Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

perilaku, lingkungan, pelayanan kesehatan dan keturunan. Indikator utama derajat

kesehatan masyarakat dapat dilihat antara lain dari angka kematian, angka

kesakitan dan status gizi. Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi

(AKB) merupakan indikator penting dalam menentukan derajat kesehatan

masyarakat. Angka kematian ibu menggambarkan risiko obstetrik yang dihadapi

seseorang dalam masa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Angka kematian ibu

juga menggambarkan tingkat keberhasilan pelayanan kesehatan. Angka kematian

bayi berhubungan dengan berbagai indikator kesehatan dan indikator

pembangunan lainnya. Angka kematian bayi merupakan tolak ukur yang sensitif

terhadap setiap langkah pembangunan di berbagai bidang, terutama pembangunan

di bidang kesehatan. Angka kematian bayi juga terkait langsung dengan angka

rata-rata harapan hidup. Penurunan angka kematian bayi akan meningkatkan

angka harapan hidup (Dikes Provinsi NTB, 2015).

Ketuban pecah dini secara signifikan berkaitan dengan angka kematian dan

kesakitan ibu dan janin. Ketuban pecah dini telah terbukti menjadi penyebab

21,4% kesakitan pada neonatus dan 18%-20% kematian perinatal. Ada tiga

penyebab kematian janin yang berhubungan dengan ketuban pecah dini yaitu

sepsis, asfiksia dan hiperplasia pulmoner (Endale dkk, 2016).

1
Asfiksia pada bayi baru lahir adalah keadaan bayi tidak dapat segera

bernapas secara spontan dan teratur segera setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan

oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-

faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir

(Hassan dan Alatas, 2007). Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidroamnion

yang menekan tali pusat yang dapat menyebabkan terganggunya aliran darah dari

ibu ke janin sehingga terjadi hipoksia dan asfiksia (Prawirohardjo, 2010). Salah

satu cara penilaian asfiksia adalah dengan menggunakan APGAR score. APGAR

score adalah sebuah cara untuk menilai kondisi kesehatan bayi baru lahir.

APGAR score biasanya dinilai pada 1 dan 5 menit setelah bayi lahir. APGAR

score 1 menit menunjukkan beratnya asfiksia yang diderita dan sebagai pedoman

untuk menentukan cara resusitasi. APGAR score menit 5 menit mempunyai

korelasi dengan morbiditas dan mortalitas neonatal (Hassan dan Alatas, 2007).

Data epidemiologi menunjukkan angka kemataian bayi di Indonesia

berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012

angka kematian neonatal sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian

neonatal memberikan konstribusi 59% dari angka kematian bayi. Pada tahun 2015

angka kematian bayi di Indonesia adalah 22,23 per 1000 kelahiran hidup

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Angka kematian bayi di

Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2014 adalah 1070 kasus, sedangkan

pada tahun 2015 angka kematian bayi adalah 1082 kasus. Kasus kematian bayi

terbanyak pada tahun 2011 sampai 2015 terjadi di Kabupaten Lombok Timur

(Dikes Provinsi NTB, 2015). Angka kematian bayi di Kabuapten Lombok Timur

2
pada tahun 2015 adalah 482 kasus kematian bayi yang terdiri dari kasus kematian

neonatal sebanyak 389 kasus dan kasus kematian postnatal sebanyak 93 kasus.

Penyebab kasus kematian neonatal adalah berat badan lahir rendah (BBLR)

sebanyak 183 kasus, asfiksia sebanyak 61 kasus, cacat bawaan sebanyak 25 kasus,

ikterus sebanyak 7 kasus, dan penyebab lain sebanyak 113 kasus (Dikes Lombok

Timur, 2015).

Pada penelitian sebelumnya tentang hubungan ketuban pecah dini dengan

APGAR score yang dilakukan di RSUP Mataram periode 7 Februari sampai 26

Maret 2012 didapatkan hasil bahwa dari 98 responden terdapat 49 kasus ketuban

pecah dini. Dari 49 kasus ketuban pecah dini, 28 bayi dengan ibu yang mengalami

ketuban pecah dini memiliki APGAR score kurang dari 7, yang menunjukkan

bahwa bayi tersebut mengalami asfiksia. Dalam penelitian tersebut disimpulkan

bahwa ketuban pecah dini merupakan faktor risiko rendahnya APGAR score pada

bayi baru lahir (Aryani, 2012).

Pada penelitian yang lainnya tetang hubungan kejadiaan ketuban pecah dini

dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir yang dilakukan di RSUD Ambarawa

pada tahun 2014 menunjukkan hasil bahwa kejadian asfiksia pada bayi baru lahir

12,158 kali lebih berisiko pada ibu dengan ketuban pecah dini (Kosmiyati,2015).

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang “Hubungan ketuban pecah dini dengan APGAR score bayi

lahir aterm di RSUD dr.R Soedjono Selong periode Januari sampai Desember

2016”.

3
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada

hubungan ketuban pecah dini dengan APGAR score bayi lahir aterm di RSUD

dr.R Soedjono Selong periode Januari sampai Desember 2016?

1.3 Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui Hubungan ketuban pecah dini dengan APGAR score bayi

lahir aterm di RSUD dr.R Soedjono Selong periode Januari sampai Desember

2016.

1.3.2. Tujuan Khusus

1.3.2.1. Untuk mengetahui angka kejadian ketuban pecah dini dan tidak ketuban

pecah dini.

1.3.2.2. Untuk mengetahui APGAR score pada bayi lahir aterm.

1.3.2.3. Untuk mengetahui kejadian ketuban pecah dini berdasarkan usia ibu.

1.3.2.4. Untuk mengetahui kejadian ketuban pecah dini berdasarkan lama

ketuban pecah dini.

1.3.2.5. Menganalisa hubungan antara kejadian ketuban pecah dini dengan

APGAR score pada bayi lahir aterm.

4
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Kedokteran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan data dan

informasi yang dapat digunakan sebagai bahan pustaka mengenai hubungan

ketuban pecah dini dengan APGAR score pada bayi lahir aterm.

1.4.2. Manfaat Bagi Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk melakukan

penyuluhan kepada petugas kesehatan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan

pada kasus ketuban pecah dini untuk mencegah terjadinya faktor risiko asfiksia

yang menyebabkan rendahnya APGAR score pada bayi yang dilahirkan.

1.4.3. Manfaat Bagi Institusi pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dapat menjadi informasi dan refrensi

bagi masiswa dan pihak lain yang berpentingan yang ingin melakukan penelitian

lebih lanjut mengani hubungan ketuban pecah dini dengan APGAR score.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Amion dan cairan amnion

2.1.1 Amnion

Pada kehamilan, amnion merupakan membran yang kuat dan kokoh, tetapi

fleksibel. Membran avaskuler terdalam pada janin ini menyatu dengan cairan

amnion dan memiliki peran yang luar biasa penting dalam kehamilan manusia.

Amnion menyediakan hampir seluruh kekuatan meregang membran janin. Karena

itu perkembangan komponen amnion merupakan proses yang vital untuk

mencapai keberhasilan kehamilan (Cunningham dkk, 2014).

2.1.1.1 Perkembangan Amnion

Selama tahap awal implantasi timbul celah di antara massa sel embrionik

dan trofoblas. Sel-sel kecil yang melapisi permukaan dalam trofoblas ini disebut

sel amniogenik yaitu prekursor epitel amnion. Amnion pertama kali dapat terlihat

pada hari ke-7 atau ke-8 perkembangan embrio. Pada awalnya amnion merupakan

vesikel yang sangat kecil yang selanjutnya berkembang menjadi kantong kecil

yang menutupi seluruh permukaan dorsal embrio. Dengan membesarnya amnion,

membran ini akan secara bertahap menyelubungi seluruh embrio yang sedang

berkembang, embrio ini akan masuk ke dalam rongga amnion (Cunningham dkk,

2014).

Pelebaran kantong amnion membuat membran ini berkontak dengan

permukaan dalam chorion leave. Pendekatan chorion leave dan amnion terjadi

menjelang akhir trimester pertama, akan menyebabkan obliterasi selom embrionik

6
(Cunningham dkk, 2014). Selanjutnya amnion mulai menyelubungi tangkai

penghubung dan yolk salk, menyatukan keduanya dan mebentuk tali pusat

primitif (Sadler,2013).

2.1.1.2 Struktur Amnion

Amnion memiliki beberapa lapisan yang terpisah. Pada permukaan dalam

yang dibasahi cairan amnion merupakan lapisan tunggal epitel kuboid yang

kontinu, lapisan ini dianggap berasal dari ektoderm embrionik. Epitelium ini

melekat erat ke membran basal, yang dihubungkan dengan lapisan padat aseluler.

Lapisan padat aseluler terutama tersusun atas kolagen intertitisial. Pada sisi luar

lapisan padat, terdapat barisan sel mesenkimal mirip fibroblast yang tersebar

sangat luas pada kehamilan aterm. Sel-sel ini mungkin diturunkan dari mesoderm

diskus embrionik. Terdapat pula sedikit makrofag janin di dalam amnion. Lapisan

terluar amnion adalah zona spongiosa yang relatif aseluler. Zona spongiosa

bersambungan dengan chorion leave. Amnion manusia tidak mengandung sel otot

polos, saraf, limfatik, dan yang terpenting pembuluh darah. (Cunningham dkk,

2014).

2.1.1.3 Histologi Sel Amnion

Lapisan epitel amnion adalah lapisan paling dalam dari selaput amnion.

Lapisan ini berhubungan lengasung dengan cairan amnion. Pada lapisan ini

terdapat mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan dan metabolik. Lapisan ini

menghasilkan penghambat matrik metalloproteinase-1 yaitu Tissue Inhibitor of

Metalloproteinase-1 (TIMP-1) (Prawirohardjo, 2010).

7
Sel epitel amnion juga menghasilkan prostaglandin E2, dan fibronektin

janin. Epitel amniotik berperan dalam final common pathway untuk memulai

persalinan dengan cara menghasilkan prostaglandin. Sel-sel ini mungkin juga

menghasilkan sitokin seperti IL-8 selama inisiasi persalinan. Epitel amnion juga

menyintesis peptida vasoaktif, termasuk endotelin dan protein terkait hormon

paratiroid. Jaringan ini menghasilkan peptida natriuretik otak dan hormon pelepas

kortikotropin yang merupakan peptida pelepas otot polos. Tampaknya logis

bahwa peptida vasoaktif yang dihasilkan dalam amnion memperoleh akses

kepermukaan adventitia pada pembuluh korionik. Dengan demikian, amnion

terlibat dalam pengaturan tonus pembuluh darah dan aliran darah. Peptida

vasoaktif yang berasal dari amnion bekerja di jaringan lain dalam beragam proses

fisiologis. Setelah diekskresikan, agen-agen bioaktif ini memasuki cairan amnion

sehingga tersedia bagi janin dengan cara ditelan dan diinhalasi (Cunningham dkk,

2014).

Selain sel epitel yang melapisi rongga amnion, terdapat lapisan sel

mesenkimal. Pada tahap awal embriogenesis sel mesenkimal amniotik terletak

tepat disebelah basal permukaan basal epitel. Pada saat tersebut, permukaan

amnion merupakan struktur berlapis dua sel yang memiliki jumlah epitel dan sel

mesenkimal hampir sama. Secara simultan dengan pertumbuhan dan

perkembangan, kolagen intertisial ditimbun diantara kedua lapisan sel ini. Proses

tersebut menandai pembentukan lapisan padat amnion, yang juga menyebabkan

pemisahan yang nyata pada kedua lapisan sel amnion (Cunningham dkk, 2014).

8
Sel mesenkimal berfungsi menghasilkan kolegen sehingga selaput amnion

menjadi kuat dan lentur. Di samping itu, jaringan tersebut juga menghasilkan

sitokin seperti IL-6, IL-8, MCP-1 (monosit chemoattractant protein-1), zat-zat

tersebut bermanfaat untuk melawan bakteri (Prawirohardjo, 2010).

2.1.1.4 Daya Regang Amnion

Membran amnion cukup elastis dan dapat meluas hingga dua kali ukuran

normal. Selama kehamilan. Amnion sebagian besar menyediakan kekuatan

membran. Kekuatan regangan ini hampir semua berasal dari lapisan padat yang

tersusun atas kolagen I dan III intertisial yang berikatan silang. Lapisan padat juga

tersusun sedikit oleh kolagen V dan VI. (Cunningham dkk, 2014).

Kolagen merupakan makromolekul utama pada sebagian besar jaringan

penyambung dan merupakan protein terbanyak dalam tubuh. Kolagen I

merupakan kolagen intertisial utama dalam jaringan yang memiliki kekutan

regang besar, misalnya tulang dan tendon. Dalam jaringan lain, kolagen III

dipercaya memiliki peran unik untuk mempertahankan integritas jaringan dengan

cara meningkatkan ekstensibilitas dan kekuatan regang jaringan. (Cunningham

dkk, 2014).

2.1.2 Cairan Amnion

Rongga amnion terisi dengan cairan jernih encer yang sebagian dihasilkan

oleh sel-sel amnion meskipun sebagian besar berasal dari darah ibu. Selama

bulan-bulan awal kehamilan, mudigah tergantung oleh tali pusat di dalam cairan

amnion yang berperan sebagai bantalan pelindung. Cairan ini berfungsi meredam

9
guncangan, mencegah melekatnya mudigah ke amnion, dan menungkinkan janin

bergerak (Sadler,2013).

Osmolalitas, kadar natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda pada serum

ibu, artinya kadar di cairan amnion merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan

amnion mengandung banyak sel janin (lanugo, verniks kaseosa). Fungsi cairan

amnion yang juga penting ialah menghambat bakteri karena mengandung zat

seperti fosfat dan seng (Prawirohardjo, 2010).

Cairan amnion akan bertambah jumlahnya dengan berlanjutnya kehamilan.

Jumlah cairan amnion bertambah dari sekitar 30 ml pada usia kehamilan 10

minggu menjadi 450 ml pada usia kehamilan 20 minggu hingga 800-1000 ml pada

usia kehamilan 37 minggu (Salder,2013). Jumlah cairan amnion pada kehamilan

aterm rata-rata ialah 800 ml, cairan amnion mempunyai pH 7,2 dan masa jenis

1,008. Setelah 20 minggu produksi cairan berasal dari urin janin. Sebelumnya

cairan amnion juga banyak berasal dari rembesan kulit, selaput amnion, dan

plasenta. Janin juga meminum cairan amnion (diperkirakan 500/hari). Selain itu,

cairan ada yang masuk ke paru sehingga penting untuk perkembangannya

(Prawirohardjo, 2010).

2.2 Ketuban Pecah Dini

2.2.1 Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of Membrane (PROM)

merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum adanya tanda-tanda

persalinan. Bila KPD terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, disebut sebagai

10
ketuban pecah dini pada kehamilan prematur atau Preterm Premature Rupture of

Membrane (PPROM) (Prawirohardjo, 2010).

Ketuban pecah dini merupakan suatu kejadian obstetrik yang banyak

ditemukan, dengan insiden sekitar 10,7% dari seluruh persalinan, dimana 94%

diantaranya terjadi pada kehamilan cukup bulan (Endale dkk, 2016).

2.2.2 Etiologi

Penyebab ketuban pecah dini belum diketahui secara pasti. Pada

kehamilan aterm pecahnya ketuban terjadi karena melemahnya selaput ketuban

dan juga oleh adanya kontraksi uterus. Banyak faktor yang dapat menyebabkan

ketuban pecah dini (Committee on Practice Bulletins-Obstetrics, 2016). Ketuban

pecah dini berhubungan dengan beberapa komplikasi kehamilan yaitu keadaan

yang menyebabkan meningkatnya distensi dan tekanan uterus. Selain itu ketuban

pecah dini berhubungan dengan inkompetensi serviks dan infeksi (Poma,1996).

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya

ketuban pecah dini yaitu (1) riwayat ketuban pecah dini sebelumnya, (2) Infeksi,

terutama infeksi saluran kemih, infeksi sistem reproduksi bagian bawah, dan

penyakit menular seksual, (3) perdarahan saat kehamilan, (4) polihodroamnion,

(5) inkompetensi servik, (6) hipertensi dalam kehamilan, (7) trauma abdomen, (8)

korioamnionitis, (9) kehamilan multipel, (10) kelainan uterus, (11) malpresentasi

janin, (12) kekurangan gizi, (13) sosialekonomi yang rendah, (14) merokok

(Poma,1996).

11
2.2.3 Klasifikasi

Waktu antara pecah ketuban dengan onset persalinan disebut dengan

periode laten. Periode laten berhubungan dengan komplikasi yang dapat terjadi

pada ketuban pecah dini. Semakin lama periode laten maka semakin besar risiko

terjadi komplikasi yang lebih berat dari ketuban pecah dini. Berdasarkan lamanya

periode laten, ketuban pecah dini dapat diklasifikasikan menjadi (Gahwawi,2015):

1. Early premature rupture of membranes adalah ketuban pecah dini dengan

periode laten kurang dari 12 jam.

2. Ploronged premature rupture of membranes adalah ketuban pecah dini

dengan periode laten 12 jam atau lebih.

2.2.4 Patofisiologi

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi

uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah

tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior

rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh (Prawirohardjo,2010).

Terdapat kesimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler

selama kehamilan. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen

menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.

Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP) yang

dihambat oleh Tissue Inhibitor of Metalloproteinase-1 (TIMP-1) dan inhibitor

protease (Prawirohardjo,2010).

Mendekati waktu persalinan keseimbangan antara MMP dan TIMP-1

mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler dan membran

12
janin. Aktifitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan

(Prawirohardjo,2010).

Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga

selaput ketuban mudah pecah. Pecahnya selaput ketuban pada kehamilan aterm

merupakan hal yang fisiologis. Namun hal ini dapat menjadi masalah bila ketuban

pecah sebelum usia kehamilan 37 minggu (Prawirohardjo,2010).

Infeksi dikatakan dapat menyebabkan ketuban pecah dini. Beberapa

bakteri penyebab infeksi akan menyekresi protease yang dapat mendegradasi dan

melemahkan membran janin. Selain itu respon host terhadap reaksi inflamasi

merupakan mekanisme potensial lain yang menjelaskan hubungan infeksi bakteri

pada saluran genital dengan ketuban pecah dini. Respon inflamasi dimediasi oleh

neutropil polimononuklear dan makrofag di tempat infeksi dan menghasilkan

sitokin, matriks metalloproteinase (MMP), dan prostaglandin. Prostaglandin

meningkatkan risiko ketuban pecah dini dengan cara meningkatkan iritabilitas

uterus dan oleh degradasi kolagen dalam membran janin. Sitokin menstimulasi

produksi prostaglandin E2 oleh sel amnion dan korion. Prostaglandin E2

mengurangi sintesis kolagen di membran janin dan meningkatkan produksi MMP-

1 dan MMP-3 di fibroblast. Beberapa mikroorganisme servikovaginal juga

menghasilkan fosfolipid A2 dan C, fosfolifid A2 meningkatkan pelepasan asam

arakidonat yang merupakan prekursor pembentukan prostaglandin, peningkatan

konsentrasi asam arakidonat secara lokal dan lebih lanjut mengakibatkan

pelepasan prostaglandin E2 ( Parry dan Strauss, 1998).

13
Overdistensi uterus yang terjadi karena polihidroamnion dan kehamilan

multipel menginduksi peregangan membran dan meningkatkan risiko ketuban

pecah dini. Pereganan mekanik dari membran janin meregulasi beberapa faktor

amnion seperti prostaglandin E2 dan interleukin-8. Peregangan juga

meningkatkan kegiatan MMP-1 dalam membran janin. Sebagaimana dinyatakan

diatas, prostaglandin E2 meningkatkan iritabilitas uterus, mengurangi sintesis

kolagen janin, dan meningkat produksi MMP-1 dan MMP-3 oleh fibroblas.

Interleukin-8 yang di produksi oleh sel-sel amnion dan korion adalah kemotaktik

untuk neutrofil dan merangsang aktifitas kolagnease. Dengan demikian produksi

interleukin-8 dan prostaglandin E2 mewakili perubahan biokimia dalam membran

janin yang dapat diprakarsai oleh kekutan fisik (peregangan membran) (Parry dan

Strauss, 1998).

Kekurangan gizi menjadi salah satu faktor predisposisi dari struktur

kolagen yang abnormal juga telah dikaitkan dengan peningkatan risiko ketuban

pecah dini. Kolagen cross-links yang terbentuk dalam serangkaian reaksi yang

diperantarai oleh lysyl oksidase yang berguna untuk meningkatkan daya regang

kolagen. Lysyl oksidase diproduksi oleh sel mesenkimal amnion. Lysyl oksidase

adalah enzim pengikat tembaga (Parry dan Strauss, 1998).

Merokok juga meningkatkan risiko ketuban pecah dini. Hal dikaitkan

dengan konsentrasi asam askorbat di serum yang menurun. Asam askorbat

diperlukan untuk pembentukan tripel heliks kolagen. Selain itu, kandium dalam

tembakau telah ditemukan dapat meningkatkan protein methalotionien yang

mengikat logam di trofoblas, yang dapat menyebabkan penyerapan tembaga. Hal

14
tersebut menunjukkan bawah penurunan ketersediaan tembaga dan asam askorbat

dapat berkontribusi dalam menghasilkan struktur kolagen yang abnormal pada

membran janin wanita yang merokok (Parry dan Strauss, 1998).

2.2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan ketuban

merembes melalui vagina tanpa disertai rasa sakit. Selain itu perlu diperhatikan

juga tanda-tanda infeksi pada ibu dan janin. Demam, bercak vagina yang banyak,

nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi

yang terjadi (Prawirohardjo,2010).

2.2.6 Diagnosis

Pada kebanyakan kasus ketuban pecah dini dapat didiagnosis berdasarkan

riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Adanya riwayat keluarnya cairan ketuban

berupa cairan jernih dari vagina. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan

spekulum steril. Pada pemeriksaan dengan spekulum akan ditemukan adanya

kebocoran atau rembesan cairan dari ostium serviks dan juga adanya genangan

cairan di vagina. Selain pemeriksaan spekulum dapat juga dilakukan beberapa

pemeriksaan seperti tes nitrazine, tes ferning, pemeriksaan ultrasografi, dan

beberapa pemeriksaan lain yang diperlukan (El-Messidi dan Cameron, 2010).

Tes nitrazin, tes ini berguna untuk menentukan pH vagina menggunakan

kertas lakmus merah. Dasar dari pemeriksaan ini adalah adanya perbedaan antara

pH vagina dengan pH cairan amnion. pH vagina normalnya 4,5-6,0 sedangkan pH

cairan amnion adalah sekitar 7,1-7,3. Perubahan warna kertas lakmus dari merah

menjadi biru menunjukkan adanya cairan ketuban di vagina. Hasil tes nitrazin

15
dapat menunjukkan hasil positif palsu karena adanya infeksi pada vagina, darah,

semen dan penggunaan antiseptik yang bersifat alkalin. Tes ini juga dapat

menunjukkan hasil negatif palsu apabila rembesan cairan ketuban ke vagina

dalam jumlah sedikit (El-Messidi dan Cameron, 2010).

Tes ferning juga dapat dilakukan untuk menentukan diagnosis ketuban

pecah dini. Tes ferning adalah pemeriksaan kristalisasi cairan amnion dengan

menggunakan mikroskop. Cairan untuk pemeriksaan ini di aspirasi tidak lebih

dari 3 cm dari introitus vagina untuk menhindari adanya kontaminasi dari mukus

serviks di forniks posterior yang dapat menghasilkan positif palsu. Pada

pemeriksaan dengan mikroskop akan didapatkan hasil berupa gamabaran seperti

tanaman pakis atau disebut juga arborization. Tingkat akurasi dari pemeriksaan

ini adalah 73%. Hasil positif palsu dikaitkan dengan adanya semen, mukus serviks

dan sidik jari. Hasil negatif palsu dikaitkan dengan adanya darah, mekonium dan

leukorea berat (El-Messidi dan Cameron, 2010).

Pada beberapa kasus diperlukan pemeriksaan tambahan untuk dapat

mendiagnosis ketuban pecah dini. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan

untuk menilai volume cairan ketuban dan mengkonfirmasi adanya

oligohidroamnion akibat ketuban pecah dini, hal ini penting untuk diagnosis dan

manajemen selanjutnya. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan protein

amnion seperti pemeriksaan fibronektin janin, alpha fetoprotein, kreatinin, urea

dan beberapa protein amnion lainnya. Konsentrasi zat-zat tersebut sangat tinggi di

cairan amnion. Dasar dari pemeriksaan ini adalah untuk membandingkan

konsentrasi zat-zat tersebut di cairan amnion dengan sekresi vagina. Selain itu

16
juga dapat dilakukan pemeriksaan plasental alpha-microglobulin-1(PAMG-1),

konsentrasi PAMG-1 di cairan amnion sekitar 2000-2500 ng/mL sedangakan di

vagina konsentarsinya sangat sedikit yaitu 0,05-0,2 ng/mL. Perbedaan konsentrasi

inilah yang mendasari pemeriksaan ini. Konsentrasi PAMG-1 5 ng/mL di cairan

vagina dapat memastikan adanya ketuban pecah dini (El-Messidi dan Cameron,

2010).

Jika diagnosis masih belum jelas setelah evaluasi penuh, ketuban pecah

dini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan pewarna indigo carmine, pewarna ini

dimasukkan secara transabdominal ke kantong amnion yang dipandu dengan

menggunakan ultrasunografi. Selanjutnya dimasukkan tampon ke dalam vagina,

jika pada tampon terdapat noda biru maka dapat diagnosis ketuban pecah dini

(Committee on Practice Bulletins-Obstetrics,2016).

2.2.7 Penatalaksanaan

Pada semua kasus yang telah didiagnosis ketuban pecah dini, sebelum

dilakukan penatalaksanaan lebih lanjut, semua kasus ketuban pecah dini harus

dipastikan usia kehamilan, posisi janin di dalam kandungan, serta kesejahteraan

janin dan ibu. Pemeriksaan ini perlu untuk menentukan adanya infeksi intrauterin,

solusio plasenta dan keadaan yang membahayakan janin. Selain itu juga perlu

dilakukan pemeriksaan swab vagina untuk mengetahui adanya kolonisasi bakteri

terutama bakteri B Streptococcus yang paling banyak menyebabkan

korioamnionitis. Risiko korioamnionitis akan mengingkat setelah 12 jam dari

pecahnya ketuban (Committee on Practice Bulletins-Obstetrics,2016).

17
Tingkat kematangan serviks memiliki peranan penting dalam

penatalaksanaan ketuban pecah dini. Jika serviks sudah matang yang ditandai

dengan effacement servik 50%, serviks lunak, pembukaan setikdanya 3 cm, dan

posisi janin dalam posisi kepala maka dapat dilakukan induksi persalinan dengan

pemberian oksitosin (Poma,1996).

Pada kasus ketuban pecah dini dengan serviks yang belum matang harus

tetap dilakukan pemantauan adanya sepsis, fetal distress, dan oligohidroamnion.

Jika dalam 12 sampai 24 jam setelah pecahnya ketuban belum ada tanda-tanda

persalinan maka dapat diberikan antibiotik intravena dan dilakukan induksi

persalinan. Pada kasus ketuban pecah dini yang lebih dari 18-24 jam dapat

diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi bakteri B Streptococcus walaupun

hasil pemeriksaan kolonisasinya negatif, antibiotik yang diberikan adalah

benzylpenicillin 3 g intravena kemudian dilanjutkan dengan pemberian 1,2 g

intravena setiap 4 jam sampai melahirkan, jika alergi terhadap penicillin dapat

diberikan clindamicyn 600 mg intravena dalam 50-100 mL selama setidaknya 20

menit setiap 8 jam. Pada pasien ketuban pecah dini dengan adanya tanda-tanda

infeksi langsung dilakukan induksi persalinan dan pemberian antibiotik

intapartum Jika induksi persalinan gagal maka dilakukan sectio caesarea

(Poma,1996).

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang muncul pada ketuban pecah dini tergantung pada usia

kehamilan.(Prawirohadjo, 2010). Komplikasi ketuban pecah dini pada ibu yang

paling sering adalah infeksi intrauterin, sekitar 13%-60% dari kasus ketuban

18
pecah dini. Selain itu, komplikasi ketuban pecah dini yang dapat terjadi adalah

solusio plasenta dan infeksi endometrium postpartum (Endale dkk,2016).

Komplikasi ketuban pecah dini pada janin adalah septikemia, pneumonia,

dan omfalitis, Umumnya infeksi pada janin didahului oleh korioamnionitis.

Secara umum insidens infeksi sekunder pada ketuban pecah dini mengingkat

sebanding dengan lamanya periode laten. Pecahnya ketuban juga akan

menyebabkan terjadinya oligohidroamnion yang akan menyebabkan penekanan

pada tali pusat hingga terjadi hipoksia pada janin. Selain itu ketuban pecah dini

juga dapat menyebabkan terjadinya gawat janin (Prawirohardjo,2010).

2.2.9 Pencegahan

Ketuban pecah dini memiliki kecenderungan untuk terjadi kembali pada

kehamilan selanjutnnya, maka faktor risiko yang berhubungan dengan ketuban

pecah dini harus dimodifikasi sebelum kehamilan selanjutnya. Wanita yang

sebelumnya pernah mengalami ketuban pecah dini harus diidentifikasi dan

dimonitor. Terapi antibiotik harus dilakukan sebelum kehamilan dalam upaya

untuk menghindari infeksi selama kehamilan (Poma, 1996).

Faktor sosialekonomi dan kemiskinan berhubungan dengan nutrisi yang

tidak baik, pendidikan rendah, tempat tinggal yang kurang baik, akses terhadap

perawatan medis, dan dapat mempengaruhi angka kematian bayi. Solusi untuk

faktor-faktor sosial yang meningkatkan kejadian ketuban pecah dini harus

dipikirkan serta panangan medis yang baik memiliki dampak positif pada

pengurangan angka kematian bayi (Poma, 1996).

19
2.3 APGAR Score

2.3.1 Definisi

APGAR score adalah sebuah metode untuk secara cepat menilai kondisi

kesehatan bayi baru lahir sesaat setelah kelahiran. APGAR score pertama kali

diperkenalkan oleh dr. Virginia Apgar pada tahun 1952 (American Academy of

Pediatric Committee on Fetus and Newborn,2015).

2.3.2 Komponen APGAR Score

Komponen yang dinilai pada APGAR score terdiri atas 5 komponen, yaitu

(Rudolph, 2006) :

1. Frekuensi denyut jantung

Frekuensi denyut jantung normal saat lahir adalah 120 - 160 kali per menit.

2. Usaha nafas

Bayi normal akan megap-megap saat lahir yang menciptakan upaya bernafas

dalam 30 detik, dan mencapai pernafasan yang menetap pada frekuensi 30-60

kali per menit. Apnea dan pernapasan yang lambat atau tidak teratur terjadi

oleh berbagai sebab, termasuk asidosis berat, asfiksia, infeksi janin,

kerusakan sistem saraf pusat, atau pemberian obat pada ibu seperti barbiturat

dan narkotik.

3. Tonus otot

Bayi normal menggerak-gerakkan anggota tubuhnya secara aktif segera

setelah lahir. Bayi yang tidak dapat melakukan hal tersebut atau bayi dengan

tonus otot yang lemah dapat disebabkan oleh asfiksia, bayi yang mengalami

depresi akibat obat, atau menderita kerusakan saraf pusat.

20
4. Kepekaan refleks

Respon normal terhadap pemberian rangsangan adalah menyeringai, batuk

atau bersin.

5. Warna kulit

Hampir semua bayi berwarna biru saat lahir. Mereka berubah menjadi merah

muda setelah tercapai ventilasi yang efektif. Hampir semua bayi memiliki

tubuh yang berwarna muda, tetapi sianotik pada tangan serta kakinya 90 detik

setelah lahir, sianosis menyeluruh setelah 90 detik terjadi pada curah jantung

yang rendah, methemoglobinemia, polisitemia, penyakit membran hialin,

aspirasi darah atau mekonium, obstruksi jalan nafas, paru-paru hipoplastik,

hernia diafragmatika, dan hipertensi pulmonal persisten. Kebanyakan bayi

yang pucat saat lahir mengalami vasokonstriksi perifer, vasokonstriksi

biasanya disebabkan oleh asfiksia, hipovolemia, atau asidosis berat.

2.3.3 Perhitungan APGAR Score

APGAR score diukur pada menit pertama dan menit kelima setelah

kelahiran. Pengukuran pada menit pertama menggambarkan kebutuhan resusitasi.

Pengukuran pada menit kelima menggambarkan kemampuan bayi bertahan

setelah lahir. Komponen-komponen masing-masing ini diberi nilai 0, 1, 2

(Cunningham dkk, 2014).

21
Tabel 2.1 APGAR score

Variabel 0 1 2
Frekwensi
Tidak ada <100x/menit ≥100x/menit
jantung
Lambat (tidak
Usaha bernafas Tidak ada Menangis kuat
teratur)
Ektremitas fleksi
Tonus otot Lumpuh Gerakan aktif
sedikit
Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
Tubuh dan
Tubuh kemerahan,
Warna Biru /pucat ekstremitas
ektremitas biru
kemerahan
Sumber : Hassan dan Alatas, 2007

Tabel 2.2 Interpretasi APGAR score


Nilai Status
7-10 Normal
4-6 Asfiksia sedang
0-3 Asfiksia berat
Sumber : Hassan dan Alatas, 2007

APGAR score didasarkan pada total nilai 0 sampai 10, nilai tersebut

dberasal dari penjumlahan nilai yang di dapatkan pada setiap komponen APGAR

score. Semakin tinggi skor semakin baik kondisi bayi setelah lahir. APGAR score

7-10 pada menit pertama menunjukkan bahwa kondisi kesehatan bayi baik dan

tidak memerlukan tindakan khusus. Sedangkan, bayi dengan APGAR score

kurang dari 7 pada menit pertama menunjukkan bahwa kondisi kesehatan bayi

tidak baik dan membutuhkan tindakan khusus yaitu pemberian resusitasi.(Hassan

dan Alatas, 2007). Perubahan APGAR score dari menit pertama ke menit kelima

menunjukkan efektifitas resusitasi, sehingga jika APGAR score kurang dari 7

pada menit kelima maka keadaan bayi tersebut harus tetap diawasi setiap 5 menit

22
sampai 20 menit setelah bayi lahir (American Academy of Pediatric Committee

on Fetus and Newborn,2015).

2.3.4 Kelemahan APGAR Score

Penting untuk mengetahui keterbatasan dari APGAR score. APGAR score

merupakan gambaran dari kondisi fisiologi bayi baru lahir pada satu waktu yang

meliputi komponen subjektif. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi APGAR

score diantaranya pemberian anastesi pada ibu, kelainan konginetal, usia

kehamilan, trauma, keberagaman antar pengamat. Disamping itu gangguan

biokimia yang terjadi sebelumnya juga secara signifikan mempengaruhi APGAR

score. Komponen APGAR score seperti warna kulit dan iritabilitas reflek bersifat

subjektif dan sebagian tergantung dari kematangan fisiologis bayi. APGAR score

juga dapat dipengaruhi oleh variasi dari perubahan normal yang terjadi pada bayi

baru lahir (American Academy of Pediatric Committee on Fetus and

Newborn,2015).

2.4 Bayi Lahir aterm

Kehamilan umunya berlangsung 40 minggu dihitung dari hari pertama haid

terakhir. Kehamilan aterm ialah usia kehamilan antara 37-41 minggu. Istilah

aterm digunakan untuk medeskribsikan setiap persalinan yang terjadi pada usia

kehamilan 37 0/7 minggu sampai 41 6/7 minggu (American College of

Obstetricians and Gynecologysts Committee on Obstetrics Practice Society for

Maternal-Fetal Medicine, 2013).

Bayi lahir aterm tanpa adanya kelainan dan gangguan dalam kehamilan dan

persalinan akan memiliki APGAR score yang baik. Bayi normal akan

23
menciptakan upaya bernafas dan mencapai pernafasan yang menetap pada

frekuensi 30-60 kali per menit, kulit bayi akan berubah menjadi merah muda

setelah tercapai ventilasi yang efektif, frekuensi denyut jantung 120 - 160 kali per

menit, menggerakkan anggota tubuhnya secara aktif, menunjukkan respon

terhadap refleks yaitu menyeringai, batuk atau bersin (Rudolph, 2006).

2.4 Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Nilai APGAR Score

Ketuban pecah dini merupakan salah satu faktor penyebab infeksi dan

asfiksia neonatorum. Asfiksia neonatum adalah keadaan dinama bayi tidak dapat

segera bernapas secara spontan dan teratur segera setelah bayi lahir. Hal ini

disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan

faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalianan, atau segera setelah bayi

lahir (Hassan dan Alatas, 2007). Dengan pecahnya ketuban terjadi

oligohidroamnion yang menekan tali pusat yang dapat menyebabkan penghentian

perfusi fetoplasenta sehingga terjadi hipoksia dan asfiksia. Keadaan dapat

menyebabkan rendahnya APGAR score (Prawirohardjo, 2010).

Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan

ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Makin

lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, dan

selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi dalam

rahim. Infeksi janin terjadi dengan inhalasi cairan ketuban yang septik sehingga

dapat menyebabkan pneumonia konginetal, gejala dari pneumonia konginetal

sangat menyerupai asfiksia neonatorum dan penyakit membranehialin. Selain itu

infeksi dapat menyebabkan septicemia (Hassan dan Alatas, 2007).

24
2.6 Kerangka Teori

Keterangan :

Yang diteliti :

Yang tidak diteliti :

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidroamnion yang menekan tali pusat

yang dapat menyebabkan penghentian perfusi fetoplasenta. (Prawirohardjo, 2010).

Ketuban pecah dini juga menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan

ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi asenden. Infeksi

janin terjadi dengan inhalasi cairan ketuban yang septik sehingga dapat

menyebabkan infeksi pada paru-paru (Hassan dan Alatas, 2007).

25
2.7 Kerangka Konsep

Ketuban Pecah Dini APGAR Score

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2.2 Kerangka konsep

2.8 Hipotesis

Ada hubungan ketuban pecah dini dengan APGAR score bayi lahir aterm di

RSUD dr. R Soedjono Selong periode Januari 2016 sampai Desember 2016.

26
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan bersifat analitik observasional dengan

menggunakan rancangan penelitian cross sectional yaitu penelitian yang

dilakukan dengan pengamatan sesaat atau dalam satu periode tertentu dan setiap

subyek studi hanya dilakukan satu kali pengamatan selama penelitian

(Notoatmodjo, 2012).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUD dr. R Soedjono Selong Kabupaten

Lombok Timur pada bulan Juni 2017.

3.3 Variabel dan Definisi Operasional

3.3.1 Variabel

3.3.1.1 Variabel independen (bebas)

Variabel independen dalam penelitian ini adalah ketuban pecah dini

3.3.1.2 Variabel dependen (terikat)

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah APGAR Score

3.3.2 Definisi Operasional

Definisi operasional dibuat sebagai batasan dalam penelitian yang

bertujuan agar tidak terdapat makna ganda pada penelitian. (Notoatmojo, 2010).

27
Tabel 3. 1 Defini Operasional

Definisi Sumber Skala


No Variabel Hasil ukur
operasional data ukur
1 Ketuban Ketuban pecah Rekam a. Ketuban pecah Nominal
pecah dini adalah medis dini
dini keadaan b. Tidak ketuban
pecahnya pecah dini
selaput ketuban
sebelum
persalinan.
(Prawirohardjo,
2010)
2 APGAR APGAR Score Rekam a. Tidak asfiksia : Nominal
Score adalah sebuah medis ≥7
metode untuk b. Asfiksia : <7
secara cepat
kondisi
kesehatan bayi
baru lahir sesaat
setelah
kelahiran.
(American
Academy of
Pediatric
Committee on
Fetus and
Newborn,2015).

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu melahirkan di RSUD dr. R

Soedjono Selong Januari sampai Desember 2016 yaitu 3980 ibu melahirkan.

28
3.4.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu melahirkan di RSUD dr.

R Soedjono Selong Januari sampai Desember 2016.

3.4.2.1 Besar Sampel

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan rumus slovin sebagai dasar penentuan sampel, yaitu dengan :

𝑁
𝑛=
1 + (𝑁 × 𝑑 2 )-

Keterangan :

N = Besar populasi

n = Besar sampel

d2= tingkat kepercayaan atau ketepatan yang diizinkan 95%

Maka :

3980
𝑛=
1 + 3980 (0,05)2

3980
=
1 + 3980 (0,0025)

3980
=
1 + 9,95

3980
=
10,95

= 363,4 (dibulatkan menjadi 364 sampel).

3.4.2.2 Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel menggunakan teknik

purposive sampling.

29
3.4.3 Kriteria inklusi

1. Ibu melahirkan yang mengalami ketuban pecah dini

2. Ibu melahirkan yang tidak ketuban pecah dini

3. Ibu melahirkan aterm

4. Melahirkan pervagina

3.4.4 Kriteria eksklusi

1. Bayi lahir mati

2. Kelahiran preterm

3. Kelainan konginetal

4. Trauma pada persalinan

5. Pemberian anastesi pada ibu

6. Intrauterine growth retardation (IUGR)

7. Melahirkan dengan sectio ceasarea

3.5 Instrumen Penelitian

1. Rekam medis

2. Alat tulis

3. Stopwatch

4. Stetoskop

3.6 Cara Kerja Penelitian

1. Penentuan populasi dan sampel

Sebelum memulai penelitian harus dilakukan penentuan populasi

dan sampel. Data jumlah populasi didapatkan dari data di RSUD dr. R

Soedjono Selong. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu

30
melahirkan di RSUD dr. R Soedjono Selong Januari sampai Desember

2016 yaitu 3980 ibu melahirkan. Dari jumlah populasi tersebut

selanjutnya dilakukan penentuan sampel yang meliputi penentun besar

dan teknik pengambilan sampel.

2. Pengambilan dan pengumpulan data di rumah sakit

Setelah ditentukan jumlah dan teknik pengambilan sampel

selanjutnya dilakukan pengumpulan data dari rekam medis. Data

dikelompokkan menjadi dua yaitu ketuban pecah dini dan tidak ketuban

pecah dini. selanjutnya dilihat APGAR score dari kedua kelompok data

tersebut.

3. Pengolahan data

Setelah proses pengumpulan data selesai, dilakukan pengolahan

data dengan menggunakan program komputer dan selanjutnya

dilakukan interpretasi dari data tersebut.

31
3.7 Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur penelitian

32
3.8 Analisis Data

3.8.1 Analisis univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik masing-

masing variabel, baik variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam

penelitian ini adalah ketuban pecah dini dan variabel terikat APGAR score.

Analisis univariat yang dilakukan mencakup analisis angka kejadian ketuban

pecah dini, angka kejadian kasus tidak ketuban pecah dini, analisis APGAR score

bayi lahir aterm,analisis kejadian ketuban pecah dini berdasarkan usia ibu dan

lama pecah ketuban.

3.8.2 Analisis bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan ketuban pecah dini

dengan APGAR score bayi lahir aterm di Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Soedjono Selong. Analisis data yang digunakan adalah rasio prevalensi degan

interval kepercayaan 95% dan Chi-Square dengan tingakat signifikansi 0,05 (α

0,05).

3.9 Etika Penelitian

Pada penelitian ini peneliti memakai beberapa etika penelitian di dalam

mendapatkan data tentang “Hubungan antara ketuban pecah dini dengan APGAR

score bayi lahir aterm di RSUD dr. R Soedjono Selong periode Januari 2016

sampai Desember 2016.”, etika tersebut adalah (Lestari, 2013):

1. Tanpa nama (Anonimity)

Nama subjek tidak akan dicantumkan dalam lembar pengumpulan data.

33
2. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi/data yang didapat dari responden sangat dijamin oleh

penulis, hanya pada kelompok tertentu saja yang akan peneliti sajikan,

utamanya dilaporkan pada hasil riset.

34
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Analisis Univariat

4.1.1.1 Karakteristik responden berdasarkan status ketuban pecah dini

Tabel 4.1 Karakteristik responden berdasarkan status ketuban


pecah dini
Status ketuban pecah dini Jumlah Persentase
Ketuban pecah dini 186 51.1%
Tidak ketuban pecah dini 178 48.9%
Total 364 100%
Sumber : Data sekunder

Karakteristik responden berdasarkan status ketuban


pecah dini

48.9% 51.1%

Ketuban pecah dini Tidak ketuban pecah dini

Gambar 4.1 Diagram karakteristik responden berdasarkan status


ketuban pecah dini

Berdasarkan tabel 4.1 dan diagram di atas dapat diketahui bahwa

responden yamg mengalami ketuban pecah dini sebanyak 187 responden (51.1%)

35
dan responden yang tidak mengalami ketuban pecah dini sebanyak 178 responden

(48.9%).

4.1.1.2 Karakteristik responden berdasarkan APGAR score 1 menit

Tabel 4.2 karakteristik responden berdasarkan APGAR score 1 menit


Status APGAR score 1 menit Jumlah Presentase
Baik 251 69%
Buruk 113 31%
Total 364 100%
Sumber : Data sekunder

Karakteristik responden berdasarkan APGAR


score 1 menit

31%

69%

Baik Buruk
Gambar 4.2 Diagram karakteristik responden berdasarkan APGAR

score 1 menit

Berdasarkan tabel 4.2 dan diagram di atas dapat diketahui bahwa

responden yang mengalami asfiksia sebanyak 113 responden (31%) dan yang

tidak mengalami asfiksia sebanyak 251 responden (69%).

36
4.1.1.3 Karakteristik kasus ketuban pecah dini berdasarkan usia ibu

Tabel 4.3 Karakteristik kasus ketuban pecah dini berdasarkan usia


ibu
Kategori usia ibu Jumlah Presentase
<20 tahun 24 12.9%
20 – 35 tahun 135 72.6%
>35 tahun 27 14.5%
Total 186 100%
Sumber : Data sekunder

Karakteristik kasus ketuban pecah dini berdasarkan


usia ibu

14.5% 12.9%

72.6%

<20 Tahun 20-35 Tahun >35 Tahu

Gambar 4.3 Diagram karakteristik kasus ketuban pecah dini


berdasarkan usia ibu

Berdasarkan tabel 4.3 dan diagram di atas dapat diketahui bahwa dari 186

responden yang mengalami ketuban pecah dini 24 responden (12.9%) berusia

kurang dari 20 tahun, 135 responden (72.6%) berusia antara 20-35 tahun dan 27

responden (14.5%) berusia lebih dari 35 tahun.

37
4.1.1.4 Karakteristik kasus ketuban pecah dini berdasarkan lama ketuban

pecah dini

Tabel 4.4 Karakteristik kasus ketuban pecah dini berdasarkan lama


ketuban pecah dini
Lama ketuban pecah dini Jumlah Presentase
Kurang dari 12 jam 23 12.4%
Lebih atau sama dengan 12 jam 163 87.6%
Total 186 100%
Sumber : Data sekunder

Karakteristik kasus ketuban pecah dini berdasarkan


lama ketuban pecah dini

12.4%

87.6%

< 12 jam ≥ 12 jam


Gambar 4.4 Diagram karakteristik kasus ketuban pecah dini
berdasarkan lama ketuban pecah dini

Berdasarkan tabel 4.4 dan diagram di atas dapat diketahui bahwa dari 186

responden yang mengalami ketuban pecah dini terdapat 23 responden (12.4%)

dengan lama pecah ketuban kurang dari 12 jam dan 163 responden (87.6%)

dengan lama pecah ketuban lebih atau sama dengan 12 jam.

38
4.1.2 Analisis Bivariat

Tabel 4.6 Tabel silang dan analisis data hubungan ketuban pecah dini dengan
APGAR score
Status APGAR score
Rasio Nilai
Status ketuban pecah dini Tidak Total
Asfiksia prevalensi p
asfiksia
85 101 186
Ketuban pecah dini
23.4% 27.7% 51.1%
28 150 178
Tidak ketuban pecah dini 3 0.000
7.7% 41.2% 48.9%
113 251
Total 364
31% 69%
Sumber : Data sekunder

RP = A/(A+B) : C/(C+D)

= 85/(85+101) : 28/(18+150)

= 85/186 : 28/178

= 0.45 : 0,15

=3

Dari tabel silang dan perhitungan rasio prevalensi di atas diperoleh hasil

rasio prevalensi (RP) sebesar 3 (RP>1) hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas

tersebut merupakan faktor risiko yang mempengaruhi variabel terikat, yang dalam

hal ini bahwa ketuban pecah dini merupakan faktor risiko terhadap rendahnya

APGAR score bayi lahir aterm.

Berdasarkan hasil Uji Chi-square diperoleh nilai signifikan 0,000 (p<0,05)

menunjukkan bahwa hipotesis diterima, yang berarti terdapat hubungan bermakna

antara ketuban pecah dini dengan APGAR score bayi lahir aterm di RSUD dr. R.

39
Soedjono Selong. Yang berarti bahwa pasien dengan ketuban pecah dini

melahirkan bayi yang mengalami asfiksia atau memiliki APGAR score yang

rendah. Sedangkan ibu melahirkan tanpa ketuban pecah dini melahirkan bayi yang

tidak mengalami asfiksia atau memiliki APGAR score yang normal.

4.2 Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sigifikan

antara ketuban pecah dini dengan APGAR score bayi lahir aterm dimana

didapatkan hasil uji Chi-square diperoleh nilai signifikan 0,000 (p<0,05).

Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 186 respoden (51.1%) yang

mengalami ketuban pecah dini, 85 responden (23.4%) melahirkan bayi yang

mengalami asfiksia atau memiliki APGAR score yang rendah dan 101 responden

(27.7%) melahirkan bayi yang tidak mengalami asfiksia atau memiliki APGAR

score yang normal. Sedangkan responden yang tidak mengalami ketuban pecah

dini sebanyak 178 responden (48.9%), 28 responden melahirkan bayi yang

mengalami asfiksi atau memiliki APGAR score yang rendah dan 150 responden

(41.2%) melahirkan bayi yang tidak mengalami asfiksia atau memiliki APGAR

score yang normal.

Menurut teori,

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi karakteristik berdasarkan usia ibu,

peneliti membagi kelompok usia menjadi kurang dari 20 tahun, 20 sampai 35

tahun dan lebih dari 35 tahun. Dasar dari pengelompokan ini adalah karena usia

ibu saat hamil menentukan tingkat risiko kehamilan dan persalinan.

40
Dari hasil penelitian didapatkan responden yang mengalami ketuban pecah

dini paling banyak pada usia 20 sampai 35 tahun dengan jumlah 135 responden

(72.6%), selanjutnya usia lebih dari 35 tahun sebanyak 27 respoden (14.5%) dan

terakhir usia kurang dari 20 tahun sebanyak 24 responden (12.9%). Usia antara

20-35 tahun dikatakan sebagai usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan

sedangkan usia dibawah 20 tahun dan ditas 35 tahun dikatakan sebagai usia yang

memiliki risiko yang tinggi pada kehamilan dan persalinan (Sitohang, 2015).

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini tidak sesuai dengan teori diatas.

Salah satu penyebabnya adalah karena rentang usia responden pada penelitian ini

paling banyak pada usia 20 sampai 35 tahun dengan jumlah 266 responden,

sedangkan responden dengan usia kurang dari 20 tahun berjumlah 37 responden

dan yang lebih dari 35 tahun berjumlah 61 responden. Oleh sebab itu pada

penelitian ini jumlah ibu melahirkan yang mengalami ketuban pecah dini lebih

banyak pada usia 20 sampai 35 tahun dibandingkan dengan usia kurag dari 20

tahun dan lebih dari 35 tahun.

Pada penelitian ini lama ketuban pecah dini dikelompokkan menjadi kurang

dari 12 jam dan lebih atau sama dengan 12 jam. Pada tabel karakteristik

berdardasarkan lama ketuban pecah dini, 163 responden (87.6%) dengan lama

ketuban pecah dini lebih atau sama dengan 12 jam dan 23 responden (12.4%)

degan lama ketuban pecah dini kurang dari 12 jam. Menurut Committee on

Practice Bulletins-Obstetrics American College of Obstetricians and

Gynecologysts (2016) 95% wanita yang mengalami ketuban pecah dini akan

41
melahirkan 28 jam setelah pecahnya ketuban dan beberapa lainnya melahirkan 5

jam setelah pecahnya ketuban.

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ii menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara ketuban pecah dini dengan APGAR score bayi lahir aterm. Hal

ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kosmiati (2015)

tetang hubungan kejadiaan ketuban pecah dini dengan kejadian asfiksia pada bayi

baru lahir yang dilakukan di RSUD Ambarawa pada tahun 2014 menunjukkan

hasil bahwa kejadian asfiksia pada bayi baru lahir 12,158 kali lebih berisiko pada

ibu dengan ketuban pecah dini (Kosmiyati,2015).

42
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

1. Jumlah responden dengan ketuban pecah dini sebesar 186 responden

(51.1%), 101 responden (27.7%) melahirkan bayi dengan APGAR score

yang baik dan 85 responden (23.4%) melahirkan bayi dengan APGAR score

yang buruk di RSUD dr. R. Soedjono Selong.

2. Jumlah responden yang tidak ketuban pecah dini sebesar 178 resonden

(48.9%), 150 responden (41.2%) melahirkan bayi dengan APGAR score

yang baik dan 28 responden (7.7%) melahirkan bayi dengan APGAR score

yang buruk di RSUD dr. R. Soedjono Selong.

3. Dari 186 responden yang mengalami ketuban pecah dini, 24 responden

(12.9%) berusia kurang dari 20 tahun, 135 responden (72.6%) berusia antara

20-35 tahun dan 27 responden (14.5%) berusia lebih dari 35 tahun.

4. Dari 186 responden yang mengalami ketuban pecah dini, terdapat 23

responden (12.4%) dengan lama pecah ketuban kurang dari 12 jam dan 163

responden (87.6%) dengan lama pecah ketuban lebih atau sama dengan 12

jam.

5. Hasil Uji Chi-Square diperoleh nilai signifikan 0,000 (p<0,05), maka

dinyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ketuban pecah

dini dengan APGAR score bayi lahir aterm di RSUD dr. R. Soedjono

Selong. Yang berarti bahwa pasien dengan ketuban pecah dini melahirkan

43
bayi dengan APGAR score yang rendah. Sedangkan ibu melahirkan tanpa

ketuban pecah dini melahirkan bayi dengan APGAR score yang normal.

5.2 Saran

1. Bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit diharapkan tenaga kesehatan

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan kasus

ketuban pecah dini agar keadaan yang tidak diinginkan yang disebabkan

oleh ketuban pecah dini dapat dihindari.

2. Pada penelitian selanjutnya diharapkan dilakukan penelitian terhadap faktor-

faktor yang dapat menyebabkan ketuban pecah dini dan keadaan lainnya

yang mungkin disebabkan oleh ketuban pecah dini dan menggunakan

metode case control atau cohort agar pengetahuan tentang penyebab

ketuban pecah dini menjadi lebih luas.

44
DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetricians and Gynecologysts Committee on Obstetrics

Practice Society for Maternal-Fetal Medicine. 2013. Definition of Term

Pregnancy. The American College of Obstetricians and Gynecologysts. Vol

122. No 579. Hal : 1139-1140

American Academy of Pediatric Committee on Fetus and Newborn. 2015. The

Apgar Score. The American Academy of Pediatric. Vol 126. No 644. Hal :

52-55

Aryani, Farida. 2012. Hubungan Ketuban Pecah Dini dengan Nilai APGAR Score

di RSUP Mataram periode 7 Februari-26 Maret 2012. Hal : 45-47

Committee on Practice Bulletins-Obstetrics. 2016. Premature Rupture of

Membranes. The American College of Obstetricians and Gynecologysts.

Vol 128. No 4. Hal : 165-177

Cunningham,F. Gary, Leveno, Kenneth J., Bloom, Steven L., Spong Catherine Y.,

Dashe, Jodi S., Hoffman, Barbara L., Casey, Brian M., Sheffield, Jeanne S.

2014.Williams Obstetrics 24th Edition. McGraw Hill Education. Hal : 98-

100

Dinas Kesehatan Lombok Timur . 2015. Profil Kesehatan Kabupaten Lombok

Timur Tahun 2015. Dikes Kabupaten Lombok Timur. Hal :10-16

Dinas Kesehatan Provinsi NTB. 2015 . Profil Kesehtan Provinsi Nusa Tenggara

Barat Tahun 2015. Dikes Provinsi NTB. Hal : 16-18

45
El-Messidi, Amira, Cameron, Alan. 2010. Diagnosis of Premature Rupture of

Membranes :Inspiration from the past and insights for thr future. Open

Journal of Obstetrics and Gynecology. Hal : 561-569

Endale, Tigist, Fentahun, Netsanet, Gemada, Desta, Hussen, Mamusha Aman.

2016. Maternal and Fetal Outcome in Term Premature Rupture of

Membrane. World Journal of Emergency Medicine Press. Vol 7. No 2 . Hal

: 147

Gahwagi, Milad.M.M., Busarira, Musa O., Mona, Atia. 2015. Premature Rupture

of Membranes Characteristics, Determinants, and Outcome of In Benghazi

Libya. Open Joournal of Obstetrics & GynaecologyLibya. Hal : 495-504

Hassan, Rusepno, Husein Alatas. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas

Kedokteran Indonesia : Jakarta. Hal :1072-1081, 1123-1126

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Indonesia

2015. Kemntrian Kesehatan Republik Indonesia. Hal : 104

Kosmiati. 2015. Hubungan Kejadiaan Ketuban Pecah Dini Dengan Kejadian

Asfiksia Pada Bayi Baru Lahir di RSUD Ambarawa Tahun 2014. Hal : 9-10

Lestari, Baiq Diana Indah. 2013. Hubungan Antara Tindakan Persalinan Seksio

Caesarea dan Persalinan Tindakan Non Seksio Caesarea dengan Kejadian

Asfiksia Bayi Baru Lahir di RSUD Praya Periode Januari-Desember 2012.

Hal : 45-46

46
Notoatmodjo Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. EEG Rineka

Cipta. Jakarta. Hal: 64-76

Parry, Samuel. Jerome F. Strauss. 1998. Premature Rupture of the Fetal

Membranes. The New England Journal of Medicine. Vol 338. No 10 . Hal :

663-670

Poma, Pedo. A. 1996. Premature Rupture of Membranes. Journal of The National

Medical Association. Vol 88. No 1. Hal : 27-31

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan edisi ke empat. Bina Pustaka.

Jakarta. Hal : 677-681

Rahayu, Ana Setiyana Endah. 2009. Hubungan Antara Lama Ketuban Pecah Dini

Terhadap Nilai Apgar pada Kehamilan Aterm di Badan Rumah Sakit

Daerah Cepu Tahun 2009. Hal : 21

Rudolph, Abraham M., Hoffman, Julien I.E., Rudolph, Colin D. 2006. Buku Ajar

Pediatri Rudolph Edisi 20. EGC. Jakarta. Hal : 274-275

Sadler, Thomas W. 2013. Embriologi Kedokteran Langman. EGC. Jakarta. Hal :

107-109

Sitohang, Ruth Canaya, Astuti, Fitria Primi, Khayati, Yulia Nur. 2015. Hubungan

Usia Ibu Dengan Ketuban Pecah Dini Di RSUD Ambarawa Tahun 2013.

Hal : 5

47

Anda mungkin juga menyukai