinal-cord-injury/basics/tests-
diagnosis/con-20023837
Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones
HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s Neurology. 2nd edition. Elsevier,
Saunders. 2012. p.562-71
http://evolve.elsevier.com/deWit (Care of Patients With Head and Spinal Cord
Injuries)
http://www.spinal-injury.net/my-spinal-cord-injury.htm
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian
Emergency Nursing Journal, 12; 130-136

Anda mungkin juga menyukai