Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

End stage renal disease (ESRD) melibatkan penurunan secara ireversibel


pada laju filtrasi glomerulus.1 Pada ESRD, LFG hanya sekitar 5%-10%, sehingga
penanganan seperti transplantasi ginjal dan hemodialisis perlu dilakukan untuk
mengeluarkan sisa produk dalam tubuh yang tidak bisa lagi dibuang melalui
ginjal.2 Penanganan terbaik bagi pasien dengan ESRD adalah transplantasi ginjal,
namun demikian jumlah donor ginjal masih jauh lebih sedikit daripada yang
dibutuhkan, sehingga jumlah pasien ESRD yang harus melakukan hemodialisa
meningkat.3 Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi
pengganti fungsi ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun
tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeable sebagai
pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi,
osmosis dan ultra filtrasi. Pasien dengan hemodialisa mendapatkan kualitas hidup
yang cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang adalah selama
14 tahun.2 Untuk melakukan hemodialisa, diperlukan fistula arteri-vena yang
adekuat sehingga mudah diakses dan mampu menekan resiko komplikasi.
Fistula arteri-vena merupakan akses vaskular yang paling sering
digunakan untuk hemodialisa pada pasien dengan ESRD. Pada tahun 1996,
metode fistula Bresia-Cimino yakni pembuatan fistula arteri-vena melibatkan
anastomosis arteri radialis dengan vena cephalica pertama kali diperkenalkan oleh
Brescia.4

1
BAB II
PENYAJIAN KASUS

2.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. E
Usia : 35 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Katolik
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Jalan Paris 2

2.2. Anamnesis
a. Keluhan utama
Badan terasa lemas
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke poli bedah umum RSUD Sultan Syarif
Muhammad Alkadrie pada tanggal 18 Mei 2018 untuk dilakukan
pemasangan cimino guna keperluan hemodialisa di RSUD DR
Soedarso.
c. Riwayat penyakit dahulu
Kurang lebih 8 bulan yang lalu pasien dinyatakan mengalami gagal
ginjal kronik dengan fungsi ginjal yang tersisa 15%. Pasien rutin
melakukan hemodialisa di RSUD DR Soedarso setiap hari senin dan
kamis. Pasien juga memliki riwayat hipertensi dan rutin mengonsumsi
obat anti hipertensi.
d. Riwayat sosial ekonomi
Pasien dulunya adalah sales yang sering melakukan perjalanan ke
luar kota, namun sekarang sudah tidak bekerja. Status kepesertaan:
BPJS mandiri

2
e. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama
dengan pasien.

2.3. Pemeriksaan Fisik


a. Tanda Vital
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan Darah : 200/140 mmHg
- Frekuensi Nadi : 98 x/menit
- Frekuensi Napas : 20 x/menit
- Suhu : 37,3oC
b. Status Generalis
1. Kepala : jejas (-), hematom (-), nyeri tekan (-)
2. Mata : Pupil isochor 3mm/3mm, CA (-/-), SI (-/-),
refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak
langsung (+/+),
3. THT : Rhinorhea(-/-), Otorheae (-/-), Nyeri tekan
Krepitasi (-)
4. Dada
Jantung :
Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi: Iktus kordis teraba di SIC 5 linea midclavicula sinistra
Perkusi: Batas jantung kanan di SIC 4 linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri di SIC 5 linea midclavicula sinistra
Pinggang jantung di SIC 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi: S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-), split (-)
Paru :
Inspeksi: Bentuk dada normal (+), barrel chest (-),pectus
eksavatum (-) pectus carinatum (-) Pergerakan dada simetris (+)
dada tertinggal (-)

3
Palpasi: Vokal fremitus teraba sama di kedua lapang paru
Perkusi sonor (+), nyeri ketok (-)
Auskultasi : Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
5. Abdomen :
 Inspeksi : datar (+), cembung (-), cekung (-), luka bekas
operasi (-), massa (-), spider nervi (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit (-)
 Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, distensi (-), defense
muscular (-) dan nyeri tekan (-).
 Perkusi : Timpani, CVA (+/+)
6. Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2”, edema (-)

2.4. Resume
Laki-laki 35 tahun datang untuk dilakukan pemasangan cimino
guna keperluan hemodialisa. Kurang lebih 8 bulan lalu didiagnosa dengan
gagal ginjal kronik dengan fungsi hinjal 15%. Pasien rutin melakukan
hemodialisa di RSUD DR Soedarso setiap hari senin dan kamis. Pasien
juga memiliki riwayat hipertensi dan rutin mengonsumsi obat anti
hipertensi. Dari pemeriksaan fisik didapatkan nyeri ketok costovertebrae
angel (CVA) positif pada kedua ginjal.

2.5. Diagnosa kerja


- End stage renal disease on hemodialysis
- Hypertensi heart disease
- Anemia

4
2.6. Pemeriksaan penunjang
Tanggal 18/5/2018
Parameter Hasil Satuan Nilai normal
Leukosit 5,79 10^3/uL 4.5-11
Eritrosit 2.60 10^6/uL 4.7-6.1
Hemoglobin 7.3 g/dL 13.6-18
Hematokrit 21.7 % 42-52
Trombosit 166 10^3/uL 150-450
GDS 115 mg/dL 70-150
Urea 193,3 mg/dL 18.0-55.0
Creatinine 11.20 mg/dL 0.70-1.30
SGOT 25,7 U/L 0.0-50.0
SGPT 49,6 U/L 0.0-50

Tanggal 25/5/2018
Parameter Hasil Satuan Nilai normal
Leukosit 6.85 10^3/uL 4.5-11
Eritrosit 2.86 10^6/uL 4.7-6.1
Hemoglobin 8.3 g/dL 13.6-18
Hematokrit 23.3 % 42-52
Trombosit 195 10^3/uL 150-450

5
2.7. Follow up
Tanggal Subjective Objective Assesment Planning
23/5/2018 Tidak ada KU: baik ESRD on P.O Amlodipine
keluhan N : 98 x/menit regular HD 1x10 mg
RR : 20 x/menit Anemia berat P.O Valsartan
T : 370 C 1x160mg
TD:200/140 mmHg
Mata: CA (-/-)
SI (-/-)
C/P:
S1S2 reg, g(-) m(-)
Ves (+/+) sama, Wh (-
/-). Rh (-/-)
Abdomen:
datar, soepel,timpani,
BU (+),
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT
<2”, edema (-)
24/5/2018 Tidak ada KU: baik Post bypass NaCl 0,9% 20tpm
keluhan N : 98 x/menit arteri vena P.O Cefadroxil 2x4
RR : 20 x/menit ESRD on HD P.O Deksketoprofen
T : 370 C Anemia berat 2x1
TD:150/100 mmHg Transfusi PRC
Mata: CA (-/-) 250cc
SI (-/-) P.O Valsartan
C/P: 1x160mg
S1S2 reg, g(-) m(-)
Ves (+/+) sama, Wh (-
/-). Rh (-/-)

6
Abdomen:
datar, soepel,timpani,
BU (+),
Ekstremitas:
Akral hangat, CRT
<2”, edema (-)
25/5/2018 Tidak ada KU: baik Post bypass P.O Cefadroxil 2x4
keluhan N : 98 x/menit arteri vena P.O Deksketoprofen
RR : 20 x/menit ESRD on HD 2x1
T : 370 C Anemia berat P.O Valsartan
TD:180/100 mmHg 1x160mg
Mata: CA (-/-)
SI (-/-)
C/P:
S1S2 reg, g(-) m(-)
Ves (+/+) sama, Wh (-
/-). Rh (-/-)

Abdomen:
datar, soepel,timpani,
BU (+),

Ekstremitas:
Akral hangat, CRT
<2”, edema (-)

Status lokalis: teraba


thrill pada
anastomosis arteri-
vena

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 End Stage Renal Disease


Gagal ginjal kronis didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur dan
fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan yang mengakibatkan implikasi pada
kesehatan seseorang. Gagal ginjal kronik diklasifikasikan dengan menilai
glomerular rate filtration (GFR) /laju filtrasi glomerulus dan albuminuria.5

Gambar 2.1 klasifikasi dan prognosis CKD5

End stage renal disease (ESRD) adalah gagal ginjal tahap akhir yang
dibuktikan dengan GFR <15. Angka kematian akibat gagal ginjal kronik atau
end stage renal disease dengan dialisis terus meningkat di banyak negara
termasuk negara berkembang seperti Indonesia, pada tahun 2003 terdapat 210

8
pasien dialisis meninggal dari 1000 pasien. Pasien penyakit gagal ginjal
kronik tahap akhir diindikasikan untuk memperoleh terapi renal replacement
therapy, yaitu dialisis. Dialisis yang dimaksud baik dialisis peritonial maupun
hemodialisis.6

3.2 Hemodialisa
Dialisis adalah metode terapi yang bertujuan untuk menggantikan
fungsi/kerja ginjal, yaitu membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari
tubuh. Hemodialisa merupakan salah satu cara dari dialisis. Hemodialisis (HD)
adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai
"ginjal buatan". Pada HD, darah dipompa keluar dari tubuh, masuk ke dalam
mesin dialiser. Di dalam mesin dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat racun
melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk
dialisis), lalu dialirkan kembali ke dalam tubuh. Proses HD dilakukan 1-3 kali
seminggu di rumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4
jam.6,7
Mesin hemodialisis (hemo berarti darah) menghilangkan kotoran dari aliran
darah dan mengatur cairan tubuh serta keseimbangan kimia dalam darah.
Sebuah perangkat akses pembuluh darah menghubungkan aliran darah pasien,
atau sirkulasi darah ke mesin. Darah mengalir dari pasien ke mesin,
dibersihkan, dan dikembalikan. Perangkat akses sementara adalah tabung
plastik (kateter) yang dimasukkan langsung ke pembuluh darah besar.
Perangkat akses yang lebih permanen diperoleh dengan cara membuat koneksi
aliran yang tinggi antara arteri dan vena, biasanya di lengan pasien, yang dapat
dihubungkan dengan cepat dan mudah ke mesin dialisis.6,7
Sirkulasi terdiri dari sebuah pompa (jantung), dan pembuluh darah. Arteri
membawa darah dari jantung ke jaringan-jaringan dengan tekanan tinggi; vena
mengembalikan darah ke jantung dengan tekanan rendah. Aliran pada arteri
dan vena ginjal biasanya dapat mencapai ¼ (satu perempat) dari output
jantung, kira-kira satu liter per menit. Demikian pula dengan mesin dialisis
yang membutuhkan aliran darah tinggi (setidaknya satu sepertiga sampai

9
setengah liter per menit) untuk menggantikan fungsi ginjal. Hemodialisa pada
gagal ginjal akut dan kronik di indikasikan bagi:6
1. Hiperkalemia (>6meq/L)
2. Fluid overload
3. Asidosis berat akibat kegagalan ginjal dalam ekskresi hidrogen dan resobsi
bikarbonat
4. Overdosis obat
5. Gejala uremia

3.3 Fistula arteri-vena


a. Definisi
A-V shunt atau fistula arteri-vena dilakukan secara side to side
anastomosis atau side to end anastomosis atau end to end anastomosis
antara arteri radialis dan vena cephalica pada lengan non dominan terlebih
dahulu. Operasi dilakukan pada lokasi paling distal sehingga
memungkinkan dilakukan operasi lebih proksimal jika gagal. Dapat
dilakukan pada ekstremitas bawah jika operasi gagal atau tidak dapat
dilakukan pada ekstremitas atas.8
Fistula arteri-vena merupakan akses vaskular terbaik untuk
digunakan untuk akses hemodialisis. The Kidney Dialysis Outcome
Quality Initiative (DOQI) merekomendasikan tatalakasana manajemen
penatalaksanaan akses vaskular berupa AV Shunt pada tahun 1997.8,9

b. Teknik operasi
Fistula radiosefalika atau teknik Brescia-Cimino merupakan
prosedur pilihan pertama. Vena sefalika yang memungkinkan untuk
pemasangan fistula diidentifikasi sebelum operasi.

10
Gambar 2.2 Lokasi pembuatan fistula arter-vena10

Jika pembuluh darah berjumlah memadai, fistula arteriovenosa


radiosefalika primer merupakan prosedur pilihan. Hasil pemeriksaan fisik
akan memperlihatkan vena sefalika yang normal di sepanjang lengan
bawah serta denyut nadi brakialis, radialis, dan ulnaris yang normal. Insisi
dibuat ditengah-tengah antara arteri radialis dengan vena sefalika dan
ditempatkan di tengah-tengah sekitar 5 cm sebelah proksimal dari sendi
pergelangan tangan. Lengan bawah yang non-dominan digunakan terlebih
dahulu kecuali lengan lainnya terlihat memiliki pembuluh darah yang
lebih baik.10

11
Gambar 2.3 insisi pada pembuatan fistula arteri-vena radiosefalika10

Di bawah anestesi lokal, arteri radialis dan vena sefalika


dimobilisasi secukupnya sehingga kedua pembuluh darah ini dapat
dipertemukan bersama tanpa angulasi atau tegangan. Nervus kutaneus,
yang lokasi pastinya bervariasi, dilindungi dari kauter dan dari cedera
lainnya. Masing-masing cabang pembuluh darah diligasi sekurang-
kurangnya satu milimeter dari pembuluh darah utama dengan maksud
untuk menghindari jepitan adventisia, yang dapat dimanifestasikan sebagai
stenosis pembuluh utama setelah pembuluh darah mengalami dilatasi.
Dengan ikatan pita karet Potts yang halus di tempat dan dengan lumen

12
yang berisi darah, vena didistensi lemah lembut dengan lidokain murni 1%
dan diinsisi dengan arah longitudinal dengan mata pisau yang runcing.
Insisi selanjutnya diperlebar hingga 7 sampai 9 mm dengan gunting
tenotomi. Kecukupan aliran keluar dites dengan injeksi larutan garam
bercampur heparin ke dalam vena proksimal. Selanjutnya arteriotomi
dibuat dengan cara serupa. Penderita tidak diberi antikoagulan.10

Satu jahitan jelujur benang 7-0 digunakan untuk membentuk side-


to-side anastomosis (anastomosis samping-ke-samping). Dinding belakang
dijahit pertama kali dari sisi dalam pembuluh darah. Di akhir anastomosis,
simpul (knot) akan berada di dekat titik tengah sebelah anterior. Tepat
sebelum garis jahitan diselesaikan, kecukupan aliran masuk dites dengan
pelepasan sebentar pita karet arterial proksimal. Tanda klinis yang segera
terlihat dari fistula yang berfungsi baik adalah (1) teraba thrill dan (2)
denyutan halus yang tidak melambung secara mencolok selama oklusi
sementara vena proksimal. Luka operasi ditutup dengan jahitan
subkutikular.10

13
Prosedur alternatif yang juga dapat digunakan adalah end-to-side
anastomoses (anastomosis ujung ke samping) ataupun end-to-end
anastomoses (anatomosis ujung ke ujung) antara vena radialis dan vena
sefalika.7

Proses maturasi hingga dapat digunakan untuk akses hemodialisa


memakan waktu 8-12 minggu.6

14
c. Komplikasi6
1. Stenosis
Stenosis dapat terjadi akibat terjadinya hiperplasia intima vena
cephalica distaldari anastomosis pada A-V shunt radiocephalica
sehingga A-V shunt tidak berfungsi.Sedangkan pada penggunaan
bahan sintetis ePTFE terjadi stenosis akibat hiperplasia
pseudointima atau neointima. Stenosis merupakan faktor penyebab
timbulnya trombosis sebesar 85%. Hiperplasis intima timbul karena:
Terjadinya cedera vaskular yang ditimbulkan baik oleh karena
operasinya ataupun kanulasi jarum yang berulang yang kemudian
memicu terjadinya kejadian biologis (proliferasi sel otot polos vaskular
medial sel lalu bermigrasi melalui intima proliferasi sel otot polos
vaskular intima ekskresi matriks ekstraselular intima).
a) Tekanan arteri yang konstan pada anatomosis vena, khususnya jika
terjadi aliran turbulen, dapat menyebabkan cedera yang progesif
terhadap dinding vena tersebut.
b) Compliance mismatch antara vena dengan graft pada lokasi
anastomosis
c) Rusaknya integritas dan fungsi daripada sel endotelial
d) PDGF (platelet derived growth factor), bFGF (basic fibroblast
growth factor), IGF-1 (insulin growth factor-1) turut memicu
terjadi hiperplasiaintima dengan mekanismenya masing-masing
2. Trombosis
Muncul beberapa bulan setelah dilakukannya operasi. Sering
diakibatkan karena faktor anatomi atau faktor teknik seperti rendahnya
aliran keluar vena, tehnik penjahitan yang tidak baik, graft kinking, dan
akhirnya disebabkan oleh stenosis pada lokasi anastomosis.
Penanganan trombosis meliputi trombektomi dan revisi secara
pembedahan. Trombosis yang diakibatkan penggunaan bahan sintetik
dapat diatasi dengan farmakoterapi (heparin, antiplatelet agregasi),
trombektomi, angioplasti dan penanganan secara pembedahan.

15
3. Infeksi
Kejadian infeksi jarang terjadi. Penyebab utama ialah kuman
Staphylococcus aureus. Jika terjadi emboli septik maka fistula harus
direvisi atau dipindahkan. Infeksi pada penggunaan bahan sintetik
merupakan masalah dan sering diperlukan tindakan bedah disertai
penggunaan antibiotik. Pada awal infeksi gunakan antibiotik spektrum
luas dan lakukan kultur kuman untuk memastikan penggunaan
antibiotik yang tepat. Kadang diperlukan eksisi graft.
4. Aneurysma
Umumnya disebabkan karena penusukan jarum berulang pada
graft. Pada A-V fistula jarang terjadi aneurysma akibat penusukan
jarum berulang tetapi oleh karena stenosis aliran keluar vena.
5. Sindrom “steal” arteri
Dikatakan sindrom “steal” arteri jika distal dari ekstremitas yang
dilakukan AV shunt terjadi iskemik. Hal ini disebabkan karena
perubahan aliran darah dari arteri melalui anastomosis menuju ke vena
yang memiliki resistensi yang rendah ditambah aliran darah yang
retrograde dari tangan dan lengan yang memperberat terjadinya
iskemik tersebut. Pasien dengan iskemik ringan akan merasakan
parestesi dan teraba dingan distal dari anastomosis tetapi sensorik dan
motorik tidak terganggu. Hal ini dapat diatasi dengan terapi
simptomatik. Iskemik yang berat membutuhkan tindakan emergensi
pembedahan dan harus segera diatasi untuk menghindari cedera saraf.
6. Hipertensi vena
Gejala yang nampak ialah pembengkakan, perubahan warna kulit
dan hiperpigmentasi. Paling sering disebabkan karena stenosis dan
obstruksi pada vena. Lama kelamaan akan terjadi ulserasi dan nyeri.
Manajemen penanganan terdiri dari koreksi stenosis dan kadang
diperlukan ligasi vena distal dari tempat akses dialisis.
7. Gagal jantung kongestif

16
A-V shunt secara signifikan akan meningkatkan aliran darah balik
ke jantung. Akibatnya akan meningkatkan kerja jantung dan cardiac
output, kardiomegali dan akhirnya terjadi gagal jantung kongestif pada
beberapa pasien. Penanganannya berupa koreksi secara operatif

3.4 Anemia Pada ESRD


Anemia adalah kondisi di mana jumlah sel darah merah di dalam tubuh
seseorang tidak mencukupi kebutuhan fisiologisnya. Klasifikasi anemia
menurut WHO dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 2.1 kadar hemoglobin untuk mendeteksi anemia dalam g/dL11
Anemia
Populasi Non anemia Ringan Sedang Berat
Anak 6-59 bulan >11 10-10.9 7.0-9.9 <7
Anak 5-11 tahun >11.5 11-11.4 8-10.9 <8
Anak 12-14 tahun >12 11-11.9 8-10.9 <80
Wanita tidak hamil >12 11-11.9 8-10.9 <8
Wanita hamil >11 10-10.9 70-9.9 <7
Laki-laki >13 11-12.9 8-10.9 <8

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin, hal
lain yang dapat berperan dalam terjadinya anemia pada pasien gagal ginjal
kronik adalah defisiensi Fe, kehilangan darah, masa hidup eritrosit yang
memendek, defisiensi asam folat, serta proses inflamasi akut dan kronik.
Anemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik
normokrom, yang khas selalu terjadi pada sindrom uremia.12

3.5 Hypertensi heart disease pada ESRD


Hipertensi merupakan salah satu penyebab ESRD melalui suatu proses
yang mengakibatkan hilangnya sejumlah besar nefron fungsional yang
progresif dan irreversible. Peningkatan tekanan dan regangan yang kronik pada

17
arteriol dan glomeruli diyakini dapat menyebabkan sklerosis pada pembuluh
darah glomeruli atau yang sering disebut degan glomerulosklerosis. Penurunan
jumlah nefron akan menyebabkan proses adaptif, yaitu meningkatnya aliran
darah, peningkatan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) dan peningkatan keluaran
urin di dalam nefron yang masih bertahan. Proses ini melibatkan hipertrofi dan
vasodilatasi nefron serta perubahan fungsional yang menurunkan tahanan
vaskular dan reabsorbsi tubulus di dalam nefron yang masih bertahan.
Perubahan fungsi ginjal dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan
kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi sklerotik yang terbentuk
semakin banyak sehingga dapat menimbulkan obliterasi glomerulus, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, dan menimbulkan
lingkaran setan yang berkembang secara lambat yang berakhir sebagai
penyakit Gagal Ginjal Terminal.12
Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya
tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Semakin tinggi tekanan darah
dalam waktu lama maka semakin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan.12

18
BAB IV
ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, pasien datang ke poli bedah umum RSUD


Sultan Syarif Muhammad Alkadrie untuk dilakukan pemasangan akses vaskular
untuk hemodialisa. Pasien didiagnosis menderita End Stage Renal Disease atau
gagal ginjal terminal kurang lebih 8 bulan yang lalu dan rutin melakukan
hemodialisa di RSUD DR Soedarso. Pada saat ini pasien tidak merasakan adanya
keluhan, hanya saja kurang lebih satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien
merasa badan terasa lemas.
Setelah dilakukan anamnesis, dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, di
mana didapatkan dan pemeriksaan fisik head to toe. Hasil pemeriksaan tanda vital
meliputi TD 200/140 mmHg, pernapasan 20 kali/menit jenis pernapasan
torakoabdominal reguler, nadi 98 kali/menit kuat angkat reguler, dan suhu 37,40C.
Dari pemeriksaan tanda-tanda vital dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
hipertensi grade 2 (sistolik >140 mmHg dan diastolik >90 mmHg). Pemeriksaan
kepala didapatkan hasil normocephal, jejas (-), hematom(-). Pada mata pasien,
didapatkan konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik.
Pada pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorokan, tidak ditemukan
adanya kelainan. Pada pemeriksaan leher, tidak didapatkan jejas, pembesaran
kelenjar getah bening maupun nyeri tekan. Dada terlihat simetris, tidak ada
retraksi dada dan tidak ada bagian dada yang tertinggal saat bernapas. Suara
jantung S1 dan S2 reguler, tidak ada murmur maupun gallop. Perkusi thorax sonor
di lapang paru kanan dan kiri. Suara nafas vesikular dan tidak ada wheezing
mapun rhonki. Hasil pemeriksaan status lokalis pada regio abdomen tampak datar,
bising usus (+) normal, soepel, timpani, dan nyeri tekan (-).
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium. Hasil
pemeriksaan laboratoium darah rutin didapati pasien mengalami anemia berat
dengan kadar hemoglobin 7.3 mg/dL, dan eritrosit 2.6juta/uL. Pada pasien
kemudian dilakukan transfusi PRC sebanyak 250cc, kemudian dilakukan
pemeriksaan darah rutin ulang. Hasilnya, kadar hemoglobin pasien naik menjadi

19
8.3 mg/dL dan eritrosi 2.86juta/uL. Pada pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin
pasien didapati meningkat dengan kadar urea di dalam darah 193.3 mg/dL, dan
kreatinin 11.20 mg/dL hal ini disebabkan kerusakan ginjal pasien secara struktural
dan fungsional sehingga tidak mampu mengeluarkan zat sisa secara normal. Hal
inilah yang juga menjadi acuan perlunya dilakukan hemodialisa pada pasien.
Dari pemeriksaan yang telah dilakukan maka pasien merupakan kandidat
yang sesuai untuk dilakukan pembuatan akses vaskular guna keperluan
hemodialisa. Pembuatan akses vaskular pada pasien dilakukan pada arteri radialis
dan vena sefalika dengan metode end-vein to side-artery anastomoses pada bagian
distal tangan kiri pasien. Pembuatan fistula arteri-vena pada pasien ini dikatakan
berhasil karena setelah dilakukan anastomosis teraba thrill dan terdapat denyutan
halus yang tidak melambung secara mencolok selama oklusi sementara vena
proksimal. Luka operasi ditutup dengan jahitan subkutikular. Proses maturasi
memakan waktu kita-kira 8-12 minggu sebelum akhirnya dapat digunakan untuk
hemodialisa. Pasien juga diedukasi untuk berlatih dengan menggenggam bola
karet untuk membantu proses maturasi.
Penatalaksanaan farmakologi yang didapat oleh pasien adalah obat anti
hipertensi berupa amlodipin dan valsartan, antibiotik yaitu cefadroxil, anti
inflamasi non-steroid yaitu deksketoprofen dan transfusi PRC sebanyak 250cc
untuk mengatasi gejala anemia.

20
BAB IV
KESIMPULAN

Tn. E didiagnosa end stage renal disease atau gagal ginjal terminal kurang
lebih 8 bulan yang lalu dan rutin melakukan hemodialisa 2 kali 1 minggu. Atas
indikasi tersebut dilakukan pembuatan fistula arteri-vena pada arteri radialis dan
vena sefalika di bagian distal tangan kiri pasien. Operasi dinyatakan berhasil
setelah teraba thrill dan terdapat denyutan halus yang tidak melambung secara
mencolok selama oklusi sementara vena proksimal. Akses vaskular tersebut akan
dapat digunakan untuk hemodialisa setelah matur dalam waktu kurang lebih 8-12
minggu.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Eckardt KU, Coresh J, Devuyst O, et al. Evolving importance of kidney


disease. Lancet. 2013;382(9887):158-169.
2. Bohannon WT, Silva jr MB. Venous Transposition in The Creation of
Arteriovenous Access in Rutherford: Vascular Surgery, 6th ed. Editor:
Rutherford RB. Elsevier, New York 2005, p: 167784
3. Khwaja KO. Dialysis Access Procedure in Atlas of Organ Transplantation
2nd ed. Editor: Humar A, Matas AJ, Payne WD. Springer, London 2009,
p: 3558
4. Kim DS, Kim SW, Kim JC, Cho JH, Kong JH, Park CR. Clinical analysis
of hemodialysis vascular access: comparision of autogenous arterioveonus
fistula & arteriovenous prosthetic graft. Korean J Thorac Cardiovasc Surg
2011;44: 25-31
5. Ketteler M, Elder GJ, Evenepoel P, et al. Revisiting KDIGO clinical
practice guideline on chronic kidney disease-mineral and bone disorder: a
commentary from a Kidney Disease: Improving Global Outcomes
controversies conference. Kidney Int. 2015;87:502–528
6. Elwakeel, H and Elalfy, K. Vascular Access for Hemodialysis - How to
Maintain in Clinical Practice. Intech. 2013
7. A Practitioner’s Resource Guide To hemodialysis; Arteriovenous Fistulas.
Fistula first. National Vascular Acces Improvement Initiative. 2013
8. Akoh JA, Sinha S, et al. A 5-year audit of hemodialysis access. Int J Clin
Pract 2005;59(7):847–851.
9. Brescia MJ, et al. Chronic hemodialysis using venipuncture and a
surgically created arteriovenous fistula. N Engl J Med 1966;275:1089.
10.
11. Assessing the iron status of populations: report of a joint World Health
Organization/ Centers for Disease Control and Prevention technical
consultation on the assessment of iron status at the population level, 2nd
ed., Geneva, World Health Organization. 2007.

22
12. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J
Kidney Dis 39: suppl 1, 2012.

23

Anda mungkin juga menyukai