Anda di halaman 1dari 26

Kepada Yth.

:
Rencana Dibacakan
Hari :
Jam :

Ekspertise Kasus

TRANSFUSI FRESH FROZEN PLASMA PADA PASIEN


POST EXTRA CARDIAC FONTAN DENGAN
PEMANJANGAN PT/APTT

Oleh
Noer Hafni

Pembimbing
Dr. dr. Zelly Dia Rofinda, Sp.PK(K)

PROGRAM STUDI PATOLOGI KLINIS PROGRAM SPESIALIS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNAND/ RSUP. DR. M. DJAMIL
PADANG
2023
EKSPERTISE KASUS
A. KASUS
Sampel darah pasien laki-laki umur 12 tahun dengan diagnosis klinis hemoptoe
et causa tuberkulosis milier dikirim dari ruang anak IKA akut ke Unit Transfusi
Darah Rumah Sakit (UTDRS) RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 2 Oktober 2022
untuk permintaan darah transfusi fresh frozen plasma (FFP) 2 unit.
Hasil Pemeriksaan Golongan Darah (2 Oktober 2022)
Cell Grouping Serum grouping Interpretasi
Anti-A Anti-B Anti-D Ery-A Ery-B Ery-O ABO Rh
Group
Negatif Positif Positif Positif Negatif Negatif B Positif
Kesan : Golongan darah B Rhesus positif
Hasil Pemeriksaan Crossmatch Fresh Frozen Plasma (2 Oktober 2022)
Pendonor Gol darah Minor AC Crossmatch Metode
Donor 1 B+ Negatif Negatif Kompatibel Column
Agglutination
Donor 2 B+ Negatif Negatif Kompatibel
Test
Kesan : Crossmatch minor kompatibel

DATA TAMBAHAN
Anamnesis (Alloanamnesis dengan ibu kandung pasien)
Keluhan Utama :
Batuk berdarah sejak 16 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang
- Batuk berdarah sejak 16 jam SMRS.
- Badan terasa lemas.
- Penurunan berat badan sejak 1,5 bulan SMRS.
- Demam namun tidak tinggi.
- Keluhan lain seperti mual, muntah tidak ada.
- Buang air besar dan buang air kecil dalam batas normal.
- Pasien sebelumnya mengalami keluhan batuk berdarah sejak 1,5 bulan SMRS
selama 1 minggu, jumlah kurang lebih 1 sendok makan bercampur lendir tiap
kali batuk. Pasien dibawa berobat ke dokter spesialis anak, batuk berdarah
berhenti. Pasien kembali batuk darah 16 jam SMRS. Awalnya jumlah banyak ±
1/2 gelas (125 cc) saat batuk, selanjutnya ± setengah sendok makan tiap kali
batuk.

1
- Pasien telah dikenal menderita pulmonary atresia with intact ventricular septum
(PA/IVS) post extra cardiac fontan. Pasien dioperasi kedua (operasi terakhir) di
Penang, Malaysia pada tahun 2016. Pasien rutin mendapat warfarin 1x2 mg po
dan cek INR tiap 2 bulan.
- Kontak dengan penderita TB/batuk lama disangkal.
Riwayat kelahiran :
- Persalinan spontan, cukup bulan, BBL : 2700 gram, tidak biru saat lahir.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Anak telah mendapat imunisasi BCG.
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan seperti ini (sakit jantung dan
menderita TB).
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : komposmentis
Keadaan umum : sakit sedang
Tekanan darah : 105/70 mmHg
Frekuensi pernapasan : 32 kali/ menit
Frekuensi nadi : 112 kali/menit reguler
Suhu : 37,90 C
Berat badan : 19,6 kg
Tinggi badan : 128 cm
IMT (indeks massa tubuh) : 12,21 kg/m2 (underweight)
BB/U : 47% (gizi buruk) berdasarkan grafik CDC 2000
TB/U : 85% (kurang) berdasarkan grafik CDC 2000
BB/TB : 75% (gizi kurang) berdasarkan grafik CDC 2000
Kulit : turgor kulit normal
Kepala dan leher : normocephali, kelenjar getah bening tidak
membesar
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
pupil isokor +/+, refleks cahaya +/+
Telinga : tidak ditemukan kelainan

2
Hidung : tidak ditemukan deviasi septum, epistaksis (-)
Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Gigi dan mulut : karies (-), ulkus di mulut (-)
Dada : normochest
Paru
Inspeksi : simetris dada kiri dan dada kanan
Palpasi : fremitus dada kiri sama dengan dada kanan
Perkusi : sonor dada kiri dan dada kanan
Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial linea
midclavicularis sinistra RIC V
Perkusi : batas jantung tidak melebar
Auskultasi : irama teratur, bising tidak terdengar
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) dalam batas normal
Status lokalis regio punggung
Inspeksi : dalam batas normal
Palapasi : dalam batas normal
Perkusi : nyeri ketok CVA (-/-)
Auskultasi : dalam batas normal
Ekstremitas : akral teraba hangat, edema -/-
capillary refill time (CRT) <2 detik, refleks
fisiologis ada, refleks patologis tidak ada
Pembesaran KGB inguinal kiri dan kanan +/+

3
Pemeriksaan Laboratorium :
Hasil Pemeriksaan Hematologi (2 Oktober 2022)
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Metode
(Sysmex XN-1000)
Hemoglobin 12,2 g/dL 12,0-15,0 Cyanide-free hemoglobin
Spectrophotometry
Leukosit 16.130 /µL 4.500-13.500 Laser optical flow
Cytometry
Eritrosit 4,91 Juta 4,0-5,4 Electronic impedance
with hydrodynamic
focusing DC
Hematokrit 37 % 35-49 RBC pulse height
detection method
Trombosit 501.000 /µL 150.000- Electronic impedance
450.000 with hydrodynamic
focusing DC
MCV 76 fL 80-94 Kalkulasi
MCH 25 Pg 26-32 Kalkulasi
MCHC 33 g/dl 32-36 Kalkulasi
Kesan : - Leukositosis
- Trombositosis

Pemeriksaan Kimia Klinik (2 Oktober 2022)


Parameter Hasil Satuan Nilai rujukan Metoda
Glukosa sewaktu 79 mg/dL 70-125 Heksokinase
Ureum 13 mg/dL 10,0-50,0 Kolorimetri
Kreatinin 0.5 mg/dL 0,6-1,2 Jaffe
Kalsium 8,1 mg/dL 8,1-10,4 Ortho cresophthalen
complex (O-CPC)
Natrium 136 mmol/L 136-145 ISE direk
Kalium 4,5 mmol/L 3,5-5,1 ISE direk
Klorida 102 mmol/L 97-111 ISE direk
Total protein 6.8 g/dL 6,6-8,7 Reaksi Biuret
Albumin 3.3 g/dL 3,8-5,0 Brom Cresol Green
Globulin 3.5 g/dL 1,3-2,7 Kalkulasi
Bilirubin total 0,3 mg/dL 0,3-1,0 Diazo
Bilirubin direk 0,2 mg/dL < 0,20 Diazo
Bilirubin indirek 0,1 mg/dL < 0,60 Kalkulasi
SGOT 28 u/L <32 Uji UV
SGPT 11 u/L <31 Uji UV
Kesan: Albumin menurun, globulin meningkat

4
Hasil Pemeriksaan Hemostasis (2 Oktober 2022)
Parameter Kontrol Hasil Satuan Nilai Rujukan Metode
PT 10,9 50 Detik 9,8-13,2 Optical Detection
Coagulation Method
INR 5,88 <1,2

aPTT 24,6 63,3 Detik 22,5-30,1 Optical Detection


Coagulation Method

Kesan : PT dan aPTT melebihi rentang nilai rujukan


INR meningkat

Hasil Pemeriksaan Hemostasis (Pasca Transfusi) (3 Oktober 2022)


Parameter Kontrol Hasil Satuan Nilai Rujukan Metode

PT 10,4 10,8 Detik 9,8-13,2 Optical Detection


Coagulation Method
INR 1,13 <1,2

aPTT 21,7 22,5 Detik 22,5-30,1 Optical Detection


Coagulation Method
Kesan : Hasil dalam batas normal

Hasil Pemeriksaan rontgen thorax (2 Oktober 2022):


- Infiltrat halus tersebar merata di kedua lapang paru
- CTR 48%
Kesan : Tuberkulosis milier
Diagnosis :
- Hemoptoe e.c tuberkulosis milier
- Pulmonary atresia with intact ventricular septum (PA/IVS) post extra cardiac
fontan
- Koagulopati
- Gizi buruk
Terapi :
- IVFD Kaen 1B 500 cc/hari - Vitamin K 1x5 mg iv
- F100 4x200cc po - N. asetilsistein 3x200 mg po
- Diet MB 1000 kkal - INH 1x200 mg po
- O2 NRM 8 LPM - Rifampicin 1x300 mg po
- Kloramfenikol 4x375 mg iv - Pirazinamid 1x750 mg po
- Etambutol 1x500 mg po
5
- Prednison 3x3 tab po
- Asam traneksamat 3x250 mg iv
- Transfusi fresh frozen plasma 2 unit
Anjuran:
- Pemeriksaan kultur sputum
- Pemeriksaan kultur darah
- Pemeriksaan kultur LCS
- Pemeriksaan sputum dengan genexpert (TCM)
- Urinalisis
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Transfusi Fresh Frozen Plasma
1.1 Definisi
Transfusi adalah pemberian darah atau komponen darah dari donor kepada
pasien yang mengalami kekurangan sel darah untuk tujuan penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan (Rowley et al., 2017; Vaught, 2019). Darah dan
komponen darah yang digunakan untuk transfusi terbagi atas dua, yaitu komponen
darah selular yang terdiri atas packed red cell (PRC), leukodepleted PRC, leukosit
(buffy coat) dan thrombocyte concentrate (TC) (Dogra et al., 2020). Komponen
darah yang kedua adalah komponen darah non selular yang terdiri atas plasma
donor tunggal, FFP dan kriopresipitat (Kochhar, 2012; Maharani dan Noviar,
2018).
Transfusi plasma disebut juga transfusi FFP adalah prosedur pemberian plasma
pada pasien dengan kondisi defisiensi faktor koagulasi atau mempunyai gangguan
faktor koagulasi (Harmening et al., 2019). Plasma merupakan cairan atau bagian
darah non-seluler yang mengandung air, elektrolit dan protein (Retno et al., 2012).
Fresh frozen plasma dapat bertahan selama 1 tahun, berisi semua faktor
koagulasi kecuali trombosit (Blaney and Howard, 2016; James, 2020).
1.2 Tujuan
Tujuan transfusi FFP adalah untuk mengganti defisiensi faktor koagulasi dan
mencegah terjadinya perdarahan berlebih pada pengguna obat pengencer darah
(antikoagulan) atau sebelum tindakan operatif (Harmening et al., 2019). Transfusi
FFP digunakan sebagai penutup dinding pembuluh darah yang mengalami
perdarahan akut sehingga tidak terjadi perembesan dan penurunan plasma

6
(Maharani dan Noviar, 2018). Fresh frozen plasma digunakan pada pasien dengan
gangguan proses pembekuan (James, 2020). Plasma harus kompatibel dengan ABO
(Kochhar, 2012; Harmening et al., 2019).
1.3 Indikasi
Indikasi utama pemakaian FFP adalah pada defisiensi faktor koagulan (didapat
dan herediter) disertai dengan perdarahan aktif atau sebelum tindakan operatif
(Maharani dan Noviar, 2018). Pemberian FFP dapat dilakukan pada pasien dengan
perdarahan aktif, faal hemostasis (activated prohtombin thromboplastin time
(aPTT)/ prothrombin time (PT))>1,5 x batas atas normal international normalized
ratio (INR)>1,6, PT>15 detik, aPTT>40 detik) dan defisiensi faktor pembekuan
darah (Miller, 2015). Transfusi plasma tidak tepat diberikan saat terjadi
peningkatan INR tanpa disertai perdarahan. Setelah transfusi 1 unit FFP, faktor
koagulasi dapat dinaikkan 2-3% (Mukherjee, 2016; Sirait RH, 2019). Pemeriksaan
aPTT dan PT dilakukan 30-60 menit setelah transfusi FFP untuk menilai
keberhasilan transfusi FFP (Permenkes Republik Indonesia Nomor 91, 2015).
Dosis inisial transfusi FFP yaitu 12-15 mL/kg BB (4-6 kantong untuk pasien
dewasa) dan 10-20 mL/kgBB/hari untuk anak dan neonatus (Kementerian
Kesehatan RI, 2015; James, 2020). Satuan saat pemberian: dalam mL/kgBB
(Blaney and Howard, 2016).
1.4 Persiapan Transfusi Fresh Frozen Plasma
Pemeriksaan pra transfusi adalah suatu rangkaian prosedur pemeriksaan
mencocokkan darah resipien dan darah donor yang diperlukan sebelum darah
diberikan kepada resipien (Harmening DM, 2019). Tujuan pemeriksaan ini adalah
untuk memastikan ada tidaknya aloantibodi pada darah resipien yang akan bereaksi
dengan darah donor bila ditransfusikan dan/atau sebaliknya (Jennifer et al., 2019).
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan pra transfusi FFP
adalah uji silang serasi yang dilakukan hanya uji silang minor kecuali jika darah
donor telah diperiksa uji saring antibodi maka pemeriksaan uji silang minor tidak
perlu dilakukan (Kementerian Kesehatan RI., 2015; Wahidiyat dan Nitish, 2016).
1.5 Pemantauan Tranfusi Fresh Frozen Plasma
Plasma yang dicairkan harus ditransfusikan sedini mungkin, jika transfusi
ditunda harus disimpan di suhu 2⁰-4⁰C ditransfusikan dalam waktu 12 jam

7
(sebaiknya 6 jam). Fresh frozen plasma tidak dapat dibekukan kembali setelah
thawing (Dogra et al., 2020). Transfusi FFP perlu dilakukan pencocokan silang,
transfusi FFP harus kompatibel dengan ABO darah pasien. Tindakan pencegahan
diambil untuk memastikan bahwa donor tidak mengandung antibodi ABO yang
dapat bereaksi silang dengan antigen A atau B pada sel darah merah penerima
(Mukherjee, 2016; Jennifer et al., 2019).
Pemantauan pelaksanaan transfusi idealnya dilakukan saat transfusi dimulai, 15
menit setelah transfusi dimulai, saat selesai transfusi, 4 jam setelah transfusi
kantong darah terakhir untuk pasien rawat inap (Jennifer et al., 2019). Pemantauan
pelaksanaan transfusi, mencakup keadaan umum pasien, suhu tubuh, frekuensi
nadi, tekanan darah, frekuensi napas serta keluhan yang dirasakan oleh pasien
(Permenkes Republik Indonesia Nomor 91, 2015; Wahidiyat dan Nitish, 2016).
1.5.1 Komplikasi
Efek samping pemberian FFP pada umumnya sama dengan wholeblood. Efek
samping FFP yang sering terjadi adalah urtikaria, menggigil, demam dan
hipervolemia (ASBP, 2017). Efek samping dari transfusi FFP dapat terjadi sebagai
berikut (Maharani dan Noviar, 2018; Jennifer et al., 2019; James, 2020) :
1. Reaksi alergi akut
2. Demam dari reaksi non hemolitik
3. Penularan infeksi menular lewat transfusi darah dan kontaminasi bakteri-sepsis
4. Reaksi transfusi lain seperti alergi, transfusion related acute lung injury
(TRALI), transfusion acute cardiac overload (TACO).
1.6 Proses Pengolahan Fresh Frozen Plasma
1.6.1 Pengolahan Darah Cara Sentrifugasi
Plasma manusia untuk fraksionasi dapat diperoleh dengan pemisahan plasma
dari darah lengkap atau dengan apheresis (James, 2020). Berikut adalah tahapan
dalam pemisahan plasma yang digunakan untuk transfusi FFP (Gambar 1 dan 2)
(Maharani dan Noviar, 2018; James, 2020) :
1. Plasma segar dipisahkan ke dalam kantong satelit. Waktu pemisahan dan
pembekuan plasma segar dilakukan 6-8 jam setelah pengambilan darah donor
2. Dipasang klem pada selang penghubung kantong

8
3. Plasma segar dibekukan pada suhu -55⁰C menggunakan alat blastfreexer atau
menggunakan biang es ditambah alkohol. Pembekuan cepat pada suhu -50⁰ s/d
- 55⁰C, bertujuan untuk mempertahankan faktor pembekuan labil agar tidak
rusak
4. Packed red cell yang telah dipisahkan dimasukkan kotak dengan suhu 4⁰C.
Plasma yang didapat dari whole blood (WB) yang ditampung ke dalam sistem
kantong darah steril disebut dengan plasma segar beku dari darah lengkap/whole
blood derived fresh frozen plasma (Mukherjee, 2016; James, 2020).
Pemilihan kantong sangat penting dalam persiapan komponen darah. Bank
darah memiliki 4 jenis kantong yang digunakan yaitu, single, double, triple and
quadruple bags. Plasma harus dipisahkan dari whole blood selambat-lambatnya
dari 6-8 jam setelah pengumpulan dan diawetkan dengan SAGM-2 (Mukherjee,
2016; James, 2020).

Gambar 1. Skema Pemisahan PRC dan LP serta Pembuatan FFP menggunakan


Kantong Darah Double (Maharani dan Noviar, 2018)

9
Gambar 2. Pengelolaan Komponen Darah (James, 2020)

1.6.2 Pengolahan Darah Cara Plasmapheresis


Prinsip proses apheresis sama dengan proses pemisahan dengan refrigerated
centrifuge. Perbedaannya adalah donor langsung terhubung dengan mesin dan
darahnya disentrifugasi, komponen yang dikehendaki ditampung dalam kantong
yang lain dikembalikan ke donornya. Apheresis merupakan teknologi medis di
mana darah donor atau pasien dilewatkan melalui suatu alat yang memisahkan satu
komponen tertentu dan mengembalikan sisanya ke sirkulasi (tubuh donor) (Utami
et al., 2020).
2. Transfusi FFP Pada Pasien Post Extra-Cardiac Fontan dengan
Pemanjangan PT/aPTT
2.1 Extra-Cardiac Fontan pada Pasien dengan Pulmonary Atresia with Intact
Ventricular Septum (PA/IVS)
Atresia pulmonal merupakan salah satu penyakit jantung bawaan. Atresia
pulmonal adalah masalah jantung langka yang muncul saat lahir. Katup antara
jantung dan paru-paru (katup pumonal) tidak berkembang sempurna pada atresia
pulmonal. Darah tidak dapat mengalir dari ventrikel kanan jantung ke paru-paru.
10
Sebagian darah dapat mengalir melalui lubang alami antara aorta dan arteri
pulmonalis. Pembukaan ini disebut ductus arteriosus, biasanya menutup segera
setelah lahir tetapi dapat tetap terbuka dengan obat-obatan (Nova, 2019).
Atresia pulmonal dapat dibagi menjadi dua yaitu, pulmonary atresia with intact
ventricular septum (PA/IVS) dan pulmonary atresia with ventricular septal defect
(PA/VSD). Pulmonary atresia with intact ventricular septum adalah kondisi atresia
pulmonal dengan septum ventrikel utuh, tidak ada lubang di antara dua ruang
pompa jantung. Pulmonary atresia with ventricular septal defect adalah kondisi
atresia pulmonal jika terdapat lubang di antara dua ruang pompa jantung (Tominaga
et al., 2019).
Penyakit jantung bawaan merupakan kelainan bawaan yang paling banyak
dijumpai. Penyakit jantung bawaan merupakan salah satu dari 5 penyebab kematian
tersering pada anak. Insidens PJB di Indonesia diperkirakan antara 8-12 per 1000
kelahiran hidup. Penambahan sekitar 32000 kasus diasumsikan setiap tahunnya.
Pulmonary atresia with intact ventricular septum merupakan kelainan yang jarang
ditemukan yakni kira-kira 1% dari seluruh penyakit jantung bawaan. Pulmonary
atresia with ventricular septal defect merupakan 20% dari seluruh pasien penyakit
jantung bawaan (Zimmerman, 2020).
Manifestasi klinis terjadi karena gangguan aliran darah dari ventrikel kanan ke
paru-paru yang menyebabkan berkurangnya oksigenasi pada aliran darah sehingga
didapatkan adanya sianosis (terutama setelah penutupan paten ductus arteriosus),
sesak napas dan mudah lelah. Pemeriksaan auskultasi tidak ditemukan adanya
bising jantung. Bayi dengan atresia pulmonal memerlukan terapi untuk menjaga
agar ductus arteriosus tetap terbuka setelah lahir sehingga akan membantu aliran
darah ke paru-paru sampai katup pulmonal dapat diperbaiki (Tominaga et al.,
2019).
Tatalaksana untuk atresia pulmonal tergantung pada tingkat keparahannya.
Aliran darah dapat ditingkatkan dengan menggunakan kateterisasi jantung pada
beberapa kasus namun kebanyakan kasus atresia pulmonal memerlukan
pembedahan segera setelah lahir (Tominaga et al., 2019).
Prosedur Fontan pertama kali berhasil dilakukan pada tahun 1971 pada pasien
dengan atresia trikuspid. Prinsip dasarnya adalah mengalihkan aliran balik vena

11
sistemik langsung ke arteri pulmonalis sehingga mengurangi kelebihan beban
volume ventrikel tunggal dan meningkatkan oksigenasi sistemik (Walker, 2005).
Prosedur pembedahan bertahap diperlukan jika atresia pulmonal memiliki
ventrikel kanan yang kurang berkembang, yaitu (Tominaga et al., 2019) :
1. Prosedur Norwood (Operasi pertama)
Operasi ini biasanya dilakukan dalam dua minggu pertama kehidupan.
Prosedur ini akan dibuat aorta “baru” dan menghubungkannya ke ventrikel
kanan. Prosedur ini melibatkan penempatan shunt/tube langsung dari aorta
atau salah satu cabangnya ke arteri pulmonalisnya.
2. Prosedur Glenn Shunt Bi-directional (Operasi kedua)
Prosedur ini biasanya dilakukan antara usia 4-8 bulan. Shunt yang dimasukkan
saat operasi pertama akan dilepas kemudian akan dihubungkan ke vena kava
superior dan arteri pulmonalis kanan.
3. Prosedur Fontan (Operasi ketiga)
Prosedur ini biasanya dilakukan antara usia 3-6 tahun. Pada operasi ini akan
dihubungkan vena kava inferior ke arteri pulmonalis.
2.2 Penggunaan Antikoagulan Profilaksis setelah Operasi Fontan
Trombus intrakardiak merupakan masalah utama setelah operasi Fontan.
Komplikasi tromboemboli setelah operasi Fontan menimbulkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Trombus yang terletak di dalam sirkuit Fontan dapat
mengakibatkan obstruksi pada jalur atau penyakit emboli paru kronis dengan
ketidakcocokan ventilasi/perfusi atau peningkatan resistensi pembuluh darah paru,
yang semuanya dapat mengganggu fisiologi Fontan secara serius. Trombus yang
terletak di sisi sistemik dapat menyebabkan stroke dan kematian (Miwa et al.,
2022). Pemberian antikoagulan penting, mengingat risiko terjadinya tromboemboli
(Walker and Gatzoulis, 2005).
Berbagai faktor berkontribusi terhadap risiko tromboemboli setelah prosedur
Fontan dan berkisar dari variasi anatomi, hingga kelainan koagulasi intrinsik yang
semuanya terkait dengan trias Virchow dari trombogenesis, yaitu: gangguan aliran
darah, cedera endotel dan koagulopati (Heidendael et al., 2022).
Karakteristik kunci dari sirkulasi Fontan adalah keadaan aliran abnormal yang
melekat pada desain pembedahan. Hilangnya pulsatilitas dan peningkatan tekanan

12
vena yg terjadi menyebabkan aliran darah rendah dan predisposisi pembentukan
thrombus. Fungsi endotel pada pasien dengan sirkulasi Fontan dianggap terganggu,
karena hipoksia kronis, manipulasi bedah, adanya bahan artifisial intravaskular dan
peningkatan tekanan vena. Gangguan protein koagulasi, ditemukan pada pasien
Fontan, dianggap terkait dengan kongesti hati kronis dengan disfungsi hati yang
menyertainya, konsumsi kronis dan hilangnya faktor pembekuan (Heidendael et al.,
2022).
2.3 Pemanjangan PT/aPTT pada Penggunaan Antikoagulan
Warfarin merupakan obat antikoagulan yang umumnya digunakan dalam
praktik umum untuk mengobati dan mencegah trombosis dalam berbagai keadaan
klinis. Masalah utama dari penggunaan warfarin adalah variasi respon antar
individu yang sangat tinggi sehingga sulit mendapatkan dosis yang tepat bagi setiap
pasien (Oktaviani et al., 2020; Tefferi, 2021). Berdasarkan beberapa hasil penelitian
literature review menjelaskan bahwa terdapat beberapa efek samping dari
penggunaan warfarin yaitu perdarahan, nekrosis kulit, vaskulitis, leukositoklastik,
gangguan ginjal, eosinophilia (Walborn et al., 2018).
Warfarin merupakan antagonis vitamin K yang banyak digunakan sebagai
antikoagulan oral untuk terapi tromboemboli vena dan untuk mencegah emboli
sistemik pada pasien dengan atrial fibrilasi, katup jantung prostetik dan prosedur
Fontan. Warfarin merupakan anti koagulan oral yang mempengaruhi sintesa
vitamin K yang berperan dalam pembekuan darah sehingga terjadi deplesi faktor
II, VII, IX dan X (Oktaviani et al., 2020; Kumano, 2021).
Mekanisme kerja warfarin yaitu bekerja di hati dengan menghambat
karboksilasi vitamin K dari protein prekursornya. Penggunaan warfarin dapat
dimonitor berdasarkan efek farmakodinamik dari PT melalui nilai INR (Walborn et
al., 2018).
Vitamin K berperan penting dalam proses faktor II, VII, IX dan X menjadi
bentuk aktifnya, sehingga dengan adanya inhibisi vitamin K dapat memengaruhi
faktor intrinsik dan juga ekstrinsik, dimana pemeriksaan untuk mengetahui faktor
intrinsik adalah aPTT dan faktor ekstrinsik adalah PT (Furdiyanti, 2014). Gangguan
koagulasi yang dapat terjadi pada penggunaan antagonis vitamin K adalah nilai PT
dan aPTT yang memanjang (McCullough, 2017).

13
2.4 Transfusi FFP pada Pasien Post Extra Cardiac Fontan dengan
Pemanjangan PT/aPTT
Pemberian antikoagulan penting pada pasien post extra cardiac fontan
mengingat risiko terjadinya tromboemboli pada pasien tersebut (Walker and
Gatzoulis, 2005). Warfarin (antagonis vitamin K) merupakan obat antikoagulan
yang umumnya digunakan dalam praktik umum untuk mengobati dan mencegah
trombosis dalam berbagai keadaan klinis. Efek samping dari penggunaan warfarin
yaitu kelainan koagulasi yang ditandai dengan nilai PT dan aPTT yang memanjang
(Hoffbrand and Steensma, 2020).
Beberapa opsi untuk pembalikan vitamin K antagonist (VKA), termasuk
pemberian vitamin K, prothrombin complex concentrate (PCC) dan plasma.
Vitamin K adalah agen pembalikan spesifik untuk VKA karena mengembalikan
karboksilasi hati intrinsik dari faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K
dengan mengatasi VKA (Gordon et al., 2020).
Pemberian vitamin K tidak menyebabkan koreksi segera koagulopati,
pemberian harus disertai dengan strategi replesi, jika 4-factor prothrombin complex
concentrate (4F-PCC) tidak tersedia, PCC atau plasma dapat digunakan (Gordon et
al., 2020).
Gangguan koagulasi dapat ditatalaksana dengan melakukan transfusi FFP.
Fresh frozen plasma digunakan pada pasien dengan gangguan proses pembekuan
yang diakibatkan efek samping dari warfarin bila tidak tersedia PCC. Plasma harus
kompatibel dengan ABO (Kochhar, 2012).
3. Hemoptisis
3.1 Definisi dan Etiologi
Hemoptisis didefinisikan sebagai ekspektorasi dari darah yang berasal dari paru
atau trunkus bronkotrakeal (O’Gurek and Joana Hiu Ying, 2022).
Etiologi dari hemoptisis ini bervariasi namun secara garis besar dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal dan penyakit
vaskuler. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah besar maupun kecil (Larici
et al., 2014).
3.2 Patogenesis

14
Anastomosis kapiler kompleks ada antara arteri pulmonal dan arteri bronkial
sistemik, ketika sirkulasi paru terganggu (misalnya gangguan vakulitis), suplai
bronkial secara bertahap meningkat menyebabkan peningkatan aliran di pembuluh
anastomosis yang menjadi hipertrofi dengan dinding tipis dan cenderung masuk ke
alveoli dan bronkus sehingga adanya darah pada saluran napas ini dapat
mengiritasi/merangsang reseptor iritan pada saluran napas untuk memberitahu
pusat batuk (medulla oblongata) untuk melakukan proses batuk dengan cara
mengirim impuls ke otot-otot pernapasan (misalnya otot laring dan otot pernapasan
lainnya) untuk melaksanakan mekanisme/refleks batuk sehingga menimbulkan
hemoptisis (Khalil et al., 2008; Fort, 2023).
Peradangan saluran napas yang persisten, infeksi dan tekanan darah tinggi telah
diduga sebagai faktor pemicu pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah
di sekitar percabangan trakeobronkial menyebabkan adanya robekan kapiler yang
menyebabkan keluarnya darah memasuki saluran napas. Darah di saluran napas
keluar melalui proses batuk (Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUISMF Paru RSUP Persahabatan, 2010; Shah and Shekhar, 2019).
Intensitas batuk dan jumlah darah yang keluar dipengaruhi oleh derajat
berat/dampak dari penyakit dasar serta jenis sirkulasi darah yang terlibat.
Diapedesis eritrosit ke dalam alveoli adalah proses utama yang menghasilkan
perdarahan alveolar difus (PDPI, 2021). Akumulasi cairan inflamasi menyebabkan
edema. Edema dapat memicu destruksi jaringan sekitar dan ruptur pembuluh darah
sehingga terjadi perdarahan dari pembuluh darah tersebut ke jaringan seperti paru.
Darah tersebut kemudian dipindahkan oleh respon tubuh melalui hemoptisis
(Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUISMF Paru RSUP
Persahabatan, 2010).
3.3 Hemoptisis pada Tuberkulosis Millier
Tuberkulosis millier merupakan bentuk TB yang berpotensi fatal yang
diakibatkan dari penyebaran limfohematogen masif dari basil Mycobacterium
tuberculosis yang dapat terjadi baik selama infeksi primer dengan Mycobacteria
atau bila ada reaktivasi infeksi laten (Fitzgerald and Haas, 2015). Tuberkulosis
milier merupakan istilah yang dipakai dalam mendiagnosis kelainan radiologi paru

15
dimana didapatkan adanya gambaran nodul dengan ukuran 1-2 mm yang tersebar
di kedua lapangan paru (Thwaites, 2014; Hopewell and Kato-Maeda, 2016).
Penderita TB dapat memperlihatkan keluhan yang bermacam-macam atau
bahkan tanpa keluhan sama sekali (Kaufmann, 2017; Fort, 2023). Gambaran klinis
tidak spesifik dan didominasi oleh akibat sistemik seperti demam, gejala-gejala
malaise seperti anoreksia, penurunan berat badan dan nafsu makan, takikardi dan
keringat pada malam hari dan merespon pada pengobatan anti tuberkulosis (Baker
and Glassroth, 2004; WHO, 2014; Kemenkes RI., 2021a). Keluhan lain yang
muncul termasuk hemoptisis, nyeri dada pleuritik, mual, muntah dan perubahan
status mental (Fort, 2023). Hemoptisis pada TB milier terjadi ketika ada kerusakan
pembuluh darah paru atau bronkus (Paramita, 2011; PDPI, 2021). Pemeriksaan fisik
dapat ditemukan ronki, mengi, limfadenopati dan hepatosplenomegali (Thwaites,
2014; Hopewell and Kato-Maeda, 2016; Kemenkes RI., 2022).
C. ANALISA KASUS
Sampel darah pasien anak laki-laki umur 12 tahun dengan diagnosis klinis
hemaptoe et causa TB milier dikirim ruang anak IKA akut ke Unit Transfusi Darah
Rumah Sakit (UTDRS) RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 2 Oktober 2022 untuk
permintaan darah transfusi FFP. Komponen darah yang diberikan FFP sebanyak 2
unit sesuai dengan dosis inisial transfusi FFP yang dianjurkan 10-20 mL/kgBB/hari
untuk anak dengan BB pasien 19,8 kg (Kementerian Kesehatan RI, 2015; James,
2020; Dogra et al., 2020).
Anamnesis didapatkan pasien datang ke IGD dengan keluhan batuk berdarah
sejak 16 jam SMRS. Pasien sebelumnya mengalami keluhan batuk berdarah sejak
1,5 bulan SMRS selama 1 minggu, jumlah kurang lebih 1 sendok makan bercampur
lendir tiap kali batuk. Pasien dibawa berobat ke dokter spesialis anak, batuk
berdarah berhenti. Pasien kembali batuk darah 16 jam SMRS. Awalnya jumlah
banyak ± 1/2 gelas (125 cc) saat batuk, selanjutnya ± setengah sendok makan tiap
kali batuk. Gejala yang didapat pada pasien berupa gejala batuk berdarah, hal ini
disebabkan adanya kerusakan pembuluh darah paru atau bronkus yang dialami
pasien dengan TB milier serta diperberat dengan kelainan faktor koagulasi akibat
pemakaian anti koagulan jangka panjang sehingga meningkatkan risiko terjadinya
perdarahan (Paramita, 2011; PDPI, 2021).

16
Penyebab utama hemoptisis pada anak adalah infeksi saluran pernapasan
(Paramita, 2011; PDPI, 2021). Keluhan lain yang dirasakan adalah badan terasa
lemas, penurunan berat badan sejak 1,5 bulan SMRS, demam namun tidak tinggi.
Gambaran klinis dari tb milier seperti demam, penurunan berat badan dan nafsu
makan, takikardi dan keringat pada malam hari selama 6 minggu (Fitzgerald and
Sterling, 2015). Keluhan lain yang muncul termasuk hemoptisis dan nyeri dada
pleuritik (Thwaites, 2014; Hopewell and Kato-Maeda, 2016; Kemenkes, 2020).
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan ronki, mengi, limfadenopati dan
hepatosplenomegali (Thwaites, 2014; Hopewell and Kato-Maeda, 2016). Status
gizi pasien didapatkan dalam keadaan gizi buruk. Anak dengan penyakit jantung
bawaan (PJB) sangat rentan terjadinya malnutrisi (Ulfah, 2010).
Alasan yang mendasari bahwa PJB sering mengalami malnutrisi karena asupan
nutrisi tidak adekuat, anak PJB mudah lelah, sering terhenti bila makan atau minum
bahkan sejak bayi sehingga asupan nutrisi tidak sesuai dengan kebutuhannya, anak
PJB sering mengalami inflamasi atau infeksi yang menyebabkan nafsu makan
menurun dan menyebabkan kebutuhan nutrisi meningkat, anak PJB juga seringkali
mengalami gangguan penyerapan nutrisi pada usus (Ulfah, 2010).
Kesulitan makan, kebutuhan kalori yang meningkat, gangguan penyerapan sari
makanan dalam usus menyebabkan terjadinya malnutrisi. Gangguan gizi ini
berakibat daya tahan tubuh yang turun dan berpengaruh terhadap keberhasilan
operasi jantung di kemudian hari selain itu daya tahan tubuh menurun menyebabkan
anak mudah terinfeksi (misalnya tuberkulosis) (Maramis and Kaunang, 2014).
Salah satu gejala tuberkulosis milier yaitu anoreksia memperberat status gizi
anak dimana dapat memengaruhi asupan energi sehingga memperberat penurunan
berat badan anak. Ketidakseimbangan energi merupakan hasil kombinasi dari
asupan yang berkurang, menurunnya penyerapan/malabsorpsi dan peningkatan
kebutuhan. Hasil akhirnya ialah penurunan berat badan dan hilangnya massa otot
yang bermanifestasi sebagai malnutrisi (Maramis and Kaunang, 2014).
Pemeriksaan laboratorium hematologi pada kasus ini didapatkan adanya
leukositosis dan trombositosis. Peningkatan jumlah leukosit dan trombosit terjadi
akibat respon tubuh terhadap inflamasi yang salah satunya disebabkan karena
infeksi (misalnya tuberkulosis). Pelepasan sitokin terjadi sebagai respon terhadap

17
infeksi atau trauma. Peningkatan sitokin proinflamasi ini merangsang produksi
trombosit dan granulopoiesis sehingga menyebabkan meningkatnya jumlah
leukosit dan trombosit. Peningkatan jumlah trombosit juga dapat terjadi karena
adanya perdarahan karena pada perdarahan juga terjadi peningkatan sitokin
proinflamasi yang akan meranggsang produksi trombosit (Tefferi, 2021).
Proses hemostasis mencakup pembekuan darah (koagulasi) dan melibatkan
pembuluh darah, agregasi trombosit serta protein plasma baik yang menyebabkan
pembekuan maupun yang melarutkan bekuan (Fitzgerald and Sterling, 2015).
Hemostasis primer terdiri dari pembuluh darah dan trombosit, disebut hemostasis
primer karena pertama terlibat dalam proses penghentian darah bila terjadi
perdarahan, diawali dengan vasokontriksi pembuluh darah dan pembentukan plak
trombosit yang menutup luka dan menghentikan perdarahan, jika terjadi luka yang
besar pada pembuluh darah atau jaringan lain, vasokonstriksi dan sumbat trombosit
belum cukup untuk mengkompensasi luka ini, maka terjadilah hemostasis sekunder
yang melibatkan trombosit dan faktor koagulasi. Hemostasis sekunder ini
mencakup pembentukan jaring-jaring fibrin (Durachim, 2018).
Pemeriksaan hemostasis didapatkan hasil aPTT dan PT memanjang akibat
gangguan faktor koagulasi yang merupakan risiko dari penggunaan warfarin.
Pemeriksaan hemostasis didapatkan hasil aPTT dan PT yang memanjang
menunjukkan adanya kelainan pada jalur bersama (Rodgers, 2019).
Pemeriksaan laboratorium kimia klinik didapatkan penurunan kadar albumin
dan peningkatan kadar globulin. Penurunan kadar albumin disebabkan sitokin
proinflamasi pada infeksi bakteri seperti IL-1, IL-6, dan TNFα menyebabkan
peningkatan sintesis protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP) untuk
melindungi tubuh, sitokin proinflamasi juga menurunkan sintesis protein seperti
albumin dan meningkatkan degradasinya (Sugiono et al., 2014). Penurunan sintesis
dan pemecahan protein total tubuh juga dapat terjadi pada anak dengan kondisi gizi
buruk hal ini disebabkan karena intake kurang dan proses adaptasi terhadap keadaan
energi yang kurang pada anak gizi buruk. Peningkatan kadar globulin dalam darah
menandakan adanya infeksi dan proses inflamasi pada tubuh anak (Widjaya dan
Hidayati, 2013).
Hasil Pemeriksaan rontgen thorax (2 Oktober 2022) terdapat infiltrat halus

18
tersebar merata di kedua lapang paru. Tuberkulosis milier merupakan istilah yang
dipakai dalam mediagnosis kelainan radiologi paru dimana didapatkan adanya
gambaran nodul dengan ukuran 1-2 mm yang tersebar di kedua lapangan paru
(Thwaites, 2014; Hopewell and Kato-Maeda, 2016; Kemenkes, 2020).
Penatalaksanaan hemoptisis dilakukan melalui tiga tahap, yaitu proteksi jalan
napas dan stabilisasi pasien, lokalisasi sumber perdarahan dan penyebab
perdarahan, terapi spesifik (Fitzgerald and Sterling, 2015). Tahap 1 adalah
mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian suplementasi oksigen,
koreksi koagulopati, resusitasi cairan, dan berusaha melokalisir sumber perdarahan
(Harrison and Braunwald, 2022). Pemberian transfusi FFP merupakan tatalaksana
koreksi koagulopati pada pasien ini (Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUISMF Paru RSUP Persahabatan, 2010; Harrison and Braunwald,
2022).
Pemberian FFP dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan aktif,
INR>1.6, PT>15 detik, aPTT>40 detik dan defisiensi faktor pembekuan darah.
Transfusi plasma tidak tepat diberikan saat terjadi peningkatan INR tanpa disertai
perdarahan (Miller, 2015). Setiap unit FFP dapat meningkatkan 2-3% masing-
masing faktor pembekuan pada orang dewasa. Dosis pemberian FFP yang
direkomendasikan adalah 10-15 mL/kg berat badan dengan tujuan mencapai 30%
konsentrasi faktor pembekuan normal. Hasil pemeriksaan hemostasis pasien pada
tanggal 2 Oktober 2022 didapatkan PT 50 detik, INR 5,88 dan aPTT 63,3 detik
disertai perdarahan sehingga pasien mendapatkan transfusi FFP. Pemberian ini
sesuai dengan syarat pemberian FFP yaitu INR>1,6, PT>15 detik, aPTT>40 detik
(McCullough, 2017).
Pemeriksaan hemostasis ulang dilakukan setelah pemberian FFP yaitu pada
tanggal 3 Oktober 2022 dan menunjukkan hasil normal. Pada pasien dengan BB
19,6 kg diberikan transfusi FFP 2 unit (250 mL). Transfusi FFP merupakan
penatalaksanaan perdarahan pada pasien yang membutuhkan faktor koagulasi II, V,
X atau XI (McCullough, 2017).
Pemeriksaan golongan darah pasien dilakukan dengan dua cara yaitu
pemeriksaan golongan darah cell grouping dan serum grouping (Williams et al.,
2018; Levitt, 2014). Hasil pemeriksaan golongan darah cell grouping menggunakan

19
bioplate terjadi aglutinasi pada pemberian Anti-B dan Anti-D sehingga golongan
darah pasien adalah B rhesus positif (Cooling, 2014).
Pemeriksaan golongan darah cell grouping adalah pemeriksaan antigen
eritrosit dengan menggunakan serum (anti-sera) yang sudah diketahui (Anti-A,
Anti-B dan Anti D) (Harmening, 2019). Pemeriksaan serum grouping yaitu
pemeriksaan antibodi yang terdapat didalam serum/plasma pasien dengan
menggunakan eritrosit yang sudah diketahui pasti golongannya. Hasil pemeriksaan
golongan darah serum grouping menggunakan bioplate terjadi aglutinasi pada
pemberian tes sel golongan darah A sehingga golongan darah pasien serum
grouping adalah B (Blaney and Howard, 2016).
Tahapan uji pratransfusi selanjutnya setelah pemeriksaan golongan darah
pasien dan donor sesuai dengan rekomendasi WHO dilakukan pemeriksaan uji
silang serasi (crossmatch). Sampel darah pasien dilakukan uji crossmatch minor
dan autokontrol untuk mendapatkan darah yang kompatibel. Crossmatch minor
untuk mendeteksi antibodi dalam serum donor. Uji crossmatch pada sampel pasien
dilakukan menggunakan metode gel test dengan dua donor. Pemeriksaan
autokontrol bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat autoantibodi pada serum
pasien dengan mereaksikan antara eritrosit dan serum pasien secara in vitro untuk
mendeteksi reaksi auto imun (Blaney and Howard, 2016).
Hasil pemeriksaan uji silang serasi pada komponen darah FFP sebanyak 2 unit
yaitu minor dan autokontrol adalah negatif. Kesimpulannya bahwa untuk 2 unit
produk darah FFP kompatibel terhadap pasien. (Mulyantari dan Yasa, 2016).
Crossmatch tidak rutin dilakukan pada pemberian produk darah FFP karena hampir
tidak mengandung sel darah merah, namun adanya kandungan antibodi ABO pada
plasma donor masih dapat bereaksi dengan antigen pasien jika tidak kompatibel
(Harmening, 2019).
Pemantauan tanda vital dan reaksi transfusi dilakukan selama proses transfusi.
Reaksi transfusi tidak ditemukan pada pasien ini. PT dan aPTT pasien sebelum
dengan sesudah transfusi mengalami penurunan. PT dan aPTT sebelum transfusi
sebesar PT 50 detik dan aPTT 63,3 detik. PT dan aPTT setelah transfusi sebesar PT
10,4 dan aPTT 21,7. Sesuai dengan protokol monitoring transfusi FFP yaitu 30-60

20
menit setelah transfusi FFP dilakukan pemeriksaan aPTT dan PT untuk menilai
keberhasilan transfusi FFP (Permenkes Republik Indonesia Nomor 91, 2015).
Pasien mendapatkan terapi asam traneksamat 3x250 mg, dan vitamin K 1x5
mg sebagai tatalaksana perdarahan. Asam traneksamat merupakan golongan anti
fibrinolitik yang berfungsi untuk membantu menghentikan perdarahan. Vitamin K
memiliki fungsi utama untuk membantu proses pembekuan darah (Kemenkes,
2020; Mert and Bilir, 2001).
Ada beberapa opsi untuk pembalikan VKA, termasuk pemberian vitamin K,
PCC dan plasma. Vitamin K adalah agen pembalikan spesifik untuk VKA karena
mengembalikan karboksilasi hati intrinsik dari faktor pembekuan yang bergantung
pada vitamin K dengan mengatasi VKA (Gordon, et al., 2020).
Pemberian vitamin K tidak menyebabkan koreksi segera koagulopati dan untuk
pasien yang memerlukan pembalikan segera, pemberian harus disertai dengan
strategi replesi, jika 4F-PCC tidak tersedia, PCC atau plasma dapat digunakan
(Gordon et al., 2020).

21
DAFTAR PUSTAKA

ASBP, 2017. Plasma Components In Circular of Information for The Use of Human
Blood and Blood Component, America’s Blood Center, p: 19-27.
Blaney KD and Howard PR, 2016. Basic Concepts of Blood Banking and
Transfusion Practices in Basic Concepts of Blood Banking and Transfusion
Practices. p : 646–676.
Dogra K, Kaur G, Basu S and Chawla D, 2020. Fresh Frozen Plasma and Platelet
Transfusion Practices in Neonatal Intensive Care Unit of a Tertiary Care
Hospital in Indian Journal of Hematology and Blood Transfusion. 36(1):
141–148. doi: 10.1007/s12288-019-01164-z.
Fitzgerald D, Sterling T and Haas D, 2015. Mycobacterium tuberculosis in Mandell,
Douglas and Bennett’s Principles and Practice of Infectius Diseases 8th ed.
2: 2787-2818.
Fort G, 2023. Miliary Tuberculosis in Ferri’s Clinical Advisor. Editor : Fred R.,
USA : Elsevier. p : 2787-818.
Tomaselli GF, Mahaffey KW, Cuker A, Dobesh PP, Doherty JU, Eikelboom JW,
et al. 2020. 2020 ACC Expert Consensus Decision Pathway on
Management of Bleeding in Patients on Oral Anticoagulants in Journal of
the American College of Cardiology. 76(5): 599-605.
Harmening DM, Forneris G, Tubby BJ, 2019. The ABO Blood Group System.
Blood Groups and Serologic Testing. Modern Blood Banking &
Transfusion Practices 7th Edition. Philadelphia: F.A Davis company. p:
119-148.
Harrison T and Braunwald E, 2022. Hemoptysis In Harrison’s Principles of
internal medicine. 20th ed. New York: McGraw-Hill Education.
Heidendael JF, Engele LJ, Bouma BJ, Dipchand AI, Thorne SA, McCrindle BW,
et al. 2022. Coagulation and Anticoagulation in Fontan Patients. Canadian
Journal of Cardiology. 38: 1024-1035.
Hoffbrand AV and Steensma DP, 2020. Hoffbrand’s Essential Haematology.
British Journal of Haematology 8th ed. Oxford: Wiley Blackwell. 191:
p:130-130. https://doi.org/10.1111/bjh.17033.
Hopewell P, Kato-Maeda M and Ernst J, 2016. Tuberculosis in Murray and Nadel’s
Textbook of Respiratory Medicine. 6th ed. USA: Elsevier. 1: 593-628.
James WD, 2020. Modern Blood Banking & Transfusion Practices. Seventh Ed.
USA : F. A. Davis Company.
Jennifer A, Hughes J, Murphy M and Goodnough LT, 2019. Transfusion Medicine
In Wintrobe ’ s Clinical Hematology, 12th Ed. Editors: Greer JP, Rodgers
GM and Glader B. Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincott Williams &
Wilkins, p: 1782-1851.
22
Kaufmann S, 2017. Novel Tuberculosis Vaccination Strategies Based on
Understanding the Immune Response in Journal Intern Medicine. 267(337):
53.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 91 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan
Transfusi Darah, Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. doi:
10.1145/3132847.3132886.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI. p:16.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2021a. Surat Edaran
No.HK.02.02/III.1/936/2021 tentang Perubahan Alur Diagnosis dan
Pengobatan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. p: 2-8.
Kementerian Kesehatan Republik Indoneisa. 2022. Dasboard Tuberkulosis
Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Diakses tanggal 19
September 2022. Diunduh dari: https://tbindonesia.or.id/pustaka-
tbc/dashboard-tb/#tab-632872a7cae19-6.
Khalil A, Parrot A, Nedelcu C, Fartoukh M, Marsault C, Carette MF, 2008. Severe
hemoptysis of pulmonary arterial origin: signs and role of multidetector row
CT angiography in Chest. 133(1): 212–219. doi: 10.1378/chest.07-1159.
Kochhar PK, 2015. Cryopreservation of Blood in Blood Transfusion in Clinical
Practice 1st Ed. Croatia: In Tech.p: 233-242.
Kumano O, Akatsuchi K and Amiral J, 2021. Updates On Anticoagulation And
Laboratory Tools For Therapy Monitoring Of Heparin, Vitamin K
Antagonists and Direct Oral Anticoagulants in Biomedicines. 9(3). doi:
10.3390/biomedicines9030264.
Larici AR, Franchi P, Occhipinti M, Contegiacomo A, del Ciello A, Calandriello
L, et al. 2014. Diagnosis And Management Of Hemoptysis in Diagn Interv
Radiol. 20(4): 299-309. doi: 10.5152/dir.2014.13426
Levitt J, 2014. Standards for Blood Banks and Transfusion Services. 29th Edition.
Bethesda: AABB. p: 31-46.
Maharani EA and Noviar G, 2018. Imunohematologi dan Bank Darah. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. p: 114-127, 288-295.
Maramis PP, Kaunang ED, Rompis J, 2014. Hubungan Penyakit Jantung Bawaan
dengan Status Gizi pada Anak dalam Jurnal e-Clinic (eCl).Available at :
http://ejournal.unsrat.ac.id.
McCullough J, 2017. Clinical Uses of Blood Components in Transfusion Medicine,
4th Edition. Oxford: John Wiley & Sons. p: 248-309.
Mert A, Bilir M and Tabak F, 2001. Miliary Tuberculosis: Clinical Manifestations,
Diagnosis and Outcome in 38 adults in Respirology. 6(3): 217-24. doi:
10.1046/j.1440-1843.2001.00328.x.
Miller RD, 2015. Miller’s Anesthesia. 8th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders.
Gaol HL, Tanto C, Pryambodho. 2014. Kapita Selekta Kedokteran:
Transfusi Darah. Jakarta, Indonesia: Media Aesculapius.
Miwa K, Iwai S, Nagashima T, 2022. Anticoagulation Therapy After the Fontan
Procedure in Pediatr Cardiol. 43: 1271-1276. doi: 10.1007/s00246-022-
02848-6.
Mukherjee B, 2016. Technical Manual of Blood Components Preparation in
23
Technical Manual of Blood Components Preparation. doi:
10.5005/jp/books/12650.
Mulyantari NK, Yasa IWP, 2016. Laboratorium Pratransfusi Update. Bali:
Udayana University Press.
Nova R, Yosy DS, Iriani Y, 2019. Pediatric Cradiology Update VII. The Role of
Pediatric Cardiac Care with Limited Resources. Palembang: IDAI Sumatera
Selatan.
O’Gurek D and Joana Hiu Ying C, 2022. Hemoptysis: Evaluation and Management
in American Family Physician. 105(2): 10.
Paramita, 2011. Nursing, Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: PT
Indeks.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2021. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia
Publishing. p: 6-48.
Retno D, et al. 2012. Perbedaan Kualitas Fresh Frozen Plasma yang Dicairkan
Dengan Metode Konvensional dan dengan Metode Alat Ffp Thawer in
Journal of Internal Medicine. 13(1): 21–27.
Rowley M, Cantwel C and Milkins C, 2017. Laboratory Aspects of Blood
Transfusion In Dacie and Lewis Practical Haematology 12th Ed. Editors:
Bain BJ, Bates I, and Laffan MA. China: Elsevier. p: 470-96.
Shah AK and Shekhar, 2019. Miliary Tuberculosis in Clinical Focus Series. ESI
Medical College Faridabad. p: 128-154.
Sirait RH, 2019. Bahan Kuliah : Transfusi Darah. Universitas Kristen Indonesia. p:
1–17. Available at : http://repository.uki.ac.id/id/eprint/2787.
Tefferi A, 2021. Approach to the patient with thrombocytosis uptodate. available at
: https://www.wolterskluwer.com/en/know/clinical-effectiveness-terms.
Tominaga Y, Kawata H, Iwai S, Yamauchi S, Kugo Y, Hasegawa M, et al. 2019.
Left Ventricular Function After a Fontan Operation in Patient with
Pulmonary Atresia with an Intact Ventricular Septum in Interactive
Cardiovascular and Thoracic Surgery. 28 (2): 273-278.
doi.org/10.1093/icvts/ivy229.
Ulfah RA, 2010. Penanganan medis pada penyakit jantung bawaan. Available at:
http://www.mailarchive.com/balitaanda@balitaanda.com/msg208957.
Utami NM, Farida N, Bibit SL, 2020. Komponen Darah. Jakarta: PT. Cipta Gading
Arta.
Vaught HM, 2019. Component Preparation In Modern Blood Banking and
Transfusion Practices, 7 th Ed, Editors: Leger RM, Rhees JR, andSuwe G,
Philadelphia: FA Davis, p: 352-15.
Wahidiyat PA dan Nitish BA, 2016. Transfusi Rasional pada Anak dalam Sari
Pediatri. 18(4): 325-321.
Walborn A, Williams Mark, Fareed J and Hoppensteadt D, 2018. International
Normalized Ratio Relevance to the Observed Coagulation Abnormalities in
Warfarin Treatment and Disseminated Intravascular Coagulation. Clinical
and Applied Thrombosis/Hemostasis, Vol. 24(7) 1033-1041.
Walker HA, Gatzoulis MA, 2005. Prophylactic anticoagulation following the
fontan operation. London : Department of Cardiology, Royal Brompton
Hospital. doi: 10.1136/hrt.2004.039073
World Health Organization (WHO). 2014. Global tuberculosis report 2014, Online
24
WHO. Available at:
www.who.int/tuberculosis/publications/global_report/en/.
Zimmerman MS, Smith AGC, Sable CA, Echko MM, Wilner LB, Olsen HE, et al.
2020. A Systematic Analysis for The Global Burden of Disease Study in
Global, Regional and National Burden of Congenital Heart Disease in The
Lancet Child & Adolescent Health. USA: 7 Congenital Heart Disease
Collaborators. doi:10.1016/s2352-4642(19)30402-x

25

Anda mungkin juga menyukai