Anda di halaman 1dari 27

PENYAKIT DERMATITIS

OLEH:

KELOMPK VII

Laporan Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Epidemiologi Penyakit Daerah Pesisir Dan Kepulauan

OLEH:
KELOMPOK 7
KELAS B 2018
Wa Ode Asmaul Husna A.S J1A1 18 167
Dirfan J1A1 18 185
Larra Al Fahra J1A1 18 186
Indriati Pratiwi J1A1 19 135
Nofhy Hasma Linda J1A1 19 162

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYRAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
penyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Dermatitis”.

Banyak kendala yang dihadapi dalam menyusun makalah ini, namun kami
tetap berusaha memberikan yang terbaik dan agar dapat bermanfaat bagi kita
semua, Makalah ini disusun berdasarkan tugas kelompok pada semester genap.

Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, serta
dapat memahami isi makalah ini yang dapat berguna bagi masyarakat. Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah yang selanjutnya

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5

1.3 Tujuan........................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6

2.1 Epidemiologi..................................................................................................6

2.2 Patofisiologi....................................................................................................8

2.3 Frekuensi........................................................................................................9

2.4 Distribusi........................................................................................................9

2.5 Determinan...................................................................................................10

BAB III PEMBAHASAN....................................................................................13

3.1 Status Sosial Ekonomi.................................................................................13

3.2 Kebudayaan.................................................................................................14

3.3 Kepercayaan................................................................................................14

3.4 Faktor Risiko...............................................................................................15

3.5 Pencegahan..................................................................................................19

iii
BAB IV PENUTUP..............................................................................................22

4.1 Kesimpulan...................................................................................................22

4.2 Saran.............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis atau penyakit kulit merupakan salah satu penyakit yang paling
sering dijumpai pada negara beriklim tropis, termasuk Indonesia,
prevalensinya pada Negara berkembang dapat berkisar antara 20- 80%.
Kejadian penyakit kulit di Indonesia masih tergolong tinggi dan menjadi
permasalahan kesehatan yang cukup berarti. Berdasarkan data gambaran kasus
penyakit kulit dan subkutan lainnya merupakan peringkat ketiga dari sepuluh
penyakit utama dengan 86% adalah dermatitis diantara 192.414 kasus
penyakit kulit di beberapa Rumah Sakit Umum di Indonesia tahun 2011.
(Gusnawati dkk, 2019)
Dermatitis adalah penyakit kulit akibat kerja. Dermatitis kontak
menyumbang 50% dari semua penyakit akibat kerja (OD), dan kebanyakan
dari mereka adalah tipe yang tidak alergi atau iritan. Ada dua jenis dermatitis
kontak: dermatitis kontak iritan, yang merupakan respons nonimunologis; dan
dermatitis kontak alergi, yang disebabkan oleh mekanisme imunologis
spesifik (Salawati, 2015). Kedua jenis ini dapat bersifat akut atau kronis.
Penyebab dermatitis kontak alergi termasuk bahan kimia dalam alat yang
digunakan oleh penderita dan bahan di sekitar penderita (Wardani,
Mashoedojo, & Bustamam, 2018). Faktor lain yang memfasilitasi timbulnya
dermatitis adalah suhu udara, kelembaban, gesekan, dan oklusi (Alex,
Longinus, Olatunde, & Chinedu, 2018).
Salah satu masalah kesehatan yang sering diderita oleh para nelayan
adalah penyakit kulit atau dermatitis.Penyakit dermatitis merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat dan merupakan penyakit berbasis
lingkungan.Dermatitis dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan,
peradangan, dan gangguan tidur. Prevalensi dari semua dermatitis adalah
4,66%, termaksud dermatitis Atopik 0,69%, eczema Nummular 0,17%, dan
dermatitis Seboroik 2,82%. (Gusnawati dkk, 2019)

5
6

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana status Sosial- Ekonomi pada penderita penyakit Dermatitis ?
2. Bagaimana pengaruh kebudayaan pada penyakit Dermatitis ?
3. Bagaimana pengaruh kepercayaan pada penderita penyakit Dermatitis ?
4. Bagaimana faktor risiko penyakit Dermatitis ?
5. Bagaimana upaya pencegahan penyakit Dermatitis ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui status Sosial-Ekonomi pada penderita penyakit
Dermatitis
2. Untuk mengetahui pengaruh kebudayaan pada penyakit Dermatitis
3. Untuk mengetahui pengaruh kepercayaan pada penderita penyakit
Dermatitis
4. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit Dermatitis
5. Untuk mengetahui upaya pencegahan penyakit Dermatitis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara maritim yang sebagian
besar wilayahnya merupakan wilayah perairan (Gusmawati.2019).
Masyarakat pesisir dapat didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu
komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan
perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya
laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan, buruh nelayan, pembudidaya
ikan, pedagang ikan, pengolah ikan, dan sarana produksi perikanan.

Permasalahan kesehatan yang terjadi pada nelayan seperti gangguan


pada mata, kulit, otot atau musculoskeletal, masalah gizi, kecelakaan,
tenggelam dan juga terdapat kebiasaan buruk seperti miras, merokok, dan
tidak menjaga kebersihan. (Kasiadi, 2018)

Salah satu masalah kesehatan yang sering diderita oleh para nelayan
adalah penyakit kulit atau dermatitis.Penyakit dermatitis merupakan salah
satu masalah kesehatan masyarakat dan merupakan penyakit berbasis
lingkungan. Dermatitis dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan,
peradangan, dan gangguan tidur. (Gusmawati.2019)

Gambar 1. Penyakit Dermatitis

Dermatitis adalah peradangan kulit pada lapisan epidermis dan dermis


sebagai respons terhadap pengaruh faktor eksogen atau faktor endogen,
dengan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik seperti eritema, edema,

7
papul, vesikel, skuama, likenifikasi dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
slalu timbul bersamaan, mungkin hanya beberapa atau oligomorfik.
Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis. Dermatitis kontak iritan
dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras,
danjeniskelamin. (Indrayana, 2017)

8
9

Dermatitis atau penyakit kulit merupakan salah satu penyakit yang


paling sering dijumpai pada negara beriklim tropis, termasuk Indonesia,
prevalensinya pada Negara berkembang dapat berkisar antara 20-80%. Pada
studi epidemiologi, Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus
adalah dermatitis kontak, dimana 66,3% diantaranya adalah Dermatitis
Kontak Iritan (DKI) dan 33,7% adalah Dermatitis Kontak Alergi (DKA).
Insiden dermatitis kontak akibat kerja diperkirakan sebanyak 0,5 sampai 0,7
kasus per 1000 pekerja per tahun. Penyakit kulit diperkirakan menempati 9%
sampai 34% dari penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan. Dermatitis
kontak akibat kerja biasanya terjadi di tangan dan angka insiden untuk
dermatitis bervariasi antara 2% sampai 10%. Diperkirakan sebanyak 5%
sampai 7% penderita dermatitis akan berkembang menjadi kronik dan 2%
sampai 4% di antaranya sulit untuk disembuhkandenganpengobatantopikal.
(Zania, 2018)

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar oleh Depertemen Kesehatan 2017


prevalensi nasional dermatitis adalah 6,8% (berdasarkan keluhan responden).
Di Sulawesi Tenggara insiden dermatitis terus meningkat dari tahun ke tahun.

Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kab. Konawe Selatan,


diperoleh kejadian dermatitis 3 tahun terakhir terus mengalami peningkatan,
prevalensi kejadian penyakit dermatitis pada tahun 2016 terdapat 11,30%
yang berobat ke Puskesmas, pada tahun 2017 terdapat 16,45% yang berobat
ke Puskesmas, dan tahun pada tahun 2018 terdapat 16,49%.

Data yang diperoleh dari Puskesmas Ranomeeto bahwa prevalensi


kejadian penyakit dermatitis pada tahun pada 2016 terdapat 27,78%
penderita, pada tahun 2017 menurun dengan prevalensi 18,8%, dan pada
tahun 2018 meningkat menjadi 55,18%. (Fajriani, 2018)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kab. Bombana,


diperoleh kejadian dermatitis beberapa tahun terakhir yaitu pada tahun 2015,
terdapat 2.864 pasien (0,98%) yang berobat ke puskesmas, dan tahun 2016
10

terdapat 2.965 pasien (10,14%) dan tahun 2017 meningkat menjadi 3.128
pasien (12,55%).Berdasarkan profil Desa Lora bahwa jumlah penduduk
secara keseluruhan sebanyak 6382 Jiwa dengan presentasi Jenis Kelamin
Laki-laki berjumlah 3042 Jiwa dan Jenis kelamin perempuan berjumlah 3340
Jiwa, dengan jumlah KK 1720.

Data yang diperoleh dari puskesmas Mataoleo, menunjukkan bahwa


penyakit dermatitis selalu masuk ke dalam sepuluh besar penyakit pada tiga
tahun terakhir yaitu pada tahun 2015, 2016 dan 2017. Dimana pada tahun
2015 jumlah penderita sebanyak 501 orang (7,85%), tahun 2016 jumlah
sebanyak 533 orang (8,35%), dan meningkat pada tahun 2017 sebesar 555
orang (8,69%). Dan jumlah kunjungan ke Puskesmas Mataoleo pada bulan
Januari-April 2018 sebanyak 1,023 orang, 156 orang diantaranya nelayan
yang tinggal di desa Lora dan diagnosa menderita dermatitis. (Gusnawati,
2019).

2.2 Patofisiologi
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet, dan inositida
(IP3). Asam rakidonat dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien
(LT). Prostaglandin dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan
kinin. Prostaglandi dan LT juga bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk
limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mastmelepaskan histamin, LT
dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.

Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen


dan sintesis protein, misalnya interleukin−1 (IL−1) dan granulocyte
macrophage−colony stimulating factor (GM−CSF). IL−1 mengaktifkan sel
T−helper mengeluarkan IL−2 dan mengekspresi reseptor IL−2 yang
menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. Keratinosit juga
mengakibatkan molekul permukaan HLA−DR dan adesi intrasel (ICAM−1).
11

Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF−α, suatu sitokin
proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit,
menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin.

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di


tempat terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua
jenis bahan iritan, yaitu iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan
menimbulkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang
dan menimbulkan gejala berupa eritema, edema, panas, dan nyeri.

Ketika terkena paparan iritan, kulit menjadi radang, bengkak,


kemerahan dan dapat berkembang menjadi vesikel atau papul dan
mengeluarkan cairan bila terkelupas, gatal, perih, dan rasa terbakar terjadi
pada bintik merah−merah itu. Reaksi inflamasi bermacam−macam mulai dari
gejala awal seperti ini hingga pembentukan luka dan area nekrosis pada kulit.
Dalam beberapa hari, penurunan dermatitis dapat terjadi bila iritan
dihentikan. Pada pasien yang terpapar iritan secara kronik, area kulit tersebut
akan mengalami radang, dan mulai mengkerut, membesar bahkan terjadi
hiper atau hipopigmentasi dan penebalan. (Indrayana, 2017)

2.3 Frekuensi
Frekuensi adalah besarnya masalah kesehatan yang ada pada
sekelompok manusia (Yanti.2019). Dermatitis atau penyakit kulit merupakan
salah satu penyakit yang paling sering dijumpai pada negara beriklim tropis,
termasuk Indonesia, prevalensinya pada negara berkembang dapat berkisar
antara 20-80%. Kejadian penyakit kulit di Indonesia masih tergolong tinggi
dan menjadi permasalahan kesehatan yang cukup berarti.

2.4 Distribusi
Distribusi adalah penyebaran masalah kesehatan dalam populasi.
Pemicu utama berjangkitnya penyakit kulit seperti eksim (dermatitis) ini
adalah alam tropis Indonesia yang sangat panas dan lembab. Ini menyuburkan
semua penyakit kulit, karena badan orang Indonesia lebih sering
12

mengeluarkan keringat. Kegemukan, stres, penyakit menahun seperti TBC,


atau Diabetes Melitus, serta sosial ekonomi yang rendah juga dapat menjadi
pemicu datangnya penyakit dermatitis. (Maharani, 2015)

Keparahan dari kelainan kulit akibat Dermatitis tergantung daya


imunitas penderita, diakibatkan karena keparahan dari reaksi satu orang
berbeda dengan orang yang lainnya meskipun penyebabnya sama. Tetapi
apabila seseorang yang menderita penyakit dermatitis yang sudah parah maka
pada kulitnya yang terserang akan terjadi kelepuhan dan sangat berbahaya
bagi kulit (Nengsih, 2019)

2.5 Determinan
Determinan adalah faktor penyebab suatu masalah kesehatan. Menurut
(Indrayana,2017), Demartitis merupakan penyakit kulit multifaktoral yang
dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor endogen.

1. Eksogen
Faktor yang mempengaruhi terjadinya dermatitis kontak sebenarnya
sulit diprediksi. Beberapa faktor berikut dianggap memiliki
pengaruh terhadap terjadinya dermatitis kontak.
a. Karakteristik bahan kimia: Meliputi pH bahan kimia (bahan
kimia dengan pH terlalu tinggi >12 atau terlalu rendahlebih
tinggi >7 atau sedikit lebih rendahkuat dalam sekali paparan
bisa menimbulkan gejala, untuk basa atau asam lema butuh
beberapa kali paparan untuk timbulkan gejala, sedangkan untuk
bahan kimia yang bersifat sensitizer paparan sekali saja tidak
bisa menimbulkan gejala karena harus melalui fase sensitisasi
dahulu.
b. lingkungan Meliputi temperatur ruangan yaitu kelembaban
udara serta suhu yang dingin merupakan komposisi air pada
stratum korneum yang membuat kulit lebih permeable terhadap
bahan kimia dan faktor mekanik yang dapat berupa tekanan,
13

gesekan, atau lecet, juga dapat meningkatkan permeabilitas kulit


terhadap bahan kimia akibat kerusakan stratum korneum pada
kulit.

2. Faktor Endogen

Faktor endogen yang turut berpengaruh terhadap terjadinya


dermatitis kontak meliputi :

a. Faktor genetik, telah diketahui bahwa kemampuan untuk


mereduksi radikal bebas, perubahan kadar enzim antioksidan, dan
kemampuan melindungi protein dari trauma panas, semuanya
diatur oleh genetik dan predisposisi terjadinya suatu reaksi pada
tiap individu berbeda dan mungkin spesifik untuk bahan kimia
tertentu.
b. Jenis kelamin, mayoritas dari pasien yang ada merupakan pasien
perempuan, dibandingkan laki−laki, hal ini bukan karena
perempuan memiliki kulit yang lebih rentan, tetapi karena
perempuan lebih sering terpapar dengan bahan iritan dan
pekerjaan yang lembab.
c. Usia, anak dengan usia kurang dari 8 tahun lebih rentan terhadap
bahan kimia, sedangkan pada orang yang lebih tua bentuk iritasi
dengan gejala kemerahan sering tidak tampak pada kulit.
d. Ras, sebenarnya belum studi yang menjelaskan tipe kulit yang
mana yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis.
e. Lokasi kulit, ada perbedaan yang signifikan pada fungsi barier
kulit pada lokasi yang berbeda seperti wajah, leher, skrotum dan
punggung tangan lebih rentan dermatitis.
f. Riwayat atopi, dengan adanya riwayat atopi, akan meningkatkan
kerentanan terjadinya dermatitis karena adanya penurunan
ambang batas terjadinya dermatitis, akibat kerusakan fungsi barier
kulit dan perlambatan proses penyembuhan.
14

g. Faktor lain dapat berupa prilaku individu: kebersihan perorangan,


serta penggunaan alat pelindung diri saat bekerja.

3. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan


yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air
bersih dan sebagainya.Sanitasi lingkungan berpengaruh besar untuk
timbulnya penyakit, seperti penyakit dermatitis.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Status Sosial Ekonomi


Menurut (Zahara, 2018) mengatakan faktor yang berperan dalam
penularan penyakit kulit adalah sosial ekonomi yang rendah, hygiene
perseorang yang jelek, lingkungan yang tidak saniter dan perilaku yang tidak
mendukung kesehatan. Faktor yang paling dominan adalah kemiskinan dan
perilaku hygiene perseorangan yang jelek.

Pada praktik sosial, personal hygiene atau kebersihan diri seseorang


sangat mempengaruhi praktik sosial seseorang. Selama masa anak-anak,
kebiasaan keluarga memengaruhi praktik hygiene, misalnya frekuensi mandi
dan waktu mandi. Pada remaja, hygiene pribadi dipengaruhi oleh kelompok
teman sebaya. Sedangkan pada lansia akan terjadi beberapa perubahan dalam
praktik hygiene karena perubahan dalam kondisi fisiknya. (Putri, 2017)

Sosial ekonomi yang rendah memungkinkan hygiene perseorangan


yang rendah pula. Status ekonomi akan mempengaruhi jenis dan sejauh mana
praktik hygiene dilakukan. Perawat harus sensitif terhadap status ekonomi
seseorang dan pengaruhnya terhadap kemampuan pemeliharaan hygiene
seseorang tersebut. Jika seseorang mengalami masalah ekonomi, seseorang
akan sulit berpartisipasti dalam aktifitas promosi kesehatan seperti hygiene
dasar. Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan dana untuk
menyediakannya. (Kristianti, 2017)

Kemampuan ekonomi juga berpengaruh terhadap kemampuan untuk


memiliki rumah yang sehat, banyak masyarakat dengan tingkat ekonomi yang
rendah biasanya memiliki rumah yang kumuh dan kotor dengan demikian
banyak kuman dan bakteri yang bersarang di dalam rumah tersebut sehingga

15
16

lebih rentan terkena penyakit. Rumah yang sehat adalah rumah yang memiliki
sirkulasi lancar, penerangan sinar yang memadai, air yang bersih,
pembuangan limbah yang terkontrol, ruangan yang tidak tercemar, bebas dari
hewan penggangu. (Hidayah, 2017).

3.2 Kebudayaan
Menurut (Kristianti, 2017) mengatakan bahwa budaya pada sebagian
masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh mandi. Seseorang dari
latar belakang kebudayaan yang berbeda, mengikuti praktek perawatan
personal hygiene yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur sering
menentukan definisi tentang kesehatan dan perawatan diri. Sedangkan
menurut (Putri, 2017), di Asia kebersihan dipandang penting bagi
kesehatan sehingga mandi bisa dilakukan 2-3 kali dalam sehari, sedangkan
di Eropa memungkinkan hanya mandi sekali dalam seminggu.

3.3 Kepercayaan
Personal Hygiene merupakan suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan seseorang yakni pekerja, baik sebelum, saat dan setelah bekerja.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan, memelihara
kebersihan diri, pencegahan penyakit, meningkatkan kepercayaan diri dan
menciptakan keindahan (Hutagaol, 2018). Sehingga apabila kita memiliki
personal hygiene yang rendah yang dapat menimbulkan tumbuhnya
penyakit dermatitis dapat membuat pribadi atau kepercayaan diri kita sendiri
menjadi rendah seperti masalah sosial yang berhubungan dengan personal
hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan
mencintai, aktualisasi diri menurun, dan gangguan dalam interaksi sosial
(Putri, 2017).

Faktor kepercayaan juga dipengaruhi oleh tingkat Pendidikan.


Pendidikan merupakan hal penting bagi pertumbuhan Tingkat pendidikan
mempengaruhi kebiasaan, sikap, pengetahuan individu dalam melakukan
kegiatan sehari-hari (Putri, 2017). Karena rendahnya Pendidikan yang
17

dimiliki oleh sebagian masyarakat pesisir sehingga dapat membuat perilaku


kepercayaan mereka lebih menganut kepada pengetahuan nenek moyang,
kebiasaan atau pola hidup sehari-hari ataupun dari budaya lingkungan
sekitar.

3.4 Faktor Risiko


Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan penyakit Dermatitis
menurut (Prakoso, 2017), yaitu:

1. Usia
Seiring bertambahnya usia kulit manusia mengalami degenerasi,
seperti kulit kehilangan lapisan lemak diatasnya dan menjadi lebih
kering. Hasil analisa hubungan antara usia dengan dermatitis kontak
sebanyak 57,1% pekerja usia ≤ 31 tahun terkena dermatitis kontak,
sedangkan pekerja usia > 31 tahun yang terkena dermatitis kontak
sebanyak 52,6%.
Hasil penelitian pada nelayan di Kawasan Tambak menunjukkan
bahwa nelayan yang menderita gangguan kulit lebih banyak dialami oleh
nelayan yang memiliki kategori usia dewasa tua dibandingkan dengan
dewasa muda dengan prevalensi sebesar 61,1%. Gangguan kulit lebih
sering diderita oleh nelayan yang memiliki masa kerja lama dengan nilai
prevalensi sebesar 58,0% dibandingkan nelayan dengan masa kerja baru.
Nelayan dengan personal hygiene baik, 40,7% dengan gangguan kulit
dan yang buruk, semuanya menderita gangguan kulit. (Kasiadi, 2018)

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, dermatitis akibat kerja memiliki


frekuensi yang sama pada pria dan wanita. Tetapi perempuan ternyata
lebih berisiko mendapat penyakit kulit akibat kerja dibandingkan dengan
laki-laki. Dibandingkan dengan laki-laki, karenaka kulit perempuan
memproduksi lebih sedikit minyak untuk melindungi dan menjaga
18

kelembaban kulit, selain itu juga kulit perempuan lebih tipis


dibandingkan dengan kulit laki-laki sehingga lebih rentan untuk
menderita penyakit dermatitis. Insiden pada perempuan lebih tinggi pada
usia muda. Sedangkan pada laki-laki kejadian akan meningkat sesuai
usia. (Kristianti, 2017)

3. Personal hygiene
Berdasarkan penelitian (Zania, 2018), sejalan dengan penelitian
Carina menunjukkan bahwa ada hubungan hygiene pribadi dengan
kejadian dermatitis.Hal ini terjadi karena bukan hanya pekerja yang
memiliki personal hygiene yang kurang saja yang dapat terkena
dermatitis kontak, tetapi juga pekerja yang memiliki personal hygiene
yang baik. pekerja yang memiliki personal hygiene yang baik, dapat
terkena dermatitis kontak karena kesalahan pekerja dalam mencuci
tangan, misalnya kurang bersih dalam mencuci tangan dan pemilihan
jenis sabun yang dapat menyebabkan sisa- sisa air laut yag menempel
pada permukaan kulit, dan kebiasaan tidak mengeringkan tangan setelah
selesai mencuci tangan sehigga tangan menjadi lembab. Sebagian besar
para penderita dermatitis memiliki personal hygiene yang buruk yaitu
tidak tidak mencuci tangan dan kaki dengan sabun, tidak membersihkan
sela-sela jari tangan dan kaki, tidak mencuci pakaian kerja, tidak mandi
minimal 2 kali sehari. Dari data sebanyak 22 responden (28,9%) yang
memiliki personal hygiene buruk menderita dermatitis, selebihnya 8
responden (10,5%) menderita dermatitis meskipun memiliki personal
hygiene baik.
Dermatitis kontak terjadi karena kurangnya perhatian nelayan
terhadap kebersihan diri terutama menjaga kebersihan pakaian kerja
setelah pulang dari kerja. Kebanyakan dari pekerja ini kurang menjaga
kebersihan pakaian sehingga air laut masih ada dalam baju kerja dan
terkadang para petugas ini masih menggunakan pakaian yang dipakai
19

sebelumnya dan jarang dicuci. Sehingga kebersihan diri ini sangat


berhubungan dengan kejadian dermatitis kontak pada nelayan.
Hal ini terjadi bahwa penyakit kulit pada nelayan akibat air laut
yang karena kepekatannya menarik air dari kulit, dalam hal ini air laut
merupakan penyebab dermatitis kulit kronis dengan sifat rangsangan
primer.Tetapi penyakit kulit pula disebabkan oleh jamur-jamur atau
binatang-binatang laut.

4. Masa kerja
Berdasarkan hasil penelitian (Zania, 2018), bahwa ada hubungan
yang signifikan antara lama kontak nelayan dengan kejadian dermatitis
kontak. Nelayan sering melakukan pekerjaannya hingga melampaui batas
jam kerja yang aman yaitu normalnyahingga 8 jam/hari.
Pada umumnya nelayan melakukan penangkapan lebih dari 8
jam/hari namun dalam kegiatan lain seperti mengumpulkan hasil
tangkapan dari jaring ke bak penampungan ikan hingga para nelayan
tersebut pulang ke daratan dan menjual hasil tangkapannya dalam kondisi
badan dan pakain yang basah, ini membutuhkan waktu berjam-jam.

5. Pengetahuan
Pengetahuan sangatlah penting dimiliki oleh pekerja, karena
dengan adanya pengetahuan dapat mengenali dan memahami substansi-
substansi yang dapat membahayakan kesehatan pekerja dan dapat
mengurangi resiko timbulnya penyakit akibat kerja. Pekerja yang tidak
mengetahui prosedur kerja akan bekerja dengan sendirinya tanpa
mempehatikan keselamatan dan kesehatan kerja. (Retnoningsih, 2017)

6. Pemakaian alat perlindungan diri


Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.Per.01/MEN/1981 pasal 4 ayat 3 tentang kewajiban melapor PAK
20

bahwa kewajiban pengurus menyediakan alat perlindungan diri dan wajib


bagi tenaga kerja untuk menggunakannya untuk pencegahan dermatitis .
Pada penelitian Nuraga jumlah responden sebanyak 54 orang.
Pekerja yang selalu menggunakan APD sebanyak 23 orang. Sedangkan
pekerja yang menggunakan APD kadang-kadang sebanyak 31 orang.
Dari hasil analisis pekerja yang selalu menggunakan APD terdapat 12
(52,17%) yang terkena dermatitis kontak. Sedangkan pekerja yang
menggunakan APD kadang-kadang terdapat 28 orang (90,32%) pekerja
yang terkena dermatitis kontak. Dalam kasus ini menurut Nuraga
semakin sering menggunakan APD semakin jarang terkena dermatitis
kontak.

7. Lama Kontak
Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis. Lama kontak
dengan bahan kimia yang terjadi akan meningkatkan terjadinya
dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kulit kontak dengan bahan
kimia maka dapat menyebabkan rusaknya sel kulit lapisan luar, semakin
sering berkontak maka semakin rusaknya sel kulit lapisan yang lebih
dalam sehingga kejadian dermatitis kontak semakin beresiko tinggi.
Sebuah penelitian di Dusun Puntondo menujukkan prevalensi angka
kejadian dermatitis sebesar 26,6%, sebagian besar dari penderita
dermatitis kontak tersebut bekerja (terpapar rumput laut) lebih dari 8 jam.
Berdasarkan hasil penelitian (Wahyu, 2017) diperoleh informasi
mengenai hubungan antara umur dengan kejadian dermatitis. Dari hasil
tabulasi silang antara lama kerja responden dengan kejadian dermatitis
diperoleh informasi bahwa jumlah responden dengan kelompok lama
kerja ≥ 8jam/hari (lama) yang menderita dermatitis adalah sebanyak 25
responden (23.6%), jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan
penderita dermatitis dengan kelompok lama kerja <8jam/hari (tidak
lama) yang sebanyak 9 responden (40.9%).
21

8. Ras
Ras merupakan salah satu faktor yang ikut berperan untuk
terjadinya dematitis. Ras dalam hubungannya dalam dermatitis terlihat
dari warna kulit, setiap individu mempunyai warna kulit yang berbeda
berdasarkan rasnya masing-masing.Kulit putih lebih rentan terkena
dermatitis dibandingkan dengan kulit hitam. Orang kulit hitam lebih
tahan terhadap lingkungan industri karena kulitnya kaya akan melanin.

9. Riwayat penyakit kulit sebelumnya


Pekerja yang sebelumnya atau sedang menderita penyakit kulit
akibat kerja lebih mudah mendapat dermatitis akibat kerja, karena fungsi
perlindungan dari kulit sudah berkurang akibat dari penyakit kulit yang
diderita sebelumnya. (Utama,2018)

Suhu dan Kelembaban juga termasuk salah satu faktor risiko pada
dermatitis. Pada lingkungan kerja terdapat beberapa potensi bahaya yang
perlu diperhatikan antara lain seperti suhu udara dan kelembaban udara.
Suhu udara dan kelembaban udara yang tidak stabil dapat mempengaruhi
terjadinya dermatitis kontak. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan
No. 1405/MenKes/SK/XI/2002 Tentang Nilai Ambang Batas Kesehatan
Lingkungan Kerja, suhu udara yang dianjurkan adalah 18ºC - 28ºC dan
kelembaban udara yang dianjurkan adalah 40% - 60%. (Kristianti, 2017)

3.5 Pencegahan
Menurut (Maharani, 2015) mengatakan bahwa menghindari kulit
kering dapat menjadi faktor untuk membantu mencegah serangan penyakit
kulit ekstrim. Beberapa cara untuk membantu dalam pencegahan penyakit
kulit ini diantaranya :

1. Mengurangi frekuensi mandi


Jangan terlalu sering mandi (karena kalau terlalu sering basah maka akan
susah keringnya) atau bila perlu dilap saja.
22

2. Menggunakan air hangat untuk mandi


Bila akan mandi gunakan air hangat-hangat (jangan terlalu panas).
3. Hindari penggunaan sabun pada daerah yang terserang ekstrim karena bila
daerah yang terserang ekstrim terkena sabun maka akan teriritasi.
4. Hindari kontak dengan kain atau selimut yang terbuat dengan wol, pakailah
pakaian yang bersih, tidak ketat, dan menyerap keringat.
5. Menghindari makanan yang alergi
Bila ekstrimnya dikarenakan alergi terhadap makanan tertentu, maka
hindari makanan tersebut.
6. Jangan menggunakan sabun atau deterjen yang keras
Ketika mencuci, baik pakaian atau piring, perhatikanlah deterjen yang
digunakan. Apakah deterjen tersebut ada indikasi merusak kulit atau tidak.
7. Memperhatikan obat dan kosmetik
Hindari penggunaan zat-zat kimia seperti kosmetik dan obat-obatan yang
terlalu keras terhadap kulit.
8. Jaga keseimbangan berat badan
Orang yang mempunyai berat badann lebih, apalagi sangat gemuk lebih
banyak berkeringat dan mempunyai gesekan pada lipatan kulit yang
memicu jamur kulit.
9. Tidak menggaruk kulit yang sakit
Jangan menggaruk kulit. Menggaruk ekstrim hanya akan memperburuk
keadaan, karena kulit akan terinfeksi oleh bakteri-bakteri yang ada di dalam
kuku, dan bila lukanya sudah mongering maka warna kulit akan tampak
berbeda. Sebaiknya guntinglah kuku pada orang yang mempunyai penyakit
ekstrim agar luka tidak terinfeksi oleh kuman.

Sedangkan menurut (Utama, 2018) mengatakan bahwa usaha pencegahan


yang bisa dilakukan pada dermatitis kronik akibat kerja dapat dilakukan
dengan melakukan :

1. Usaha pencegahan jangka pendek


23

Dalam melakukan usaha pencegahan dermatitis kronik akibat kerja perlu


dilakukan perbaikan sarana diagnostic. Deteksi dini kerusakan kulit yang
tidak disertai gejala klinik dermatitis kronik akibat kerja memungkinkan
dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin.
2. Usaha pencegahan jangka panjang
Menghadapi dermatitis akibat kerja, pencegahannya yang paling penting
yaitu selalu menghindari kontak dengan sabun yang keras, detergen, bahan-
bahan pelarut, pengelantang dan lain-lain. Kulit yang sakit harus sering
dilumuri dengan emolien. Riwayat penyakit yang lengkap harus ditanyakan
karena dapat mengungkapkan pajanan yang tidak diketahui terhadap zat-zat
iritan atau allergen.

Upaya pencegahan yang harus dilakukan adalah meniadakan faktor


penyebab dermatitis dari pekerjaan dan lingkungan kerja dan
menghilangkan seluruh resiko tenaga kerja kontak kulit dengan faktor
penyebab yang bersangkutan. Penggunaan pakaian kerja dan alat
pelindung adalah salah satu bentuk pencegahan. Memindahkan penderita
dari pekerjaan dan lingkungan yang mengandung faktor penyebab
penyakit pekerjaan dan lingkungan kerja lain yang tidak berbahaya bagi
kulit yang bersangkutan merupakan upaya terakhir. (Utama, 2018)

Hal yang perlu diperhatikan untuk mencegah dermatitis yaitu masalah


kebersihan perseorangan (personal hygiene) dan sanitasi lingkungan kerja
serta pemeliharaan ketatarumahtangaan perusahaan yang baik. Personal
hygiene misalnya cuci tangan, mandi sebelum pulang kerja, pakaian bersih
dan berganti pakaian tiap hari, alat pelindung diri yang bersih dan lain-
lain. Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan ketatarumahtanggaan
meliputi pembuangan air bekas dan sampah industri, pembersihan debu,
penerapan produksi yang tidak menimbulkan pencemaran udara dan juga
permukaan, cara sehat dan selamat penimbunan dan penyimpanan barang
dan lainnya. (Utama, 2018)
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Dermatitis atau penyakit kulit merupakan salah satu penyakit yang paling
sering dijumpai pada negara beriklim tropis, termasuk Indonesia,
prevalensinya pada Negara berkembang dapat berkisar antara 20- 80%.
Kejadian penyakit kulit di Indonesia masih tergolong tinggi dan menjadi
permasalahan kesehatan yang cukup berarti. Berdasarkan data gambaran
kasus penyakit kulit dan subkutan lainnya merupakan peringkat ketiga dari
sepuluh penyakit utama dengan 86% adalah dermatitis diantara 192.414 kasus
penyakit kulit di beberapa Rumah Sakit Umum di Indonesia tahun 2011.
Dermatitis adalah penyakit kulit akibat kerja. Dermatitis kontak
menyumbang 50% dari semua penyakit akibat kerja (OD), dan kebanyakan
dari mereka adalah tipe yang tidak alergi atau iritan. Ada dua jenis dermatitis
kontak: dermatitis kontak iritan, yang merupakan respons nonimunologis; dan
dermatitis kontak alergi, yang disebabkan oleh mekanisme imunologis
spesifik (Salawati, 2015). Kedua jenis ini dapat bersifat akut atau kronis.
Penyebab dermatitis kontak alergi termasuk bahan kimia dalam alat yang
digunakan oleh penderita dan bahan di sekitar penderita (Wardani,
Mashoedojo, & Bustamam, 2018). Faktor lain yang memfasilitasi timbulnya
dermatitis adalah suhu udara, kelembaban, gesekan, dan oklusi (Alex,
Longinus, Olatunde, & Chinedu, 2018).

4.2 Saran
Diharapkan selalu menjaga kebersihan tubuh untuk menghindari penyakit
Dermatitis dan memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang
pentingnya kebersihan diri.

24
DAFTAR PUSTAKA

Fajriyani, dkk.(2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Dermatitis KontakIritan Pada Petani Sawah di Wilayah Kerja
Puskesmas Ranomeeto KabupatenKonawe Selatan.MIRACLE
Journalof Public Health. 2(2) . e- ISSN:2622-7762

Gusmawati, Anita. (2019). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Dermatitis Pada Nelayan Suku Bajo di Desa Lora Kec.MataoleoKab.
Bombana.2(1).MIRACLE Journalof Public Health. 2(2) . e-
ISSN:2622-7762

Indriyana, Cici. (2017). Hubungan Kebersihan Perorangan (Personal Hygiene)


dan Lingkungan dengan Kejadian Dermatitis Pada Masyarakat Pesisir
di Wilayah Kerja Puskesmas Sibigo Kecamatan Simeulue Barat
Kabupaten Simeulue. Skripsi:Universitas Teuku Umar Meulaboh.

Kasiadi, Yuningsih, dkk. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Gangguan Kulit Pada Nelayan di Desa Kalinaun Kecamatan
Likupamg Timur Kabupaten Minahasa Utara.Jurnal KESMAS. 7(5)

Maharani, Ayu.(2015). PenyakitKulit.Yogyakarta :Penerbit Pustaka Baru press.

Nengsih, S. S, dkk.(2019). Gambaran Kejadian Dermatitis (Studi Deskriptif


Dermatitis di Puskesmas Layang Kelurahan Layang Kecamatan
Bontoala Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan).Jurnal Health
Community Empowerment.II(1)

Prakoso, Nova Rizki. (2018). Faktor-Faktor Yang BerhubunganDenganKejadian


Dermatitis KontakIritanPadaPekerja Steam KendaraanBermotor di
KecamatanCiputatTimurTahun 2017.Skripsi. Jakarta: Universitas
Islam NegeriSyarifHidayatullah.

Retnoningsih, Arie. (2017). Analisis Faktor-Faktor Kejadian Dermatitis Kontak


Pada Nelayan.Skripsi.Universitas Muhammadiyan Semarang.

Utama, RahmaWidya. (2018). Hubungan Pengetahuandan Pengalaman Terhadap


Pencegahan Dermatitis Pada Nelayan di Wilayah Batang Kapas
Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2018.Skripsi: STIKes Perintis
Padang

25
26

Wahyu, Atjo, dkk. (2018). Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dermatitis


Kontakdan Dampaknya Terhadap Kualitas Hidup Pada Petani Rumput
Laut di Dusun Puntondo Takalar.

Yanti, Fitri. dkk. 2019. DasarEpidemiologi. Yogyakarta: PENERBIT


DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA). ISBN.978-
623-209-724-7.

Zania, Elva. dkk. (2018). Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Dermatitis Kontak Pada Nelayan di Kelurahan Induha Kecamatan
Latambaga Kabupaten Kolaka Tahun 2017.Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat. 3(3). ISSN 2502-731X
27

Anda mungkin juga menyukai