Anda di halaman 1dari 27

1

REFERAT

UNDESCENDED TESTIS

Oleh :

Wita Ayu Aflida, S.Ked

H1AP14062

Pembimbing :

dr. Raymond Ukurta Meliala Sp.B, FINACS

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN BEDAH


RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019
2

LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Wita Ayu Aflida


NPM : H1AP14062
Bagian : Kepaniteraan Klinik Bedah FKIK UNIB
Judul : Undescended Testis
Pembimbing : dr. Raymond Ukurta Meliala Sp.B, FINACS

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan


Klinik Bedah di RSUD M. Yunus Bengkulu.

Bengkulu, Agustus 2019

dr. Raymond Ukurta Meliala Sp.B, FINACS


3

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Undescended Testis” untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik
Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu. Terima kasih yang sebesar-
besarnya penulis ucapkan kepada dr. Raymond Ukurta Meliala Sp.B, FINACS,
selaku konsulen yang telah membimbing dalam penulisan referat ini. Penulis
berharap refrat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bengkulu, Agustus 2019

Penulis
4

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 3
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
2.1.
Definisi....................................................................................................................7Error
! Bookmark not defined.
2.2.
Epidemiologi..........................................................................................................7Error
! Bookmark not defined.
2.3.
Embrioogi................................................................................................................8Error
! Bookmark not defined.
2.4 Etiologi..........................................................................................................10
2.5 Patofisiologi.............................................................................................................11
2.6 Klasifikasi................................................................................................................13
2.7 Manifestasi klinis.....................................................................................................15
2.8 Diagnosis..................................................................................................................16
2.9 Diagnosis Banding..................................................................................................17
BAB III TATALAKSANA UDT.....................................................................................19
BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
5

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Undenscended testis (UDT) atau cryptorchidism merupakan kelainan
kongenital berupa satu atau kedua testis tidak berada pada posisi yang seharusnya
yaitu di skrotum pada saat lahir dan tidak dapat dipindahkan secara manual ke
posisi seharusnya. Pada anak lelaki baru lahir merupakan salah satu gangguan
kelenjar endokrin dan gangguan genital yang sering ditemukan.1
Faktor predisposisi terjadinya UDT adalah berat badan lahir rendah, bayi
prematur dan terpaparnya estrogen pada ibu selama trimester pertama kehamilan.
UDT dapat dibedakan menjadi UDT palpable dan nonpalpable. Diagnosis UDT
dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, namun dapat digunakan laparasokopi
untuk menentukan posisi testis jika testis tidak teraba. UDT dapat terjadi
unilateral atau bilateral, dan sering ditemukan pada bayi bayi dengan kelainan
hormonal. Namun pada kebanyakan bayi, penyebab UDT tidak diketahui, namun
rendahnya kadar androgen dicurigai sebagai penyebab utama. Testis dapat turun
spontan ke dalam skrotum pada usia tiga sampai enam bulan.2
Kejadian UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak
laki-laki. Angka kejadiannya 4%-5% pada bayi laki-laki yang lahir cukup bulan
dan meningkat menjadi 9%-30% pada bayi prematur. Dilaporkan 21% kasus UDT
terjadi pada bayi berat badan lahir kurang dari 2500 gram. Dengan bertambahnya
usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar 70%-77%, pada umumnya
terjadi pada usia 3 bulan. Pada usia 6 bulan angka kejadiannya menjadi 0,8%.
Undescended testis merupakan kelainan kongenital yang terjadi sejak lahir,
namun terdapat peningkatan jumlah kasus pada usia lebih tua yang didiagnosis
UDT. Hal tersebut dikarenakan banyak pasien datang terlambat untuk melakukan
pemeriksaan ke dokter ahli endokrinologi anak atau dokter bedah, serta
pemeriksaan testis saat lahir dan pada usia kurang dari satu tahun tidak
dilakukan.3
6

UDT dapat mengakibatkan penurunan kesuburan, torsio testis, hernia


inguinalis dan meningkatnya resiko keganasan sel germinal. Setelah usia dua
tahun sebanyak seperlima bagian dari sel-sel germinal testis telah mengalami
kerusakan, oleh sebab itu UDT perlu diturunkan sebelum usia 2 tahun.
Pengobatan UDT dapat berupa terapi hormonal, pembedahan, atau kombinasi
keduanya. Terapi dengan human chorionic gonadrotropin hormone (hCG)
dilaporkan sukses pada 10%-50% kasus. Pembedahan dilakukan jika gagal pada
terapi hormonal, atau usia sudah di atas dua tahun.4
Tindakan yang paling sering dilakukan adalah orchidopeksi. Terapi operatif
sebaiknya dilakukan pada usia satu sampai dua tahun. Komplikasi paling sering
dari orchidopeksi adalah atrofi testis, namun terjadi pada persentase yang kecil.
Tata laksana UDT yang terlambat akan menimbulkan dampak pada testis di
kemudian hari.5

1.2.Tujuan Penulisan
a. Tujuan umum
Penulisan referat ini bertujuan untuk melengkapi syarat kepaniteraan
klinik Bedah RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.

b. Tujuan khusus
1. Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Undecended Testis.
2. Mengetahui dan memahami tatalaksana Undecended Testis.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Undescended testis (UDT) atau biasa disebut kriptorkismus adalah suatu
keadaan dimana setelah usia 1 tahun, satu atau kedua testis tidak berada di dalam
kantung skrotum, tetapi masih berada di salah satu tempat sepanjang jalur
desensus normal.1 Kriptorkismus berasal dari kata cryptos (Yunani) yang berarti
tersembunyi dan orchis yang dalam bahasa latin disebut testis. Harus dijelaskan
lagi apakah yang dimaksud sebagai kriptorkismus murni, testis ektopik ataupun
pseudo kriptorkismus. Testis yang berlokasi di luar jalur desensus yang normal
disebut sebagai testis ektopik, sedangkan testis yang terletak tidak di dalam
skrotum tetapi dapat didorong masuk ke dalam skrotum dan menaik lagi bila
dilepaskan dinamakan pseudokriptorkismus atau testis retraktil.2

2.2 Epidemiologi
Undescended testis (UDT) atau cryptorchidism merupakan penyakit
endokrinologi tersering pada bayi laki-laki yang baru lahir. Insidennya bervariasi
antara 1% dan 4,6% pada bayi yang lahir cukup bulan, lebih tinggi pada bayi
prematur yaitu 45%. Kegagalan atau terlambatnya penanganan akan menyebabkan
infertilitas dan meningkatkan resiko untuk terkena kanker testis pada saat
dewasa.7
Sekitar sepertiga dari anak laki-laki prematur memiliki UDT setidaknya
di satu sisi, dibandingkan dengan 2-8% kejadian pada anak laki-laki yang lahir
cukup bulan. UDT turun secara spontan sebagian besar selama bulan pertama
kehidupan. Di antara usia 2 dan 4 bulan, hipofisis gonadotropin merangsang
peningkatan sekresi testosteron secara tiba-tiba yang memuncak sekitar usia 3-6
bulan. Gelombang singkat gonadotropin dan androgen ini dikenal sebagai "mini-
pubertas". Dengan demikian, insiden yang lebih rendah 1-2% dilaporkan pada
usia 3 hingga 12 bulan kehidupan. Menurut literatur, penurunan spontan testis
setelah usia 6 bulan jarang terjadi, oleh karena itu strategi "menunggu dengan
8

waspada" tidak dibenarkan pada anak-anak ini. UDT unilateral empat kali lebih
sering daripada bilateral. Analisis 2150 orchiopexies yang dilaporkan dalam tujuh
penelitian dari Denmark mengungkapkan 23% kejadian bilateral, 46% sisi kanan
dan 31% UDT sisi kiri.6

2.3 Embriologi
Sebelum minggu ke-7 atau ke-8 usia kehamilan, posisi gonad adalah sama
pada kedua jenis kelamin. Adanya gen penentu seks (SRY), mengawali
perkembangan genitalia interna dan eksterna, dan penurunan testis. Pada masa
awal embrio, testis memproduksi 3 hormon, yaitu testosterone yang diproduksi
oleh sel Leydig, insulin like hormon 3 (Insl3), dan Mullerian Inhibiting Substance
(MIS) atau anti mullerian hormon (AMH) yang diproduksi oleh sel Sertoli. Segera
setelah terjadinya diferensiasi gonad menjadi testis, sel Sertoli mulai
memproduksi MIS yang mengakibatkan regresi duktus Muller. Pada minggu ke-9,
sel Leydig memproduksi testosterone dan merangsang perkembangan struktur
wolff, termasuk epididimis dan vas deferens. Dengan regresi dari mesonefros
pada daerah urogenital dan regresi duktus paramesonefros (duktus Muller) oleh
MIS, testis dan duktus mesonefros (duktus Wolff) dilekatkan pada dinding perut
bagian posterior ke arah kranial oleh ligamentum genitalis kranial, dan ke arah
kaudal oleh ligamentum genitoinguinalis atau gubernakulum. Dengan regresi dari
4 mesonefros ini, testis juga memperoleh mesenterium yang memungkinkan testis
untuk berada di rongga perut.
Pada fase pertama dari penurunan testis, ligamentum suspensoris kranial
beregresi di bawah pengaruh androgen. Ujung kaudal dari gubernakulum yang
melekat pada dinding perut anterior mengalami penebalan, yang diketahui sebagai
reaksi pembengkakan yang dimediasi terutama oleh Insl 3. Proses ini
mengakibatkan dilatasi kanalis inguinalis dan membuat jalan untuk penurunan
testis. Fase pertama ini berlangsung hingga minggu ke-15 usia kehamilan.8
Pada sekitar minggu ke-25 usia kehamilan, prosesus vaginalis memanjang
di dalam gubernakulum dan membuat divertikulum peritoneal yang
memungkinkan testis untuk turun. Ujung distal dari gubernakulum lalu menonjol
9

keluar dari muskulatur perut dan mulai memanjang menuju skrotum. Antara
minggu ke-30 sampai minggu ke-35, ujung distal dari gubernakulum ini sampai di
skrotum. Testis bergerak turun di dalam prosesus vaginalis, yang tetap terbuka
hingga penurunan testis selesai, dan lalu mengalami obliterasi proximal. Fase ke-2
dari penurunan testis ini diatur oleh testosterone yang melepas suatu
neurotransmitter, yaitu calcitonin gene related peptide (CGRP), yang
menyebabkan perpindahan gubernakulum ke skrotum. Penurunan testis di dalam
prosesus vaginalis dibantu oleh adanya tekanan intra abdomen.8
10

2.4 Etiologi
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor
(multifaktorial) yaitu:4
1. Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau
gubernakulum.
2. Peningkatan tekanan abdomen.
3. Faktor hormonal: testosteron, MIS, and extrinsic estrogen.
4. Perkembangan epididimis.
5. Perlekatan gubernakular.
6. Genito-femoral nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP).
7. Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat.
UDT dapat disebabkan oleh kelainan dari kontrol hormon atau proses
anatomi yang diperlukan dalam proses penurunan testis secara normal. Kelainan
hormon androgen, MIS, atau Insl 3 jarang terjadi, tetapi telah diketahui dapat
menyebabkan UDT. Kelainan fase pertama dari penurunan testis juga jarang
terjadi. Sebaliknya, migrasi testis pada fase ke-2 dari penurunan testis adalah
proses yang kompleks, diatur oleh hormon, dan sering mengalami kelainan. Hal
ini ditunjukkan dengan gagalnya gubernakulum bermigrasi ke skrotum, dan testis
teraba di daerah inguinal. Penyebab dari kelainan ini masih tidak diketahui secara
pasti, namun kemungkinan disebabkan oleh tidak baiknya fungsi plasenta
sehingga menghasilkan androgen dan stimulasi gonadotropin yang tidak cukup.5
Beberapa gangguan jaringan ikat dan sistem saraf berhubungan dengan
UDT, seperti arthrogryposis multiplex congenita, spina bifida dan gangguan
hypothalamus. Kerusakan dinding abdomen yang menyebabkan gangguan
tekanan abdomen juga meningkatkan frekwensi UDT, seperti exomphalos,
gastroschisis, dan bladder exstrophy. Prune Belly syndrome adalah kasus yang
spesial di mana terjadi pembesaran kandung kemih yang menghalangi
pembentukan gubernakulum di daerah inguinal secara normal, atau menghalangi
penurunan gubernakulum dari dinding abdomen karena kandung kemih menjadi
sangat besar. Hal ini lalu menghalangi prosesus vaginalis membentuk kanalis
11

inguinalis secara normal dan oleh sebab itu testis tetap berada pada daerah intra
abdomen di belakang kandung kemih yang membesar tersebut.9

2.5 Patofisiologi
Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-20C lebih tinggi daripada
suhu di dalam skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang
lebih tinggi daripada testis normal, hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel
germinal testis.1,5,6
Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah
mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal
yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis
menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormone androgen
tidak ikut rusak, maka potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat lain
yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada diskrotum adalah mudah
terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi
maligna.5,8
Setelah lahir, jarak dari cincin inguinal interna ke skrotum memanjang
dari 4-5 cm ke 8-10 cm pada pubertas, yang berarti korda spermatika harus dua
kali lebih panjang. Kegagalan dari pemanjanan ini bisa menyebabkan testis
menjadi tidak turun. Masih belum jelas apakah undesensus testis terjadi karena
mekanisme ini atau berhubungan dengan kurangnya hormon androgen.6
Pemeliharaan suhu testis 2-7 ° C di bawah suhu tubuh sangat penting untuk
spermatogenesis. Ada lima anatomi unik dari skrotum yang penting untuk
termoregulasi:
a. Kulit skrotum tipis, seringkali tidak berambut, banyak kelenjar
keringat
b. Tunica dartos
c. Pleksus pampiniformis
d. Otot kremaster
e. Tidak adanya jaringan adiposa.
12

Penurunan gradien suhu skrotum 1-2 ° C cukup untuk menekan


spermatogenesis. Varikokel dan UDT dapat menyebabkan gangguan kesuburan
pria terkait dengan spermatogenesis abnormal. UDT menyebabkan testis
berkembang dalam suhu perut atau saluran inguinal yang cukup tinggi. Cedera
termal ini dimediasi oleh reaktif oksigen spesies dan protein heat-shock tertentu,
yang merusak sel germinal serta sel Sertoli. Orchiopexy walaupun dilakukan
sedini mungkin sebelum usia 1 tahun tidak dapat mencegah perubahan morfologi
postnatal pada testis. Spermatogenesis adalah proses di mana sel sperma
diproduksi yang terjadi di tubulus seminiferus. Gonosit janin / neonatus berubah
menjadi spermatogonia dewasa antara usia 3 dan 9 bulan, distimulasi oleh
lonjakan gonadotropin dan testosteron (mini-pubertas). Selanjutnya, setelah
periode tidak aktif, spermatosit primer terbentuk pada sekitar 5-6 tahun
kehidupan, dan spermatid muncul pada sekitar 10-11 tahun. Tidak semua gonosit
neonatal berubah menjadi spermatogonia dewasa. Gonosit yang tersisa mengalami
involusi dengan apoptosis, sehingga pada usia 2 tahun tidak ada yang tersisa di
testis. Testis yang tidak turun merusak transformasi gonosit untuk menjadi
spermatogonia dewasa dan memprogram kematian sel germinal. Penghambatan
transformasi ini menyebabkan kekurangan sel punca untuk spermatogenesis dan
terjadi infertilitas pasca pubertas, sementara germ sel yang tidak berdiferensiasi
dapat menjadi ganas setelah pubertas.
Transformasi gonosit yang rusak menjadi spermatogonia dewasa
berkorelasi dengan jumlah sperma abnormal setelah pubertas. Sejumlah penelitian
hasil jangka panjang telah menunjukkan bahwa kriptokodismus di masa lalu
dikaitkan dengan risiko 30-60% ketidaksuburan pada pria dewasa. Jumlah sel
benih berkurang sekitar seperempat dari bayi baru lahir dengan kriptokidismus.
Ditemukan bahwa ada tanda-tanda degenerasi dini pada testis dengan
mikroskop elektron pada sekitar usia 12 bulan. Kurangnya germ sel telah
dilaporkan dari usia 12, dan terutama dari usia 18 bulan, dan oleh karena itu
operasi telah direkomendasikan sebelum usia 12 atau 18 bulan. Risiko infertilitas
pada usia dewasa secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan UDT bilateral.
Sekitar 10% pria tidak subur memiliki riwayat kriptokidismus dan orchidopexy.
13

Jika tidak diobati, UDT bilateral menyebabkan azoospermia pada 89% pria
dewasa. Jika orchiopexy bilateral dilakukan pada masa kanak-kanak, sekitar 28%
dari pria ini memiliki setidaknya 20 juta sperma / ml ejakulasi. Sekitar 50% pria
dengan UDT unilateral yang tidak diobati memiliki setidaknya 20 juta sperma / ml
dibandingkan dengan sekitar 70% setelah orchiopexy.

2.6 Klasifikasi
UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:
1. UDT sesungguhnya ( true undescended : testis mengalami penurunan parsial
melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba
(palpable) dan tidak teraba ( Nonpalpable)
2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke kanalis inguinalis,
bukan termasuk UDT yang sebenarnya.

Klasifikasi berdasarkan etio patogenesis :


1. Mekanis / anatomik (perleketan-perleketan, kelainan kanalis inguinalis
dll)
2. Endokrin / hormonal ( kelainan axis hipotalamus-hipofisis-testis)
3. Disgenetik (kelainan interseks multiple)
4. Herediter/ genetik

Klasifikasi berdasarkan lokasi :


1. Skrotal tinggi (supraskrotal) : 40 %
2. Intrakanalikuler ( inguinal ) : 20 %
3. Intraabdominal (abdominal) : 10%
4. Terobstruksi : 30 %
14

Gambar 3. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.

UDT sesungguhnya dapat dibedakan menjadi palpable dan nonpalpable.


Palpable UDT dapat ditemukan sepanjang jalur penurunan testis yang normal atau
di daerah lain seperti di daerah inguinal, perineum, kanalis femoralis, penopubic,
dan hemiskrotum kontralateral atau sering disebut ectopic testis. Sedangkan
retractil testis adalah testis yang sudah berhasil turun sampai ke skrotum akan
tetapi dapat ditemukan lagi di sepanjang jalue penurunan testis karena refleks
kremaster yang berlebihan. Nonpalpable UDT testis mungkin tidak teraba karena
lokasinya pada intra abdomen, inguinal, kanalis inguinalis ataupun memang tidak
terbentuknya testis (absent).5,7
15

2.7 Manifestasi Klinis


Pada sebagian besar kasus UDT, testis berada pada leher skrotum atau di
luar annulus inguinalis eksternal. Testis sering berada sedikit ke lateral dari
annulus inguinalis eksternal di ruang subkutan di bawah fascia Scarpa. Posisi ini
biasanya bukan disebabkan oleh karena migrasi ectopic dari gubernakulum,
melainkan oleh karena lapisan fascia dari dinding abdomen. Bahkan testis masih
berada pada sebuah mesentery di dalam tunika vaginalis. Adanya mesentery ini
berarti testis dapat berpindah di dalam tunika vaginalis saat dilakukan palpasi.
Panjang spermatic cord pada bayi adalah sekitar 4-5cm dari annulus
inguinalis eksternal sampai ke puncak testis. Sebaliknya, panjang spermatic cord
pada anak usia 10 tahun adalah sekitar 8-10cm. Hal ini dikarenakan oleh
perubahan bentuk pelvis sehingga jarak antara annulus inguinalis eksternal
dengan skrotum semakin bertambah. Perlunya spermatic cord untuk memanjang
ini kini diketahui sebagai kemungkinan penyebab dari acquired UDT. Sebagian
besar acquired UDT ini disebabkan oleh karena kegagalan obliterasi dari prosesus
vaginalis yang menyisakan fibrosa yang tidak dapat memanjang sesuai dengan
bertambahnya usia.
16

2.8 Diagnosis
a. Anamnesis
1. Tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum
2. Riwayat operasi daerah inguinal
3. Riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi,
kehamilan kembar, prematuritas.
4.Riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas, intersex,
pubertas prekoks4

b. Pemeriksaan Fisik
Saat pemeriksaan fisik kondisi pasien harus dalam keadaan
relaksasi dan posisi seperti frog-leg atau crosslegged. Pada pasien yang
terlalu gemuk, dapat dilakukan dalam posisi sitting cross-legged atau
baseball catcher’s. Tangan pemeriksa harus dalam keadaan hangat untuk
menghindari tertariknya testis ke atas. UDT dapat diklasifikasi
berdasarkan lokasinya menjadi:
1. Skrotum atas
2. Kantong inguinal superfisial
3. Kanalis inguinalis
4. Abdomen
Untuk kepentingan klinis dan penatalaksanaan terapi, klasifikasi
cukup dibedakan menjadi teraba atau tidak. Pemeriksaan testis
kontralateral juga perlu dilakukan . Pemeriksaan fisik dimulai dari antero-
superior iliac spine, meraba daerah inguinal dari lateral ke medial dengan
tangan yang tidak dominan. Jika teraba testis, testis dipegang dengan
tangan dominan dan ditarik ke arah skrorum Pemeriksaan skrotum untuk:
hypoplastic, bifid, rugae, transposition, pigmentation. Pemeriksaan fisik
juga untuk menyingkirkan ektopik testis. Angka keberhasilan pemeriksaan
fisik oleh pediatric urologist mencapai 84%.4
Pemeriksaan fisik yang dilakukan di ruangan yang hangat.
Pemeriksaan fisik ini bertujuan untuk mengetahui lokasi testis jika teraba,
17

dan untuk menentukan posisi terendah di mana testis dapat dimanipulasi.


Diagnosis UDT pada bayi dapat langsung ditegakkan jika skrotum terlihat
tipis dan bergantung. Pada anak dengan usia yang lebih besar, diagnosis
mungkin lebih sulit untuk ditegakkan, terutama pada anak dengan
obesitas.5
Pasien sebaiknya diperiksa dalam 2 posisi, yaitu posisi supinasi dan
duduk. Pada posisi duduk, pasien bersandar pada kedua tangan, menekuk
lutut, dan telapak kaki saling menyentuh satu sama lain. Observasi dimulai
dengan melihat ada atau tidaknya testis dan hipoplasia skrotum. Manuver
yang dilakukan untuk menentukan posisi testis adalah meraba daerah
sepanjang kanalis inguinalis dari annulus internal menuju
skrotum. Selain kedua posisi tersebut, posisi jongkok juga dapat
membantu untuk menentukan posisi testis.5

c. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pada pasien dengan UDT unilateral atau bilateral dengan satu
testis teraba, tidak diperlukan pemeriksaan lanjutan.
2. UDT bilateral dengan tanpa testis yang teraba dengan
hipospadia, perlu dilakukan evaluasi kromoson dan
endokrinologi. Pada pasien usia 3 bulan atau kurang:
pemeriksaan LF, FSH dan testosteron untuk menentukan ada
18

testis atau tidak. Pasien usia > 3 bulan: dapat dilakukan tes
stimulasi hCG kegagalan kenaikan testosteron dengan
peningkatan LH/FSH dapat didiagnosis dengan diagnosa
anorchia.4

d.Pemeriksaan Imajing
Pemeriksaan USG, CT dan MRI dapat mendeteksi testis di daerah
inguinal, akan tetapi testis di daerah ini juga cukup mudah untuk dipalpasi.
Akurasi USG dan CT akan menurun menjadi 0 – 50% pada kasus testis
intraabdomen. Sedangkan MRI dikatakan memiliki akurasi mencapai
90%. Pemeriksaan radiologi tidak mengubah keputusan tindakan pada
setiap kasus.4

f. Pemeriksaan Lain
Saat ini pada pasien yang tidak teraba testis, pemeriksaan dilakukan
dengan berbagai cara yaitu pemeriksaan dalam anestesia, eksplorasi
terbuka daerah inguinal atau laparoskopi.4

2.9 Diagnosis Banding


Dasar pertimbangan diagnosis ialah tidak adanya testis di skrotum.
Diagnosis banding meliputi testis letak ektopik dan testis retraktil. Testis retraktil
disebabkan oleh hiperaktivitas muskulus kremastes, terutama sewaktu ada
rangsangan karena dingin atau sentuan. Testis retraktil kadang sukar dibedaka dari
kriptokismus karena keadaan retraksi sewaktu anak menghadapi pemeriksaan.
Testis sering dapat diturunkan dengan penekanan halus. Keadaan testis retraktil
selalu bersifat sementara.9
Selain itu maldesensus testis perlu dibedakan dengan anorkismus yaitu
testis memang tidak ada. Hal ini bisa terjadi secara kongenital memang tidak
terbentuk testis atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio
pada saat neonatus.11
19

BAB III
TATALAKSANA UNDENSENSUS TESTIS

3.1 Tatalaksana
Alasan utama dilakukan terapi adalah
1. Meningkatnya risiko infertilitas
2. Meningkatnya risiko keganasan testis
3. Meningkatnya risiko torsio testis
4. Risiko trauma testis terhadap tulang pubis
5. Faktor psikologis terhadap kantong skrotum yang kosong

Faktor yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan UDT adalah:


1. Identifikasi yang tepat anatomi, posisi dan viabilitas testis
2. Identifikasi kemungkinan kelainan sindrom yang menyertai
3. Penempatan testis di dalam skrotum dengan baik untuk mencegah
kerusakan testis terhadap fungsi infertitilitas atau endokrin.
4. Fiksasi permanen testis pada posisi normal dalam skrotum yang
memudahkan pemeriksaan palpasi
5. Perlindungan kerusakan testis lebih lanjut akibat terapi

a. Terapi Hormonal
Kriptokismus dapat diatasi dengan pemberian hormon
gonadotropin sewaktu usia satu tahun yang dapat diulangi sebelum anak
usia enam tahun. Fertilitas anak tidak dipengaruhi oleh pengobatan ini.
Sewaktu pemberian hormon mungkin timbul bulu pubis dan pembesaran
penis sedikit, tetapi tanda ini akan hilang setelah pengobatan hormon ini
selesai.9
Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon
yang diberikan adalah hCG, gonadotropinreleasing hormone (GnRH) atau
LH-releasing hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi
20

testosteron dengan menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-


pituitary-gonadal. Terapi ini berdasarkan observasi bahwa proses turunnya
testis berhubungan dengan androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila
diberikan hCG dibandingkan GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin
besar kemungkinan keberhasilan terapi hormonal. International Health
Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250 IU/ kali pada bayi, 500
IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak lebih dari 6
tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka
keberhasilannya 6 – 55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif pada
beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau
UDT bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum,
pigmentasi, rambut pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih
dari 15000 IU dapat menginduksi fusi epiphyseal plate dan mengurangi
pertumbuhan somatik.5,6,10

b. Pembedahan
Prinsip dari pembedahan untuk menangani UDT adalah untuk
memindahkan testis dan meletakkannya di dalam skrotum. Pembedahan
ini disebut dengan orchiopexy. Biasanya orchidopexy langsung dilakukan
jika testis telah pasti diketahui terletak pada leher skrotum atau pada
daerah inguinal. Jika testis terletak pada daerah intra abdomen,
laparoskopi dapat dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan letak testis.
Kemudian, akan diputuskan apakah orchidopexy akan dilakukan dalam
satu atau dua tahap.5,9
Waktu yang optimal untuk melakukan orchidopexy adalah saat
anak berusia antara 3-12 bulan, di mana usia 6-12 bulan adalah waktu
yang paling baik. Pembedahan dalam menangani UDT dibedakan
berdasarkan apakah testis dapat teraba atau tidak (gambar 4). Kesembuhan
post operasi dari prosedur orchidopexy sangat cepat, di mana setelah
beberapa hari, pasien dapat kembali melakukan aktivitas penuh. Olahraga
mungkin perlu dihindari dalam 1-2 minggu. Pemeriksaan lebih lanjut perlu
21

dilakukan setelah 6-12 bulan untuk meyakinkan bahwa atrophy tidak


terjadi. Saat anak telah berumur 14 tahun, pemeriksaan terhadap pubertas
dan kemungkinan terjadinya infertilitas dan keganasan juga perlu
dilakukan. Prinsip dasar orchiopexy adalah :
1. Mobilisasi yang cukup dari testis dan pembuluh darah
2. Ligasi kantong hernia
3. Fiksasi yang kuat testis pada skrotum4
Testis sebaiknya direlokasi pada subkutan atau subdartos pouch
skrotum. Tindakan operasi sebaiknya dilakukan sebelum pasien usia 2
tahun, bahkan beberapa penelitian menyarankan pada usia 6 – 12 bulan.
Penelitian melaporkan spermatogonia akan menurun setelah usia 2 tahun.
Indikasi absolut dilakukan operasi pembedahan primer adalah
1. Kegagalan terapi hormonal
2. Testis ektopik
3. Terdapat kelainan lain seperti hernia dengan atau tanpa prosesus
vaginalis yang terbuka4

1). Palpable UDT


Penanganan utama pada palpable UDT adalah orchidopexy dan
membuat kantong subdartos (gambar 5). Tingkat kesuksesan dari tindakan
tersebut mencapai 95%, dengan testis tetap berada di dalam skrotum dan
tidak mengalami atrophy.5
Pembedahan biasanya dilakukan dengan anastesi umum, dan
pasien dalam posisi supinasi. Insisi dilakukan sepanjang garis Langer, di
atas annulus internal. Aponeurosis oblique eksternal diinsisi ke arah lateral
dari annulus eksternal sesuai dengan arah serat seratnya, dan dilakukan
dengan hati-hati agar tidak melukai saraf ilioinguinalis. Testis dan
spermatic cord lalu dibebaskan. Vas deferens dan pembuluh-pembuluh
darahnya dipisahkan dari Tunica vaginalis. Prosesus vaginalis dipisahkan
dari struktur cord dan diligasi di annulus internal. Pemotongan secara
22

retroperitoneal pada annulus internal dapat memperpanjang cord sehingga


testis dapat mencapai skrotum.10
Sebuah tembusan dibuat dari kanalis inguinalis ke dalam skrotum
dengan menggunakan satu jari atau sebuah clamp besar. Kantong
subdartos dibuat dengan meletakkan satu jari melalui tembusan dan
meregangkan kulit skrotum. Insisi sepanjang 1-2 cm dilakukan pada kulit
skrotum yang diregangkan dengan jari tersebut. Sebuah clamp lalu
diletakkan di jari operator, dan ujungnya dipandu ke dalam kanalis
inguinalis dengan menarik jari. Clamp kemudian digunakan untuk
menjepit jaringan di antara testis. Clamp lalu ditarik untuk membawa testis
ke dalam kantong. Menjepit testis atau vas deferens secara langsung harus
dihindari agar tidak menimbulkan luka.7
Jika testis sudah berada di dalam kantong, leher kantong dijahit
sehingga menjadi lebih sempit untuk mencegah testis tertarik naik
kembali. Saat ini, pengukuran dan biopsi testis bisa dilakukan. Kulit
skrotum lalu ditutup. Aponeurosis oblique eksternal disatukan kembali
dengan penjahitan absorbable. Kulit dan jaringan subkutis ditutup dengan
penjahitan subkutis. Setelah beberapa minggu, luka bekas operasi perlu
diperiksa, dan 6-12 bulan kemudian pemeriksaan testis perlu dilakukan.
Posisi dan kondisi akhir dari testis perlu diperhatikan. Walaupun jarang
terjadi, atrophy dan retraksi dapat muncul sebagai komplikasi.5

2). Nonpalpable UDT


Penanganan nonpalpable UDT dapat dimulai dengan eksplorasi
inguinal ataupun laparoskopi diagnostik. Laparoskopi diagnostik dapat
dilakukan melalui umbilikus. Apabila pembuluh-pembuluh darah testis
terlihat keluar dari annulus internal, insisi pada daerah inguinal dilakukan
untuk menentukan lokasi testis. Orchidopexy dilakukan jika testis dapat
ditemukan. Jika pembuluh-pembuluh darah berakhir di dalam kanalis
inguinalis, ujung dari pembuluh darah tersebut dapat diambil untuk
dilakukan pemeriksaan patologis. Adanya sisa dari jaringan testis atau
23

hemosiderin dan kalsifikasi merupakan indikasi dari kemungkinan


terjadinya perinatal torsion dan resorption testis.4,5
Jika melalui laparoskopik diagnostik testis diketahui berada pada
daerah intra abdomen, terdapat beberapa pilihan tindakan. Pada Fowler-
Stephens orchidopexy, dilakukan ligasi pembuluh-pembuluh darah testis
secara laparoskopik atau laparotomy, yang membuat kelangsungan hidup
testis bergantung pada arteri cremaster. Untuk alasan ini, Fowler-Stephens
orchidopexy adalah pilihan yang kurang tepat jika sebelumnya telah
dilakukan eksplorasi inguinal yang membahayakan suplai vaskuler ke
testis. Setelah ligasi dilakukan, orchidopexy dilakukan setelah sekitar 6
bulan untuk memberikan waktu pertumbuhan sirkulasi kolateral. Tingkat
kesuksesan dari prosedur ini mencapai lebih dari 90%, dengan testis tetap
berada di dalam skrotum dan tidak mengalami atrophy. Tindakan lain
yang dapat dilakukan jika testis berada pada daerah intra abdomen adalah
orchidopexy mikrovaskuler (autotransplantasi) dan orchidectomy.5,7
Komplikasi yang dapat timbul akibat Orchiopexy:4,6
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang
tidak komplit (10% kasus).
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5%
kasus).
3. Trauma pada vas deferens ( 1–2% kasus).
4. Pasca-operasi torsio.
5. Epididimoorkhitis.
6. Pembengkakan skrotum.
24

Gambar 3.1 Orchiopexy

3.2 Prognosis
Prediksi mengenai fertilitas dan keganasan masih dalam kontroversi,
dikarenakan oleh perkembangan yang pesat dalam pemahaman dan penanganan
UDT dalam 25 tahun terakhir. Infertilitas mungkin terjadi pada 1 dari 4 laki-laki
dewasa dengan riwayat unilateral UDT dan pada 3 dari 4 laki-laki dewasa dengan
riwayat bilateral UDT. Resiko terjadinya keganasan meningkat sebanyak 5-10 kali
lebih tinggi pada laki-laki dengan riwayat unilateral UDT. Tidak diketahui apakah
prognosis akan membaik jika orchidopexy dilakukan saat anak berusia jauh lebih
25

muda daripada saat anak berusia lebih lanjut. Namun, suatu meta analisis
menunjukkan bahwa orchidopexy yang dilakukan saat anak berusia lebih dari 10
tahun memiliki resiko 6 kali lebih tinggi untuk mengalami keganasan, daripada
orchidopexy yang dilakukan saat anak berusia kurangdari 10 tahun.2.5
26

BAB IV
KESIMPULAN

1. Undenscended testis (UDT) atau cryptorchidism merupakan kelainan


kongenital berupa satu atau kedua testis tidak berada pada skrotum.
2. Disarankan untuk menunggu testis turun spontan dalam usia 6 bulan
pertama.
3. Jika tidak turun spontan dalam usia 6 bulan, dilakukan tindakan operasi
(orchiopexy) pada usia 12 bulan-18 bulan. Jika baru terdiagnosis setelah
usia 6 bulan harus segera dirujuk ke spesialis bedah.
4. Pada anak lelaki prepubertal dengan kriptorkismus yang teraba, dilakukan
tindakan skrotal atau inguinal orkhidopeksi (untuk manipulasi dan fiksasi
testis pada skrotum).
5. Pada anak lelaki prepubertal dengan kriptorkismus yang tidak teraba, akan
dilakukan laparoskopi (orchiopexy abdominal) diikuti explorasi inguinal.
6. Anak lelaki dengan kontralateral testis normal, akan dilakukan
orkhiektomi (membuang testis yang tidak turun/undescended testis) jika :
- Pembuluh darah testis serta vas deferens sangat pendek.
- Testis dismorfik atau sangat hipoplatik.
- Usia postpubertal
7. Infertilitas mungkin terjadi pada 1 hingga 3 dari 4 laki-laki dewasa dan
resiko terjadinya keganasan meningkat sebanyak 5-10 kali lebih tinggi
pada laki-laki dengan riwayat undescended testis.
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Suryawan, I.W dkk. 2017. Panduan Praktik Klinis Diagnosis dan Tatalaksana
Kriptorkismus. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta.
2. Burhan, H.W. dkk. 2015. Angka Kejadian Undesensus Testis Di RSUP Prof
Dr. R. D. Kandou Manado. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi: Manado.
3. Suryansyah, A. 2011. Karakteristik UDT (Undescended Testis) di RSAB
Harapan Kita. Sari Pediatri , Vol. 13, No. 1, Juni 2011 : Jakarta.
4. Firdaoesaleh, 2007. Diagnosis dan Penatalaksanaan Undescended Testis.
Departemen Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume:
57, Nomor: 1, Januari 2007: Jakarta
5. Handrea, W.L. 2012. Diagnosis Dan Tatalaksana Undescended Testis.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana : Bali.
6. Niedzielski, J.K. dkk. 2016. Undescended testis – current trends and
guidelines: a review of the literature. Department of Pediatric Surgery and
Urology, Medical University of Lodz. : Poland.
7. Radmayr, C. Dkk. 2016. Management of Undescended Testes European
Association of Urology/European Society for Paediatric Urology
Guidelines. Journal of Pediatric Urology 12, 336-343. Elsevier
8 Sadler, T.W. 2014. Embriologi Kedokteraan Langman. Jakarta: EGC.
9 De Jong W, Sjamsuhidajat R,. 2010. Buka Ajar Ilmu Bedah, Edisi 3, Jakarta
EGC, hal 471 -497.
10 Sherwood, L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta:
EGC.
11 Purnomo, B.B. 2014. Dasar-dasr Urologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto.

Anda mungkin juga menyukai