LAPORAN KASUS
Oleh :
H1AP20001
Pembimbing :
KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU / RS BHAYANGKARA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
HALAMAN PENGESAHAN
NPM : H1AP20001
Fakultas : Kedokteran
Bagian : Anestesi
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. AKBP. Dr. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp. An sebagai pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan,
petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual
kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan
kasus ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak. Penulis sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi semua.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.3 Manfaat...........................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................3
2.1 Anamnesis......................................................................................................3
2.2 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................5
2.3 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................15
3.1 Kehamilan Plasenta Previa...........................................................................15
3.2 Seksio Sesaria...............................................................................................19
3.2.1Definisi Seksio Sesarea..............................................................................19
3.3 Spinal Anastesi.............................................................................................26
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................33
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................42
4.1 Simpulan.....................................................................................................42
4.2 Saran...........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................44
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen
bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang
ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya
rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan 1.
Prevalensi kejadian plasenta previa di dunia diperkirakan sekitar 0.52%.
Prevalensi plasenta previa tertinggi terdapat wilayah Asia yaitu sekitar 1,22%
sedangkan untuk wilayah Eropa lebih rendah yaitu 0,36%. Amerika Utara 0,29%
dan Sub-Sahara Afrika 0,27% 2. Faktor risiko timbulnya plasenta previa belum
diketahui secara pasti namun dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa frekuensi
plasenta previa tertinggi terjadi pada ibu yang berusia lanjut, multipara, riwayat
seksio sesarea dan aborsi sebelumnya serta gaya hidup yang juga dapat
mempengaruhi peningkatan resiko timbulnya plasenta previa1,3,4.
Plasenta previa merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum.
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terdai pada kehamilan
diatas 28 minggu5. Komplikasi yang diakibatkan oleh perdarahan antepartum
adalah maternal shock, fetal hypoxia, peningkatan risiko kelahiran prematur, dan
kematian janin mendadak. Hal ini menyebabkan perdarahan antepartum memiliki
risiko yang tinggi, bahkan juga untuk janin2.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.
Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi
regional. Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada pasien
obstetri yaitu blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok
kaudal. Anestesia spinal aman untuk janin, namun selalu ada kemungkinan bahwa
tekanan darah pasien menurun dan akan menimbulkan efek samping yang
1
2
berbahaya bagi ibu dan janin. Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada
ibu selama anestesia harus diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat
membahayakan keadaan janin, bahkan dapat menimbulkan kematian ibu.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain aspirasi paru, gangguan respirasi,
dan gangguan kardiovaskular6.
1.2 Tujuan
1. Menganalisis persiapan pre-anestesi terhadap pasien G3P2A1 hamil aterm
dengan plasenta previa belum inpartu janin tunggal hidup presentasi
kepala.
2. Menganalisis intra-operatif seksio sesarea transprofunda (SSTP) terhadap
pasien G3P2A1 hamil aterm dengan plasenta previa belum inpartu janin
tunggal hidup presentasi kepala.
3. Menganalisis post-operatif SSTP terhadap pasien G3P2A1 hamil aterm
dengan plasenta previa belum inpartu janin tunggal hidup presentasi
kepala.
1.3 Manfaat
1. Kesempatan bagi penulis untuk mengintegrasikan ilmu yang telah didapat
selama stase anastesi dan terapi intensif dengan melakukan pembedahan
kasus secara ilmiah
2. Menambah pengetahuan dan pengalaman
3. Hasil laporan kasus dapat dijadikan sumber kepustakaan mengenai
regional anastesi pada pasien G3P2A1 hamil aterm dengan plasenta previa
belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
Alloanamnesis
1. Identitas
Nama : Ny. A
Med.Rec : 832503
Umur : 29 tahun
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Penarik, Muko-Muko
MRS : 3 Januari 2021
2. Riwayat Perkawinan
4. Riwayat Reproduksi
Menarche : 13 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur
Lama haid : 5-7 hari
Hari pertama haid terakhir : 25 Maret 2020
Taksiran persalinan : 28 Desember 2020
KB : Pernah (suntik ±10 tahun)
5. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. Hamil aterm anak pertama tanggal 25 Mei 2008 melalui persalinan
spontan.
2. Abortus
3. Hamil ini
3
4
8. Anamnesis Khusus
Keluhan utama :
Hamil anak ke tiga cukup bulan dengan keluar darah dari kemaluan.
5
1. Status Present
Kesadaran : Compos Mentis
Tipe badan : piknikus
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 155 cm
2
IMT : 29,16 kg/m
Tekanan darah : 160/110 mmHg
Nadi :85x/menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu : 36,5°C
2. Status Generalis
a. Kepala
Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas
Rambut : Hitam, tidak rontok, tersebar merata
b. Wajah
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak pucat
6
c. Mata
Konjungtiva : Tidak anemis
Sclera : Tidak ikterik
Pupil : Isokhor, reflek cahaya langsung +/+
Reflek cahaya tidak langsung +/+
Gerakan bola mata baik
d. Telinga : Simetris, sekret (-), NT tragus (-
e. Hidung
Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas
Septum : Terletak di tengah dan simetris
i. Thoraks
- Paru : Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan
Inspeksi
: Stem fremitus dinding dada kiri sama
Palpasi
dengan dinding dada kanan
Perkusi
: Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
7
- Jantung
: Iktus kordis tidak terlihat
Inspeksi
: Iktus kordis teraba di ICS V LMC sinistra
Palpasi
: Batas atas jantung ICS II, batas kanan
Perkusi jantung linea parasternalis dekstra, batas kiri
jantung ICS V LMC sinistra.
:: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-)
Auskultasi
gallop (-)
j. Abdomen
St. Obstetri:
Pemeriksaan Luar : FUT 3 jari di bawah prosesus xipoideus (31 cm),
memanjang, punggung kiri, kepala, u 5/5, His -,
DJJ: 136 x/menit , TBJ: 2945 gram
k. Ekstremitas
- Tidak tampak deformitas
- Akral hangat pada keempat ekstremitas, CRT <2”
- Terdapat edema pada kedua ekstremitas inferior, pitting edema (-)
E. Kesan Anastesi
Wanita 29 tahun hamil aterm dengan plasenta previa status fisik ASA II
F. Penatalaksanaan
G. Pre-Operatif
a. Amankan Diri
Pesiapan diri pre-anastesi pada kasus ini sebagai berikut
1. Sehat mental, fisik, jasmani, dan rohani.
9
b. Amankan Pasien
Anamnesis pasien menanyakan keluhan pasien, riwayat operasi, riwayat
alergi, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat merokok dan mengkonsumsi
alkohol. Melakukan pemeriksaan fisik pada pasien. Informed Consent
Pembedahan dan Pembiusan dengan status ASA II. Premedikasi yang
Ondansentron 4 mg. Makan terakhir pukul 22:00 WIB, cairan infus yang
diberikan Ringer Laktat dengan cairan pengganti puasa: 6 jam x 2 ml/kg jam x 70
kg = 840 cc.
Lakukan pemeriksaan 6B pada pasien yang akan dioperasi. Pemeriksaan 6B
pada kasus ini sebagai berikut.
B1 (Breath)
B2 (Blood)
Temperatur : 36,5 ⁰C
B3 (Brain)
Refleks patologis :-
Riwayat kejang :-
Nyeri kepala :-
Pandangan kabur :-
Muntah proyetil :-
B4 (Bladder)
Urin :+
Volume : Cukup
Kateter :+
B5 (Bowel)
NGT :-
B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka :-
e. Amankan Lingkungan
Memastikan lingkungan tempat operasi sudah siap dan lengkap untuk
digunakan.
H. Intra-Operatif
a. Induksi anestesi
Anestesi regional dengan teknik spinal (subarachnoid) menggunakan
bupivacain konsentrasi 0,5% hyperbarik sebanyak 3 cc (15mg).
b. Prosedur anestesi
Prosedur Anastesi regional pada kasus ini sebagai berikut
16.00 160/100 130 100% Masuk ruang operasi, sebelum masuk ruang
operasi pasien sudah diberikan obat
13
EBV : 65 x 70 kg = 4.550 cc
Penanganan Post-Operatif
3.1.2 Patofisiologi
Plasenta previa adalah terjadinya penutupan jalan lahir oleh plasenta pada
ostium serviks. Penutupan pada ostium serviks dapat terjadi secara total atau
sebagian. Hampir 90% dari plasenta yang diidentifikasi berada di bagian bawah
dari jalan lahir pada akhirnya akan menghilang pada trisemester ketiga karena
15
16
3.1.3 Klasifikasi
Menurut Prawirohardjo (2010), klasifikasi plasenta previa adalah sebagai
berikut:
1. Plasenta previa totalis
Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh
ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis
Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium
uteri internum.
3. Plasenta previa margnalis
Plasenta previa margnalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir
ostium uteri internum.
4. Plasenta previa letak rendah
Plasenta previa letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak
17
lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum.Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap
plasenta letak normal7.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan luar bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas
panggul.
Pemerksaan inspekulo : pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari ostium uteri internum atau dari kelainan serviks dan
vagina. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri internum, adanya
plasenta previa harus di curigai13.
18
3.1.6 Penatalaksanaan
Prinsip dasar yang harus segera dilakukan pada semua kasus perdarahan
antepartum adalah menilai kondisi ibu dan janin, melakukan resusitasi secara tepat
apabila diperlukan, apabila terdapat fetal distress dan bayi sudah cukup matur
untuk dilahirkan maka perlu dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan dan
memberikan Imunoglobulin anti D pada semua ibu dengan rhesus negatif15.
Penanganan ibu dengan plasenta previa simtomatik meliputi : setelah
terdiagnosis maka ibu disarankan untuk rawat inap di rumah sakit, tersedia darah
19
dapat dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada
vesika urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada
segmen bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan
kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Teknik ini juga
memiliki beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit,
kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan
kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar.
c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus
setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan
tindakan lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau
pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior
ke dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam
praktek obstetri
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung
kemih ke bawah atau ke garis tengah.
3. Indikasi Janin adalah ancaman gawat janin (fetal distress), bayi besar
(makrosemia), letak sungsang (presentasi bokong), faktor plasenta:
plasenta previa, solusio plasenta, plasenta akreta. Kelainan tali pusat:
prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat.
maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh Mahdi
(1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah gawat
janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %).
Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya.
Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingkan dengan persalinan
pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani seksio sesarea berasal
dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan tromboemboli dan
perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka.
Angka morbiditas ibu meningkat dua kali lipat pada kelahiran Sesar
dibandingkan dengan kelahiran pervaginam. Penyebab utama yaitu infeksi nifas,
perdarahan dan tromboemboli. Penelitian lain melaporkan bahwa riwayat kejadian
laserasi kandung kemih akibat seksio sesarea adalah 1,4 per 1000 tindakan Sesar
dan insiden cedera ureter adalah 0,3 per 1000 tindakan Sesar. Walaupun cedera
kandung kemih dapat segera diketahui, diagnosis cedera ureter sering terlambat
ditemukan. Wanita dengan riwayat seksio sesarea mengalami kejadian ruptur
uterus yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelahiran pervaginam.
Semua morbiditas ini dan meningkatnya angka pemulihan mennyebabkan
peningkatan biaya dua kali lipat pada pelahiran Sesar daripada pelahiran
pervaginam.
23
3.2.6 Diagnosis
Riwayat seksio sesarea tidak harus selalu diikuti dengan tindakan seksio
sesarea pada persalinan berikutnya. Percobaan Persalinan Pervaginam pada Pasien
Pernah Seksio (P4S) dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi
uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam.
Kriteria seleksi pasien yang mencoba Persalinan Pervaginam pada Pasien Pernah
Seksio (P4S) atau Vaginal Birth After Caesarea (VBAC) menurut American
College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), yaitu:
1. Satu kali riwayat seksio dengan insisi transversal rendah
2. Pelvis adekuat secara klinis
3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptur uteri
4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor persalinan dan
melakukan seksio sesarea segera (dalam waktu 30 menit)
5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio sesarea
segera.
Beberapa persyaratan lainnya antara lain:
1. Tidak ada indikasi seksio sesarea (lintang, plasenta previa)
2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea
sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan).
3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai.
4. Tersedia darah untuk transfusi.
5. Janin presentasi verteks normal.
6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas)
7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat.
8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.
Nilai*
1 Nilai bishop ≥ 4 0 4
3 Indikasi SC sebelumnya
-kategori A 0 6
Malpresentasi
Gemeli
-kategori B 0 5
Prematuritas
-kategori C 0 4
Fetal distress
26
-kategori D 0 3
Makrosomia
aferen yang bersifat temporer. Jenis – jenis analgesia regional adalah blok
saraf, blok pleksus brakhialis, blok spinal subarachnoid, blok spinal
epidural dan blok regional intravena.
Analgesia spinal ialah pemberian obat anestetik local ke dalam ruang
subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local
ke dalam ruang subaraknoid.
1. Indikasi
a) Bedah ekstremitas bawah
b) Bedah panggul
c) Tindakan sekitar rectum – perineum
d) Bedah obstetric – ginekologi
e) Bedah urologi
f) Bedah abdomen bawah
2. Kontraindikasi Absolut
a) Pasien menolak
b) Infeksi pada tempat suntikan
c) Hipovolemia berat, syok
29
3.3.4
Peralatan Analgesia Spinal
a) Peralatan monitor; tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG
b) Peralatan resusitasi/anesthesia umum
30
3.3.5 T
eknik Analgesia Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
a) Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain ialah duduk.
31
Gambar 3.5 Posisi pasien pada anastesi spinal (posisi duduk dan lateral dekubitus)
a) Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi „venous pooling‟. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml
sebelum tindakan.
b) Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.
c) Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas.
d) Trauma pembuluh darah
e) Trauma saraf
f) Mual-muntah
g) Gangguan pendengaran
h) Blok spinal tinggi, atau spinal total
K
omplikasi pasca tindakan
a) Nyeri tempat suntikan
b) Nyeri punggung
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urin
e) Meningitis
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini didiagnosis G3P2A1 hamil aterm belum inpartu dengan
plasenta previa janin tunggal hidup presentasi kepala dengan status fisik ASA II
dan akan dilakukan tindakan pembedahan berupa sectio caeseria. Pada
pembedahan tersebut akan dilakukan anestesi spinal karena memenuhi indikasi
untuk dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah obstetri – ginekologi dan
merupakan tindakan pembedahan yang berlokasi di abdomen bawah. Pada
tindakan pembedahan tersebut juga tidak terdapat kontraindikasi dari
anestesi spinal. Atas dasar tersebut maka, anestesi spinal menjadi pilihan. Pada
kasus ini menggunakan obat Bunascan yang mengandung Bupivacaine HCL 15
mg yang di disuntikkan memakai jarum spinal no.26 pada regio L3 – L4.
Bunascan berisi bupivacain, merupakan anestesi lokal yang digunakan untuk
mencegah rasa nyeri dengan memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara
reversible. Obat menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi
saat di dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan molekul-
+
molekul ini memblok kanal Na , serta mencegah pembentukan potensial aksi.
Bupivacaine memiliki onset 5 – 8 menit dengan durasi sampai 150 menit. Dosis
bupivacaine untuk blokade hingga T10 adalah 8-12 mg, sedangkan hingga
blockade T4 adalah 14-20 mg Bupivacaine memiliki periode analgesia yang tetap
setelah kembalinya sensasi.Pada pasien ini diberikan medikasi preoperative
ondansetron Hcl 4 mg untuk mencegah emesis selama durante operasi.
Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang
ditemukan secara perifer pada terminal saraf vagal dan sentral dalam zona
pemicu kemoreseptor dari area postrema. Ondansetron dapat mengantagonis
efek emetik serotonin pada salah satu atau kedua reseptor. Onset ondansetron <
30 menit dengan durasi 12 – 24 jam.
Diagnosa pasien Ny. A 29 tahun adalah G3P2A1 hamil 34 minggu
belum inpartu dengan plasenta previa janin tunggal hidup presentasi
33
34
• Preoperatif
Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dioperasi harus dilakukan,
sehingga dapat mengetahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan di operasi,
dapat menentukan jenis operasi yang akan digunakan, dapat mengetahui kelainan
yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma,
alergi obat, penggunaan gigi palsu. Selain itu, dengan mengetahui keadaan
pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan
pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa
menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi harus dilengkapi
dengan klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala The American Society of
Anaesteshesiologist (ASA) yaitu:
a. Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia,
atau psikiatri.
35
4 gradasi yaitu :
• Durante Operatif
38
Obat anestesi:
1. Bupivacain (buvanes)
- Dosis 2 mg/Kg berat badan
lokal golongan amida. Obat ini bekerja menempel pada kanal natrium serabut
saraf dan memblokade kanal tersebut. Hal ini berakibat meningkatkan nilai
ambang eksitasi dan menghambat potensial aksi terjadi. Hambatan potensial
aksi dari serabut saraf inilah yang mampu menyekat saraf dan membuat
hilangnya semua sensasi pada daerah yang dipersarafi saraf tersebut.
- Monitoring Anastesi, mempertahankan kestabilan hemodinamik selama
periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan
hipertensi pada periode preoperatif. Selama operasi diberikan 3 colf infuse
yang terdiri dari 2 kolf cairan RL dan 1 kolf cairan gelofusal yang masing -
masing adalah 500 cc dan dilanjutkan dengan pemberian cairan RL di
ruangan perawatan, dikarenakan untuk mengganti kebutuhan cairan karena
puasa selama 6 jam dan stress operasi. Dengan perhitungan kebutuhan
cairannya adalah sebagai berikut :
Perhitungan Terapi Cairan
Cairan pengganti puasa : 6 jam x 2 ml/kg jam x 70 kg = 840 cc
Maintenance : 2 ml x 70 kg = 140 cc
Stress operasi : 6 x 70kg x 1 = 420 cc
EBV : 65 x 70 kg = 4.550 cc
Selama operasi cairan urin yang keluar berjumlah 500 ml (produksi urin
normal minimal 0,5 – 1 ml/KgBB/jam). Pada kasus, selama operasi terjadi
perdarahan sebesar 600 ml, perdarahan penting dinilai karena jika perdarahan
>20% Estimated Blood Volume merupakan salah satu indikasi transfuse darah.
EBV = 4.550 dengan persentase 600ml/4550 ml x 100% = 13,18% (< 20%). ±
600 ml perdarahan dapat digantikan dengan 3 x kristaloid. Jadi
perdarahan tersebut dapat digantikan dengan 3 kolf RL. Pada pasien selama
operasi diberikan 2 kolf larutan RL dan 1 kolf larutan koloid gelofusal. Selama
operasi pasien juga diberikan drip oxitocin 2 ampul dan injeksi metergin 1 ampul
untuk memperbaiki kontraksi uterus.
• Post Operatif
40
Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau unit perawatan pasca anestesi. Idealnya dapat bangun dari anesthesia
secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal –
hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca operasi atau pasca anesthesia
yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan,
mual –muntah, menggigil dan kadang – kadang perdarahan.
Selama di unit perawatan pasca anestesi pasien dinilai tingkat pilih –
sadarnya untuk kriteria pemindahan ke ruang perawatan biasa. Obat
Postoperasi yang diberikan yaitu Novaldo (Metamizole) 2 ampul drip dalam
RL 500 cc dengan alderete score adalah 9 dan pasien layak untuk dipindahkan ke
ruangan biasa.
Aldrete scoring
KESADARAN 2. sadar, orientasi baik
1. dapat dibangunkan
2.
4 ekstremitas bergerak
AKTIVITAS
1. 2 ekstremitas bergerak
1. berubah 20 – 30%
0. berubah ≥ 50%
Keterangan :
4.1 Simpulan
1. Tatalaksana anestesi pasien dengan ASA II pada kasus ini yang
meliputi tatalaksana jalan napas, pemilihan dan dosis obat anestesi, terapi
cairan dan terapi nyeri sudah tepat.
2. Pasien bedah dengan aldrete score 9 setelah 2 jam dirawat
ditransportasikan ke ruang perawatan biasa di ruang khusus kebidanan
untuk pemulihan
4.2 Saran
Perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pemilihan terapi analgetik
pada pasien setelah menjalankan operasi.
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, FG. Leveno, KJ. Bloom, SL. Spong, CY. Dashe, JS.
Hoffman, BL. Casey, BM. Sheffield, JS. Williams Obstetrics Edition 24,
2014.
3. Faiza Sand Ananth CV. 2003. Etiology and risk factors for placentaprevia:
An over view and meta-analysis of observation al studies. Journalof
Maternal-Fetaland Neonatal Medicine. 13: 175–190.
4. Hung TH, Hsieh C Cand HsuJJ. 2007. Risk factors for placentapreviainan
Asian population. International Journal of Gynecology and Obstetric. 97:
26-30.
10. Feng Y, Li XY, Xiao J, Li W, Liu J, Zeng X, Chen X, Chen KY, Fan L,
Kang QL, Chen SH. Risk Factors and Pregnancy Outcomes: Complete
versus Incomplete Placenta Previa in Mid-pregnancy. Curr Med Sci. 2018
Aug;38(4):597-601.
11. Feng Y, Li XY, Xiao J, Li W, Liu J, Zeng X, Chen X, Chen KY, Fan L,
Chen SH. Relationship between placenta location and resolution of second
trimester placenta previa. J Huazhong Univ Sci Technolog Med Sci. 2017
Jun;37(3):390-394.
44
12. Jauniaux E, Grønbeck L, Bunce C, Langhoff-Roos J, Collins SL.
Epidemiology of placenta previa accreta: A systematic review and meta-
analysis. BMJ Open. 2019;9(11):1-9
14. Martinelli KG, Garcia ÉM, Santos Neto ETD, Gama SGND. Advanced
maternal age and its association with placenta praevia and placental
abruption: a meta-analysis. Cad Saude Publica. 2018 Feb
19;34(2):e00206116.
18. Mangku Gde, Senapathi Agung Gde Tjokorda. Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reanimasi, Indeks Jakarta: Jakarta. 2010.
45