Anda di halaman 1dari 40

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cedera kepala atau trauma kepala yaitu salah satu kasus kematian

terbanyak sampai saat ini karena kepala merupakan bagian terpenting pada

manusi. Tingginya angka kejadian cedera kepala akan berdampak pada

peningkatan beban kerja dokter maupun perawat yang bertugas di IGD. Instalasi

Gawat Darurat adalah instalasi bagian rumah sakit yang melakukan Tindakan

triage terhadap pasien (Tumbuan dkk,2015) Trend peningkatan kejadian cedera

kepala dipenghrui oleh beberapa faktor, diantaranya perubahan populasi

penduduk disuatu wilayah, perkembangan modalitastransportasi, budaya

masyarakat, dan kemajuan teknologi yang mempengharui gaya hidup masyarakat

(Faul et al, 2015).

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala didapat

merupakan suatu kejadian cedera yang didapat dan yang tidak diturunan, tidak

bersifat bawaan, degenerative, atau disebabkan oleh trauma saat lahir. Cedera

kepala ini dapat memengaruhi kemampuan fungsional sel saraf di otak. CDC

mendfinisikan cedera kepala traumattis sebagai gangguan pada fungsi normal otak

yang disebabkan oleh adanya benturan, pukulan, atau sentakan pada kepala, atau

cedera kepala tembus. Cedera kepala traumatis sedang hingga berat merupakan

salah satu penyebab kematian dan kecacatan pada anak-anak dan dewasa (Shaikh

and Wassem, 2021)

1
Cedera kepala menjadi permasalahan Kesehatan global sebagai penyebab

kematian, kecacatan dan keterbelakangan mental. Kedaruratan neurologic yang

mengalami cedera, Hal ini dikarenkan kepala sebagai pusat kehidupans eseorang,

dimana didalamnya terdapat otak yang mempengharuhi segala aktifitas manusia.

Oleh karenanya, apabila terjadi kerusakan akan mengganggu semua system tubuh

(Kumar, 2013) .

Sampai saat ini kejadian cedera kepala menajadi salah satu penyebab

kecacatan dan kematian tebesar di dunia. Di Amerika Serikat diperkirakan setiap

tahunnya terjadi sekitar 200.000 kasus cedera kepala. Angka kematian pada

cedera kepala yang dirawat di rumah sakit mencapai 52.000 korban jiwa. Dari

jumlah tersebut 10% korban meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Sisanya

yang di rawat di rumah sakit, Sebagian besar tergolong cedera kepala ringan yaitu

80%, sedangkan yang 20% merupakan cedera kepala sedang dan cedera kepala

berat (Stein, Sherman C.,et al, 2015)

Menurut World Health Oranization (WHO) Insiden cedera kepala secara

global mengalami peningkatan seiring bertambahnya peningkatan pengguna

kesadaran bermotor. Diperkirakan pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas

menyebabkan cedera kepala menjadi penyebab penyakit dan trauma ke -3

terbanyak di dunia pada era globalisasi dimana kemajuan teknologi semakin

berkembang khususnya dalam bidang transportasi sebagai kebutuhan sekunder

yang utama, akibat aktifitas ekonomi, sosial, dan sebagainya, mengakibatkan

peningkatan jumlah dan jenis kesadaran bermotor pada peningkatan kasus

kecelakaan bermotor yang menimbulkan korban jiwa(WHO, 2014)

2
Sedangkan di Indonesia kejadian cedera kepala mencapai 11,9%,

sedangkan di Yogyakarta mencapai 11% dari total proporsi bagian tubuh yang

cedera(Riskesdas, 2018). Penyebab cedera kepala adalah para pengguna

kendaraan bermotor roda dua terutama bagi yang tidak memakia helm. Hal ini

juga menjadi tantangan sulit dikarenakan diantara mereka datang dari golongan

ekonomi menegah kebawah sehingga sosioekonomi cukup sulit untuk

memperoleh pelayanan Kesehatan. Dengan alasan itulah angka kematian cedera

kepala mencapai 39% per tahunnya (Arifin,2013)

Sedangkan berdasarkan hasil dari data laporan Riset Kesehatan Dasar

(RISKESDAS) Provinsi Sumatra Utara pada tahun 2018, proporsi terjadinya

cedera kepala dikota Medan adalah 8,98%. Terjadinya akibat kecelakaan lalu

lintas dikota Medan (2,37%). Proporsi terlibatnya bagian kepala pada saat cedera

dialami oleh kelompok umur 15-24 tahun (6,41%), dengan jenis kelamin pada laki

laki (11,1%) dan pada perempuan (9,1%), terjadi pada status sekolah (7,45%),

tempat terjadinya cedera dijalan raya (47,53%) pada kelompok umur 15-24

tahun , dialami pada lakilaki (27,45%) dan perempuan (26,93%), dan pada usia

sekolah (30,48%), (Lembaga Penerbit Badan Penelitian Dan Pengembangan

Kesehatan (LPB),2019).

Pemeriksaan klinis yang biasa digunakan untuk mempermudah cedera

kepala adalah pemeriksaan penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) telah menjadi

perlengkapan dalam penilaian awal kesadaran yang tidak normal namun tidak

dirancang untuk menangkap rincian pemeriksaan dari segi neurologis. GCS telah

digunakan secara rutin di ruang perawatan. Namun, keandalan dalam

3
memprediksi hasil pasien kurang memuaskan, terutama berkaitan dengan

komponen variabel verbal. Rekomendasi dari kekruangan tersebut yaitu agar

menambahkan respon ukuran pupil agar memberikan informasi yang lebih baik.

Hal ini yang melandasi adanya sistem penilaian atau skoring FOUR score yang

bisa digunakan untuk menilai pasien dengan kesadaran yang berubah, termasuk

informasi penting yang sebelumnya di GCS belum ada yaitu reflek batang otak

dengan cara melihat ukuran pupil ketika diberi stimulus cahaya (Wijdicks et al,

2013, Wolf et al, 2014).

Setelah dilakukan survey pendahuluan di Rumah Sakit GrandMed Lubuk

Pakam, diperoleh data pasien di Intensive Care Unit pada Psien Cedera Kepala

akibat kecelakaan lalu lintas dari orang. Berdasarkan uraian diatas

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang“ Analisis Kemampuan

Perawat Dalam Mengklasifikasi Pasien Cedera Kepala Berdasarkan Penilaian Full

Ountline Of Unresponsiveness Di ICU Rumah Sakit GrandMed Lubuk Pakam “.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah analisis kemampuan perawat dalam mengklasifikasi pasien cedera

kepala berdasarkan panilaian full ountline of unresponsiveness di Rumah

Sakit Grandmed.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

4
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui analisis kemampuan

perawat dalam mengkalsifikasi pasien cedera kepala berdasarkan penilaian

full ountline of unresponsiveness di ICU Rumah Sakit Lubuk Pakam.

2. Tujuan Khusus

a) Untuk mengetahui kemampuan perawat dalam mengklasifikasi

pasien cedera kepala berdasarkan penilaian full ountline of

unresponsiveness di ICU Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.

b) Untuk mengtahui tingkat keberhasilan penangan cedera kepala

berdasarkan penilaian full ountline of unresponsiveness di ICU

Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi Tenaga Perawat

Dapat dijadikan refrensi dalam memberikan penilaian kepada pasien cedera

kepala berdasarkan penilaian full ountline of unresponsiveness.

2. Bagi institut pendidikan

Hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai bahan bacaan di

perpustakaan kampus Medistra Lubuk Pakam dan sebagai bahan masukkan

untuk pengembangan ilmu.

3. Bagi peneliti

Laporan studi kasus ini berguna sebagai bekal ilmu bagi penulis dan untuk

menambah wawasan dan pengalaman peneliti dalam memberikan asuhan

keperawatan khususnya pada penangan pasien cedera kepala.

4. Bagi peneliti selanjutnya

5
Peneliti ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi peneliti

selanjutnya dan sebagai bahan dasar untuk mengembangkan penelitian

yang lebih lanjut tentang penilaian full ountline of unresponsiveness pada

pasien cedera kepala.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Cedera Kepala

2.1.1 Definisi

Cedera kepala adalah (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara

langsung maupun tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di

kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan

jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir,

2012). Cedera kepala merupakan suatu proses terjadinya cedera langsung maupun

deselerasi terhadap kepala yang dapat menyebabkan kerusakan tengkorak dan

otak (Pierce dan Nail, 2014).

Sampai saat ini definisi cedera kepala masih belum konsisten dan cenderung

bervariasi sesuai dengan spesialisasi dan keadaan. Cedera kepala

merupakanmasalah nondegeneratif dan nonkongenital yang merugikan terhadap

otak akibat kekuatan mekanis eksternal, dan kemungkinan menyebabkan

kerusakan fungsi kognitif, fisik dan psikososial permanen, serta dapat

menurunkan tingkat kesadaran (Amyot, Arciniegas, Brazaitis, et al., 2015).

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama

pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu

lintas. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau

7
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.

Cedera otak primer merupakan kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah

trauma. Cedera kepala merupakan cedera kepala yang mengakibatkan penurunan

kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia >24 jam (Haddad

and Arabi, 2013).

Cedera kepala berat adalah keadaan dimana penderita tidak mampu

melakukan perintah sederhana oleh karena kesadaran menurun (GCS <8)

(Advanced Trauma Life Support, 2014). Dari semua pengertian di atas dapat

disimpulkan cedera kepala berat adalah proses terjadi trauma langsung atau

deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan suatu gangguan traumatik dari

fungsi otak yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dimana mengalami

penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8 dan mengalami amnesia > 24

jam.

Penyebab terjadinya cedera kepala salah satunya karena benturan atau

kecelakaan. Sisanya disebabkan jatuh dari ketinggian, tertimpah benda misalnya

senjata api, golok, parang, palu dan lain-lain. Pasien cedera kepala yang

menginggal dunia terdapat sekitar 56.800 orang yang 2.529 didalamnya

merupakan anak anak (Peterson et,al.,2019).

2.1.2. ETIOLOGI

Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi

trauma olehbenda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari

kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan

8
(akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh Keceakaan,

Jatuh, Trauma akibat persalinan (NINDS,2013).

2.1.3. PATOFISIOLOGI

Cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan

pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan

biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas

vaskuler.Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera

kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu

proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat

memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi

akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan

perdarahan. Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural

hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter, subdura

hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan

subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah didalam

jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi

karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi

jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak. (Tarwoto, 2013).

Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:

a) Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi

kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut

9
kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio

atau temotom (sekitar 55% ).

b) Cedera kepala kepala sedang (CKS) jika GCS antara 9-12, hilang

kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur

tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).

c) Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24

jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau

edema.

d) Selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut :

e) Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak

tulang tengkorak.

f) Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai

edema cerebra.

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Cedera Primer

Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak,

robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk

robeknya duramater, laserasi, kontusio).

2) Cedera Sekunder

Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut

melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie

mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap.

Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan

10
parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan

mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan

Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi:

CPP = MAP – ICP

CPP : Cerebral Perfusion Pressure

MAP : Mean Arterial Pressure

ICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak.

Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang

makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial

hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.

3). Edema Sitotoksik

Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis

Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l.

glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl DAspartat) dan

NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan

yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta

menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

4). Kerusakan Membran

11
Sel Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan

menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB

breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor

yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan

repair membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan

terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang

berlebih.

5). Apoptosis

Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic

bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan

akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).

2.1.4. Tanda dan Gejala

Menurut Manurung (2018), tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :

a. Commotio Cerebri

1) Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit

2) Mual dan muntah

3) Nadi, suhu, tekanan darah menurun atau normal

b. Contiso cerebri

1) Tidak sadar lebih 10 menit

2) Amnesia anterograde

3) Mual dan muntah

4) Penurunan tingkat kesadaran

12
5) Gejala neurologi, seperti parese

6) Perdarahan

c. Laserasio Serebri

1) Jaringan robek akibat fragmen patah

2) Pingsan maupun tidak sadar selama berhari/hari atau berbulan/bulan

3) Kelumpuhan anggota gerak

4) Kelumpuhan saraf otak

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3

deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat ringan, dan morfologi.

a. Mekanisme cedera kepala

Cedera kepala secara luas dapat dibagi atas cedera kepala tertutup dan

cedera kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan dengan

kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.

Sedangkan cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

b. Beratnya cedera kepala

Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan suatu komponen untuk mengukur

secara klinisberatnya cedera otak. Glasgow Coma Scale meliputi 3 kategori yaitu

respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Skor ditentukan oleh

jumlah skor dimasing -masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor

minimum 3 ialah sebagai berikut :

1) Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepala berat.

13
Kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia > 24 jam, juga meliputi

kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

2) Nilai GCS 9 – 12 didefinisikan sebagai cedera kepala sedang.

Kehilangan kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi kurang dari 24 jam

dan dapat mengalami fraktur tengkorak.

3) Nilai GCS 13 – 15 didefinisikan sebagai cedera kepala ringan (D. Jong,

2010).

Kehilangan kesadaran atau amnesia < 30 menit, tidak ada fraktur

tengkorak dan tidak ada kontusio serebral atau hematoma.

C. Morfologi

Secara morfologis cedera kepala dapat meliputi fraktur kranium, kontusio,

perdarahan, dan cedera difus.

1) Fraktur kranium

Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak

(basiscranii), dan dapat berbentuk garis atau linear dan dapat pula terbuka

atautertutup. Fraktur cranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan

antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaputdura

(ATLS,2014).

1. Respoun Buka Mata ( E ) 4.Spontan

3.Terhadap suara

2 Terhadap nyeri

14
1 Tidak ada

2. Respoun Motorik ( M ) 6.Turut perintah

5 Melokalisir nyeri

4 Fleksi normal (menarik anggota yang

dirangsang)

3.Fleksi abnormal (dekortikasi)

2 Ekstensi abnormal (deserebrasi)

1 Tidak ada (flaksid)

3. Respoun Verbal ( V ) 5.Berorientasi baik

4.Disorientasi tempat dan waktu

3.Kata-kata tidak teratur

2 Suara tidak jelas

1 Tidak ada

Nilai GCS = (E + M +V) : Nilai tertinggi = 15, dan terendah = 3

(D. Jong, 2014)

Tabel 2.1 Skala GCS

1) Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus,

walaupun kedua jenis lesi ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal adalah

perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio (hematom intraserebral), dan

perdarahan intra serebral.

15
2). Cedera otak difusi

Cedera otak difusi mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan

normal, sampai cedera iskemi-hipoksik yang berat.Cedera otak difus berat

biasanya diakibatkan oleh hipoksia, iskemi otak karena syok yang berkepanjangan

atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Pada kasus tersebut,

awalnya CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran otak

bengkak secara merata dengan batas area substasia putih dan abu-abu hilang.

Kelainan difus lainnya, seringterlihat pada cedera dengan kecepatan tinggi atau

cedera deselerasi, yang dapat menunjukkan gambaran titik perdarahan multipel

diseluruh hemisfer otak tepat dibatas area putih dan abu-abu.

3). Perdarahan epidural

Perdarahan epidural relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera

otak dan 9% dari pasien yang mengalami koma. Hematom epidural itu secara

tipikal berbentuk bikonveks atau cembung sebagai akibat dari pendorongan

perdarahan terhadap duramater yang sangat melekat di tabula interna tulang

kepala. Perdarahan ini sering terjadi pada area temporal atau temporoparietal dan

biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang

tengkorak.

4). Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural, kira

-kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat robekan

pembuluh darah atau vena -vena kecil di permukaan korteks serebri. Berbeda

16
dengan perdarahan epidural yang berbentuk lensa cembung pada CT scan,

perdarahan subdural biasanya mengikuti dan menutupi permukaan hemisfer otak.

Perdarahan ini dapat menutupi seluruh permukaan otak. Kerusakan otak yang

berada di bawah perdarahan subdural biasanya lebih berat dan prognosisnya lebih

buruk daripada perdarahan epidural.

5). Kontusio dan perdarahan intraserebral

Kontusio serebri sering terjadi (20% sampai 30% dari cedera otak berat).

Sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, meskipun dapat juga

terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat terjadi dalam waktu

beberapa jam atau hari, berkumpul menjadi perdarahan intraserebral atau kontusio

yang luas (ATLS, 2014).

d. Manifestasi Klinis Spesifik

Gejala klinis dari trauma kapitis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya.

Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran

penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan

gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja, atas dasar ini

trauma kepala dapat digolongkan menjadi :

2. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

a. Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, alternative dan orientatif)

b. Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)

c. Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang

d. Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

17
e. Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala

f. Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat

3. Cedera Kepala Sedang (kelompok resiko sedang)

a) Skor skala koma Glasgow 9-14 (kontusi, latergi atau stupor)

b) Konfusi

c) Amnesia pasca trauma

d) Muntah

e) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata rabun,

hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospinal).

f) Kejang

4. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

a) Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)

b) Penurunan derajat kesadaran secara progresif

c) Tanda neurologis fokal

d) Cedera kepala penetrasi atau serba fraktur depresi cranium.

2.1.6. Pemeriksaan penunjang

Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan laboratorium yang sering

ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :

a. Foto Polos

Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (peluru/tajam),

deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap,

gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.

b. CT-Scan

18
CT scan kepala adalah standart baku dalam penatalaksanaan cedera kepala.

Pemeriksaan Ct scan kepala untuk memastikan adanya patah tulang,

pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak. Indikasi

Ct scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang setelah

pemberian obat – obatan analgesia atau antimntah.

2) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat pada lesi

intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

3) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor-faktor ekstrakranial telah

disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi misalnya karena syok,

febris dll).

4) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

5) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

6) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS

c. Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah lengkap, gula

darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.

d. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen

penting pada penilaian dan penatalaksanaan cedera (Anurogo and usman,

2014).

e. MRI

Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien yang

memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI

19
telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam

mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.

f. EEG

Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk

membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif. Dapat melihat

perkembangan gelombang yang patologis. Dalam sebuah studi landmark

pemantauan EEG terus menerus pada pasien rawat inap dengan cedera otak

traumatik. Kejang konfulsif dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada

tahun 2012 sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada

pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang delta atau

pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang buruk pada bulan

ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera otak traumatik. 13

g. Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral, seperti

perubahan jarigan otak sekunder menjadi udema, perubahan dan trauma.

h. Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.

i. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.

j. BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil

k. PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

l. CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subarachnoid.

m. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

20
n. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrakranial

o. Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan

penurunan kesadaran (Rendy and Margaret Clevo, 2012)

p. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thoraks menyatakan

akumulasi udara/cairan pada area pleural

q. Toraksentesis menyatakan darah/cairan

r. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) Analisa gas darah adalah salah satu tes

diagnostic untuk menentukan status repirasi. Status respirasi yang dapat

digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan

status asam basa.

2.1.7. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya :

1. Defisit neurologi fokal

2. Kejang

3. Pneumonia

4. Perdarahan gastrointestinal

5. Disritmia jantung

6. Syndrom of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)

7. Hidrosepalus

8. Kerusakan kontrol respirasi

9. Inkotinensia bladder dan bowel 10. Nyeri kepala akut maupun kronik

(Tarwoto, 2013)

21
2.1.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan psaien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut

(Manurung, 2018) :

a) Keperawatan

1. Observasi 24 jam

2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.

Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya

cairan infus dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari

terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi

4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring

b) Medis

1. Terapi obat-obatan

a) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema selebral,

dosis sesuai dengan berat ringannya trauma

b) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20%

atau glukosa 40% atau gliserol 10%

c) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk

infeksi anaerob diberikan metronidasol

d) Pembedaham bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub

dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi > 1 diplo)

e) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT scan dan

MRI (Satyanegara, 2013).

22
Menurut Rendy dan Margaret Clevo (2014) penatalaksanaan konservatif

adalah sebagai berikut :

a) Bedres total

b) Pemberian obat-obatan

1. Obat anti kejang

Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca

trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam.

Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah

7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan resiko kejang fase lanjut

pasca trauma. Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah

kejang fase dini pasca trauma.

2. Manitol dan Sodium Laktat Hipertonis

Manitol membantu menurunkan TIK pada pasien COB. Pemberian secara

bolus dengan dosis 0,25-1gr/kgBB lebih dianjurkan dibandingkan

pemberian secara terus menerus 3)

3. Antibiotika Profilaksis Pada Pemasangan Kateter Ventrikel Pemberian

antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter ventrikel setiap 5 hari

tidak mengurangi resiko infeksi. Penggunaan antibiotik lokal maupun

sistematik tidak menurunkan resiko infeksi pada pemasangan kateter

ventrikel.

4. Analgetik Ketorolae dan acetaminophen supp bermanfaat mengurangi

nyeri pada COR.

23
5. Kortikosteroid terapi dengan dan tanpa kortikosteroid pada pasien memar

otak secara statistik hasil terapi tidak berbeda bermakna.

6. Sedatif atau Tranquilizer

Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman dan efektif untuk

anestesia dan sedasi pasien dengan peningkatan ICP. Propofol

memberikan hasil yang baik dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam

evaluasi fungsi neurologis secara awal. Dexmedetomidine merupakan

sedasi tanpa efek neurologis dan memberikan efek proteksi pada otak

(Wahyudi et al, 2014).

2.2. Pengetahuan

2.2.1. Definisi

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang

diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan

yang dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Pengetahuan adalah hasil

tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk

memahami suatu objek yang dihadapinya, hasil usaha manusia untuk

memahami suatu objek tertentu.Pengetahuan merupakan hasil dari tahu

yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap objek

tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yaitu indera

penglihatan, pendengaran, penghidu, perasa, dan peraba. Tetapi, sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

24
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior)

2.2.2. Proses Adopsi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan. Sebelum seseorang mengadopsi

perilaku yang baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi

proses yang berurutan, yaitu:

a. Timbul kesadaran (awareness), yakni orang tersebut menyadari

(mengetahui) stimulus terlebih dahulu.

b. Ketertarikan (interest), yakni orang tersebut mulai tertarik kepada

stimulus.

c. Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation), yakni

sikap orang tersebut sudah lebih baik lagi.

d. Mulai mencoba (trial), yakni orang tersebut memutuskan untuk

mulai mencoba perilaku baru.

e. Mengadaptasi (adoption), yakni orang tersebut telah berperilaku

baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap

stimulus. Apabila penerimaan baru atau adopsi perilaku melalui

proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap

yang positif, maka perilaku tersebut akan bertahan lama (long

lasting).

25
Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran, maka tidak akan berlangsung lama.

2.1.3. Tingkatan Pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkatan sebagai berikut:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingat akan suatu materi yang telah

dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini

adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh

bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab

itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Ukuran

bahwa seseorang tahu tentang apa yang dipelajari, adalah ia dapat:

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

Contohnya, seorang perawat dapat menyebutkan cara pencegahan

CAUTI.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek atau materi tersebut harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, dan menyimpulkan objek yang dipelajari.

Contohnya, seorang perawat dapat menjelaskan kepada pasien

mengapa harus makan makanan yang bergizi pada masa postpartum.

26
c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi

disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukumhukum,

rumus, metode, dan prinsip dalam konteks atau situasi yang lain.

Contohnya, seorang peneliti dapat menggunakan rumus statistik dalam

perhitungan-perhitungan hasil penelitian.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

satu struktur objek tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari ukuran kemampuan, seperti

dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan,

dan mengelompokkan.

e. Sintesis (synthetic)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.

Pada tingkatan ini, seseorang dapat menyusun, merencanakan,

meringkaskan, dan menyesuaikan terhadap suatu teori atau

rumusanrumusan yang telah ada. Contohnya, seorang mahasiswa

dapat meringkas materi kuliah menjadi intisarinya

27
f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaianpenilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria yang

ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Contohnya, seorang mahasiswa keperawatan dapat membedakan

asuhan keperawatan yang baik dan benar pada penderita pascaoperasi

apendiktomi

2.2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat pengetahuan, antara lain:

a. Pendidikan

Pendidikan merupakan usaha untuk mempengaruhi orang lain melalui

kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang

berlangsung seumur hidup sehingga mereka dapat melakukan apa yang

diharapkan. Dari batasan ini, terdapat unsur-unsur pendidikan yakni: input

yang meliputi obyek pendidikan (individu, kelompok, masyarakat) dan

pendidik (subyek pendidikan); proses (upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain); dan output (meningkatknya

pengetahuan). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka

akan semakin tinggi pula tingkat kemampuan orang tersebut

menangkap informasi.

b. Pengalaman

28
Pengetahuan dapat terbentuk dari pengalaman dan ingatan yang

didapat sebelumnya. Seorang anak akan memperoleh pengetahuan

bahwa apa itu panas adalah setelah memperoleh pengalaman

tangan atau kakinya terkena panas. Seorang perawat akan

melakukan upaya pencegahan terhadap suatu penyakit setelah salah

satu rekannya tertular penyakit tertentu.

c. Sumber informasi

Sumber informasi selalu berkaitan dengan pengetahuan, baik dari

orang yang menerima maupun media yang digunakan dalam

menyampaikan. Sumber informasi dari seseorang akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang, yang dipengaruhi antara

lain: masyarakat, baik teman bergaul maupun tenaga kesehatan.

Kemajuan teknologi yang ada saat ini juga sangat memudahkan

masyarakat dalam mengakses informasi yang ada. Masyarakat

dapat dengan mudah mendapatkan informasi melalui media massa,

seperti televisi, koran, radio, maupun internet. Sumber informasi ini

akan mampu meningkatkan tingkat pengetahuan seseorang dalam

upaya peningkatan pengetahuan.

d. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh

terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang

berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya

29
interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai

pengetahuan oleh setiap individu.

e. Usia

Usia berpengaruh terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya

tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang

diperolehnya semakin membaik.

Sumber Pengetahuan Keperawatan Menurut Moule dan

Goodman, pengetahuan dalam ilmu keperawatan bersumber pada berbagai

sumber yang melakukan pengembangan bidang keperawatan, seperti

pengetahuan ilmiah dari penelitian para ahli, pengalaman perawat, serta

pemahaman individu dari seorang profesi perawat. Pengalaman kerja

perawat dapat berasal dari intuisi atau trik yang dilakukan oleh perawat

dalam melaksanakan praktik sehari-hari. Pengetahuan yang berasal dari

pengalaman intuisi dan trik dapat dibangun melalui pengetahuan personal

( personal knowledge ). Pengetahuan personal merupakan pengetahuan

yang berasal dari intuisi dan pengalaman pribadi terkait dengan berbagai

situasi dan kejadian-kejadian tertentu dalam praktik keperawatan.

Tabel 2.1. Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

Tingkat Tahu Memahami Aplikasi Analisis Sintesis Evaluasi


pengetahua
n
Kurang + +
Cukup + + + +
Baik + + + + + +

30
Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa seseorang yang dikatakan memiliki

pengetahuan kurang apabila seseorang tersebut baru sekedar tahu

dan memahami saja, sedangkan seseorang yang memiliki

pengetahuan cukup cenderung memiliki bukan hanya sekedar tahu

dan memahami tetapi juga udah bisa mengaplikasi dan menganalisis,

dan seseorang dikatakan memiliki pengetahuan yang baik apabila

sudah mencapai tingkatan/tahapan sintetis dan evaluasi.

Pengetahuan/kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengalaman dan

perilaku ternyata didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2013).

Pengetahuan merupakan informasi dan penemuan yang

bersifat kreatif untuk mempertahankan pengetahuan baru, dimana

perawat dapat menggunakan kemampuan rasional logis dan

pemikiran kritis untuk menganalisis informasi yang diperoleh

melalui pembelajaran tradisional, pencarian informasi, belajar dari

pengalaman, penelitian ide terhadap disiplin ilmu lain, dan

pemecahan masalah untuk menentukan terminologi tindakan

keperawatan. Selain itu, perawat dapat menggunakan kemampuan

penyelidikan ilmiah untuk mengidentifikasi dan menyelidiki masalah

klinis, profesional atau pendidikan (Potter & Perry, 2015).

Menurut Meliono et al (2007), pengetahuan seseorang

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

a. Pendidikan

31
Pendidikan adalah sebuah proses perubahan sikap dan tata laku

seseorang dan juga kelompok dan juga usaha mendewasakan

manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

b. Media

Media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat

yang sangat luas. Contoh dari media masa kini adalah televisi, radio,

koran, dan majalah.

c. Keterpaparan informasi

Pengertian informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui. Ada pula

yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Selain itu

arti informasi juga memiliki arti yang lain sebagaimana diartikan

oleh RUU teknologi informasi yang mengartikannya sebagai suatu

tehnik untuk menyiapkan, mengumpulkan, menyimpan,

memanipulasi, mengumumkan, menganalisa dan menyebarkan

informasi dengan tujuan tertentu. Informasi sendiri mencakup data,

teks, image, suara, kode, program computer, data bases. Perubahan

definisi informasi dikarenakan pada hakekatnya informasi tidak

dapat diuraikan (intangible), sedangkan informasi itu dijumpai dalam

kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data dan observasi

terhadap dunia sekitar kita, serta diteruskan melalui komunikasi.

d. Pengalaman

Menurut teori determinan perilaku yang disampaikan oleh World

Health Organization (WHO) (2014), menganalisa bahwa yang

32
menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu salah satunya

disebabkan karena adanya pemikiran dan perasaan dalam diri

seseorang yang terbentuk dalam pengetahuan, persepsi, sikap,

kepercayaan-kepercayaan dan penilaian- penilaian seseorang

terhadap objek tertentu, seseorang dapat memperoleh pengetahuan

baik dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain.

e. Lingkungan

Belajar berbagai pengetahuan, keterampilan, sikap atau norma-norma

tertentu dari lingkungan sekitar, lingkungan tersebut disebut sebagai

sumber-sumber belajar, karena dengan lingkungan tersebut

memungkinkan seseorang berubah menjadi tidak tahu menjadi tahu,

dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak terampil menjadi

terampil.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara

wawancara atau lewat angket yang menanyakan tentang suatu materi

yang ingin di ukur dari subjek penelitian atau responden

(Notoatmodjo, 2014).

Menurut Arikunto (2013), pengetahuan dibagi dalam 3 kategori,

yaitu:

a. Baik : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 76% - 100%

dari seluruh petanyaan

b. Cukup : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 56% - 75%

dari seluruh pertanyaan

33
c. Kurang : Bila subyek mampu menjawab dengan benar ≤ 55% dari

seluruh pertanyaan.

2.2.5. Penilaian Four Score Coma Scale

Menilai tingkat kesadaran atau gangguan secara fisiologi di ruangan

Intensive Care Unit (ICU) bukanlah sesuatu yang mudah. Kompleksitas

penilaian seperti itu sebagaian berkaitan dengan penggunaan istilah yang

bervariasi, seperti kondisi pasien yang mengantuk, kesulitan untuk

bangkit dan koma (tidak sadar). Hal ini menginisiasi sebuah alat untuk

mengukurkondisi tersebut yaitu GCS atau Glasglow Coma Scale pada

tahun 19974 dalam upaya untuk menyamakan atau menyeragamkan

peeriksaan klinis dan komunikasi klinis tingkat kesadaran (Rowley &

Fielding, 2015)

GCS telah menajdi perlengkapan dalam penilaian awal dari

kesadaran yang tidak normal namun tidak dirancang untuk menangkap

rincian pemeriksaan dari segi neurologis. GCS telah digunakan secara

rutin di ruang perawatan. Namun, keandalan dalam memperkdisi hasil

pasien kurang memuaskan, terutama berkaitan dengan kompenen

variabel verbal. Rekomendasi dari kekurangan tersebut yaitu agar

menambahkan respoun ukuran pupil agar memberikan informasi yang

lebih baik. Hal ini yang melandasi adanya sistem penilaian atau skoring

FOUR score yang bisa digunakan untuk menilai pasien dengan

kesadaran yang berubah, termaksud informasi penting yang sebelumnya

di GCS belum ada yaitu reflek batang otang dengan cara melihat ukuran

34
pupil ketika diberi stimulus cahaya (Wijdick et al, 2013;Wolf et al,

2015).

Kompenen penilaian FOUR score terdiri dari respoun mata,

mrespoun motorik, reflek batang otak dan pola respirasi atau pernafasan.

Setiap kompenen memiliki nilai maksimal empat, Penilaian ini

memerlukan waktu beberapa menit (Dewi, Mangunatmmadja & Yuniar,

2015).

Perbedaan skor seperti mata terbuka (mata terbuka, berkedip dan

terbuka dengan perintah) memiliki skor yang sama. Kompenen motorik

menggabungkan reflek withdrawl dan fleksi normal. Beberapa kesulitan

untuk respoun motorik meliputi perintah yang kompleks misal pasien

diminta untuk menggerakan ibu jari, kepalan tangan dan tangan damai

(“peace”). Kompenen motorik bisa mendektisi tanda disfungsi serebral

yang parah, seperti status epilektikus myoclonic. Disfungsi tersebut

seringkali merupakan prognostik buruk pada pasien dengan cedera

kepala (Stead et al, 2015)

Kompenen batang otak yaitu menilai kondisi pons, mesencephalon

dan mendulla oblongata dengan memeriksa refleks pupil. Kemudian utuk

kompenen pola oernafasan dinilai dengan status pernafasan pada pasien

selama 1 menit. Pada pasien yang terpasang intubasi, status pernafasan

tidak dinilai atau diambil nilai terendah (lyer ea al, 2014).

2.3. Kerangka Teori

Kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera olah raga,


kecelakaan kerja, pisau atau peluru (Corwin, 2014).

35
Cedera Kepala

Gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba


defisit neurologik dan perubahan tanda vital. (Brunner & Suddarth,
Edisi 8)

Penanganan awal pasien cedera kepala di ICU

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan


keperawatan

Tingkat Pengetahuan
(Kurniadi, 2013
Penilaian Four Score
Coma Scale
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif yaitu

metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivesme, digunakan

untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data

menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat

36
kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah

diterapkan (Sugiyono, 2015).

Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi linier berganda

karena variabel bebasnya terdiri lebih dari satu variabel. Variabel yang

mempengharui disebut Independent Variabel (variabel bebas) dan variabel

yang dipengharui disebut Dependen Variabel (variabel terikat). Penelitian

ini terdiri dari duavariabel bebas (independent) yaitu tingkat pengetahuan

(X1), penilaian four score (X2), sedangkan variabel terkaitnya (dependent)

adalah prnanganan awal pasien cedera kepala.

Variabel Independen Variabel Dependen

Tingkat Pengetahuan
Penanganan Awal Pasien
Cedera Kepala
Penilaian Four Scole

Gambar 3.1 Skema Penelitian


B. Lokasi Waktu dan Jadwal Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit Grandmed Lubuk Pakam.

Alasan penelitian mengambil lokasi tersebut karena berdasarkan survei

pendahuluan yang telah peneliti lakukan angka kasus pasien cedera kepala

cukup banyak, dengan alasan lain mengapa peneliti berminat untuk

melakukan penelitian dilokasi tersebut, karena lokasi tersebut belum

pernah dilakukan penelitian tentang Analisis Perawat Dalam

37
Mengklasifikasi Pasien Cedera Kepala Berdasarkan Penilaian Full Outline

Of Unresponsiveness serta lokasi ini mudah dijangkau oleh peneliti.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada bulan April

2023 sampai bulan Juni 2023.

3. Jadwal Penelitian

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah sejumlah besar subyek yang oleh peneliti lakukan

didefinisikan sebagai populasi (Lubis, 2015). Populasi pada penelitian

ini seluruh perawat Intensive Care Unit (ICU) yaitu sebanyak 10

orang.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang terpilih dengan cara

tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Lubis, 2015),

Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu, teknik total

sampling pendekatan dengan jumlah responden sebanyak 10 orang.

Kriteria sampel dalam penelitian ini yaitu:

a. Kriteria Inklusi

1. Bersedia menjadi responden dan mengikuti jalannya penelitian

dari awal sampai akhir.

2. Responden berada dilokasi ketika hendak diberi pernyataan

dengan lembaran kuesioner.

38
3. Mampu berkomunikasi dengan baik.

4. Sehat dalam segi jasmani dan rohani ataupun sadar dalam

menjawab pertanyaan yang ditanyakan.

b. Kriteria Eklusi

1. Perawat yang tidak hadir selama penelitian

2. Perawat yang tidak bisa menajdi responden berhubungan masih

sibuk dengan pekerjaan lainnya.

3. Perawat yang pindah tempat kerja.

4. Meninggal dunia pada saat penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Alat yang digunakan

N Variabel Definisi Cara Alat Skala Hasil Ukur


O
Operasiona Ukur Ukur Ukur

Indepen Pengetahua Member Kuesio Odial d.Kurang: bila


den n adalah ikan ner respounden
tingkat hasil dari daftar mampu
pengetaa tahu yang pertanya menjawab
huan di dapatkan an dengan benar
oleh <55% dari
manusia seluruh
setelah

39
melakukan pertanyaan.
pengamata e.Cukup :
n dan bila
memahami respounden
suatu objek mampu
tertentu menjawab
dengan benar
56%-75% dari
seluruh
pertanyaan.
f. Baik : Bila
responden
mampu
menjawab
dengan benar
76% - 100%
dari seluruh
petanyaan

40

Anda mungkin juga menyukai