VITILIGO
Oleh:
Farah Kurnia RK, S.Ked.
71 2019 013
Pembimbing:
dr. Nurita Bangun Hutahaean, Sp.KK
Laporan Kasus
Judul:
VITILIGO
Oleh:
Farah Kurnia RK, S.Ked.
71 2019 013
Telah dilaksanakan pada bulan Februari 2020 sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Umum Palembang Bari
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“VITILIGO” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik di
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Palembang
Bari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang.
Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Nurita Bangun Hutahaean, Sp.KK, selaku pembimbing Kepaniteraan
Klinik di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang Bari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan
dalam penyelesaian laporan kasus ini.
2. Rekan-rekan dokter muda atas kerjasamanya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan ilmu pengetahuan
kedokteran.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
iv
3.7 Tatalaksana 21
3.8 Prognosis 21
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan 29
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari laporan kasus ini adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan bagi semua dokter muda dapat memahami kasus mengenai
vitiligo.
2. Diharapkan kemudian hari dokter muda mampu mengenali dan
memberikan tatalaksana secara benar tentang penyakit vitiligo.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.2. Epidemiologi
Prevalensi vitiligo diperkirakan kurang dari 1%, walaupun data ini
dapat berubah-ubah menurut populasi yang dinilai. Sebenarnya vitiligo
dapat menyerang semua bangsa, namun pada ras kulit gelap hal ini menjali
lebih diperhatikan. Vitiligo paling sering terjadi pada wanita dengan rentang
usia 20-40 tahun. Kelainan ini dapat juga terjadi pada semua umur, kajian di
Belanda 25% muncul sebelum umur 10 tahun, 50% sebelum umur 20 tahun,
dan 95% sebelum umur 40 tahun. Vitiligo dengan riwayat keluarga berkisar
6,25%-38% kasus, namun pola genetiknya masih merupakan silang
pendapat.1,6
Berdasarkan studi, vitiligo dilaporkan mempengaruhi 0,5% hingga 2%
dari populasi dunia, tanpa preferensi yang jelas untuk ras atau jenis kelamin,
meskipun wanita lebih mungkin untuk hadir datang ke klinik. Hampir 50%
dari pasien datang sebelum 20 tahun.3
7
1.3. Faktor Pencetus
1. Faktor-faktor Endogen:
-
Faktor genetik: sebanyak 18%-36% pasien mempunyai pola familial
-
Tekanan emosional berat : kehilangan orang yang dicintai,
kehilangan pekerjaan, perceraian, masalah sekolah, perpindahan
sekolah atau kota.
-
Penyakit-penyakit internal seperti gangguan autoimun, misalnya
tiroid, anemia pernisiosa, diabetes melitus, lebih banyak dialami oleh
populasi vitiligo dibanding dengan populasi umum.
-
Penyakit-penyakit kulit, sebanyak 14% kasus vitiligo dimulai dari
suato halo nevus.1
2. Faktor Eksogen
Sebanyak 40% pasien vitiligo diawali dengan trauma fisik yang
dialami, misalnya garukan, pembengkakan, benturan, laserasi dan luka
bakar. Mekanisme koebner yang mendasari peristiwa ini. Obat-obatan
misalnya betadrenergic blocking agent dan 19% berkaitan dengan zat-
zat melanositotoksik, seperti film developers, rubber, kuinon, dan agen
pemutih.1
Paparan lingkungan pertama yang terhubung dengan vitiligo
diidentifikasi pada tahun 1939, ketika sejumlah besar pekerja pabrik
mengalami depigmentasi di tangan mereka yang disebabkan oleh
paparan fenol kimia yaitu monobenzyl ether of hydroquinone (MBEH)
yang terdapat di sarung tangan mereka. MBEH dapat menyebabkan
depigmentasi dalam vitiligo sehingga sekarang digunakan untuk
mempercepat depigmentasi pada mereka yang menderita penyakit parah,
sehingga menghasilkan warna kulit yang merata. Kasus vitiligo yang
lebih baru (16.000 kasus) dilaporkan dalam musim panas 2013 di Jepang
yang disebabkan oleh penggunaan zat pencerah kulit yang mengandung
rhododendrol sebagai bahan aktif. Bahan kimia tambahan yang terlibat
sebagai penginduksi vitiligo termasuk 4-tert-butylphenol dan 4-tert-
butylcatechol, yang dapat ditemukan dalam resin adhesif, minyak
industri, cat, perekat, dan produk lainnya. Ciri umum dari bahan kimia
8
ini adalah bahwa semuanya adalah fenol, yang mengandung cincin
benzena dengan gugus hidroksil yang melekat, yang mirip dengan
tirosin asam amino, juga fenol. Mekanisme fenol ini bertindak sebagai
analog tirosin, mengganggu sintesis tirosinase dan melanin,
menginduksi stres tambahan pada melanosit, dan menghasilkan
pelepasan faktor inflamasi yang memulai serangan autoimun pada
melanosit. Namun, hanya sebagian pasien yang terpapar yang
tampaknya rentan terhadap depigmentasi, karena tidak semua yang
terpapar bahan kimia terkena penyakit tersebut. Paparan rhododendrol di
Jepang hanya mempengaruhi sekitar 2% dari pengguna, menunjukkan
bahwa paparan bertindak pada pasien yang rentan secara genetik untuk
menyebabkan penyakit.3
2.4. Patofisiologi
Patogenesis vitiligo melibatkan defek intrinsik dalam sel melanosit dan
proses autoimunitas yang menargetkan sel-sel melanosit. Produksi melanin
itu sendiri adalah racun bagi melanosit. Pertama, produksi protein dalam
jumlah besar dapat meningkatkan risiko kesalahan dari lipatan protein
sehingga mengaktifkan jalur stres dalam sel yang disebut unfolded protein
respons. Selain itu, kebutuhan energi untuk produksi protein
membangkitkan suatu oksigen reaktif dari metabolisme energi mitokondria.2
jalur ini tampaknya menjadi hiperaktif dalam sel melanosit pada pasien
vitiligo, sehingga sel-sel melanosit ini tidak mampu untuk memproduksi
melanin dibandingkan dengan orang-orang yang sehat. Bahkan, melanosit
yang sehat pun mengalami stres seluler ketika terpapar bahan kimia fenol
tertentu, seperti monobenzyl ether of hydroquinone (MBEH).3
Begitu melanosit terpapar stess oxidative, melanosit melepaskan sinyal
inflamasi yang mengaktifkan imunitas bawaan, yang mungkin mewakili
peristiwa awal dalam vitiligo. Studi melaporkan aktivasi sel imun bawaan
yang menyimpang dalam kulit pasien vitiligo, termasuk perekrutan sel
natural killer dan sel dendritik inflamasi, menunjukkan bahwa aktivasi
kekebalan bawaan memainkan peran dalam penyakit ini. Sel penyajian
9
antigen mungkin bermigrasi keluar dari kulit ke kelenjar getah bening untuk
mengaktifkan antigen melanosit ke sel T, sehingga berfungsi untuk
menjembatani stres seluler dan respons sel T adaptif. Sel bawaan juga dapat
mengeluarkan sitokin yang merekrut dan mengaktifkan sel T autoreaktif
secara lokal, yang kemudian secara langsung membunuh melanosit.3
1. Genetik pada vilitigo
Hampir seluruh studi genetika terfokus pada vitiligo generalisata, telah
diidentifikasi sedikitnya 10 lokus yang berbeda. Tujuh dari 10 orang
yang dijumpai terkain dengan penyakit autoimun lainnya (antara lain
HLA kelas I dan II, PTPN22, LPP, NALP1,TYR, yang mengkode
tirosinase yang merupakan enzim penting dalam sintesis melanin). Pada
tipe segmental diduga adanya mutasi gen mosaik de novo bersifat
sporadis.1
2. Hipotesis autoimun
Ditemukannya adanya aktivitas imunitas humoral berupa antibodi anti
melanosit yang mampu membunuh melanosit secara in vitro maupun in
vivo. Sekarang aktivitas humoral ini lebih diduga sebagai respon
sekunder terhadap melanosit yang rusak dibanding dengan respon primer
penyebab vitiligo generalisata. Pada tepi lesi vitiligo generalisata
ditemukan adanya sel T sitotoksik yang mengekspresikan profil sitokin
tipe 1. 1
3. Hipotesis neural
Hipotesis ini menunjukkan adanya mediator neurokimia yang bersifat
sitotoksik terhadap sel pigmen dan dikeluarkan oleh ujung saraf
didekatnya. Teori ini didukung oleh kenyataan:
- Vitiligo lokalisata yang terbatas secara segmental tidak dermatomal
melainkan menyerang beberapa dermatom
- Vitiligo segmental tidak berefek dengan obat-obatan vitiligo
konvensional tetapi membaik terhadap obat-obatan yang memodulasi
fungsi saraf.
10
- Terjadinya vitiligo dilaporkan setelah mengalami tekanan emosional
berat atau setelah kejadian neurogikal, misalnya ensefalitis, multiple
sklerosis, dan jejas pada saraf perifer. 1
-
4. Hipotesis biokimia
Kerusakan mitokondria mempengaruhi terbentuknya melanocyte
growth factors dan sitokin purugalsi ketahanan melanosit. Kadar
antioksidan biologik pada vitiligo; katalase dan glutation peroksidasi
berkurang disebabkan kadar H2O2 epidermis yang meningkat. Bukti
histopatologi menunjukkan adanya kerusakan yang diperantarai oleh
stress oxidative berupa degenerasi vakuol. Beberapa penulis menekankan
adanya sensitivitas melanosit terhadap agen peroksidatif. Walaupun
melemahnya sifat scavenging radikal bebas pada masa biosintesis
melanin belum jelas, namun dua teori yang paling menjanjikan adalah
akumulasi H2O2 di epidermis dan ekspresi abnormal tyrosin related
protein (TRP-1).1
Ada beberapa bukti bahwa vitiligo adalah penyakit pada seluruh
epidermis, kemungkinan melibatkan kelainan biokimiawi melanosit dan
keratinosit. Kelainan morfologis dan fungsional spesifik yang diamati
pada melanosit vitiligo dan keratinosit diduga memiliki latar belakang
genetik. Kelainan ultrastruktural dari keratinosit dari kulit vitiligo
perilesional telah dikaitkan dengan gangguan aktivitas mitokondria, dan
diperkirakan mempengaruhi produksi faktor pertumbuhan melanosit
spesifik dan sitokin yang mengatur kelangsungan hidup melanosit.
Temuan biokimiawi penting adalah peningkatan kadar H2O2 di daerah
epidermis yang terkena , yang mungkin disebabkan oleh berkurangnya
kapasitas antioksidan enzimatik keratinosit dan melanosit. Pertahanan
antioksidan yang rusak dapat memberi melanosit yang meningkatkan
kerentanan terhadap sitotoksisitas imunologis dan terhadap sitotoksisitas
yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. 4
11
Tanda dan gejala :
Lesi vitiligo ditandai sebagai berikut:
- Makula dan patch depigmented
- Biasanya berbatas tegas
- Bentuknya bulat, oval, atau linier
- Batas mungkin cembung
- Berkisar dari milimeter hingga centimeter
- Menyebar secara sentrifugal dari waktu ke waktu dengan laju yang
tidak terduga
- Lesi awal paling sering terjadi pada tangan, lengan, kaki, dan wajah,
mendukung distribusi perioral dan periokular.5
Vitiligo non segmental atau generalisata sering juga disebut sebagai
vitiligo vulgaris, adalah depigmentasi kronis yang dapat ditandai dengan
makula putih susu homogen berbatas tegas. Berdasarkan penyebaran dan
jumlah vitiligo dibagi atas generalisata dan lokalisata (segmental, fokal, dan
mukosal) yang mungkin tidak disadari pasien. jenis generalisata merupakan
jenis yang sering kali dijumpai, distribusi lesi simetris dan ukuran
bertambah luas seiring waktu. Lesi dapat muncul dimana saja, tetapi
umumnya didaerah peregangan dan tegangan dan tekanan seperti lutut, siku,
punggung tangan, dan jari-jari. Vitiligo segmental adalah varian yang
terbatas pada satu sisi segmen, dan jarang dijumpai. Kebanyakan pasien
memiliki gambaran segmental berupa lesi tunggal yang khas, namun ada
juga menepati dua atau lebih segmen satu sisi, berlawanan atau mengikuti
distribusi dermatomal (Garis Biaschko). Daerah yang sering terkena ialah
wajah, aksila, umbilikus, puting susu, sakrum dan inguinal.1
Vitiligo simetris sering dijumpai bila menyerang jari-jari, pergelangan
tangan, aksila, lipatan-lipatan lain dan daerah orifisium, misalnya mulut,
hidung dan genitalia. Pada saat pigmen rusak, tampak gambaran trikrom
berupa daerah sentral yang putih dikelilingi daerah yang pucat. Sangat
jarang sekali lesi vitiligo disertai peradangan pada sisi lesi yang sedang
berkembang dan disebut dengan vitiligo inflamatorik.1
12
Vitiligo dapat menyerang folikel rambut, dengan demikian dapat
ditemui rambut-rambut menjadi putih. Pada pasien berkulit gelap,
depigmentasi dapat dilihat pula pada mukosa, mislnya mulut.1
Klasifikasi vitilligo menurut Ortonne, 1983.
1
13
terjadi pada 20-60% pasien vitiligo Rambut juga dapat mengalami
depigmentasi. Ini dikenal sebagai leukotrichia, dan itu mungkin
menunjukkan prognosis yang buruk sehubungan dengan terapi
repigmentasi. Repigmentasi spontan rambut yang rusak tidak mungkin
terjadi.5
Gambar 1. Vitiligo 5
2.7. Klasifikasi Vitiligo
Vitiligo dapat dibagi menjadi dua kelompok: segmental dan
nonsegmental. Penting untuk dicatat bahwa ada sistem klasifikasi lain yang
memilih untuk membagi jenis vitiligo berdasarkan distribusi lokal atau
umum, dengan menyiratkan lesi terbatas pada area tertentu dan secara
umum menyiratkan lebih dari satu area yang terlibat. Namun, perbedaan
antara segmental dan nonsegmental mungkin paling berguna bagi dokter,
karena memiliki dampak pada perkembangan, prognosis, dan pengobatan.5
Vitiligo Segmental5
Jenis ini bermanifestasi sebagai satu atau lebih makula yang mungkin
mengikuti garis Blaschko. Itu unilateral dan tidak melewati garis tengah.
Vitiligo segmental biasanya memiliki onset dini dan cepat menyebar di
daerah yang terkena. Perjalanan vitiligo segmental dapat ditahan, dan patch
yang mengalami depigmentasi dapat bertahan tidak berubah selama hidup
pasien. Jenis vitiligo ini tidak berhubungan dengan tiroid atau gangguan
autoimun lainnya.
14
Gambar 2. Vitiligo Segmental5
Vitiligo Nonsegmental5
Vitiligo nonsegmental lebih kuat terkait daripada vitiligo segmental
dengan autoimunitas atau peradangan seperti halo nevi dan antibodi tiroid.
- Vitiligo fokal: Ini ditandai dengan satu atau lebih makula di daerah
terbatas yang tidak mengikuti distribusi segmental.
- Vitiligo general: Ini mengikuti distribusi nonsegmental dan lebih luas
daripada vitiligo lokal atau fokal. Subtipe vitiligo general meliputi:
o Acilacial vitiligo: Depigmentasi terjadi pada jari distal dan
daerah periorificial.
o Vulgaris vitiligo: Ini ditandai dengan bercak-bercak yang
tersebar luas.
o Universal vitiligo: Terjadi depigmentasi tubuh yang lengkap
atau hampir lengkap.
15
Manifestasi klinis utama vitiligo adalah penampakan makula putih susu
yang diperoleh dengan depigmentasi yang cukup homogen. Vitiligo
diklasifikasikan menjadi generalisasi (vulgaris, akrofasial, campuran),
universalis, dan terlokalisasi (fokus) , segmental, dan mukosa). Vitiligo juga
diklasifikasikan sebagai tipe segmental dan nonsegmental. Menurut
klasifikasi ini, non-SV mencakup semua kasus yang tidak diklasifikasikan
sebagai segmental, termasuk terlokalisasi, digeneralisasikan, dan acrofacial.4
- Vitiligo vulgaris : lesi yang tersebar tersebar dalam pola yang kurang
lebih simetris.
- Acilacial vitiligo : memengaruhi ujung ujung jari tangan dan mulut
dengan pola melingkar
- mixed vitiligo : kombinasi acrofacial dan vulgaris, atau tipe segmental
dan acrofacial.
- Vitiligo universalis : depigmentasi lengkap atau hampir lengkap
seluruh tubuh; bentuk vitiligo yang paling parah.
- Vitiligo fokal : ditandai dengan adanya satu / beberapa makula, di satu
area tetapi tidak terdistribusi dalam pola segmental.
- Vitiligo mukosa : istilah yang digunakan untuk depigmentasi selaput
lendir saja.
- Segmental vitiligo : dicirikan oleh makula yang memiliki distribusi
dermatomal unilateral yang tidak melewati garis tengah.4
16
berubah. Kelainan ditemui terutama pada kulit yang tampak normal, yang
berdekatan dengan lesi dan jarang di daerah lesi. Perubahan degeneratif juga
dapat dijumpai pada kelenjar keringat, dan nerve ending saraf perifer,
dilatasi endoplasmik retikulum.1
2. Medikamentosa
- Psoralen dan UVA (PUVA)
17
Merupakan pengobatan kombinasi psoralen sebagai photosensitizer
kimiawi dengan ultraviolet A (UVA). Pengobatan gabungan ini
bertujuan untuk meningkatkan efek terapi dari keduanya dibandingkan
bila dipakai masing-masing. Psoralen adalah furokumarin yaitu obat
yang bersifat fotodinamik yang berkemampuan menyerap energi
radiasi. PUVA masih merupakan obat yang dipercaya efektivitsnya
untuk vitiligo generalisata. Psoralen yang sering dipakai adalah
metoksalen (8-metoksiprosalen), derivat lainnya; bergapten (5 metoksi
psoralen), trioksalen (4,5,8 trimetilpsoralen) dan psoralen tak
bersubstitusi.1
- Kortikosteroid
Pengobatan vitiligo dengan kortikosteroid. Kortikosteroid
merupakan pilihan pertama untuk vitiligo lokalisata, dan sangat
dianjurkan untuk lesi kecil aerah wajah, juga pada anak-anak.
Pemakaian preparat ini menguntungkan pasien karena murah, mudah
penggunaannya dan efektif. Repigmentasi umumnya berifat difus.
Kortikosteroid yang dapat dipakai berupa kortikosteroid topikal
potensi sedang maupun kuat.1
Keberhasilan terapi terlihat dari repigmentasi perifolikuler atau
dari tepi lesi. Berbagai kortikosteroid topikal telah digunakan misalnya
triamsinolon asetonid 0,1%, flusinolon asetat 0,01%; betametasone
valerat 0,1-0,2%; halometason 0,05%; dan klobetasol propionat 0,05%.
Karena pemakaian jangka panjang (dianjurkan tidak melebihi 3 bulan),
maka diperlukan perhatian terhadap efek samping obat.1
18
Gambar 4. Algoritma Terapi Vitiligo7
19
Gambar 5. Algoritma Terapi Vitiligo7
20
2.11. Prognosis
Perjalanan penyakit vitiligo pada seseorang tidak dapat diduga, dapat
stabil selama beberapa tahun, tetapi dapat pula membesar, sementara lesi
lain muncul atau menghilang. Repigmentasi spontan dapat terjadi terutama
pada anak-anak, tetapi juga tidak menghilang sempurna, terutama pada
daerah yang terpajan matahari.1
Pada kenyataannya repigmentasi berlangsung lambat, tidak sempurna,
dan tidak permanen. Keadaan ini terutama bila menggunakan fototerapi.
Ketiadaan rambut sebagai sumber pigmen diperkirakan terjadi kegagalan
terapi, misalnya pada jari-jari tangan dan kaki. 1
21
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan tanggal 25 Februari 2020
22
Untuk mengurangi keluhan tersebut, pasien datang ke bidan 1 bulan
yang lalu dan diberikan obat minum. Pasien mengatakan lupa warna,
bentuk, dan kemasan dari obat tersebut. Pasien mengaku setelah
mengkonsumsi obat tersbut, tidak terdapat perubahan pada bercak putihnya
itu.
23
3.3.2 Keadaan Spesifik
Kepala : Normocephali
24
3.4 Diagnosis Banding
1. Vitiligo
2. Pitiriasis Versikolor
3. Hipomelanosis Gutata
3.7 Tatalaksana
A. Nonfarmakologi
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya
2. Menyarankan kepada pasien untuk menghindari trauma fisik baik
luka tajam, tumpul, ataupun tekanan repetitif yang menyebabkan
karena dapat menyebabkan penambahan bercak keputihan.
3. Menghindari stres.
4. Menghindari pajanan sinar matahari berlebihan.
B. Farmakologi
Triamsinolon asetonid 0,1% salp 3x1 perhari
25
3.8 Prognosis
26
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus, pasien datang dengan keluhan bercak keputihan pada paha
sebelah kanan dengan ukuran sebesar biji jagung dan uang logam sejak 3 bulan
yang lalu. Pasien menyangkal adanya keluhan gatal, perih, dan panas pada bercak
keputihan tersebut. Keluhan bersisik pada bercak juga disangkal. Pasien mengaku
ukuran bercak tersebut tidak mengecil dan juga membesar.
27
pada masa anak-anak awitan rata-rata berusia 20 tahun. Penyebaran lesi tersering
nonsegmental atau generalisata sedangkan jenis lainnya yang tidak banyak adalah
segmental, lesi depigmentasi menyebar asimetris, yaitu hanya pada satu sisi.
28
umumnya perbedaan sering
pasien kerentanan merupakan
perempuan usia, yakni keluhan
lebih sering lebih sering wanita
mengunjungi terjadi pada paruh baya,
dokter remaja dan berkulit
daripada laki- dewasa muda. terang,
laki. tetapi
Kelainan ini semakin
dapat terjadi terlihat pada
pada semua kedua jenis
umur, kajian kelamin dan
di Belanda orang yang
25% muncul lebih tua
sebelum berkulit
umur 10 gelap
tahun, 50% dengan
sebelum riwayat
umur 20 paparan
tahun, dan sinar
95% sebelum matahari
umur 40 jangka
tahun. panjang.
29
perioral dan Kadang
periokular ditemukan
juga pada
wajah dan
scalp.
30
panas. kapur . dapat juga
ditemukan
adanya sisik
halus
Berdasarkan uraian diatas, diagnosis yang paling mungkin pada pasien ini
adalah vitiligo. Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien ini yaitu:
Nonfarmakologi
Farmakologi
- Triamsinolon asetonid 0,1% salp 3x1 perhari
31
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Tjut Nurul. Vitiligo Dalam: Menaldi, et al, editor. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 2016. Hal. 352
2. Alexander B, et al. Advances in Vitiligo: an Update on Medical and Surgical
Treatments. Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology. Volume 10 No.
1. 2017
3. Michelle R. New Discoveries in The Pathogenesis and Classification of
Vitiligo. American of Dermatology. Inc Publiched by Elsavier. 2016
4. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, dan Wolff K.
Fitzpatrick’s Dermatology in general Medicine. 8th ed. New York: Mc-Graw
Hill. 2012.
5. Krista Roncone, et al. Vitiligo. Medcsape. 2019
6. Siregar. Vitiligo dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua.
Jakarta. 2005. Hal 252
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Vitiligo. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. Jakarta: PERDOSKI. 2017. Hal. 282
33
34