Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma mekanik bisa menyebabkan cedera kepala, cedera kepala

dapat terjadi dikarenakan adanya trauma secara langsung atau tidak

langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi

neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala

adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau

degeneratif tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar yang

dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan

kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala paling

sering dan penyakit neurologic yang serius diantara penyakit neurologic

yang disebabkan oleh kecelakaan (Nurlaeci, 2020).

Cedera kepala merupakan gangguan pada otak yang diakibatkan

oleh suatu kekuatan mekanis dari luar tubuh yang dapat menyebabkan

kelainan pada aspek kognitif, fisik, dan psikososial seseorang secara

sementara ataupun permanen dan berhubungan dengan berkurang atau

terganggunya status kesadaran seseorang. Menurut Glasgow Coma Scale

(GCS), cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala berat (GCS ≤ 8),

sedang (GCS 9-13), dan ringan (GCS 14-15). Cedera kepala adalah salah

satu penyebab utama kematian dan kecacatan yang sering terjadi di

seluruh dunia terutama di negara berkembang (Ibrahim, 2020)


Menurut WHO meperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan

lalu lintas akan menjadi penyebab dan trauma ke tiga terbanyak di dunia.

Trauma kepala merupakan penyakit yang sering terjadi di zaman modern

seperti sekarang . jadi seharusnya setiap individu harus patuh terhadap

peraturan dan undang-undang lalu lintas (Elisabeth Wahyu Savitri, 2021).

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan

mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum

tiba di rumah sakit, dan sisanya yang memerlukan perawatan sekitar 80%

dikelompokan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera

kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat.

Cedera kepala tersebut terutama terjadi pada kelompok usia produktif

atara 15- 44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab terbesar

yaitu 48%-53%, kemudian jatuh 20%-28% dan 3%-9% lainnya disebabkan

tindakan kekerasan, olahraga dan rekreasi (Nurlaeci, 2020).

Di negara Indonesia, diperkirakan tedapat 11,9% kasus cidera

kepala. perbandingan untuk setiap wilayah kabupaten memiliki prensetase

yang berbeda, untuk kasus dengan presentase tertinggi berada di wilayah

kota Yogyakarta sebanyak 12,97% kasus, Kabupaten Sleman sebanyak

12,01% kasus, Kabupaten Bantul 10,55%, Kabupaten Gunung Kidul

9,53%, dan untuk presentase terendah berada di Kabupaten Kulon Progo

sebanyak 8,59% kasus. Insidens cedera kepala paling banyak terjadi pada

usia 1-4 tahun (29,5%), usia 15-34 tahun (17,7%) dan usia >65 tahun

(33,1%). Berdasarkan jenis kelamin, kasus cedera kepala lebih banyak

terjadi pada laki-laki (12,2%) daripada perempuan. Berdasarkan

etiologinya, cedera kepala banyak terjadi karena kecelakaan transportasi

darat (47,7%), jatuh (40,9%), benturan objek tumpul dan tajam (7,3%),
dan tertimpa benda (2,5%). 1 (11,5%). (Riskesdas, 2018 ; Maria Putri Sari

Utami et al.,2021).

Berdasarkan data dari Riskesdas (2018) angka kejadian cidera

kepala dari provinsi Kalimantan selatan menduduki dengan prevalensi

cedera kepala berjumlah 8,6 % pada tahun 2018 sedangkan pada tahun

2016 berjmlah 13,8 % (Riskesdas, 2018). Berdasarkan data dari

Riskesdas (2018) angka kejadian cidera kepala dari provinsi Kalimantan

selatan menduduki dengan prevalensi cedera kepala berjumlah 8,6 %

pada tahun 2018 sedangkan pada tahun 2016 berjmlah 13,8 %

(Riskesdas, 2018).

Berdasarkan atas penurunan tingkat kesadaran serta ada tidaknya

defisit neurologi fokal penderita cedera kepala diklasifikasikan

berdasarkan mekanisme, morfologi, dan keparahan cedera kepala.

Berdasarkan mekanisme cedera kepala dikelompokan menjadi dua, yaitu

cedera kepala tertutup dan cedera kepala dengan penitrasi atau luka

tembus. Berdasarkan atas morfologinya cedera kepala dikelompokan

menjadi cedera kepala dengan fraktur tengkorak dan cedera kepala

dengan lesi intrakranial. Berdasarkan atas derajat beratnya cedera kepala

dikategorikan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat (Nurlaeci,

2020).

Penanganan cedera kepala harus cepat, tepat dan cermat serta

sesuai dengan prosedur yang ada, selain itu prinsip umum

penatalaksanaan cedera kepala juga menjadi acuan penting mencegah

kematian dan kecacatan, misalnya Airway, breathing, circulation, distability

dan exposure misalnya (ABCDE), mengobservasi tanda-tanda vital,

mempertahankan oksigenasi yang adekuat, menilai dan memperbaiki


gangguan koagulasi, mempertahankan hemostasis dan gula darah, nutrisi

yang adekuat (Elisabeth Wahyu Savitri, 2021).

Tindakan kedaruratan untuk membantu mengendalikan atau

membersihkan jalan nafas , membantu pernafasan dan mempertahankan

sirkulasi darah. Bantuan hidup dasar terdiri dari A-B-C. Dimana A adalah

airway control yaitu untuk pengendalian jalan napas dan servikal, B adalah

breathing support and ventilation yaitu pemberian nafas buatan dan

oksigenasi paru-paru, sedangkan C adalah circulation support and

hemorrhage control yang artinya adalah pengenalan tanda-tanda henti

jantung dan mempertahan kansirkulasi dengan kompresi jantung luar,

pengendalian perdarahan dan syok (Heriani, 2019).

Berdasarkan latar belakang dan data yang saya dapat penulis

tertarik untuk mengetahui dan mempelajari lebih lanjut tentang penyakit

cidera kepala berat dalam sebuah penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang

berjudul ‘‘Penatalaksaan Airway, Breathing, dan Circulation pada Asuhan

Keperawatan Pasien Cidera Kepala Berat di Ruang ICU RSUD Ulin

Banjarmasin’’.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, di dapat rumusan masalah

yaitu Bagaimana Gambaran Studi Kasus Penatalaksaan Airway,

Breathing, dan Circulation pada Asuhan Keperawatan Pasien Cidera

Kepala Berat di Ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin ?

C. Tujuan Studi Kasus

1. Tujuan Umum
Diketahuinya Penatalaksaan Airway, Breathing, dan Circulation

pada Asuhan Keperawatan Pasien Cidera Kepala Berat di Ruang ICU

RSUD Ulin Banjarmasin.

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian keperawatan Recana Penatalaksaan Airway,

Breathing, dan Circulation pada pasien cedera kepala berat di ruang

ICU RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2023.

b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien cedera kepala

berat di ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2023.

c. Merencanakan intervensi keperawatan dengan Penatalaksaan

Airway, Breathing, dan Circulation pada pasien cidera kepala berat

di ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2023.

d. Melakukan implementasi keperawatan dengan Penatalaksaan

Airway, Breathing, dan Circulation pada pasien cidera kepala berat

di ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2023

e. Mengevaluasi tindakan keperawatan Penatalaksaan Airway,

Breathing, dan Circulation pada pasien cedera kepala berat di ruang

ICU RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2023.

f. Mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan dengan

Penatalaksaan Airway, Breathing, dan Circulation pada pasien

cedera berat kepala di ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin tahun

2023.

D. Manfaat Studi Kasus

1. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu upaya untuk

mengatasi masalah cedera kepala berat kepada pasien.


2. Bagi Institusi
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan terutama bagi pihak

yang berkepentingan di RSUD Ulin Banjarmasin sebagai bahan

pembandingan antara metode teoritis yang di dapatkan di pendidikan

dengan pelaksanaan di Ruangan ICU pada pasien cidera kepala berat.

3. Bagi Perawat
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi

pengembang profesi keperawatan baik pada masa pendidikan maupun

ditempat pelayanan kesehatan, dan sebagai masukan untuk

menambah bahan informasi, dan keterampilan bagi profesi

keperawatan dalam Faktor yang Berhubungan dengan Peran Perawat

dalam Melakukan Tindakan Manajemen Airway, Breathing dan

Circulation pada asuhan keperawatan pasien cidera kepala berat

sehingga perawat mampu mengaplikasikan tindakan keperawatan

pada pasien cidera kepala berat.

4. Bagi Penulis
Hasil penelitian ini dapat menambah kemampuan penulis untuk

melakukan penelitian, menambah kemampuan dan pengalaman serta

menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang asuhan

keperawatan pada pasien cidera kepala berat.

5. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian studi kasus ini dapat menjadi sarana untuk

mengetahui cidera kepala berat di ruangan ICU RSUD Ulin

Banjarmasin 2023.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis
1. Definisi
Cedera kepala merupakan penyakit neurologis yang paling

sering terjadi diantara penyakit neurologis lainnya yang biasa

disebabkan oleh kecelakaan, meliputi, otak, tengkorak ataupun kulit

kepala saja Cedera kepala menimbulkan kelainan struktural dan atau

fungsional pada jaringan otak, bahkan dapat mengganggu kesadaran

serta menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fisik (Agnes

Silvina Marbun, 2019)

Cedera kepala berat merupakan cedera kepala yang

mengakibatkan penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8,

mengalami amnesia > 24 jam dan disertai keluhan pusing, nyeri

kepala, mual, muntah dan adanya tanda peningkatan tekanan

intrakranial (Ibrahim, 2020).

Keadaan umum pasien CKB lebih buruk dari pada pasien

dengan CKS, dan dari tingkat kesadaran dengan menggunakan

pengukuran GCS pada CKB lebih buruk tingkat kesadarannya dengan

GCS 3 – 8 dibandingkan GCS pada CKS GCS 9–13. CKB memiliki

prognosis yang lebih buruk dibandingkan CKR dan CKS. Cedera

kepala ini akan memiliki gejala sisa yang berat serta peluang

perbaikan sangat kecil cedera kepala berat dengan memiliki

kemungkinan sudah dalam keadaan mengalami disfungsi struktural

dan metabolik otak yang signifikan, dan lebih berisiko terhadap cedera

sekunder dan kerusakan otak (Siahaya, 2020).


2. Etiologi
Pasien dengan cedera kepala dapat mengalami masalah pada

mental, fisik, kognitif, dan sosial.Salah satu komplikasi dan akibat dari

cedera kepala yaitu beberapa pasien mengalami gangguan fungsi

kognitif. Cedera kepala akan mengakibatkan keadaan hioksikiskemik,

sehingga diekspresikan faktor neurotropic yaitu brain-derived

neurotrophic factor (BDNF) yang sangat berperan dalam fungsi kognitif

(Agnes Silvina Marbun, 2019).

Penyebab cedera kepala berat adalah:

a. Trauma tajam

Trauma oleh benda tajam dapat menyebabkan cedera

setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi

kontusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder

yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau

hernia.

b. Trauma tumpul

Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera

menyeluruh (difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan

terjadi dalam 4 bentuk yaitu cedera akson, kerusakan otak

hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple

pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer

serebral, batang otak atau kedua-duanya.

3. Patofisiologis
Cidera kepala terjadi karena trauma tajam atau tumpul seperti

terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang dapat


mengenai kepala dan otak sehingga mengakibatkan terjadinya

gangguan pada fungsi otak dan seluruh sistem dalam tubuh. Bila

trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya

leserasi pada kulit kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi

perdarahan. Apabila perdarahan yang terjadi terus–menerus dapat

menyebabkan terganggunya aliran darah sehingga terjadi hipoksia.

Akibat hipoksia ini otak mengalami edema serebri dan peningkatan

volume darah di otak sehingga tekanan intra kranial akan meningkat.

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan fraktur

yang dapat menyebabkan desakan pada otak dan perdarahan pada

otak, kondisi ini dapat menyebabkan cidera intra kranial sehingga

dapat meningkatkan tekanan intra kranial, dampak peningkatan

tekanan intra kranial antaralain terjadi kerusakan jaringan otak bahkan

bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang

mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Borley & Grace,

2016).

Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi

menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak

pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses

patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen.

Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi dua

(Youmans, 2017) :

a. Cedera Otak Primer

Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari

kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi

(hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal


dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi,

kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi.

Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek

pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan

kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 2017).

Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau

pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau

Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah

berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan

intraserebral (Graham, 2015), yang dapat dilihat pada CT scan.

Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid

traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi

iskemik baik fokal maupun global (Valadka, 2017).

Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa

faktor seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial

Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal,

kerusakan mikrovaskular pada fase 28 lanjut (late phase), terjadi

vasospasme. Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi

menjadi:

1) Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi)

2) Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia)

3) Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi

aliran darah (Ingebrigtsen, et al. 2018).

b. Cedera Otak Sekunder


Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak

primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia,

pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-

apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui mekanisme

Eksitotoksisitas, kadar Ca+ intrasellular meningkat, terjadi

generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid. Perburukan mekanis

awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada perubahan

jaringan yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh darah.

Cedera ini akan di ikuti oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur

biologis intraselular dan ekstraseluler yang dapat muncul dalam

menit, jam, maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala

primer (Cloots dkk, 2008). Selama fase ini, banyak pasien

mengalami cedera kepala sekunder yang dipengaruhi hipoksia,

hipotensi, odema serebri, dan akibat peningkatan Tekanan

Intrakranial (TIK). Faktor 29 sekunder inilah yang akan

memperberat cedera kepala primer dan berpengaruh pada

outcome pasien (Czosnyka dkk, 2016).

Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi

akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak,

hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai

segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera

setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak

faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran

darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel

otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan

reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis. Kelainan


utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak,

peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera

kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati

atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel

otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi

belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh

dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut

proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa

yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada

sel yang cedera maupun sel yang tidak cedera.

Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai

dengan aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi

pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan permeabilitas

kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan

(edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang

berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel

leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 -

60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon

inflamasi berlangsung melebihi 30 waktu ini, antara waktu 5-6 jam

akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan

limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel PMN dalam proses

fagositosis (Riahi, 2016).

Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma

sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap

awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada

endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular


Adhesion Molecules-1 (ICAM-1). Proses perlekatan ini mempunyai

kecenderungan merusak/merugikan karena mengurangi aliran

dalam mikrosirkulasi. Selain itu, neutrofil juga melepaskan

senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya

(prostaglandin, leukotrin) di mana senyawasenyawa ini akan

memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai

peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak

(Hergenroeder, 2018)

4. Klasifikasi Cidera Kepala


Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2018)

cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis

dikenal 3 deskripsi 31 klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme,

beratnya cedera, dan morfologi. Cedera kepala dibagi menjadi 2, yaitu;

a. Cedera Kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan

pencahnya tengkorak atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala

pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari

benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak

menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai

durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/

tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman

pathogen memiliki abses langsung ke otak.

b. Cedera Kepala Tertutup

Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak

ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan


sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila

ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup

meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi

(Brunner & Suddarth, 2018)

c. Berdasarkan Tingkat Keparahan

Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya

didasari atas GCS. Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen

yaitu :

1) Reaksi membuka mata (E) Nilai

a) Membuka mata spontan 4

b) Buka mata dengan rangsangan suara 3

c) Buka mata dengan rangsangan nyeri 2

d) Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1

2) Reaksi Verbal (V)

a) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5

b) Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4

c) Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3

d) Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2

e) Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1

3) Reaksi Motorik (M)

a) Mengikuti perintah 6

b) Melokalisir rangsangan nyeri 5

c) Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4

d) Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3

e) Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2

f) Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1


Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala

dapat diklasifikasikan menjadi : 3

a. Cedera kepala ringan

Nilai GCS : 13-15, kehilangan kesadaran kurang

dari 30 menit. Ditandai dengan nyeri kepala, muntah,

vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur

tengkorak, kontusio/hematoma

b. Cedera kepala sedang

Nilai GCS : 9-12, kehilangan kesadaran antara 30

menit – 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan

disorientasi ringan (bingung)

c. Cedera kepala berat

Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam,

meliputi: kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema

serebral (Hudack dan Gallo, 2016)

5. Tanda dan Gejala Cidera Kepala


Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala

ringan adalah pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama

beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau

berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu

makan yang menurun, perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–

tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah

perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung

menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya


tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal

ekstremitas (Reisner, 2019).

a. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan

tidak tegap, kehilangan tonus otot.Perubahan tekanan darah atau

normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi,

takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).

b. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).

c. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua

fungsi.

d. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur,

disfagia)

e. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental

(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan

masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori).

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada

mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan

seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak

simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat

sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi

sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.

f. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat,

gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.

g. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi),

nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif

(kemungkinan karena aspirasi).


h. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi,

abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari

telinga atau hidung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang

gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami

paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.

i. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang

– ulang.

j. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

k. Cemas, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.

l. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.

m. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,

vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam

penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian

lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan

penciuman.

n. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya

lama.

o. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada

hematoma, kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering

dengan membesarnya hematoma atau edema intestisium.

p. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.

q. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan

gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.

r. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.

Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan

detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak

dengan kompresi pada batang otak.


s. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan

dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk

berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan TIK.

Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi.

t. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)

u. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi

pernapasan)

v. Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan

atau posisi abnormal ekstrimitas

6. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Wijaya & Putri (2016), pemeriksaan diagnostik Cidera

Kepala diantaranya:

a. Foto polos kepala :

Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan

untuk pemeriksaan foto polos kepala karena masalah biaya dan

kegunaan yang sekarang mungkin sudah ditinggalkan. Jadi,

indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus (peluru/tajam),

deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang

menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.

b. Radiografi kranium:

Untuk memastikan adanya fraktur setelah cedera kepala,

perlu dilakukan pemeriksaan pada tanda fisik eksternal dan tanda

neurologis. Tanda fisik seperti fraktur fasialis dan tanda neurologis

seperti gangguan kesadaran yang persisten dapat menunjukkan

adanya fraktur. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada


pasien yang tidak sadar bisa menunjukkan hematom ekstradural

yang disebabkan oleh robekan arteri meningea media. (Ginsberg,

2019).

c. CT scan kranial:

Jika terdapat gejala penurunan tingkat kesadaran atau

fraktur kranium berserta kebingungan, kejang, atau tanda

neurologis fokal, tindakan segera harus dilakukan. CT scan juga

dapat membantu untuk menentukan letak lesi dan memantau

kemungkinan komplikasi seperti hematom epidural dan hematom

subdural (Ginsberg, 2019).

d. MRI :

Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk

pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang

digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif

daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non

hemoragik cedera aksonal.

e. EEG :

EEG memiliki peran penting dalam diagnosis dan

memantau pasien dengan cedera kepala, khususnya untuk

membantu mengidentifikasi status epileptikus non konfulsif.

Pemantauan EEG terus menerus juga dapat membantu

menentukan perkembangan gelombang yang patologis dan

memprediksi hasil pada pasien dengan cedera otak traumatik.

Perlambatan pada pemantauan EEG terkait dengan gelombang


delta atau pola penekanan melonjak dapat berhubungan dengan

hasil yang buruk pada bulan ketiga dan keenam

f. X – Ray :

X – Ray dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan

struktur tulang, seperti fraktur, dan perubahan dalam struktur

jaringan, seperti perdarahan atau edema. X – Ray juga dapat

menunjukkan adanya fragmen tulang.

7. Penatalaksanaan
Cidera Kepala Secara umum, pasien dengan cedera kepala

harusnya dirawat di rumah sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat

jika terdapat penurunan tingkat kesadaran, fraktur kranium dan tanda

neurologis fokal. Cedera kepala ringan dapat ditangani hanya dengan

observasi neurologis dan membersihkan atau menjahit luka / laserasi

kulit kepala. Untuk cedera kepala berat, tatalaksana spesialis bedah

saraf sangat diperlukan setelah resusitasi dilakukan. Aspek spesifik

terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:

a. Bedah

1) Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang

mendesak ruang.

2) Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang

menekan pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini

membutuhkan terapi bedah segera dengan debridement luka

dan menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut

pada meningen dan otak.

b. Medikamentosa
1) Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan

tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat

sebelum evakuasi hematom intrakranial pada pasien dengan

penurunan kesadaran.

2) Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.

3) Antikonvulsan untuk kejang.

4) Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena

dapat memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg, 2019).


8. Patwhay
B. Konsep Prosedur Penatalaksanaan Airwar, Breathing, Circulation
1. Definisi Airwar, Breathing, Circulation
Dalam melakukan asuhan keperawatan pada kasus

kegawatdaruratan selalu diawali dengan melakukan pengkajian.

Pengkajian kegawatdaruratan pada umumnya menggunakan

pendekatan A-B-C (Airway= JALAN NAFAS,

Breathing=PERNAFASAN dan Circulation =SIRKULASI). Perlu diingat

sebelum melakukanpengkajian Anda harus memperhatikan proteksi

diri (keamanan dan keselamatan diri) dan keadaan lingkungan sekitar.

a. Airway

Pengkajian jalan nafas bertujuan menilai apakah jalan

nafas paten (longgar) atau mengalami obstruksi total atau partial

sambil mempertahankan tulang servikal. Sebaiknya ada teman

Anda (perawat) membantu untuk mempertahankan tulang servikal.

Pada kasus non trauma dan korban tidak sadar, buatlah posisi

kepala headtilt dan chin lift (hiperekstensi) sedangkan pada kasus

trauma kepala sampai dada harus terkontrol atau

mempertahankan tulang servikal posisi kepala. Pengkajian pada

jalan nafas dengan cara membuka mulut korban dan lihat: Apakah

ada vokalisasi, muncul suara ngorok; Apakah ada secret, darah,

muntahan; Apakah ada benda asing seperti gigi yang patah;

Apakah ada bunyi stridor (obstruksi dari lidah). Apabila ditemukan

jalan nafas tidak efektif maka lakukan tindakan untuk

membebaskan jalan nafas.

b. Breathing
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah

penilaian jalan nafas. Pengkajian pernafasan dilakukan dengan

cara inspeksi, palpasi. Bila diperlukan auskultasi dan perkusi.

1) Inspeksi dada korban: Jumlah, ritme dan tipe pernafasan;

Kesimetrisan pengembangan dada; Jejas/kerusakan kulit;

Retraksi intercostalis.

2) Palpasi dada korban: Adakah nyeri tekan; Adakah penurunan

ekspansi paru.

3) Auskultasi: Bagaimanakah bunyi nafas (normal atau vesikuler

menurun); Adakah suara nafas tambahan seperti ronchi,

wheezing, pleural friksionrub.

4) Perkusi, dilakukan di daerah thorak dengan hati hati, beberapa

hasil yang akan diperoleh adalah sebagai berikut: Sonor

(normal); Hipersonor atau timpani bila ada udara dithorak;

Pekak atau dullnes bila ada konsolidasi atau cairan.

c. Circulation

Pengkajian sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan

menilai kemampuan jantung dan pembuluh darah dalam

memompa darah keseluruh tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi:

Tekanan darah; Jumlah nadi; Keadaan akral: dingin atau hangat;

Sianosis; Bendungan vena jugularis (Kesehatan et al., 2022)

2. Tujuan Airway, Breathing, Circulation


Penatalaksaan kegawadaruratan pasien yang masuk ICU

memerlukan penatalaksaan ABC yang berbeda dengan ruangan lain,

karena penatalaksaan ABC (Airway, Breathing, Circulation) di ruangan

ini harus lebih kompleks dengan kemampuan perawat yang khusus


pula. Penatalaksanaan keperawatan yang komprehensif yang harus

dilakukan oleh tim ICU (Intensive Care Unit) dalam ABC (Airway,

Breathing, Circulation) untuk mengatasi masalah jalan nafas,

pernapasan serta sirkulasi yang dapat menentukan tindakan

selanjutnya untuk mencegah kesakitan dan kematian ibu. Hal ini

merupakan alasan peneliti untuk mengetahui kemampuan perawat

dalam penatalaksanaan ABC (Airway, Breathing, Circulation) pada

keberhasilan penanganan kegawatdaruratan maternitas di Ruang ICU

yang dianalisis dengan jumah ibu (kehamilan, persalinan, nifas) yang

berhasil tertolong ketika mengalami kondisi kritis (Arifin &

Wahyuningsih, 2018).

3. Indikasi
a. Pasien yang mengalami gangguan pernapasan

b. Pasien yang mengalami imobilisasi

c. Pasien dengan GCS 3-8 dengan penurunan kesadaran <24 jam

4. Kontra Indikasi
a. Pasien dengan kesadaran penuh

b. Pasien yang tidak ada gangguan pada saluran pernafasan

5. Prosedur Tindakan Airway, Breathing, dan Circulation


a. Pengertian

merupakan salah satu latihan pernapasan untuk

mengontrol pernapasan agar menghasilkan pola pernapasan yang

tenang dan ritmis sehingga menjaga kinerja otot-otot pernapasan

dan merangsang keluarnya sputum untuk membuka jalan napas.

b. Tujuan

1) Membersihkan jalan nafas dari sputum agar diperoleh hasil

pengurangan sesak napas


2) Pengurangan batuk

3) Perbaikan pola napas

c. Penatalaksanaan Airway, Breathing, Dan Circulation

1) Airway

a) Membuka jalan nafas dengan metode (Head tilt, Chin lift

maneuver, dan jaw Thurs Manuever)

b) Membersihkan jalan nafas (Finger Sweep, Abdominal

Thrust, Chest Thrust, dan Back Blow)

c) Pembersihan jalan nafas dengan penggunaan alat

(pemasangan tube, Suctioning, dan membuka jalan nafas

dengan Krikotoromi)

2) Breathing

a) Tanpa alat (memberikan pernafasan buatan dari mulut ke

mulut atau dari mulut ke hidung sebanyak 2 kali tiupan dan

diselangi ekshalasi

b) Dengan alat (Memberikan nafas buatan menggunkan Ambu

bag, dan memberikan terapi oksigen atau ventilator

mekanik)

3) Circulation

a) Tujuan dari Circulation dalah untuk mengembalikan sirkulasi

darah

b) Tindakan untuk mengembakilan sirkulasi darah dilakukan

dengan eksternal chest compression (picat jantung) untuk

mengadakan sirkulasi sistemik dan paru. Sirkulasi buatan

( artificial circulation) dapat dihasilkan dengan intermitten

chest compression.

4) Evaluasi
Lakukan pengukuran saturasi oksigen, frekuensi nafas dan

produksi sputum

5) Hal hal yang harus di perhatikan dalam pelaksanan tindakan

A-B-C pada pasien cedera kepala berat

a) Adanya fraktur pada servikal

b) Adanya pendarahan pada saluran pernafasan

c) Adanya fraktur pada tengkorak kepala


C. Konsep Asuhan Keperawatan

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan

merupakan proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari

berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi

status kesehatan pasien. Data yang dikumpulkan dalam pengkajian

ini meliputi unsur bio-psiko-sosial-spiritual. Beberapa pengkajian yang

dilakukan antara lain adalah:

1. Identitas pasien

Meliputi nama, usia, jenis kelamin, agama, alamat, bahasa

yang digunakan, suku, bangsa, bahasa yang digunakan,

pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, asuransi, golongan

darah, tanggal MRS, diagnosa medis dan nomor registrasi

(Asikin and Nasir, 2016).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian

dan kecacatan pada kelompok usia produktif yaitu antara umur

15 – 45 tahun dan lebih di dominasi oleh kaum laki-laki yang

sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa

tabrakan kendaraan sepeda motor, mobil, sepeda dan

penyeberang jalan yang ditabrak, sisanya disebabkan oleh jatuh

dari ketinggian, tertimpa benda, olah raga, korban kekerasan dan

lain sebagainya. (Tobing, 2018).


2. Identitas penanggung jawab

Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama,

umur, jenis kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien,

pendidikan terakhir, pekerjaan, alamat.

3. Keluhan utama

Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta

pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak

trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin, A.

2018). Biasanya klien akan mengalami penurunan kesadaran

dengan skor GCS 3-8 dengan penuruna kesadaran <24 jam dan

adanya benturan serta perdarahan pada bagian kepala klien

yang disebabkan oleh kecelakaan ataupun tindakan kejahatan.

4. Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang

Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS

<15), letargi, mual dan muntah, sakit kepala, wajah tidak

simetris, lemah, paralysis, perdarahan, fraktur, hilang

keseimbangan, sulit menggenggam, amnesia seputar

kejadian, tidak bias beristirahat, kesulitan mendengar,

mengecap dan mencium bau, sulit mencerna/menelan

makanan.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit

system persyarafan, riwayat trauma masa lalu, riwayat

penyakit darah, riwayat penyakit sistemik/pernafasan

cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala


sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung.
c. Riwayat kesehatan keluarga

Hal ini mencakup riwayat penyakit keluarga, riwayat

ekonomi keluarga, riwayat sosial keluarga, sistem dukungan

keluarga dan pengambilan keputusan keluarga. Kaji apakah

ada anggota keluarga yang menderita DM, Hipertensi, Asma

dan dengan siapa pasien tinggal satu rumah dan jumlah

anggota keluarga

d. Riwayat psikososial

Merupakan respon emosi pasien terhadap penyakit

yang dideritanya dan peran pasien dalam keluarga dan

masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan

sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam

masyarakat.

e. Permeriksaan fisik

Menurut Krisdiyana (2019) pemeriksaan fisik ada dua

macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan fisik secara

umum (status general) untuk mendapatkan gambaran umum

dan pemeriksaan setempat (local). Hal ini diperlukan untuk

dapat melaksanakan perawatan total.

1) Keadaan umum, yaitu keadaaan baik dan buruknya

pasien. Tanda-tanda yang perlu dicatat adalah kesadaran

pasien:

a) Kesadaran pasien:

i. Composmentis: berorientasi segera dengan

orientasi sempurna, nilai GCS: 15 - 14.


ii. Apatis: terlihat mengantuk tetapi mudah

dibangunkan dan pemeriksaan penglihatan,

pendengaran dan perabaan normal, nilai GCS: 13

- 12.

iii. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang,

tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak,

berhalusinasi, kadang berhayal, nilai GCS: 11-10.

iv. Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang

dapat disuruh dan menjawab pertanyaan, bila

rangsangan berhenti penderita tidur lagi, GCS: 9

– 7.

v. Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang

dengan kasar dan terus menerus, nilai GCS: 6 –

4.

vi. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan,

tidak ada respon terhadap rangsangan apapun

(tidak ada respon kornea maupun reflek muntah,

mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap

cahaya), nilai GCS: ≤ 3 (Satyanegara.2017).

2) Keadaan penyakit, yaitu akut, kronis, ringan, sedang

atau berat.

3) Tanda-tanda vital biasanya tidak normal karena ada

gangguan, baik fungsi maupun bentuk.

f. Pengkajian ABC

1) Airway

a) Cek jalan napas


b) Ada atau tidaknya obstruksi misalnya seperti lidah

jatuh kebelakang, terdapat cairan, darah, benda

asing, dan lain-lain.

c) Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara

napas tambahan seperti snoring, gurgling, crowing.

2) Breathing

a) Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak

b) Gerakan dinding dada simetris atau tidak

c) Irama napas cepat, dangkal atau normal

d) Pola napas teratur atau tidak

e) Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi

f) Ada sesak napas atau tidak (RR)

g) Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot

bantu pernapasan

3) Circulation

a) Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)

b) Tekanan darah

c) Sianosis, CRT

d) Akral hangat atau dingin, Suhu

e) Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)

f) Turgor kulit

g) Diaphoresis

g. Pengkajian B1-B6

1) B1 (Breathing)

Pada inspeksi didapatkan pasien disertai batuk,


peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan

obat bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan.

Pada pasien dengan tingkat kesadaran compos mentis,

peningkatan inspeksi pernafasannya tidak ada kelainan.

Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan

dan kiri. Auskultasi biasanya akan didapatkan bunyi

napas tambahan dikarenakan produksi sputum yang

berlebih.

2) B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan

renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada

pasien DHF. Hasil laboratorium didapatkan trombosit

mengalami penurunan dibawah batas normal, hal ini

rentan sekali pasien mengalami perdarahan di bagian

tubuh lainnya, seperti epistaksis, gusi bengkak atau

berdarah, munculnya pteki dan lainnya.

3) B3 (Brain)

Langkah awal penilaian ditentukan pada respon

mata, motorik, dan verbal (GCS). Ketika memburuk perlu

pemeriksaan keadaan pupil serta gerakan bola mata.

4) B4 (Bladder)

Kandung kemih segera dikosongkan dengan

pemasangan kateter jika memungkinkan pasien

mengalami penurunan imobilisasi atau bed rest total.


5) B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan mual, nafsu makan

menurun, Mual sampai muntah disebabkan oleh

peningkatan produksi asam lambung sehingga

menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi atau sering

ditemukannya pada pasien DHF mengalami hepato –

spleenomegali sehingga adanya nyeri tekan pada area

abdomen kuadran II. Pola defekasi biasanya terjadi

konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya

inkontinesia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan

neurologis luas

6) B6 (Bone)

Pada kulit, jika pasien kekurangan O2 kulit akan

tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor

kulit akan buruk. Selain itu, perlu juga tanda-tanda

dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena

pasien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya

kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan,

kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi, serta mudah

lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan

istirahat.
5. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada

diagnosa cedera kepala (Cedera Otak Berat) berdasarkan Tim

Pokja SDKI DPP PPNI (2017) :

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan

disfungsi neuromuscular (D.0001)

b. Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial berhubungan

dengan edema serebral (D.0066)

c. Hipotermi berhubungan dengan kerusakan hipotalamus

(D.0131)

d. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor

mekanis (D.0129)

e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan

neuromuskular (D.0054)

6. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan ini sesuai dengan Tim Pokja SIKI

DPP PPNI (2018) serta tujuan dan kriteria hasil sesuai dengan Tim

Pokja SLKI DPP PPNI (2019) pada pasien dengan diagnosa

cidera otak berat sebagai berikut:

a. Diagnosa 1

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan

dengan disfungsi neurommuskular (D.0001)

Tujuan: setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1

x 4 jam, maka diharapkan jalan napas pasien membaik.


Kriteria hasil:

Tabel 2.2 Kriteria Hasil Keperawatan Bersihan Jalan Napas tidak efektif

Luaran Utama Bersihan Jalan 1. Batuk efektif


Napas (SLKI L.01001) meningkat
hal. 18 2. Produksi sputum
menurun
3. Frekuensi napas
membaik
4. Pola napas
Membaik
Luaran Tambahan Pertukaran Gas (SLKI 1. Tingkat kesadaran
L. 01003) hal. 94 meningkat
2. Bunyi napas
tambahan menurun
3. Gelisah menurun
4. Pola napas
membaik

Sumber: (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019)

Rencana tindakan:

Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan Bersihan Jalan Napas


No Intervensi Rasional

1. Latihan batuk efektif (I. 01006) Latihan batuk efektif


(I. 01006)
1. Identifikasi 1. Mengidentifikasi kemampuan
kemampuan batuk batuk pasien
2. Monitor adanya 2. Mengetahui adanya retensi
retensi sputum sputum
3. Monitor tanda dan 3. Memantau tanda dan gejala
gejala infeksi saluran napas infeksi saluran napas
4. Atur posisi semi fowler (30o) 4. Melancarkan jalan napas
pasien
5. Buang sekret pada tempat 5. Menjaga lingkungan tetap
sputum bersih
2. Menejemen Jalan Napas (I.01011) Menejemen Jalan Napas
1. Monitor pola napas (I.01011)
1. Memantau pola napas
2. Monitor bunyi napas tambahan pasien
3. Pertahanan kepatenan jalan
napas dengan head tilt dan 2. Memantau bunyi napas
chin lift tambahan pada pasien
4. Lakukan penghisapan lendir 3. Mempertahankan
kurang dari 15 detik kepatenan jalan napas
5. Berikan oksigen,jika perlu dengan head tilt dan chin
lift
4. Mengeluarkan sekret
pada pasien
5. Membantu
memberikan
oksigen pada pasien

Sumber: (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)


b. Diagnosa 2

Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial berhubungan

dengan edema serebral (D.0066)

Tujuan: setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1

x 4 jam, maka diharapkan penurunan kapasitas adaptif

intrakranial pasien membaik.

Kriteria hasil:

Tabel 2.4 Kriteria Hasil Keperawatan Penurunan Kapasitas


Adaptif Intrakranial
Luaran Utama Kapasitas adaptif 1. Tingkat
Intrakranial (L.06049) kesadaran
membaik
2. Tekanan
darah
membaik
3. Tekanan nadi
membaik
4. Pola napas membaik
5. Tekanan
intrakranial
membaik
Luaran Tambahan Perfusi Serebral (SLKI 1. Sakit kepala menurun
L. 02014) hal. 86 2. Gelisah menurun
3. Reflek saraf
membaik
Sumber: (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019

Rencana tindakan:

Tabel 2.5 Intervensi Keperawatan Penurunan Kapasitas Adaptif Intrakranial


No Intervensi Rasional
1. Manajemen Manajemen

peningkatan intrakranial peningkatan intrakranial


(I.06194) (I.06194)
1. Monitor tanda/gejala 1. Memantau
penigkatan TIK tanda/gejala
2. Monitor status pernapasan penigkatan TIK pasien
2. Memantau status
3. Monitor cairan pernapasan pasien
srebro spinalis 3. Memantau cairan
4. Pertahankan suhu srebro spinalis pasien
tubuh normal 4. mempertahankan suhu
5. Kolaborasi pemberian tubuh normal pasien
diuretik osmosis, jika perlu 5. Kolaborasi pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
2. Peningkatan tekanan Peningkatan
intrakranial (I.06198) tekanan intrakranial
1. Monitor penigkatan TD (I.06198)
2. Monitor penurunan frekuensi 1. Mengatur penigkatan
jantung TD pasien
3. Monitor tekanan perfusi 2. Memantau penurunan
serebral frekuensi jantung
4. Atur interval pemantauan pasien
sesuai kondisi pasien 3. Memantau tekanan
5. Dokumentasikan hasil perfusi serebral pasien
4. Mengatur interval
Pemantauan pemantauan sesuai kondisi
pasien
5. Mencatat hasil pemantauan
Sumber: (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

c. Diagnosa 3

Hipotermi berhubungan dengan kerusakan hipotalamus

Tujuan: setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 4

jam, maka diharapkan hipotermi pada pasien membaik.


Kriteria hasil:

Tabel 2.6 Kriteria Hasil Keperawatan Hipotermi


Luaran Utama Termoregulasi (L.14134) 1. Pucat menurun
2. Hipoksia menurun
3. Suhu tubuh membaik
4. Ventilasi membaik
5. Tekanan darah membaik
Sumber: (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,

2019)

Rencana tindakan:

Tabel 2.7 Intervensi Keperawatan Hipotermi


No Intervensi Rasional
1. Manajemen Hipotermi Manajemen Hipotermi
(I.14507) (I.14507)
1. Monitor suhu tubuh 1. Memantau suhu tubuh pasien
2. Identifikasi 2. Melakukan Identifikasi
penyebab penyebab hipotermia
hipotermia pasien
3. Monitor tanda dan gejala 3. Memantau tanda dan gejala
akibat hipotermia akibat hipotermia pasien
4. Ganti pakaian atau linen yang 4. Mengganti pakaian
basah atau linen yang basah pasien
5. Lakukan penghangatan pasif 5. Melakukan penghangatan
pasif

Sumber: (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

d. Diagnosa 4

Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan faktor

mekanis (D.0129)

Tujuan: setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 4

jam, maka diharapkan gangguan integritas kulit pada pasien

membaik.
Kriteria hasil:

Tabel 2.8 Kriteria Hasil Keperawatan Gangguan integritas kulit/jaringan


Luaran Utama Integritas kulit dan 1. Perfusi
jaringan (L.14125) jaringan meningkat
2. Kerusakan
jaringan menurun
3. Kerusakan lapisan
kulit menurun
4. Perdarahan menurun
5. Tekstur membaik

Sumber: (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,


2019)
Rencana tindakan:

Tabel 2.9 Intervensi Keperawatan Gangguan Integritas Kulit/Jaringan


No Intervensi Rasional
1. Perawatan integritas kulit Perawatan integritas kulit
(I.11353) (I.11353)
1. Gunakan produk 1. Menggunakan produk
berbahan petrolium atau berbahan petrolium atau
minyak pada kulit kering minyak pada kulit kering
2. Hindari produk berbahan 2. Menghindari produk berbahan
dasar lakohol pada kulit dasar lakohol pada kulit kering
kering 3. Menganjurkan
3. Anjurkan menggunakan
menggunakan pelembab
Pelembab

Sumber: (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)


e. Diagnosa 5

Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan gangguan

neuromuskular (D.0054)

Tujuan: setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 4

jam, maka diharapkan gangguan mobilitas fisik pada pasien

membaik.

Kriteria hasil:

Tabel 2.10 Kriteria Hasil Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik


Luaran Utama Mobilitas Fisik (SLKI. 1. Kekuatan otot
L. 05042) hal.65 meningkat
2. Pergerakan ekstermitas
meningkat.
3. Kaku sendi menurun.
4. Nyeri menurun
5. Kelemahan
fisikmenurun

Luaran Tambahan Status Neurologis 1. Tingkat kesadaran


(SLKI. L. 06053) meningkat
hal.120 2. Tekanan darah sistolik
membaik
3. Frekuensi nadi
membaik
4. Frekuensi napas membaik

Toleransi Aktivitas 1. Frekuensi nadi meningkat


(SLKI. L. 03032) 2. Tekanan darah membaik
hal.148 3. Frekuensi napas
4. membaik

Sumber: (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,


2019)
Rencana tindakan:

Tabel 2.11 Intervensi Keperawatan Gangguan Integritas Kulit/Jaringan


No Intervensi Rasional
1. Dukungan Mobilisasi (SIKI.
I.05173) hal.30
1. Identifikasi adanya nyeri atau 1. Mengetahui
keluhan fisik lainnya kesiapan mobilisasi.
2. Identifikasi toleransi fisik 2. Mengetahui kesiapan
3. melakukan pergerakan untuk
4. Monitor kodisi umum selama pergerakan.
melakukan mobilisasi 3. Mencegah
5. Libatkan keluarga untuk terjadinya komplikasi.
membantu pasien dalam 4. Dukungan
meningkatkan pergerakan keluarga menambah
6. Jelaskan tujuan dan prosedur semangat pasien.
mobilisasi 5. Menambah informasi dan
7. Anjurkan mobilisasi sederhana pengetahuan.
8. yang harus dilakukan Dapat meningkatkan
mobilitas fisik.
2. Manajemen Nyeri (SIKI. I.08238)
hal.201
1. Identifikasi 1. Mengetahui perkembangan
lokasi, karakteristik, durasi, nyeri pasien.
frekuensi, kualitas, skala dan 2. Lingkungan yang nyaman
intensitas nyeri dan tenang dapat
2. Kontrol lingkungan yang menurunkan skala nyeri.
memperberat rasa nyeri (mis. 3. Pasien dapat mengontrol
Suhu ruangan, pencahayaan, nyeri.
kebisingan) 4. Untuk mengurangi nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri 5. Mengurangi dan mengontrol
secara mandiri nyeri.
4. Ajarkan 6. Mengontrol komplikasi dan
teknik nonfarmakologis (mis, alergi obat
Tarik nafas dalam, terapi musik) Pasien bisa relaksasi.
5. Kolaborasi
pemberian analgetik.
6. Monitor efek samping
penggunaan analgetik.
Fasilitasi istirahat dan tidur.
3. Pencegahan Jatuh (SIKI. I.14540)
hal.279
1. Identifikasi faktor resiko jatuh. 1. Memonitor faktor resiko.
2. Hitung resiko jatuh 2. Mengetahui skala resiko jatuh.
dangan menggunkan skala 3. Mencegah terjadinya
resiko jatuh.
3. Pastikan roda tempat tidur 4. Mencegah resiko jatuh.
dan kursi roda selalu dalam
kondisi 5. Mempermudah perawat dalam
Terkunci pemantauan dan memonitor
4. Pasang handrail tempat tidur pasien.
6. Memudahkan pasien dalam
5. Tempatkan pasien beresiko 7. meminta bantuan.
jatuh dekat dengan pentauan
perawatan dari nurse station
6. Dekatkan bel pemanggil dalam
jangkauan pasien
 Sumber: (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

7. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan rencana keperawatan kegiatan atau

tindakan yang diberikan kepada pasien sesuai dengan rencana

keperawatan yang telah ditetapkan, tetapi menutup kemungkinan

akan menyimpang dari rencana yang ditetapkan tergantung

pada situasi dan kondisi pasien.

8. Evaluasi Keperawatan

Dilaksanakan suatu penilaian terhadap asuhan

keperawatan yang telah diberikan atau dilaksanakan dengan

berpegang teguh pada tujuan yang ingin dicapai. Pada bagian ini

ditentukan apakah perencanaan sudah tercapai atau belum,

dapat juga tercapai sebagaian atau timbul masalah baru.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Studi Kasus


Rancangan studi yang digunakan adalah studi kasus. Pokok

bahasan pada studi kasus ini adalah pelaksanaan airway, breathing dan

circulation pada asuhan keperawatan pasien dengan cidera kepala berat.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan asuhan keperawatan

yang meliputi pengkajian, diagnosis keperawata, intervensi keperawatan,

implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan.

B. Subjek Studi Kasus


Subyek studi kasus adalah orang yang dijadikan sebagai sumber

data atau sumber informasi untuk riset yang dilakukannya. Subyek dalam

studi kasus keperawatan ini yaitu pasien dengan cedera kepal berat

diruang ICU merupakan individu dengan kasus yang akan diteliti secara

rinci dan mendalam. Adapun kriteria subyek studi kasus yang akan dipilih,

sebagai berikut :

1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah adalah kriteria yang apabila terpenuhi dapat

mengakibatkan calon obyek menjadi obyek studi kasus, meliputi :

a. Pasien yang mengalami gangguan pernapasan

b. Pasien yang mengalami imobilisasi

c. Pasien dengan GCS 3-8 dengan penurunan kesadaran <24 jam


2. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah kriteria yang apabila dijumpai

menyebabkan objek tidak dapat digunakan dalam studi kasus,

meliputi:

a. Pasien dengan kesadaran penuh

b. Pasien yang tidak ada gangguan pada saluran pernafasan

c. Pasien post Sectio Caesarea yang tidak bersedia menjadi

responden

3. Fokus Studi
Fokus studi kasus ini adalah melakukan intervensi dengan

tindakan pelaksanaan airway, breathing, dan circulation pada asuhan

keperawatan pasien dengan cedera kepala berat.

C. Definisi Operasional Focus Studi


1. Airway, Breathing dan Circulation
Dalam melakukan asuhan keperawatan pada kasus

kegawatdaruratan selalu diawali dengan melakukan pengkajian.

Pengkajian kegawatdaruratan pada umumnya menggunakan

pendekatan A-B-C (Airway= JALAN NAFAS,

Breathing=PERNAFASAN dan Circulation =SIRKULASI). Perlu diingat

sebelum melakukanpengkajian Anda harus memperhatikan proteksi

diri (keamanan dan keselamatan diri) dan keadaan lingkungan sekitar.

2. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Cedera Kepala Berat


Suatu proses kegiatan dalam praktik keperawatan yang

diberikan secara langsung kepada pasien yang dirawat di ruang ICU

RSUD ULIN Banjarmasin melalui metode proses keperawatan dari

pengkajian, menegakkan diagnosa keperawatan, menyusun intervensi


keperawatan, implementasi keperawatan, dan mengevaluasi asuhan

keperawatan.

D. Lokasi Dan Waktu Studi Kasus


1. Lokasi
Studi kasus ini dilakukan di Ruang ICU RSUD ULIN Banjarmasin.

2. Waktu studi kasus


Studi kasus ini dilakukan dari bulan Januari - Mei 2023. Studi

kasus ini dengan merawat pasien di rumah sakit sampai pulang

minimal 7 hari perawatan.

E. Metode Dan Instrument Pengumpulan Data


1. Metode Penelitian
Metodologi penelitian adalah prosedur yang digunakan oleh

peneliti untuk mengumpulkan data dan menganalisisnya untuk

mencapai tujuan penelitian dan menemukan jawaban atas pertanyaan

yang diajukan. Ini meliputi perencanaan, pengumpulan data, dan

analisis yang digunakan untuk mencapai hasil yang valid dan dapat

diandalkan (Hernawati, 2017).

Pada sub bab ini dijelaskan terkait metode pengumpulan data

yang digunakan, antara lain :

a. Wawancara dengan Tanya jawab (hasil anamnesis berisi tentang

identitas pasien, keluhan utama, riwayat peyakit sekarang-

dahulu-keluarga dll). Sumber data dari pasien, keluarga, rekam

medis, dan perawat lainnya.

b. Observasi hasil laboratorium dan pemeriksaan fisik dengan

menggunakan teknik : inspeksi, auskultasi, palpasi, perkusi pada


system tubuh pasien.

c. Studi dokumentasi (hasil dari pemeriksaan diagnostik).

2. Instrumen pengumpulan data


Instrument pengumpulan data adalah alat atau metode yang

digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan informasi yang

diperlukan dalam penelitian. Alat-alat ini dipilih dan digunakan untuk

menyederhanakan proses pengumpulan data dan membuatnya lebih

sistematis. Alat atau instrumen pengumpulan data mengggunakan

format pengkajian Asuhan Keperawatan sesuai ketentuan yang

berlaku di Politeknik Kesdam VI Banjarmasin serta lembar observasi

tindakan latihan ambulasi dini.

3. Analisis Data
Pada studi kasus analisis data dilakukan sejak di lapangan,

sewaktu pengumpulan data sampai dengan semua data terkumpul.

Teknik analisa data antara lain:

a. Dalam mengemukakan data dikelompokkan berdasarkan data

subjektif yang berasal dari pasien atau keluarga dan data objektif

yang berasal dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

b. Dari data hasil pengkajian selanjutnya mengelompokan data

dengan menganalisa data yang sesuai untuk menegakkan

diganosa keperawatan.

c. Setelah menegakkan diagnosa keperawatan

d. Selanjutnya membuat rencana asuhan keperawatan yang sesuai

dengan kebutuhan pasien.

e. Barulah melakukan tindakan asuhan keperawatan guna

mengurangi keluhan yang ada. Tindakan dilakukan sesuai standar

operasional.
f. Barulah membuat hasil evaluasi studi kasus.

4. Penyajian Data
Pada penelitian ini, penyajian data di lakukan dengan cara

tabel, gambar, bagan, maupun teks naratif. Kerahasian dari responden

di jamin dengan jalan menginisialkan identitas dari responden.

5. Etika Penulisan Studi Kasus


Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dan

ijin untuk studi kasus dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip etika

penelitian, tiga prinsip etik (kaidah dasar moral), yaitu : respect for

persons (others), beneficence dan non maleficence, dan Justice

(Handayani, 2018).

1. Respect for persons (other): secara mendasar bertujuan

menghormati

otonomi untuk mengambil keputusan mandiri (self determination)

dan melindungi kelompokkelompok dependent (tergantung) atau

rentan (vulnerable), dari penyalahgunaan (harm dan abuse).

2. Beneficence & Non Maleficence, prinsip berbuat baik,

memberikan manfaat yang maksimal dan risiko yang minimal,

sebagai contoh kalau ada risiko harus yang wajar (reasonalble),

dengan desain penelitian yang ilmiah, peneliti ada kemampuan

melaksanakan dengan baik, diikuti prinsip do no harm (tidak

merugikan, non maleficence)

3. Prinsip etika keadilan (Justice), prinsip ini menekankan setiap

orang layak mendapatkan sesuatu sesuai dengan haknya

menyangkut keadilan destributif dan pembagian yang seimbang

(equitable). Jangan sampai terjadi kelompokkelompok yang


rentan mendapatkan problem yang tidak adil. Sponsor dan

peneliti umumnya tidak bertanggung jawab atas perlakuan yang

kurang adil ini. Tidak dibiarkan mengambil

keuntungan/kesempatan dari ketidak mampuan, terutama pada

negara-negara, atau daerah-daerah dengan penghasilan

rendah.Keadilan mensyaratkan bahwa penelitian harus peka

terhadap keadaan kesehatan dan kebutuhan subjek yang rentan.

Anda mungkin juga menyukai