Anda di halaman 1dari 50

Laporan Kasus

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANESTESI PADA WANITA 29 TAHUN G3P2A1 HAMIL


ATERM BELUM INPARTU DENGAN PLASENTA PREVIA, JANIN
TUNGGAL HIDUP PRESENTASI KEPALA

Oleh :

Ahmad Nazharuddin Lubis

H1AP20001

Pembimbing :

AKBP. DR. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp. An

KEPANITRAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU / RS BHAYANGKARA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ahmad Nazharuddin Lubis

NPM : H1AP20001

Fakultas : Kedokteran

Judul : Regional Anestesi Pada Wanita 29 Tahun G3P2A1 Hamil


Aterm dengan Plasenta Previa Belum Inpartu Janin
Tunggal Hidup Presentasi Kepala

Bagian : Anestesi

Pembimbing : AKBP. Dr. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp. An

Bengkulu, 11 Januari 2021

Pembimbing

KBP. Dr. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp. An

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,


karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus ini. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu
komponen penilaian Kepaniteraan Klinik Anesstesi RSUD dr. M. Yunus,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu,
Bengkulu.

Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. AKBP. Dr. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp. An sebagai pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan,
petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual
kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan
kasus ini, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua
pihak. Penulis sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi semua.

Bengkulu, 11 Januari 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................2
1.3 Manfaat...........................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................3
2.1 Anamnesis......................................................................................................3
2.2 Pemeriksaan Fisik...........................................................................................5
2.3 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................15
3.1 Kehamilan Plasenta Previa...........................................................................15
3.2 Seksio Sesaria...............................................................................................19
3.2.1Definisi Seksio Sesarea..............................................................................19
3.3 Spinal Anastesi.............................................................................................26
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................33
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................42
4.1 Simpulan.....................................................................................................42
4.2 Saran...........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................44

iv
v
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen
bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang
ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya
rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan 1.
Prevalensi kejadian plasenta previa di dunia diperkirakan sekitar 0.52%.
Prevalensi plasenta previa tertinggi terdapat wilayah Asia yaitu sekitar 1,22%
sedangkan untuk wilayah Eropa lebih rendah yaitu 0,36%. Amerika Utara 0,29%
dan Sub-Sahara Afrika 0,27% 2. Faktor risiko timbulnya plasenta previa belum
diketahui secara pasti namun dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa frekuensi
plasenta previa tertinggi terjadi pada ibu yang berusia lanjut, multipara, riwayat
seksio sesarea dan aborsi sebelumnya serta gaya hidup yang juga dapat
mempengaruhi peningkatan resiko timbulnya plasenta previa1,3,4.
Plasenta previa merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum.
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam yang terdai pada kehamilan
diatas 28 minggu5. Komplikasi yang diakibatkan oleh perdarahan antepartum
adalah maternal shock, fetal hypoxia, peningkatan risiko kelahiran prematur, dan
kematian janin mendadak. Hal ini menyebabkan perdarahan antepartum memiliki
risiko yang tinggi, bahkan juga untuk janin2.
Teknik anestesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anestesi
umum dan anestesi regional. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal.
Teknik anestesia yang lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anestesi
regional. Beberapa teknik anestesi regional yang biasa digunakan pada pasien
obstetri yaitu blok paraservikal, blok epidural, blok subarakhnoid, dan blok
kaudal. Anestesia spinal aman untuk janin, namun selalu ada kemungkinan bahwa
tekanan darah pasien menurun dan akan menimbulkan efek samping yang
1
2

berbahaya bagi ibu dan janin. Beberapa kemungkinan terjadinya komplikasi pada
ibu selama anestesia harus diperhitungkan dengan teliti. Keadaan ini dapat
membahayakan keadaan janin, bahkan dapat menimbulkan kematian ibu.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain aspirasi paru, gangguan respirasi,
dan gangguan kardiovaskular6.

1.2 Tujuan
1. Menganalisis persiapan pre-anestesi terhadap pasien G3P2A1 hamil aterm
dengan plasenta previa belum inpartu janin tunggal hidup presentasi
kepala.
2. Menganalisis intra-operatif seksio sesarea transprofunda (SSTP) terhadap
pasien G3P2A1 hamil aterm dengan plasenta previa belum inpartu janin
tunggal hidup presentasi kepala.
3. Menganalisis post-operatif SSTP terhadap pasien G3P2A1 hamil aterm
dengan plasenta previa belum inpartu janin tunggal hidup presentasi
kepala.

1.3 Manfaat
1. Kesempatan bagi penulis untuk mengintegrasikan ilmu yang telah didapat
selama stase anastesi dan terapi intensif dengan melakukan pembedahan
kasus secara ilmiah
2. Menambah pengetahuan dan pengalaman
3. Hasil laporan kasus dapat dijadikan sumber kepustakaan mengenai
regional anastesi pada pasien G3P2A1 hamil aterm dengan plasenta previa
belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis
Alloanamnesis
1. Identitas
Nama : Ny. A
Med.Rec : 832503
Umur : 29 tahun
Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Penarik, Muko-Muko
MRS : 3 Januari 2021

2. Riwayat Perkawinan

Kawin 1 kali, lamanya 14 tahun sebagai istri sah.

4. Riwayat Reproduksi

Menarche : 13 tahun
Siklus haid : 28 hari, teratur
Lama haid : 5-7 hari
Hari pertama haid terakhir : 25 Maret 2020
Taksiran persalinan : 28 Desember 2020
KB : Pernah (suntik ±10 tahun)

5. Riwayat Kehamilan/Melahirkan
1. Hamil aterm anak pertama tanggal 25 Mei 2008 melalui persalinan
spontan.
2. Abortus
3. Hamil ini

3
4

5. Riwayat antenatal care


Pasien mengaku melakukan Antenatal Care (ANC) di bidan, namun tidak
rutin dilakukan setiap bulan. Tidak pernah memeriksa kandungannya ke dokter
spesialis kandungan.

6. Riwayat Gizi/Sosial Ekonomi


Pasien memiliki BB 57 kg, TB 149 cm, dan BMI 26,57 kg/m2, sehingga
pasien termasuk kategori overweight. Pasien memiliki riwayat sosial ekonomi
yang sedang. Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal.
7. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Hipertensi : Tidak ada

Riwayat Penyakit : Tidak ada


Jantung

Riwayat Epilepsi : Tidak ada

Riwayat Diabetes : Tidak ada


Melitus

Riwayat Penyakit Ginjal : Tidak ada

Riwayat Hipatitis : Tidak ada

Riwayat HIV : Tidak ada

Riwayat Operasi : Tidak ada

Riwayat Asma : Tidak ada

Riwayat Alergi : Tidak ada

Riwayat Operasi : Tidak ada

Riwayat Transfusi darah : Tidak ada

8. Anamnesis Khusus

Keluhan utama :
Hamil anak ke tiga cukup bulan dengan keluar darah dari kemaluan.
5

Riwayat perjalanan penyakit :


Pasien datang ke RS M. Yunus dengan keluhan darah keluar dari
kemaluan dan mersakan nyeri pada bagian perut. R/perut mules yang menjalar
ke pinggang hilang timbul makin lama makin sering dan kuat (-). R/ keluar
air-air (-). R/ keluar darah (+). R/ darah tinggi sebelum hamil (-). R/ darah tinggi
dalam keluarga (-). R/ sakit kepala (-). R/pandangan mata kabur (-). R/ mual,
muntah (-). R/ nyeri ulu hati (-). Os mengaku hamil cukup bulan dan gerakan anak
masih dirasakan.

2.2 Pemeriksaan Fisik

1. Status Present
Kesadaran : Compos Mentis
Tipe badan : piknikus
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 155 cm
2
IMT : 29,16 kg/m
Tekanan darah : 160/110 mmHg
Nadi :85x/menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu : 36,5°C

2. Status Generalis
a. Kepala
Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas
Rambut : Hitam, tidak rontok, tersebar merata

b. Wajah
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak pucat
6

c. Mata
Konjungtiva : Tidak anemis
Sclera : Tidak ikterik
Pupil : Isokhor, reflek cahaya langsung +/+
Reflek cahaya tidak langsung +/+
Gerakan bola mata baik
d. Telinga : Simetris, sekret (-), NT tragus (-

e. Hidung
Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas
Septum : Terletak di tengah dan simetris

f. Mulut dan Tenggorok


Bibir : Normal, tidak pucat, tidak sianosis
Mukosa mulut : basah, tidak hiperemis
Tonsil : Tidak hiperemis, ukuran T1-T1
Faring : Tidak hiperemis, arcus faring simetris
g. Leher
Bendungan vena : Tidak terdapat bendungan vena

Kelenjar tiroid : Tidak membesar, massa (-)

Trakea : Di tengah, deviasi (-)


: (5-2) cmH2O
JVP
h. Warna kulit : Kocokelatan, tidak pucat

i. Thoraks
- Paru : Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan
Inspeksi
: Stem fremitus dinding dada kiri sama
Palpasi
dengan dinding dada kanan
Perkusi
: Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi
: Suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
7

- Jantung
: Iktus kordis tidak terlihat
Inspeksi
: Iktus kordis teraba di ICS V LMC sinistra
Palpasi
: Batas atas jantung ICS II, batas kanan
Perkusi jantung linea parasternalis dekstra, batas kiri
jantung ICS V LMC sinistra.
:: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-)
Auskultasi
gallop (-)

j. Abdomen

St. Obstetri:
Pemeriksaan Luar : FUT 3 jari di bawah prosesus xipoideus (31 cm),
memanjang, punggung kiri, kepala, u 5/5, His -,
DJJ: 136 x/menit , TBJ: 2945 gram

Inspekulo : Tidak dilakukan

Vaginal Toucher : Portio lunak, posterior, eff 0%, Ø kuncup, kepala,


flosting, ketuban dan petunjuk belum dapat dinilai

k. Ekstremitas
- Tidak tampak deformitas
- Akral hangat pada keempat ekstremitas, CRT <2”
- Terdapat edema pada kedua ekstremitas inferior, pitting edema (-)

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium (3 Januari 2021)

Hb : 12,4 g/dl (12 – 16 g/dl)


Hematokrit : 39% (40-54%)
3 3
Leukosit : 11.500/mm (4000 – 10.000 mm )
3 3
Trombosit : 381.000/mm (150.000 – 400.000/mm )
Clothing Time : 3’15” (2-6menit)
Bleeding Time : 1’40“ (1-6menit)
8

Urinalisis : Warna kuning keruh, Protein (+2) Bilirubin (-) Darah


(-) Epitel (+) Bakteri (-)

E. Kesan Anastesi

Wanita 29 tahun hamil aterm dengan plasenta previa status fisik ASA II

F. Penatalaksanaan

- Puasa 6-8 jam pre op


- Cairan pre op Ringer Laktat 20 tpm
- Konsul obgyn rencana operatif SSTP
- Konsul ke bagian Anastesi
- Informed consent pembedahan dan pembiusan dengan status ASA II

G. Pre-Operatif

Pasien tiba di ruang OK


Kondisi pasien :
- KU : Tampak sakit sedang
- TD : 118/83 mmHg
- Nadi : 73 x/m
- RR : 20 x/m
- Premedikasi : Ondansetron 4 mg IV
5 Aman :
- Amankan diri
- Amankan pasien
- Amankan alat anestesi
- Amankan obat-obatan anestesi
- Amankan lingkungan

a. Amankan Diri
Pesiapan diri pre-anastesi pada kasus ini sebagai berikut
1. Sehat mental, fisik, jasmani, dan rohani.
9

2. Memahami pasien sebelum melakukan tindakan anastersi, memahami


perubahan fisiologis pada kehamilan, pre-eklamsi, dan anastesi yang biasa
digunakan untuk operasi seksio sesarea pada wanita hamil dengan pre-
eklamsi.
3. Persiapan alat pelindung diri (APD).

b. Amankan Pasien
Anamnesis pasien menanyakan keluhan pasien, riwayat operasi, riwayat
alergi, riwayat penyakit sebelumnya, riwayat merokok dan mengkonsumsi
alkohol. Melakukan pemeriksaan fisik pada pasien. Informed Consent
Pembedahan dan Pembiusan dengan status ASA II. Premedikasi yang
Ondansentron 4 mg. Makan terakhir pukul 22:00 WIB, cairan infus yang
diberikan Ringer Laktat dengan cairan pengganti puasa: 6 jam x 2 ml/kg jam x 70
kg = 840 cc.
Lakukan pemeriksaan 6B pada pasien yang akan dioperasi. Pemeriksaan 6B
pada kasus ini sebagai berikut.

B1 (Breath)

 Airway : Tidak ada sumbatan jalan napas

 Frekuensi pernapasan : 24 x/menit, regular

 Suara Pernapasan : Vesikuler (+/+)

 Suara tambahan : Wheezing (-/-), rhonki (-/-)

 Riwayat asma : Tidak ada

 Riwayat batuk : Tidak ada

 Riwayat aleregi : Tidak ada

B2 (Blood)

 Tekanan darah : 190/130 mmHg


10

 Frekuensi nadi : 110 x/menit, regular, isi dan


tegangan cukup

 Temperatur : 36,5 ⁰C

 Akral : Hangat dan CRT < 2 detik

 Konjungtiva palpebra : Tidak anemis dan tidak ikterik

B3 (Brain)

 Sensorium : Kompos mentis (GCS 15)

 Refleks Cahaya : (+/+)

 Pupil : Isokor (2 mm / 2 mm)

 Refleks fisiologis : Reflex patella (+/+)

 Refleks patologis :-

 Riwayat kejang :-

 Nyeri kepala :-

 Pandangan kabur :-

 Muntah proyetil :-

B4 (Bladder)

 Urin :+

 Volume : Cukup

 Warna : Kuning pekat

 Kateter :+

B5 (Bowel)

 Abdomen : FUT 3 jari di bawah prosesus


xipoideus (31 cm), memanjang,
punggung kiri, kepala, u 5/5, His -,
DJJ: 136 x/menit , TBJ: 2945 gram

 Bising usus : + normal


11

 Mual dan muntah :-

 Flatus dan BAB :+

 NGT :-

B6 (Bone)

 Edema : Edema di keempat ekstremitas

 Fraktur :-

 Luka :-

c. Amankan Obat Premedikasi dan Alat


Sebelum operasi dimulai maka yang dilakukan adalah sebagi berikut.
1. Menyiapkan alat STATICS
2. Memasang sensor finger pada ibu jari tangan pasien untuk monitoring SpO2.
3. Memasang manset pada lengan pasien untuk monitoring tekanan darah.
4. Memastikan cairan infus berjalan lancar.
5. Persiapan induksi obat anastesi

d. Amankan Mesin Anastesi


Sebelum pemberian anestesi, pemeriksaan mesin dan fungsi sistem harus
dilakukan.
1. Memastikan bahwa perangkat ventilasi cadangan tersedia dan berfungsi.
2. Memastikan suplai tabung oksigen memadai.
3. Memastikan suplai jalur pipa utama dengan cara memastikan bahwa seluruh
selang tersambung.
4. Memeriksa level isi vaporizer dan mengencangkan penutup bagian pengisian
vaporizer.
12

5. Memeriksaan kebocoran pada mesin sistem tekanan rendah.


6. Menyesuaikan dan memastikan scavenging system dengan.

e. Amankan Lingkungan
Memastikan lingkungan tempat operasi sudah siap dan lengkap untuk
digunakan.

H. Intra-Operatif

a. Induksi anestesi
Anestesi regional dengan teknik spinal (subarachnoid) menggunakan
bupivacain konsentrasi 0,5% hyperbarik sebanyak 3 cc (15mg).

b. Prosedur anestesi
Prosedur Anastesi regional pada kasus ini sebagai berikut

1. Anestesi regional dengan teknik spinal anestesi,


2. Setelah dipasang IV line, monitor (tekanan darah, nadi, saturasi oksigen) dan
oksigen kanul 3 liter/menit
3. Pasien dengan posisi duduk, tandai dimana akan dilakukan tusukan, dengan
teknik aseptik-antiseptik, dilakukan tusukan pada lokasi Lumbal 3 – 4.
4. Anestesi lokal bupivacain HCL konsentrasi 0,5% hyperbaric, jumlah 3 cc (15
mg) dengan jarum spinocan G.27. Anestesi dimulai jam 13:00 WIB, operasi
dimulai jam 13:10 WIB. Operasi berlangsung selama ± 60 menit.
Durante operasi

- lama operasi ± 60 menit


- HR : berkisar 110 – 130 x/menit
- Saturasi oksigen berkisar antara 98% - 100%
- Cairan yang keluar : Perdarahan (700 cc)

Monitoring Selama Anestesi.


Jam TD Nadi SaO2 Keterangan

16.00 160/100 130 100% Masuk ruang operasi, sebelum masuk ruang
operasi pasien sudah diberikan obat
13

nifedipine 10 mg, MgSO4 40% 8 mg boka-


boki secara intramuscular (loading dose),
dan ondansentron

16.05 165/110 122 100% -

16.10 154/98 115 98% Mulai operasi

16.15 150/92 120 100% -

16.20 162/104 112 100% -

16.25 155/100 111 99% Lahir neonates hidup, perempuan, BB 2900


gram, PB 48 cm, LK/LD 32 cm/31 cm A/S
8/9 FT AGA

16.30 142/90 120 99% - Drip oksitosin 20 IU dalam RL 500 cc xx


tetes permenit
- Inj. Asam tranexamat 1 gram (iv)
16.35 145/90 121 100% -

16.40 150/100 110 100% Plasenta lahir lengkap

16.45 155/97 118 100% -

16.50 161/103 122 99% -

16.55 160/100 120 100% -

17.00 150/90 112 100% -

17.05 150/96 110 100% -

17.10 150/90 124 99% Operasi Selesai

17.15 160/100 111 100% Pronalges supp. 200 mg

Perhitungan Terapi Cairan

 Cairan pengganti puasa : 6 jam x 2 ml/kg jam x 70 kg = 840 cc


 Maintenance : 2 ml x 70 kg = 140 cc
 Stress operasi : 6 x 70kg = 420 cc
14

 EBV : 65 x 70 kg = 4.550 cc

Cara Pemberian Terapi Cairan


 Jam I = (50% x pengganti puasa) + maintenance + stress operasi + pengganti
jumlah pendarahan
= (50% x 840) + 140 + 420 + 700 = 1680 cc kristaloid
Perdarahan
Perkiraan perdarahan yang terjadi selama operasi
 Tabung suction : 400 cc
 Kassa kecil : 10 x 10 cc = 100 cc
 Kassa besar : 2 x 100 cc = 200 cc
 Perkiraan total perdarahan : 700 cc
 Volume urin : 300 cc
 IWL : 15 x 70 kg / 24 jam = 43,7/ jam ≈ 44 cc/jam
Balance Cairan
Perhitungan balance cairan pasien pada kasus ini sebagai berikut
 Input : 1760 cc
 Output : Urin + IWL + Perdarahan + Maintenance + Stress Operasi
: 300 cc + 44 cc +700 cc + 140 cc+ 420 cc
: 1604 cc
 Balance Cairan : + 158 cc

Penanganan Post-Operatif

- Ketoprofen 200mg supp.


- Novaldo (Metamizole) 2 ampul
- Aldarete Score: 9 (layak ditransport ke ruang perawatan)
- Makan minum biasa saat bising usus (+), mual (-), muntah (-).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kehamilan Plasenta Previa


3.1.1 Etiologi

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah


rahim sehingga menutupi seluruh atau sebahagian dari ostium uterus interna.
Klasifikasi plasenta previa yaitu plasenta previa totalis, plasenta previa parsialis,
plasenta previa marginalis, plasenta previa letak rendah.
Penyebab yang mendasari terjadinya plasenta previa pada kehamilan masih
belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat adanya hubungan antara kerusakan
endometrium dan jaringan parut uterus. Faktor resiko yang berkorelasi dengan
plasenta previa adalah ibu hamil usia lanjut, multiparitas, merokok, penggunaan
zat adiktif, kuretase, riwayat operasi caesar dan riwayat plasenta previa
sebelumnya8.
Peningkatan kejadian plasenta previa dapat dikaitkan dengan riwayat
kehamilan sebelumnya. Implantasi sel zigot setalah pembuahan pada dinding
endometrium membutuhkan lingkungan yang kaya oksigen dan kolagen. Lapisan
luar dari zigot yang membelah akan menjadi blastokista yang terdiri dari sel
trofoblas yang berkembang menjadi plasenta dan selaput janin. Trofoblas
menempel pada desidua basalis endometrium membentuk kehamilan normal.
Bekas luka rahim sebelumnya memberikan lingkungan yang kaya akan oksigen
dan kolagen. Trofoblas dapat menempel pada bekas luka rahim yang mengarah ke
plasenta yang menutupi ostium serviks atau plasenta yang menyerang dinding
miometrium9.

3.1.2 Patofisiologi

Plasenta previa adalah terjadinya penutupan jalan lahir oleh plasenta pada
ostium serviks. Penutupan pada ostium serviks dapat terjadi secara total atau
sebagian. Hampir 90% dari plasenta yang diidentifikasi berada di bagian bawah
dari jalan lahir pada akhirnya akan menghilang pada trisemester ketiga karena

15
16

migrasi plasenta. Plasenta itu sendiri tidak bergerak namun berkembang


mendekati daerah fundus, meninggalkan daerah distal plasenta di segmen bawah
rahim dengan suplai darah yang tidak baik yang mengakibatkan atrofi pada bagian
distal plasenta. Migrasi pada plasenta juga dapat terjadi dengan membesarnya
segmen bawah rahim sehingga menambah jarak dari batas bawah plasenta ke
serviks 10,11 .
Peningkatan resiko terjadinya plasenta previa pada ibu hamil dapat dikaitkan
dengan riwayat operasi caesar dan riwayat plasenta previa sebelumnya.
Vaskularisasi yang buruk dan oksigenasi jaringan di daerah bekas luka
sebelumnya dikaitkan dengan kegagalan lokal epitelisasi ulang dan desidulisasi
yang berdampak pada implantasi dan plasentasi. Wanita dengan persalinan caesar
sebelumny telah terbukti peningkatan resistensi arteri uterin pada kehamilan
berikutnya dibandingkan dengan wanita dengan persalinan pervaginam
sebelumnya12.

3.1.3 Klasifikasi
Menurut Prawirohardjo (2010), klasifikasi plasenta previa adalah sebagai
berikut:
1. Plasenta previa totalis
Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh
ostium uteri internum.
2. Plasenta previa parsialis
Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium
uteri internum.
3. Plasenta previa margnalis
Plasenta previa margnalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir
ostium uteri internum.
4. Plasenta previa letak rendah
Plasenta previa letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada
segmen bawah rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak
17

lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum.Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap
plasenta letak normal7.

Gambar 3.1 Klasifikasi plasenta previa 7

3.1.4 Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis plasenta previa adalah sebagai berikut:


1. Gejala klinis
Pertama ialah kita mengetahui gejala klinisnya terlebih dahulu, gejala diantaranya
yaitu:
 Gejala utama plasenta previa adalah pendarahan tanpa sebab tanpa rasa nyeri
dari biasanya, berulang, darah biasanya berwarna merah segar.
 Bagian terdepan janin tinggi (floating) sering di jumpai kelainan letak janin.
 Pendarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal,
kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat
dikirim ke rumah sakit. Tetapi perdarahan berikutnya (reccurent bleeding)
biasanya lebih banyak. Janin biasanya masih baik.

2. Pemeriksaan fisik

 Pemeriksaan luar bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas
panggul.
 Pemerksaan inspekulo : pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari ostium uteri internum atau dari kelainan serviks dan
vagina. Apabila perdarahan berasal dari ostium uteri internum, adanya
plasenta previa harus di curigai13.
18

3.1.5 Diagnosis Banding

Manisfestasi klinis yang muncul pada plasenta previa adalah adanya


perdarahan dari vagina. Pendarahan vagina selama kehamilan dapat disebabkan
oleh berbagai faktor. Berdasarkan trimester kehamilan, diagnosis banding dapat
sangat bervariasi. Pada trimester pertama dan kedua, perdarahan vagina dapat
terjadi akibat hematoma subkorionik, servisitis, kanker serviks, aborsi yang
mengancam, kehamilan ektopik, atau kehamilan mola. Pada trimester ketiga,
perdarahan vagina bisa disebabkan oleh persalinan, solusio plasenta, vasa previa,
atau plasenta previa.
Penyebab perdarahan vagina yang paling mengancam jiwa dalam kehamilan
yang harus disingkirkan adalah solusio plasenta, yang merupakan pemisahan
plasenta sebelum persalinan, komplikasi pada sekitar 1% kelahiran. Solusio
plasenta muncul dengan nyeri perut yang parah, perdarahan vagina, dan
pemantauan elektronik janin dapat menunjukkan takisistol dan penelusuran
jantung janin yang tidak meyakinkan, hal ini juga dapat menyebabkan morbiditas
yang tinggi pada kematian janin dan ibu akibat perdarahan.
Vasa previa adalah lapisan atas ostium serviks bagian dalam dengan
pembuluh janin yang melewati membran. Hal ini jarang terjadi dan terjadi pada 1
dari 2.500 hingga 1 hingga 5.000 kehamilan. Hal ini dapat menyebabkan
perdarahan janin-neonatal dan exsanguination jika pembuluh janin robek oleh
ketuban pecah secara spontan atau buatan14.

3.1.6 Penatalaksanaan

Prinsip dasar yang harus segera dilakukan pada semua kasus perdarahan
antepartum adalah menilai kondisi ibu dan janin, melakukan resusitasi secara tepat
apabila diperlukan, apabila terdapat fetal distress dan bayi sudah cukup matur
untuk dilahirkan maka perlu dipertimbangkan untuk terminasi kehamilan dan
memberikan Imunoglobulin anti D pada semua ibu dengan rhesus negatif15.
Penanganan ibu dengan plasenta previa simtomatik meliputi : setelah
terdiagnosis maka ibu disarankan untuk rawat inap di rumah sakit, tersedia darah
19

transfusi apabila dibutuhkan segera, fasilitas yang mendukung untuk tindakan


bedah sesar darurat, rencana persalianan pada minggu ke 38 kehamilan namun
apabila terdapat indikasi sebelum waktu yang telah ditentukan maka dapat
dilakukan bedah sesar saat itu juga15.
Cara pesalinan ditentukan oleh jarak antara tepi plasenta dan ostium uteri
internum dengan pemeriksaan USG transvaginal pada minggu ke 35 kehamilan.
Apabila jaraknya >20 mm persalinan pervaginam kemungkinan besar berhasil.
Apabila jarak antara tepi plasenta dengan ostium uteri internum 0-20 mm maka
besar kemungkinan dilakukan bedah sesar, namun persalinan pervaginam masih
dapat dilakukan tergantung keadaan klinis pasien15.

3.2 Seksio Sesaria


3.2.1 Definisi Seksio Sesarea
Seksio sesarea atau persalinan sesarea didefinisikan sebagai melahirkan
janin melalui insisi dinding abdomen (laparatomi) dan dinding uterus
(histerotomi). Definisi ini tidak mencakup pengangkatan janin dari kavum
abdomen dalam kasus ruptur uteri/kehamilan abdominal.5 Tindakan ini dilakukan
untuk mencegah kematian ibu dan bayi karena kemungkinan-kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul bila persalinan tersebut berlangsung pervaginam15.

3.2.2 Klasifikasi Seksio Saesaria


a. Seksio sesarea transperitoneal profunda merupakan suatu pembedahan
dengan melakukan insisi pada segmen bawah uterus. Hampir 99% dari
seluruh kasus seksio sesarea dalam praktek kedokteran dilakukan dengan
menggunakan teknik ini, karena memiliki beberapa keunggulan seperti
kesembuhan lebih baik, dan tidak banyak menimbulkan perlekatan.
Adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin
sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat
menimbulkan perdarahan Arah insisi melintang (secara Kerr) dan insisi
memanjang (secara Kronig).
b. Seksio sesarea klasik (corporal), yaitu insisi pada segmen atas uterus atau
korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah rahim tidak
20

dapat dicapai dengan aman (misalnya karena perlekatan yang erat pada
vesika urinaria akibat pembedahan sebelumnya atau terdapat mioma pada
segmen bawah uterus atau karsinoma serviks invasif), bayi besar dengan
kelainan letak terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Teknik ini juga
memiliki beberapa kerugian yaitu, kesembuhan luka insisi relatif sulit,
kemungkinan terjadinya ruptur uteri pada kehamilan berikutnya dan
kemungkinan terjadinya perlekatan dengan dinding abdomen lebih besar.
c. Seksio sesarea yang disertai histerektomi, yaitu pengangkatan uterus
setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang tidak dapat diatasi dengan
tindakan lain, pada uterus miomatousus yang besar dan atau banyak, atau
pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan
d. Seksio sesarea vaginal, yaitu pembedahan melalui dinding vagina anterior
ke dalam rongga uterus. Jenis seksio ini tidak lagi digunakan dalam
praktek obstetri
e. Seksio sesarea ekstraperitoneal, yaitu seksio yang dilakukan tanpa insisi
peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum ke atas dan kandung
kemih ke bawah atau ke garis tengah.

3.2.3 Indikasi Seksio Saesaria

Insiden Dalam persalinan ada beberapa faktor yang menentukan


keberhasilan suatu persalinan, yaitu passage (jalan lahir), passenger (janin), power
(kekuatan ibu), psikologi ibu dan penolong. Apabila terdapat gangguan pada salah
satu faktor tersebut akan mengakibatkan persalinan tidak berjalan dengan lancar
bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan janin
jika keadaan tersebut berlanjut5.
Indikasi untuk seksio sesarea antara lain meliputi
1. Indikasi Medis Terdiri dari 3 faktor: power, passanger, passage.
2. Indikasi Ibu adalah usia, tulang panggul sempit, persalinan sebelumnya
dengan seksio sesarea, faktor hambatan jalan lahir, kelainan kontraksi
rahim, ketuban pecah dini dan rasa takut kesakitan.
21

3. Indikasi Janin adalah ancaman gawat janin (fetal distress), bayi besar
(makrosemia), letak sungsang (presentasi bokong), faktor plasenta:
plasenta previa, solusio plasenta, plasenta akreta. Kelainan tali pusat:
prolapsus tali pusat, terlilit tali pusat.

Association of Scientific Medical Societies in Germany mengatakan indikasi


untuk seksio sesarea antara lain meliputi:
 Indikasi Absolut
 Tulang panggul sempit
 Korioamnionitis
 Deformitas panggul
 Eklampsia dan HELLP syndrome
 Asfiksia janin atau asidosis janin
 Prolapse umbilicus
 Plasenta previa
 Presentasi abnormal atau letak melintang
 Ruptur uterus
 Indikasi Relatif
 CTG patologis
 Fase laten memanjang
 Riwayat SC sebelumnya

Seksio sesarea dilakukan bila diyakini bahwa penundaan persalinan yang


lebih lama akan menimbulkan bahaya yang serius bagi janin, ibu atau bahkan
keduanya, atau bila persalinan pervaginam tidak mungkin dapat dilakukan dengan
aman. Berdasarkan laporan mengenai indikasi terbanyak di negara-negara maju
diperoleh hasil bahwa indikasi terbanyak untuk seksio sesarea adalah distosia
3,6%, diikuti oleh presentasi bokong 2,1%, gawat janin 2,0%, riwayat seksio
sesarea sebelumnya 1,4% dan lain-lain 3,7% dari 12,8% kasus seksio sesarea yang
terjadi.2 Di negara-negara berkembang dilaporkan dari penelitian selama 15 tahun
terhadap indikasi seksio sesarea, ada empat faktor klinis utama yang menjadi
indikasi seksio sesarea yang tidak berubah, yakni gawat janin (22%), partus tidak
22

maju (20 %), seksio sesarea ulangan (14%), dan presentasi bokong (11 %). Alasan
kelima yang paling sering membuat tindakan seksio sesarea adalah permintaan ibu
(7%). Di RSUP H Adam Malik dan RS Dr Pirngadi Medan dilaporkan oleh Mahdi
(1997) bahwa kejadian seksio sesarea dengan indikasi terbanyak adalah gawat
janin (15,85%), dan diikuti oleh kelainan letak (13,94%), panggul sempit
(13,76%), dan plasenta previa (12,20 %).

3.2.4 Kontraindikasi Seksio Sesaria


Seksio sesarea pada prinsipnya dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin
namun pada umumnya seksio sesarea tidak dilakukan pada ibu dengan syok,
anemia berat belum diatasi, kelainan kongenital berat dan kelainan pembekuan
darah persalinan pervaginam lebih dianjurkan karena insisi yang ditimbulkan
dapat seminimal mungkin5.

3.2.5 Komplikasi Seksio Sesaria

Kelahiran sesarea bukan tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun janinnya.
Morbiditas pada seksio sesarea lebih besar jika dibandingkan dengan persalinan
pervaginam. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani seksio sesarea berasal
dari tindakan anastesi, keadaan sepsis yang berat, serangan tromboemboli dan
perlukaan pada traktus urinarius, infeksi pada luka.
Angka morbiditas ibu meningkat dua kali lipat pada kelahiran Sesar
dibandingkan dengan kelahiran pervaginam. Penyebab utama yaitu infeksi nifas,
perdarahan dan tromboemboli. Penelitian lain melaporkan bahwa riwayat kejadian
laserasi kandung kemih akibat seksio sesarea adalah 1,4 per 1000 tindakan Sesar
dan insiden cedera ureter adalah 0,3 per 1000 tindakan Sesar. Walaupun cedera
kandung kemih dapat segera diketahui, diagnosis cedera ureter sering terlambat
ditemukan. Wanita dengan riwayat seksio sesarea mengalami kejadian ruptur
uterus yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelahiran pervaginam.
Semua morbiditas ini dan meningkatnya angka pemulihan mennyebabkan
peningkatan biaya dua kali lipat pada pelahiran Sesar daripada pelahiran
pervaginam.
23

3.2.6 Diagnosis
Riwayat seksio sesarea tidak harus selalu diikuti dengan tindakan seksio
sesarea pada persalinan berikutnya. Percobaan Persalinan Pervaginam pada Pasien
Pernah Seksio (P4S) dapat dilakukan pada sebagian besar wanita dengan insisi
uterus transversal rendah dan tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginam.
Kriteria seleksi pasien yang mencoba Persalinan Pervaginam pada Pasien Pernah
Seksio (P4S) atau Vaginal Birth After Caesarea (VBAC) menurut American
College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), yaitu:
1. Satu kali riwayat seksio dengan insisi transversal rendah
2. Pelvis adekuat secara klinis
3. Tidak ada parut uterus lain atau riwayat ruptur uteri
4. Dokter mendampingi selama persalinan, dapat memonitor persalinan dan
melakukan seksio sesarea segera (dalam waktu 30 menit)
5. Tersedianya dokter anastesi dan personil untuk melakukan seksio sesarea
segera.
Beberapa persyaratan lainnya antara lain:
1. Tidak ada indikasi seksio sesarea (lintang, plasenta previa)
2. Terdapat catatan medik yang lengkap mengenai riwayat seksio sesarea
sebelumnya (operator, jenis insisi, komplikasi, lama perawatan).
3. Segera mungkin pasien dirawat di RS setelah persalinan mulai.
4. Tersedia darah untuk transfusi.
5. Janin presentasi verteks normal.
6. Pengawasan selama persalinan yang baik (personil, partograf, fasilitas)
7. Adanya fasilitas dan perawatan bila dibutuhkan seksio sesarea darurat.
8. Persetujuan tindak medik mengenai keuntungan maupun risikonya.

Sedangkan kontraindikasi P4S menurut ACOG


1. Riwayat insisi klasik atau T atau operasi uterus transfundal lainnya
(termasuk riwayat histerotomi, ruptura uteri, miomektomi ekstensif).
2. Panggul sempit atau makrosomia
3. Komplikasi medis atau obstetri yang melarang persalinan pervaginam
24

4. Ketidakmampuan melaksanakan seksio sesarea segera karena tidak adanya


operator, anastesia, staf atau fasilitas.
Untuk memperkirakan keberhasilan P4S, dibuat sistem penilaian dengan
memperhatikan beberapa variabel yaitu nilai Bishop, persalinan pervaginam
sebelum seksio sesarea, dan indikasi seksio sesarea sebelumya. Weinstein et al
telah menyusun sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S. Namun,
menurut ACOG, tidak ada suatu cara yang memuaskan untuk memperkirakan
apakah P4S akan berhasil atau tidak16.

Tabel 3.1 Sistem penilaian untuk memperkirakan keberhasilan P4S modifikasi


Flamm-Geiger adalah sebagai berikut:
No Faktor Nilai
1 Umur
Dibawah 40 tahun 2
Diatas 40 tahun 1
2 Riwayat persalinan pervaginam :
Sebelum dan setelah seksio sesarea 4
Setelah seksio sesarea 2
Sebelum seksio sesarea 1
Belum pernah 0
3 Indikasi seksio sesarea pertama selain kegagalan 1
kemajuan persalinan
4 Pendataran dan penipisan serviks saat tiba di Rumah
Sakit:
75% 2
25-75% 1
<25% 0
5 Dilatasi serviks > 4 cm 1
Nilai 0-2 : keberhasilan P4S 42-49%
Nilai 3 : keberhasilan P4S 60 %
Nilal 4 : keberhasilan P4S 67 %
25

Nilai 5 : keberhasilan P4S 77-79%


Nilai 6-7 : keberhasilan P4S 93%
Nilai8-10 : Keberhasilan P4S 95%
Tabel 3.2 Sistem skoring menurut Weinstein

Nilai*

No. Variabel Tidak Ya

1 Nilai bishop ≥ 4 0 4

2 Persalinan pervaginam sebelum 0 2


SC

3 Indikasi SC sebelumnya

-kategori A 0 6

Malpresentasi

Hipertensi dalam kehamilan


(HDK)

Gemeli

-kategori B 0 5

Plasenta previa atau solusio


plasenta

Prematuritas

Ketuban pecah dini

-kategori C 0 4

Fetal distress
26

CPD atau distosia

Prolaps tali pusat

-kategori D 0 3

Makrosomia

Pertumbuhan janin terhambat


(PJT)

*Nilai berkisar antara 0-12


Jumlah nilai tertinggi adalah 12, jika jumlah nilai adalah :
- ≥4, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 58%
- ≥6, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 67%
- ≥8, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 78%
- ≥10, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 85%
- ≥ 12, prediksi keberhasilan VBAC adalah ≥ 88%

3.3 Spinal Anastesi


3.3.1 Anatomi dalam Spinal Anastesi
Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebre, yaitu 7 vertebra
servikalis,12 vertebra thorakalis, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sacral dan 4
vertebra coccygeus. Disatukan oleh ligamentum vertebralis membentuk kanalis
spinalis dimana medulla spinalis terdapat didalamnya. Kanalis spinalis terisi oleh
medulla spinalis dan meningen, jaringan lemak, dan pleksus venosus. Sebagian
besar vertebra memiliki corpus vertebra, 2 pedikel dan 2 lamina.
27

Gambar 3.1 Anatomi Vetebrae

Untuk menjaga dan mempertahankan medulla spinalis seluruh vertebra dilapisi


oleh beberapa ligamentum. Tiga ligamentum yang akan dilalui pada prosedur
spinal anestesi teknik midline adalah ligamentuim supraspinosum, ligamentum
2,3
interspinosum dan ligamentum flavum. Ligamentum interspinosum bersifat
elastis, pada L3-4, panjangnya sekitar 6 mm dan pada posisi fleksi maksimal
menjadi 12 mm. Ligamentum flavum merupakan ligamentum terkuat dan
tebal, diservikal tebalnya sekitar 1,5-3 mm, thorakal 3-6 mm, sedangkan daerah
lumbal sekitar 5-6 mm. Medulla spinalis dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu
durameter, arakhnoid, dan piameter yang membentuk tiga ruangan yaitu; ruang
epidural, sudural dan subarachnoid. Ruang subarakhnoid adalah ruang yang
terletak antara arakhnoid dan piameter. Ruang subarakhnoid terdiri dari trabekel,
saraf spinalis, dan cairan serebrospinal. Ruang subdural merupakan suatu
ruangan yang batasnya tidak jelas, yaitu ruangan potensial yang terletak antara
dura dan membrane arakhnoid. Ruang epidural didefinisikan sebagai ruangan
potensial yang dibatasi oleh durameter dan ligamentum flavum. Medulla spinalis
secara normal hanya sampai level vertebra L1 atau L2 pada orang dewasa. Pada
anak-anak medulla spinalis berakhir pada lvel L3. Dibawah level ini elemen
saraf berupa akar-akar saraf yang keluar dari conus medularis yang sering
disebut dengan cauda equine terendam dalam cairan serebrospinal.
28

Gambar 3.2 Anatomi Vetebra Lumbal

3.3.2 Anastesi Spinal


Analgesia atau anestesia regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan obat anestetika local pada lokasi serat saraf yang
menginervasi regio tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls

aferen yang bersifat temporer. Jenis – jenis analgesia regional adalah blok
saraf, blok pleksus brakhialis, blok spinal subarachnoid, blok spinal
epidural dan blok regional intravena.
Analgesia spinal ialah pemberian obat anestetik local ke dalam ruang
subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local
ke dalam ruang subaraknoid.

1. Indikasi
a) Bedah ekstremitas bawah
b) Bedah panggul
c) Tindakan sekitar rectum – perineum
d) Bedah obstetric – ginekologi
e) Bedah urologi
f) Bedah abdomen bawah
2. Kontraindikasi Absolut
a) Pasien menolak
b) Infeksi pada tempat suntikan
c) Hipovolemia berat, syok
29

d) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan


e) Tekanan intracranial meninggi
f) Fasilitasi resusitasi minim
g) Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anesthesia
3. Kontraindikasi Relatif
a) Infeksi sistemik
b) Infeksi sekitar tempat suntikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama
f) Penyakit jantung
g) Hipovolemia ringan
h) Nyeri punggung kronis

3.3.3 Persiapan Analgesia Spinal


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anesthesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau
pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
perlu diperhatikan hal – hal dibawah ini:
a) Informed consent; kita tidak boleh memaksa pasien untuk
menyetujui anesthesia spinal.
b) Pemeriksaan fisik; tidak dijumpai kelainan fisik seperti kelainan
tulang punggung.
c) Pemeriksaan laboratorium anjuran; Hemoglobin, hematokrit,
protombin time, thrombin time.

3.3.4
Peralatan Analgesia Spinal
a) Peralatan monitor; tekanan darah, nadi, oksimetri denyut dan EKG
b) Peralatan resusitasi/anesthesia umum
30

c) Jarum spinal; jarum spinal dengan ujung tajam (quincke-Babcock)


atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point, whitecare)

Gambar 3.3 Jarum spinal (jarum tajam dan jarum pinsil)

3.3.5 T
eknik Analgesia Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
a) Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral.
Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah
teraba. Posisi lain ialah duduk.
31

Gambar 3.5 Posisi pasien pada anastesi spinal (posisi duduk dan lateral dekubitus)

b) Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan


tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya
L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma
terhadap medulla spinalis.
c) Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
d) Beri anastetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2%
2-3 ml.
e) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23
G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G
atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu
jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira
2cm agak sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/ detik) diseling
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90° biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukkan kateter.
32

Gambar 3.6 Tusukan jarum pada anestesi spinal

f) Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya


bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

3.3.6 Komplikasi Anastesi Spinal

a) Hipotensi berat
Akibat blok simpatis, terjadi „venous pooling‟. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infuse cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml
sebelum tindakan.
b) Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.
c) Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali napas.
d) Trauma pembuluh darah
e) Trauma saraf
f) Mual-muntah
g) Gangguan pendengaran
h) Blok spinal tinggi, atau spinal total
K
omplikasi pasca tindakan
a) Nyeri tempat suntikan
b) Nyeri punggung
c) Nyeri kepala karena kebocoran likuor
d) Retensio urin
e) Meningitis
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini didiagnosis G3P2A1 hamil aterm belum inpartu dengan
plasenta previa janin tunggal hidup presentasi kepala dengan status fisik ASA II
dan akan dilakukan tindakan pembedahan berupa sectio caeseria. Pada
pembedahan tersebut akan dilakukan anestesi spinal karena memenuhi indikasi
untuk dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah obstetri – ginekologi dan
merupakan tindakan pembedahan yang berlokasi di abdomen bawah. Pada
tindakan pembedahan tersebut juga tidak terdapat kontraindikasi dari
anestesi spinal. Atas dasar tersebut maka, anestesi spinal menjadi pilihan. Pada
kasus ini menggunakan obat Bunascan yang mengandung Bupivacaine HCL 15
mg yang di disuntikkan memakai jarum spinal no.26 pada regio L3 – L4.
Bunascan berisi bupivacain, merupakan anestesi lokal yang digunakan untuk
mencegah rasa nyeri dengan memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara
reversible. Obat menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi
saat di dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan molekul-
+
molekul ini memblok kanal Na , serta mencegah pembentukan potensial aksi.
Bupivacaine memiliki onset 5 – 8 menit dengan durasi sampai 150 menit. Dosis
bupivacaine untuk blokade hingga T10 adalah 8-12 mg, sedangkan hingga
blockade T4 adalah 14-20 mg Bupivacaine memiliki periode analgesia yang tetap
setelah kembalinya sensasi.Pada pasien ini diberikan medikasi preoperative
ondansetron Hcl 4 mg untuk mencegah emesis selama durante operasi.
Ondansetron adalah antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang
ditemukan secara perifer pada terminal saraf vagal dan sentral dalam zona
pemicu kemoreseptor dari area postrema. Ondansetron dapat mengantagonis
efek emetik serotonin pada salah satu atau kedua reseptor. Onset ondansetron <
30 menit dengan durasi 12 – 24 jam.
Diagnosa pasien Ny. A 29 tahun adalah G3P2A1 hamil 34 minggu
belum inpartu dengan plasenta previa janin tunggal hidup presentasi

33
34

kepala. Diagnosis kerja sudah tepat, berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien.

a. G3P2A1 ,menunjukkan pasien datang dengan keadaan sedang


hamil anak ketiga, riwayat melahirkan satu kali dan abortus satu kali.
b. Hamil aterm, berdasarkan hasil anamnesis HPHT pasien 25 Maret 2020,
c. Belum inpartu, dikarenakan pada pasien ini belum terdapat tanda-tanda
inpartu seperti penipisan dan bukaan dari servix, belum terdapat HIS
yang teratur dan belum terdapat keluarnya cairan lendir bercampur
darah (bloody show) yang keluar melalui vagina.
d. Plasenta previa, dikarenakan pasien datang dengan keluhan hamil dan
didapatkan adanya keluar darah pada vagina pasien Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan pasien dengan kahamilan letak plasenta
yang abnormal yaitu plasenta previa.
e. Janin tunggal hidup, berdasarkan hasil anamnesis pasien masih
merasakan gerakan janin.
f. Presentasi kepala, ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan leopold
bagian terbawah janin adalah bulat dan keras yang merupakan kepala.

• Preoperatif
Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dioperasi harus dilakukan,
sehingga dapat mengetahui adanya kelainan di luar kelainan yang akan di operasi,
dapat menentukan jenis operasi yang akan digunakan, dapat mengetahui kelainan
yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma,
alergi obat, penggunaan gigi palsu. Selain itu, dengan mengetahui keadaan
pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan
pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa
menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi harus dilengkapi
dengan klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala The American Society of
Anaesteshesiologist (ASA) yaitu:
a. Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia,
atau psikiatri.
35

b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,


tanpa keterbatasan aktivitas sehari-hari.
c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi
aktivitas normal.
d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan
memerlukan terapi intensif, dengan keterbatasan serius
pada aktivitas sehari-hari.
e. Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan
atau tanpa pembedahan
Pada kasus ini pasien dikategorikan dengan status fisik ASA II dengan
dengan kategori wanita hamil maka ASA naik satu tingkat dari sebelumnya.
Riwayat penyakit yang dimiliki pasien sekarang memerlukan tindakan
pembedahan segera untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas.
Kunjungan pada pasien dengan rencana operasi harus dimulai dari tindakan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis bisa
dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan obat-
obatan, riwayat DM, riwayat asma, riwayat hipertensi, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, juga riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya yang bisa menunjukkan bila ada komplikasi anestesi. Pertanyaan
tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau
masalah medis lain yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan anamnesis melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik
setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respirasi, suhu)
dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, neurologis, dan sistem
muskuloskeletal.Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh
diremehkan.Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar,
leher pendek dan kaku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
dalam melakukan intubasi.
36

Pemeriksaan penunjang laboratorium rutin seperti pemeriksaan kadar


hematokrit, hemoglobin, leukosit, trombosit, urinalisis, ureum, kreatinin, EKG,
dan foto polos thoraks pada pasien.
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah informed
concent informed concent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat
melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses inform consent perlu
dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur
yang akan dilakukan dan resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya
untuk mengumpulkan informasi yang penting dan informed concent, tetapi juga
membantu membentuk hubungan dokter-pasien. Bahkan pada interview yang
dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta membiarkan
pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat

membantu mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien. Pada pasien ini


persetujuan tindakan kedokteran yang akan dilakukan sudah dilengkapi yang
terdiri dari SIO tindakan pembedahan maupun SIO tindakan dilakukan
pembiusan atau anastesi. Pasien dan keluarga juga telah mendapat penjelasan
secara rincin tentang rencana penatalaksanaan yang akan dilakukan dengan segala
risiko yang ada.
Mallampati score adalah suatu klasifikasi untuk menilai tampakan faring
pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal, terdiri dari

4 gradasi yaitu :

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum molle


1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
37

Gambar 4.1 Skor mallampati

Mallapati score penting untuk diketahui sebagai pertimbangan jika akan


dilakukan tindakan intubasi dengan segala pertimbangan.
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya yaitu:
a. Meredakan kecemasan dan ketakutan
b. Memperlancar induksi anesthesia
c. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat anestetik
e. Mengurangi mual muntah pasca bedah
f. Mengurangi efek yang membahayakan
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita hipertensi.
Premedikasi yang diberikan pada pasien ini adalah ondancetron 4 mg, dengan
tujuan mengurangi salah satu risiko dari teknik anastesi regional yang dipilih
yaitu mual maupun muntah.

• Durante Operatif
38

Induksi Anestesi (Anestesi Regional)


a. anestesi regional:
- Jika nyawa penderita dalam bahaya karena kehilangan kesadarannya, seperti
pada pasien yang mengalami sumbatan pernapasan atau infeksi paru
- Kedaruratan karena tidak ada waktu untuk mengurangi bahaya anestesi
umum, seperti partus obstetrik operatif, kasus diabetes, lambung penuh dan
pasien yang mengalami perdarahan yang lama
- Menghindari bahaya pemberian obat anestesi umum seperti pada pasien
gagal ginjal dan hepar
- Prosedur yang membutuhkan kerjasama dengan penderita seperti
perbaikan tendo serta pemeriksaan gerakan faring
- Lesi superfisialis permukaan tubuh

Kontraindikasi anestesi regional:


- Hipersensitivitas terhadap obat analgesi
- Kurangnya tenaga terampil
- Kurangnya prasarana resusitasi
- Infeksi lokal dan iskemia pada tempat suntikan
- Pembentukan sikatriks

Obat anestesi:

1. Bupivacain (buvanes)
- Dosis 2 mg/Kg berat badan

- Indikasi : blok hantaran pada durasi lama atau anestesi subarachnoid


- Kontraindikasi: pasien dengan hipotensi, pasien syok
- Efek samping: kelelahan,pandangan kabur, hipotensi, gangguan saluran
pencernaan, bradikardia
- Onset kerja: 5–10 menit
- Durasi kerja: 75–150 menit.
- Mekanisme kerja: semakin kecil ukuran partikel dan tinggi kelarutan
lemaknya, semakin cepat kerja suatu obat. Bupivakain adalah obat anestesi
39

lokal golongan amida. Obat ini bekerja menempel pada kanal natrium serabut
saraf dan memblokade kanal tersebut. Hal ini berakibat meningkatkan nilai
ambang eksitasi dan menghambat potensial aksi terjadi. Hambatan potensial
aksi dari serabut saraf inilah yang mampu menyekat saraf dan membuat
hilangnya semua sensasi pada daerah yang dipersarafi saraf tersebut.
- Monitoring Anastesi, mempertahankan kestabilan hemodinamik selama
periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan
hipertensi pada periode preoperatif. Selama operasi diberikan 3 colf infuse
yang terdiri dari 2 kolf cairan RL dan 1 kolf cairan gelofusal yang masing -
masing adalah 500 cc dan dilanjutkan dengan pemberian cairan RL di
ruangan perawatan, dikarenakan untuk mengganti kebutuhan cairan karena
puasa selama 6 jam dan stress operasi. Dengan perhitungan kebutuhan
cairannya adalah sebagai berikut :
Perhitungan Terapi Cairan
 Cairan pengganti puasa : 6 jam x 2 ml/kg jam x 70 kg = 840 cc
 Maintenance : 2 ml x 70 kg = 140 cc
 Stress operasi : 6 x 70kg x 1 = 420 cc
 EBV : 65 x 70 kg = 4.550 cc
Selama operasi cairan urin yang keluar berjumlah 500 ml (produksi urin
normal minimal 0,5 – 1 ml/KgBB/jam). Pada kasus, selama operasi terjadi
perdarahan sebesar 600 ml, perdarahan penting dinilai karena jika perdarahan
>20% Estimated Blood Volume merupakan salah satu indikasi transfuse darah.
EBV = 4.550 dengan persentase 600ml/4550 ml x 100% = 13,18% (< 20%). ±
600 ml perdarahan dapat digantikan dengan 3 x kristaloid. Jadi
perdarahan tersebut dapat digantikan dengan 3 kolf RL. Pada pasien selama
operasi diberikan 2 kolf larutan RL dan 1 kolf larutan koloid gelofusal. Selama
operasi pasien juga diberikan drip oxitocin 2 ampul dan injeksi metergin 1 ampul
untuk memperbaiki kontraksi uterus.

• Post Operatif
40

Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau unit perawatan pasca anestesi. Idealnya dapat bangun dari anesthesia
secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal –
hal yang tidak menyenangkan akibat stress pasca operasi atau pasca anesthesia
yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan,
mual –muntah, menggigil dan kadang – kadang perdarahan.
Selama di unit perawatan pasca anestesi pasien dinilai tingkat pilih –
sadarnya untuk kriteria pemindahan ke ruang perawatan biasa. Obat
Postoperasi yang diberikan yaitu Novaldo (Metamizole) 2 ampul drip dalam
RL 500 cc dengan alderete score adalah 9 dan pasien layak untuk dipindahkan ke
ruangan biasa.

Aldrete scoring
KESADARAN 2. sadar, orientasi baik

1. dapat dibangunkan

0. tidak dapat dibangunkan

WARNA KULIT 2. Merah muda, tanpa oksigen


saturasi 92%
1. pucat atau kehitaman, perlu
oksigen agar saturasi 90%
0. sianosis

2.
4 ekstremitas bergerak
AKTIVITAS
1. 2 ekstremitas bergerak

0. tidak ada ekstremitas bergerak

RESPIRASI 2. dapat nafas dalam, batuk


41

1. Nafas dangkal, sesak nafas


0. apnoe atau obstruksi

KARDIOVASKULER 2. tekanan darah beruba20%

1. berubah 20 – 30%

0. berubah ≥ 50%

Keterangan :

- 9-10 pindah dari unit perawatan pasca anestesi

- 7-8 Pindah ke ruangan

- 5-6 Pindah ke ICU


42
BAB V
KESIMPULAN

4.1 Simpulan
1. Tatalaksana anestesi pasien dengan ASA II pada kasus ini yang
meliputi tatalaksana jalan napas, pemilihan dan dosis obat anestesi, terapi
cairan dan terapi nyeri sudah tepat.
2. Pasien bedah dengan aldrete score 9 setelah 2 jam dirawat
ditransportasikan ke ruang perawatan biasa di ruang khusus kebidanan
untuk pemulihan

4.2 Saran
Perlu memperhatikan dan mempertimbangkan pemilihan terapi analgetik
pada pasien setelah menjalankan operasi.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, FG. Leveno, KJ. Bloom, SL. Spong, CY. Dashe, JS.
Hoffman, BL. Casey, BM. Sheffield, JS. Williams Obstetrics Edition 24,
2014.

2. Cresswell JA, Ronsmans C, Calvert C, Filippi V. Prevalence of placenta


praevia by world region: A systematic review and meta-analysis. Trop
Med Int Heal. 2013;18(6):712-724.

3. Faiza Sand Ananth CV. 2003. Etiology and risk factors for placentaprevia:
An over view and meta-analysis of observation al studies. Journalof
Maternal-Fetaland Neonatal Medicine. 13: 175–190.

4. Hung TH, Hsieh C Cand HsuJJ. 2007. Risk factors for placentapreviainan
Asian population. International Journal of Gynecology and Obstetric. 97:
26-30.

5. Manuaba IBG. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan & keluarga berencana


untuk pendidikan Bidan. Jakarta: EGC; 2010. hlm. 253-7.

6. McMenamin L, Clarke J, Hopkins P. Review: Basics of Anesthesia. 7th ed.


Philadelphia: Elsevier; 2018. doi:10.1016/j.bja.2018.01.006.

7. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo; 2009. hlm. 495-502

8. Silver RM. Abnormal Placentation: Placenta Previa, Vasa Previa, and


Placenta Accreta. Obstet Gynecol. 2015 Sep;126(3):654-68

9. Jing L, Wei G, Mengfan S, Yanyan H. Effect of site of placentation on


pregnancy outcomes in patients with placenta previa. PLoS
One. 2018;13(7):e0200252.

10. Feng Y, Li XY, Xiao J, Li W, Liu J, Zeng X, Chen X, Chen KY, Fan L,
Kang QL, Chen SH. Risk Factors and Pregnancy Outcomes: Complete
versus Incomplete Placenta Previa in Mid-pregnancy. Curr Med Sci. 2018
Aug;38(4):597-601.

11. Feng Y, Li XY, Xiao J, Li W, Liu J, Zeng X, Chen X, Chen KY, Fan L,
Chen SH. Relationship between placenta location and resolution of second
trimester placenta previa. J Huazhong Univ Sci Technolog Med Sci. 2017
Jun;37(3):390-394. 

44
12. Jauniaux E, Grønbeck L, Bunce C, Langhoff-Roos J, Collins SL.
Epidemiology of placenta previa accreta: A systematic review and meta-
analysis. BMJ Open. 2019;9(11):1-9

13. Wiknjosastro H, Sumpraja S, Saifuddin AB. Ilmu kebidanan. Edisi


kedua.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1986: 7, 480-487,
476-477. Jakarta

14. Martinelli KG, Garcia ÉM, Santos Neto ETD, Gama SGND. Advanced
maternal age and its association with placenta praevia and placental
abruption: a meta-analysis. Cad Saude Publica. 2018 Feb
19;34(2):e00206116.

15. Wiknjosastro H, Sumpraja S, Saifuddin AB. Ilmu kebidanan. Edisi


kedua.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1986: 7, 480-487,
476-477. Jakarta

16. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Obstetris Care


Consensus - Safe prevention of the Primary Cesarean Delivery. Cochrane
Database Syst Rev. 2016;2(12):7. https://www.acog.org/-/media/Obstetric-
Care-Consensus-Series/oc001.pdf?dmc=1&ts=20190802T0946463531.

17. Spinal Anesthesia: Subarachnoid Block. Editor Lee A. Fleisher.


2008. Diunduh 15 Oktober 2020. Available from:
http://www.proceduresconsult.com/medical-procedures/spinal-anesthesia
subarachnoid-block-AN-procedure.aspx.

18. Mangku Gde, Senapathi Agung Gde Tjokorda. Buku Ajar Ilmu
Anestesia dan Reanimasi, Indeks Jakarta: Jakarta. 2010.

19. Latief, Said. A. Suryadi, Kartini. A. Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk


Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.2010

45

Anda mungkin juga menyukai