Anda di halaman 1dari 16

Reaksi Imun Terhadap Infeksi TBC

Taksonomi, Morfologi, Fisiologi, serta Ekologi Mycobacterium tuberculosis


Taksonomi dari Mycobacterium tuberculosis.
Kingdom : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Upaordo : Corynebacterineae
Famili : Mycobacteriaceae
Genus : Mycobacterium
Spesies : Mycobacterium tuberculosis

Adapun bentuk bakteri Mycobacterium tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang
merupakan batang ramping dan kurus, dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang panjangnya
sekitar 2-4 mm dan lebar 0,2 – 0,5 mm yang bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini
tergantung pada kondisi lingkungan (Wikipedia, 2010).

Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri gram positif atau
bakteri gram negatif, karena apabila diwarnai sekali dengan zat warna basa, warna tersebut tidak
dapat dihilangkan dengan alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Oleh sebab itu bakteri ini
termasuk dalam bakteri tahan asam. Mycobacterium tuberculosis cenderung lebih resisten
terhadap faktor kimia dari pada bakteri yang lain karena sifat hidrofobik permukaan selnya dan
pertumbuhan bergerombol. Mycobacterium tuberculosis tidak menghasilkan kapsul atau spora
serta dinding selnya terdiri dari peptidoglikan dan DAP, dengan kandungan lipid kira-kira
setinggi 60% (Simbahgaul, 2008). Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan
arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding
sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain
dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen, menjadikan
Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofag.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerob, oleh karena itu pada kasus TBC
biasanya mereka ditemukan pada daerah yang banyak udaranya. Mikobakteria mendapat energi
dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana. Aktivitas biokimianya tidak khas, dan laju
pertumbuhannya lebih lambat dari kebanyakan bakteri lain karena sifatnya yang cukup kompleks
dan dinding selnya yang impermeable, sehingga penggandaannya hanya berlangsung setiap
kurang lebih 18 jam. Karena pertumbuhannya yang lamban, seringkali sulit untuk mendiagnostik
tuberculosis dengan cepat. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berkembangbiak
dengan baik pada suhu 22-23oC, menghasilkan lebih banyak pigmen, dan kurang tahan asam dari
pada bentuk yang pathogen. Mikobakteria cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab.

Bakteri ini biasanya berpindah dari tubuh manusia ke manusia lainnya melalui saluran
pernafasan, keluar melalui udara yang dihembuskan pada proses respirasi dan terhisap masuk
saat seseorang menarik nafas. Habitat asli bakteri Mycobacterium tuberculosis sendiri adalah
paru-paru manusia. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di dalam paru-paru.

III.2. Respon Imunitas terhadap Tuberkulosis

Akibat klinis infeksi M. tuberculosis lebih dipengaruhi oleh sistem imunitas seluler
daripada imunitas humoral. Orang yang menderita kerusakan imunitas seluler seperti terinfeksi
HIV dan gagal ginjal kronik mempunyai resiko tuberkulosis yang lebih tinggi. Sebaliknya orang
yang menderita kerusakan imunitas humoral seperti penyakit sickle cell dan mieloma multipel
tidak menunjukkan peningkatan predisposisi terhadap tuberculosis. Koordinasi antara fagosit
mononuklear dan limfosit T sangat diperlukan untuk perlindungan yang optimal. Aktivasi anti
mikrobial dikontrol oleh limfosit T melalui mediator terlarut yang dikenal sebagai sitokin.

M. tuberculosis yang terhirup dan masuk ke paru akan ditelan oleh makrofag alveolar,
selanjutnya makrofag akan melakukan 3 fungsi penting, yaitu;
1) menghasilkan ensim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek mikobakterisidal; Commented [d1]: Sbg innate immunity

2) menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap M. tuberculosis berupa IL1,
IL-6, TNF (Tumor Necrosis Factor alfa), TGF (Transforming Growth Factor beta) Commented [d2]: Aktifkan APP
3) memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T. Commented [d3]: Sebagai APC

Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek


imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis. IL-1 merupakan
pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan
meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan
hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF berfungsi sama dengan
IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta
diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF Commented [d4]: Harusnya ini kerja dari Th1

dapat menyebabkan efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis
jaringan yang merupakan ciri khas tuberkulsois. Pada pasien tuberkulosis TNF juga berperan
untuk meningkatkan kerentanan sel T melakukan apoptosis baik secara spontan maupun oleh
stimulasi M. tuberculosis secara in vitro. IL-10 menghambat produksi sitokin oleh monosit dan
limfosit sedangkan TGF menekan proliferasi sel T dan menghambat fungsi efektor makrofag.

Respon Sel Limfosit T

Limfosit T merupakan mediator obligat kekebalan, mereka tidak bekerja sendiri tetapi
harus berinteraksi dengan sel-sel imun respon lainnya untuk mencapai resistensi yang optimal.
Semua populasi sel T (CD4 , CD8 dan sel ) berperan dalam proteksi. Sel T yang
mengekspresikan reseptor , 95% lebih terdiri dari sel T post timus terdapat pada organ perifer
dan darah. Sebaliknya sel T hanya sedikit terdapat pada daerah tersebut, tetapi lebih banyak
terdapat pada jaringan mukosa seperti paru-paru. Bukti bahwa sel T sangat diperlukan untuk
resistensi tuberkulosis berdasarkan percobaan bahwa tikus mutan yang dihilangkan sel T dengan
cara delesi gen yang mengkode sel T /, relatif resisten terhadap infeksi BCG subletal selama 4
minggu infeksi, kemudian pertumbuhan BCG meningkat dan akhirnya tikus tersebut akan mati
karena infeksi BCG.

Sel Limfosit T
Beberapa bukti menunjukkan bahwa sel T berperan pada respon imunitas awal terhadap
infeksi M. tuberculosis. Selain sel T, sel lain juga menghasilkan IFN dan mengekspresikan
aktivitas sitolitik yang berperan pada resistensi. Sel NK maupun sel T menghasilkan IFN dan
melisiskan sel target yang tersensitisasi mikobakterium. M. tuberculosis relatif resisten terhadap
makrofag. Keberadaan M tuberculosis pada individu sehat selama beberapa tahun tanpa
menyebabkan penyakit menunjukkan bawa sistem imun gagal menghilangkan patogen tersebut
dan harus mengandalkan efek mikobakterisidal dan menghambat pertumbuhan mikobakteri.

Sel T berperan pada respon imunitas awal yaitu pada paru-paru dan limfo nodi yang baru
terinfeksi M. tuberculosis, sebelum terbentuk respon sel T yang reaktif terhadap M. tuberculosis
akan menghasilkan IFN, TNF, IL-2,IL-4, IL-5 dan IL-10 sama dengan sitokin yang dihasilkan
oleh sel T. Selain itu supernatan dari sel T yang dirangsang oleh M. tuberculosis akan
meningkatkan agregasi makrofag dan selanjutnya berperan pada pembentukan granuloma.

Reaksi Hipersensitivitas
Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) adalah reaksi yang tidak
melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Pemindahan hipersensitivitas ini dapat
dilakukan dengan memindahkan limfosit T. Reaksi tipe IV juga disebut reaksi tipe lambat karena
timbul lebih dari 12 jam setelah pemaparan antigen. Respon hipersensitivitas tipe lambat
terhadap M tuberculosis dapat dilakukan dengan tes kulit tuberkulin yaitu suntikan intradermal
dengan PPD (Purified Protein Derivatif). Reaksi tuberkulin mencapai puncaknya 48-72 jam
setelah pemaparan. Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai
dengan agregasi dan proliferasi makrofag membentuk granuloma yang menetap selama beberapa
minggu.

Awal infeksi
Transmisi M.tuberkulosis dilakukan melalui droplet udara yang kemudian dihirup oleh orang
sehat. Sebagian besar bakteri terbuang oleh silia dari epitel respiratorius, namun terdapat
beberapa kuman yang masuk ke dalam alveolus.1 Infeksi TB terjadi bila jumlah bakteri mencapai
5 basil.2 Kuman yang masuk ini kemudian difagositosis oleh makrofag yang belum teraktivasi
secara spesifik. Fagositosis ini terjadi melalui interaksi dengan molekul permukaan makrofag,
seperti reseptor komplemen, reseptor mannosa, reseptor igGFc, dan reseptor type A scavenger.
Setelah fagositosis terjadi dan terbentuk fagosom, dinding bakteri menghasilkan LAM
(glikolipid lipoarabinomannan) yang menghambat ion Ca2+ intrasel. Hal ini membuat fungsi
fusi fagosom-lisosom yang dipicu oleh Ca2+/calmodulin terhambat dan bakteri dapat bertahan di
dalam fagosom tersebut. Jika bakteri daapt menghentikan maturasi fagosom, bakteri tersebut
dapat memulai replikasi dan melepaskan hasil replikasinya dengan membuat makrofag ruptur.1

Makrofag dapat memfagositosis bakteri secara efektif bila jumlah bakteri yang masuk ke
alveolus sedikit. Namun, ketika jumlah bakteri menjadi banyak, hal ini menyebabkan makrofag
yang memfagositosis bakteri tersebut tidak optimal. Fungsi yang tidak optimal ini menyebabkan
bakteri tersebut dapat bereplikasi dan menyebabkan infeksi TB lokal. Namun, ketika sistem
pertahanan tubuh mulai bekerja dan mengatasi infeksi tersebut, terjadi pembentukan fokus
parenkim yang terkalsifikasi, yang disebut lesi Ghon. Jika terdapat juga kalsifikasi pada nodus
limfa di hilus, kedua lesi tersebut dinamakan kompleks Ranke.2

Respons tubuh
Prinsip utama respons imun terhadap bakteri ini melibatkan dua sel, yaitu makrofag dan sel
limfosit T. Bakteri yang difagositosis makrofag kemudian dihancurkan. Epitop dari hasil
penghancuran tersebut berikatan dengan antigen leukosit dan sel lain, yang mengikat epitop
tersebut dengan permukaan makrofag untuk dipresentasikan dengan sel limfosit T.2

Proses awal di mana terjadi replikasi dari M.tuberkulosis dapat menyebabkan kematian
makrofag. Kemoatraktan yang dilepaskan setelah sel tersebut lisis, seperti komponen
komplemen, molekul bakteri, dan sitokin, merekrut makrofag lain, termasuk sel dendritik.
Makrofag yang memiliki antigen mikobakteri tersebut kemudian bermigrasi ke nodus limfa dan
mempresentasikan antigen mikobakteri tersebut ke sel limfosit T. Pada saat ini, dimulai imunitas
humoral dan imunitas yang dimediasi sel (CMI). Stadium ini biasanya asimptomatik.

Setelah infeksi selama 2 – 4 minggu, terdapat dua respon terhadap M.tuberkulosis, yaitu respons
CMI yang mengaktivasi makrofag dan respon kerusakan jaringan. Respons yang pertama
merupakan respons di mana terjadi aktivasi makrofag yang dimediasi sel limfosit T. Sedangkan,
respons kerusakan jaringan merupakan akibat dari reaksi hipersensitivitas delayed (DTH) yang
menghancurkan makrofag yang mengandung bakteri multiplikasi namun juga membuat
kerusakan jaringan sekitar.1 Aktivasi sel T, makrofag, dan sekresi limfokin dan sitokin dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. Jika makrofag tidak bisa membunuh bakteri dan mengandung
bakteri tersebut, antigen keluar dari sel dan menyebabkan migrasi monosit lebih banyak ke
tempat lesi, terjadi peningkatan aktivitas makrofag, pembentukan granuloma yan glebih besar, Commented [d5]: KerjA Th1
dan menghasilkan nekrosis yang lebih luas. Selain itu, sel limfosit T dapat menghancurkan
makrofag yang mengandung bakteri sehingga terjadi pelepasan enzim yang menyebabkan
nekrosis perkijuan dan kavitasi.3
Reaksi hipersensitivitas delayed-type
Peningkatan jumlah sel T dan epitop bakteri menyebabkan reaksi hipersensitivitas delayed-
type.2Reaksi hipersensitivitas ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan paru, akibat
pembesaran lesi. Pada reaksi ini, terjadi invasi bakteri ke dinding bronkial dan pembuluh darah
dan menyebabkan kerusakan. Hal ini menimbulkan kavitas di mana terjadi multiplikasi bakteri.
Nekrosis perkijuan yang semakin banyak kemudian dikeluarkan melalui bronkus. Melalui hal
tersebut, kavitas yang mengandung banyak bakteri dikeluarkan melalui jalan napas dengan
manuever ekspirasi, seperti batuk dan berbicara.1 Hipersensitivitas ini kemudian digunakan
sebagai pengukuran ada tidaknya infeksi M.tuberkulosis pada individu pada tes tuberkulin.2

Pada awal infeksi bakteri, makrofag yang berisi antigen bakteri bermigrasi menuju nodus limfa
regional. Namun, melalui jalur ini, bakteri juga dapat bertransmisi ke pembuluh darah dan
menyebar ke seluruh tubuh.1Berdasarkan penelitian, tempat paling sering bakteri yang menyebar
secara hematogen untuk berkumpul yaitu organ yang memiliki tekanan O2 paling tinggi untuk
pertumbuhan bakteri. Bagian apeks paru merupakan bagian yang paling sering terkena infeksi
karena PO2nya tinggi.2

Pada anak-anak yang memiliki imunitas yang rendah, penyebaran secara hematogen
menyebabkan TB miliar yang fatal atau TB meningitis.1 Hal ini dapat diakibatkan granuloma
yang kurang sehingga sistem pertahanan tubuh kurang optimal dalam mencegah penyebaran
TB.2

Pembentukan granuloma
Limfokin dan sitokin dapat membentuk granuloma yang kemudian menghancurkan dinding sel
bakteri, menekan pertumbuhan, atau membunuh bakteri, dan membatasi pergerakan dan
penyebaran infeksi ke seluruh tubuh.2 Granuloma ini terdiri atas makrofag yang banyak sehingga
dapat menimbulkan tuberkel. Tuberkel ini terdiri atas kelim limfosit, sel epiteloid, sel datia
Langhans, dan nekrosis perkijuan. Sel limfosit T tersebut diaktivasi oleh makrofag yang
teraktivasi antigen untuk mensekresikan sitokin, seperti IFN-γ. Makrofag yang berkumpul di
sekitar lesi berperan untuk menjaga lesi supaya tidak menyebar lebih jauh. Nekrosis perkijuan
berada di tengah lesi, dan terjadi akibat dari respons kerusakan jaringan. Respons ini
menghambat pertumbuhan M.tuberkulosis, namun juga membuat adanya fibrosis dan kalsifikasi
pada parekim paru dan nodus limfa di hilus.1 Commented [d6]: Menjadi focus Gohn dan Kompleks Gohn

Peran makrofag dan monosit


Imunitas humoral berperan dalam proteksi namun tidak sebanyak peran CMI. Makrofag alveolar
mensekresikan sitokin-sitokin yang berperan dalam menimbulkan pembentukan granuloma,
demam, atau penurunan berat badan. Selain itu, sitokin ini dapat menarik monosit dan makrofag Commented [d7]: IL1, TNFalpha . INgat bahwa TNF alpha
dihasilkan makrofag  efek: vasodilatasi
ke tempat lesi. Peran utama dari makrofag dan monosit ini yaitu melepaskan nitrit oksida yang
memiliki efek antimikobakteri.1Senyawa ini diaktivasi oleh dua sitokin, yaitu IFN-γ yang
dihasilkan sel T CD4+ dan TNF-α yang dihasilkan makrofag yang memfagositosis bakteri.
Makrofag juga menghasilkan senyawa oksigen reaktif, yaitu hidrogen peroksida dan radikal
hidroksil.2Selain itu, terjadi pelepasan sitokin, seperti TNF-α dan IL-1 yang kemudian
meregulasi nitrogen reaktif. Makrofag juga dapat memicu apoptosis yang berfungsi untuk
mencegah pelepasan bakteri yang bermultiplikasi.1 Makrofag yang distimulasi IFN-γ kemudian
menghasilkan TNF yang menarik monosit yang akan menjadi sel epiteloid.3

Peran sel limfosit T


Sel limfosit T yang teraktivasi melalui antigen bakteri menyebabkan proliferasi sel tersebut.1Sel
T CD4+ mensekresikan limfokin, seperti IL-2 (berperan dalam menstimulasi pertumbuhan sel T)
dan IFN-γ (mediator aktivasi makrofag dan penting dalam efek bakterisidal dari makrofag).2
Aktivasi sel T CD4+ kemudian berkembang menjadi sel Th1 atau Th2.1 Adanya diferensiasi sel
Th1 bergantung pada IL-12 yang diproduksi oleh APC yang memiliki komponen bakteri. Sel
Th1 matur ini kemudian mensekresikan IL-2 dan IFN-γ. Senyawa IFN-γ ini menstimulasi
pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan menstimulasi ekspresi iNOS
(inducible nitric oxide synthase) yang kemudian menghasilkan NO. Namun, respons terhadap
Th1 ini juga menghasilkan nekrosis perkijuan dan granuoma.3Senyawa IFN-γ juga dapat
mengatur produksi nitrogen reaktif dan mengatur gen yang berperan dalam menimbulkan efek
bakterisidal. Sedangkan, sel Th2 menghasilkan IL-4 IL-5, IL-10, dan IL-13 yang memicu
imunitas humoral. Sel T CD8+ berperan dalam respon sitotoksik, membuat lisis sel yang
terinfeksi, dan menghasilkan IFN-γ dan TNF-α. Aktivitas litik dari sel T CD8+ ini juga diatur
oleh sel NK.1

Lipid dan protein yang terdapat pada


mikobakterial
M.tuberkulosis memiliki banyak antigen protein, beberapa terdapat dalam sitoplasma dan
dinding sel, dan yang lain disekresikan. Terdapat protein yang bersifat protektif terhadap
mikobakterium, yaitu antigen 30-kDa dan ESAT-6. Sedangkan, lipid berperan dalam pengenalan
bakteri terhadap sistem imun. Lipoprotein pada bakteri, seperti 19-kDa, dapat memicu
pembentukan TLR pada sel dendritik.1Sel T yang mengenali antigen lipid bakteri kemudian
berikatan dengan CD1 pada APC atau sel T yang menghasilkan reseptor T γδ juga dapat
menghasilkan IFN-γ.3

Resistensi terhadap infeksi


Beberapa penelitian mengatakan bahwa genetik merupakan faktor yang mempengaruhi daya
tahan tubuh innate terhadap infeksi M.tuberkulosis. Faktor genetik ini membuat adanya
perbedaan daya tahan tubuh tiap orang. Gen NRAMP1 merupakan gen yang berperan dalam
resistensi ini.1Protein NRAMP1 merupakan protein transmembran pada endosom dan lisosom
yang berperan untuk memompa kation divalen ke dalam lisosom, sehingga dapat terbentuk
radikal oksigen yang dapat menghancurkan bakteri.3 Selain itu, gen HLA (histocompatibility
leukocyte antigen), IFN-γ, TGF-β, IL-10, protein mannose-binding, reseptor IFN-γ, TLR-2,
reseptor vitamin D, dan IL-1, juga berperan dalam resistensi terhadap infeksi tuberkulosis ini.1

Reaktivitas skin test


Tes kulit/tuberkulin/Mantoux menggunakan prinsip DTH untuk mendeteksi infeksi
M.tuberkulosis pada orang tanpa gejala. Sel yang berperan dalam hal ini yaitu limfosit T CD4+
yang berproliferasi dan memproduksi sitokin.

Selain pertahanan tubuh, DTH ini juga berperan dalam perlindungan terhadap reaktivasi. Namun,
sistem daya tahan tubuh ini tidak memberikan perlindungan sepenuhnya, yang terlihat dari
adanya reinfeksi akibat M.tuberkulosis dengan strain yang baru.1Reinfeksi bakteri terhadap
individu yang pernah terinfeksi menyebabkan peningkatan respons sel T namun juga dapat
mengakibatkan peningkatan kerusakan jaringan.2

Gambar 1. Proses imunopatologi tuberkulosis

Sumber: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease. Ed ke-8. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
Vaksin BCG
Vaksinasi dan imunisasi merupakan dua istilah yang sering digunakan dalam menyebut proses
tersebut. Vaksinasi berarti pemberian vaksin, sedangkan imunisasi berarti suatu keadaan yang
menginduksi imunitas, baik aktif maupun pasif. Karena itu, vaksinasi tidak menjamin adanya
suatu imunisasi/tercetusnya imunitas seseorang, dan imunisasi tidak selalu melalui vaksinasi.

Prinsip imunisasi
Vaksin terdiri atas antigen kuman yang dilemahkan atau dibunuh, atau juga molekul
protein/karbohidrat dari kuman, yang berguna untuk mencetuskan respons imun yang bersifat
melindungi, namun bisa juga hal ini berbahaya bagi individu tersebut. Respons imun spesifik
yang terbentuk melibatkan pembentukan antibodi atau sel imun yang mengenali antigen tersebut.
Imunitas ini dipicu oleh imunisasi aktif atau pasif. Imunisasi aktif, yang dilakukan melalui
pemberian vaksin, menginduksi imunitas yang bersifat jangka panjang. Sedangkan, imunisasi
pasif, yang dilakukan dengan pemberian substansi imun yang dibuat, menginduksi imunitas yang
tidak bertahan lama. Namun, perlu diperhatikan bila dilakukan pemberian imunisasi aktif dan
pasif sekaligus, karena kombinasi dua hal tersebut dapat mengganggu perkembangan imunitas
tubuh.

Pada imunisasi aktif, terdapat dua jenis kuman yang digunakan, yaitu kuman yang masih hidup
namun dilemahkan (virus campak) dan kuman yang diinaktifkan (virus influenza) atau produk
dari kuman tersebut (hepatitis B). Vaksin yang berisi kuman yang dilemahkan menyebabkan
sakit ringan sehingga mencetuskan respons imun yang mirip pada infeksi biasa. Vaksin ini
biasanya hanya butuh dosis tunggal, namun vaksin ini berisiko menimbulkan infeksi. Vaksin
yang berisi kuman yang diinaktifkan atau hanya molekul dari kuman tersebut membutuhkan
dosis multipel sehingga perlu diberikan secara periodik. Namun, vaksin ini memiliki efektivitas
yang tinggi.

Respons imun terhadap vaksin1


Respons imun primer

Respons primer ini merupakan periode laten sebelum respons imun terdeteksi. Butuh sekitar 7 –
10 hari supaya sel limfosit B memproduksi antibodi yang cukup sehingga dapat terdeteksi.
Antibodi IgM cepat diproduksi namun memiliki afinitas yang rendah terhadap antigen. Setelah
minggu pertama, antibodi IgG yang memiliki afinitas tinggi mulai diproduksi. Penggantian IgM
menjadi IgG membutuhkan sel limfosit T CD4+.

Aktivasi respons ini membutuhkan pengenalan antigen oleh HLA spesifik yang terdapat di
permukaan limfosit dan makrofag. Beberapa individu tidak menunjukkan respon terhadap
beberapa antigen, walaupun berulang kali vaksin diberikan, karena individu tersebut tidak
memiliki gen HLA spesifik untuk mengenali antigen. Keadaan ini disebut kegagalan vaksin
primer.
Respons imun sekunder

Respons ini terdiri atas respons CMI atau imunitas humoral yang diakibatkan oleh pajanan
sekunder terhadap antigen yang sama. Respons ini bergantung pada memori yang dimiliki imun
setelah pajanan primer. Karakteristik respons ini yaitu peningkatan antibodi IgG yang diproduksi
limfosit B atau sel T efektor. Revaksinasi atau infeksi dapat mencetuskan respons imun sekunder
yang cepat, di mana kadar IgG lebih banyak.

Vaksin BCG
Vaksin BCG (bacile Calmette-Guerin)merupakan vaksin untuk mencegah penyakit tuberkulosis,
terutama TB anak, TB meningitis, dan TB miliar.1Efek protektif ini bersifat jangka panjang, dan
lebih baik pada bayi dan anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.4

Vaksin ini merupakan bagian dari imunisasi aktif yang menggunakan bakteri yang dilemahkan,
yaitu M.bovis. Pemberian vaksin ini dilakukan secara intradermal.Vaksin BCG termasuk aman
dan jarang menimbulkan komplikasi yang serius. Respons imun mulai setelah 2 – 3 minggu
vaksinasi.

Indikasi vaksin BCG:

 Bayi baru lahir dan anak-anak, terutama pada negara yang memiliki prevalensi
tuberkulosis yang tinggi1
 individu yang belum pernah terinfeksi M.tuberkulosis sebelumnya dan memiliki risiko
untuk terinfeksi, seperti pekerja kesehatan, individu yang tinggal serumah dengan
penderita TB, dan lain-lain4

Kontraindikasi vaksin BCG:4

 individu dengan penyakit defisiensi imun, seperti HIV dan defisiensi reseptor IFN-γ
 keganasan yang membuat kondisi imun menurun
 sedang menggunakan kortikosteroid atau terapi radiasi yang mengganggu fungsi imun
tubuh
 penyakit kulit yang berat
 luka bakar
 individu dengan hasil TST (tuberculin skin test) positif

Efek samping :

 adenitis regional
 ulkus pada tempat injeksi
 osteomyelitis
 infeksi BCG pada individu imunokompromis1
 limfadenopati regional
 limfadenitis supuratif
 hepatomegali, splenomegali4
Home » Info » RESPON IMUN TUBUH TERHADAP TUBERKULOSIS

RESPON IMUN TUBUH TERHADAP TUBERKULOSIS


Posted by badrut tamam Monday, 11 March 2013 0 comments

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis complex.1 Transmisi
umumnya terjadi dari seseorang ke orang yang lainnya melalui droplet dari pasien TB paru dengan batuk
berdarah atau berdahak yang terkontaminasi.1,2

IMUNOPATOGENESIS

Tubuh manusia mempunyai suatu sistem imun yang bertujuan melindungi tubuh dari serangan benda
asing seperti kuman, virus dan jamur. Sistem tersebut terdiri atas berbagai macam sel dan molekul
protein yang sanggup membedakan antara self antigen dan nonself antigen. Setelah sistem imun
dibangkitkan terhadap suatu antigen asing, sistem tersebut akan mempunyai memory atau daya ingat
dan akan melakukan respons yang lebih spesifik serta lebih aktif jika antigen tersebut masuk ke dalam
tubuh untuk kedua kalinya.1

Respons imun proteksi utama terhadap kuman intraseluler adalah

cell mediated immunity (CMI) atau imuniti seluler. Imuniti seluler terdiri atas dua tipe reaksi yaitu
fagositosis (oleh makrofag teraktivasi) dan lisis sel terinfeksi (oleh limfosit T sitolitik). Secara imunologis,
sel makrofag dibedakan menjadi makrofag normal dan makrofag teraktivasi. Makrofag normal berperan
pada pembangkitan daya tahan imunologis nonspesifik, dilengkapi dengan kemampuan bakterisidal atau
bakteriostatik terbatas. Makrofag ini berperanan pada daya tahan imunologis bawaan (innate
resistance). Sedang makrofag teraktivasi mempunyai kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik sangat
kuat yang merupakan hasil aktivasi sel T sebagai bagian dari respons imun spesifik (acquired resistance).
Kuman yang masuk pertama-tama akan dihadang oleh neutrofil, baru kemudian oleh makrofag.3,4,5
Kuman yang masuk ke alveoli akan ditelan dan sering dihancurkan oleh makrofag alveolar.

Sel T adalah mediator utama pertahanan imun melawan M.tb. Secara imunofenotipik sel T terdiri dari
limfosit T helper, disebut juga clusters of differentiation 4 (CD4) karena mempunyai molekul CD4+ pada
permukaannya, jumlahnya 65% dari limfosit T darah tepi. Sebagian kecil (35%) lainnya berupa limfosit T
supresor atau sitotoksik, mempunyai molekul CD8+ pada permukaannya dan sering juga disebut CD8.
Sel T helper (CD4) berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper 1 (Th1) dan sel T helper 2 (Th2).
Subset sel T tidak dapat dibedakan secara morfologik tetapi dapat dibedakan dari perbedaan sitokin
yang diproduksinya. Sel Th1 membuat dan membebaskan sitokin tipe 1 meliputi IL-2, IL- 12, IFN-g dan
tumor nekrosis faktor alfa (TNF-a). Sitokin yang dibebaskan oleh Th1 adalah activator yang efektif untuk
membangkitkan respons imun seluler. Sel Th2 membuat dan membebaskan sitokin tipe 2 antara lain IL-
4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-10. Sitokin tipe 2 menghambat proliferasi sel Th1, sebaliknya sitokin tipe 1
menghambat produksi dan pembebasan sitokin tipe 2.6,7

Interaksi antara pejamu dan kuman dalam setiap lesi merupakan kelainan yang berdiri sendiri dan tidak
dipengaruhi oleh lesi lainnya. Senjata pejamu dalam interaksi tersebut adalah makrofag teraktivasi dan
sel sitotoksik. Makrofag teraktivasi dapat membunuh atau menghambat kuman yang ditelannya. Sel
sitotoksik dapat secara langsung maupun tidak langsung membunuh makrofag tidak teraktivasi yang
berisi kuman TB yang sedang membelah secara aktif dalam sitoplasmanya. Kematian makrofag tidak
teraktivasi akan menghilangkan lingkungan intraseluler (tempat yang baik untuk tumbuh), diganti
dengan lingkungan ekstraseluler berupa jaringan perkijuan padat (nekrotik) yang akan mengambat
pertumbuhan kuman. Senjata kuman dalam interaksi tersebut adalah kemampuan untuk membelah
secara logaritmik dalam makrofag tidak teraktivasi, misalnya dalam monosit yang baru saja migrasi dari
aliran darah ke tempat infeksi. Senjata lainnya adalah kemampuan untuk membelah (kadang sangat
cepat) dalam bahan perkijuan cair. Ketika kuman sedang membelah ekstraseluler dalam perkijuan cair,
sejumlah besar antigen yang dihasilkannya menyebabkan nekrosis jaringan lebih banyak, erosi dinding
bronkus, pembentukan kaviti dan selanjutnya penyebaran kuman ke dalam saluran napas.
Fase Pembentukan Respons Imun

Selama beberapa hari atau minggu awal infeksi TB primer, respons kompleks sedang disiapkan oleh
pejamu. Walaupun lekosit polimorfonuklear (PMN) telah aktif pada awal inflamasi namun mereka tidak
bekerja dengan baik. Respons humoral atau antibodi yang biasanya merupakan pusat pertahanan
terhadap bakteri patogen, peranannya bisa diabaikan dalam melawan tuberkulosis. Namun demikian
sistem komplemen ikut berperan pada tahap awal fagositosis. Mekanisme pertahanan spesifik terjadi 4-
8 minggu setelah infeksi berupa sensitisasi sel T terhadap antigen spesifik. Mekanisme tersebut pada
tuberkulosis ditandai dengan dimulainya respons cell-mediated immunity (CMI) dan delayed-type
hipersensitivity (DTH) yang akan meningkatkan kemampuan pejamu untuk menghambat atau
mengeliminasi kuman.

Respons CMI dan DTH merupakan fenomena yang sangat erat hubungannya dan timbul akibat aktivasi
sel T yang bersifat spesifik. Kedua fenomena yang belum dapat dipisahkan tersebut terjadi melalui
mekanisme respons imun yang sama dan akan mengubah respons pejamu terhadap pajanan antigen
berikutnya. Respons DTH ditandai dengan nekrosis perkijuan akibat lisisnya sel makrofag alveoli yang
belum teraktivasi, sedang respons CMI timbul setelah makrofag alveoli teraktivasi sehingga menjadi sel
epiteloid matur. Penelitian pada binatang percobaan mendapatkan kesan bahwa kedua respons imun
tersebut terjadi pada pejamu yang rentan maupun resisten tetapi dengan derajat yang berbeda. Pada
pejamu yang resisten didapatkan rasio sel-sel epiteloid terhadap nekrosis perkijuan jauh lebih besar
dibandingkan pejamu yang rentan.6,7

Keseimbangan antara CMI dan DTH akan menentukan bentuk penyakit yang akan berkembang. Respons
CMI akan mengaktifkan makrofag dan selanjutnya membunuh kuman secara intraselular sedang respons
DTH menyebabkan nekrosis perkijuan dan pertumbuhan kuman dihambat secara ekstraselular.
Keduanya merupakan respons imun yang sangat efektif menghambat perjalanan penyakit. Untuk
keberhasilan pengelolaan TB, diperlukan pengetahuan tentang saling pengaruh antara kedua respons
imun tersebut dan perubahan rasio antara keduanya.6

Dalam makrofag, M. tuberculosis hidup bereplikasi dalam fagosom dengan menghambat fusi fagosom
dengan lisosom melalui inhibisi sinyal Ca2+ dan menghambat recruitment dan assembly protein yang
memediasi fusi fagosom-lisosom. Oleh karena itu, fase awal TB primer pada individu yang berlum
tersensitisasi adalah proliferasi bakteri dalam makrofag alveolar dengan bakteremia dan seeding pada
beberapa tempat. Meski terjadi bakteremia, umumnya TB asimtomatik atau terjadi gejala seperti flu
yang ringan.4

Kuman M.tb dalam makrofag akan dipresentasikan ke sel Th1 melalui major histocompatibility complex
(MHC) kelas II. Sel Th1 selanjutnya akan mensekresi IFN g yang akan mengaktifkan makrofag sehingga
dapat menghancurkan kuman yang telah difagosit. Jika kuman tetap hidup dan melepas antigennya ke Commented [d8]: Melalui INOS
sitoplasma maka akan merangsang sel CD8 melalui MHC kelas I. Sel CD8 yang bersifat sitolitik
selanjutnya akan melisiskan makrofag. Tidak semua makrofag akan teraktivasi oleh IFN-g yang dihasilkan
oleh Th1 sehingga sel yang terlewat tersebut selanjutnya akan dilisiskan melalui mekanisme DTH. Sitokin
IFN-g yang disekresi oleh Th1 tidak hanya berguna untuk meningkatkan kemampuan makrofag
melisiskan kuman tetapi juga mempunyai efek penting lainnya yaitu merangsang sekresi TNF a oleh sel
makrofag. Hal ini terjadi karena substansi aktif dalam komponen dinding sel kuman yaitu
lipoarabinomannan (LAM) yang dapat merangsang sel makrofag memproduksi TNF-a. Respons DTH pada
infeksi TB ditandai dengan peningkatan sensitivity makrofag tidak teraktivasi terhadap efek toksik TNF-a.
Makrofag tidak teraktivasi tersebut merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan kuman, sehingga
perlu dihancurkan untuk menghambat proliferasi kuman lebih lanjut.8 Perkembangan infeksi
berhubungan dengan kemampuan makrofag sekitar lesi mengendalikan proliferasi dan penyebaran
kuman TB. Pada hampir semua pejamu normal, lesi primer dalam paru akan membaik karena pengaruh
pertahanan seluler atau CMI.

Pada sebagian pejamu kemampuan meningkatkan respons imun lemah sehingga tidak mampu
mengendalikan TB. Pejamu tersebut secara klinis akan menderita TB beberapa minggu sampai bulan
sesudah infeksi primer. Termasuk dalam kelompok ini adalah bayi (sistem imun imatur), usia lanjut
(kompetensi imun menurun dengan bertambahnya usia), dan immunocompromised (khususnya orang
dengan human immunodeficiency virus / HIV atau acquired immunodeficiency síndrome / AIDS).

UJI TUBERKULIN9

Uji tuberkulin adalah salah satu metode yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi TB. Ini sering
digunakan untuk skrening individu dari infeksi laten dan menilai rata-rata infeksi TB pada populasi
tertentu. Uji tuberkulin dilakukan untuk melhat seseorang mempunyai kekebalan terhadap basil TB,
sehingga sangat baik untuk mendeteksi infeksi TB. Tetapi uji tuberkulin ini tidak dapat untuk
menentukan M.tb tersebut aktif atau tidak aktif (latent). Oleh sebab itu harus dikonfirmasi dengan ada
tidaknya gejala dan lesi pada foto thorak untuk mengetahui seseorang tersebut terdapat infeksi TB atau
sakit TB. Tuberkulin9 Uji tuberkulin merupakan salah satu dasar kenyataan bahwa infeksi oleh M.tb akan
menyebabkan reaksi delayed-type hypersensitivity terhadap komponen antigen yang berasal dari
ekstrak M.tb atau tuberkulin. Stkitart tuberkulin ada 2 yaitu PPD-S dan PPD RT 23, dibuat oleh Biological
Stkitards Staten, Serum Institute, Copenhagen, Denmark. Dosis stkitart 5 TU PPD-S sama dengan dosis 1
/ 2 TU PPD RT 23.4 WHO merekomendasikan penggunaan 1 TU PPD RT 23 Tween 80 untuk penegakan
diagnosis TB guna memisahkan terinfeksi TB dengan sakit TB. Imunologi9 Reaksi uji tuberkulin yang
dilakukan secara intradermal akan menghasilkan hipersensitiviti tipe IV atau delayed-type
hypersensitivity (DTH). Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel T tersensitisasi dan
Commented [d9]: Utk orang yang terinfeksi TB:
menggerakkan limfosit ke tempat suntikan. Limfosit akan merangsang terbentuknya indurasi dan Disuntik PPD  datang APC di kulit yaitu langerhans  MHC 2 
CD4 Th1  GMCSF  banyak neutrofil dann makrofag ke tempat
vasodilatasi lokal, edema, deposit fibrin dan penarikan sel inflamasi ke tempat suntikan seperti tampak
suntikan  inflamasi di tempat suntikan  bengkak.
pada gambar 2. Reaksi tuberkulin merupakan reaksi DTH. Protein tuberkulin yang disuntikkan di kulit, Ini terjadi krn anak itu pernah/sedang terinfeksi TB. Kalau blum
pernah, tentynya gak bakalan ada epitope yang dikenali CD4 Th1
kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel dendritik/ Langerhans ke sel T melalui molekul MHC-II. nya, dan bakalan butuh waktu lama utk kenal dari awal lagi
Sitokin yang diproduksi oleh sel T, akan membentuk molekul adhesi endotel. Monosit keluar dari
pembuluh darah dan masuk ke tempat suntikan yang berkembang menjadi makrofag. Produk sel T dan
makrofag menimbulkan edema dan bengkak. Test kulit positif maka akan tampak edema lokal atau
infiltrat maksimal 48-72 jam setelah suntikan. Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang
paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering
digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin
adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin
positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari
persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin
kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux
lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri
bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi: 1. Pembengkakan
(Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis. 2.
Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi
silang dengan 3. Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. Pembengkakan (Indurasi) : >=
10mm, uji mantoux positif.

Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

Vaksinasi BCG Terhadap Uji Tuberkulin9

Imunisasi BCG secara luas digunakan untuk mencegah TB yang berat. Data yang didapat menyatakan
bahwa BCG dapat memproteksi TB secara luas dari meningitis TB meskipun tidak dapat melawan TB
pada anak dan dewasa. Imunisasi BCG dapat menyebabkan reaksi uji tuberkulin menjadi positif tetapi
keadaan ini berlangsung selama beberapa tahun setelah BCG diberikan. Reaksi ini umumnya kecil (<
6mm). Jika reaksi uji tuberkulin dengan ukuran yang lebih besar dapat menggambarkan positif atau
abnormal, yang diartikan sebagai seeorang tersebut terpapar dengan basil TB, terdapat antibodi
terhadap basil TB dan sewaktu-waktu dapat menjadi aktif. VAKSIN BCG10 Vaksin BCG merupakan vaksin
hidup yang memberi sedikit perlindungan terhadap TBC. Vaksin TBC tidak mencegah seseorang dari
infeksi kuman TBC, tetapi memungkinkan seseorang mengalami infeksi kecil terbatas dan bukannya
penyakit yang amat parah dan mengancam nyawa. Vaksin BCG dapat memakan waktu 6-12 minggu
untuk menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG mungkin hanya memberi
kekebalan 50-60% terhadap tuberkulosis dan bagi beberapa individu vaksin ini kurang efektif dengan
berlalunya waktu, ada kalanya dalam waktu 5-15 tahun. Bagi anak-anak, vaksin BCG mungkin mencegah
dari timbulnya bentuk TBC yang parah, misalnya TBC di otak (meningitis TBC). Manfaat bagi kaum
dewasa kurang jelas. Tes Kulit Tuberkulin (tes Mantoux) diperlukan sebelum vaksinasi untuk
menentukan apakah kita belum positif untuk tes kulit tuberkulin dari infeksi TBC sebelum ini, atau
setelah vaksinasi BCG. Orang yang mempunyai tes kulit Tuberkulin positif tidak akan mendapat manfaat
dari vaksin ini dan mungkin mengalami reaksi yang parah di tempat vaksinasi. Salah satu kekurangan
setelah vaksinasi BCG adalah bahwa tes kulit Tuberkulin kelak sering positif. Ini berarti bahwa kita
mungkin tidak dapat menentukan apakah reaksi tersebut disebabkan oleh infeksi TBC atau sebagai hasil
dari vaksinasi BCG. Ada beberapa orang yang seharusnya tidak menerima vaksinasi BCG. Orang dengan
kekebalan yang kurang, menderita penyakit seperti cacar air pada saat ini, atau baru menerima vaksinasi
hidup mis. untuk campak, mungkin dinasihat agar tidak mendapatkan BCG. Sama seperti untuk vaksin
apapun, efek samping Vaksin BCG dapat terjadi dan berlainan dari satu orang ke orang lain. Adakalanya
tempat vaksinasi menjadi sakit, merah dan bengkak. Ini biasanya akan sembuh tanpa perawatan.
Pembengkakan kelenjar di ketiak atau leher juga mungkin terjadi, dan adakalanya memerlukan
perawatan. Jarang sekali vaksinasi dapat mengakibatkan infeksi BCG menyeluruh. Hal ini biasanya terjadi
pada orang yang mempunyai kekebalan yang rendah, termasuk mereka yang HIV positif, kekurangan gizi
atau mempunyai keadaan medis yang parah. Dalam beberapa kasus yang jarang, telah terjadi kematian.
Oleh karena BCG tidak mencegah dari risiko tuberkulosis sepenuhnya, penting agar kita mengetahui
gejala-gejala penyakit TBC aktif, misalnya: batuk terus-menerus (lebih dari dua minggu), batuk dengan
dahak berdarah, demam, keringat malam, berat badan yang menurun dan kecapaian tanpa sebab.
Gejala-gejala ini dapat terjadi karena banyak sebab, tetapi jika Kita mengalaminya Kita harus
berkonsultasi ke klinik pernapasan setempat atau dokter keluarga Kita dan melakukan sinar X dada.
Setelah vaksinasi BCG, papul (bintik) merah yang kecil timbul dalam waktu satu sampai tiga minggu.
Papul ini akan semakin lunak dan hancur, dan mengakibatkan luka yang kecil bagi kebanyakan orang.
Luka ini mungkin memakan waktu sampai tiga bulan untuk sembuh, dan biasanya meninggalkan bekas
luka yang kecil.

Kesimpulan

Respons imun proteksi utama terhadap kuman intraseluler adalah cell mediated immunity (CMI) atau
imuniti seluler. Imuniti seluler terdiri atas dua tipe reaksi yaitu fagositosis (oleh makrofag teraktivasi)
dan lisis sel terinfeksi (oleh limfosit T sitolitik). Sel T adalah mediator utama pertahanan imun melawan
M.tb. Respons CMI dan DTH merupakan fenomena yang sangat erat hubungannya dan timbul akibat
aktivasi sel T yang bersifat spesifik. Respons CMI akan mengaktifkan makrofag dan selanjutnya
membunuh kuman secara intraselular sedang respons DTH menyebabkan nekrosis perkijuan dan
pertumbuhan kuman dihambat secara ekstraselular. Uji tuberkulin adalah salah satu metode yang
digunakan untuk mendiagnosis infeksi TB. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji
tuberkulin adalah lebih dari 90%. Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi sedikit
perlindungan terhadap TBC. Vaksin TBC tidak mencegah seseorang dari infeksi kuman TBC, tetapi
memungkinkan seseorang mengalami infeksi kecil terbatas dan bukannya penyakit yang amat parah dan
mengancam nyawa.

Anda mungkin juga menyukai