Anda di halaman 1dari 30

Gabungan Tinjauan Pustaka dr Hafni

“Transfusi Fresh-Frozen Plasma (FFP) pada pasien hemoptoe


dengan TB miller”

1. Fresh Frozen Plasma Transfusion (Transfusi FFP)


1.1 Definisi

Transfusi adalah pemberian darah atau komponen darah dari donor kepada pasien yang
mengalami kekurangan sel darah untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
(Rowley et al, 2017). Darah dan Komponen darah yang digunakan untuk transfusi terbagi atas
dua, yaitu komponen darah selular yang terdiri atas sel darah merah pekat/ Packed Red Cell
(PRC), sel darah merah miskin leukosit (leukodepleted PCR), leukosit (Buffy Coat) dan
trombosit konsentrat (TC). Komponen darah yang kedua adalah komponen darah non selular
yang terdiri atas plasma donor tunggal, plasma segar beku (Fresh Frozen Plasma =FFP) dan
kriopresipitat (Kochhar, 2012; Maharani and Noviar, 2018).

Plasma merupakan cairan atau bagian darah non-seluler yang mengandung air, elektrolit
dan protein. Beberapa tipe dari plasma tersedia untuk transfusi (Retno et al., 2012). Semua
plasma mengandung protein koagulasi, namun kandungannya relatif berbeda. Fresh Frozen
Plasma (FFP) adalah plasma segar dengan isi utama plasma dan faktor pembekuan labil yang
dibekukan dalam waktu 8 jam dan disimpan pada suhu minimal -18⁰C (atau lebih rendah). Fresh
Frozen Plasma (FFP) dapat bertahan selama tahun, yang berisi semua faktor koagulasi, faktor-
V,VII,VIII,X,XIII kecuali trombosit (Maharani and Noviar, 2018). Plasma yang dibekukan
dalam waktu 24 jam disebut plasma beku 24 jam (FP24). Volume FFP berkisar antara 150
sampai 220 mL. Fresh-Frozen Plasma (FFP) merupakan produk plasma beku yang mengandung
semua faktor pembekuan dan berguna untuk defisiensi faktor pembekuan selain hemofilia A,
penyakit von Willebrand dan hipofibrinogenemia (Blaney and Howard, 2016; James, 2020).
Komponen darah dan turunan plasma : (James, 2020)

Kategori Indikasi Aksi Risiko Pertimbangan Khusus


Utama
Fresh-Frozen Plasma yang Sumber semua Penyakit infeksi, Harus Kompatibel
Plasma (FFP) signifikan protein koagulasi dan alergi, demam, dengan ABO
secara klinis protein plasma TACO dan
kekurangan TRALI
protein saat
tidak ada
faktor
koagulasi
spesifik
konsentrat
PF24 (plasma Plasma yang Sumber tidak labil Penyakit infeksi, Harus Kompatibel
beku dalam 24 signifikan protein plasma alergi, demam, dengan ABO
jam setelah secara klinis tingkat faktor VIII TACO dan
proses kekurangan secara signifikan TRALI
mengeluarkan protein saat berkurang dan protein
darah) tidak ada plasma tingkat faktor
faktor V lainnya
koagulasi dibandingkan dengan
spesifik FFP
konsentrat
PF24RT24 signifikan Sumber tidak labil Penyakit infeksi, Harus Kompatibel
(plasma beku secara klinis protein plasma alergi, demam, dengan ABO
dalam waktu 24 kekurangan tingkat faktor V, TACO dan
jam setelah faktor faktor VIII dan TRALI
flebotomi koagulasi protein S berkurang
diadakan di suhu stabil ketika secara signifikan dan
kamar hingga 24 tidak ada protein plasma labil
jam setelah faktor adalah variabel yang
proses koagulasi dibandingkan dengan
pengeluaran spesifik FFP
darah) konsentrat

1.2 Tujuan

Transfusi FFP digunakan sebagai penutup dinding pembuluh darah yang mengalami
perdarahan akut sehingga tidak terjadi perembesan dan penurunan plasma (Maharani and Noviar,
2018). FFP digunakan pada pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak tersedia faktor
pembekuan pekat atau kriopresipitat, contohnya pada defisiensi faktor pembekuan multipel pada
penyakit hati dan dilusi koagulopati akibat transfusi masif. Penggunaan FFP digunakan untuk
pengobatan purpura trombositopenik trombotik (TTP) dan gangguan lainnya. FFP juga
digunakan sebagai pengganti selama pertukaran plasma teurapeutik (TPE) pada pasien dengan
koagulopati (penyakit hati berat) yang sudah ada dan sedang dijadwalkan untuk menjalani
prosedur invasif, seperti pratransplantasi (James, 2020). Plasma beku segar (FFP) digunakan
untuk menyusun kembali sel darah merah menjadi hematokrit antara 45% dan 60%. Plasma
harus kompatibel dengan ABO, FFP mengembalikan albumin dan faktor koagulasi (Kochhar,
2012).

1.3 Indikasi

Indikasi utama pemakaian plasma beku segar adalah pada defisiensi faktor pembekuan
dengan gangguan hemostatik yang belum diketahui penyebabnya (Maharani and Noviar, 2018).
Setelah transfusi 1 unit FF, faktor koagulasi dapat dinaikkan 2-3% dan FFP dapat disiapkan
dengan membagi volume yang lebih rendah sebelum pembekuan dengan rata-rata 60 mLper unit
(Mukherjee, 2016). Volume FFP 200-250 mL, tergantung dari kantong darah yang disuplai
dengan SAGM-2. Tranfusi FFP mempunyai faktor koagulasi stabil sebanyak 200 unit dengan
faktor VIII sebesar 0,7 IU/mL dan fibrinogen 200-400 mg (Blaney and Howard, 2016).

Proses koagulasi melibatkan beberapa reaksi biokimia yang mengubah sirkulasi plasma
melalui konversi fibrinogen menjadi fibrin (Blaney and Howard, 2016). Proses ini membutuhkan
protein plasma tertentu atau faktor koagulasi, fosfolipid dan kalsium. Kerusakan sistem
koagulasi dapat terjadi karena penurunan sintesis faktor koagulasi. FFP digunakan pada pasien
dengan perdarahan karena multile deficiency pada faktor koagulasi, seperti penyakit hati,
koagulasi intravaskular diseminata (DIC) dan pengenceran koagulopati, trombositopeni
trombotik purpura (TTP), defisiensi faktor-V, defisiensi faktor II, VII, IX dan antithormbin-III
(Mukherjee, 2016). Indikasi umum untuk transfusi plasma termasuk rekonstitusi darah lengkap
untuk transfusi tukar dan perdarahan aktif dalam koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Infus
FFP pada neonatus efektif dalam mengurangi kehilangan darah yang terkait dengan oksigenasi
membran ekstrakorporeal (ECMO) dan mengobati perdarahan aktif karena DIC, gagal hati atau
kekurangan vitamin K (Dogra et al., 2020).

Unit volume FFP atau PF24 dari apheresis sebanyak 800 mL. satu unit FFP atau PF24
dari darah lengkap dapat berisi sebanyak 200-375 mL. Misalnya, jika menggunakan kantong
ukuran 500 mL maka pengumpulan darah dapat sebesar 450-550 mL (±10% dari volume target).
Apabila daya tampung maksimum adalah 550 mL dan donor memiliki hematokrit minimal
sebesar 38%, maka pada darah yang terkumpul didapatkan sebesar 62% plasma atau sebanyak
310 mL. Dosis inisial transfusi FFP yaitu 15 mL /kg BB (4-6 kantong untuk pasien dewasa) dan
10-20 mL /kgBB/hari untuk anak dan neonatus (Kementerian Kesehatan RI, 2015; James, 2020).

Indikasi penggunaan dalam transfusi FFP : (Sirait, 2018)

a. Penatalaksanaan perdarahan pada pasien yang membutuhkan faktor koagulasi II, V, X


atau XI, bila konsentrat tidak tersedia atau tidak sesuai
b. Tes koagulasi abnormal akibat transfusi masif
c. Penatalaksanaan pasien dengan antikoagulan warfarin yang mengalam perdarahan atau
memerlukan keadaan operasi darurat
d. Solusi pengganti untuk terapi plasmaferesis untuk pengobatan TTP dan hemolitik
sindrom uremik (penurunan kriopresipitat plasma juga dapat digunakan untuk pasien)
e. Koreksi atau pencegahan komplikasi perdarahan pada pasien dengan penyakit hati berat
f. Penatalaksanaan pasien dengan koagulasi intravaskular diseminata bila kadar fibrinogen
berada kurang dari 100 mg/dL
g. Penatalaksanaan pasien dengan defisiensi protein plasma spesifik yang jarang
h. Penatalaksanaan pasien dengan defisiensi protein plasma spesifik yang jarang
1.4 Persiapan Transfusi

Donor darah tunggal dapat memberikan terapi transfusi pada beberapa pasien dalam
bentuk sel darah merah (RBC), trombosit, plasma beku segar dan kriopresipitat. Komponen
disiapkan dengan baik saat pengumpulan keseluruhan darah dan diubah menggunakan apheresis.
Plasma apheresis harus dibekukan dalam jangka waku yang ditentukan dan disimpan dalam
kondisi tertentu. Pengumpulan plasma oleh apheresis disebut plasmapheresis (James, 2020).
Dalam prosedur plasmapheresis, seluruh darah dari donor disentrifugasi dan plasma dialihkan ke
dalam kantong serta komponen seluler seperti sel darah merah, trombosit dan sel darah putih
dikembalikan ke donor. Hasil apheresis ini digunakan secara komersial untuk mengumpulkan
plasma dan dilanjutkan untuk pembuatan produk lebih lanjut seperti globulin-imun intravena
(IVIG), imun hepatitis globulin dan Rh-imun globulin.
Darah utuh (pada suhu 22⁰C Darah utuh
dalam pendingin centrifudge

Putaran keras (4000 RPM


Putaran ringan (2470 RPM untuk 10 menit) atau (3500
untuk 7 menit) atau (1800 RPM untuk 15 menit)
RPM untuk 10 menit)

FFP *PC (PRBC)


PRP *PC (PRBC)

Dibekukan dengan suhu


Putaran keras (4000 RPM untuk 10 menit) 80⁰C atau lebih rendah
dalam 24 jam

PLTC FFP Pembekuan deep box


dengan suhu 30⁰C sampai
kadaluarsa

Putaran keras (4000 RPM untuk 10 menit)

Cryoprecpitate Cryopoor
plasma

Persiapan komponen darah (plasma)


Berikut adalah tahapan dalam pemisahan plasma yang digunakan untuk transfusi FFP :
(Maharani and Noviar, 2018; James, 2020)

1. Plasma segar dipisahkan ke dalam kantong satelit. Waktu pemisahan dan


pembekuan plasma segar dilakukan 6-8 jam setelah pengambilan darah donor
2. Dipasang klem pada slang penghubung kantong
3. Plasma segar dibekukan pada suhu -55⁰C menggunakan alat blastfreexer atau
menggunakan biang es + alkohol. Pembekuan cepat pada suhu -50⁰ s/d - 55⁰C,
bertujuan untuk mempertahankan faktor pembekuan labil agar tidak rusak
4. PRC yang telah dipisahkan dimasukkan kotak dengan suhu 4⁰C (buku
imunohematologi).

Skema Pemisahan PRC dan LP serta pembuatan FFP menggunakan kantong darah
double (Maharani and Noviar, 2018)

Tahapan dalam proses pemisahan dipengaruhi oleh kantong yang digunakan untuk
pengambilan darah dan jenis komponen akhir yang akan diproduksi. Plasma beku dapat
dicairkan pada suhu antara 30⁰C - 37⁰C pada microwave yang distujui oleh FDA. Setelah
mencair, produk dapat disimpan pada suhu 1⁰C - 6⁰C hingga 24 jam. Plasma yang dicairkan
dapat disimpan selama 5 hari dan diberi nama “plasma yang dicairkan”. Persiapan komponen
darah, pemilihan kantong sangat penting. Di bank darah, terdapat 4 jenis kantong yang
digunakan yaitu viz, single, double, triple and quadruple bags (Mukherjee, 2016; James, 2020).
Plasma harus dipisahkan dari seluruh darah selambat-lambatnya dari 6-8 jam setelah
pengumpulan dan diawetkan dengan SAGM-2 dan dapat disimpan pada suhu 2⁰-6⁰C pada kulkas
bank darah. Kantong plasma harus disimpan pada suhu -80⁰C atau lebih rendah selama 24 jam
(Mukherjee, 2016).

Pendingin Cryfuge 6000i dengan kantong darah (Mukherjee, 2016)

Plasma Expresser (Mukherjee, 2016)


1.5 Komplikasi

Efek samping pemberian FFP adalah urtikaria, menggigil, demam dan hipervolemia.
Penggunaan FFP menimbulkan beberapa risiko seperti penyakit menular, efek aditif yang
berkontribusi terhadap sitrat toksisitas dan sensitisasi terhadap protein plasma. Efek samping dari
transfusi FFP dapat terjadi sebagai berikut : (Maharani and Noviar, 2018; James, 2020)

1. Reaksi alergi akut


2. Demam dari reaksi nonhemolitik
3. Penularan virus
4. Kontaminasi bakteri-sepsis
5. TRALI (transmitted-related acute lung infection)

1.6 Pemantauan Tranfusi FFP

Plasma yang dicairkan harus ditransfusikan sedini mungkin. Jika transfusi ditunda, harus
ditransfusikan dalam waktu 12 jam (sebaiknya 6 jam) dan disimpan di suhu 2⁰- 4⁰C. Transfusi
FFP perlu dilakukan pencocokan silang, transfusi FFP harus kompatibel dengan ABO darah
pasien. Tindakan pencegahan diambil bahwa donor tidak mengandung antibodi ABO yang dapat
bereaksi silang dengan antigen A atau B pada sel darah merah penerima (Mukherjee, 2016).

2. TB Miller
2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) diseminata atau disebut juga TB milier adalah infeksi yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, yang menyebar secara hematogen dimana secara radiologis
dan histopatologis ditandai dengan gambaran yang menyerupai biji jawawut (millet).
Tuberkulosis diseminata yang merupakan TB ekstra paru ini dapat menyerang berbagai sistem
organ (Fort, 2017). Tuberkulosis milier merupakan istilah yang dipakai dalam mediagnosis
kelainan radiologi paru dimana didapatkan adanya gambaran nodul dengan ukuran 1-2 mm yang
tersebar di kedua lapangan paru (Thwaites, 2014; Hopewell, Kato-Maeda and Ernst, 2016).
Istilah diseminata digunakan untuk menggambarkan proses infeksi TB yang menyebar luas ke
seluruh tubuh. Kedua istilah ini pada akhirnya digeneralisasikan menjadi suatu bentuk TB ekstra
paru, sehingga menjadi satu kesatuan penyakit yang mempunyai kesamaan dalam hal diagnosis
dan terapi (Shandera and Merchant, 2015).

Tuberkulosis milier adalah bentuk tuberkulosis yang paling ditakuti karena menyebar
dengan cepat melalui sistem hematogen dan seringkali memiliki presentasi yang samar. Oleh
karena itu, sering terjadi kematian jika tidak terdeteksi tepat waktu. Di negara dengan prevalensi
tuberkulosis yang tinggi seperti India, pasien dengan bintik milier pada radiografi dada
diasumsikan sebagai tuberkulosis milier sampai terbukti sebaliknya. Bentuk tuberkulosis yang
berbahaya ini cenderung memiliki gambaran yang tidak spesifik dan karena itu indeks
kecurigaan yang tinggi diperlukan untuk diagnosis yang cepat. Untuk menambah masalah,
munculnya human immunodeficiency virus (HIV)-acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
telah mengakibatkan tuberkulosis milier menemukan kembali dirinya sendiri dan muncul dalam
bentuk yang resistan terhadap obat (Shah and Shekhar, 2018).

2.2 Patogenesis

Bakteri Tahan Asam (M.tuberculosis) awalnya akan dicerna oleh makrofag dalam
alveoli, kemudian akan dihantarkan melalui aliran darah ke seluruh tubuh dan juga akan menuju
kelenjar getah bening regional (Fort, 2017). Kondisi seperti ini menyebabkan bakteremia yang
berat dan berkepanjangan. Organ target atau organ ekstra paru yang terkena dapat bervariasi.
Hati, limpa, sumsum tulang dan otak adalah organ yang sering terkena (Thwaites, 2014).
Selanjutnya akan diikuti dengan periode laten dimana kuman BTA yang terdapat dalam
granuloma akan menetap dalam waktu yang lama sampai akhirnya terjadi reaktivasi. Reaktifasi
terjadi akibat ketidakmampuan sistem imun untuk menahan infeksi primer sehingga
menyebabkan terjadinya penyebaran secara hematogen dan terjadinya infeksi diseminata yang
progresif. Usia tua dan imunitas yang buruk akan mempercepat penyebaran kuman dan
menyebabkan terjadinya TB diseminata (Rumende, 2020).

Tuberkulosis milier disebabkan oleh penyebaran lymphohematogenus M.tuberculosis


bacili yang dapat terjadi baik selama infeksi primer dengan mycobacteria atau bila ada reaktivasi
infeksi laten (Baker and Glassroth, 2004). Sebagian besar respon imun host mampu menahan
infeksi primer sehingga dapat menghasilkan penyembuhan sempurna atau persistensi dalam
bentuk infeksi laten. Namun, pada 10% pasien, respon imun tidak mampu menahan infeksi
primer dapat mengakibatkan diseminasi. Selama infeksi primer, penyebaran hematogen dari
sejumlah kecil bacilia dapat terjadi ke organ dengan oksigen tinggi seperti hati, limpa, dan otak.
Meskipun pada sebagian besar pasien, penyembuhan terjadi dengan pembentukan granuloma
tetapi pada sebagian kecil fokus infeksi ini gagal untuk sembuh dan mendapatkan akses ke
sistem limfohematologi yang mengarah ke tuberkulosis milier akut (Crofton, 1975). Fenomena
ini sering terlihat pada anak-anak di saat prakemoterapi disebabkan oleh respon imun yang buruk
(Geppert and Leff, 1979). Reaktivasi infeksi laten juga dapat menyebabkan tuberkulosis milier
karena immunosuppression atau infeksi HIV dan manifestasinya dapat bervariasi dari presentasi
akut hingga bentuk cyptic kronis yang mungkin sulit dikenali. Caseation dan erosion dalam
struktur pembuluh darah di dekatnya menghasilkan penyebaran ke foci. Keterlibatan organ
bervariasi tergantung pada lokasi dan struktur vaskular yang terkena. Setiap kali Caseation
kelenjar getah bening mediastinum terjadi, hal itu menyebabkan keterlibatan duktus torasikus
yang berpuncak pada penyebaran di kedua paru-paru. Penyebaran ke organ lain biasanya terjadi
bila vena pulmonalis terpengaruh (Crofton, 1975). Ketika cabang utama arteri pulmonalis atau
cabang-cabangnya yang lebih kecil terkena, penyakit menjadi muncul pada satu paru atau
sebagian paru (Rao, 1981).

Millet seed-sized granulomatous foci tetap dideskripsikan sebagai tuberkulosis milier


klasik. Secara umum tampak sebagai lesi kecil yang berukuran sebesar kepala peniti berwarna
putih keabu-abuan yang terpisah dari jaringan paru normal. Foci terdiri dari sel-sel epiteloid,
makrofag, dan sel Langhans yang besar. Tergantung ada atau tidaknya nekrosis kaseosa, TB
milier selanjutnya dibagi menjadi "hard tubercles" dan “soft tubercles”. Penyebaran multiorgan
bersama dengan perikardial, efusi pleura, atau asites dapat terlihat karena keterlibatan serosal
(Rao, 1981).
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis Milier

2.3 Tanda dan Gejala

Tuberkulosis milier memiliki berbagai bentuk mulai dari penyakit akut ke bentuk yang
lebih kronis “crytic”. Keterlibatan multisistem umum terjadi pada paru-paru yang dapat
terpengaruh pada sebagian besar pasien, bahkan dapat pula melibatkan hati, limpa, dan sistem
saraf pusat (SSP) (Campbell, 1973; Al-Jahdali, Al-Zahrani and Amene, 2000; Mert, Bilir and
Tabak, 2001)

Tabel Gejala dan Tanda Tuberkulosis Milier

No Kriteria Diagnosis untuk Tuberkulosis Milier


Kriteria Diagnostik
1 Gambaran klinis yang menunjukkan diagnosis tuberkulosis sperti demam
(kenaikan suhu pada malam hari), penurunan berat badan dan nafsu makan,
takikardia dan keringat pad amalam hari selama 6 minggu dan merespon pada
pengobatan antituberkulosis
2 Pola milier yang khas pada radiografi dada
3 Lesi paru etikulonodular difus bilateral pada bayangan sinar-X biasa atau
tomografi komputer resolusi tinggi
4 Gambaran mikrobiologi atau histopatologi yang menunjukkan tuberkulosis

Gejala tuberkulosis milier yang dominan adalah anoreksia, penurunan berat badan, dan
demam menjadi hal yang umum terrjadi. Demam merupakan gejala yang paling umum yang
terlihat pada hampir 75-80% pasien (Campbell, 1973; Maartens, Willcox and Benatar, 1990;
Sharma et al., 1995; Al-Jahdali, Al-Zahrani and Amene, 2000; Mert, Bilir and Tabak, 2001),
memiliki karakteristik paling tinggi pada pagi hari. Hal ini terlihat pada dua kondisi lain yaitu
polyarteritis nodosa dan demam enterik (Cunha, Krakakis and McDermott, 2009). Demam
dengan menggigil dan kaku, sering dikaitkan dengan infeksi bakteri atau malaria juga telah
dilakukan penelitian. Onset bertahap gejala malaise dan penurunan berat badan terjadi pada 60-
65% individu dengan batuk, sedangkan sesak napas sebanyak 50% kasus. Nyeri perut sebagai
gejala utama terlihat pada sekitar 7-14% pasien dengan tuberkulosis milier (Rushing, Hanna and
Selecky, 1978). Penyebab nyeri perut pada tuberkulosis milier termasuk peritonitis, enteritis,
limfadenitis retroperitoneal, dan terkadang terjadi pada pankreatitis. Sakit kepala yang terlihat
pada 10-15% menunjukkan keterlibatan meninggal (Sharma, Mohan and Sharma, 2012).
Keluhan lain yang muncul termasuk hemoptisis, nyeri dada pleuritik, mual, muntah, dan
perubahan status mental. Tanda-tanda klinis yang paling konsisten dengan tuberkulosis milier
adalah pireksia, hepatomegali, dan splenomegali. Krepitasi difus terdengar pada uskultasi dada,
sementara kekakuan leher mengarah ke iritasi meninggal. Temuan yang kurang umum termasuk
penurunan kesadaran, limfadenopati, dan serositis (Campbell, 1973; Al-Jahdali, Al-Zahrani and
Amene, 2000; Mert, Bilir and Tabak, 2001). Sharma et al. mengusulkan kriteria diagnostik untuk
tuberkulosis milier yang digambarkan dalam bentuk gambar tabel diatas (Sharma, Mohan and
Sharma, 2012).

Klasifikasi TB milier dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (Rumende, 2020):

1. TB milier akut

Penyakit ini biasanya didapatkan pada anak dan dewasa muda dengan gejala yang bersifat
akut atau subakut ditandai dengan demam tinggi intermiten dan keringat malam. Pada 30%
pasien bisa didapatkan adanya efusi pleura, peritonitis atau meningitis. Pada usia yang lebih tua
penyakit ini biasanya berlangsung kronis dengan serta cenderung lebih berat. Namun demikian
TB milier saat ini lebih banyak ditemukan pada pasien yang lebih tua yang sering diawali dengan
adanya penyakit yang dasar misalnya sirosis hepatis, keganasan, penyakit reumatologi, dalam
pengobatan obat imunosupresif maupun kehamilan. Gejala yang sering didapat yaitu demam,
anoreksia, kelemahan dan penurunan berat badan. Nyeri kepala dapat menunjukkan adanya
komplikasi meningitis, nyeri abdomen menunjukkan peritonitis dan nyeri pleuritik menunjukkan
adanya pleuritis. Pada pemeriksaan fisis biasanya tidak didapatkan kelainan yang spsifik, namun
dengan pemeriksaan yang seksama bisa didapatkan adanya kelainan berupa erupsi kulit, massa
pada skrotum dan limfadenopati yang bila dilakukan biopsi akan didapatkan diagnosis secara
tepat. Pada pemeriksaan foto toraks, gambaran infiltrat milier merupakan kelainan yang paling
membantu dalam diagnosis TB milier. Hitung sel darah putih biasanya normal. Pada
pemeriksaan kultur BTA baik dari sputum, isi lambung, dan cairan serebrospinal bisa didapatkan
hasil yang positif pada sebagian kecil kasus dan dengan pemeriksaa sediaan hapus sputum dan
sekret paru akan lebih jarang didapatkan hasil yang positif. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
biopsi jaringan (kelenjar getah bening, masa skrotum, hati mapun sumsum tulang). Biopsi
transbronkial juga merupakan pemeriksan jaringan yang dapat dilakukan apabila terdapat dugaan
TB milier disertai dengan adanya pembesaran kelenjar getah bening di daerah hilus paru untuk
mendapatkan adanya gambaran granuloma kaseosa atau BTA. Diagnosis harus cepat ditegakkan
karena mortalitas TB milier sering disebabkan karena keterlambatan terapi. Respons pengobatan
dapat berlangsung cepat dalam beberapa minggu.

2. TB milier kriptik (Cryptic milliary tuberculosis) dan Late Generalized Tuberculosis


(Hematogen kronis)

Tuberkulosis milier kriptik mungkin berhubungan dengan adanya penyebaran kuman dalam
aliran darah yang terjadi secara intermiten dan progresif. Faktor usia dan imunitas yang menurun
merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran kuman tersebut setelah infeksi primer. Istilah
TB milier kriptik biasanya menggambarkan pasien usia tua dengan sulitnya diagnosis karena
tidak ada kelainan pada foto toraks dengan uji tuberkulin negatif dimana penyakit yang
mendasari gejalanya hampir sama dengan TB. Late Generalized Tuberculosis biasanya silent,
contohnya TB pada ginjal, saluran kemih, dan tulang. Gejala klinis yang bisa didapat antara lain
demam yang tidak diketahui penyebabnya, sering dengan gambaran foto toraks yang normal dan
hasil uji tuberkulin yang negatif. Late Generalized TB berhubungan dengan kelainan
hematologis.

3. TB milier dan kelainan darah

Beberapa pasien dengan Late Generalized Tuberculosis menunjukkan adanya kelainan


hematologi serius antara lain leukopenia, trombositopenia, anemia, reaksi leukemoid,
myelofibrosis dan polisitemia. Ketika terjadi pansitopenia disertai demam dan penurunan berat
badan atau kelainan darah yang samar-samar, maka adanya TB diseminata patut dicurigai
(Fitzgerald, Sterling and Haas, 2015).

2.4 Penyebab

World Health Organization (WHO) melaporkan di tahun 2014, ada 9,0 juta pasien
tuberkulosis baru dan 1,5 juta kematian akibat tuberkulosis secara global pada tahun 2013
(World Health Organization (WHO), 2014). Tuberkulosis milier menyumbang sekitar 1-2% dari
semua tuberkulosis pasien dan sekitar 20% dari semua pasien tuberkulosis ekstraparu (Mert,
Bilir and Tabak, 2001; Sharma, Mohan and Sharma, 2012). Dalam era prechemotherapeutic,
tuberkulosis milier lebih sering terlihat di kalangan muda atau anak-anak. Sistem kekebalan yang
belum matang pada anak-anak menyebabkan penyebaran hematogen. Dengan diperkenalkannya
vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG) dan efektif rejimen kemoterapi, ada penurunan yang
nyata. Namun, terjadi peningkatan dalam insiden pada kelompok lanjut usia dikaitkan dengan
munculnya pandemi AIDS, penurunan kekebalan, dan penggunaan agen imunosupresif (Shah
and Shekhar, 2018).

Berbagai kondisi menjadi predisposisi tuberkulosis milier. Studi penelitian sebelumnya,


tuberkulosis milier terjadi pada infeksi masa kanak-kanak seperti campak dan batuk rejan yang
merupakan faktor predisposisi utama. Virus campak tidak hanya menyebabkan kerusakan timus
pada anak-anak, tetapi juga memiliki efek langsung pada respons limfositik yang mengarah pada
depresi seluler respon imun. Malnutrisi dan alkoholisme sebagai risiko independen faktor untuk
tuberkulosis milier. Kondisi komorbiditas seperti diabetes mellitus, kronis, gagal ginjal,
gangguan jaringan ikat semuanya telah terbukti meningkatkan insiden tuberkulosis milier.
Kehamilan akhir-akhir ini digambarkan sebagai faktor predisposisi (Maartens, Willcox and
Benatar, 1990).

Penelitian dari Afrika Selatan melaporkan bahwa 42% dari 109 pasien mereka dengan
tuberkulosis milier memiliki kondisi predisposisi termasuk alkoholisme (16%), kehamilan (8%),
steroid (6%), dan diabetes (4%). Risiko tuberkulosis milier juga lebih tinggi pada pasien dengan
HIV / AIDS, mereka yang menggunakan steroid jangka panjang, dengan transplantasi organ dan
menggunakan imunosupresif. Selain itu, pasien dengan imunosupresif atau pada
imunomodulator biologis seperti anti-tumor necrosis factor-α (TNF-α) untuk rheumatoid arthritis
juga memiliki kecenderungan yang meningkat pada penyakit miliaria tuberculosis (Gin and
Dolianitis, 2014). Silikosis juga telah digambarkan sebagai salah satu kondisi predisposisi untuk
tuberkulosis milier (Verma and Karmakar, 2013).

2.5 Imunologi dan TB Miller

Respon imun sebagian besar dimediasi sel dengan makrofag alveolar paru memainkan peran
sentral dalam imunopatogenesis tuberkulosis. Mycobacteria difagositosis oleh makrofag dan sel
dendritik dipresentasikan ke sel T. Dua subset sel T yaitu sel T helper CD4+ dan sel T sitotoksik
CD8+ membentuk bagian dari imunitas yang diperantarai sel. Tingkat sel CD4+ menurun pada
pasien dengan HIV mengakibatkan peningkatan predisposisi untuk tuberkulosis milier. Sel T
CD4+ memiliki dua subset lebih lanjut: (i) sel T helper (Th1) tipe 1 dan (ii) sel T helper tipe 2
(Th2). Sel Th1 menghasilkan tumor necrosis factor-α, interferon-γ, dan interleukin-2 (IL-2).
Fungsi dari Sel Th1 mengaktifkan makrofag dan bertanggung jawab untuk membunuh
mikobakteri TNF-α dan memainkan peran sentral dalam pembentukan granuloma sebagai
penahanan infeksi tuberkulosis. Penurunan kadar TNF-α menyebabkan kegagalan dalam
melokalisasi basil, sehingga menjadi predisposisi untuk tuberkulosis milier. Ini telah sering
diamati pada pasien pada agen anti-TNF-α (Tissot, 2012).25 Sel Th2 memproduksi IL-4, IL-5
yang terutama bertanggung jawab untuk mengaktifkan B-limfosit dan sistem kekebalan humoral.
Respon imun yang dominan terlihat pada tuberkulosis milier adalah tipe Th2 yang tidak mampu
mengarah ke diseminasi (Kaufmann, 2010). Pada pasien penyakit paru-paru tuberkulosis, terjadi
respon Th1 yang dominan di tempat infeksi, sementara pada pasien dengan tuberkulosis milier
respon Th2 juga terlihat. Hal ini disebaban dari peningkatan kadar IL-4 dalam lavage
bronchoalveolar (BAL) pada pasien dengan miliaria tuberculosis (Sharma et al., 2002). Bagian
lain dari sel CD4+, sel T regulator (Treg) telah diidentifikasi akhir-akhir ini. Sel-sel ini
menghasilkan faktor pertumbuhan tumor-b dan IL-10. Sitokin ini menyebabkan penekanan
respon imun seluler yang dimediasi Th1. Awalnya dipelajari pada penyakit autoimun, peran sel
Treg juga telah ditandai di miliaria tuberkulosis. Sel Treg ini adalah CD4+, CD25+ tetapi
penanda karakteristiknya sel adalah FoxP3+. Tingkat sel Treg ini meningkat pada tuberkulosis
milier di lokasi infeksi sebagaimana dibuktikan oleh sel-sel FoxP3+ yang meningkat di BAL
(Sharma et al., 2009).

3. Hemoptoe
3.1 Definisi

Hemoptisis adalah pengeluaran darah dari saluran pernapasan bagian bawah, biasanya
dari arteri bronkial. Penyebab paling umum adalah infeksi saluran pernapasan akut, kanker,
bronkiektasis, dan penyakit paru obstruktif kronik. Sabagian besar penyebab hemoptisis tidak
teridentifikasi dengan persentase sebesar 20%-50% kasus. Hemoptisis harus dibedakan dari
pseudohemoptsis, yaitu darah yang berasal dari sumber nasofaring atau gastrointestinal. Evaluasi
awal termasuk menentukan tingkat keparahan perdarahan dan stabilitas pasien dan mungkin
memerlukan bronkoskopi untuk perlindungan jalan pernapasan. Hemoptisis ringan mencakup
lebih dari 90% kasus dan memiliki prognosis yang baik, sedangkan hemoptisis masif memiliki
angka kematian yang tinggi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu dalam
mengidentifikasi etiologi, akan tetapi tes diagnostik sangat diperlukan. Radiografi dada adalah
tes awal yang baik, tetapi sensitivitasnya terbatas untuk menentukan lokasi dan etiologi
perdarahan. Computed tomography dan computed tomography angiography dada dengan kontras
intravena adalah modalitas pilihan untuk menentukan etiologi perdarahan; namun, bronkoskopi
juga sangat diperlukan. Selain perawatan medis suportif, manajemen harus mencakup
pengobatan etiologi yang mendasari karena kekambuhan sering terjadi tanpa adanya penyebab
yang teridentifikasi. Embolisasi arteri bronkial digunakan untuk mengobati hemoptisis masif,
terutama ketika arteri yang terlibat teridentifikasi pada computed tomography angiografi
(O’Gurek and Joana Hiu Ying, 2022).

Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi. Volume darah
yang dibatukkan bervariasi. Dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif,
tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah
ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang
keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala
dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk
darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode
tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat mengganggu
pertukaran gas di paru dan dapat mengganggun kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila
tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa (Menaldi, 2009).

3.2 Patogenesis

Paru-paru disuplai oleh sistem sirkulasi ganda: sistem arteri pulmonalis adalah sirkuit
tekanan rendah (tekanan sistolik 15 sampai 20 mm Hg) yang dirancang untuk melakukan
pertukaran gas, sedangkan arteri bronkial memiliki regimen tekanan tinggi dan memberikan
suplai nutrisi ke paru-paru. Arteri bronkial terutama muncul dari bagian menurun aorta antara
vertebrae T5 dan T6 baik secara langsung atau dari batang interkostal. Beberapa varian telah
dijelaskan (misalnya arteri menyimpang berasal dari arkus aorta, arteri mamaria interna, arteri
frenikus inferior) (Cowling and Belli, 1995). Selain itu, kolateral utama seperti arteri spinalis
anterior atau arteri esofagus inferior dapat terluka selama embolisasi arteri bronkial. Right
bronchointercostal trunk (RBICT) pada pasien hingga 80% di arteri interkostal kanan dan arteri
bronkial kanan. Arteri spinalis anterior timbul dari arteri interkostal RBICT, yang menyebabkan
embolisasi berisiko tinggi. Arteri esofagus inferior dapat muncul dari arteri bronkial inferior kiri
yang menyebabkan embolisasi arteri inferior kiri. Remodeling vaskular dan neo-angiogenesis
dapat berkembang dalam pembuluh bronkial sistemik dan non-bronkial begitu juga sebaliknya
ke pembuluh paru (Mitzner and Wagner, 2004). Proliferasi pembuluh darah ini dapat terjadi
dalam masalah klinis berikut: (i) setelah penurunan aliran paru proksimal (misalnya stenosis paru
kongenital, emboli paru, vaskulitis paru seperti arteritis Takayasu atau penyakit Behcet; (ii)
setelah kerusakan tulang rawan pendukung dinding bronkus yang disebabkan oleh proses
inflamasi kronis (misalnya bronkiektasis) ; (iii) pada kanker paru-paru (Kvale, Selecky and
Prakash, 2007).
Gambar Bronkiektasis

Mekanisme yang tepat yang bertanggung jawab atas hemoptisis masih belum diketahui;
peradangan saluran napas yang persisten, infeksi dan tekanan darah tinggi telah diduga sebagai
faktor pemicu pecahnya pembuluh darah. Pada kebanyakan kasus (90%), hemoptisis
berhubungan dengan keterlibatan arteri bronkial sistemik atau non-bronkial. Jika tidak,
hemoptisis berasal dari arteri pulmonalis (Khalil et al., 2008). Jarang hemoptisis berasal dari
pembuluh mikro paru pada tingkat alveolar. Cedera penghalang alveolar-kapiler mungkin terkait
dengan banyak kondisi. Diapedesis eritrosit ke dalam alveoli adalah proses utama yang
menghasilkan perdarahan alveolar difus. Pada sebagian kecil kasus, vena pulmonalis mungkin
terlibat (misalnya stenosis vena pulmonalis, mediastinitis sklerosis) (Williamson et al., 1992).
Kecuali hemoptisis berhubungan dengan aorta (fistula aorto bronkial) atau dengan malformasi
kongenital (sekuestrasi bronkus pulmonal). Diagnosis sumber vaskular hemoptisis harus
diklarifikasi karena perawatan spesifik yang berbeda: embolisasi arteri bronkial pada hemoptisis
yang berasal dari arteri bronkial; Vaso-oklusi arteri pulmonalis pada hemoptisis berhubungan
dengan keterlibatan arteri pulmonalis. Pada sebagian kecil kasus (misalnya tuberkulosis aktif),
hemoptisis dapat berasal dari pembuluh darah sistemik dan paru (aneurisma Rasmussen).
Singkatnya, mekanisme hemoptisis yang berbeda dijelaskan dibawah ini, mekanisme utama
adalah keterlibatan arteri bronkial dan non-bronkial (Picard et al., 2003).
Tabel Mekanisme Hemoptisis

Mekanisme Frekuensi Pengobatan


Arteri non-bronkial dan +++++ Embolisasi arteri bronkial-
bronkial pengobatan penyebab
Arteri Pulmonalis ++ Oklusi Vaso Arteri Paru-
pengobatan penyebab
Vena Pulmonalis + Pembedahan-pengobatan
penyebabnya
Penghalang Kapiler Alveolar + Pengobatan penyebab

3.3 Tanda dan Gejala

Etiologi dari hemoptisis ini bervariasi, namun secara garis besar dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal, dan penyakit vaskuler. Perdarahan dapat
berasal dari pembuluh darah besar maupun kecil. Perdarahan dari pemburuh darah kecil biasanya
bersifat fokal atau difus alveolar, paling sering disebabkan oleh penyakit imunologi, vaskulitis,
kardiovaskular, dan gangguan koagulasi. Perdarahan bisa berasal dari arteri pulmonal maupun
arteri bronkial. Sekitar 90% dari hemoptisis masif disebabkan oleh perdarahan dari arteri
bronkial karena memiliki tekanan yang lebih tinggi dibandingkan arteri pulmonal. Hemoptisis
dari arteri pulmonal dapat disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan nekrosis, seperti
tuberkulosis, abses paru, aspergilosis, dan karsinoma (Khalil et al., 2008).

Infeksi merupakan penyebab tersering dari hemoptisis, sekitar 60-70%. Dari infeksi
tersebut, 26% berasal dari bronkitis, 10% disebabkan pneumonia, dan 8% akibat tuberkulosis.
Infeksi dapat menyebabkan inflamasi mukosa dan edema yang menyebabkan ruptur kapiler
superfisial. Kanker primer paru sekitar 23%. Perdarahan pada kanker diakibatkan oleh invasi
atau erosi pembuluh darah oleh tumor. Nodul metastasis pada paru biasanya tidak menyebabkan
hemoptisis (Yoon et al., 2002). Hipertensi arteri pulmonal juga dapat menyebabkan hemoptisis,
walaupun jarang. Namun pada pasien dengan hipertensi arteri pulmonal dengan hemoptisis,
angka kesintasannya hanya sekitar 60%, dan pasien sering mengalami hemoptisis berulang
(75%). Di Indonesia itu sendiri, menurut penelitian di RS Persahabatan, etiologi tersering dari
hemoptisis adalah tuberkulosis (76,6%), infeksi jamur 10%, dan penyakit lainnya 14% (Yoon et
al., 2002).

Mortalitas hemoptisis tergantung beratnya perdarahan dan kelainan patologis dari paru.
Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Corey dkk dalam Merleen (2009), mortalitas
meningkat bila perdarahan melebihi 1000 ml/24 jam. Namun mortalitas turun menjadi 9% bila
perdarahan kurang dari 1000 ml/24 jam. Mortalitas meningkat menjadi 59% pada pasien dengan
keganasan, dan 80% bila perdarahan lebih dari 1000 ml/24 jam. Beberapa kondisi seperti abses
paru dan bronkiektasis memiliki mortalitas yang lebih rendah (<1%), dan tatalaksana konservatif
biasanya sudah cukup. Suatu penelitian Deepak dkk mendapatkan 377 pasien dengan
hemoptisis, didapatkan etiologinya adalah tuberkulosis sebesar 54,6%, pneumonia sebesar
20,4%, bronkiektasis sebesar 15,9%, dan jamur sebesar 14,6% dengan mortalitas 8,73%, 20,8%,
10%, dan 16,4% secara berurutan, dengan mortalitas secara keseluruhan hemoptisis adalah 11%.
Pada studi tersebut, 24,13% pasien merupakan hemoptisis masif .10 Di Indonesia itu sendiri,
dikatakan mortalitas hemoptisis masif mencapai 75% .
Gambar Perbandingan Diagnosis Hemoptesis dan Etiloginya (O’Gurek and Joana Hiu Ying,
2022)
Gambar diatas menguraikan pendekatan diagnostik yang direkomendasikan pada pasien
yang hemoptisis nonmassive dan masif. Evaluasi laboratorium untuk koagulopati yang
mendasari diperoleh dari pemeriksaan laboratorium tambahan berdasarkan pada kecurigaan
klinis pasien.

3.4 Penyebab

Infeksi merupakan penyebab paling umum dari penyakit hemoptisis dengan prevalensi
sebesar 60-70% kasus (Harrison and Braunwald, 2001). Infeksi menyebabkan peradangan
mukosa superfisial dan edema yang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah superfisial.
Dalam studi retrospektifz pasien rawat inap dan hemoptisis rawat jalan di Amerika Serikat,
bronkitis menyebabkan 26%, pneumonia menyebabkan 10%, dan tuberkulosis menyumbang 8%.
Bakteri invasif (misalnya, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa) atau jamur
(misalnya, spesies Aspergillus) adalah penyebab infeksi yang paling umum dari hemoptisis.
Virus seperti influenza juga dapat menyebabkan hemoptisis parah. Manusia infeksi virus
imunodefisiensi (HIV) predisposisi pasien hemoptisis termasuk penyakit paru-paru Sarkoma
Kaposi (Nelson and Forman, 1996) Selain itu, penyebab hemoptisis paling umum adalah akut
dan kronis bronkitis, pneumonia, tuberkulosis, dan kanker paru-paru. Etiologi yang mendasari
tercantum dalam gambar dibawah ini:

Tabel Diagnosis Hemoptisis (O’Gurek and Joana Hiu Ying, 2022)

Perbedaan diagnosis Hemoptisis


Sumber selain dari saluran Sumber parenkim paru Sumber vaskular primer
pernapasan bagian bawah
- Perdarahan saluran napas - Abses paru - Malformasi arteriovenosa
bagian atas (nasofaring) - Pneumonia - Emboli paru
- Perdarahan - Tuberkulosis - Peningkatan tekanan paru
gastrointestinal - Mycetoma (terutama mitral stenosis)
- Sindrom goodpasture - Ruptur arteri pulmonlais
- Hemosiderosis paru sekunder akibat
idiopatik manipulasi kateter arteri
- Granulomatosis wegener pulmonal ujung balon
Sumber trakeobronkial - Lupus pneumonitis Penyebab lain dan penyebab
- Memar panjang jarang
- Neoplasma (bronkogenik - Endometriosis paru
karsinoma, tumor - Koagulopati sistemik
metastatik endobronkial, atau penggunaan
sarkoma kaposi, karsinoid antikoagulan atau
bronkial agen trombolitik
- Bronkitis (akut dan
kronis)
- Bronkiektasis
- Bronkalitiasis
- Trauma saluran napas
- Benda asing

Penyebab utama hemoptisis pada anak adalah infeksi saluran pernapasan. Penyebab
paling umum kedua adalah foreign body aspiration, dengan sebagian besar kasus terjadi pada
anak-anak di bawah empat tahun. Penyebab penting lainnya adalah bronchiectasis, yang
seringkali merupakan akibat sekunder dari fibrosis kistik.

Tabel Etiologi Hemoptisis berdasarkan Studi Representatif (O’Gurek and Joana Hiu Ying, 2022)

Insiden dari Etiologi Hemoptisis dalam representatif studi


Etiologi Rawat jalan Rawat inap Negara dengan Anak (%)
(%) (%) sumber daya
terbatas, rawat
inap (%)
Aspergillosis 0.02 1.2 - -
Asma 3.2 - - -
Bronkiektasis 1.0 6.9 9.3 -
Kanker 4.0 17.8 6.25 7
Jantung/edema paru 0.2 4.6 1.56 11
Penyakit paru obstruktif 2.5 - - -
kronik
Koagulopati/antikoagulasi 0.04 13.5 - -
Kriptogenik/idiopatik - 48.9 1.56 20
Emboli fulmoner 0.8 2.8 - -
Infeksi pernapasan 18.7 23.1 10.7 65
tuberkulosis 0.2 2.5 65 -
Sumber perdarahan hemoptisis dapat berasal dari sirkulasi pulmoner atau sirkulasi
bronkial. Hempotisis masif sumber perdarahan umumnya berasal dari sirkulasi bronkial ( 95 % ).
Sirkulasi pulmoner memperdarahi alveol dan duktus alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan
rendah dengan dinding pembuluh darah yang tipis. Sirkulasi bronkial memperdarahi trakea,
bronkus utama sampai bronkiolus dan jaringan penunjang paru, esofagus, mediastinum posterior
dan vasa vasorum arteri pulmoner. Sirkulasi bronkial ini terdiri dari arteri bronkialis dan vena
bronkialis. Asal anatomis perdarahan berbeda tiap proses patologik tertentu:
1. Bronkitis akibat pecahnya pembuluh darah superfisial di mukosa,
2. TB paru akibat robekan atau ruptur aneurisma arteri pulmoner (dinding kaviti “aneurisma
Rassmussen”). atau akibat pecahnya anastomosis bronkopulmoner atau proses erosif pada
arteri bronkialis,
3. Infeksi kronik akibat inflamasi sehingga terjadi pembesaran & proliferasi arteri bronchial
misal : bronkiektasis, aspergilosis atau fibrosis kistik,
4. Kanker paru akibat pembuluh darah yg terbentuk rapuh sehingga mudah berdarah.

Tabel poin penting terjadinya hemoptesis


Poin penting saat terjadinya hemoptisis
- Gejala penyakit saluran pernapasan atas atau saluran cerna
- Jumlah dan laju perdarahan
- Hemoptisis sebelumnya, termasuk sejauh mana evaluasi sebelumnya
- Munculnya dahak
- Gejala paru lainnya (misalnya batuk kronis, nyeri dada)
- Gejala sistematik lainnya (misalnya demam, penurunan berat badan)
- Masalah perdaahan lainnya
- Paparan toksik, terutama asap rokok

Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain (Menaldi, 2009):


a. Infeksi : tuberkulosis, staphylococcus, klebsiella, legionella), jamur, virus
b. Kelainan paru seperti bronchitis, bronkiektasis, emboli paru, kistik fibrosis, emfisema
bulosa
c. Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial, tumor metastasis
d. Kelainan hematologi : disfungsi trombosit, trombositopenia, disseminated
intravascular coagulation (DIC)
e. Kelainan jantung : mitral stenosis, endokarditis tricuspid
f. Kelainan pembuluh darah : hipertensi pulmoner, malformasi arterivena, aneurisma
aorta
g. Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak
h. Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi swan-ganz,
limfangiografi
i. Kelainan sistemik : sindrom goodpasture, idiopathic pulmonary hemosiderosis,
systemic lupus erytematosus, vaskulitis (granulomatosis wagener, purpura henoch
schoenlein, sindrom chrug-strauss)
j. Obat / toksin : aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain
k. Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis, fistula bronkopleura, benda asing, hemoptisi
kriptogenik, amiloidosis.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jahdali, H., Al-Zahrani, K. and Amene, P. (2000) ‘Clinical aspects of miliary tuberculosis in
Saudi adults’, International Journal Tuberculosis Disease, 4, pp. 252–255.
Baker, S. and Glassroth, J. (2004) Miliary tuberculosis. 2nd edn. Edited by P. L. W. and Wilkins.
Blaney, K. D. and Howard, P. R. (2016) ‘Basic Concepts of Blood Banking and Transfusion
Practices’, Basic Concepts of Blood Banking and Transfusion Practices, pp. 646–
676.
Campbell, I. (1973) Miliary tuberculosis in British Columbia, Medical Principles and Practice.
Cowling, M. G. and Belli, A.-M. (1995) ‘A potential pitfall in bronchial artery embolization’,
Clinical radiology, 50(2), pp. 105–107.
Crofton, J. (1975) Miliary tuberculosis In Crofton - Respiratory Disease. 2nd edn. Edited by D.
A. Oxford: Blackwell Scientific Publications.
Cunha, B., Krakakis, J. and McDermott, B. (2009) ‘Fever of unknown origin (FUO) caused by
miliary tuberculosis: diagnostic significance of morning temperature spikes.’, Heart
Lung Journal, 38(77), p. 82.
Dogra, K. et al. (2020) ‘Fresh Frozen Plasma and Platelet Transfusion Practices in Neonatal
Intensive Care Unit of a Tertiary Care Hospital’, Indian Journal of Hematology and
Blood Transfusion, 36(1), pp. 141–148. doi: 10.1007/s12288-019-01164-z.
Fitzgerald, D., Sterling, T. and Haas, D. (2015) Mycobacterium tuberculosis. Mandell, Douglas,
and Bennett’s Principles and Practice of Infectius Diseases.
Fort, G. (2017) Miliary Tuberculosis. Ferri’s Clinical Advisor.
Geppert, E. and Leff, A. (1979) The pathogenesis of pulmonary and miliary tuberculosis. Arch
Intern Med.
Gin, A. and Dolianitis, C. (2014) ‘Multidrug resistant miliary tuberculosis during infliximab
therapy despite tuberculosis screening’, Australas Journal Dermatology, 55, pp.
140–141.
Harrison, T. and Braunwald, E. (2001) Hemoptysis. In: Harrison’s Principles of internal
medicine. 15th edn. New York: McGraw-Hill Education.
Hopewell, P., Kato-Maeda, M. and Ernst, J. (2016) Tuberculosis. Murray and Nadel’s Textbook
of Respiratory Medicine.
James, W. D. (2020) Modern Blood Banking & Transfusion Practices. Seventh Ed.
Kaufmann, S. (2010) ‘Novel tuberculosis vaccination strategies based on understanding the
immune response’, Journal Intern Medicine, 267(337), p. 53.
Kementerian Kesehatan RI (2015) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 91
Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Transfusi Darah, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. doi: 10.1145/3132847.3132886.
Khalil, A. et al. (2008) ‘Severe hemoptysis of pulmonary arterial origin: signs and role of
multidetector row CT angiography’, Chest, 133(1), pp. 212–219.
Kochhar, P. K. (2012) TRANSFUSION IN Edited by Puneet Kaur Kochhar.
Kvale, P. A., Selecky, P. A. and Prakash, U. B. S. (2007) ‘Palliative care in lung cancer: ACCP
evidence-based clinical practice guidelines’, Chest, 132(3), pp. 368S-403S.
Maartens, G., Willcox, P. and Benatar, S. (1990) ‘Miliary tuberculosis: rapid diagnosis,
hematologic abnormalities, and outcome in 109 treated adults’, Journal Medical, 89,
pp. 291–296.
Maharani, E. A. and Noviar, G. (2018) Imunohematologi dan Bank Darah. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Menaldi, R. (2009) Hemoptisis.
Mert, A., Bilir, M. and Tabak, F. (2001) Miliary tuberculosis: clinical manifestations, diagnosis
and outcome in 38 adults.
Mitzner, W. and Wagner, E. M. (2004) ‘Vascular remodeling in the circulations of the lung’,
Journal of Applied Physiology, 97(5), pp. 1999–2004.
Mukherjee, B. (2016) Technical Manual of Blood Components Preparation, Technical Manual
of Blood Components Preparation. doi: 10.5005/jp/books/12650.
Nelson, J. and Forman, M. (1996) Hemoptysis in HIV-infected patients.
O’Gurek, D. and Joana Hiu Ying, C. (2022) ‘Hemoptysis: Evaluation and Management’,
American Family Physician, 105(2), p. 10.
Picard, C. et al. (2003) ‘Massive hemoptysis due to Rasmussen aneurysm: detection with
helicoidal CT angiography and successful steel coil embolization’, Intensive care
medicine, 29(10), pp. 1837–1839.
Rao, K. (1981) Pathology of pulmonary tuberculosis. 2nd edn. New Delhi: Vikas Publishing
House.
Retno, D. et al. (2012) ‘Perbedaan Kualitas Fresh Frozen Plasma Yang Dicairkan Dengan
Metode Konvensional Dan Dengan Metode Alat Ffp Thawer’, Journal of Internal
Medicine, 13(1), pp. 21–27.
Rumende, C. M. (2020) Tuberkulosis Diseminata.
Rushing, J., Hanna, C. and Selecky, P. (1978) ‘Pancreatitis as the presenting manifestation of
miliary tuberculosis’, West Journal Medicine, 129, pp. 432–436.
Shah, A. & K. and Shekhar (2018) Miliary Tuberculosis. ESI Medical College Faridabad.
Shandera, W. and Merchant, O. (2015) ‘The Inconsistent Definitions Used for Tuberculosis in
The Medical Literature’, International Journal of Mycobacteriology, 4(158), p. 60.
Sharma, P. et al. (2009) ‘FoxP3+ regulatory T cells suppress effector T-cell function at
pathologic site in miliary tuberculosis’, Journal Respiratory Critical Care Medicine,
179, pp. 1061–1070.
Sharma, S. et al. (1995) ‘Clinical profile, laboratory characteristics and outcome in miliary
tuberculosis.’, QJM, 88(29), p. 37.
Sharma, S. et al. (2002) ‘Cytokine polarization in miliary and pleural tuberculosis’, Journal
Clinical Immunology, 22(345), p. 52.
Sharma, S., Mohan, A. and Sharma, A. (2012) ‘Challenges in the diagnosis and treatment of
miliary tuberculosis’, Indian Journal Medical Respiratory, 135, pp. 703–730.
Sirait, R. H. (2018) ‘Bahan Kuliah : Transfusi Darah’, Universitas Kristen Indonesia, pp. 1–17.
Thwaites, G. (2014) Tuberculosis. Manson’s Tropical Disease.
Verma, S. and Karmakar, S. (2013) ‘Pulmonary tuberculoma and miliary tuberculosis in
silicosis’, Journal Clinical Diagnosa Respiratory, 7(361), p. 3.
Williamson, W. et al. (1992) Pulmonary venous infarction.
World Health Organization (WHO) (2014) Global tuberculosis report 2014, Online WHO.
Available at: www.who.int/tuberculosis/publications/global_report/en/.
Yoon, W. et al. (2002) ‘Bronchial and nonbronchial systemic artery embolization for life-
threatening hemoptysis: a comprehensive review’, Radiographics, 22(6), pp. 1395–
1409.

Anda mungkin juga menyukai